• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN KARANG ANYAR: MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN KARANG ANYAR: MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI

KABUPATEN KARANG ANYAR: MEMBANDINGKAN ANTARA

POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

Lusi Dwi Windarsari

1*

1

Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jalan Raya Jakarta Km 4 Pakupatan Serang Banten

*Korespondensi : windarsari@yahoo.co.id

Diterima: 18

September

2012 /

Disetujui: 25 Oktober 2012

ABSTRACT

In line with the increase in population and income levels are accompanied by a change in consumption patterns and tastes of the public, the level of per capita meat consumption is likely to increase. The development of meat consumption in Indonesia in order to meet the needs of animal protein, more comes from national poultry industry (IUN). Broiler meat consumption in 1998 reached 1239 tons, and increased to 1624 tonnes in 2002. The increasing demand for chicken meat is causing a growing population of broiler nationwide, from 285,000 thousand in 1998, to 883,400 thousand in 2005, or an increase by a rate of 8.85 percent per year.

Keywords: meet consumption, animal protein, increase, broiler

PENDAHULUAN

Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan produk domestik bruto (PDB) subsektor

peter-nakan terhadap pertanian sebesar

11,57%, dan meningkat menjadi 11,80% pada tahun 2005. Rataan laju pertum-buhan selama periode 1998-2005 adalah sebesar 19,13% lebih besar dari laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan (18,94 Persen) (BPS,2006).

Sejalan dengan meningkatnya jum-lah penduduk dan tingkat pendapatan yang disertai dengan adanya perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat, tingkat konsumsi daging perkapita me-ningkat. Perkembangan konsumsi da-ging di Indonesia dalam rangka meme-nuhi kebutuhan protein hewani, lebih banyak dari Industri Unggas Nasional (IUN) (Purba,1999). Konsumsi daging ayam ras pedaging pada tahun 1998 mencapai 1.239 ton, dan meningkat

men-jadi 1.624 ton pada tahun 2002. Mening-katnya permintaan daging ayam ras ini menyebabkan meningkatnya populasi ayam ras pedaging secara nasional yaitu dari 285.000 ribu ekor pada tahun 1998, menjadi 883.400 ribu ekor pada tahun

2005, atau mengalami peningkatan

dengan laju sebesar 8,85 persen per tahun (Ditjen Peternakan, 2005).

Salah satu kabupaten di Jawa Te-ngah yang memiliki potensi perternakan relative besar adalah Kabupaten Karan-ganyar. Kontribusi subsector peternakan terhadap perekonomian Kabupaten Ka-ranganyar selama periode tahun 2001-2005 berada pada kisaran 4,79-8,47 persen. Subsektor peternakan mendu-duki peringkat kedua setelah subsektor

tanaman bahan makanan sebagai

penyumbang PDRB sektor pertanian Kabupaten Karanganyar. Relatif besar-nya konstribusi sub sector peternakan pada PDRB Kabupaten Karanganyar menunjukan bahwa subsektor ini poten-sial untuk dikembangkan sebagai salah

(2)

satu sektor unggulan perekonomian Kabupaten Karanganyar.

Kabupaten Karanganyar menghasil-kan tiga belas jenis ternak yang dominan di usahakan oleh masyarakat. Jika dilihat dari populasi ternak, ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusakan oleh masyarakat, setelah ayam ras petelur. Pada tahun 2004, populasi ayam ras pedaging mencapai 1.070.000 ekor sedangkan populasi ayam ras

petelur mencapai 1.237.000 ekor.

Sedangkan dari perkembangan populasi ternak dibandingkan tahun 2003, terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging merupakan salah satu ternak unggas yang masih mengalami pertumbuhan walaupun tengah merebak serangan virus flu burung (avian influenza ).

Perumusan Masalah

Di Kabupaten Karanganyar seba-gian besar usaha ternak ayam ras pedaging merupakan usahaternak pola kemitraan. Usaha ternak pola mandiri

yang hanya sebagian kecil saja,

kebanyakan dilaksanakan oleh ”jebolan-jebolan” usaha ternak pola kemitraan.

Pola kemitraan dilakukan peternak

dengan cara menjalin kerjasama atau bermitra dengan perusahaan penyedia sarana produksi, dengan ketentuan pe-ternak diharuskan menjual semua hasil produksinya kepada perusahaan inti sesuai dengan harga kesepakatan yang tertera dalam kontrak yang telak dise-pakati bersama oleh peternak dan perusahaan yang bersangkutan. Dalam kerjasama ini, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak berperan seba-gai plasma. Sebaseba-gai inti, perusahaan menyediakan sarana produksi ternak seperti makanan, Day Old Chick (DOC), obat-obatan dan alat- alat perkandangan seperti tempat pakan, alat pemanas, dan alat lainnya. Pada awal kerjasama, inti akan menyediakan alat kandang, dan peternak wajib untuk mengembalikan biaya dengan cara mencicil setiap kali panen. Tetapi bila peternak mampu me-nyediakan alat kandang sendiri, maka sebagai plasma ia hanya membeli sarana produksi ternak dari inti seperti DOC,

pakan dan vaksin serta pembayarannya dilakukan setelah hasil panen terjual ke inti.

Usaha ternak pola mandiri dilakukan peternak dengan cara menyediakan se-mua sarana produksi secara swadaya dan peternak memiliki kebebasan untuk menjual hasil produknya. Walaupun da-pat dengan bebas menentukan kepada siapa meteka menjual produknya, tetapi karena sebagian besar peternak mem-punyai lokasi usaha yang terpencar-pencar dan kurangnnya informasi pasar menyebabkan peternak bergantung ke-pada pedagang perantara yang biasanya langsung mendatangi tempat usaha peternak. Hal ini cenderung menye-babkan harga produk lebih ditentukan oleh pedagang perantara, mengingat posisi tawar peternak umumnya rendah.

Adanya perbedaan pola dalam peng-usahaan ayam ras pedaging, menye-babkan perbedaan penerimaan dan biaya yang digunakan untuk memproduksi ayam ras pedaging. Selain itu, perbe-daan pola pengusahaan juga akan me-nyebabkan perbedaan pola pemasaran hasil sehingga perlu untuk diketahui mana yang lebih menguntungkan antara usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri.

METODOLOGI

Lokasi penelitian di Kabupaten Ka-ranganyar Provinsi Jawa Tengah diten-tukan secara purposif yaitu di Kecamatan

Tasikmadu, Kecamatan Kebakkramat

dan Kecamatan Mojogedang dengan pertimbangan bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah potensial dengan perkembangan ternak ayam ras pedaging yang relatif besar di Kabupaten Karanganyar. Pertimbangan lainnya ada-lah di ketiga kecamatan tersebut terdapat dua pola pengusahaan ayam ras peda-ging yang berbeda yaitu pola kemitraan dan pola mandiri sehingga lebih realistis untuk dilakukan analisis perbandingan terhadap kedua pola pengusahaan.

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung

(3)

dengan responden (peternak, pedagang perantara dan karyawan perusahaan inti baik yang di lapangan maupun di kantor). Untuk keperluan penelitian ini, seluruh peternak diambil sebagai responden

(sensus). Pengambilan sampel

pedagang pengumpul, pedagang besar

dan pedangan pengecer dilakukan

secara purposive dengan pertimbangan

pedagang yang hanya melakukan

transaksi secara langsung baik dengan peternak maupun pedagang perantara lain (snowball sampling). Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari dinas perdagangan, Dinas Peternakan Jawa Tengah, Dinas Peternakan Kabupaten Karanganyar, Badan Pusat Statistik dan publikasi dari instansi terkait lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pendapatan Usahaternak

Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan dengan pola mandiri pada usahaternak ayam ras pedaging adalah dengan melihat perbedaan pendapatan peternak untuk tiap satu ekor ternak yang mereka hasilkan. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran (biaya). Biaya usahaternak ayam ras pedaging merupakan nilai dari semua pengeluaran yang dipergunakan dalam menghasilkan produk per ekor ayam ras pedaging. Dalam penelitian ini, biaya yang dikeluarkan dikelompokan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi biaya sewa kandang dan biaya untuk alat-alat kandang seperti tempat pakan, tempat minum dan alat pemanas (gasolec). Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang habis digu-nakan dalam satu periode produksi ayam ras pedaging. Biaya-biaya ini meliputi biaya DOC, biaya pakan, obat-obatan, vaksin, biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lainnya (gas, listrik, gula merah, sekam). Biaya dihitung untuk satu kali periode produksi (+ 35 hari) mulai dari persiapan untuk berproduksi, proses produksi dan pemanenan. Sedangkan

penerimaan usahaternak ayam ras

pedaging adalah nilai dari penjualan per ekor ayam ras pedaging. Dimana dalam penelitian untuk tiap ekor ayam ras pedaging yang siap dijual memiliki berat rerata 1,79 kg.

Untuk melihat perbandingan efisiensi penggunaan input dari usahaternak an-tara pola mandiri dan pola kemitraan maka digunakan analisis rasio pene-rimaan dengan total biaya yang diguna-kan. Hasil perhitungan biaya, peneri-maan, pendapatan dan R/C rasio usaha ternak ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar antara pola mandiri dan pola kemitraan disajikan secara lengkap pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi satu ekor ayam ras pedaging pada pola mandiri lebih rendah diban-dingkan dengan pola kemitraan. Selisih total biaya antara pola kemitraan dengan pola mandiri mencapai Rp1.140,04 per ekor. Artinya untuk memproduksi satu ekor ayam ras pedaging pada pola kemit-raan membutuhkan biaya 12,79 persen lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada pola mandiri. Dari komposisi biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan oleh peternak masing-masing pola tidak jauh berbeda. Artinya untuk usahaternak ayam ras pedaging, biaya yang paling banyak dikeluarkan berturut-turut adalah biaya untuk pembe-lian pakan, DOC, obat dan vaksin, sewa kandang dan pembelian gas. Perbedaan komposisi biaya variabel pada pola kemitraan dengan pola mandiri adalah pengeluaran untuk pemberian kunyit dan daun pepaya. Untuk peternak pola man-diri, pemberian kunyit dan daun pepaya adalah salah satu cara untuk mengurangi penggunaan vaksin karena pemberian kunyit dan daun pepaya dipercaya oleh peternak sebagai cara untuk mening-katkan daya tahan tubuh ayam ras pedaging dari serangan penyakit. Bagi peternak peserta pola kemitraan, hal tersebut tidak dapat dilakukan karena perusahaan inti telah memberikan pers-yaratan bahwa peternak dilarang membe-rikan perlakukan yang ridak sesuai dengan standar perusahaan inti. Untuk

(4)

ketahanan tubuh terhadap serangan

penyakit maka ternak pada pola

kemitraan harus diberikan vaksin sesuai dengan dosisi dan anjuran dari penyuluh (TS).

Jika dilihat dari nilainya, biaya tetap yang dikeluarkan oleh peternak peserta pola kemitraan tidak berbeda dengan peternak pola mandiri. Hal ini disebab-kan karena adanya ketentuan dari pihak perusahaan inti bahwa peternak peserta kemitraan harus dapat menyediakan sen-diri kandang dan peralatannya1 sehingga harga input peryunit yang diterima oleh

peternak peserta kemitraan sama dengan peternak pola mandiri, yakni sesuai dengan harga yang berlaku dipasar. Untuk biaya variabel, yakni biaya DOC, pakan, obat dan vaksin, terlihat perbe-daan yang relatif besar antara biaya yang dikeluarkan oleh peternak mandiri de-ngan peternak kemitraan. Perbedaan bi-aya ini lebih disebabkan oleh adanya perbedaan harga yang diterima peternak peserta kemitrann karena kualitas DOC dan kuantitas pemberian pakan yang diberikan antara peternak pola mandiri dan pola kemitraan tidak ada perbedaan. Tabel 1 Perbandingan biaya, penerimaan dan pendapatan usaha ternak ayam ras

pedaging antara pola mandiri dan pola kemitraan, tahun 2003

Uraian Mandiri Kemitraan Nilai (Rp/Ekor) Kontribusi (%) Nilai (Rp/Ekor) Kontribusi (%) Biaya Tetap 1. Sewa Kandang 400,00 4,92 400,00 4,36 2. Tempat Pakan 14,63 0,18 14,63 0,16 3. Tempat Minum 66,03 0,81 66,03 0,72 4. Alat Pemanas 26,50 0,33 26,50 0,39

Total Biaya Varibel 506,96 6,24 506,96 5,53

5. DOC* 2400,00 29,52 2900,00 31,63

6. Pakan 4480,00 55,11 4972,00 54,23

7. Obat Dan Vaksin 439,96 5,41 488,80 5,33

8. Sekam 42,86 0,53 42,86 0,47

9. Gula Merah 8,00 0,10 8,00 0,09

10. Kunyit Dan Daun Pepaya 0,80 0,01 - -

11. Gas 125,72 1,55 125,72 1,37 12. Listrik 6,79 0,08 6,79 0,07 13. Tenaga Kerja 117,86 1,45 117,86 1,29 Total 7621,99 93,76 8622,03 94,47 Total Biaya 8128,95 100,00 9168,99 100,00 Total Penerimaan 12261,50 12204,00 Pendapatan 4132,55 3035,01 R/C 1,51 1,33

Sumber : Data Primer,2003 (Diolah)

Keterangan : * = Strain DOC pola mandiri dan pola kemitraan tidak berbeda

: ** = untuk satu ekor ayam ras pedaging setara dengan 1.79 kg (35 hari)

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa peternak ayam ras pedaging pola mandiri yang ada di

Kabupaten Karanganyar merupakan

“eks” peserta kemitraan sehingga

tekno-logi yang digunakan pada usaha ternak mereka relatif tidak jauh berbeda dengan pola ternak kemitraan. Pengetahuan ten-tang kualitas strain DOC, pemberian pakan termasuk pemberian dosis obat

(5)

dan vaksin masih diterapkan oleh peter-nak pola mandiri dalam pola usahaterpeter-nak mereka sehingga diyakini bahwa perbe-daan jumlah biaya variabel lebih disebab-kan oleh adanya perbedaan harga input. Namun khusus untuk biaya obat dan vaksin, selisih biaya yang terjadi juga disebabkan perbedaan kuantitas vaksin yang diberikan. Sebagaimana yang dije-laskan pada komposisi biaya variabel, bahwa sebagian penggunaan vaksin untuk ternak pada pola mandiri digan-tikan dengan pemberian kunyit dan daun pepaya sehingga biaya vaksinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan pola kemitraan.

Harga input yang diterima oleh peternak peserta kemitraan telah diten-tukan oleh perusahaan inti dan biasanya lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga yang berlaku di pasar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa selisih biaya pembelian DOC yang diterima peternak kemitraan adalah 20,83 persen lebih tinggi dibandingkan biaya pembelian DOC yang dikeluarkan oleh peternak pola mandiri atau sebesar Rp 500 per DOC. Untuk biaya pembelian pakan dan obat-obatan dan vaksin, peternak peserta pola kemitraan mengeluarkan biaya ma-sing-masing 10,98 persen dan 11,10 persen lebih tinggi dibandingkan peternak pola mandiri. Selisih harga input ini merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan inti dan hal ini sangat wajar jika perusahaan inti menginginkan dapat memperoleh keuntungan dari penjualan DOC, pakan, obat dan vaksin. Namun yang membuat sebagian besar peternak merasa dirugikan adalah karena harga input tidak pernah ditentukan diawal kontrak dan presentase keuntungan yang diambil oleh perusahaan inti tidak pernah diketahui secara pasti.

Total penerimaan disini sama de-ngan harga jual per ekor ayam ras peda-ging. Peternak pola mandiri memperoleh

penerimaan sebesar Rp. 12.261,50

sedangkan untuk peternak pola kemit-raan hanya Rp 12.204,00 atau 0,47% lebih rendah dibandingkan penerimaan peternak pola mandiri. Selisih peneri-maan atau harga jual ini juga disebabkan

adanya kontrak kesepakatan atas harga output sebelum proses produksi oleh peternak peserta pola kemitraan. Jika harga yang berlaku dipasar lebih tinggi dari harga kesepakatan, peternak hanya memperoleh peningkatan sebesar 15-40 persen dari selisih harga yang berlaku atau biasa disebut dengan pemberian insentif. Oleh sebab itu, harga output yang diterima peternak pola kemitraan akan selalu lebih rendah dibandingkan harga output pola mandiri. Jika terjadi kasus sebaliknya atau harga kontrak lebih tinggi dibandingkan harga pasar, maka sesuai kontrak peternak peserta kemitraan akan menerima sesuai harga kontrak. Namun demikian, hal ini ( harga kontrak lebih tinggi dari harga pasar) jarang sekali terjadi. Menurut hasil wawancara dengan peternak peserta pola kemitraan, selama sepuluh tahun terkahir ini belum pernah terjadi harga kontrak lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini disebabkan karena perusahaan inti lebih menguasai infor-masi harga pasar apalagi perusahaan inti memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan para pedagang besar sehingga perusahaan inti mempunyai kemampuan yang relatif baik dalam memprediksi harga pasar.

Pendapatan yang merupakan selisih penerimaan dengan biaya yang menun-jukan hal yang sama karena pola mandiri memiliki penerimaan lebih tinggi dan biaya lebih rendah maka pendapatan yang diperoleh peternak pola mandiri juga lebih tinggi bila dibandingkan de-ngan peternak pola kemitraan. Penda-patan yang mampu diperoleh peternak pola mandiri adalah Rp 4.132,55 per ekor ayam ras pedaging sedangkan untuk peternak pola kemitraan memperoleh pendapatan senilai Rp 3.035,01 per ekor. Dengan kata lain, untuk tiap ekor ayam ras pedaging, peternak pola kemitraan memperoleh pendapatan Rp 1.097,54 atau 26,56% lebih rendah dibandingkan

dengan pendapatan peternak pola

mandiri.

Sejalan dengan pendapatan yang diterima, analisis R/C ratio juga menun-jukan bahwa usahaternak pola mandiri

(6)

lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan usahaternak pola kemitraan. Hasil perhitungan R/C ratio yang disaji-kan pada Tabel 1 menunjuKdisaji-kan bahwa R/C ratio pola mandiri adalah 1,51 sedangkan pola kemitraan sebesar 1,33. nilai ini menunjukan bahwa usahaternak pola kemitraan, tiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan peneri-maan sebesar Rp 1,33. Secara keselu-ruhan, hasil analisis R/C ratio menun-jukan bahwa baik pola kemitraan maupun pola mandiri, usahaternak ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar efi-sien dan menguntungkan karena peneri-maan/imbalan yang diperoleh lebih besar dari pengeluarannya sehingga peternak dapat memperoleh manfaat dari usaha ini.

Analisis Pemasaran Usaha Ternak Selain perbedaan biaya, peneri-maan dan pendapatan yang diperoleh, proses penyaluran produksi (ayam ras pedaging) antara peternak pola mandiri dengan pola kemitraan juga memiliki perbedaan. Hal ini terkait dengan ada-nya kontrak kesepakatan antara peternak peserta kemitraan dengan perusahaan intinya. Jalur pemasaran yang berbeda pada akhirnya juga mempengaruhi marjin pemasaran yang diterima oleh peternak. Oleh karena itu, analisis pemasaran usahaternak dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap saluran pesamaran dan marjin pemasaran pasar pada kedua pola pengusahaan serta analisis keterpaduan pasar.

Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging

Proses penyaluran hasil produksi ayam ras pedaging dari peternak kepada konsumen melibatkan kepada beberapa lembaga pemasaran. Pada umumnya, baik pola kemitraan maupun pola man-diri, lembaga pemasaran yang terlibat adalah pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Sifat yang membedakan pedagang perantara ayam ras pedaging adalah besarnya modal yang dicirikan dengan skala atau

kapasitas pembelian. Kapasitas pembe-lian untuk pedagang pengumpul adalah 1.000 kg – 1.500 kg atau setara dengan

550 – 800 ekor ayam hidup dengan

menggunakan alat angkut mobil pick-up. Kapasitas pembelian pedagang besar adalah 2.600 kg – 3.000 kg atau setara

dengan 14.000 – 1.700 ekor ayam hidup

dengan menggunakan alat angkut berupa truk sedangkan kapasitas pembelian pe-dagang pengecer adalah 700 kg – 900 kg atau setara dengan 380 – 500 ekor.

Perbedaan pemasaran ayam ras pedaging antara pola kemitraan dengan pola mandiri terletak pada pola transaksi yang terjadi antara peternak dengan pedagang. Jika pada pola mandiri, peter-nak ayam ras pedaging dapat langsung bertransaksi dengan pembeli baik yang bertindak sebagai pedagang pengumpul, pedagang pengecer maupun konsumen akhir. Namun pada pola kemitraan, tran-saksi yang terjadi antara peternak dan pembeli (pedagang perantara) dilakukan secara tidak langsung melalui per-usahaan inti. Hal ini terjadi karena peter-nak peserta kemitraan telah terikat kontrak dengan dengan perusahaan inti bahwa peternak berkewajiban untuk menjual semua hasil produksi ternaknya kepada perusahaan inti. Pada pelaksa-naannya, perusahaan inti tidak mengum-pulkan hasil panen para peternak secara langsung namun dengan cara menjual delivery order (DO) kepada pedagang perantara yang kemudian mengambil ayam ras pedaging tersebut kemasing-masing peternak dengan membawa DO (sebagai bukti pengambilan barang). DO ini merupakan surat keterangan tentang jumlah ternak (ayam ras pedaging) yang dibeli dan dapat diambil oleh pedagang perantara dilokasi peternakan yang

be-kerjasama dengan perusahaan inti.

Melalui DO ini juga pedagang perantara, khususnya pedagang besar dan peda-gang pengumpul dapat mengambil ayam ras pedaging dibeberapa lokasi peter-nakan sampai jumlah ternak yang diambil dari peternak kemitraan sesuai dengan jumlah yang diberli dari perusahaan inti.

Adanya perbedaan mekanisme pe-nyaluran ayam ras pedaging dari

(7)

peter-nak kepada konsumen diantara pola kedua usahaternak tersebut maka salu-ran pemasasalu-ran ayam ras pedaging pola kemitraan memiliki rantai pemasaran yang lebih panjang dibandingkan dengan pola mandiri karena adanya keterlibatan perusahaan inti dalam proses pema-saran. Rantai pemasaran ayam ras pe-daging peternakan pola mendiri memiliki empat pola saluran sedangkan pola kemitraan hanya memiliki tiga pola salu-ran pemasasalu-ran. Berikut ini dijelaskan masing-masing rantai pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri dan pola kemitraan.

Saluran pemasaran ayam ras peda-ging pada pola mandiri adalah:

1) Peternak menjual hasil ternaknya kepada pedagang pengumpul, yang datang kelokasi peternakan dengan menggunakan mobil pick up. Kapa-sitas angkut rata-rata untuk mobil pick up adalah 800 kg ayam hidup sehingga untuk satu kali pembelian biasanya pedagang pengumpul me-lakukan dua kali pengambilan ba-rang. Terlihat bahwa sebagian besar volume produksi ayam ras pedaging peternak mandiri dijual kepada peda-gang pengumpul yaitu 57,58 persen. Pada umumnya pembayaran dilaku-kan pada saat bersamaan dengan pengambilan ayam ras pedaging atau dengan kata lain transaksi

an-tara pedagang pengumpul dan

peternak dilakukan secara tunai. Alasan peternak untuk melakukan transaksi tunai ini adalah karena peternak membutuhkan uang sece-patnya sebagai modal untuk mela-kukan proses produksi kembali. Dari para pedagang pengumpul ini, seba-gian ayam ras pedaging didistri-busikan kepada pedagang besar di Wilayah Surakarta yaitu di Kabu-paten Sukoharjo dan Solo (15,15 persen). Selanjutnya pedagang be-sar akan menjual ayam ras pedaging tersebut ke para pedagang pengecer yang ada di pasar-pasar tradisional untuk di jual kembali kepada konsu-men akhir. Ayam ras pedaging yang di jual dari pedagang pengecer

kepa-da konsumen akhir kepa-dapat berbentuk ayam hidup maupun dalam bentuk karkas tergantung pada permintaan konsumen.

2) Peternak menjual ayam ras pedaging kepada pedagang pengumpul yang langsung mendatangi peternak dilo-kasi peternakan. Dari pedagang pe-ngumpul ini sebagian besar (42,43 persen) ayam ras pedaging ini lang-sung didistribusikan kepada para pedagang pengecer yang ada di pasar-pasar di Kabupaten Karang-anyar. Ayam-ayam yang dijual oleh pedagang pengumpul kepada peda-gang pengecer, biasanya telah dipo-tong dan dibersihkan terlebih dahulu atau dengan kata lain dijual dalam bentuk karkas sehingga pedagang pengecer bisa langsung menjualnya kekonsumen akhir.

3) Selain menjual hasilnya kepada pe-dagang pengumpul, peternak juga menjual ayam ras pedaging kepada pedagang pengecer yang menda-tangi peternak di lokasi peternakan

(37,88%) dengan menggunakan

mobil pick up. Pedagang pengecer kemudian menjual ayam ras pe-daging tersebut kepada konsumen akhir di pasar tradisional dalam bentuk karkas.

4) Sebagian kecil dari hasil produksi ayam ras pedaging (4,54 persen) dipasarkan tanpa melalui pedagang perantara tetapi langsung dijual ke-pada konsumen akhir. Namun pola pemasaran ini tidak terjadi setiap musim panen tiba karena pembelian oleh konsumen akhir sifatnya kon-disional seperti adanya acara-acara hajatan yang membutuhkan ayam ras pedaging dalam jumlah relatif besar sehingga konsumen langsung membeli dari peternak untuk mem-peroleh harga yang lebih murah dibandingkan bila mereka membeli dari pedagang pengecer di pasar. Tidak semua konsumen bisa lang-sung membeli dari peternak, hanya konsumen-konsumen yang dikenal oleh peternak dan umumnya konsu-men akhir ini merupakan tetangga,

(8)

teman atau kerabat dari peternak tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa seluruh hasil produksi usaha ternak pola kemit-raan dijual kepada perusahaan inti sebe-lum didistribusikan kepada agen-agen lain. Pada umumnya, pedagang-peda-gang perantara yang terlibat telah memiliki hubungan kerjasama dengan perusahaan inti. Setelah terjadi kesepa-katan harga dan transaksi antara perusa-haan inti dengan para pedagang peran-tara, perusahaan inti akan menerbitkan delivery order (DO) yang berisi jumlah ayam ras pedaging yang dibeli dan DO inilah yang kemudian digunakan untuk mengambil barang (ayam ras pedaging) di lokasi peternakan para peternak mitra. Saluran pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan adalah:

1) Produksi ayam ras pedaging pada usahaternak pola kemitraan, 30,13 persen diantaranya dijual oleh perusahaan inti kepada para peda-gang pengumpul. Setelah dari pedagang pengumpul, ayam ras pedaging ini dijual kepada peda-gang besar untuk kemudian dijual kembali kepada para pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di wilayah Sukoharjo dan Solo. Pada umumnya pedagang penge-cer menjual ayam ras pedaging kepada konsumen akhir dalam ben-tuk karkas sehingga pedagang

pe-ngecer melakukan pemotongan

ayam terlebih dahulu sebelum dibawa ke pasar-pasar.

2) Proporsi terbesar dari produksi ayam ras pedaging milik peternak pola kemitraan (41,02%), didistri-busikan oleh perusahaan inti kepa-da para pekepa-dagang besar yang ber-asal dari luar Kabupaten Karang-anyar. Pedagang-pedagang besar ini akan mendidistribusikan dan menjual ayam-ayam tersebut

kepa-da konsumen di luar wilayah Sura-karta seperti JaSura-karta dan Bali sehingga ayam-ayam tersebut diju-al dan dibawa ddiju-alam bentuk ayam hidup. Sebelum sampai kepada konsumen akhir, ayam-ayam terse-but akan dibeli(ditampung) oleh distributor-distributor di masing-masing wilayah. Karena dalam penelitian ini, wilayah pemasaran dibatasi hanya di wilayah Surakarta maka untuk ayam ras pedaging yang di jual di luar wilayah Sura-karta diasumsikan langsung didistri-busikan kepada konsumen akhir. 3) Sebagian dari produksi usaha

ter-nak ayam ras pedaging pola kemit-raan dijual langsung oleh perusa-haan inti kepada para pedagang pengecer (28,85 persen). Pedag-ang pengecer ini menjual ayam-ayam tersebut kepada konsumen akhir di pasar-pasar di wilayah

Kabupaten Karanganyar dalam

bentuk karkas.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta

Direktorat Jenderal Peternakan. 2002. Statistik Peternakan. Departemen

Peternakan Rebuplik Indonesia,

Jakarta.

Purba, H.J. 1999. Keterkaitan Pasar Jagung dan Pasar Pakan Ternak Ayam Ras di Indonesia: Suatu

Analisis Simulasi. Tesis [Tidak

dipublikasikan]. Program Pascasar-jana Insititut Pertanian Bogor. Bogor. Suryana, A.,K.Dwiyanto,A. Priyanti,A.R.

Setioko,Y.Yusdja dan R.A.

Saptati.2005. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian Dan

Pengem-bangan Pertanian, Departemen

Gambar

Tabel 1  Perbandingan  biaya,  penerimaan  dan  pendapatan  usaha  ternak  ayam  ras     pedaging antara pola mandiri dan pola kemitraan, tahun 2003

Referensi

Dokumen terkait

Belajar dari perkembangan penguasaan bahasa nasional dan daerah di Indonesia, penciptaan lingkungan yang kondusif menjadi alternatif dalam pembelajaran bahasa Arab

Dalam percakapan tersebut Nabi Ibrahim meminta dengan halus dan penuh kasih sayang kepada anaknya Ismail, hal tersebut ditandai dari kalimat-kalimat yang tidak

Based on stuines of the products developed by the researchers, there are some conclusions that are outlined as follows: 1) the results of development in this research in the form

Penelitian yang dilakukan peneliti sekarang adalah “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Treffinger Berbantuan LKS dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah yang sangat luar biasa sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik yang berjudul

Permasalahan yang diangkat oleh peneliti yaitu bagaimana mewujudkan sebuah sistem SCADA water level control tanpa menggunakan modul expansion analog to digital PLC

Titik-titik tersebut memiliki tingkat kebisingan yang tinggi karena untuk titik 2, 3, dan 4 berada di pinggir jalan dan di tandai dengan kontur berwarna merah, dan titik 6 dan 9

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis , evaluasi harga serta evaluasi penilaian kualifikasi penawaran oleh Pokja Pengadaan Barang/Jasa Bidang Cipta Karya