• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setelah berlangsung beberapa tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Tindakan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setelah berlangsung beberapa tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Tindakan,"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu proses yang hasilnya baru bisa dirasakan setelah berlangsung beberapa tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Tindakan, perilaku dan sikap anak saat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul terbentuk atau bahkan pemberian dari Yang Maha Kuasa. Ada sebuah proses panjang sebelumnya yang kemudian membuat sikap dan perilaku tersebut melekat pada dirinya.

Kultur sekolah merupakan budaya sekolah yang tercermin dari perilaku berbagai komponen sekolah baik kepala sekolah, guru, peserta didik, pegawai, dan staf sekolah. Perpaduan tiga unsur (three in one) baik peserta didik, guru, dan orang tua yang bekerjasama dalam menciptakan komunitas lebih baik melalui pendidikan yang berkualitas, serta bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, menjadikan sebuah sekolah unggul dan favorit di masyarakat. Menurut Deal dan Peterson “ Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan, keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, masyarakat sekitar sekolah “. (Muhaimin, 2006: 133)

Lingkungan pendidikan yang harmonis dalam suasana kekeluargaan merupakan faktor pendukung terselenggaranya kegiatan pembelajaran yang baik, sebab dengan lingkungan yang aman dan nyaman serta bersahabat, peserta didik

(2)

commit to user

akan tenang dalam belajar. Budaya sekolah sebagai karakteristik khas sekolah yang dapat diidentifikasi melalui nilai yang dianutnya, kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkannya, dan tindakan yang ditunjukkan oleh seluruh personil sekolah yang membentuk satu kesatuan khusus dari sistem sekolah. Budaya sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah” Budaya sekolah efektif merupakan nilai-nilai, kepercayaan, dan tindakan sebagai hasil kesepakatan bersama yang melahirkan komitmen seluruh personil untuk melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten “. (Aan Komariah dan Triatna, 2006: 102).

Krisis akhlak yang menimpa Indonesia saat ini berawal dari lemahnya penanaman nilai-nilai terhadap anak-anak baik dari orang tua , guru atau komunitas masyarakat. Usaha mengembangkan pendidikan karakter tidak dapat berdiri sendiri. Pendidikan karakter mesti dipahami sebagai sebuah usaha bersama yang dilakukan oleh sekolah, keluarga, komunitas masyarakat dan negara untuk membantu anak-anak muda dalam memahami, menumbuhkan nilai-nilai moral fundamental yang berguna bagi pertumbuhan kepribadian mereka. Pendidikan karakter merupakan usaha pembudayaan dan pembudidayaan dalam lingkungan pendidikan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 berbunyi :

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

(3)

commit to user

Sekolah yang ingin mengembangkan pendidikan karakter dan pendidikan nilai bagi anak didiknya harus ada visi pendidikan karakter. Visi pendidikan karakter yang ditetapkan sekolah merupakan cita yang akan diraih melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap pengembangan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah. Visi pendidikan di sekolah akan semakin menjiwai setiap individu ketika mereka semua merasa dilibatkan dalam penentuan visi tersebut sehingga visi tersebut menjadi bagian dari keyakinan pribadi dan keyakinan komunitas sekolah.

Dengan visi tersebut, lembaga pendidikan itu memiliki misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih praktis operasional, yang indikasinya dapat diverifikasi, diukur, dan dievaluasi secara terus menerus. Misi adalah sebuah usaha menjembatani praksis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak lembaga pendidikan. Bisa dikatakan tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia.

Visi yang baik akan membentuk kultur sekolah yang pada gilirannya akan memperbaiki prestasi dan mutu sekolah. Berkaitan dengan visi sekolah ini, ada pendapat bahwa visi terdiri dari 6 lapisan. “Ada enam lapisan yang biasanya dapat diamati langsung didalam sebuah lembaga pendidikan. Enam lapisan tersebut yaitu 1) operasional sekolah, 2) organisasi sekolah, 3) pembuatan

(4)

commit to user

program sekolah, 4) kebijaksanaan sekolah, 5) tujuan, 6) keyakinan dan asumsi”. Doni Koesoema ( 2010: 157 – 158 )

Penjelasan tentang enam lapisan tersebut adalah sebagai berikut :

Lapisan pertama adalah lapisan operasional sekolah. Didalam lapisan operasional sekolah ini orang akan melihat secara langsung berbagai macam kegiatan rutin yang terjadi di sekolah, seperti kehadiran peserta didik, peserta didik yang berlari-lari masuk kelas ketika mendengarkan bel sekolah, kegiatan upacara bendera, kegiatan olah raga. Kegiatan ini dapat dilihat dan diamati secara langsung.

Lapisan yang kedua adalah organisasi sekolah, antara lain pengaturan jadwal pelajaran, jadwal piket guru, struktur tugas guru dan struktur tugas karyawan, struktur guru pembimbing, petugas perpustakaan dan petugas laboratorium. Lapisan ketiga adalah pembuatan program sekolah ini berkaitan langsung dengan sasaran program seperti program pengayaan spiritualitas, program perencanaan anggaran, program sukses ujian nasional, program kokurikuler, ekstra kurikuler. Lapisan keempat berkaitan dengan kebijaksanaan sekolah (policy). Kebijaksanaan ni ada yang secara tertulis melalui aturan kepegawaian sehingga para guru mengetahui proses-proses promosi kepegawaian, kebijaksanaan penerimaan peserta didik baru, tata tertib pegawai, tata tertib peserta didik.

Lapisan kelima berupa tujuan (purpose) sekolah. Tujuan ini biasa disebut visi dan agar operasional dan dapat terukur maka dijelmakan melalui rumusan misi.

Lapisan keenam adalah keyakinan dan asumsi. Keyakinan dan asumsi dalam sebuah lembaga pendidikan ini biasanya tidak tertulis, namun diyakini ada dan menjadi dasar berlangsungnya proses pendidikan. Keyakinan ini antara lain,

(5)

commit to user

kepercayaan pada peserta didik bahwa mereka datang ke sekolah memiliki tujuan belajar dan mengembangkan dirinya, orang tua mempercayakan anaknya pada sekolah untuk di didik dan orang tua percaya pada sekolah bahwa dengan menyerahkan anaknya ke sekolah mereka akan mendapat pendidikan.

Fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat mendesak untuk adanya aktualisasi program pendidikan karakter. Degradasi moral melanda para generasi muda Indonesia, bahkan sebagian pakar menyebutkan bahwa Indonesia sedang pada posisi krisis multidimensional. Hal ini terlihat fenomena-fenomena sebagai berikut

1. Di kalangan remaja banyak terjadi kekerasan dalam bentuk tawuran.

2. Perilaku yang tidak sopan kepada teman maupun gurunya.

3. Adanya pengaruh kelompok yang kuat dalam hal kekerasan.

4. Penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas semakin meningkat.

5. Ketidakjelasan tentang pedoman moral.

6. Hilangnya rasa hormat pada orang tua dan guru

7. Semakin banyak orang tidak jujur.

8. Rasa benci dan arogan antar sesama “ ( Ratna Megawangi, 2008 : 7)

Masih cukup banyak generasi muda di sekolah menengah yang nakal seperti bolos sekolah dan mabuk-mabukan, padahal kita mengetahui bahwa kenakalan itu potensial untuk kejahatan. Remaja yang nakal potensial untuk berkembang menjadi orang dewasa yang jahat.

Saat ini sedang gencarnya mengenai pendidikan karakter sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai krisis yang menimpa bangsa. Pendidikan karakter dipandang sebagai satu solusi mendasar dalam membangun bangsa. Pendidikan karakter harus diajarkan secara kognitif dengan segala ketentuan akademiknya. Karakter tidak dapat dibangun hanya diajarkan tetapi diinternalisasikan melalui pendekatan secara holistik. . Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu

(6)

commit to user

mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Prinsip pembelajaran agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri sendiri.

Pendidikan Karakter merupakan pekerjaan bersama sebagai pendidik untuk mampu membentuk karakter anak didik sehingga tercapai tugas perkembangannya secara optimal. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 6 dinyatakan bahwa “ Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan “. Konselor sekolah mengarah pada profesi dan pembaharuan dalam memberikan bantuan kepada peserta didik untuk menyelesaikan masalah , membentuk karakter, mengembangkan bakat dan minat serta dukungan kepada peserta didik dalam pencapaian prestasi akademik.

Konselor sekolah menggunakan empat komponen untuk membentuk karakter peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan konseling sehingga olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa bisa terintegrasi dengan baik dan pada akhirnya tujuan dari pendidikan karakter bangsa, pendidikan nasional , bimbingan dan konseling dapat tercapai. Konselor sebagai profesi yang profesional memiliki

(7)

commit to user

tantangan di abad 21 ini untuk memberikan pembaharuan dan mampu menghapus paradigma negatif tentang tugas konselor. Kultur sekolah berbasis karakter lokal dapat diterapkan melalui kegiatan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti pendapat Bimo Walgito ( 2010: 44 ) sebagai berikut:

Tugas seorang pembimbing di sekolah adalah membantu kepala sekolah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sekolah secara keseluruhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya bidang geraknya tidak terbatas kepada pemberian bimbingan dan konseling kepada anak didiknya saja, akan tetapi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung

Karakter lokal adalah karakter yang digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa kita, mungkin berupa pengetahuan lokal, ketrampilan lokal, kecerdasan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma-etika lokal, dan adat istiadat lokal. Kota Kuduspun memiliki nilai karakter lokal yang disingkat Gusjigang kepanjangan dari bagus akhlaknya, pandai mengaji dan terampil berdagang. Untuk menanamkan nilai-nilai karakter lokal sekolah berusaha menyelenggarakan kegiatan yang berbasis karakter melalui pembelajaran terintegrasi, kegiatan keagamaan, kegiatan pembiasaan, dan juga kegiatan pengembangan diri yaitu Bimbingan dan Konseling serta kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan pembiasaan seperti melakukan budaya sekolah. Dengan budaya sekolah yang baik akan bermanfaat dalam pembentukan karakter yang baik pula. Melalui pendidikan karakter tersebut akan menciptakan peserta didik yang bermutu, tidak hanya dilihat dari aspek akademik saja namun juga dilihat dari sikap perilakunya. Para peserta didik mendapat keuntungan untuk memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan

(8)

commit to user

dan memberi kepuasaan ketika para peserta didik memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin..

Kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam hal ini yaitu sikap dan perilaku yang dapat melakukan budaya sekolah S 4 yaitu budaya senyum, salam, sapa dan santun. Peserta didik dapat dikatakan sudah menerapkan budaya S 4 tersebut apabila bertemu dengan guru, bertemu dengan teman , bertemu dengan orang lain disekitar sekolah dapat tersenyum, dapat memberi salam dan menyapa serta dapat menerapkan sikap sopan santun pada orang lain. Karakter lokal yang diterapkan di sekolah mengacu karakter lokal kota Kudus yang di ajarkan Sunan Kudus yaitu bagus akhlaknya, pandai mengaji dan terampil berdagang. Namun demikian tidak semua kultur sekolah dan karakter lokal tersebut dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, apalagi munculnya berbagai permasalahan yang timbul di sekolah itu juga bisa jadi karena melemahnya nilai karakter pada peserta didik. Peserta didik yang terdiri dari beragam suku dan budaya seperti dari jawa tengah, jawa barat, peserta didik dari keturunan cina, keturunan arab, batak kadang menyebabkan perselisihan dalam bergaul. Latar belakang keluarga peserta didik yang berbeda seperti dari keluaraga kurang mampu, dari keluarga cukup mampu dan dari keluarga mampu, itu juga kadang menyebabkan permasalahan. Atau permasalahan yang lain seperti peserta didik yang tidak tertib di sekolah, bila bertemu guru menghindar tidak menyapa, peserta didik yang tidak menghormati guru seperti bermain handpone saat guru menerangkan pelajaran,

(9)

commit to user

berkata kasar pada teman, peserta didik yang tidak jujur yaitu mencontek saat ulangan, jajan tidak mau membayar. Perilaku tersebut mencerminkan Akhlak yang kurang bagus.

Kenyataan di lapangan berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara pada tanggal 19 Oktober 2013 yang dilakukan peneliti dengan Koordinator BK di SMP 1 Kudus peserta didik belum sepenuhnya melaksanakan budaya sekolah S4 (senyum, salam, sapa dan santun) serta belum sepenuhnya memiliki karakter lokal Gusjigang ( Bagus akhlaknya, pandai mengaji, terampil berdagang ). Sikap yang ditunjukkan misalnya adanya peserta didik yang mencontek waktu ulangan, adanya peserta didik yang tidak menghormati guru, peserta didik yang tidak menyapa bila ketemu guru, atau peserta didik yang hanya mengenal guru yang mengajarnya saja. Permasalahan tersebut menandakan budaya dan karakter peserta didik masih rendah. Apabila keadaan demikian tidak mendapatkan penanganan segera dari pendidik, maka peserta didik tidak dapat menerapkan budaya sekolah yang baik dan tidak memiliki karakter yang baik.

Gagasan penerapan pendidikan dan budaya bangsa dilakukan melalui tiga jalur yaitu terintegrasi melalui pelajaran, pengembangan diri yang terjadwal dan yang tidak terjadwal, serta melalui budaya sekolah. Oleh karena itu permasalahan penerapan kultur sekolah dan karakter lokal pada peserta didik tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab konselor di sekolah yaitu melalui layanan Bimbingan dan Konseling,. Pembentukan karakter melalui tiga jalur harus dapat diwujudkan. Namun pengintegrasian pendidikan karakter di sekolah belum lancar.

(10)

commit to user

Hal ini seperti yang disampaikan oleh pendapat berikut ini

Ada tiga alasan mengapa pendidikan karakter itu begitu sulit diterapkan dalam kerangka kinerja pendidikan kita karena :

alasan pertama adalah ketidakpahaman konseptual tentang apa yang disebut dengan pendidikan karakter. Kedua, ketidakjelasan konseptual ini mengakibatkan kebijakan di tingkat lokal yang mengatasnamakan pendidikan karakter tidak tepat sasaran dan tidak integral, Ketiga, ketika diterapkan dalam kerangka lembaga kependidikan, pendidikan karakter mengalami persoalan serius seputar tatacara evaluasi. ( Doni Kusuma,2010 : 123 ).

Peran konselor sangat diperlukan dalam pembentukan akhlak peserta didik. Konselor perlu melakukan layanan bimbingan kepada peserta didik yang perilakunya kurang bagus, namun demikian peserta didik masih ada yang belum menerapkan budaya sekolah dan masih ada yang perilakunya kurang bagus. Layanan yang sering diberikan oleh konselor yaitu layanan bimbingan klasikal dalam mengurangi peserta didik yang kurang bagus akhlaknya, namun jika hanya layanan itu saja yang diberikan sudah pasti peserta didik masih saja menunjukkan perilaku kurang bagus akhlaknya . Oleh karena itu peranan konselor sangat dibutuhkan dalam upaya melaksanakan pembentukan karakter dan budaya sekolah sebagai unjuk kerja konselor yang profesional dalam ikut menyelenggarakan pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan .

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang layanan Bimbingan dan Konseling dalam menerapkan kultur sekolah berbasis karakter lokal. Atas dasar itu maka penulis mengambil judul “ PENERAPAN KULTUR SEKOLAH BERBASIS KARAKTER LOKAL DALAM PROSES LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SMP 1 KUDUS”

(11)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimana perencanaan penerapan kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus ?

2. Bagaimana pelaksanaan penerapan kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus ?

3. Bagaimana faktor pendukung dan faktor penghambat serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penerapan kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus ?

4. Bagaimana evaluasi hasil penerapan kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mendeskripsikan perencanaan penerapan kultur sekolah berbasis

karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus.

2. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan penerapan kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus.

3. Untuk mendekripsikan faktor pendukung dan faktor penghambat serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penerapan kultur sekolah

(12)

commit to user

berbasis karakter lokal dalam proses layanan Bimbingan dan Konseling di SMP 1 Kudus.

4. Untuk mendeskripsikan evaluasi hasil penerapan kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam layanan bimbingan dan konseling di SMP 1 Kudus.

D. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

b. Memberikan sumbangan keilmuan terhadap perkembangan ilmu

pendidikan terutama berkaitan dengan proses bimbingan dan konseling di sekolah.

c. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang serupa pada masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peserta didik sebagai wawasan bahwa kultur sekolah dan karakter lokal kudus berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diterapkan dengan layanan bimbingan dan konseling .

b. Bagi guru sebagai dasar bahwa dengan menerapkan kultur sekolah dan karakter lokal Kudus pada peserta didik akan dapat meningkatkan prestasi peserta didik di sekolah karena peserta didik mampu berperilaku bagus akhlaknya sehingga tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan memberi kepuasaan ketika para peserta didik memiliki disiplin yang lebih besar didalam kelas.

(13)

commit to user

c. Bagi Konselor, sebagai bahan acuan untuk melaksanakan layanan

Bimbingan dan Konseling dengan sungguh-sungguh dan mengetahui betapa pentingnya layanan tersebut bagi peserta didik untuk penerapan kultur sekolah dan pembentukan karakter peserta didik khususnya karakter lokal Kudus.

d. Bagi Kepala Sekolah, penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi ilmiah tentang pentingnya layanan Bimbingan dan Konseling untuk membentuk karakter peserta didik

Referensi

Dokumen terkait

Viskometer stormer adalah !iskometer rotasi yang  biasanya digunakan dalam menentukan !iskositas dari

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa perubahan bunyi dihasilkan oleh alat ucap serta cara artikulasi yang dilakukan oleh Mirza sebagai rangkaian

Budući da današnja školska knjižnica nije više samo mjesto skupljanja znanja i njegova posredovanja korisnicima, već i mjesto gdje se to znanje pretražuje i

Pritom je važno naglasiti da kvaliteta usluga u knjižnicama podrazumijeva i kvalitetnu komunikaciju s korisnicima koja se odnosi na svakodnevnu komunikaciju vezanu uz

Penulis mengucapkan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan kasih sayang-Nya, melimpahkan kemudahan dan jalan ketenangan hati serta semangat berusaha untuk

Dalam konsep kegiatan ini, dibutuhkan kerjasama masyarakat dan pihak TN Karimunjawa untuk melakukan pengawasan dan pemeliharaan tempat sampah yang diberikan pasca kegiatan..

Ketika melihat reaksi dari orang tua saat mengetahui bahwa dirinya hamil diluar nikah, informan memiliki perasaan sedih, kecewa dengan dirinya karena tidak patuh

- bagi tebing sungai yang jauh dari sisi tembok pangkal bendung atau palung sungai di hulu bendung yang relatif jauh lebih lebar dibandingkan dengan lebar pelimpah bendung maka