• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengaturan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam

Pembuktian Perkara Pidana

1. Menurut HIR (Herziene Inlands Reglement)

Pada masa HIR (Herziene Inlands Reglement), keterangan ahli tidak termasuk alat bukti dalam pembuktian perkara pidana. Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu kejahatan di mana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya tindak pidana yang telah dilakukan oleh tertuduh. HIR tidak memandang keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, tetapi menganggapnya sebagai keterangan keahlian yang dapat dijadikan hakim menjadi pendapatnya sendiri, jika hakim menilai keterangan ahli tersebut dapat diterima.43

Menurut Pasal 295 HIR disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah :44 a. kesaksian-kesaksian

b. surat-surat c. pengakuan d. isyarat-isyarat.

Selanjutnya dapat dilihat substansi alat-alat bukti yang sah menurut HIR yaitu :

43

R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 2

44

(2)

a. Kesaksian-kesaksian sebagai bukti

Yang dimaksud dengan kesaksian yaitu keterangan lisan yang diberikan oleh orang-orang yang secara langsung ataupun tidak langsung menghayati adanya perbuatan kejahatan misalnya:45

1. Orang-orang ynag langsung menjadi korban kejahatan

2. Orang-orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan adanya perbuatan kejahatan

3. Orang yang secara tidak langsung mengetahui adanya perbuatan kejahatan Keterangan lisan seseorang ini disumpah terlebih dahulu tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat, dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah. Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi de auditu.

Menurut Pasal 80 HIR menyatakan bahwa menjadi saksi dalam suatu perkara pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada sanksinya, akan tetapi tidak semua orang wajib menjadi saksi. Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam undang-undang wajib memberikan kesaksian. Mengenai siapa-siapa orang yang dikecualikan itu ditentukan dalam pasal-pasal sebagai berikut :46

45

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1980, hal. 57

46

R. Soesilo, Op.cit., hal. 204

1) Pasal 274 HIR

Dengan memperhatikan apa yang ditentukan dalam pasal yang berikut bahwa ini, maka tidak dapat didengar sebagai saksi dan dapat meminta mengundurkan diri sebagai saksi :

(3)

1o. Keluarga sedarah, atau keluarga semenda dalam turun ke atas atau ke bawah dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta pesakitan;

2o. Suami atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang atau perempuan dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan; lagi pula saudara ibu atau saudara bapa baik laki-laki, maupun perempuan, juga yang karena perkawinan, dan anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. 3o. Suami atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi

pesakitan, biarpun telah bercerai;

4o. Budak yang telah dibebaskan oleh pesakitan atau oleh salah seorang yang serta menjadi tertuduh.

Dalam Pasal 274 ini disebutkan beberapa golongan orang-orang yang dikecualikan. Mereka itu yang biasa disebut relatief onbevoegde getuigen (saksi yang mempunyai hak undur diri relatif dari memberikan kesaksian), umumnya tidak diperiksa menjadi saksi dan berhak meminta dibebaskan dirinya dari memberikan kesaksian.

2) Pasal 275 HIR

(1) Jika jaksa pada pengadilan negeri dan pesakitan bersama-sama dengan tegas mengizinkan, maka orang-orang yang tersebut pada pasal di atas ini, dapat juga dikabulkan memberi kesaksian asal mereka turut meluluskan.

(2) Orang itu dapat diluluskan oleh pengadilan negeri untuk memberi keterangan tidak bersumpah, biarpun tidak ada izin itu.

3) Pasal 277 HIR

(1) Orang-orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya yang sah dapat meminta mengundurkan diri dari memberikan kesaksian; akan tetapi hanya mengenai hal yang diketahui dan dipercayakan kepadanya itu saja.

(2) Pertimbangan apakah permintaan mengundurkan diri itu beralasan atau tidak terserah pada ketua pengadilan negeri.

4) Pasal 278 HIR

Hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan dengan tidak mengangkat sumpah;

1o anak-anak, yang belum diketahui dengan pasti apakah umurnya sudah sampai lima belas tahun;

(4)

2o orang gila, meskipun kadang-kadang ia dapat memakai ingatannya dengan terang.

Pasal 278 ini menyebutkan golongan saksi absolute onbevoegde getuigen

(orang-orang senantiasa dibebaskan dari memberikan kesaksian). Mereka itu hanya dapat diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah artinya keterangannya tidak bernilai sebagai bukti kesaksian tetapi hanya sebagai penjelasan saja.

Keterangan saksi itu harus diberikan di muka sidang pengadilan, jadi bukan di muka polisi atau jaksa, kecuali dalam hal tersebut dalam Pasal 259 HIR yang menentukan bahwa keterangan orang yang diberikan dengan sumpah dalam pemeriksaan pendahuluan oleh polisi dan jaksa pun dapat dianggap sebagai kesaksian, apabila itu tidak dapat menghadap sidang pengadilan, karena meninggal dunia tidak dipanggil sebab jauh tempat tinggalnya, dan keterangan itu dibacakan di muka persidangan. Keterangan orang tidak atas sumpah tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah (Pasal 303 HIR).

b. Surat-surat sebagai bukti

Adapun yang dimaksud dengan surat-surat sebagai alat bukti yang sah menurut hukum yaitu surat-surat:47

1. Surat yang dikeluarkan oleh dokter atas permintaan hakim, jaksa atau pembantu jaksa yang ada hubungannya dengan keahliannya untuk bahan pembuktian yang menyangkut sesuatu perkara. Surat keterangan tersebut dibuat di bawah sumpah jabatan dan disebut denagan visum et repertum.

47

(5)

2. Surat-surat yang ada hubungannya dengan keahlian-keahlian lain, misalnya keterangan yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Negara tentang sidik jari, pemalsuan tulisan atau surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara yang lain seperti misalnya hasil pemeriksaan darah, racun dan sebagainya.

3. Selain apa yang terurai di atas, surat-surat lain yang dapat dijadikan sebagai bukti adalah surat-surat sebagaimana diterangkan dalam pasal-pasal 304, 305 dan 306 HIR.

Pasal 304 menentukan bahwa peraturan tentang kekuatan bukti surat-surat umum dan surat-surat khusus dalam perkara perdata harus diperhatikan pula terhadap bukti dalam perkara pidana. Bukti surat-surat perkara perdata terdiri atas surat-surat otentik dan surat-surat bawah tangan (Pasal 187 Burgerlijke Wetboek). Surat-surat otentik yaitu surat-surat yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh atau dengan disaksikan oleh pejabat umum (notaris. jaksa, polisi, camat dan lain sebagainya), yang di tempat surat itu dibuat, berkuasa untuk itu (Pasal 1868 BW dan 165 HIR). Adapun yang dimaksud dengan dibuat oleh adalah bahwa pegawai itu sendirilah yang melakukan sesuatu perbuatan, umpamanya pegawai polisi membuat berita acara pendapatan. Sedangkan yang dimaksud dengan dibuat dengan disaksikan oleh adalah bahwa pegawai itu hanya menyebutkan saja dalam surat itu hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh orang lain, misalnya pegawai polisi membuat berita acara pemberitahuan atau pengaduan.48

48

R. Soesilo, Op.cit., hal. 219

(6)

Surat-surat bawah tangan yaitu surat-surat yang dibuat dengan sengaja untuk membuktikkan suatu pernyataan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian yang tertentu, tidak dengan perantaraan pegawai umum, ditandatangani oleh orang atau orang-orang yang menyatakan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian tersebut, misalnya surat perjanjian jual-beli tanah yang dibuat dan ditanda tangani tidak di muka pegawai umum. Kekuatan surat-surat otentik dan surat-surat bawah tangan itu pada umumnya dapat dikatakan sama, hanya apabila ada sangkaan dari pihak lain, bahwa tanda tangan yang ada disitu palsu, maka bagi surat otentik pihak yang menyatakan palsu itu harus membuktikan kepalusannya itu, sedangkan bagi surat bawah tangan pihak yang mengatakan palsu itu tidak perlu membuktikan, tetapi sebaliknya pihak yang mendasarkan atas surat itu harus membuktikan, bahwa tanda tangan itu betul tidak palsu. Surat-surat sebagai bukti baik yang berupa surat otentik dan maupun yang berwujud surat bawah tangan misalnya surat kelahiran, surat nikah, surat ijazah, surat wasiat, surat perjanjian hutang, surat perjanjian beli-sewa, obligasi, visum et repertum dan lain sebagainya.49

Pengakuan yaitu keterangan-keterangan yang diberikan oleh terdakwa dalam pemeriksaan di mana dia mengakui telah melakukan suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Menurut Pasal 307 HIR agar pengakuan itu c. Pengakuan sebagai bukti

49 Ibid.

(7)

merupakan alat bukti yang cukup haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :50

1) diberikan atas kehendak sendiri (bebas dari paksaan) 2) diberikan di muka sidang pengadilan

3) disertai dengan pemberitahuan yang tentu dan seksama, tentang sesuatu yang diketahui, baik dari keterangan orang yang menderita peristiwa pidana, maupun dari alat-alat bukti lainnya yang cocok dengan pengakuan itu.

Apabila tidak ada sesuatu hal sama sekali diketahui dalam sidang pengadilan yang dapat meneguhkan, maka menurut Pasal 308 HIR, pengakuan belaka sekali-kali tidak dapat dianggap cukup sebagai alat bukti yang sah.

d. Isyarat-isyarat sebagai bukti

Isyarat-isyarat adalah terjemahan dari kata bahasa Belanda aanwizingen. Ada yang menterjemahkan dengan tanda-tanda atau penunjukkan-penunjukkan. Menurut Pasal 310 HIR yang dimaksud penunjukkan yaitu perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau keadaan-keadaaan yang adanya dan persetujuannya, baik yang satu dengan yang lain, maupun dengan kejahatan itu sendiri dengan nyata menunjukkan bahwa ada suatu kejadian telah dilakukan dan siapakah pembuatnya.51

1) saksi-saksi,

Menurut Pasal 311 HIR adanya penunjukkan-penunjukkan itu hanya dapat dibuktikan dengan :

2) surat-surat,

50

R. Atang Ranoemihardja, Op.cit., hal. 59

51 Ibid.

(8)

3) penglihatan hakim sendiri,dan

4) pengakuan (erkentensis), biarpun di luar sidang pengadilan.

Berdasarkan Pasal 295 HIR di atas yang dianggap sebagai bukti yang sah hanyalah empat macam alat bukti yang disebutkan dalam pasal ini. Selain dari empat macam alat bukti ini tidak dianggap sah, misalnya sangkaan belaka, hasil nujum pendukunan yang lazim dipraktekkan di kampung-kampung seperti melihat tanda-tanda dalam sebuah primbon dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa di dalam HIR alat bukti keterangan ahli tidak secara tegas dicantumkan sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanya disebutkan dan tersisip di dalam pasal-pasal lain di luar pasal 295 HIR.52 Pasal-pasal yang menyebut tentang keterangan ahli tersebut antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut :53

52 R. Soeparmono, Loc.cit., 53 R. Soesilo, Op.cit., 1. Pasal 68 HIR

Kalau hak itu dianggap perlu oleh pegawai penuntut umum, maka ia akan membawa seorang atau dua orang ahli untuk menemaninya, yang dapat menimbang sifat dan keadaan kejahatan itu.

Menurut bunyi pasal ini, maka jaksa atau jaksa pembantu dalam penyidikan perkara, jika perlu tidak akan kekurangan pembantu. Mereka itu dapat membawa seorang atau dua orang ahli untuk menemaninya, yang dapat memberi pertimbangan atas hal ikhwal atau keadaan kejahatan yang telah terjadi, seperti misalnya kasus-kasus kebakaran gedung atau pasar biasa dibawa seorang atau dua orang ahli elektronik untuk dapat menetapkan apakah penyebab kebakaran itu.

(9)

2. Pasal 69 HIR

(1) Dalam hal mati karena perbuatan kekerasan, atau sebab mati mendatangkan syak, demikian juga dalam hal luka parah atau percobaan meracun orang dan makar-makar yang lain untuk membinasakan nyawa orang, maka ia akan membawa seorang atau dua orang tabib untuk menemaninya; tabib itu memberi rencana tentang sebab mati itu atau sebab luka itu dan tentang keadaan mayat itu atau badan orang yang dilukai dan tentang hal itu kalau perlu diperiksa badan mayat itu sebelah dalamnya.

(2) Orang-orang yang dipanggil dalam hal yang tersebut pada pasal ini dan pasal yang lalu hendaklah disumpah di hadapan pegawai penuntut umum, yaitu bahwa mereka itu harus memberi rencana kepadanya menurut kebenaran yang sesungguh-sungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Sebagaimana ternyata dari bunyi pasal ini maka terang bahwa dalam penyidikan perkara kematian, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya jaksa atau jaksa pembantu berwenang untuk membawa dokter turut memeriksa di tempat kejahatan dan dapat diminta keterangannya. Dalam prakteknya tidak senantiasa seorang ahli atau dokter dapat dibawa ke tempat kejahatan. Kebanyakan barang-barang yang perlu dimintakan pemeriksaan keahlian itu dikirim kepada mereka dan kemudian diminta pendapatnya dengan tertulis.

3. Pasal 70 HIR

Tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai orang yang ahli atau sebagai tabib wajib datang memberi bantuan itu.

Yang dimaksud dengan orang ahli adalah bukan saja yang berpendidikan akademis saja seperti insiyur bangunan, mesin, elektronik dan lain sebagainya, akan tetapi pada umumnya semua orang yang berpengalaman dan amat pandai dalam pekerjaannya seperti juru masak, tukang kayu, tukang jahit, montir, dan lain sebagainya yang berpengalaman, cakap, dan mahir dalam pekerjaannya, karena tidak jarang terjadi dalam praktek, bahwa suatu pencurian dapat dibongkar

(10)

dengan pertolongan tukang besi (mengenai kunci palsu), tukang jahit (mengenai baju yang dicuri dengan melihat macam jahitannya dan sebagainya). Mereka yang sengaja tidak mau memberikan bantuan dalam hal ini diancam pidana dalam pasal 216 KUHP

4. Pasal 83b HIR

(1) Kalau dianggap perlu oleh perlu oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu, yang melakukan pemeriksaan itu, maka ia boleh meminta rencana yang perlu kepada tabib atau ahli-ahli yang lain.

(2) Mereka itu haruslah bersumpah di hadapan pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu, bahwa mereka akan memberi rencana menurut kebenaran yang sesungguh-sungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Dalam prakteknya jarang sekali terjadi bahwa orang ahli atau tabib itu mengangkat sumpah di depan jaksa ataupun jaksa-pembantu. Rencana atau surat keterangan keahlian tersebut biasanya dibuat oleh yang bersangkutan dengan mengingat sumpah jabatan atau suatu kesediaan untuk meneguhkannya dengan mengangkat sumpah di kemudian, dimana sumpah dilakukan di depan pengadilan. Dalam ayat (2) dari pasal ini menetukan bahwa Pasal 70 berlaku untuk ini, yang berarti bahwa tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai orang ahli atau tabib, wajib datang memberi bantuan itu.54

54

Ibid.

5. Pasal 286 HIR

(1) Segala aturan yang ada dalam hal ini mengenai saksi-saksi berlaku juga mengenai orang-orang ahli; tetapi orang-orang ahli itu hendaklah di sumpah menurut Pasal 83b.

(2) Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai ahli, wajib memberikan tenaganya bagi pengadilan.

(11)

(3) Orang itu juga, dapat didengar sebagai saksi dan sebagai ahli, asal saja sebelum sumpah dijalankan, diperingatkan kepadanay bahwa ia disumpah untuk kedua hal ini.

(4) Ketua dapat memerintahkan kepada kepala daerah dari daerah tempat diam atau tempat tinggal dari ahli itu untuk mengambil sumpahnya dan mendengarnya menurut pertanyaan-pertanyaan yang diberikan

(5) Kepala daerah mengirim pemberitaaan penyumpahan itu dengan kepala tertutup dan bermaterai kepada pengadilan negeri

(6) Pemberitaan acara itu harus dibacakan.

Pasal ini menentukan bahwa semua peraturan mengenai saksi berlaku juga bagi orang ahli, akan tetapi orang ahli harus bersumpah menurut Pasal 83b, berarti bahwa orang ahli selain bersumpah sebagai saksi di depan sidang pengadilan, juga harus sebagai orang ahli di muka jaksa atau jaksa-pembantu yang bersangkutan. Selain itu orang yang dipanggil sebagai orang ahli berwajib menyediakan tenaganya yang berarti bahwa tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai seorang ahli atau dokter, wajib memberikan bantuan itu. Kalau ia dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban itu, dapat dituntut di muka pengadilan atas dasar Pasal 216 KUHP.

6. Pasal 287 HIR

(1) Ketua dapat menyuruh memanggil orang lain daripada saksi dan orang ahli yang sudah dipanggil, selagi pemeriksaan dijalankan, pun juga dengan perintah akan menghadap persidangan dengan segera, dan dapatlah ia memeriksa orang-orang itu dengan mengangkat sumpah.

(2) Ia dapat juga meminta pertelaan yang dikehendaki dari orang-orang ahli dan menyuruh mengadakan surat keterangan baru, disebabkan keterangan yang diberikan oleh pesakitan atau saksi dalam persidangan, supaya perkara itu lebih terang.

(3) Tentang meminta pertelaan dari orang yang ahli maka berlaku ketentuan pada Pasal 83a.

7. Pasal 306 HIR

(1) Pemberitaan dari orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk menyatakan timbangan dan pendapatnya atau segala hal ikhwal atau keadaan suatu perkara, hanya dapat berguna sebagai keterangan kepada hakim.

(12)

(2) Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat orang ahli yang diberikan itu, jika pendapat itu bertentangan dengan keyakinannya.

Menurut pasal ini maka keterangan, laporan atau pendapat yang diberikan oleh orang ahli seperti dokter, ahli kimia, ahli elektronik dan lain sebagainya itu oleh hakim hanya dipakai sebagai keterangan atau penjelasan saja, artinya tidak dinilai sebagai alat bukti sah yang penuh. Hakim pun tidak terikat oleh pendapat yang diberikan oleh orang ahli itu jika bertentangan dengan keyakinannya, akan ditolak juga.

2. Menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi garisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Di samping itu juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membukt ikan kesalahan yang didakwakan.55

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengertian pembuktian adalah ketentuan yang dibatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan menemukan kebenaran. Para instansi terkait dalam pemeriksaan perkara pidana terikat ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Mereka tidak boleh bertindak dengan caranya sendiri dalam penilaian pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan

55

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 273

(13)

undang-undang. Demikian pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti,

harus dilaksanakan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang.

Semenjak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disingkat KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. LN Th.1981 No. 76, TLN. NO. 3209) yang mencabut H.I.R. (Stb. Th 1941 No. 44) jo Undang-Undang Nomor 1/ Drt Th 1951 (LN Th 1951 No. 9) jo Ketentuan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-undangan lain, maka ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukannya secara tegas alat bukti “keterangan ahli” di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP.56

a. kesaksian-kesaksian

Pasal 184 KUHAP, menyebutkan :

(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Jika dilihat dari substansinya Pasal 184 KUHAP ini telah mengalami perubahan dan perkembangan jika dibandingkan dengan HIR, terutama mengenai keterangan ahli dan keterangan terdakwa. Menurut Pasal 295 HIR disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:

b. surat-surat

56

(14)

c. pengakuan d. isyarat-isyarat.

Dalam HIR, keterangan ahli bukan merupakan alat bukti yang sah, keterangan ahli hanya merupakan pendapat atau keterangan yang diberikan kepada hakim, oleh karena itu tidak mengikat hakim dan dapat mengenyampingkan keterangan ahli tersebut.

Selanjutnya dapat dilihat substansi alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP yaitu:

a. Keterangan Saksi

Menurut Pasal 1 Angka 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepantingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa saksi adalah:57

57

M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 286

1. Setiap orang yang dapat memberikan keterangan. Setiap orang dimaksudkan yang tidak mendapat pengecualian dari undang-undang seperti anak yang belum berumur 15 tahun atau yang belum pernah kawin, atau orang yang sakit jiwa. (penjelasan Pasal 171 KUHAP)

2. Dari kata-kata dialaminya sendiri, maka yang dimaksud dengan saksi disini adalah juga termasuk saksi yang menjadi korban dari suatu tindak pidana yang masih hidup dan yang dapat memberikan keterangan.

(15)

Mengenai keterangan apa saja yang dapat diberikan oleh seorang saksi, hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan Pasal 185 ayat (1) dan (5) KUHAP.

Pasal 1 angka 27 berbunyi :

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”.

Pasal 185 ayat (1) dan (5) KUHAP berbunyi :

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

Dari kedua pasal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :58

1. Keterangan saksi adalah apa yang ia dengar sendiri, keterangan mana diberikan dan dinyatakan di sidang pengadilan perkara pidana. Dengan demikian keterangan saksi yang dinyatakan dalam peradilan perdata tidak dapat dijadikan bukti dalam peradilan perkara pidana, demikian pula yang diberikan di luar sidang bukan merupakan alat bukti. Saksi hanya menerangkan apa yang ia dengar sendiri yang berhubungan dengan peristiwa yang sedang diperiksa. Saksi tidak dibenarkan menerangkan suatu keadaan, suatu kejadian yang didengar dari orang lain (testimonium de auditu). Apabila hal ini terjadi hakim tidak dibenarkan menggunakannya sebagai alat bukti keterangan saksi. Tetapi keterangan saksi de auditu ini tidak selamanya dikesampingkan, sebab ada kalanya dari keterangan ini hakim dapat mencari

58

(16)

sumber berita dari saksi lain sehingga hal itu berguna untuk menyusun suatu rangkaian peristiwa pembuktian terhadap terdakwa.

2. Keterangan saksi adalah apa yang ia lihat sendiri, artinya saksi hanya menerangkan apa yang ia lihat sendiri, yang berhubungan dengan peristiwa yang sedang diperiksa. Keterangan saksi yang diberikan berdasarkan penglihatannya (misalnya rekaman video) dari rekaman peristiwa tidak dibenarkan oleh undang-undang.

3. Keterangan saksi adalah apa yang ia alami sendiri dalam suatu peristiwa yang sedang diperiksa. Seorang saksi tidak dibenarkan membuat kesimpulan ataupun rekaan apa yang telah dialaminya sendiri.

4. Keterangan saksi harus disebutkan dengan alasan-alasan yang jelas menurut pengetahuannya sendiri, bukan pengetahuan atau pendapat dari orang lain atau berdasarkan pengajaran /petunjuk dari orang lain. Dengan kata lain, keterangan saksi ini harus dilengkapi dengan alasan-alasan tanpa adanya rekayasa atau campur tangan dari pihak luar.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, hanya diatur dalam satu pasal saja pada Bagian Keempat, Bab XVI sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 186. Akibatnya jika hanya bertitik tolak pada pasal dan penjelasan Pasal 186 saja, sama sekali tidak memberikan pengertian yang jelas. Untuk mencari dan menemukan pengertian yang lebih luas, tidak dapat hanya bertumpu berlandaskan pasal dan penjelasan Pasal 186. Sehingga harus mencari dan menghubungkannya dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam

(17)

pasal-pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, dan Pasal 180. Dengan jalan merangkai pasal-pasal itu barulah jelas arti dan seluk-beluk pemeriksaan keterangan ahli.

Menurut Pasal 186 KUHAP khusus merumuskan mengenai masalah keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Akan tetapi, kenyataannya Pasal 186 itu sendiri sebagai pasal yang mengatur keterangan ahli sebagai alat bukti dan pembuktian, tidak mampu menjelaskan masalah yang dikandungnya sekalipun pasal tunggal ini dihubungkan dengan penjelasannya. Untuk menguatkan pendapat ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 186 KUHAP tersebut, yaitu: “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”. Dengan demikian dapat dilihat bahwa isi Pasal 186 hanya merumuskan mengenai hal itu saja dan tidak dirinci lagi dalam pasal-pasal berikutnya. Sehingga Pasal 186 sebagai ketentuan yang mengatur keterangan ahli dari sudut pembuktian, benar-benar merupakan pasal tunggal yang berdiri sendiri. Itulah sebabnya dikatakan bahwa untuk memahami keterangan ahli sebagai alat bukti dan pembuktian, pasal itu harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang terdapat dalam KUHAP.59

Adapun pasal-pasal yang berhubungan dengan Pasal 186 KUHAP tersebut yang mengatur mengenai ketentuan keterangan ahli sebagai alat bukti dan pembuktian yaitu:60

59

Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 252

60

(18)

1. Pasal 1 angka 28.

Pasal ini memberi definisi pengertian apa yang disebut keterangan ahli yaitu: “Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Memperhatikan bunyi Pasal 1 angka 28, dapat ditarik pengertian:

a) keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa,

b) maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Dari sudut pengertian dan tujuan keterangan ahli inilah ditinjau makna dari keterangan ahli sebagai alat bukti. Karena jika hakim, penuntut umum atau terdakwa tidak memahami arti dan tujuan keterangan ahli, hal itu bisa menimbulkan kekacauan dalam pemeriksaan. Seandainya apabila hakim kurang memahami pengertian tentang suatu keadaan, dan penjelasan hanya dapat diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus, namun ternyata hakim meminta penjelasan dari seseorang yang bukan memiliki keahlian khusus dalam masalah yang hendak dijernihkan. Dalam masalah ini ditinjau dari segi hukum, keterangan yang seperti itu tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, karena orang yang memberi keterangan tidak memiliki keahlian khusus. Oleh karena itu, disamping orang yang diminta keterangannya benar-benar ahli dan memiliki keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, pemeriksaan itu harus bertitik tolak dari tujuan

(19)

pemeriksaan ahli tadi., yaitu untuk membuat terang perkara pidana. Jika perkara sudah cukup terang tidak perlu diminta keterangan ahli, karena bertentangan dengan tujuan pemeriksaan keterangan ahli ditinjau dari segi pembuktian. Rumusan yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah:61

a) Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,

b) Sedang keterangan yang diberikan oleh seorang ahli tetapi tidak mempunyai kehalian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Pasal 120 KUHAP

Dalam pasal ini kembali ditegaskan, yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Pengertian inilah yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 120, jika pengertian ahli dikaitkan dengan alat bukti dan pembuktian. Dengan demikian Pasal 120 semakin mempertegas pengertian keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, yaitu:62

61

M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 299

62 Ibid.

(20)

a. Secara umum yang dimaksud dengan keterangan ahli yang dapat dianggap bernilai sebagai alat bukti yang sah ialah keterangan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal,

b. dan keterangan yang diberikannya sebagai ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya, berupa keterangan menurut pengetahuannya.

Dari ketentuan Pasal 120 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28, semakin jelas dilihat kapan keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian, ialah:63

63 Ibid.

1). keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,

2). dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya berbentuk keterangan menurut pengetahuannya.

Dengan demikian jika keterangan yang diberikan berbentuk pendengaran, penglihatan atau pengalamannya sehubungan dengan peristiwa pidana yang terjadi, keterangan semacam itu sekalipun diberikan oleh ahli, tidak bernilai sebagai bukti keterangan ahli, tetapi menjadi alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, dalam menentukan penilaian apakah sesuatu keterangan dapat dinilai sebagai keterangan ahli, bukan hanya ditentukan oleh faktor keahliannya atau faktor orangnya tetapi ditentukan oleh faktor bentuk keterangan yang dinyatakannya, yaitu berbentuk keterangan menurut pengetahuannya secara murni.

(21)

Pasal 133 lebih menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli kedokteran kehakiman dan menghubungkannya dengan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan penganiayaan dan pembunuhan. Apabila Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120 pada satu pihak, terlihat seolah-seolah undang-undang mengelompokkan ahli dalam dua kelompok :64

64

Ibid., hal. 300

a. Ahli secara umum seperti yang diatur pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120,

yaitu orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu, seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, dan sebagainya,

b. Ahli kedokteran kehakiman yang disebut dalam Pasal 133, ahli yang khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah mayat dan forensik.

Sebenarnya ahli dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan kejahatan tindak pidana penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya pada hakikatnya adalah ahli yang memiliki keahlian khusus. Atau dengan kata lain, ahli kedokteran kehakiman ialah ahli yang khusus memiliki keahlian yang berhubungan dengan korban yang memiliki luka, keracunan ataupun mati yang diduga diakibatkan karena peristiwa pidana. Keterangan yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Keterangan mereka hanya bernilai sebagaimana yang ditegaskan penjelasan Pasal 133 ayat (2).

(22)

4. Pasal 179 KUHAP

Ditinjau dari alat segi alat bukti dan pembuktian, tampaknya pasal ini lebih mempertegas pendapat akan hal-hal yang telah diuraikan diatas, yaitu :65

a. Ada dua kelompok ahli:

1). Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan atau pembunuhan,

2). ahli pada umumnya, yaitu orang yang memiliki “keahlian khusus” dalam bidang tertentu.

Hal ini dapat dibaca dari kalimat Pasal 179 ayat (1):

“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”.

b. kemudian Pasal 179 juga merupakan penegasan kembali ketentuan Pasal 120, tentang bentuk keterangan yang mereka berikan adalah menurut pengetahuannya. Hal ini jelas dapat dibaca pada Pasal 179 ayat (2) kalimat terakhir. Bahwa para ahli tersebut akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Jadi Pasal 179 sejalan dan sejiwa dengan pasal-pasal yang telah diuraikan terdahulu.

Dengan penjelasan diatas dapatlah dipahami pengertian keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Selain itu perlu diutarakan Surat Edaran Jaksa Agung yang mengatur tentang keterangan ahli mengenai tanda

65

(23)

tangan dan tulisan sebagai alat bukti. Tujuan surat edaran tersebut dimaksudkan untuk mencapai keseragaman tentang hasil pemeriksaan ahli terhadap autentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti. Jadi surat edaran ini merupakan aturan pelaksanaan Pasal 184 ayat (1) huruf c jo Pasal 187 KUHAP. Tetapi, hanya khusus terbatas sepanjang mengenai keterangan ahli tentang tanda tangan dan tulisan.66

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas atau tentang keterangannya itu.

c. Surat

Mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktiannya yang lain.

Dari bunyi Pasal 187 KUHAP tersebut diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan surat itu adalah :67

1. Surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya. Surat yang seperti ini adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya, yang isinya memuat keterangan tentang kejadian atau tentang

66

Ibid.

67

(24)

keadaan yang didengarnya, dilihat atau dialami oleh pejabat itu sendiri serta menjelaskan alasan-alasan yang tegas. Atau surat itu sengaja dibuat oleh para pihak di depan pejabat umum yang mempunyai wewenang dalam hal itu, misalnya surat yang dibuat dan ditandatangani di hadapan notaris.

2. Surat-surat yang biasanya dibuat oleh aparat pemerintah dalam bidang administrasi negara, misalnya surat izin mendirikan bangunan, SIM, dan lain sebagainya.

3. Surat-surat yang berupa penjelasan mengenai keterangan ahli, keterangan mana dibuat dalam bentuk laporan atau surat yang ditandatangani ahli tersebut.

4. Surat-surat lain pada umumnya, yang nilai pembukitannya tergantung pada isinya apakah mempunyai hubungan dengna alat-alat bukti yang lain. Surat yang tidak mempunyai hubungan dengna alat bukti yang lain, maka tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Sekarang ini surat-surat banyak yang dalam bentuk foto copy, tetapi kekuatan pembuktiannya tetap terletak pada surat yang asli.

d. Petunjuk

Mengenai alat bukti petunjuk, diatur dalam Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi :

(1). Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunnya. (2). Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a.keterangan saksi; b.surat;

(25)

(3). Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hatu nuraninya.

Dari bunyi pasal tersebut diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:68

1. Alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan atau keterangan terdakwa. Jadi hakim tidak dibenarkan memperoleh petunjuk di luar dari salah satu atau ketiga alat bukti ini, hal ini bertujuan untuk menjaga agar hakim tidak mencari alat bukti petunjuk dari sumber yang terlampau luas. Hakim dapat secara sah menggunakan alat bukti petunjuk dari suatu surat saja, apabila mempunyai hubungan atau persesuaian satu sama lain dengan peritiwa pidana yang sedang diperiksannya.

2. Petunjuk adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus menghubungkannya dengan kejadian-kejadian lain yang berhubungan denga tindak pidana itu sendiri apakah sesuai atau tidak. Dengan demikian alat bukti petunjuk ini dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti

3. Hakim harus menggunakan dengan arif lagi bijaksana serta memeriksa petunjuk dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Peringatan ini ditujukan kepada hakim agar jangan sampai terjadi bahwa hakim akan menganggap sebagai petunjuk hal-hal yang sebenarnya merupakan sangkaan atau perkiraan, yang menyebakan terdakwa dijatuhi hukuman. Untuk itu hakim harus behati-hati, dan sedapat mungkin

68

(26)

menggunakan bukti petunjuk ini secara minimal jika alat bukti lain tidak / belum mencukupi untuk membuktikkan terdakwa.

e. Keterangan Terdakwa

Di dalam HIR bukti ini disebut dengan pengakuan tertuduh. Pengakuan ini dapat dijadikan bukti oleh karena orang menganggap tidaklah ada orang yang lebih dipercaya dari orang yang mengakui kesalahannya sendiri, sedangkan ia menyadari bahwa pengakuannya itu akan merugikan dirinya yang bertentangan dengan sifat manusia pada umumnya yang selalu menghindari sesuatu yang mengakibatkan kerugian pada dirinya. Dengan demikian wajar bahwa pengakuan ini adalah kebenaran yang patut diterima sebagai alat bukti. Akan tetapi, pada kenyataanya pengakuan seorang tersangka ini sebenarnya dapat dipengaruhi oleh keadaan lain yang menyebabkan pengakuan itu bukan yang sebenarnya. Hal ini misalnya pengakuan yang disebabkan oleh intimidasi, ancaman atau siksaan dari orang lain atau dari pihak penyidik sendiri, sehingga ia secara terpaksa mengakui sesuatu perbuatan yang sebenarnya tidak ia lakukan. Atau mungkin saja pengakuan terdakwa itu bertujuan untuk menyelamatkan seseorang yang dikasihani atau mungkin juga ia memperoleh sesuatu dari pengakuannya itu. Oleh karena itu, pada akhirnya pengakuan ini sering diragukan dan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Mengingat hal ini maka di dalam KUHAP istilahnya diganti dengan keterangan terdakwa, dengan demikian di dalamnya tidak hanya mencakup pengakuan saja tetapi juga termasuk hal-hal yang diingkari oleh terdakwa.69

69

(27)

Mengenai keterangan terdakwa di dalam KUHAP diatur dalam Pasal 189, yang berbunyi :

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar dapat digunakan untuk membantu

menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Demikian persoalan pembuktian dan alat-alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana khususnya dalam KUHAP. Dari kelima macam alat bukti tersebut, yang perlu diterangkan adalah alat bukti yang berupa keterangan ahli. Hal ini disebabkan karena keterangan ahli merupakan hal yang baru dan merupakan suatu kemajuan dalam pembaharuan hukum acara pidana Indonesia. Perkembagan ilmu teknologi sekarang ini menuntut keterangan ahli untuk memberikan peranannya dalam penyelesaian kasus-kasus pidana terutama yang menyangkut di luar bidang hukum. Banyak hal yang dahulu tidak disebutkan dalam HIR, maka kini di dalam KUHAP telah dirumuskan dan dicantumkan dengan tegas seperti alat bukti keterangan ahli tersebut dalam semua tahap pemeriksaan. HIR tidak mengkategorikan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana, sebab dahulu keterangan ahli hanya sebagai penerang bagi hakim seperti yang diatur dalam Pasal 306 HIR. Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk

(28)

meyakini pendapat seorang ahli apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli tersebut.70

Menurut ketentuan Pasal 133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut :71

1. Keterangan ahli yang diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah pada bentuk ini, yaitu

a. Diminta dan diberikan ahli pada saat penyidikan, jadi pada saat penyidikan demi untuk kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangana ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik “secara tertulis” dengan menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan, misalnya apakah untuk pemeriksaan luka ataupun untuk pemeriksaan mayat dan lain sebagainya.

b. atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”, laporan itu bisa berupa “surat keterangan”, misalnya berupa visum et repertum

c. laporan yang dibuat oleh ahli yang bersangkutan dilakukan dengan mengingat sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.

70

R. Soeparmono, Op.cit., hal. 64

71

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 58

(29)

d. dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan yang dituangkan dalam laporan mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang

Tata cara dan bentuk kedua ini ialah keterangan yang diberikan ahli dalam pemeriksaan persidangn pengadilan. Permintaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi dapat juga terjadi, walaupun penyidik atau penuntut umum pada waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, dapat meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberik keterangan di sidang pengadilan. Adapun tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang yaitu :

a. Apabila dianggap perlu dan dikehendaki oleh ketua sidang karena jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, dapat meminta atau pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan,

b. keterangan ahli menurut tata cara ini berberntuk “keterangan lisan” dan secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, c. bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara

(30)

d. dan untuk itu, ahli yang memberi keterangan terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberi keterangan.

Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Dengan adanya dua cara pemeriksaan keterangan ahli diatas sekaligus melahirkan dua bentuk keterangan ahli. Adapun mengenai bentuk alat bukti keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang pengadilan tidak menimbulkan permasalahan karena sifatnya benar-benar murni sebagai alat bukti keterangan ahli, yang lahir dari hasil pemberian keterangan secara langsung di sidang pengadilan. Keterangan ahli dalam bentuk ini tidak menimbulkan dualisme dengan alat bukti yang lain, baik terhadap alat bukti keterangan saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.72

Hal ini berbeda dengan alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan. Alat bukti yang berbentuk laporan ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah yaitu:73

1. Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal itu dengan jelas ditegaskan oleh penjelasan Pasal 186 alinea pertama yang selengkapnya berbunyi: “keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat

72

M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 303

73 Ibid.

(31)

dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”. Bentuk alat bukti keterangan yang seperti itulah yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP yaitu laporan yang dibuat oleh seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan.

2. pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat. Hal ini disebabkan karena ketentuan Pasal 187 huruf c telah menentukan salah satu di antara alat bukti surat yaitu : “Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya”.

Memperhatikan bunyi ketentuan itu, salah satu bentuk alat bukti surat yang dimaksud oleh Pasal 187, termasuk ke dalamnya bentuk surat keterangan ahli. Walaupun sebenarnya Pasal 187 huruf c tidak menyebutnya dengan kata-kata yang persis sama dengan apa yang disebut pada penjelasan Pasal 186 alinea pertama, akan tetapi kalau di telaah dengan seksama tidak ada perbedaan pengertian keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan seperti yang disebut pada penjelasan Pasal 186, dengan kalimat surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 187 huruf c. Pada dasarnya kedua susunan kalimat di atas mengandung pengertian yang sama. Keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan tiada lain daripada surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai suatu hal keadaan yang dimintakan kepadanya.

(32)

Mungkin ada yang mempersoalkan, bahwa Pasal 186 dengan tegas menyebut bahwa bentuk laporan dibuat pada taraf pemeriksaan penyidik, sedangkan pada Pasal 187 huruf c bentuk surat keterangan itu tidak dijelaskan dengan tegas saat pembuatannya. Akan tetapi, titik berat permasalahannnya bukan saat pembuatan keterangan itu oleh ahli. Yang menjadi pegangan adalah bentuk laporan yang disebut pada penjelasan Pasal 186 adalah serupa nilai pembuktiannya yaitu sama-sama sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Terserah pada hakim untuk mempergunakan nama alat bukti apa yang diberikan. Hakim dapat menilai dan menyebutnya sebagai alat bukti keterangan ahli atau dapat pula menyebutnya sebagai alat bukti surat. Kedua alat bukti tersebut ssama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat. Nilai kekuatan pembuktian keduannya tergantung pada penilaian hakim. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya.74

Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi walaupun sulit pula dibedakan dengan tegas. Ada kalanya seorang ahli merangkap pula sebagai saksi Namun perbedaan antara seorang saksi dan ahli dapat dilihat dari isi keterangan yang diberikan. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian tentang hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu. Adapun perbedan antara keterangan ahli dan keterangan saksi menurut KUHAP

74 Ibid.

(33)

(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) dapat dilihat seperti pada Tabel 1 di bawah ini.75

No.

Tabel 1. Perbedaan Saksi dan Ahli Menurut KUHAP (Undang-Undang No 8 Tahun 1981)

Perihal Saksi Ahli

1. Subjek Saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Ahli adalah orang yang dapat dan mampu memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana, dimana ahli tersebut mempunyai keahlian khusus tentangnya.

2. Keterangan Keterangan saksi adalah salah

satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.

75

Perbandingan Saksi dan Ahli Menurut KUHAP, http:/

(34)

3. Keterangan yang tidak disumpah

Keterangan saksi yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

Keterangan ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

4. Pengangkata

n sumpah

Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu.

Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

5. Peruntukkan Tersangka atau terdakwa

berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi guna memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya.

Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberi keterangan yang dapat menguntungkan dirinya.

(35)

6. Pertanggung jawaban

Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Orang yang menjadi ahli setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan sesuai keahliannya tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.

7. Mengangkat sumpah setelah memberi keterangan

Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi itu selesai memberi keterangan Dalam hal saksi tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.

1. Dalam hal apabila hakim atau pengadilan menganggap perlu, seorang ahli wajib

bersumpah atau berjanji

sesudah ahli itu selesai memberi keterangan.

2. Dalam hal ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji, maka pemeriksaan keterangan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.

(36)

8. Pengganti biaya

Saksi yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka untuk memberikan keterangan di semua tahap tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang -undangan yang berlaku.

Ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka untuk memberikan keterangan di semua tahap tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya

sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

9. Hal lainnya 1. Jika keterangan saksi di

sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang sudah ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.

2. Setelah saksi .memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya. Izin itu tidak diberikán jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang.

3. Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua siding menunjuk seorang juru bahasa yang

1. Keterangan ahli juga dapat dijadikan barang bukti jika berbentuk surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat yang berdasarkan dari keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya.

2. Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan

(37)

bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua keterangan yang harus diterjemahkan.

4. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

5. Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat seseorang sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Tetapi jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawaban dari pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.

keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan ahli tersebut diberikan setelah ahli mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

B.Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli

Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli, sepintas lalu sudah disinggung di atas. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama

(38)

halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli yaitu:76

2. Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskracht

Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk harus menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud. Hakim berhak pula untuk megambil alih pendapat ahli dan menjadikannya sebagai pendapatnya sendiri sesuai dengan istilah-istilah yang tertera dalam pendapatnya dan atau kesimpulan atau yang dikemukakan dalam sidang dalam Berita Acara Pemeriksaan di sidang. Bilamana hakim tidak setuju dan sependapat dengan apa yang menjadi pendapat ahli tersebut, maka hakim tersebut wajib mempertimbangkan di dalam putusannya, mengapa ia tidak sependapat disertai dengan alasan-alasannya. Akan tetapi, hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasannya itu dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung-jawab atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.

76

(39)

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan bahwa seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku untuk alat bukti keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Mengenai hal tersebut terdapat permasalahan yaitu bagaimana apabila dalam pemeriksaan suatu perkara, alat buktinya semata-mata terdiri dari beberapa keterangan ahli. Misalnya yang satu keterangan ahli berupa laporan, dan yang satu lagi berupa keterangan ahli di sidang pengadilan. Tetapi kedua alat bukti ahli tersebut hanya menerangkan suatu hal keadaan tertentu, yang menjelaskan matinya korban adalah akibat keracunan. Mengenai contoh ini maka kedua alat bukti ahli tersebut harus dianggap hanya satu alat bukti saja. Keduanya hanya bernilai satu pembuktian dan belum memenuhi prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Jalan pemikirannya dapat diuraikan sebagai berikut:77

1. apa yang diungkap dan diterangkan kedua alat bukti keterangan ahli itu, hanya berupa penjelasan suatu hal atau keadaan tertentu, yaitu matinya korban disebabkan keracunan,

2. sedang mengenai siapa pelaku kejahatan, sama sekali tidak terungkap dalam kedua keterangna ahli tersebut,

77

(40)

3. selain itu, pada umumnya keterangan ahli hanyalah merupakan pendapat ahli mengenai hal atau keadaan tertentu menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Ditinjau dari segi itu, memberi gambaran bahwa keterangan ahli pada umumnya hanya bersifat melengkapi dan mencukupi nilai pembuktian alat bukti yang lain. Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang terang tentang seseuatau hal atau keadaan. Misalnya apakah korban mati karena diracun atau dicekik. Tetapi mengenai siapa pelakunya tidak dapat diungkapkan oleh keterangan ahli. Jadi, kalau beberapa keterangan ahli hanya mengungkap suatu keadaan atau suatu hal yang sama, sekalipun diberikan oleh beberapa ahli, tetapi dalam bidang keahliannya yang sama maka berapa banyak pun keterangan ahli yang demikian tetap dianggap hanya bernilai satu alat bukti saja.78

Tetapi dalam keadaan tertentu, keterangan beberapa orang ahli dapat dinilai sebagai dua atau berapa alat bukti yang dapat dianggap memenuhi prinsip minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu, secara kasuistis dua atau lebih alat bukti keterangan ahli dapat dinilai merupakan dua atau beberapa alat bukti, yang harus dinilai telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Misalnya menurut keterangan ahli A sebagai ahli kedokteran kehakiman, kematian korban adalah karena dicekik dengan tangan. Kemudian menurut keterangan ahli sidik jari, bekas cekikan yang terdapat pada leher korban

78

(41)

sama dengan sidik jari terdakwa. Dalam kasus ini, masing-masing keterangan ahli tadi harus dinilai sebagai alat bukti yang saling bersesuaian. Oleh karena itu, harus dinilai merupakan dua alat buti yang telah memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP. Alasan lain yang memperkuat pendapat diatas, kedua keterangan ahli tersebut jelas merupakan dua keterangan ahli yang diberikan masing-masing ahli “dalam bidang keahlian yang berbeda”. Apa yang diterangkan oleh kedua ahli itu, bukan mengenai satu hal atau keadaaan yang sama, tetapi mengenai dua hal atau keadaan yang berbeda, namun antara satu dengan yang lain saling bersesuaian. Ahli kedokteran kehakiman mengungkapkan hal atau keadaan kematian korban adalah akibat cekikan pada leher. Sedang keterangan ahli sidik jari, mengungkapkan satu hal atau keadaan lain yang menjelaskan, bekas cekikan pada leher korban, sesuai dengan sidik jari terdakwa. Dalam keadaan seperti itu, kedua keterangan ahli tersebut dapat dinilai merupakan dua alat bukti keterangan ahli yang sah. Dengan demikian, dapat dinilai telah cukup memenuhi prinsip batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP dan sekaligus telah dapat dinilai cukup untuk. pembuktikan kesalahan terdakwa.79

Apa yang diuraikan ini mungkin bersifat teoritis tapi sering dijumpai dalam praktek, karena dalam keadaan tertentu sangat sulit mencari dan menemukan pembuktian suatu peristiwa pidana. Tidak jarang penyidik dan persidangan menghadapi jalan buntu menemukan alat bukti saksi, sehingga mencari alat bukti keterangan ahli. Apabila demikian halnya penyidik atau

79

(42)

pengadilan harus berhati-hati, jangan hanya mengumpulkan dan meminta keterangan dari para ahli yang mempunyai keahlian di bidang keahlain yang sama. Nilai pembuktian mereka akan tetap dianggap satu saja apabila yang mereka terangkan hanya tentang suatu keadaan yang sama. Oleh karena itu, diusahakan meminta keterangan dari beberapa ahli yang berbeda bidang keahliannya, sehingga apa yang mereka terangkan adalah mengenai hal atau keadaan yang berbeda. Jika demikian halnya, barulah keterangan ahli yang berbeda bidang keahliannya, dapat dinilai sebagai alat bukti yang masing-masing berdiri sendiri. Dan dapat dinilai telah memenuhi prinsip batas minimum pembuktian yang mampu atau memadai membuktikan kesalahan terdakwa.80

80 Ibid.

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Saksi dan Ahli Menurut KUHAP  (Undang-Undang No 8 Tahun 1981)

Referensi

Dokumen terkait

a) Mahasiswa dapat mencari judul-judul yang sudah pernah diajukan oleh mahasiswa lain sehingga dapat mengurangi tingkat plagiarisme atau sebagai referensi dalam

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

TQC sebagai totalitas pengendalian terhadap mutu produk, secara bertahap merupakan rangakaian suatu proses produksi yang menjadi tanggung jawab masing-masing

14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031, kawasan Simongan harus di tata dan dirubah menjadi daerah permukiman saja (bukan zona

Untuk penggunaan bahan baku selama satu minggu berbeda, untuk hari senin dan jumat lebih banyak menggunakan bahan baku yaitu, sebanyak 11 Kg kacang kedelai

Nilai -0,175 menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi pupuk organik berada pada elastisitas Ep<0, nilai tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik berada

mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut

Untuk tahap dream, pada kelompok ini berharap dengan mempunyai kemampuan yang meningkat dalam pencatatan keuangan usaha, maka dapat bersinergi dengan Lembaga Keuangan