• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Demokrasi Indonesia Dalam Film Democracy Is Yet To Learn Karya Adyatmika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Demokrasi Indonesia Dalam Film Democracy Is Yet To Learn Karya Adyatmika"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI DEMOKRASI INDONESIA DALAM FILM DEMOCRACY IS YET TO LEARN KARYA ADYATMIKA

(Studi Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Representasi Demokrasi Indonesia Dalam Film Democracy Is Yet To learn Karya Adyatmika )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Sarjana (S1) Pada Program Studi

Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Oleh

FAJAR NUGRAHA 41809767

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

(2)
(3)
(4)

125

Daftar Riwayat Hidup

A. Identitas Diri

Nama : Fajar Nugraha

Alamat : Gg. Palm 2 No. 39 Rt/ Rw 07/13 Sadang serang Bandung

Nomor Telephone : 085722088077

Email : nugrahafajar11@gmail.com

Jenis Kelamin : Laki - laki

Tanggal Kelahiran : Bandung, 11 Juni 1991

Umur : 22 tahun

Status : Belum Menikah

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Hobby : Traveling, Photography

B. Pendidikan Formal

(5)

126

2006 – 2009 : SMA Pasundan 2 Bandung 2003 – 2006 : SMP Nasional Bandung 1997 – 2003 : SDN Neglasari 5 Bandung C. Pengalam Organisasi

2012 – sekarang : Anggota Taman Baca Warung Imajinasi D. Pengalaman Kerja

Juli – Agustus 2013 : Magang di TVRI Jawa Barat & Banten 2011 – Sekarang : Reporter & Photograper di

(6)

x DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABLE…. ... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang Masalah... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.2.1 Rumusan Masalah Makro... 1.2.2 Rumusan masalah Mikro... 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 1.3.1 Maksud Penelitian... 1.3.2 Tujuan Penelitian... 1.4 Kegunaan Penelitian... 1.4.1 Kegunaan Teoritis... 1.4.2 Kegunaan Praktis...

(7)

xi

1.4.2.1 Kegunaan Bagi Peneliti... 1.4.2.2 Kegunaan Bagi Universitas... 1.4.2.3 Kegunaan Bagi Creator Film... 1.4.2.4 Kegunaan Bagi Masyarakat... BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 2.1 Tinjauan Pustaka... 2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu... 2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi... 2.1.2.1 Pengertian Komunikasi... 2.1.2.2 Sifat Komunikasi... 2.1.2.3 Komunikasi Verbal... 2.1.2.4 Komunikasi Non verbal... 2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa... 2.1.3.1 Karakteristik Komunikasi Massa... 2.1.3.2 Fungsi Komunikasi Massa... 2.1.4 Tinjauan Tentang Film ... 2.2 Kerangka Pemikiran...

2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 2.2.1.1 Semiotik ... 2.2.1.1.1 Semiotik John Fiske ... 2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 2.2.2.1 Representasi... 2.2.2.2 Demokrasi ...

(8)

xii

2.2.2.3 Film... 2.2.2.3.1 Pengertian Film... 2.2.2.3.2 Film Independen... BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN... 3.1 Objek Penelitian... 3.1.1 Sinopsis Film Democracy is yet to learn... 3.1.2 Tim Produksi Film Democracy is yet to learn... 3.1.2 Sequence Film Democracy is yet to learn...

3.2 Metode Penelitian... 3.2.1 Desain Penelitian... 3.2.2 Teknik Pengumpulan Data... 3.2.2.1 Studi Pustaka... 3.2.2.2 Studi Lapangan... 3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 3.2.4 Teknik Analisa Data... 3.2.5 Uji Keabsahaan Data... 3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian... 3.2.6.1 Lokasi Penelitian... 3.2.6.2 Waktu Penelitian... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN... 4.1 Data Informan... 4.2 Hasil Penelitian ... 4.2.1 Level Realitas...

(9)

xiii

4.2.2 Level Representasi... 4.2.3 Level Ideologi... 4.2.4 Hasil Analisis pada Sequence Prolog... 4.2.4 Hasil Analisis pada Sequence Ideological Content... 4.2.4 Hasil Analisis pada Sequence Epilog... 4.3 Pembahasaan ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 4.1 Kesimpulan... 4.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA... DAFTAR RIWAYAT HIDUP...

(10)

xiv DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kode-kode Televisi John Fiske ... Gambar 2.2 Model Kerangka Pemikiran...

(11)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... Tabel 3.1 Sequence film Democracy is yet to learn... Tabel 3.2 Informan Penelitian... Tabel 3.3 Waktu dan Kegiatan Penelitian... Tabel 4.1 Sequence Prolog... Tabel 4.2 Sequence Ideological Content... Tabel 4.3 Sequence Epilog...

(12)

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 (Persetujuan Menjadi Pembimbing Skripsi)……… Lampiran 2 (Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti UP).………..

Lampiran 3 (Berita Acara Bimbingan)... Lampiran 4 (Pengajuan Pendaftaran Seminar UP Skripsi)………. Lampiran 5 (Lembar Revisi)………...

Lampiran 6 (Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Sidang)…….

Lampiran 7 (Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sarjana)………...

Lampiran 8 (Lembar Revisi Skripsi)………...

Lampiran 9 (Pedoman wawancara Informan Pertama) ... Lampiran 10 (Pedoman wawancara Informan Kedua)... Lampiran 11 (Dokumentasi) ...

(13)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadiratAllah SWT karena atas rahmat, dan hidayah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini, dengan judul “REPSENTASI DEMOKRASI INDONESIA DALAM FILM DEMOCRACY IS YET TO LEARN (Analisis Semiotika Jhon Fiske mengenai

Repsentasi Demokrasi Indonesia dalam Film Democracy Is Yet To Learn)”. Penelitian ini merupakan syarat kelulusan Sidang Skripsi Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung.

Melalui proses bimbingan, dukungan, serta bantuan dari semua pihak, peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua Bapak Tatang dan Ibu Tati Maryati, Serta Kakak Siska dan Sandi Yuda Putra yang tidak pernah berhenti mendoakan, memberi perhatian, kasih sayang, dan dorongan baik moril maupun materil.

(14)

vii

1. Yth. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM).

2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat M. Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia yang juga merupakan dosen wali peneliti yang telah memberikan nasihat, saran, motivasi serta izin untuk melakukan ujian sarjana (S1).

3. Yth. Ibu Melly Maulin P. S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Komputer Indonesia, yang telah banyak membimbing, mengajarkan dan memberikan motivasi penuh kepada peneliti.

4. Yth. Bapak Inggar Prayoga. S.Ikom selaku dosen wali, yang telah memberikan arahan serta saran dan kritik yang membangun kepada peneliti selama berada di kampus Unikom.

5. Yth Bapak Wiki Wiksana, S.Sos.,M.Si selaku dosen pembimbing pada proposal usulan penelitian ini, yang telah banyak memberikan arahan, serta ilmunya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(15)

viii

7. Yth. Seluruh Bapak/ Ibu Dosen Luar Biasa Program Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unikom, yang telah memberikan dukungan, pikiran, tenaga, saran, dan waktu serta pengajaran yang baik selama peneliti mengikuti perkuliahan.

8. Yth. Ibu Astri Ikawati., A.Md., Kom., selaku sekertariat Program studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations FISIP UNIKOM, yang telah membantu kelancaran administrasi.

9. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman tercinta dan seperjuangan,Keluarga besar IK-Jurnal 2 '09, IK – Jurnal 2 '10,IK – Jurnal ‘10, Ilmu Komunikasi ’09, ’10, ’11 Unikom, Bara 137, kosan 22, UKM Mandiri, Kopi Item Production, Dulibon, Gagak House, Warung Leutik dan jajarannya.

10.Tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas dukungan dan motivasinya kepada sahabat saya, Feratry Salindiri, Fini Amalia, Nurul Fitri, Rifan, Meliyani, Wellie, Goegah, Yehezkiel, Pramono, Ergan, Rizman, Regiansyah, Isal rahmat, Ibo, Boril, Adelina, Dhiana, Uney, Keluarga besar TRIKUMBARA, Keluarga besar CIA, Keluarga besar Palemdan semua yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dalam skirpsi ini terima kasih banyak.

(16)

ix

penelitian ini, peneliti mengharapkan koreksi dan saran dari pembaca serta menerima masukan dan kritik tersebut dengan pikiran dan hati terbuka, sehingga di masa yang akan datang propsal ini dapat menjadi bahan yang lebih baik, lebih menarik dan lebih bermanfaat lagi, Amin.

Bandung, Agustus 2014

Peneliti

(17)

106

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Januarius. 2013. Shooting yang Benar. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET. Amir, Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: matahari

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Croteau, David dan William Hoynes. 2000. Media/Society : Industries, Images, and Audiences. London: Pine Forge Press

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra.

Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Fiske, John. 1987. Television Culture.E-book :British Library Cataloguing in Publication Data

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Martiana, Anna. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: UPT Bidang Studi Universitas Padjajaran

Satori, Djam’an. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

(18)

107

Sumarsono, S. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

B. INTERNET :

1. https://www.youtube.com/watch?v=uGIVYm-v3kM 2. http://elib.unikom.ac.id

C. KARYA ILMIAH

Berry Arneldi, 2013. Representasi waktu dalam film “In Time” Bandung: Universitas Komputer Indonesia.

Edwina Ayu Dianingtyas, 2010. Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A.Kartini. Semarang : Universitas Diponogoro

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

Film Democracy is Yet to Learn (Demokrasi Masih Belajar) salah satu film pendek atau film indie garapan sineas muda Adhyatmika, seorang pemuda asal Bintaro, Jakarta, yang memenangi kompetisi tahunan Democracy Video Challenge (DVC) 2010 di Amerika Serikat. Film bergenre comedy dengan durasi

dua menit sepuluh detik ini menceritakan tentang demokrasi yang ada di Negara Indonesia.

Film Democracy is Yet to Learn memceritakan suatu gambaran dari sistem pemeritahan yang di anut oleh Indonesia yaitu Demokrasi. Dimana sutradara membuat setting tempat di dalam kelas, diawali dari seorang guru menulis pertanyaan dipapan tulis “demokrasi adalah ?” dan menanyakannya ke pada para murid, dimana para murid ini berjumlah 10 orang, namun sayang semua murid ini hanya dapat melempar tanggung jawab tanpa ada yang bisa menjawab.

(20)

2

demokrasi. Maka terlihat jelas penggambaran dalam setiap adegan jauh dari nilai demokrasi, nilai tersebut sepetinya telah hilang oleh murid yang memiliki kekuasan dan kekuataan.

Film Democracy is Yet to Learn secara berani, jujur, dan apa adannya dalam mengemas sebuah cerita melalui adegan atau jalan cerita yang tentunya ada di sekitar kita dan itu terjadi. Pesan yang disampaikan oleh sutradara sangat mudah di mengerti oleh khayalak Hal tersebutlah yang mendasari peneliti mengangkat film Democracy is Yet to Learn tersebut pada penelitian ini1.

Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, memang merupakan fenomena baru di negeri ini, yang muncul dari formasi Republik Indonesia Merdeka. Kerajaan – kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal, yang di kuasi oleh raja – raja. Meskipun demikian nilai – nilai demokrasi hingga taraf tertentu telah berkembang dalam budaya nusantara, dan di praktikan setidaknya dalam unit politik kecil.

Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh di bumi Nusantara. Di alam minangkabau, misalnya. Pada abad 14 sampai 16 kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup terkenal di masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, menurutnya, raja sejati di dalam kultur minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patut-lah yang jadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditoalak bila

1

(21)

3

bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip – prinsip keadilan. (Latif, 2012:387)

Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikan negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup ( Soekarno, 1 juni 1945) ( Latif, 2012:383)

Kita mengetahui tradisi atau budaya yang ada di negara ini dari dulu hingga kini yaitu musyawarah mencapai mufakat yang di pegang teguh oleh seluruh masyarakat indonesia sejak dahulu, musyawarah mencapai mufakat ini lah sebuah bentuk atau nilai – nilai demokrasi yang ada di Indonesia.

Indonesia pun memiliki system demokrasi yang menurut Sri Soemantri adalah, “ demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam purmasyawaratan / perwakilan yang mengandung semangat ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial. (somarsono, 2001:30)

(22)

4

jelas dalam demokrasi ialah bebasnya berpendapat di muka umum. Karena itulah masyarakat harus lebih melihat keadaanya nyata akan demokrasi yang ada di Indonesia.

Film menjadi media komunikasi yang disenangi semua kalangan untuk mendapatkan ilmu dan wawasan serta menjadi sarana efektif untuk proses pembelajaran, dewasa ini film menjadi alat untuk memberikan gagasan atau penyampaian pesan ideologi pada masyarakat luas.

Harus kita akui bahwa hubungan antara film dan masyrakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee, misalnya menyebutkan,” film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur – unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang dibikin lenyap. Ini berarti dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur – unsur teknik, politik, ekonomi, sosial, dan demografi yang merintangi kamajuan surat kabar masa petumbuhannya (Sobur, 2006:126).

Film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindahkan” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu . sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali”

(23)

5

Tidak hanya film berskala besar saja yang dapat di produksi, namun film dengan skala kecil atau secara swadaya pun untuk saat ini banyak bermunculan. Mereka menyebut dirinya sebagai sineas film indie atau independen, dengan di bantu teknologi komunikasi saat ini yang semakin canggih, sebut saja salah satunya yaitu youtube. Salah satu situs yang dapat di akses memlualui jaringan internet yang didalamnya terdapat berbagai macan tentang video. Karena itu juga industry film indie semakin banyak bermunculan dan secara bebas dapat kita tonton di situs tersebut.

Karena tidak adanya batasan dalam pembuatan film indie di tambah teknologi, tentunya sineas yang berkecipung dalam film indie dapat mengexplor lebih luas, tanpa ada batasan dalam menyampaian informasi wacana intelektual. Banyak sekali karya yang telah di buat oleh sineas muda dan tidak sedikit dari mereka mengikuti sebuah kompetisi, salah satunya adalah film Democracy is Yet to Learn.

(24)

6

dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2009:15).

Menurut John Fiske, Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: Pertama, Tanda itu sendiri. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dilambangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. (Fiske, 2007:60)

John Fiske dalam bukunya Television Culture merumuskan teori “The Codes of Television” yang menyatakan peristiwa yang dinyatakan telah di-enkode oleh kode-kode sosial. Pada teori The Codes of Television John Fiske merumuskan tiga level proses pengkodean : 1) Level realitas 2) Level representasi dan 3) Level Ideologi. Maka dari itu proses pengkodean Fiske tersebut dapat menjadi acuan sebagai pisau analisa peneliti dalam mengungkap representasi Demokrasi dalam film Democracy is Yet to Learn.

(25)

7

disampikan kepada komunikannya dengan maksud tertentu. Untuk itu komunikator menterjemahkan gagasan tersebut menjadi simbol-simbol (proses encoding) yang selanjutnya disebut pesan (message). Pesan tersebut disampaikan melalui saluran (channel) tertentu misalnya dengan bertatap muka langsung, telepon, surat, dst. Setelah pesan sampai pada penerima, selanjutnya terjadi proses decoding, yaitu menafsirkan pesan tersebut. Setelah itu terjadilah respon pada

penerima pesan.

Pihak-pihak yang melakukan komunikasi, terutama pengirim pesan pasti mengehendaki tujuan komunikasi yang dilakukannya membawa hasil yaitu pesan dapat diterima dan dipahami oleh pihak penerima pesan dan memberikan respon terhadap apa yang disampaikan pihak penerima sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penerima. Untuk itu berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi harus dipertimbangkan dan salah satu diantaranya adalah faktor encoding.

“Dalam komunikasi pihak penyampai pesan bukan hanya mempertimbangkan pesan apa yang akan disampaikan tetapi juga bagaimana menyampaikannya. Oleh karena itu pihak penyampai pesan harus tepat dalam mengemas pesannya. Proses pengemasan pesan dalam komunikasi disebut encoding (Hardjana, 2003: 13)”.

Dengan encoding, pengirim atau penyampai pesan memasukkan atau mengungkapkan pesannya ke dalam kode atau lambang baik secara verbal atau non verbal. Dalam encoding, ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh penyampai pesan, yaitu :

(26)

8

2. Menterjemahkan dengan baik dan benar gagasan yang akan disampaikan menjadi isi pesan.

Dalam kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske dalam bukunya “Television Culture” (1987:5), bahwa peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah di-encoding oleh kode-kode sosial yang terbagi dalam tiga level sebagai berikut :

1. Level Pertama adalah Realitas (reality)

Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah appearance (penampilan), dress (kostum), make–up (riasan), environment (lingkungan), behavior

(kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara), dan lain-lain.

2. Level Kedua adalah Representasi (representation)

Kode-kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah kode teknis, yang melingkupi camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), dan sound (suara), serta kode representasi konvensional

yang terdiri dari naratif; konflik; karakter; aksi; dialog; setting dan casting. 3. Level Ketiga adalah Ideologi (ideology)

Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah individualisme (individualism), feminisme (feminism), ras (reins), kelas (class), materialisme (materialism), demokrasi (demokrasi), dan lain-lain.

(27)

9

Democracy Is Yet To Learn ini peneliti melihat terdapat adegan-adegan yang

mengkonstruksi kehidupan sehari-hari, diantaranya terdapat perbedaan kelas-kelas baik dalam segi penampilan dari ke-10 siswa, namun mereka tetap berada pada lingkungan atau ruang lingkup sistem demokrasi yang di anut oleh negara Indonesia pada film Democracy Is Yet To Learn.

Dalam kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske dalam bukunya “Television Culture” (1987:5), bahwa peristiwa yang ditayangkan dalam

dunia televisi telah di encoding oleh kode-kode sosial yang terbagi dalam tiga level yaitu realitas, representasi dan ideologi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti memasukan teori jhon fiske dengan tiga level tersebut kedalam film democracy is yet to learn.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengambil rumusan masalah melalui pertanyaan makro dan pertanyaan mikro.

1.2.1. Pertanyaan Makro

(28)

10

1.2.2. Pertanyaan Mikro

Untuk menjelaskan pertanyaan makro di atas, maka peneliti menjabarkan pertanyaan tersebut ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik.

1. Bagaimana Level Realitas Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn ?

2. Bagaimana Level Representasi Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn?

3. Bagaimana Level Ideologi Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn?

1.3. Maksud dan Tujuan Peneliti 1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari peneliti dalam melakukan penelitian ini ialah untuk mengetahui, menjelaskan dan mendeskripsikan Untuk Mengetahui Representasi Demokrasi dalam Film Democracy is Yet to Learn. 1.3.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui Level Realitas Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn.

(29)

11

3. Untuk mengetahui Level Ideologi Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn.

1.4. Keguanaan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, keguanaan teoritis dan kegunaan praktis.

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi, secara umum dibidang Jurnalistik maupun secara khusus mengenai semiotika John Fiske yang terdapat dalam sebuah karya film.

1.4.2. Kegunaan Praktis 1.4.2.1. Bagi Peneliti

Kegunaan penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti yakni, sebagai sarana untuk menambah wawasan juga pengetahuan dalam mengaplikasikan ilmu, yaitu mengkaji langsung mengenai analisis semiotik yang terdapat dalam sebuah karya film.

1.4.2.2. Bagi Universitas

(30)

12

menganalisis suatu nilai yang terepresentasi melalui sebuah karya film.

1.4.2.3. Bagi Creator Film

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para creator film maupun pihak-pihak yang berkonsentrasi dalam bidang perfilman untuk mengembangkan karya film bermutu yang memberikan pemahaman kepada khalayak sebagai penikmat film

1.4.2.4. Bagi Masyarakat

(31)

102 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah menganalisis setiap kategori sequence dalam film Democracy is yet to learn, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa usaha untuk

menggambarkan demokrasi Indonesia dalam film tersebut dilakukan dengan memadukan kode-kode dalam level realitas, level representasi dan menggabungkan keduanya sehingga muncul dalam level ideologi seperti yang terdapat dalam The Codes of Television John Fiske. Berdasarkan hasil deskripsi dari bab sebelumnya mengenai analisis semiotika tentang representasi demokrasi Indonesia dalam film Democracy is yet to learn, peneliti pada bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran-saran yang sekiranya dapat menjadi bahan pertimbangan untuk hal yang lebih baik lagi ke depannya.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu pada bab IV, diantaranya :

(32)

103

Pada Level Representasi ditunjukan melalui kode gerakan dan ekspresi ketika konflik mulai terjadi, dimana murid saling menjatuhkan satu sama lain, saling berebut untuk menjadi yang terbaik, dan saling serang tanpa ada solusi pada akhirnya. Dimana sikap seperti itu jauh dari sistem demokrasi yang sudah ada, jika kita lihat sistem demokrasi indonesia saat ini adalah gambaran pada sequence ideological content , namun jauh sebelum sistem demokrasi Indonesia yang berubah menjadi sistem yang terlihat seperti kapitalis ini, negara Indonesia telah membentuk butir – butir sistem demokrasi yang berbeda dengan demokrasi barat yaitu sebuah sistem yang berpedoman pada pancasila dimana terbentuk sila ke 4 yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan. Dengan kata lain pemusyawaratan perwakilan yang memberi hidup.

(33)

104

5.2 Saran

5.2.1 Saran Bagi Akademis

1. Analisis semiotik merupakan sebuah analisis yang tepat untuk meneliti sebuah komunikasi yang banyak dibangun oleh tanda-tanda, dalam hal ini misalnya komunikasi massa yang berbentuk film. Oleh karena itu, penelitian mengenai kedalaman makna serta tanda sepatutnya perlu dikembangkan kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat memaknai bentuk-bentuk komunikasi, khususnya komunikasi massa (film). Sehingga mahasiswa pada akhirnya mampu memberikan kontribusi yang baik bagi perkembangan perfilman di Indonesia.

(34)

105

5.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya

(35)

REPRESENTASI DEMOKRASI INDONESIA DALAM FILM DEMOCRACY IS YET TO LEARN KARYA ADYATMIKA

(Studi Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Representasi Demokrasi Indonesia Dalam Film Democracy Is Yet To learn Karya Adyatmika )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Sarjana (S1) Pada Program Studi

Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Oleh

FAJAR NUGRAHA 41809767

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

(36)

ABSTRACT

REPRESENTATION OF INDONESIA DEMOCRACY IN A DEMOCRACY IS YET TO

LEARN MOVIE CREATION BY ADYATMIKA

(Analysis John Fiske’s Semiotic of the Representation Of Indoensia Democracy In A Democracy Is Yet To Learn Movie Creation By Adyatmika)

By:

Fajar Nugraha

NIM. 41809767

This essay under guidance of

Wiki Wiksana, S.Sos.,M.Si

This research purpose to find out the meaning of semiotic about message of

Indonesia democracy who contained in the Democracy Is Yet Tolearn film, to analyze what

are the meanings contained in Democracy Is Yet To learn film related to Indonesia

democracy message, that is reality level, representation level, ideology level which is the

codes of television John Fiske.

This is qualitative research by using John Fiske's semiotic analityc. data collection

technique is using interview, documentation study, literature, and online data research. the

analyzed object is sequence that is contain in Democracy Is Yet Tolearn film by taking three

sequence that is Prologue sequence, Ideological content, Epilogue sequence, who

representing three levels: reality level, representation level, and ideology level.

At the level of reality described the diversity of a profession in a class of which have

a system that develops in society, the level of representation cover the occurrence of clashes

between profession, conflict where competition and taste ruling is very felt, and the last

(37)

learn from plularisme, capitalism to democracy, this ideal form a system: democracy still

learning.

A message that want to be delivered in a film democracy is yet to learn is a the

democratic system where the system is still needed to be in fix and still have to learn again

until the invention democracy which is proper for the state indonesia.saran in research is

expected to contribute some ideas and the notion of scientific study, on a logician especially

in a media film-business.Ultimately this research is also expected to give rise to

consciousness that the democratic system we are not democracy west but 's consultative /

representatives who gives life.

Key Word : Democracy Is Yet To learn, Semiotika, john fiske, Representation Of Indoensia

Democracy

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Film Democracy is Yet to Learn (Demokrasi Masih Belajar) salah satu film pendek atau film indie garapan sineas muda Adhyatmika, seorang pemuda asal Bintaro, Jakarta, yang memenangi kompetisi tahunan Democracy Video Challenge (DVC) 2010 di Amerika Serikat. Film bergenre comedy

dengan durasi dua menit sepuluh detik ini menceritakan tentang demokrasi yang ada di Negara Indonesia.

(38)

semua murid ini hanya dapat melempar tanggung jawab tanpa ada yang bisa menjawab.

Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, memang merupakan fenomena baru di negeri ini, yang muncul dari formasi Republik Indonesia Merdeka. Kerajaan – kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal, yang di kuasi oleh raja – raja. Meskipun demikian nilai – nilai demokrasi hingga taraf tertentu telah berkembang dalam budaya nusantara, dan di praktikan setidaknya dalam unit politik kecil.

Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh di bumi Nusantara. Di alam minangkabau, misalnya. Pada abad 14 sampai 16 kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup terkenal di masa itu bahwa “Rakyat ber -raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, menurutnya, -raja sejati di dalam kultur minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patut-lah yang jadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditoalak bila bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip – prinsip keadilan. (Latif, 2012:387)

2. Rumusan Masalah Makro

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengambil rumusan masalah melalui pertanyaan makro dan pertanyaan mikro. “Bagaimana representasi demokrasi Indonesia dalam Film Democracy is Yet to Learn ?

3. Rumusan Masalah Mikro

(39)

1. Bagaimana Level Realitas Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn ?

2. Bagaimana Level Representasi Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn?

3. Bagaimana Level Ideologi Demokrasi Indonesia dalam film Democracy is Yet to Learn?

II. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui representasi Demokrasi dalam Film Democracy is Yet to Learn. Film merupakan salah satu komunikasi massa yang cukup ampuh untuk menyampaikan pesannya terhadap khalayak luas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan desain analisis Semiotika John Fiske.

Dalam teori semiotika, pokok studinya adalah tanda atau bagaimana cara tanda – tanda itu bekerja juga dapat disebut semiologi. Tanda – tanda itu hanya mengemban arti pada dirinya sendiri, dengan kata lain jika diterapkan pada tanda – tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.

III. PEMBAHASAN

Berdasarkan uraian analisis peneliti di atas, dapat dilihat bahwa tidak semua kode merepresentasikan kapitalisme dalam film Democracy Is Yet To Learn. Kode-kode yang muncul, seperti kode penampilan, ekspresi dan dialog

(40)

kode-kode yang lain, seperti kode lingkungan, kostum, gesture, musik, suara, tata rias, kamera, pencahayaan dan lain sebagainya. Walaupun kode-kode tersebut sebagai penunjang, namun keberadaan kode-kode tersebut tidak dapat dihilangkan keberadaannya, karena kode-kode penunjang berfungsi sebagai alat kesatuan yang menyatukan keselarasan antara satu kode dan kode lainnya dalam film tersebut, sehingga penonton dapat melihat peristiwa yang terjadi dalam film sebagai sesuatu yang nyata dan Demokrasi yang di anut Indonesia dalam film dapat ditangkap dan dipahami.

Dari perpaduan kode-kode yang saling melengkapi untuk menyampaikan makna film Democracy Is Yet To Learn, maka peneliti melihat film Democracy Is Yet To Learn ini sesuai dengan The Codes of Television yang

dituliskan oleh John Fiske dalam bukunya Television Culture. Fiske menjelaskan bahwa “realitas” dapat dikodekan, atau lebih tepatnya satu -satunya cara penonton dapat melihat dan menganggap film sebagai suatu realitas ketika kode-kode dalam film tersebut sesuai dengan budaya yang berlaku. Pada film Democracy Is Yet To Learn ini, dapat dilihat kode-kode yang telah dipaparkan pada pembahasan sub-bab sebelumnya, disusun sedemikian rupa agar dapat dipahami sebagai sebuah realitas dan makna yang ingin disampaikan dan dapat ditangkap oleh penonton dengan baik.

Berdasarkan uraian analisis peneliti di atas, dapat dilihat bahwa tidak semua kode merepresentasikan kapitalisme dalam film Democracy Is Yet To Learn. Kode-kode yang muncul, seperti kode penampilan, ekspresi dan dialog

(41)

tersebut sebagai penunjang, namun keberadaan kode-kode tersebut tidak dapat dihilangkan keberadaannya, karena kode-kode penunjang berfungsi sebagai alat kesatuan yang menyatukan keselarasan antara satu kode dan kode lainnya dalam film tersebut, sehingga penonton dapat melihat peristiwa yang terjadi dalam film sebagai sesuatu yang nyata dan Demokrasi yang di anut Indonesia dalam film dapat ditangkap dan dipahami.

Dari perpaduan kode-kode yang saling melengkapi untuk menyampaikan makna film Democracy Is Yet To Learn, maka peneliti melihat film Democracy Is Yet To Learn ini sesuai dengan The Codes of Television yang

dituliskan oleh John Fiske dalam bukunya Television Culture. Fiske menjelaskan bahwa “realitas” dapat dikodekan, atau lebih tepatnya satu -satunya cara penonton dapat melihat dan menganggap film sebagai suatu realitas ketika kode-kode dalam film tersebut sesuai dengan budaya yang berlaku. Pada film Democracy Is Yet To Learn ini, dapat dilihat kode-kode yang telah dipaparkan pada pembahasan sub-bab sebelumnya, disusun sedemikian rupa agar dapat dipahami sebagai sebuah realitas dan makna yang ingin disampaikan dan dapat ditangkap oleh penonton dengan baik.

(42)

Sebab itulah negara ini haruslah kembali berpedoman pada pancasila dan UUD dimana di dalamnya telah terkandung makna demokrasi indonesia yang sesungguhnya. Pada sila ke empat sudah sangat jelas mengatakan “ kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, yaitu kepemimpinan haruslah berpedoman pada permusyawaratan yang mencapai mufakat.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu pada bab IV, diantaranya :

Pada Level Realitas, demokrasi Indonesia ditunjukan melalui penampilan sepuluh murid di dalam kelas yang menggambarkan profesi atau pekerjaan yang ada di masyarakat Indonesia, berkumpul dalam latar sebuah kelas, mereka belajar dan bersusaha menjawab apakah demokrasi itu.

(43)
(44)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Januarius. 2013. Shooting yang Benar. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Amir, Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: matahari

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Croteau, David dan William Hoynes. 2000. Media/Society : Industries, Images, and Audiences. London: Pine Forge Press

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai

Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra.

Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Fiske, John. 1987. Television Culture.E-book :British Library Cataloguing in

Publication Data

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Martiana, Anna. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: UPT Bidang Studi

Universitas Padjajaran

Satori, Dja ’a . . Metode Pe elitia Kualitatif. Ba du g: Alfabeta

(45)

Sumarsono, S. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama

B. INTERNET :

1. https://www.youtube.com/watch?v=uGIVYm-v3kM

2. http://elib.unikom.ac.id

C. KARYA ILMIAH

Berry Arneldi, 2013. Representasi waktu dalam film “In Time” Bandung: Universitas Komputer Indonesia.

Edwina Ayu Dianingtyas, 2010. Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A.Kartini. Semarang : Universitas Diponogoro

Referensi

Dokumen terkait

factors, such as diction, language variety and figures of speech; second, to characterize non-linguistic factors (types of movies); and the last, how both

Kesimpulan yang didapat dari hasil pengujian hipotesis di atas adalah bahwa seluruh variabel bebas (harga volume per ton, PDB AS, dan nilai tukar Rupiah) berpengaruh signifikan

Pada mahasiswa perempuan Fakultas Psikologi yang sedang mengontrak Usulan Penelitian tahun akademik 2012/2013 di Universitas “X” Bandung akan lebih mengarahkan orientasi masa

Kesan siswa dalam mengikuti kegiatan pada sesi ini adalah siswa dapat. menamahami bahwa belajar bisa didapat dari mana saja, contohnya

Masalah yang menjadi fokus dari tulisan ini adalah bagaimana hukum wakaf bagi non muslim menurut mazhab hanafi dan maliki serta bagaimana kaitannya anatar pandangan mazhab

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelayanan prima secara parsial terhadap loyalitas nasabah BNI Syari’ah Cir ebon dan pengaruh tingkat kepuasan secara

Tujuan dari pembuatan tugas akhir ini merupakan persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains Terapan (SST) Jurusan Teknik Kimia Program Studi S1

• Perguruan tinggi berada pada lahan yang berada dalam 1 (satu) hamparan dengan luas paling sedikit 10.000 m2 untuk Universitas, 8.000 m2 untuk Institut, dan 5.000 m2 untuk