• Tidak ada hasil yang ditemukan

(PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar) I. Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar) I. Pendahuluan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 1

PENGALIHAN BELANJA BARANG KE BELANJA MODAL

Belanja barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan dinas.

Belanja modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

(PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar)

I. Pendahuluan

Anggaran yang memihak kepada rakyat ditandai dengan pengalokasian anggaran yang lebih

besar untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat. Kondisi anggaran negara yang terbatas dan dibatasi dengan anggaran yang bersifat mengikat menyebabkan ruang gerak fiskal pemerintah menjadi lebih sempit. Dengan demikian diperlukan penghematan dari jenis belanja yang tidak terlalu berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Gambar 1. Proporsi rata-rata Jenis Belanja Pemerintah Pusat terhadap Rata-rata Total Belanja pemerintah Pusat

pegawai 20% barang 12% modal 11% bunga utang 15% Subsidi 27% Bel. Lain 5% Hibah 0% Bansos 10%

Sumber : Data Pokok APBN 2005-2011, diolah

Gambar 1 menunjukkan besarnya proporsi belanja barang lebih besar daripada alokasi belanja modal. Padahal sebagaimana diketahui, belanja barang lebih ditekankan pada biaya operasional pemerintah sementara belanja modal merupakan murni investasi pemerintah. Banyak kalangan mengakui bahwa belanja modal mempunyai efek yang lebih besar untuk pembangunan. Belanja modal harus didorong sebesar mungkin karena efek percepatannya untuk pertumbuhan jauh lebih besar jika dikomparasikan dengan belanja barang atau pegawai.

(2)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 2

Menjadi masuk akal apabila muncul gagasan supaya di tahun-tahun mendatang pengalokasian belanja modal ini akan didorong lebih banyak lagi. Untuk meningkatkan belanja modal, pemerintah harus menekan atau menggeser belanja rutin yang sifatnya tidak efektif, misalnya saja biaya logistik koordinasi atau pembentukan kelompok kerja yang memakan biaya cukup besar. Namun pengalihan alokasi belanja ini menuntut suatu konsekuensi tersendiri untuk dapat menjadi efektif.

II.

Pengalihan

belanja

barang

kepada

belanja

modal

dan

konsekuensinya

2.1. Dasar Pengalihan

1. Efek pengganda (miltiplier effect) dari belanja barang dan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi

Setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah diharapkan mampu memberikan efek pengganda (multiplier efek) besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar efek pengganda yang ditimbulkan, maka pengeluaran tersebut dinilai memiliki utilitas yang tinggi.

Besarnya efek pengganda dari belanja modal, merupakan salah satu alasan mengapa belanja modal layak untuk mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar. Hasil perhitungan pada tabel 1 menunjukkan bahwa efek pengganda terhadap pertumbuhan ekonomi dari belanja modal lebih besar dari efek pengganda belanja barang. Hal ini menunjukkan bahwa belanja modal lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daripada belanja barang. Dengan demikian, dasar pengalihan belanja barang kepada belanja modal terpenuhi.

Tabel 1. Perhitungan Efek Pengganda (Coefficients(a))

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta B Std. Error

1 (Constant) 4.898 .746 6.562 .003

modal 3.83E-005 .000 1.967 1.236 .284

barang -2.79E-005 .000 -1.704 -1.071 .345

a Dependent Variable: ecogrowth

Sumber : Data Pokok APBN 2005-2011, diolah.

Perhitungan efek pengganda ini menggunakan regresi sederhana

dengan alat

Statistical Package for Social Sciences

(SPSS), dimaksudkan

hanya untuk melihat besarnya angka pengganda dari konstanta yang

dihasilkan. Penggunaan metode penghitungan dan hasil yang diperoleh

masih dapat diperdebatkan.

(3)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 3

2. Besar penyerapan anggaran

Tabel 2 menunjukkan besar alokasi belanja barang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 23,25% sementara besar alokasi belanja modal cenderung berfluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 11,86%. Berbeda dari tiga tahun sebelumnya, mulai tahun 2009 sampai dengan 2011 alokasi belanja barang lebih besar daripada alokasi belanja modal. Padahal, dari tingkat penyerapan anggaran, dalam lima tahun terakhir realisasi belanja barang tidak pernah mencapai 95% terhadap APBN-P, sementara realisasi belanja modal pernah terealisasi hingga lebih dari 100%.

Selanjutnya, secara rata-rata penyerapan belanja barang (86,76%) dalam lima tahun terakhir tidak lebih besar dari rata-rata penyerapan belanja modal (89,28%), meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu tinggi. Hal ini menunjukkan belanja modal lebih ekspansif daripada belanja barang, sehingga alokasi belanja modal perlu didorong lebih besar lagi. Dilihat dari angka penyerapan ini, memungkinkan terjadi pengalihan belanja barang kepada belanja modal.

Tabel 2. Pertumbuhan dan Penyerapan Belanja Barang dan Belanja Modal Tahun 2006-2010 (Rp miliar)

Tahun

Belanja Barang Belanja Modal

APBN-P Realisasi % penyerapan % pertumbuhan alokasi APBN-P Realisasi % penyerapan % pertumbuha n alokasi 2006 56,000.0 47,181.9 84.25% 38.33% 69,800.0 54,951.9 78.73% 23.60% 2007 61,823.6 54,511.4 88.17% 10.40% 69,216.5 64,288.7 92.88% -0.84% 2008 67,500.0 55,963.5 82.91% 9.18% 79,100.0 72,772.5 92.00% 14.28% 2009 85,464.0 80,667.9 94.39% 26.61% 73,381.5 75,870.8 103.39% -7.23% 2010 112,594.1 94,638.6* 84.10% 31.74% 95,024.60 75,467.7* 79.42% 29.49% 2011 137,849.7** 135,854.2** Rata-rata penyerapan 86.76% 23.25% 89.28% 11.86%

Sumber : Nota Keuangan APBN-P dan Data Pokok APBN 2005-2011 * realisasi sementara, ** APBN

Box 1.

Pengaduan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Sekretaris Nasional Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), menyatakan akan menggugat Undang-undang (UU) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBNP) 2011. Gugatan itu berbentuk uji materi UU dan dialamatkan ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu hal yang dipandang Seknas Fitra telah melanggar Undang-undang Dasar, dalam UU APBN 2011 adalah tingginya belanja negara untuk kemakmuran birokrasi. Hal itu terlihat dari kebijakan APBN yang lebih berorientasi pada kenaikan anggaran untuk birkorasi dibandingkan belanja untuk kepentingan rakyat. Pada APBN 2011 Pemerintah justru menaikan belanja pegawai sebesar Rp 1,81 triliun dan menaikan belanja perjalanan dinas sebsesar Rp 4,9 triliun.

(4)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 4

3. Penilaian Kualitas Infrastruktur Indonesia

Berdasarkan Global Competitiveness Report 2010 versi World Economic Forum (WEF), penilaian atas kualitas infrastruktur Indonesia secara umum berada di peringkat 901, dibawah Malaysia,Thailand, bahkan Sri Lanka dan kamboja yang memiliki GDP per kapita dibawah Indonesia (tabel 3). Pembangunan infrastruktur memang bukan hanya

1 Penilaian kualitas infrastruktur tersebut dilakukan berdasarkan kualitas jalan, rel kereta, pelabuhan, ketersediaan

listrik, transportasi udara, jumlah line telepon aktif, jumlah pelanggan telepon selular, dan jadwal penerbangan pesawat per minggu.

Box 2.

PERMASALAHAN YANG MENGAKIBATKAN RENDAHNYA PENYERAPAN

Permasalahan yang mengakibatkan rendahnya penyerapan terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu permasalahan yang bersumber dari : (1) internal K/L, (2) proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, (3) dokumen pelaksanaan anggaran dan proses revisi, dan (4) permasalahan lainnya, seperti adanya peningkatan alokasi belanja K/L pada saat terjadi perubahan APBN.

Beberapa masalah internal yang terjadi, sebagai berikut : (i) kurang memahami mekanisme pencairan BaS; (ii) faktor kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran; (iii) satuan harga yang ditetapkan sering tidak sesuai kebutuhan riil, K/L terlambat mengusulkan Standar Biaya Khusus (SBK); (iv) kegiatan prioritas menggunakan sumber dana pinjaman hibah luar negeri (PHLN); (v) K/L belum menyiapkan peraturan perundangan (PP) untuk pengadaan pakaian dinas, converter kit, alat penguji kendaraan bermotor.

Disamping itu faktor penyebab juga ditemukan pada tahapan pengadaan barang dan jasa, antara lain masih adanya perencanaan kegiatan proyek yang kurang baik yang ditandai dengan tidak ada kerangka acuan kerja (TOR) dan rincian anggaran biaya (RAB) yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara kebutuhan dan alokasi anggaran pada kegiatan tersebut. Permasalahan lainnya yang timbul pada tahap pengadaan sebagai berikut : (i) spesifikasi teknis barang jasa tidak jelas; (ii) perencanaan pemilihan sumber dana yang tidak tepat (antara PHLN dengan Rupiah murni); (iii) biaya di lapangan tidak sesuai dengan Standar Biaya Umum dan Standar Biaya Khusus; (iv) banyaknya sanggahan dalam proses lelang; (v) kurangnya sosialisasi mekanisme pengadaan barang dan jasa; (vi) kurangnya panitia pengadaan yang bersertifikat; (vii) ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan terkait perencanaan, pelaksanaan dan pencairan anggaran antara APBN dan APBD; (viii) masalah pengadaan pembebasan lahan tanah; (ix) tidak seimbangnya risiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pelaksana pengadaan; (x) dan kehati-hatian pejabat pengadaan barang dan jasa mengambil tindakan. Sumber : Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian/ Lembaga TA 2010 , Oleh: Adrianus Dwi Siswanto dan Sri Lestari Rahayu (BKF-Kemenkeu)

(5)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 5

tanggung jawab pemerintah, namun kondisi peringkat kualitas infrastruktur ini setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai perlunya peningkatan belanja modal pemerintah yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Tabel 3. Peringkat Negara menurut Kualitas Infrastruktur Negara GDP/kapita

(US$) Peringkat Nilai

Malaysia 6,897 27 5.5 Thailand 3,940 46 4.9 Indonesia 2,329 90 3.7 Sri Lanka 2,041 61 4.4 Filipina 1,746 113 3.2 Vietnam 1,060 123 3 Kamboja 775 83 3.8

Sumber : Global Competitiveness Report 2010

2.2. Estimasi besar pengalihan belanja barang ke belanja modal

Pengalihan belanja barang ke belanja modal yang efektif menuntut

konsekuensi tersendiri. Pengalihan yang terjadi membutuhkan suatu

langkah lanjutan yang sangat penting, yaitu mengkaji belanja barang dan

belanja modal sehingga pengalihan tersebut tidak hanya terlihat dari

besarnya angka yang dialihkan tetapi menjadi benar-benar efektif dalam

kondisi riil pelaksanaannya.

1. Berdasarkan tingkat penyerapan anggaran

Dengan menggunakan angka penyerapan pada tabel 2, dapat diestimasi besarnya pengalihan belanja barang. Dari hasil perhitungan didapatkan, secara umum estimasi besarnya belanja barang yang dapat dialihkan ke belanja modal sekitar 13%, yang berasal dari rata-rata alokasi belanja barang yang tidak terserap (100% - 86,76%) terhadap pagu APBN-P.

Secara rinci dari penyerapan tiap komponen belanja barang (tabel 3) terlihat bahwa hanya belanja barang (operasional dan non operasional) dan belanja jasa yang tingkat penyerapannya hampir tidak pernah mencapai 90%. Sementara tingkat penyerapan belanja pemeliharaan dan perjalanan (dalam dan luar negeri) selalu melebihi pagu yang dianggarkan (terkecuali untuk realisasi perjalanan dinas tahun 2007). Berdasarkan kondisi tersebut, diperkirakan secara rata-rata :

1. Terdapat sekitar 14% alokasi belanja barang (operasional dan non operasional) yang tidak terserap dapat dialihkan ke belanja modal (100% - 85,63%).

2. Terdapat sekitar 30% alokasi belanja jasa yang tidak terserap dapat dialihkan ke belanja modal (100% - 69,81%).

3. Untuk belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas, dimana rata-rata realisasinya melebihi pagu yang dianggarkan, maka diasumsikan kedua belanja tersebut memang penting sehingga tidak dialihkan.

(6)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 6

Tabel 4. Penyerapan Belanja Barang, 2006 – 2009 (Rp miliar)

Uraian

2006 2007 2008 2009 Rerata

penyerapan (kelebihan pnyerapan)

APBN-P realisasi % APBN-P realisasi % APBN realisasi % APBN-P realisasi %

Belanja barang 33,127.6 26,583.80 80.2% 34,422.1 29,864.6 86.8% 31,410.9 28,352.9 90.3% 50,473.8 43,026.4 85.2% 85.63% Belanja jasa 18,370.3 7,785.10 42.4% 12,074.4 9,020.5 74.7% 11,996.4 9,041.1 75.4% 11,970.0 10,388.8 86.8% 69.81% Belanja pemelihara an 2,801.2 3,905.60 139.4% 4,171.7 4,787.8 114.8% 4,163.2 4,906.5 117.9% 6,140.5 6,910.2 112.5% 121.15% Belanja perjalanan 1,692.6 8,907.50 526.3% 11,182.4 9,006.9 80.5% 4,826.6 11,128.3 230.6% 12,736.2 15,158.7 119.0% 239.10% BLU 0 0 0 0 2,534.50 4,206.5 5,183.8 123.2% Total 55,991.7 47,182.0 61,850.6 52,679.8 52,397.1 55,963.3 85,527.0 80,667.9

Sumber : data pokok APBN

2. Berdasarkan Tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran

Efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran diukur dari berapa besar penghematan yang dapat dilakukan dan tujuan yang dapat dicapai. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Kementerian/Lembaga setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai hal tersebut. Berikut beberapa temuan BPK terkait belanja barang dan belanja modal dari hasil pemeriksaan pada tahun 2007 sampai dengan 2009, antara lain sebagai berikut:

Tabel 5. Temuan BPK atas Laporan keuangan Kementerian/Lembaga, 2007 - 2009

Uraian Sumber Temuan

Belanja Barang Perjalanan dinas IHPS I, 2008 IHPS I, 2009 IHPS I, 2010

1. Terdapat kelebihan pembayaran belanja barang (perjalanan dinas) sebesar Rp2,92 miliar karena dibuat perjalanan dinas ganda dan bukti-bukti perjalanan palsu yang lebih mahal, mengakibatkan jumlah realisasi belanja barang (perjalanan dinas) yang disajikan dalam LRA Depdagri Tahun 2007 belum mencerminkan realisasi senyatanya sesuai dengan bukti-bukti yang sah dan terjadi kelebihan pembayaran. (Depdagri).

2.Departemen Dalam Negeri (Depdagri), kelebihan pembayaran perjalanan dinas senilai Rp2,81 miliar pada 9 satuan kerja eselon I di lingkungan Depdagri (atas permasalahan ini Depdagri telah menyetorkan uang ke kas negara senilai Rp1,29 miliar pada 29 Mei 2009).

3. Di Kementerian Dalam Negeri, realisasi belanja barang perjalanan dinas pada Satker Eselon I menggunakan bukti perjalanan yang tidak benar. Hasil pemeriksaan terhadap bukti-bukti pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dan konfirmasi kepada maskapai penerbangan serta hotel atau wisma penginapan menunjukkan adanya bukti pertanggungjawaban yang tidak benar, sehingga terdapat indikasi kerugian negara senilai Rp1,57 miliar. Kasus ini telah ditindaklanjuti dengan penyetoran uang ke kas negara senilai Rp704,46 juta.

Pembelian kendaraan

IHPS I, 2008

1. Enam puluh sembilan unit kendaraan dinas roda empat dan roda dua minimal senilai Rp5,17 miliar yang dikuasai mantan anggota dan

(7)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 7 IHPS I,

2010

mengakibatkan potensi kerugian keuangan negara minimal sebesar Rp5,17 miliar dan tidak dapat memanfaatkan BMN yang dimilikinya untuk kegiatan operasional.(KPU).

2.Di Kejaksaan, harga kontrak pengadaan kendaraan tahanan Kejaksaan Agung yang dilaksanakan secara penunjukan langsung lebih tinggi senilai Rp1,30 miliar dibandingkan dengan harga kendaraan on the road plat hitam untuk bulan April 2009, setelah dikurangi bea balik nama (BBN) sebesar 12,5%, karena untuk kendaraan pemerintahan tidak dikenakan BBN. Pembayaran jasa IHPS I, 2008 IHPS I, 2009

1. Terjadi kelebihan pembayaran pada belanja barang (jasa konsultan) sebesar Rp967,03 juta karena pembayaran biaya langsung non personil tidak berdasarkan bukti-bukti pengeluaran yang sebenarnya (at cost). Hal ini mengakibatkan jumlah realisasi belanja barang/modal (belanja jasa konsultan) yang disajikan dalam LRA Depdagri Tahun 2007 belum mencerminkan realisasi senyatanya sesuai dengan bukti-bukti yang sah dan terjadi kelebihan pembayaran biaya jasa konsultan sebesar Rp967,03 juta. (Depdagri).

2. Terdapat pembayaran biaya jasa, PPh, Astek, peralatan dan lain-lain atas pekerjaan pembangunan/rehabilitasi gedung di lingkungan Kejagung, yang dalam kontrak hal tersebut tidak perlu dibiayai anggaran negara, mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp250,79 juta. (kejagung)

3. Kelebihan pembayaran atas belanja barang/jasa konsultan pada 9 satuan kerja eselon I di lingkungan Depdagri senilai Rp1,57 miliar (atas permasalahan ini Depdagri telah menyetorkan uang ke kas negara senilai Rp246,36 juta pada 29 Mei 2009 (Depdagri).

Belanja barang (operasional & non operasioal) IHPS I, 2008

Terjadi kemahalan harga atas pengadaan sistem jaringan internet Lemhannas Tahun 2007 sebesar Rp22,76 juta, mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp22,76 juta. (Lemhannas)

Belanja pmeliharaan

IHPS I, 2008

Kekurangan fisik atas pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan dan pengembangan gedung Lemhannas TA 2007 belum diperhitungkan, mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp140,64 juta. (Lemhannas)

Belanja modal

IHPS I, 2008

1. Terjadi kelebihan pembayaran belanja modal sebesar Rp699,11 juta dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik TA 2007 di lingkungan Depdagri, yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp699,11 juta. (Depdagri)

2. Pelaksanaan perbaikan asrama putra STSN melampaui batas anggaran yang telah ditetapkan, yakni berdasarkan SPK sebesar Rp149,72 juta menjadi sebesar Rp157,07 juta karena adanya pekerjaan tambah namun atas perubahan nilai tersebut tanpa melalui adendum, sehingga nilai aset hasil perbaikan sebesar Rp149,72 juta tidak dapat dinilai kewajarannya dan Lemsaneg mempunyai kewajiban sebesar Rp7,34 juta kepada PT ASP atas kekurangan pembayaran (lembaga sandi Negara).

(8)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 8

Dari tabel 5 terlihat bahwa temuan-temuan terkait belanja barang dan belanja modal adalah berupa kelebihan pembayaran dan adanya bukti pembayaran yang tidak valid, sehingga belum mencerminkan adanya efisiensi anggaran.

2.3. Konsekuensi yang timbul akibat pengalihan belanja barang ke belanja modal 1. Penggunaan belanja modal yang memberi efek pengganda tidak besar

Pengalihan belanja barang ke belanja modal dengan sendirinya akan menambah besarnya alokasi anggaran belanja modal. Namun peningkatan alokasi belanja ini tidak memberi dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi sesuai yang diharapkan jika kemudian hanya digunakan untuk belanja yang memiliki efek pengganda kecil. Misalnya saja pembangunan gedung kantor ataupun pembelian kendaraan dinas yang tidak memiliki efek pengganda besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika hal ini terjadi, maka upaya pemanfaatan anggaran negara untuk lebih berpihak kepada rakyat akan menjadi sia-sia.

Dalam Nota Keuangan APBN T.A 2009, pemerintah telah memberi batasan tujuan pengalihan belanja barang tidak mengikat ke belanja modal, yaitu realokasi ke belanja modal tersebut tidak boleh digunakan untuk pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung kantor, dan pembangunan rumah dinas. Alokasi belanja modal tersebut harus difokuskan untuk pembangunan infrastruktur daerah yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Begitupun dalam pembahasan pagu indikatif Kementerian/ Lembaga, pemerintah juga telah mensyaratkan pembatasan belanja untuk pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung kantor, pembangunan rumah dinas dan pengeluaran lain yang sejenis. Namun belum diatur secara tegas mengenai batas maksimum besarnya proporsi alokasi anggaran untuk tiap komponen belanja modal terhadap total belanja modal itu sendiri. Batas maksimum belanja modal untuk pembangunan gedung kantor, pembelian kendaraan dinas ataupun belanja infrastruktur yang bersifat non publik lainnya tidak boleh lebih besar dari belanja infrastruktur publik yang lebih dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberi efek pengganda besar terhadap masyarakat.

2. Kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran

Besarnya anggaran belanja modal membawa konsekuensi banyak proyek pekerjaan yang harus diselesaikan. Hal ini membutuhkan pengawasan dan pedoman yang ketat serta jelas guna menghindari terjadinya penyalahgunaan anggaran2.

2 Terkait dengan hal ini pemerintah telah berupaya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010

(9)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 9

III.

Kesimpulan

1. Hal yang mendasari pengalihan belanja barang ke belanja modal, yaitu:

a. Belanja modal memiliki efek pengganda terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar dari efek pengganda belanja barang. Hal ini menunjukkan bahwa belanja modal lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daripada belanja barang. Metode penghitungan dan hasil yang diperoleh masih dapat diperdebatkan.

b. Secara rata-rata penyerapan belanja barang (86,76%)dalam lima tahun terakhir tidak lebih besar dari rata-rata penyerapan belanja modal (89,28%), Hal ini menunjukkan belanja modal lebih ekspansif daripada belanja barang.

c. Penilaian Kualitas Infrastruktur Indonesia versi World Economic Forum (WEF), Indonesia secara umum berada di peringkat 90, dibawah Malaysia,Thailand, bahkan Sri Lanka dan kamboja yang memiliki GDP per kapita dibawah Indonesia. Pembangunan infrastruktur memang bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun kondisi peringkat kualitas infrastruktur ini setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai perlunya peningkatan belanja modal pemerintah yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

2. pengalihan belanja barang ke belanja modal akan menjadi efektif jika juga dilakukan kajian mengenai belanja barang dan belanja modal sehingga pengalihan tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya angka yang dialihkan tetapi menjadi benar-benar efektif dalam kondisi riil pelaksanaannya

.

Dari hasil perhitungan didapatkan estimasi besarnya belanja barang yang dapat dialihkan ke belanja modal sekitar 13% yang berasal dari rata-rata alokasi belanja barang yang tidak terserap (100% - 86,76%) terhadap pagu APBN-P. Secara rinci dari penyerapan tiap komponen belanja barang, sebagai berikut : a. Secara rata-rata, terdapat sekitar 14% alokasi belanja barang (operasional dan non

operasional) yang tidak terserap dapat dialihkan ke belanja modal (100% - 85,63%). b. Secara rata-rata, terdapat sekitar 30% alokasi belanja jasa yang tidak terserap dapat

dialihkan ke belanja modal (100% - 69,81%).

c. Untuk belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas, dimana rata-rata realisasinya melebihi pagu yang dianggarkan, maka diasumsikan kedua belanja tersebut memang penting sehingga tidak dialihkan.

3. Konsekuensi yang timbul akibat pengalihan belanja barang ke belanja modal, yaitu :

a. Penggunaan belanja modal yang memberi efek pengganda tidak besar. Dapat diantisipasi dengan pembatasan secara tegas proporsi alokasi anggaran untuk setiap komponen belanja modal terhadap total belanja modal.

b. Kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran. Hal ini membutuhkan pengawasan dan pedoman yang ketat serta jelas guna menghindari terjadinya penyalahgunaan anggaran.

Gambar

Gambar 1. Proporsi  rata-rata Jenis Belanja Pemerintah Pusat         terhadap Rata-rata Total Belanja pemerintah Pusat
Tabel 1.  Perhitungan Efek Pengganda (Coefficients(a)) Model
Tabel  2  menunjukkan  besar  alokasi  belanja  barang  terus  meningkat  dengan  rata-rata  pertumbuhan  sebesar  23,25%  sementara  besar  alokasi  belanja  modal  cenderung  berfluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 11,86%
Tabel 5. Temuan BPK atas Laporan keuangan Kementerian/Lembaga, 2007 - 2009

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh pemberian teknik akuprusur terhadap tingkat nyeri persalinan kala I di rumah sakit raja wali citra potorono banguntapan bantul

Saran penelitian ini adalah dengan memberi pengetahuan tentang menghormati perbedaan dan menjelaskan arti "berani" yang terkadang ditafsirkan berbeda oleh

[r]

Keluarga radikal bebas yang dihasilkan dari oksigen disebut spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species (ROS)), terbentuk dalam kondisi fisiologis normal, tetapi

[r]

KEPALA BIDANG PENYELENGGARAAN JAKARTA, 19 September 2014. Penata Tkt I

3.7 Menerapkan prinsip klasifikasi untuk menggolongkan tumbuhan ke dalam divisio berdasarkan pengamatan morfologi dan metagenesis tumbuhan serta mengaitkan peranannya

Latar belakang adanya BLUD adalah sebagai alternatif dari pemerintah dalam hal ini adalah Kemendagri sebagai salah satu solusi dari kinerja SKPD yang dinilai masih kurang,