• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian yang serius oleh pemerintah. Program ini memerlukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian yang serius oleh pemerintah. Program ini memerlukan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alat kontrasepsi jangka panjang (MKJP) adalah alat kontrasepsi yang digunakan untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan, yang digunakan dengan jangka panjang yang meliputi IUD, Implant dan kontrasepsi mantap (Manuaba, 2010)

Program Keluarga Berencana (KB) yang telah digagaskan sejak akhir tahun 1970-an sebagai bentuk perhatian pemerintah untuk menciptakan keluarga yang sejahtera dalam lingkup masyarakat Indonesia terus menjadi persoalan aktual di mana membutuhkan perhatian yang serius oleh pemerintah. Program ini memerlukan tenaga kesehatan yang kompeten dan mampu bekerja secara maksimal dalam proses mensukseskan keluarga kecil bahagia sejahtera. Sasarannya adalah keluarga produktif dengan fokus utama adalah wanita pasanganusia subur. Wanita usia subur adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik, berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun yang sudah menstruasi dan belum menopause. Banyak petugas yang memfasilitasi terlaksananya program nasional ini, diantaranya adalah perawat dan bidan.

Peran tenaga kesehatan dalam merealisasikan program KB ditengah masyarakat salah satunya adalah sebagai konselor. Ketika tenaga kesehatan berperan sebagai konselor diharapkan membimbing wanita pasangan usia subur untuk

(2)

mengetahui tentang KB dan membantu wanita pasangan usia subur untuk memutuskan alat kontrasepsi yang akan digunakan. Penggunaan alat kontrasepsi pada wanita pasangan usia subur sangat penting karena dapat mengatur angka kelahiran dan jumlah anak dalam keluarga, membantu pemerintah mengurangi resiko ledakan penduduk, serta menjaga kesehatan wanita usia subur.

Komunikasi yang baik akan sangat membantu terbinanya hubungan antar manusia yang serasi diantara pasien dengan penolong. Keserasian hubungan pasien-penolong, sangat di perlukan dalam memperoleh rasa saling percaya. Informasi yang diperoleh penting untuk membantu menentukan diagnosis, menjalankan proses, dan melakukan evaluasi hasil pengobatan (Syaifuddin, 2006).

Tingkat kesabaran yang tinggi dan teknik berkomunikasi yang efektif merupakan syarat yang harus dimiliki oleh penolong atau petugas kesehatan dalam menghadapi orang yang sedang sakit. Selain mengalami gangguan fisik, pasien juga akan mengalami gangguan psikis atau ketenangan jiwa sehingga sebagian besar dari mereka akan sulit melakukan komunikasi secara baik. Empati, perhatian, dan prilaku positif penolong, dapat meringankan beban psikis pasien selama proses kominikasi berlangsung (Saifuddin, 2008).

Dengan melakukan konseling berarti petugas membantu klien dalam memilih dan memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan sesuai pilihannya. Disamping itu dapat membuat klien merasa lebih puas. Konseling yang baik juga akan membantu klien dalam menggunakan kontrasepsinya lebih lama dan meningkatkan keberhasilan KB. Konseling juga akan mempengaruhi interaksi antara

(3)

petugas dan klien karena dapat meningkatkan hubungan dan kepercayaan yang sudah ada. Seringkali kali konseling diabaikan dan tidak dilaksanakan dengan baik karena petugas tidak mempunyai waktu dan tidak menyadari pentingnya konseling. Padahal dengan konseling klien akan lebih mudah mengikuti nasehat provider. Teknik konseling yang baik dan informasi yang memadai harus diterapkan dan dibicarakan secara interaktif sepanjang kunjungan klien dengan cara yang sesuai dengan budaya yang ada. Selanjutnya dengan informasi yang lengkap dan cukup akan memberikan keleluasaan kepada klien dalam memutuskan untuk memilih kontrasepsi (informed choise) yang akan digunakannya.

Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ketahun selalu meningkat. Untuk itu diperlukan peran serta aktif dari semua tenaga kesehatan, baik yang ada di pusat, daerah sampai di unit pelayanan kesehatan dalam meningkatkan penggunaan KB. Pada survei yang di temukan dapat dilihat rasio penggunaan NON-MKJP (metode kontrasepsi jangka panjang) setiap tahun semakin tinggi atau pemakaian kontrasepsi NON MKJP lebih besar dibandingkan dengan pemakaian MKJP. Angka drop out NON MKJP juga cendrung lebih tinggi dibandingkan MKJP. Hal ini di sebabkan karena pengguna metode ini membutuhkan KIE, penggunaan tindakan dan keterampilan profesional tenaga kesehatan yang lebih kompleks (Infodatin KemenKes RI, 2013).

Undang- undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat, dan

(4)

Keluarga Berencana adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas.

Dari data Riskesdas 2013 persentase peserta KB aktif menurut metode kontrasepsi MKJP sebanyak (10,9%) sedangkan metode kontrasepsi NON MKJP sebanyak (34,5%) . Metode kontrasepsi yang paling digunakan oleh peserta KB aktif adalah suntikan (46,87%) dan terbanyak ke dua adalah pil (24,54%) dan kondom sebanyak 3,22% metode kontrasepsi yang paling sedikit dipilih oleh peserta KB aktif adalah Metoda Operasi Pria (MOP), yakni sebanyak 0,69%, dan MOW sebanyak 3,52%, Implan sebanyak 9,75%, IUD sebanyak 11,41% (Riskesdas , 2013).

Data SDKI 2012 menunjukkan tren Prevalensi Penggunaan Kontrasepsi atau Contraseptive Prevalence Rate (CPR) di Indonesia sejak 1991- 2012 cendrung meningkat, sementara tren Angka Fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) cendrung menurun. Tren ini menggambarkan bahwa meningkatnya cakupan wanita usia subur 15-49 tahun yang melakukan KB sejalan dengan menurunnya angka fertilitas nasional.

Yang termasuk metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) pada saat ini yaitu; IUD, Implan, MOW dan MOP, berdasarkan sasaran RKP 2010, 2011, 2012, sasaran MKJP yang harus dicapai setiap tahunnya adalah 24.2%, 25.1%, dan 25.9 % dari data statistik rutin BKKBN tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa pencapaian PA MKJP masih dibawah target yang telah di tetapkan yaitu; 23.5%, 24.4%, dan 24.9% (LAKIP BKKBN, 2012). Survei Demografi dan kesehatan Indonesia SDKI

(5)

(2012) memperlihatkan proporsi peserta KB yang terbanyak adalah suntik (85,6%), Pil (81,4%), IUD (58,1%), Implan (45,8%), MOW (20,3%), Kondom (49,7%), MOP (11,9%), dan sisanya merupakan peserta KB tradisional yang masing-masing menggunakan cara tradisional seperti pantang berkala maupun senggama terputus (BKKBN, 2012).

Peserta Baru KB menurut Metode Kontrasepsi di Indonesia, Tahun 2013 untuk Akseptor KB Intra Uterine Device (IUD) (7,75%), Metode Operasi Wanita (MOW) (1,52%), Metode Operasi Pria (MOP) (0,25 %), Kondom (6,09%), Implan (9, 23%), suntikan (48, 56%), pil (26, 60%). Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 ada 8.500.247 PUS (Pasangan Usia Subur) yang merupakan peserta KB baru, dan hampir separuhnya (48,56 %) menggunakan metode kontrasepsi suntikan. (BKKBN, 2013)

Sedangkan untuk Provinsi Sumatera Utara sendiri peserta KB aktif tahun 2012; IUD 2.1%, Pil 10.8%, Kondom 1.9%, Suntik 18.3%, Implan 3.1%, MOW 6.4%. Jika ditinjau dari beberapa metode kontrasepsi yang diajukan oleh pemerintah, metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) masih memiliki peminat yang masih sedikit, pada umumnya masyarakat memilih non metode kontrasepsi jangka panjang (NON MKJP) sehingga metode KB MKJP seperti AKDR/IUD, implant, kontap pria (MOP) dan kontap wanita (MOW) kurang diminati. Hal ini sejalan dengan Data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana(BPPKB) Kabupaten Deli Serdang (2014) bahwa jumlah peserta KB sebanyak 380.665 PUS yang terdiri dari IUD sebanyak 29.292 (7,7%), MOW sebanyak 14.506(3,8%), MOP

(6)

sebanyak 23.042% ( 6,1%), implan sebanyak 32.383 (8,5%), suntik sebanyak 74.036 (19,4%) dan Pil sebanyak 77.024 (20,2%) (BKKBN, 2014).

Memperhatikan kondisi pencapaian sasaran RPJMN 2010-2014 dan adanya perubahan lingkungan strategis serta untuk memenuhi target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yaitu mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015, maka pemberian pelayanan KB MKJP secara berkualitas diharapkan mampu meningkatkan jumlah kesertaan KB MKJP oleh PUS disemua tahapan keluarga, sehingga berdampak terhadap penurunan TFR secara nasional. Hasil Mini Survei 2011 juga menunjukkan metode KB hormonal yaitu suntikan dan pil merupakan metode yang paling dominan digunakan oleh peserta KB. Pemakaian MKJP (IUD, Implant, MOW, MOP) mengalami sedikit peningkatan yaitu dari 11,6% pada tahun 2010 menjadi 12,7 pada tahun 2011 dengan proporsi pemakian IUD 5,28%, MOW 2,19%, MOP 0,27%, dan Implan 4,93%. Penggunaan MKJP yang masih relatif rendah dikalangan wanita PUS pada masing-masing wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor sosial, faktor demografi, ekonomi dan sarana serta faktor yang berkaitan dengan kualitas pelayanan MKJP (Puslitbang, 2011).

Rendahnya pemakaian MKJP di kalangan wanita pernah kawin di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, yang pada analisis ini dapat dikelompokkan menurut faktor individu (klien), faktor program yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dan lingkungan. Disinyalir, banyak pasangan yang sudah tidak ingin anak lagi ataupun ingin menunda kehamilan lebih dari 2 tahun, tetapi memakai kontrasepsi yang

(7)

bukan/non- MKJP. Hasil Mini survei peserta KB aktif, dan hasil studi tentang kualitas pelayanan KB, mengungkap bahwa cukup banyak peserta KB yang menggunakan cara KB dengan tidak rasional (tidak sesuai dengan umur ibu, jumlah anak yang diinginkan dan kondisi kesehatan ibu). Fenomena ini merupakan hal yang tidak efisien, sehingga perlu dikaji lebih lanjut (Puslitbang KB, 2011).

Banyak perempuan mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis, kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai faktor harus dipertimbangkan, termasuk status kesehatan, efek samping potensial, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan, bahkan norma budaya lingkungan dan orang tua. Untuk ini semua, konseling merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pelayanan Keluarga Berencana (Saifuddin, dkk. 2004).

Berdasarkan hasil penelitian (Silviana Kartika Sari, 2010), pengguna alat kontrasepsi (akseptor KB) dipengaruhi oleh pengetahuan konseling KB yang mereka dapatkan, sehingga PUS memiliki pengetahuan yang luas dan tepat mengenai kekurangan dan kelebihan dari metode – metode atau alat kontrasepsi yang kemudian disesuaikan dengan kondisi tubuh pengguna. PUS tersebut juga mempertimbangkan penggunaan metode atau alat kontrasepsi secara rasional, efisien, dan efektif. Interaksi atau konseling yang berkualitas antara klien dan provider (tenaga medis) merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan program

(8)

keluarga berencana (KB). Sangat mudah dimengerti jika hal itu membuat tingkat keberhasilan KB di Indonesia menurun.

Klien yang mendapatkan konseling dengan baik akan cenderung memilih alat kontrasepsi dengan benar dan tepat. Pada akhirnya hal itu juga akan menurunkan tingkat kegagalan KB dan mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Untuk meraih keberhasilan tersebut, tentunya sangat diperlukan tenaga-tenaga konselor yang profesional. Mereka bukan hanya harus mengerti seluk-beluk masalah KB, tetapi juga memiliki dedikasi tinggi pada tugasnya serta memiliki kepribadian yang baik, sabar, penuh pengertian, dan menghargai klien. Dengan demikian, konseling akan benar-benar menghasilkan keputusan terbaik seperti yang diinginkan oleh klien, bukan sekadar konsultasi yang menghabiskan waktu dan biaya. Dengan demikian, konseling akan benar-benar menghasilkan keputusan terbaik seperti yang diinginkan oleh klien, bukan sekedar konsultasi yang menghabiskan waktu dan biaya. Demikian benang merah diskusi bertema “Sudahkah Peserta KB Diperlakukan sebagai Klien?” yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan John Hopkins University melalui Program KB dan Kesehatan Reproduksi di Jakarta (Prayitno, 2004).

Chandra Dewi (2013) mengatakan konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan Keluarga Berencana. Konseling yang berkulaitas antara klien dan provider (tenaga medis) merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan progam keluarga berencana (KB). Informasi merupakan satu bagian dari pelayanan yang sangat berpengaruh bagi calon akseptor

(9)

maupun akseptor pengguna mengetahui apakah kontrasepsi yang dipilih telah sesuai dengan kondisi kesehatan dan sesuai dengan tujuan akseptor dalam memakai kontrasepsi tersebut. Informasi sangat menentukan pemilihan kontrasepsi yang di pilih, sehingga informasi yang lengkap mengenai kontrasepsi sangat di perlukan guna memutuskan pilihan metode kontrasepsi yang akan di capai.

Erfandi (2008) mengemukakan konseling KB juga sebagai faktor eksternal yang dapat menmpengaruhi keputusan akseptor dalam pemilihan alat kontrasepsi yang di inginkannya. Konseling merupakan proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dengan panduan keterampilan interpersonal, bertujuan untuk membantu seorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang di hadapi dan menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut.

ABPK (alat bantu pengambilan keputusan) juga mempunyai fungsi ganda, antara lain membantu pengambilan keputusan metode KB, membantu pemecahan masalah dalam penggunaan KB, alat bantu kerja bagi provider (tenaga kesehatan), menyediakan referensi atau info teknis, alat bantu visual untuk pelatihan provider (tenaga kesehatan) yang baru bertugas. Hal tersebut meruapakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan Keluarga Berencana. Konseling yang berkualitas antara klien dan provider (tenaga medis) merupakan salah satu indikator yang sangat menetukan bagi keberhasilan progam berencana (KB). ABPK ber-KB merupakan suatu media atau saluran yang mempengaruhi proses konseling sehingga terjadi perubahan persepsi dan perilaku sehingga akseptor memilih dan menggunakan kontrasepsi. Dengan ABPK (alat bantu pengambilan keputusan ) ber-KB, konseling

(10)

dapat berjalan secara informatif dan bersifat diskusi partisipatif karena ABPK (alat bantu pengambilan keputusan) ber-KB merupakan panduan standar pelayanan KB yang tidak hanya berisi informasi mutakhir seputar kontrasepsi atau KB namun juga berisi standar proses dan langkah konseling KB yang berlandaskan pada hak klien KB dan Inform Choice (BKKBN, 2011).

Penelitian yang dilakukan Junita (2009), di Kecamatan Rambah Samo Kabupaten Rokan Hulu menyimpulkan bahwa beberapa penyebab rendahnya pemakaian alat kontrasepsi adalah kurangnya konseling tentang alat kontrasepsi, kurangnya dukungan dari petugas kesehatan, biaya untuk membeli dan memasang kontrasepsi yang tidak terjangkau, serta alat kontrasepsi yang tidak tersedia. Maryatun (2009) mengungkapkan bahwa rendahnya pemakaian kontrasepsi jangka panjang disebabkan bahwa oleh ketidaktahuan akseptor tentang kelebihan metode tersebut. Ketidaktahuan akspetor tentang kelebihan metode kontrasepsi jangka panjang disebabkan oleh informasi yang disampaikan petugas pelayanan KB kurang lengkap.

Proses konseling diharapkan meningkatkan motivasi dan terjadi peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam ber-KB, melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga sehingga tercapai norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (Hanani, 2010).

Dalam penelitian ini penulis membahas informasi kesehatan yang disampaikan oleh tenaga kesehatan tentang kontrasepsi MKJP dengan metode

(11)

konseling disebabkan konseling merupakan pendekatan yang lebih kuat dalam komunikasi, informasi, edukasi (KIE) sehingga dapat meninggkatkan pengetahuan dan menumbuhkan niat PUS untuk memilih dan menggunakan metode kontrasepsi MKJP, karena konselor langsung bertatap muka dengan klien secara dua arah sehingga klien lebih mudah memahami informasi tersebut dan merubah perilakunya. Kegiatan konseling yang pada dasarnya merupakan kegiatan percakapan tatap muka dua arah antara peserta dengan petugas konseling yang bertujuan untuk memberikan bantuan mengenai berbagai cara mengambil keputusan sendiri mengenai atau metode kontrasepsi apa yang terbaik bagi dirinya, bisa dilakukan oleh tenaga pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan (bidan puskesmas) atau dilakukan oleh tenaga pelayanan lain di pedesaan.

Konseling Keluarga Berencana khususnya MKJP sangat penting di berikan karena banyaknya wanita yang berusia diatas 35 tahun dengan riwayat kesehatan yang kurang baik, bergonta-ganti metode kontrasepsi, hal ini disebabkan karena efek samping yang ditimbulkan oleh metode kontrasepsi hormonal yang digunakannya memperburuk kesehatannya seperti ibu penderita penyakit darah tinggi, DM, dan penyakit degeneratif lainnya.

Sejalan dengan penelitian Banjarnahor (2012) bahwa konseling efektif terhadap peningkatan pengetahuan PUS tentang kontrasepsi IUD (p=0.017) di Desa Batu Melenggang Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat. Penelitian Yusrani (2012) bahwamateri penyuluhan oleh petugas kesehatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang sebesar

(12)

75,3%, media penyuluhan yang dipergunakan oleh petugas kesehatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang pemilihan kontrasepsi jangka panjang sebesar 75,3% dan metoda penyuluhan yang dipergunakan oleh petugas kesehatan tidak efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu.

Penelitian Helfi Triansi (2014) bahwa menunjukkan Konseling KB berpengaruh terhadap Pengetahuan PUS tentang metode kontrasepsi IUD(p=0.001<0,05) di Wilayah kerja Puskesmas Blang Mancung.

Dari hasil penelitian sebelumnya oleh Ely Rohmawati (2011), dengan menggunakan uji beda dua mean dependen menunjukkan terdapat peningkatan pengetahuan jumlah responden yang memiliki pengetahuan tinggi antara sebelum sesudah konseling yaitu 48,8% menjadi 58,1% dengan P value = 0,000. Maka dapat di simpulkan bahwa ada pengaruh konseling terhadap pengetahuan pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi implan.

Dan penelitian Veby Monica lasut (2014), hasil penelitian uji statistik Wilcoxon Signed rank nilai yang dapat untuk pengetahuan tentang alat kontrasepsi

implan yaitu P=0,000 < α =0,05 menunjukkan bahwa konseling berpengaruh terhadap

pengetahuan pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi implan.

Dari penelitian Kindi Mei Astrina, hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada peningkatan pengetahuan akseptor KB sebelum dan sesudah diberikan konseling dengan taraf signifikan 0,000 (P < 0,05).

Hal ini sejalan dengan penelitian Candradewi (2013) dalam penelitian “Pengaruh Pemberian Konseling Keluarga Berencana (KB) terhadap Alat

(13)

Kontrasepsi IUD Post Plasenta di RSUP NTB” bahwa rata–ratanilai pengetahuan ibu bersalin tentang IUD Post Plasenta sebelum diberikan konseling KB adalah 12,53 dengan standar deviasi 3,589. Sedangkan rata – rata nilai pengetahuan ibu bersalin tentang IUD Post Plasenta setelah diberikan konseling KB adalah 17,80 dengan standar deviasi 2,552. Perbedaan nilai rata– rata pengetahuan ibu bersalin tentang IUD Post Plasenta sebelum diberikan konseling KB dan sesudah diberikan konseling KB adalah -5,267 dengan standar deviasi 3,118. Hasil uji statistik paired t test didapatkan nilai p = 0,001 (p< 0,05) berarti terdapat perbedaan yang signifikan rata-ratanilai pengetahuan ibu bersalin tentang IUD Post Plasenta sebelum diberikan konseling KB dan sesudahdiberikan konseling KB. Sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh pemberian konseling KB terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD Post Plasenta.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan Januari 2015 di Kecamatan sunggal di peroleh 17 desa. Dari Desa tersebut di peroleh satu desa yang cakupan MKJP rendah, yaitu Desa Suka Maju. Di desa Suka Maju bahwa pada tahun 2014 jumlah PUS yang menjadi peserta KB tercatat sebanyak 1385 peserta KB terdapat 173 (15,9%) peserta yang menggunakan metode kontrasepsi MKJP dan 911 (84,1%) menggunakan NON MKJP dan peserta yang belum menjadi akseptor KB sebanyak 301 (21,7%%) dengan rincian masing-masing per metode kontrasepsi IUD sebanyak 91 (8,96%), MOW sebanyak 15 (1,38%), MOP sebanyak 13 (1,20%), kondom sebanyak 66 (6,09%), Implan sebanyak 54 (4,9%), suntik sebanyak 420(39,8%), pil sebanyak 423 (39,1%). Jenis kontrasepsi yang paling banyak di

(14)

gunakan oleh peserta KB aktif ini adalah kontrasepsi jangka pendek dengan alasan peserta KB baru selain harga relatif lebih murah dan lebih aman.

Survei pendahuluan pada bulan Januari 2014 di Desa Suka Maju dari 15 PUS yang diwawancarai terdapat 10 orang PUS kurang memahami metode kontrasepsi jangka panjang tentang jenis, mekanisme kerja, jangka waktu pemakaian, keuntungan dan kerugian, persyaratan, waktu penggunaan dan teknik pemasangan, sehingga melemahkan niat PUS dalam memilih dan menggunakan kontrasepsi jangka panjang. Hal ini disebabkankonseling yang diberikan petugas kesehatan kurang efektif. Hasil pengamatan penulis bahwa konselor kurang terampilan dalam memberikan informasi kesehatan disebabkan waktu yang terbatas dalam penyampaikan materi konseling dan penjelasan yang kurang dapat dipahami serta konseling belum disertai dengan pemberian media-media brosur/ leaflet. Selain itu jumlah PUS yang ditangani tidak sebanding dengan jumlah petugas kesehatan, teknik dan cara penyampaian informasi terkesan terburu-buru, sikap petugas kurang merespon pertanyaan PUS, dan tenaga kesehatan kurang terampil dalam menyampaikan pesan serta komunikasi yang diterapkan satu arah. Sedangkan di unit pelayanan lainnya seperti klinik/balai pengobatan dan posyandu metode konseling kurang diterapkan karena keterbatasan waktu dan tenaga kesehatan. Kondisi ini menyebabkan PUS belum memahami dengan baik tentang kontrasepsi jangka panjang berupa jenis, mekanisme kerja, jangka waktu pemakaian, keuntungan dan kerugian, persyaratan, waktu penggunaan dan teknik pemasangan. Keadaan ini mengindikasikan bahwa pengetahuan PUS yang kurang baik disebabkan pemberian konseling yang kurang efektif.

(15)

Informasi lanjutan diperoleh penulis bahwa PUS kurang untuk menggunakan kontrasepsi jangka panjang salah satunya IUD atau susuk karena merasa malu apabila harus membuka aurat pada saat memasangan dan pencabutan, kebiasaan keluarga (orang tua/mertua/saudara) tidak menggunakan IUD, tetapi menggunakan kontrasepsi lain seperti pil dan suntik sehingga PUS juga terbiasa menggunakan metode yang digunakan keluarga, PUS juga lebih memilih kontrasepsi harmonal disebabkan karena maraknya periklanan kontrasepsi hormonal sehingga melemahkan kontrasepsi jangka panjang, adanya informasi miring tentang kontrasepsi jangka panjang yang bersumber dari kerabat atau teman dekat bahwa kontrasepsi jangka panjang salah satunya IUD atau susuk dapat menimbulkan keluhan seperti mengganggu hubungan suami istri, ketersediaan kontrasepsi IUD sulit dijangkau di desa-desa dan memerlukan dana yang cukup besar dalam pemasangan, karena IUD hanya tersedia di puskesmas. Selain itu PUS juga khawatir terhadap teknik pemasangan/pencabutan karena memerlukan petugas kesehatan yang terlatih dan prosudur pemasangan yang rumit.

Berdasarkan latar belakang di atas, diperoleh gambaran bahwa cakupan akseptor KB MKJP masih rendah dan belum mencapai target nasional, maka perlu dilakukan perubahan perilaku untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap pasangan usia subur dalam menggunakan kontrasepsi jangka panjang dengan intervensi penyuluhan kesehatan di Desa Suka Maju Kec. Sunggal Kab. Deli Serdang.

(16)

1.2. Permasalahan

1. Rendahnya cakupan MKJP di Desa Suka Maju Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli serdang, sehingga ingin di teliti bagaimana pengaruh konseling kontrasepsi berencana (KB) terhadap pengetahuan dan sikap pasangan usia subur dalam menggunakan kontrasepsi jangka panjang di Desa Suka Maju Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

2. Belum meratanya pemberian konseling sehingga ingin diteliti pengaruh konseling kontrasepsi berencana (KB )terhadap pengetahuan dan sikap pasangan usia subur dalam menggunakan kontrasepsi jangka panjang di Desa Suka Maju Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konseling kontrasepsi berencana ( KB) terhadap pengetahuan dan sikap pasangan usia subur dalam menggunakan kontrasepsi jangka panjang di Desa Suka Maju kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang 2015.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh konseling kontrasepsi berencana (KB) terhadap pengetahuan dan sikap pasangan usia subur dalam menggunakan kontrasepsi jangka panjang di Desa Suka Maju kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

(17)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti sebagai upaya untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang kontrasespi jangkan panjang.

2. Sebagai bahan masukan bagi puskesmas sunggal dan Dinas Kesehatan pemerintah Kabupaten sunggal mengenai sejauh mana pengaruh konseling kontrasepsi berencana(KB) terhadap pengetahuan, sikap dan niat pasangan usia subur dalam menggunakan kontrasepsi jangka panjang, sehingga dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat progam yang sesuai untuk meningkatkan cakupan akseptor KB dan sebagai sarana evaluasi dari progam yang dijalankan.

3. Bagi tenaga kesehatan agar meningkatkan kualitas pemberian pengetahuan KIE dengan mengikuti pelatihan- pelatihan tentang KIE

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan sampah adalah rangkaian kegiatan pewadahan, pengumpulan dan pengangkutan sampah ke tempat sampah sementara yang dilakukan oleh perusahaan RS

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 dalam bab I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan dengan lebih jelas tentang tafsir tunggal atas pendidikan agama dan keagamaan tahun

Berdasarkan data di atas dapat diketahui masa inflamasi pada pasien post cateterisasi jantung setelah diberi aff sheath femoral sebagian besar didapatkan 10

Sistem Pertanian-Bioindustri Terpadu merupakan totalitas atau kesatuan kinerja pertanian terpadu yang terdiri dari: (1) Subsistem sumberdaya insani dan IPTEK; (2) Subsistem

Penelitian ini dilakukan pada tuturan pejabat pemerintah dalam surat kabar harian Jawa Pos Radar Solo, dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, serta

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas berkaitan dengan peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan

Berdasarkan contoh di atas maka menjadi jelaslah bahwa yang dilakukan semantik adalah menggali makna terdalam dari sebuah kata atau kalimat atau dalam bahasa

PERANAN MEDIA FILM PADA PROSES PEMBELAJARAN PKN DALAM MENGEMBANGKAN SEMANGAT NASIONALISME SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |