• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendaratan dan penanganan hasil tangkapan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendaratan dan penanganan hasil tangkapan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pendaratan dan penanganan hasil tangkapan

Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari hasil tangkapan nelayan di laut dengan menggunakan alat tangkap tertentu dan didaratkan di dermaga pelabuhan. Menurut Pane (2009b) nelayan pada waktu operasi penangkapan di laut, sudah

harus mempertimbangkan perlunya kekuatan hasil tangkapan dalam

pemasaran/pelelangan ikan seperti telah mempertimbangkan jenis dan ukuran ikan yang akan ditangkap atau dijual, selama hasil tangkapan di atas kapal dan selama di PelabuhanPerikanan sebelum dijual/dilelang serta mampu mempertahankan mutu hasil tangkapan seoptimal mungkin. Pane (2005) mengemukakan bahwa Kekuatan Hasil Tangkapan (KHT) merupakan kualitas atau keunggulan yang dimiliki oleh hasil tangkapan di suatu tempat pendaratan yang meliputi 6 (enam) hal yaitu jenis, ukuran, volume, berat, mutu dan harga. KHT pada dasarnya ditujukan agar mampu diterapkan oleh nelayan/pengusaha penangkapan dan diterapkan dipemasaran/pelelangan di TPI. KHT dilakukan melalui seleksi hasil tangkapan di atas kapal dan seleksi hasil tangkapan di dermaga bongkar sewaktu hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan.

Kekuatan hasil tangkapan di atas belum sepenuhnya diterapkan oleh nelayan-nelayan atau pengusaha penangkapan yang di Indonesia pada waktu memasarkan/melelang hasil tangkapan di TPI. Keadaan ini dikarenakan pasar (konsumen) di Indonesia sebagian besar tidak begitu peka terhadap kekuatan hasil tangkapan terutama terhadap faktor mutu. Padahal seharusnya industri perikanan ataupun konsumen sebagai salah satu pembeli hasil tangkapan dari nelayan, memberikan syarat tertentu saat akan membeli ikan dari nelayan, baik itu secara jenis, berat, ukuran, harga serta kualitas ikan, yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Hal ini tentu saja berbeda dengan pasar yang ada di luar negeri (Pane 2009b).

Di negara-negara lain, faktor kekuatan hasil tangkapan sangat diperhatikan dengan baik. Saat ini yang baru menggunakan faktor kekuatan hasil tangkapan pada saat proses penangkapan untuk ikan ekspor seperti ikan tuna, layur, dan swanggi. Mereka hanya akan membeli ikan tuna dengan kualitas dan ukuran

(2)

tertentu agar mampu masuk ke pasar luar negeri. Tujuan dari adanya kekuatan hasil tangkapan ini adalah untuk mempermudah nelayan dalam menjual ikan hasil tangkapan di pasar (Pane 2005).

Hasil tangkapan yang didaratkan di suatu pelabuhan perikanan merupakan kunci pokok adanya kegiatan di pelabuhan perikanan. Tanpa adanya hasil tangkapan yang didaratkan maka pelabuhan perikanan tersebut tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya (Hardani 2007).

Pane juga mengungkapkan bahwa hasil tangkapan merupakan sumber utama adanya aktivitas-aktivitas atau merupakan “daya tarik utama dan awal” untuk kegiatan-kegiatan di PP/PPI. Ketiadaan hasil tangkapan yang didaratkan di PP/PPI membuat ‘mati’-nya suatu PP/PPI, sekurang-kurangnya menjadikan PP/PPI hanya berfungsi minimalis yaitu hanya sebagai penjual atau pelayanan jasa kebutuhan melaut saja. Selanjutnya Lubis (2007), menyatakan bahwa produksi hasil tangkapan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan fasilitas pelabuhan karena produksi hasil tangkapan sebagai salah satu indikator tingkat fungsionalitas suatu pelabuhan perikanan (PP) atau pangkalan pendaratan ikan (PPI).

Di pelabuhan perikanan terdapat beberapa kegiatan yang menyangkut hasil tangkapan, salah satunya pendaratan. Selama proses pendaratan, ikan hasil tangkapan mengalami beberapa tahapan sampai akhirnya dilelang di TPI. Berikut ini tahapan yang dilalui oleh ikan hasil tangkapan selama proses pendaratan sampai akhirnya mengalami proses pelelangan (Pane 2005):

1) Pembongkaran dari palkah ke dek.

2) Penurunan hasil tangkapan dari dek ke dermaga pendaratan/dermaga bongkar. 3) Pengangkutan hasil tangkapan dari dermaga pendaratan ke gedung TPI.

Pendaratan Hasil Tangkapan

Pendaratan ikan merupakan suatu proses yang dilakukan setelah kapal bertambat di dermaga pelabuhan dan menyelesaikan perizinan bongkar. Salah satu kegiatan dalam pendaratan hasil tangkapan sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah pembongkaran ikan dari palkah ke dek kapal. Kegiatan pembongkaran ini harus dilakukan dengan segera tanpa penundaan waktu.

(3)

Mengacu pada pernyataan Pendaratan ikan merupakan suatu kegiatan di pelabuhan perikanan dimana didalamnya terkandung suatu proses pemindahan ikan hasil tangkapan dari palkah kapal sampai ke gedung TPI atau dermaga untuk dipasarkan (dilelangan). Nurjanah (2000) vide Hardani (2008) menyatakan bahwa pendaratan ikan merupakan suatu proses yang dilakukan setelah kapal bertambat di dermaga pelabuhan dan setelah menyelesaikan perizinan bongkar. Saat melakukan proses bongkar, harus dilakukan secara hati-hati, cermat, beraturan, higienik dan tetap memperhatikan suhu ikan serendah mungkin (Ilyas, 1983 vide

Hardani, 2008).

Pendaratan hasil tangkapan di tempat-tempat pendaratan ikan harus selalu memperhatikan karakteristik ikan itu sendiri yang mudah rusak. Cara mengatasi sifat sumberdaya ikan yang mudah rusak tersebut yaitu dengan melakukan pembongkaran harus dalam waktu yang cepat dan tanpa merusak atau menurunkan mutu ikan hasil tankapan. Oleh karena itu, untuk melakukan pendaratan hasil tangkapan yang cepat dan hygienis, suatu tempat pendaratan ikan harus mempunyai dermaga yang cukup panjang, hasil tangkapan terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung serta didukung pula oleh penyediaan alat-alat pembongkaran seperti kereta dorong, keranjang atau basket, pompa air bersih dan derek (Nurjanah vide Hardani 2008). Kegiatan pendaratan ataupun pembongkaran ikan hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu, dilakukan setiap hari. Jumlah yang didaratkan setiap harinya tidak tetap, hal ini tergantung dari jumlah kapal yang melakukan pendaratan ikan hasil tangkapan.

Dalam proses pendaratan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, terdapat tiga tahapan, yaitu: (1) Pembongkaran dari palkah ke dek, (2) Penurunan hasil tangkapan dari dek ke dermaga, (3) Pendaratan dan pengangkutan hasil tangkapan dari dermaga ke TPI. Pada tahapan pertama tersebut, yaitu pembongkaran dari palkah ke dek, nelayan mengeluarkan semua ikan yang telah tertangkap selama operasi penangkapan ikan. Pada tahap pertama ini, ikan belum mengalami penseleksian ikan (penyortiran) berdasarkan mutu, berat, ukuran dan jenis ikan. Ikan yang dikeluarkan dari palkah ke dek kapal masih bercampur satu sama lainnya. Namun ikan yang ada di palkah biasanya telah mendapat perlakuan yaitu dengan pemberian es. Bahkan ada yang sengaja menambahkan es, dengan jumlah

(4)

tertentu ke dalam palkah sebelum melakukan bongkar. Tujuannnya adalah agar suhu ikan dibuat serendah mungkin pada saat pembongkaran hasil tangkapan (Pane 2005).

Pane selanjutnya mengungkapkan bahwa setelah ikan berada di atas dek, ikan mulai mengalami penyortiran. Berdasarkan hasil pengamatan awal di PPN Palabuhanratu, nelayan melakukan penyortiran terhadap ikan hasil tangkapan yang ada di dek berupa pemisahan mutu ikan, panjang dan jenis ikan. Belum ada pemisahan ikan (penyortiran) berdasarkan berat ikan. Setelah semua ikan telah selesai dibongkar dan dipisahkan dalam keranjang-keranjang (basket) atau wadah lainnya, maka mulai dilakukan pemindahan hasil tangkapan dari dek ke dermaga.

Ikan yang akan dipindahkan dari dek ke dermaga, biasanya telah mengalami penseleksian terlebih dahulu seperti penseleksian menurut jenis, berat dan mutu; walaupun seleksi ukuran berat dan mutu masih bersifat relatif “berat kira-kira dan mutu kira-kira”. Ikan yang akan diturunkan ataupun dipindahkan dari dek ke dermaga biasanya selain telah mengalami penyeleksian, juga telah mengalami penanganan berupa pemberian es pada permukaan ikannya. Pemberian es ini bertujuan untuk tetap menjaga suhu ikan agar tetap berada pada suhu rendah, apalagi di pelabuhan perikanan di Indonesia, tidak ada penutup terhadap sinar matahari pada jalur pengangkutan dari dek ke dermaga maupun dari dermaga ke TPI (Pane 2005).

Selama ini di beberapa pelabuhan perikanan di Indonesia, hanya ikan-ikan yang akan diekspor yang mengalami penanganan yang baik, seperti pada ikan tuna dan ikan layur. Ikan tuna mengalami pemotongan bagian-bagian tertentu dari tubuh ikan seperti sirip dan insang, bahkan ikan tuna yang akan diekspor di

freezer terlebih dahulu di dalam palkah. Beberapa penanganan yang dilakukan

seperti di atas tidak ditemukan pada penangan ikan selain tuna dan layur. Ikan lain hanya mengalami penanganan berupa pemberian es saja. Bustami (2001) menyatakan bahwa terdapat kejanggalan dalam juklak Perda No 10/1998. Peraturan lelang yang tercantum dalam juklak No 4 dan No 5 tahun 2001 dinyatakan bahwa ada beberapa ikan yang tidak harus dilelang yaitu ikan yang akan diekspor, ikan untuk penelitian, konsumsi (lauk pauk), dan hasil tangkapan olahraga.

(5)

Penanganan Hasil Tangkapan

Prinsip penanganan adalah segera mengawetkan dan atau mendinginkan ikan sampai sekitar suhu 00C secara cepat, cermat dan menerapkan aspek sanitasi higienis serta mempetahankan suhu rendah selama proses penanganan sampai saat ikan diserahkan kepada konsumen akhir (Anonymous 1991 vide Mulyadi 2007).

Ikan mempunyai karakteristik berbeda jika dibandingkan dengan komoditas lain, yaitu bersifat mudah rusak mutunya. Dengan penanganan yang semestinya terhadap hasil tangkapan diharapkan dapat membantu mempertahankan mutu ikan. Mutu ikan itu sendiri tidak dapat ditingkatkan tetapi hanya bisa dipertahankan dengan upaya menghentikan metabolisme bakteri yang ada di dalam tubuh ikan. Salah satu cara agar metabolisme bakteri turun yaitu dengan melakukan penurunan suhu lingkungan hidup bakteri tersebut dengan pemberian es (Ilyas 1983 vide Hardani 2008).

Menurut Purnomo (1995) yang dikutip dalam Mulyadi (2007), metode pendinginan ikan yang sudah umum diterapkan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu:

1) Pendinginan dengan es (icing).

2) Pendinginan dengan udara dingin (chilling in cold air) 3) Pendinginan dengan air dingin (chilling in cold water)

Purnomo selanjutnya menyatakan bahwa metode pendinginan tersebut di atas bertujuan untuk tetap mempertahankan mutu ikan dan meminimalisir terjadinya penurunan mutu ikan yang diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme bakteri dalam tubuh ikan. Perlakuan yang diberikan terhadap ikan dengan metode pendinginan yang berbeda disesuaikan dengan kebutuhannya dan disesuaikan dengan ketersediaan fasilitas pendingin.

2.2 Pelelangan dan Kemampuan Pelelangan 2.2.1 Pelelangan ikan

Pelelangan ikan merupakan suatu kegiatan dimana penjual dan pembeli bertemu dalam satu tempat (gedung TPI), didalamnya terjadi proses tawar-menawar harga ikan sehingga diperoleh harga yang mereka sepakati bersama

(6)

(Hardani 2008). Dalam proses tawar menawar ini, kualitas ikan akan memegang peranan penting dalam penentuan harga. Pembeli akan memberikan penawaran yang lebih tinggi terhadap ikan yang memiliki kualitas lebih baik. Meskipun pada awalnya nelayan yang akan mengajukan harga terlebih dahulu “melalui” petugas lelang (Pane 2009b).

Pelelangan ikan diatur pertama kali dalam Peraturan Pemerintah No.64/1957 tentang penyerahan sebagian dari urusan pemerintah pusat di lapangan perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada daerah-daerah swatantra tingkat I. Di dalam peraturan pemerintah (PP) ini diatur mengenai pelelangan ikan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Bustami 2001).

Untuk daerah Jawa Barat, selanjutnya menurut Bustami berlaku Peraturan Daerah Propinsi Dati Jawa Barat No 15/1984 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang. Peraturan ini kemudian direvisi sehingga keluar Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 Tentang: Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan.

2.2.2 Mekanisme pelelangan ikan

Setelah hasil tangkapan mengalami proses pendaratan dan penyortiran berdasarkan jenis, ukuran dan mutu secara relatif, kemudian dibawa menuju gedung TPI untuk dilelang. Peserta pelelangan, seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005, diikuti oleh beberapa pihak, diantaranya nelayan pemilik, pengusaha ikan, dan bakul. Berdasarkan peraturan daerah tersebut, tentang penyelenggaraan pelelangan, pada Bab III Pasal 5 dinyatakan bahwa pelaksanaan pelelangan ikan diselenggarakan oleh KUD Mina yang memenuhi syarat. Sebelum tahun 2000, penyelenggara/pengelola pelelangan ikan di TPI dipegang oleh Dinas Perikanan daerah setempat, sampai tahun 1999 sebelum kemudian dialihkan ke KUD Mina.

(7)

Hardani (2008) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pelelangan, terdapat beberapa tata tertib yang harus dipatuhi. Tata tertib ini mengatur keberlangsungan pelelangan. Adapun tata tertib yang harus ditaati adalah sebagai berikut:

1) Kapal perikanan yang mendarat atau membongkar hasil tangkapannya

diwajibkan:

a. Melaporkan kedatangannya ke tim terpadu. b. Meminta nomor urut pelelangan.

2) Pembongkaran dan pemuatan ikan dilakukan oleh awak kapal.

3) Tempat/wadah ikan yang akan dilelang adalah trays milik pelabuhan perikanan.

4) Pengangkutan ikan dari bibir dermaga ke lantai pelelangan dilaksanakan oleh TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat).

5) Pelaksanaan pelelangan hanya untuk: a. Petugas.

b. Nelayan. c. Peserta lelang.

6) Peserta lelang yang berhak mengikuti adalah peserta lelang yang menyimpan uang jaminan.

7) Jumlah hasil lelang tidak diperkenankan melebihi jumlah uang yang dijaminkan.

8) Peserta lelang yang akan mengangkut ikan hasil lelang ke luar lokasi TPI harus memperlihatkan tanda bukti pembayaran kepada petugas.

Hardani selanjutnya menyatakan bahwa dalam suatu kegiatan pelelangan, terdapat pelaku-pelaku sebagai berikut: (1) Juru lelang yang bertugas melelang ikan hasil tangkapan nelayan; (2) Juru catat yang bertugas mendampingi juru lelang dan mencatat setiap transaksi yang dihasilkan; (3) Juru timbang yang bertugas menimbang ikan yang akan dilelang; (4) Nelayan selaku penjual ikan; dan (5) Pembeli ikan.

Adapun tahapan yang harus dijalani dalam proses pelelangan ikan adalah sebagai berikut (Hardani 2008):

(8)

1) Ikan hasil tangkapan yang didaratkan ditimbang terlebih dahulu dalam satu

trays oleh juru timbang dan diberi label yang berisi data tentang nama kapal,

berat ikan dan jenis ikan.

2) Pembeli ikan/bakul yang ingin ikut dalam lelang harus menyimpan uang jaminan kepada juru karcis. Uang yang disimpan paling sedikit Rp. 500.000,00.

3) Juru karcis memberikan identitas kepada penyimpan uang kepada juru lelang. 4) Ikan dilelang sesuai jenis ikan dan pelelangan dilakukan secara terbuka

dengan kebebasan dalam persaingan harga. Pembeli/bakul yang berani menawar dengan harga tertinggi, maka akan memenangkan lelang.

5) Setelah ikan terjual, juru lelang memberikan laporan kepada juru karcis. 6) Bakul membayar tagihan kepada juru karcis dengan nilai: Nilai lelang + (3%

x Nilai Lelang)- uang jaminan.

7) Nelayan mengambil uang hasil penjualan ikan ke juru karcis dengan jumlah: Nilai lelang – (2%x nilai lelang).

Di PPN Palabuhanratu, kegiatan pelelangan ikan hasil tangkapan dilakukan pada pagi hari, saat matahari belum bersinar dengan terik, dengan alasan bahwa ikan akan mengalami penurunan mutu yang cepat jika terkena sinar matahari langsung. Namun, kegiatan pelelangan ini sudah tidak berjalan lagi. Hal ini sudah berlangsung lama, tepatnya ketika beberapa tahun setelah penyelenggara atau pengelola pelelangan dialihkan dari Dinas Perikanan ke KUD Mina Mandiri Sinar Laut pada tahun 2000 (Pane 2007).

Menurut Sulaeman (2007) kegiatan pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu diselenggarakan oleh KUD Mina Mandiri Sinar Laut berdasarkan kepada:

1) Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan.

2) Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2006.

3) Surat izin penyelenggaraan pelelangan dari Gubernur Jawa Barat melalui Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat.

Kegiatan pelelangan mengalami kemunduran. Frekuensi pelelangan tidak tiap hari (Mahyuddin 2001). Pelelangan diselenggarakan jika pihak nelayan dan

(9)

pembeli meminta adanya lelang. Selain itu, kegiatan pelelangan juga terganggu dengan adanya premen-preman yang beroperasi didalam gedung TPI, dengan cara membeli hasil tangkapan nelayan untuk kemudian dijual kembali kepada konsumen.

Mahyuddin selanjutnya menyatakan bahwa kualitas SDM KUD pun diduga sebagai penyebab kemunduran pelelangan ikan hasil tangkapan di TPI PPN Palabuhanratu. Pembentukan KUD yang tidak berasal dari bawah (dari nelayan), juga menyebabkan KUD Mina jadi tidak mengakar sehingga kehilangan wibawa dihadapan nelayan.

Selain hal-hal di atas, akibat pada masa lalu KUD Mina merupakan lembaga sosial-ekonomi yang memperoleh dana paling besar untuk operasionalnya secara mudah dari pemerintah dan dana ini bukanlah ‘dana kerja’ yang harus berputar, melainkan diberikan begitu saja tanpa ada bukti penggunaan (Aziz 2009). Aziz selanjutnya menyatakan bahwa Koperasi Unit Desa (KUD) Mina menjadi tidak mandiri, maka ketika terjadi perombakan lembaga ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, KUD Mina belum mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sifat mandiri yang dituntut oleh pemerintah terhadap KUD Mina tidak berjalan, sedangkan KUD Mina dituntut mandiri dalam melaksanakan unit usahanya, diantaranya penyelenggaraan pelelangan ikan. Hal ini menyebabkan KUD Mina selalu mengeluhkan kekurangan modal untuk menyelenggarakan lelang, sehingga membuat penyelenggaraan pelelangan di PPN Palabuhanratu menjadi tersendat.

2.2.3 Keuntungan dan kerugian pelelangan ikan

Kegiatan pelelangan, sebenarnya diarahkan pada keadaan pasar monopolistik. Dimana hanya ada satu penjual (para nelayan diwakili petugas lelang) dan terdapat banyak pembeli. Dengan kondisi demikian, maka nelayan akan mempunyai dampak positif berupa bargaining power yang tinggi, sehingga akan membuat nilai jual ikan menjadi tinggi. Keadaan ini akan berimplikasi pada pendapatan nelayan yang tinggi pula. Namun, karena pelaku pelelangan (pengelola TPI, nelayan, dan pembeli) tidak menyadari hal ini, maka pelelangan di PPN Palabuhanratu ataupun pelabuhan perikanan lainnya tidak berjalan secara optimal. Bahkan sebagian nelayan memandang bahwa pelelangan tidak

(10)

berdampak positif bagi mereka. Adanya retribusi pelelangan yang dibebankan kepada nelayan, juga membuat mereka merasa terbebani. Padahal jika ditinjau, retribusi tersebut diberlakukan dengan maksud yang baik. Retribusi hasil pelelangan akan dialokasikan dengan jumlah tertentu untuk pendapatan daerah, pelabuhan itu sendiri, dan sebagai ‘modal kerja’ bagi pihak pengelolan pelelangan (Aziz 2009).

Selain masalah diatas, ketersediaan jumlah trays yang tidak cukup menimbulkan permasalahan bagi nelayan pada waktu pelelangan. Dalam pelaksanaan lelang, berdasarkan kunjungan ke beberapa pelabuhan perikanan seperti PPN Pekalongan, jumlah trays yang digunakan dalam penyelenggaraan lelang bisa lebih dari puluhan trays. Dengan sistem bergilir/bergantian yang diberlakukan dalam lelang, maka nelayan yang mendapatkan undian paling akhir menggunakan trays dengan waktu tunggu yang lama akan mengalami penurunan mutu pada ikannya. Penurunan mutu ini sebenarnya bisa berasal dari awal penangkapan ikan di laut dimana nelayan tidak memperhatikan proses penanganan ikan dengan baik. Hal ini akan membuat harga ikan hasil tangkapan menjadi turun. Selain itu, pelelangan yang ada di beberapa pelabuhan perikanan, seperti di PPN Pekalongan, PPN Palabuhanratu belum dihadiri oleh banyak pengusaha/pedagang pembeli, kalaupun ada jumlahnya masih sangat terbatas. Keadaan ini membuat pemasaran menjadi kurang kompetitif, dan jika demikian maka pelabuhan perikanan sukar berkembang (Pane 2009b).

Belum cukup ada kesadaran dari masing-masing pihak terutama nelayan mengenai penyelenggaraan lelang. Masih banyak yang belum memahami secara utuh arti dari pelelangan. Pemerintah yang seharusnya mampu mengarahkan pelelangan pada arti sebenarnya juga masih belum berperan banyak. Dalam retribusi yang diambil dari nelayan sebesar 3%, terdapat dana paceklik yang merupakan simpanan nelayan, yang seharusnya disimpan untuk kemudian diberikan kembali kepada nelayan saat musim paceklik tiba, namun dana tersebut masih belum bermanfaat bagi para nelayan karena penarikan retribusi tersebut tidak di audit (Mahyuddin 2001). Tidak jarang uang retribusi itu lenyap atau tidak diketahui penggunaannya dan nelayan tidak merasakan manfaatnya.

(11)

2.2.4 Kemampuan pelelangan ikan hasil tangkapan

Kemampuan pelelangan ikan adalah kemampuan atau keahlian yang dimiliki baik secara teknis maupun secara manajemen pengelola pelelangan dalam menyelenggarakan pelelangan secara baik (Pane 2009b). Pane selanjutnya menyebutkan bahwa indikator yang bisa digunakan dalam menentukan sejauh mana kemampuan pelelangan ikan hasil tangkapan pengelola TPI adalah:

1) Pelelangan berjalan dengan baik, tidak terjadi oppow yaitu dimana pemilik kapal membeli ikan hasil tangkapan dari kapalnya sendiri.

2) Tidak adanya intimidasi kepada penjual (nelayan) saat akan menyelengarakan pelelangan ikan.

3) Nelayan memperoleh manfaat secara nyata dari adanya penyelenggaraan pelelangan ikan, misalnya kesejahteraan nelayan meningkat.

4) Mutu ikan yang akan dilelang terjaga.

5) Ikan hasil tangkapan yang didaratkan mengalami peningkatan. 6) Kondisi di gedung TPI bersih dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Menurut Pane (2006), kemampuan pelelangan perlu diteliti bila terdapat tiga alternatif alasan berikut:

1) Pelelangan tidak ada,

2) Pelelangan ada tetapi belum terselenggara dengan baik (ditinjau dari berbagai tempat),

3) Pelelangan telah berlangsung dengan baik dan ingin diketahui bagaimana pengelolaan pelelangan yang baik.

Pane selanjutnya mengungkapkan bahwa ada beberapa aspek yang perlu diteliti/dikaji terkait dengan kemampuan pelelangan hasil tangkapan bagi penyelenggaraan/pengelolaan pelelangan:

1) Aspek persyaratan pelelangan, yaitu kemampuan pemenuhan persyaratan lelang yang seharusnya:

(1) Syarat ketersediaan hasil tangkapan yang didaratkan yang cukup dan memiliki syarat mutu untuk dilelang,

(12)

(2) Syarat adanya peserta lelang, penjual (nelayan), pedagang/pembeli dan pengolah ikan,

(3) Syarat adanya prasarana dasar pelelangan seperti dermaga pendaratan, kolam labuh, gedung TPI, gedung/bangunan/ruang lapak/pedagang/ pengolah pembeli, lahan parkir, prasarana air bersih dan prasarana penyediaan es,

(4) Syarat adanya sarana dasar pelelangan seperti sarana lelang

(basket/keranjang HT; timbangan; pengeras suara; kursi tinggi petugas pelelangan), sarana penyediaan es, es, sarana penyediaan air bersih dan air bersih.

(5) Syarat adanya organisasi dan pengelolaan pelelangan,

(6) Syarat adanya pengontrol mutu hasil tangkapan, sanitasi dan higienitas fasilitas pelelangan,

(7) Syarat adanya kebijakan-kebijakan/aturan-aturan yang mengatur lelang dari otoritas terkait (berhubungan dengan butir a sampai e) dan penyelenggaraannya.

(8) Syarat adanya pasar, daya serap/potensi pasar (lokal/kota sekitar PP/PPI) terhadap ikan basah/olahan.

(9) Syarat adanya jalan seperti kondisi prasarana jalan menuju pasar lokal dan atau antar kota

(10)Syarat adanya transportasi angkutan ikan seperti kondisi sarana tranportasi angkutan ikan menuju pasar lokal dan antar kota.

2) Aspek kemampuan pelaksanaan pelelangan yang benar (kemampuan

sumberdaya manusia).

(1) Kemampuan mengorganisir lelang lelang seperti kemampuan

mengorganisasi pelaksanaan lelang serta kemampuan pelaksanaan lelang dari sisi waktu.

(2) Kemampuan penyediaan sarana pelelangan untuk menyelenggarakan

pelelangan dan pelaku lelang.

(3) Kemampuan penyediaan sistem lelang (terbuka/tertutup) dan

(13)

(4) Kemampuan terselanggaranya penjaminan mutu yang dilelang (kontrol mutu dan kontrol sanitasi).

(5) Kemampuan pengembangan sarana dan prasarana lelang.

(6) Kemampuan membuat kebijakan/aturan untuk penyelenggaraan

pelelangan yang baik dan belum diatur oleh otoritas terkait atau kemampuan membuat turunan kebijakan/aturan yang sudah ada atau penjabarannya.

2.3 Pelabuhan Perikanan

2.3.1 Deskripsi kelas dan fungsi pelabuhan perikanan

Lubis (2007) menyatakan bahwa pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Jika kita melihatnya berdasarkan fungsinya pelabuhan perikanan merupakan tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan pengusaha perikanan tangkap dan menjadi basis pengembangan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di daerah pesisir yang bersangkutan.

Selanjutnya Lubis menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, maka Pelabuhan Perikanan dibagi menjadi 4 kategori utama yaitu:

(1) PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera). (2) PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara). (3) PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai). (4) PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan).

Pelabuhan tersebut di atas dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan masing-masing pelabuhan untuk menangani kapal yang datang dan pergi serta letak dan posisi pelabuhan. Terdapat beberapa kriteria yang membedakan keempat kategori tersebut seperti terlihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Pengklasifikasian pelabuhan perikanan bertujuan untuk memudahkan dalam pengelolaan, dan pengembangan pelabuhan. Namun pengklasifikasian pelabuhan, umumnya berbeda antar negara. Hal ini tergantung dari sistem pengelolaan yang

(14)

digunakan, kondisi ekonomi, politik, dan budaya serta tujuan prioritas pengembangan ( Lubis, 2007).

Bila ditinjau dari fungsinya, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi yang berbeda dengan jenis pelabuhan lainnya dimana pelabuhan perikanan dikhususkan untuk aktivitas di bidang perikanan tangkap. Lubis menyatakan bahwa terdapat dua jenis pengelompokkan fungsi pelabuhan perikanan yaitu ditinjau dari pendekatan kepentingan dan segi aktivitasnya, namun kedua jenis kelompok tersebut pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan yang sama.

Tabel 1 Kriteria pelabuhan PPS, PPN, PPP, dan PPI

No Kriteria pelabuhan perikanan PPS (Tipe A) PPN (Tipe B) PPP (Tipe C) PPI (Tipe D) 1 Daerah operasional

kapal ikan yang dilayani Wilayah laut teritorial, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEEI) dan perairan internasional Perairan ZEEI dan laut teritorial Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, wilayah ZEEI Perairan pedalama n dan perairan kepulauan 2 Fasilitas tambat/labuh kapal >60 GT 30-60 GT 10-30 GT 3-10 GT

3 Panjang dermaga dan Kedalaman kolam >300 m dan >3 m 150-300 m dan >3 m 100-150 m dan >2 m 50-100 m dan >2 m 4 Kapasitas menampung Kapal >6000 GT (ekivalen dengan 100 buah kapal berukuran 60 GT) >2250 GT (ekivalen dengan 75 buah kapal berukuran 30 GT) >300 GT (ekivalen dengan 30 buah kapal berukuran 10 GT) >60 GT (ekivalen dengan 20 buah kapal berukuran 3 GT)

5 Volume ikan yang

didaratkan rata-rata 60 ton/hari rata-rata 30 ton/hari - -

6 Ekspor ikan Ya Ya Tidak Tidak

7 Luas lahan >30 Ha 15-30 Ha 5-15 Ha 2-5 Ha

8 Fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan

Ada Ada/Tidak Tidak Tidak 9 Tata ruang (zonasi)

pengolahan/pengemb angan industri perikanan

Ada Ada Ada Tidak

(15)

Lubis menyatakan bahwa fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan terbagi menjadi 3 fungsi, diantaranya:

1) Fungsi Maritim

Pelabuhan perikanan mempunyai aktivitas-aktivitas yang bersifat

kemaritiman, yaitu merupakan suatu tempat kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan untuk semua aktivitasnya. Dengan adanya fungsi ini maka yang dicirikan kemaritiman dari suatu pelabuhan melalui penyediaan kolam pelabuhan yang besar dan cukup dalam agar kapal besar dapar bergerak leluasa, dermaga yang cukup panjang, dan adanya rambu-rambu navigasi.

2) Fungsi Pemasaran

Fungsi pemasaran timbul karena pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikan.

3) Fungsi Jasa

Fungsi ini meliputi seluruh jasa-jasa pelabuhan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Fungsi jasa dapat dikelompokkan menjadi:

(1) Jasa pelayanan pendaratan ikan. Antara lain penyediaan alat pengungkat ikan, keranjang/basket dan buruh untuk membongkar ikan.

(2) Jasa pelayanan perbekalan melaut. Antara lain menyediakan bahan bakar, air bersih dan es.

(3) Jasa penanganan mutu ikan. Antara lain terdapatnya fasilitas cold storage,

cool room, pabrik es dan penyediaan air bersih.

(4) Jasa pelayanan keamanan pelabuhan. Antara lain adanya jasa pemanduan bagi kapal-kapal yang akan masuk dan keluar pelabuhan.

(5) Jasa pemeliharaan kapal. Antara lain adanya fasilitas docking, slipways dan bengkel untuk memelihara kondisi badan kapal, mesin, dan peralatannya agar tetap dalam kondisi baik dan siap kembali melaut. Slipway, untuk memelihara atau memperbaiki khususnya bagian lunas kapal.

Selain fungsi pelabuhan berdasarkan kepentingannya, terdapat juga fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitasnya yaitu sebagai pusat kegiata ekonomi perikanan baik ditinjau dari aspek pendaratan dan pembongkaran ikan,

(16)

pengolahan, pemasaran dan pembinaan terhadap masyarakat nelayan. Fungsi-fungsi tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Lubis 2007):

1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran.

Pelabuhan perikanan lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut. Pelabuhan perikanan sebagai tempat pemusatan armada penangkap ikan untuk mendaratkan hasil tangkapan, tempat berlabuh dengan aman, menjamin kelancaran pembongkaran ikan, dan penyediaan baha perbekalan.

2) Fungsi Pengolahan.

Pelabuhan perikanan sebagai tempat untuk membina peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian dari pasca tangkap. Fungsi pengolahan ikan ini merupakan salah satu fungsi yang penting terutama pada saat musim ikan dan yaitu untuk menampung produksi perikanan yang tidak habis terjual dalam bentuk segar.

3) Fungsi Pemasaran.

Pelabuhan perikanan juga berfugsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun bagi pedagang. Dengan demikian maka sistem pemasaran dari tempat pelelangan ikan ke konsumen harus diorganisir secara baik dan teratur. Pelelangan ikan adalah kegiatan awal dari pemasaran ikan di pelabuhan perikanan untuk mendapatkan harga yang layak khususnya bagi nelayan.

4) Fungsi Pembinaan Terhadap Masyarakat Nelayan.

Fungsi ini menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk sekitar dan sebagai tempat pembinaan masyarakat perikanan seperti nelayan, pedagang, pengolah dan buruh angkut agar mampu menjalankan aktivitasnya dengan baik. Melalui pembinaan ini, para pelaku diharapkan dapat menguasai kegiatannya lebih baik lagi sehingga masing-masing pengguna memperoleh manfaat dan keuntungan yang optimal.

2.3.2 Fasilitas pelabuhan perikanan

Dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, pelabuhan perikanan dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di pelabuhan perikanan atau di pangkalan pendaratan ikan umumnya terdiri dari (Lubis 2007):

(17)

1) Fasilitas Pokok.

Fasilitas pokok atau juga infrastruktur adalah fasilitas dasar atau pokok yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas pokok antara lain:

(1) Dermaga.

Dermaga merupakan suatu bangunan kelautan yang berfungsi sebagai tempat labuh dan bertambatnya kapal, bongkar muat hasil tangkapan dan mengisi bahan perbekalan untuk keperluan penangkapan ikan di laut.

(2) Kolam pelabuhan

Kolam pelabuhan merupakan daerah perairan pelabuhan untuk masuknya kapal yang akan bersandar di dermaga. Kolam pelabuhan menurut fungsinya terbagi dua yaitu (a) Alur pelayaran, dan (b) Kolam putar.

(3) Alat bantu navigasi (4) Breakwater

Pemecah gelombang adalah suatu struktur bangunan kelautan yang berfungsi untuk melindungi pantai atau daerah di sekitar pantai terhadap pengaruh gelombang laut.

2) Fasilitas Fungsional

Fasilitas fungsional dikatakan juga suprastruktural adalah fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas ini diantaranya tidak harus ada di suatu pelabuhan namun fasilitas ini disediakan sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan perikanan tersebut. Fasilitas-fasilitas fungsional ini dikelompokkan antara lain untuk:

(1)Penanganan hasil tangkapan dan pemasarannya, yaitu:

(18)

Tempat pelelangan ikan mempunyai fungsi untuk melelang ikan, dimana terjadi pertemuan antara penjual dengan pembeli. Ruangan yang ada pada gedung pelelangan adalah:

 Ruang sortir yaitu tempat membersihkan, menyortir dan

memasukkan ikan ke dalam peti atau keranjang.

 Ruang pelelangan yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan.

 Ruang administrasi pelelangan terdiri dari loket-loket, gudang peralatan lelang, ruang duduk untuk peserta lelang, toilet, dan ruang cuci umum.

 Fasilitas pemeliharaan dan pengolahan hasil tangkapan ikan, seperti gedung pengolahan dan tempat penjemuran ikan.

 Pabrik es.

 Gudang es.

 Refrigerasi/fasilitas pendingin, seperti cool room, cold storage.

 Gedung-gedung pemasaran

Tempat grosir memasarkan ikannya. Gedung ini biasanya dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti alat sortir, timbangan, dan pengepakan.

(2)Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan armada dan alat penangkapan ikan, yaitu:

 Lapangan perbaikan alat penangkap ikan.

 Ruang mesin.

 Tempat penjemuran alat penangkap ikan.

 Bengkel: fasilitas untuk memperbaiki bagian lunas kapal.

 Gudang jaring: tempat untuk menyimpan jaring.

Vessel lift: fasilitas untuk mengangkat kapal dari kolam pelabuhan ke

lapangan perbaikan kapal.

(3)Fasilitas perbekalan: tangki, instalansi air minum, tangki bahan bakar. (4)Fasilitas komunikasi: stasiun jaringan telepon, radio SSB.

(19)

4) Fasilitas Penunjang

Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan atau para pelaku mendapatkan kenyamanaan melakukan aktivitas di pelabuhan. Berikut ini adalah beberapa fasilitas penunjang yang biasanya ada di pelabuhan perikanan:

(1) Fasilitas kesejahteraan: Mandi Cuci Kakus (MCK), poliklinik, mess, kantin/warung, musholla.

(2) Fasilitas administrasi: kantor pengelola pelabuhan, ruang operator, kantor syahbandar dan kantor beacukai.

2.3.3 Pengelolaan pelelangan di pelabuhan perikanan

Dasar penunjukkan KUD Mina sebagai pengelola gedung TPI dan penyelenggara pelelangan adalah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang: Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Hal ini tercantum pada Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa “izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai penyelenggaraan pelelangan diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat. Selain itu penunjukkan KUD Mina sebagai pegelolan pelelangan tidak terlepas dari keberadaan KUD Mina sebagai suatu lembaga sosial ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya yaitu nelayan, melalui perannya sebagai pengelola pelelangan. Penunjukkan KUD Mina sebagai pengelola pelelangan ini seperti mengembalikan KUD pada peran yang sebenarnya pada masa awal berdiri.

Menurut Dahuri (2005), koperasi perikanan pada awalnya hanya

menyelenggarakan jual beli ikan hasil tangkapan melalui penangkapan, kemudian berkembang dengan usaha perkreditan untuk biaya penangkapan. Pungutan yang diperoleh dari hasil lelang dipergunakan untuk biaya administrasi, dana asuransi kecelakaan laut, pembelian bahan perikanan, pembuatan perahu, dan pengolahan ikan secara tradisional.

Koperasi itu sendiri menurut ICA (International Cooperative Alliance) adalah perkumpulan otonom orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya mereka yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis (Baga 2009).

(20)

Baga selanjutnya menyatakan bahwa koperasi melandasi nilai-nilai menolong diri sendiri, bertanggung jawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas. Nilai-nilai koperasi mengandung gagasan umum yang akan dilaksanakan dalam prakteknya dengan prinsip-prinsip koperasi sebagai pedomannya. Gagasan umum dan prinsip-prinsip koperasi adalah sebagai berikut (Tabel 2):

Tabel 2 Gagasan umum dan prinsip koperasi

Gagasan Umum Prinsip Koperasi

1. Menolong diri sendiri berdasarkan pada solidaritas

1. Menolong diri sendiri 2. Meningkatkan kesejahteraan

anggota

3. Sukarela dan keanggotaan terbuka 4. Jatidiri sebagai pemilik dan

pelanggan

2. Demokrasi 5. Manajemen dan pengawasan secara

demokratis 3. Tidak menekankan pada kekuatan

modal

6. Kerjasama perorangan

7. Modal sosial yang tidak dapat dibagi

4. Ekonomi 8. Efisiensi ekonomi dari perusahaan

koperasi

5. Kebebasan 9. Perkumpulan secara sukarela

10. Otonomi dalam menentukan tujuan dan pengambilan keputusan

6. Keadilan 11. Pembagian hasil usaha secara adil

7. Kemajuan sosial melalui pendidikan 12. Pendidikan anggota

(Sumber: Baga 2009)

Jika kita perhatikan jatidiri koperasi secara umum pada Tabel 2, poin-poin yang tercantum memang sangat menguntungkan bagi nelayan. Adanya pendidikan untuk anggota misalnya, akan membuat nelayan selaku anggota Koperasi (KUD) mempunyai pengetahuan yang lebih di bidang lain selain penangkapan seperti pemasaran dan pengolahan ikan. Hal ini terbukti dari adanya peran ekonomi secara sentral bagi nelayan seperti adanya simpan pinjam yang dilakukan oleh Koperasi Mina, seperti KUD Mina Fajar Sidik (Dahuri 2005).

Penunjukkan KUD Mina sebagai pengelola pelelangan seperti

mengembalikan fungsi dan tujuan awal berdirinya KUD Mina. Pada masa awal berdirinya, KUD Mina memiliki berbagai macam kemungkinan unit usaha (Gambar 1) yang dikembangkan dan memiliki pangsa pasar yang potensial.

(21)

(Sumber: Dahuri, 2005)

Gambar 1 KUD Mina dengan kemungkinan unit-unit usahanya.

2.4 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu merupakan satu-satunya pelabuhan perikanan tipe B yang berada di pantai selatan pulau Jawa setelah PPN Cilacap menjadi pelabuhan perikanan tipe Samudera. Keputusan Menteri No.3 Tahun 2004 pada pasal 10 menyatakan bahwa klasifikasi PPN (tipe B) ditetapkan berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut (Anonymous 2004 vide

Mulyadi 2007):

1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut terotorial dan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif;

2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 Gross Tonnage (GT);

3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan kedalaman kolam

sekurang-kurangnya minus 3 m;

4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau umlah

keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan sekaligus;

5) Umlah ikan yang didaratkan rata-rata 30 ton per hari; 6) Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor;

Pengadaan Saran(Kapal Ikan, Alat Tangkap),

Pemasok Domestik

Pabrik es, cold strorage, pengemasan hasil tangkapan - Supermarket - Hotel - Restoran - Catering - Industri pengolahan Retail Domestik - Pasar Tradisional - Outlet - Pedagang keliling KUD Mina Produksi (Penangkapan Ikan) Pengolahan HT Pemasaran HT

(22)

7) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 15 ha;

8) Memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan dan terdapat industri perikanan.

Fungsi pokok Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu adalah sebagai prasarana pendukung aktivitas nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut, penanganan dan pengolahan ikan hasil tangkapan, dan pemasaran serta sebagai tempat untuk melakukan pengawasan kapal ikan. Berdasarkan fungsi itu maka tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh pelabuhan ini adalah dengan pelayanan yang diberikan diharapkan produktivitas kapal dan pendapatan nelayan meningkat (Laporan Tahunan PPN Palabuhanratu 2009).

Dalam Laporan tersebut juga dinyatakan bahwa Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu direncanakan untuk melayani kapal-kapal perikanan yang berukuran lebih dari 60 GT yang beroperasi di perairan Nusantara dan Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Sedangkan PPN Pelabuhanratu memiliki sarana pemasaran dan distribusi ikan berupa TPI dan pasar ikan dan areal industri untuk menampung kegiatan pengepakan dan pengolahan ikan. Kebutuhan fasilitas bagi PPN Pelabuhanratu disesuaikan dengan pola kegiatan operasional palabuhan perikanan yang mencakup:

1) Kegiatan operasional di laut, meliputi kegiatan penangkapan ikan di laut

(fishing ground).

2) Kegiatan operasional di darat, meliputi kegiatan sebagai berikut: (1) Pelelangan (auctioning),

(2) Penyortiran dan pengepakan (sorting & packing),

(3) Pengolahan (processing),

(4) Pengangkutan (transportation),

(5) Pemasaran (marketing)

(6) Pendaratan di dermaga bongkar (landing), (7) Pelayanan di dermaga muat (servicing),

(8) Perawatan dan perbaikan (maintenance and repairs),

(23)

2.5 Analisis SWOT

Analsis SWOT adalah analisis internal yang meliputi strength dan weakness

serta eksternal yang meliputi opportunities dan threats yang dihadapi dalam penyelenggaraan pelelangan ikan hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu, sehingga nantinya ditemukan suatu strategi yang tepat utnuk mengelola pelelangan. Rangkuti (2006) menyatakan bahwa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Perusahaan yang dimaksud disini merupakan suatu badan yang memiliki organisasi secara terstruktur, maka dalam hal ini pelabuhan perikanan dapat dianggap sebagai suatu badan atau perusahaan yang bergerak dibidang jasa untuk melayani dan memastikan kelancaran kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan-kegiatan turunannya mulai dari penyediaan ikan, pemasaran, pengolahan dan pendistribusian sampai kepada konsumen dan kegiatan lainnya.

Rangkuti selanjutnya menyatakan bahwa analisis di atas didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman dalam rangka pengambilan keputusan strategis. Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan dari pihak stakeholder. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis dalam penyelenggaraan pelelangan ikan dari segi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada kondisi saat ini. Hal ini disebut juga dengan Analisis Situasi.

2.5.1 Faktor Eksternal

Pengaruh faktor eksternal sangat penting untuk diperhatikan dalam menentukan strategi pelelangan di PPN Palabuhanratu. Pihak pelabuhan harus pandai dalam membaca situasi dari lingkungan baik berupa peluang maupun ancaman. Menurut Latar (2004) vide Syafitri (2007), faktor-faktor eksternal terbagi atas lima kategori, yaitu:

1) Faktor ekonomi.

2) Faktor sosial, budaya, demografi, dan lingkungan. 3) Faktor politik, pemerintah dan kekuatan hukum.

(24)

4) Faktor teknologi. 5) Faktor persaingan.

Faktor-faktor di atas dapat mempengaruhi perusahaan, dalam hal ini, pengelola TPI, dalam menentukan strategi atau kebijakan.

2.5.2 Faktor Internal

Faktor internal dapat menjadi keunggulan suatu perusahaan yang dapat digunakan sebagai suatu kekuatan atau kemampuan perusahaan tersebut dalam membaca kelemahan yang dimiliki sehingga dapat menyiasati kemungkinan yang akan terjadi (Syafitri 2007).

2.5.3 Matrik Strength Weakness Opportunity Threath (SWOT)

Matrik SWOT merupakan tahap lanjutan dalam memanfaatkan informasi mengenai faktor eksternal dan internal (Tabel 3). Matrik ini dapat menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat disesuaikan dengan kekuatan serta kelemahan internal (Rangkuti 2006).

Tabel 3 Matrik Strenght Weakness Opportunity Treath (SWOT)

IFAS EFAS Kekuatan (S) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal Kelemahan (W) Tentukan fakor-faktor kelemahan internal Peluang (O)

Tentukan faktor peluang eksternal

Strategi SO Strategi WO

Ancaman (T)

Tentukan faktor ancaman eksternal

Strategi ST Strategi WT

(Sumber: Rangkuti 2006)

Rangkuti (2006) menyatakan bahwa keputusan yang dihasilkan analisis SWOT tersebut merupakan suatu strategi yang harus dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan, yaitu:

1) Startegi SO.

Strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

2) Strategi ST.

(25)

3) Strategi WO.

Strategi ini bertuuan untuk memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan yang ada.

4) Strategi WT.

Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Gambar

Tabel 1 Kriteria pelabuhan PPS, PPN, PPP, dan PPI
Tabel 2 Gagasan umum dan prinsip koperasi
Gambar 1 KUD Mina dengan kemungkinan unit-unit usahanya.

Referensi

Dokumen terkait

- direndam dalam HCl 0,1 M selama 24 jam - disaring dengan kertas saring - dicuci dengan aquades hingga bebas dari ion Cl- penambahan AgNO3 pada air pencucian sampel batang jagung

Analisis Dampak Kafein Terhadap Hasil Perhitungan Heart rate Lari 100 M dan Illinoise Agility Kafein mempunyai efek ergogenik yang dapat meningkatkan peforma, terutama

Dengan menggunakan penelitian tindakan kelas ini banyak manfaat yang bisa diperoleh. Khususnya manfaat tersebut dapat berguna untuk guru- guru Sekolah Dasar dalam

Biaya Eksplisit adalah biaya yang benar-benar harus dikeluarkan oleh industri pengolahan hasil pertanian untuk menghasilkan produk berupa keripik salak dan manisan

Self- - reflection reflection Emancipatory Emancipatory Power Power History/ Hermeneutics History/ Hermeneutics Practical Practical Practical Practical Interaction

Dari beberapa definisi akuntansi pertanggungjawaban diatas dapat diambil kesimpulan bahwa akuntansi pertanggungjawaban adalah sistem pengumpulan data dan pelaporan

Pengumpulan data dilakukan dengan cara kuisioner, yaitu untuk mendapatkan data tentang jumlah mahasiswa yang memiliki komputer, jumlah dosen yang mengajar dengan

bezziana di Indonesia (Makassar, Sumba Timur dan Bogor) mempunyai keragaman genetik yang berbeda dengan populasi Asia, tetapi identik dengan populasi Papua New Guinea