• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI TANAMAN KELAPA SAWIT DENGAN TANAMAN PANGAN JAGUNG DAN UBIKAYU DI LAHAN KERING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTEGRASI TANAMAN KELAPA SAWIT DENGAN TANAMAN PANGAN JAGUNG DAN UBIKAYU DI LAHAN KERING"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI TANAMAN KELAPA SAWIT DENGAN

TANAMAN PANGAN JAGUNG DAN UBIKAYU

DI LAHAN KERING

SOETJIPTO PARTOHARDJONO

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka 147-Bogor 16111

ABSTRAK

SOETJIPTO PARTOHARDJONO. 2003. Integrasi Tanaman Kelapa Sawit dengan Tanaman Pangan Jagung

dan Ubikayu di Lahan Kering. Lahan kering dengan jenis tanah Ultisol/Oxisol, dengan curah hujan sekitar 2000 mm/tahun yang tersebar merata sepanjang tahun berpotensi besar untuk pengembangan komoditas kelapa sawit, yang diintegrasikan dengan tanaman pangan jagung, ubikayu dan lainnya, dengan pola tanam tumpangsari bersisipan sepanjang tahun. Telaahan teknologi integrasi kelapa sawit dan tanaman pangan diarahkan untuk pengembangan teknologi usahatani yang produktif, menguntungkan dan melestarikan lahan. Hasil tanaman pangan dan limbah tanamannya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dalam model pengembangan sistem integrasi tanaman pangan-tanaman perkebunan : ternak dibahas lebih lanjut.

Kata kunci: integrasi, perkebunan-tanaman pangan, usahatani produktif

ABSTRACT

SOETJIPTO PARTOHARDJONO. 2003. Integration of Oilpalm and Food Crop of Maize, Cassava in Upland Rainfed. Upland rainfed of Ultisol/Oxisol land, with 2000 mm/year rainfall distributed evenly throughout the year, offer a great opportunity for the development of oilpalm –food crops of maize, cassava farming systems. Assessment of oilpalm and food crop integration was directed to develop more productive, profitable as well as conserve soils. Food crop residues can be used as feed source for livestock. Integration of estate and foodcrops systems are discussed further.

Key words: upland, estate, crops integration, farming systems PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, pendapatan petani dan sekaligus melestarikan lingkungan. Lahan kering yang memiliki penyebaran luas, dimana diperkirakan seluas 30 juta ha, merupakan potensi untuk perluasan areal pertanian dimasa mendatang. Sebagian besar ekosistem lahan kering didominasi oleh jenis tanah Podolok Merah Kuning (PMK) atau Ultisols /Oxisols yang memiliki kesuburan tanah rendah dan peka erosi, sehingga mudah terdegradasi bila pemanfaatannya tidak disertai upaya-upaya pelestarian lahan.

Pemanfaatan lahan kering jenis tanah Ultisols, dengan curah hujan di atas 2000 mm/tahun dengan musim kering yang tidak nyata, terbukti sangat sesuai untuk budidaya komoditas kelapa sawit dan karet. Kelapa sawit dan karet dengan pengelolaan yang tepat disertai usaha-usaha konservasi tanah dan air, tanaman penutup tanah, pemeliharaan kesuburan tanah melalui pemberian unsur-unsur hara dengan pemupukan, merupakan usaha agribisnis yang produktif dan menguntungkan.

(2)

Pada tahun-tahun 1970-1980-an lahan kering PMK merupakan daerah pengembangan program transmigrasi. Pemetaan lahan disertai kegiatan penelitian pertanian menunjang program transmigrasi telah dilaksanakan. Penelitian dan pengembangan usahatani lahan kering mengembangkan teknologi usahatani yang produktif, menguntungkan dan dapat melestarikan lahan. Hasil-hasil penelitian berupa paket-paket teknologi budidaya, untuk tanaman pangan telah didiseminasikan kepada para petani melalui program penyuluhan.

Disadari bahwa usahatani tanaman pangan hanya mencukupi kebutuhan pangan keluarga, sehingga perlu upaya-upaya pengembangan sistem usahatani yang dapat meningkatkan pendapatan petani, diantaranya dengan usaha perkebunan dan peternakan. Penelitian integrasi tanaman-ternak yang dilaksanakan pada awal tahun 1980-an menunjukkan bahwa pendapatan petani meningkat dengan komoditas ternak kedalam sistem usahatani tanaman pangan-tanaman perkebunan-ternak.

Integrasi tanaman pangan (jagung dan ubikayu) dengan kelapa sawit di lahan kering didasarkan pada pengalaman penelitian yang telah diperoleh secara langsung maupun tidak langsung hingga saat ini.

PEMANFAATAN LAHAN KERING UNTUK PERTANIAN

Lahan kering yang sebenarnya luas dan potensial, diperkirakan seluas 30 juta hektar, terutama didominasi oleh kompleks tanah Ultisol/Oxisol. Jenis tanah ini pada kondisi curah hujan tinggi mengalami pencucian lanjut dengan taraf kesuburan tanah yang rendah. Kemasaman tanah yang tinggi mengakibatkan kelarutan Al dalam tanah tinggi sehingga berpotensi untuk meracuni tanaman, terutama tanaman pangan semusim. Curah hujan tinggi, lebih dari 6 bulan basah dengan musim kering tidak nyata merupakan peluang untuk mengembangkan berbagai komoditi pertanian, tanaman pangan, perkebunan, rumput pakan ternak, ternak dan komoditas tanaman hortikultura.

Aspek kesesuaian lahan menjadi pertimbangan utama dari pemilihan komoditas dalam usahatani. Lahan yang dibuka untuk pertanian dari hutan primer, sekunder maupun alang-alang dievaluasi tingkat lerengnya serta taraf kesuburannya. Untuk membangun pertanian lahan kering yang tangguh, EFFENDI (1984) menyarankan untuk memilah lahan berdasarkan lereng untuk

pengembangan pertanian. Lahan dengan topografi landai dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan disertai upaya-upaya konservasi tanah dan air sedini mungkin. Pada lahan bergelombang dapat dikembangkan dalam jangka panjang untuk tanaman tahunan sebagai tanaman utama, sedangkan tanaman pangan tetap diproduksi untuk keperluan keluarga, disertai upaya konservasi tanah dan air. Ternak diusahakan untuk meningkatkan konsumsi protein keluarga, untuk sumber tenaga dan sebagai penghasil pupuk kandang yang berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Dalam kaitannya dengan pengembangan peternakan SITORUS et al. (1984) juga menyarankan dilakukan penelaahan potensi wilayah dan kebutuhan peternak, yang meliputi rumput-rumputan dan limbah pertanian untuk pakan ternak (diantaranya sapi) sebagai sumber tenaga, penghasil pupuk kandang dan sumber pendapatan. Khususnya untuk daerah pertanian bukaan baru, pengembangan peternakan seyogyanya telah diprogramkan sejak awal, sehingga dapat diperkirakan pola-pola usahatani terpadu dengan komoditas utama sesuai dengan kondisi wilayah.

Lahan kering yang peka erosi akan terpelihara tingkat produktivitasnya bila tingkat erosinya dipertahankan sekecil mungkin. Di bawah tegakan hutan, lahan kering akan terhindar dari bahaya erosi karena terjadi penutupan lahan dengan vegetasi sepanjang tahun. Pengembangan perkebunan sangat menekan bahaya erosi dengan adanya tanaman tahunan yang menutup tanah sepanjang tahun. Bila lahan dibuka dan diusahakan tanaman semusim diperlukan upaya-upaya konservasi

(3)

lahan agar lahan tidak terdegradasi secara cepat. Pengembangan pola tanam tumpang-sari bersisipan dan pergiliran tanaman semusim menjamin penutupan tanah sepanjang tahun, sehingga mengurangi bahaya erosi. Kelestarian lahan dipertahankan dengan pemupukan yang tepat serta pemberian bahan organik.

Ditinjau dari aspek ketahanan pangan, peningkatan pendapatan dan kelestarian lingkungan, diperlukan pengembangan usahatani terpadu. Pengalaman penelitian menunjukkan bahwa untuk daerah pengembangan baru, prioritas pertama adalah mengupayakan pemantapan usahatani tanaman pangan. Tahap berikutnya adalah usaha peningkatan pendapatan petani dengan mengintegrasikan komonen-komponen usahatani bernilai ekonomi tinggi, seperti ternak dan perkebunan, disertai pelestarian lahan.

INTEGRASI KELAPA SAWIT TANAMAN PANGAN

Tema lokakarya adalah Integrasi Sapi-Kelapa Sawit dan dimintakan peran tanaman pangan khususnya jagung dan ubikayu dalam menunjang sistem sapi-kelapa sawit. Jelas komoditas jagung dan ubikayu merupakan sumber pangan penting dan sebagai bahan baku industri, dimana salah satunya adalah industri pakan ternak, bahkan limbah tanaman (crop residues) juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Beberapa kajian sebelumnya telah mengemukakan beberapa strategi guna mengintegrasikan tanaman kelapa sawit dengan tanaman pangan, diantaranya yang dilaporkan oleh LUBIS et al.

(1984). Dalam analisis dikemukakan pentingnya evaluasi ketersediaan tenaga kerja untuk mengembangkan sistem kelapa sawit-tanaman pangan. Luasan areal kelapa sawit 2,25 ha memerlukan curahan tenaga kerja sebesar 386-473 HOK tiap tahun, padahal potensi minimal tenaga kerja keluarga adalah sebesar 720 HOK, sehingga terdapat kelebihan tenaga kerja keluarga. Lahan diantara kelapa sawit muda dapat diusahakan untuk tanaman sela (tanaman pangan) selama 2 tahun, karena pada tahun ke-3 kelapa sawit telah berbuah. Setelah tahun ke-3 tidak diusahakan tanaman sela, sehingga kelebihan tenaga kerja keluarga dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan pada lahan seluas 0,7 ha secara terpisah (Gambar 1).

EFFENDI et al. (1984) menyarankan suatu model usahatani terpadu pada luasan areal 2,5 ha

dengan penataan: (1). Rumah dan pekarangan seluas 0,25 ha ditanami kelapa dan buah-buahan, sayuran dan tanaman obat; (2). Ladang seluas 0,5 ha ditanami pado gogo + jagung (tumpangsari) dengan sisipan ubikayu-diikuti kacang-kacangan; (3). Perkebunan seluas 1,75 ha dapat diusahakan berbagai pilihan komoditi, seperti karet, kelapa sawit, kopi, lada dan cengkeh. Sebaiknya ladang menyatu dengan pekarangan, karena memerlukan penanganan intensif pada lahan yang relatif datar. Tanaman perkebunan pada lahan yang relatif bergelombang, dirancang sesuai dengan program daerah, kelayakan dan pengembangan sarana dan prasarana, sehingga tercapai skala ekonomi yang optimal.

Pola tanam pada lahan kering tadah hujan telah banyak diteliti, diberbagai wilayah dikaitkan dengan sebaran hujan, beragam dari wilayah-wilayah dengan musim tanam yang relatif panjang (wilayah barat Indonesia) sedangkan wilayah dengan musim tanam pendek (wilayah timur Indonesia). ISMAILet al. (1978) di Way Abung, Lampung (Gambar 2 dan Tabel 1) menunjukkan

pola tanam tumpangsari bersisipan dan rotasi tanam, yang meliputi tanaman serealia (jagung, padi gogo), kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau dan kacang uci) dan ubi-ubian (ubikayu, ubijalar) dengan perbaikan teknologi, produktivitas tanaman dapat ditingkatkan.

Pola tanam tipikal untuk wilayah dengan musim tanam panjang (beriklim basah) dapat diintegrasikan dengan tanaman perkebunan kelapa sawit. Integrasi berupa tanaman sela, tergantung jarak tanam kelapa sawit karena menentukan penutupan kanopinya dan tanaman sela tidak mungkin

(4)

lagi diusahakan. Pada keadaan demikian, pengusahaan tanaman semusim harus pindah ke petakan yang masih terbuka.

Gambar 1. Perkiraan distribusi hari kerja keluarga per tahun berdasarkan jenis tanaman selama 30 tahun (LUBISet al., 1984)

Tabel 1. Hasil tanaman pangan, pendapatan, hasil kalori dan protein dari 6 pola tanam. Way Abung, 1977-1978

Hasil Pola Tanam Hasil (t/ha) Pendapatan kotor ($/ha)

Kalori (Kcal/ha) Protein (kg/ha) Introduksi Jagung + Padi gogo Ubikayu/ Kc. Tanah Kc. Uci 2,6 3,7 19,9 0,6 0,3 163 354 191 325 101 9.063 8.829 23.866 2.622 1.266 235 250 139 148 70 Jumlah 1.134 45.646 842

Tradisional tanpa kendala input Jagung + Padi gogo/ Ubikayu 1,3 2,6 12,6 86 254 121 4.761 6.339 15.064 123 180 88 Jumlah 461 26.164 391 Tradisional Jagung + Padi gogo/ Ubikayu 0,9 1,9 9,8 69 183 94 3.280 4.561 11.745 85 130 69 Jumlah 19.587 284

Sumber: ISMAILet al. (1978) Nilai tukar: $ 1 = Rp 825

30 100 200 300 400 500 700

720 (Hari orang kerja) (HKO)

Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 = Tanaman sela = Tanaman kelapa sawit (2,25 ha) = Tanaman pangan (0,7 ha)

(5)

Gambar 2. Curah hujan dan pola tanam, pada lahan kering. Way Abung-Sumatera. (ISMAILet al., 1978) 0 50 100 150 200 250

Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sep

Curah hujan (mm/mg

)

Jagung-H6

Padi gogo-Gaiti Kacang tanah- Gajah

Ubikayu II-Gading Kacang hijau- No.129 Ubikayu – No. 528 Ubikayu – No. 528 K.Hijau/Jagung-HP68 Padi gogo-Gaiti Jagung I – H6 Jagung II – HP68 Kedelai-Orba Ubijalar-Daya K. Uci-Lokal Kc. Tunggak Jagung-DMR-5 Padi gogo-Kiemas Ubikayu – Lokal Jagung-DMR-5 Padi gogo-Kiemas Ubikayu – Lokal Jagung-DMR-5 Padi gogo-Kiemas Ubikayu – Lokal

(6)

KESIMPULAN

1. Lahan kering tadah hujan dengan curah hujan merata sepanjang tahun, yang memiliki penyebaran luas berpeluang untuk pengembangan integrasi tanaman perkebunan (kepala sawit) dengan tanamn pangan sebagai tanaman sela (jagung dan ubikayu). Baik hasil utama tanaman pangan maupun limbah tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk menunjang pengembangan sistem tanaman-ternak.

2. Dalam pengembangan integrasi sistem tanaman-ternak, perlu dirancang pengembangannya sejak awal. Penelaahan kesesuaian kondisi pedo-agroklimat untuk pengembangan ternak serta ketersediaan pakannya, yang dapat diintegrasikan dengan sistem polatanam tanaman perkebunan (misalnya kelapa sawit) dan tanaman semusim (misalnya jagung dan ubikayu). 3. Pada kebun kelapa sawit seluas 2,5 ha dengan 143 pohon tiap hektar, dapat diusahakan

tanaman pangan sebagai tanaman sela selama 2 tahun. Pada tahun ketiga, dimana sudah mulai dipanen kelapa sawit, tanaman pangan sebagai tanam sela harus pindah ke lokasi lain (seluas sekitar 0,7 ha) masih dapat ditangani tenaga kerja keluarga disamping mengelola kebun kelapa sawit.

4. Untuk mengelola ternak yang mungkin diintegrasikan dalam sistem kelapa sawit-tanaman pangan, diperlukan penelaahan ketersediaan tenaga kerja lebih terinci. Secara ekologis dan ekonomis sistem integrasi tanaman perkebunan-tanaman pangan-ternak menguntungkan, dimungkinkan secara teknis dan dapat meningkatkan pendapatan, serta melestarikan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

EFFENDI, S. 1984. Membangun Pertanian Lahan Kering yang Tangguh. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Cisarua, 27-28 Februari 1984.

ISMAIL, I.G., H. SUPRAPTO, W.S. ARDJASA, J. SASA, S. EFFENDI and J.L. MCINTOSH. 1978. Cropping Systems Research in transmigration Areas Southern Sumatra. Unpublish Progress Report, LP3 Bogor.

LUBIS, S., DASWIR dan C. NANCY. 1984. Model Usahatani Untuk Mencapai Pendapatan Keluarga Sebesar US $ 1500 per Tahun. Proceeding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani menunjang Transmigrasi. Cisarua, 27-28 Februari 1984.

SITORUS, P., U. KUSNADI dan T. MANURUNG. 1984. Strategi Penelitian Usahatani Pola Peternakan di Daerah Transmigrasi. Proceeding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Cisarua, 27-28. Februari 1984.

Gambar

Tabel 1. Hasil tanaman pangan, pendapatan, hasil kalori dan protein dari 6 pola tanam
Gambar 2. Curah hujan dan pola tanam, pada lahan kering. Way Abung-Sumatera. (I SMAIL  et al., 1978) 050100150200250

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan ekstrak daun sirih 60% dengan lama perendaman 1 jam dan 2 jam memberikan hasil indeks vigor, Koefisien berkecambah dan kecepatan berkecambah yang lebih baik bila

berupa aspal baru (Pen 60/70) dan polimer yang bersifat elastomerik, dalam hal ini polimer SBS, proporsi elastis dalam campuran akan meningkat. Kondisi ini terlihat pada nilai sudut

Secara singkat, tulisan ini akan menyajikan pokok-pokok pemikiran mengenai keaneka- ragaman kebudayaan yang menjadi isi utama dari lambang negara dan bangsa kita bhinneka

Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari sumbernya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier

Hal ini sesuai dengan teori bahwa AV terjadi pada pria dengan kisaran umur 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2011) karena pada laki-laki umur 16-19 tahun adalah waktu

Kata ini identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin "mos" yang dalam bentuk jamaknya Mores yang berarti juga Adat atau cara hidup.. Etika dan

Tahun 1976, Russel Ross mengemukakan aterosklerosis bukan merupakan suatu proses degeneratif, tetapi merupakan proses inflamasi kronik yang diikuti oleh suatu

Dengan kedua konsep yang ada didapati bahwasanya karakteristik dari civic community yang tidak bebas akan nilai kewargenegaraan namun dalam konteks komunitas yang