• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. dibutuhkan Larva 35% Benih konsumsi 25-30%

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. dibutuhkan Larva 35% Benih konsumsi 25-30%"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila

Untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan serta kelangsungan hidupnya ikan memerlukan pakan yang cukup dari segi kualitas dan kuantitas. Pakan yang bermutu baik, salah satunya ditentukan oleh kandungan gizi (protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral) dalam komposisi yang tepat (seimbang).

Ikan nila adalah ikan omnivora yang cenderung herbivora sehingga lebih mudah beradaptasi dengan jenis pakan yang dicampur dengan sumber bahan nabati seperti bungkil kedelai, teung jagung, tepung biji kapuk, tepung enceng gondok, tepung alfafa (Sayed 1999).

Protein merupakan nutrien yang sangat dibutuhkan oleh ikan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh untuk pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon dan juga sebagai sumber energi (NRC 1993).

Tabel 1 Kebutuhan nutrisi ikan nila (Oreochromis sp)

Nutrien Jumlah Yang

dibutuhkan Sumber referensi Protein Asam amino -Arginin -Histidin -Isoleusin -Leusin -Lysine -Metionin + Cystin -Phenilalanin + Tyrosin -Threonin -Tritopan -Valin Lemak

Asam lemak essensial Pospor

Karbohidrat

Digestibiliti energy (DE)

Larva 35% Benih– konsumsi 25-30% 4,2% 1,7% 3,1% 3,4% 5,1% 3,2% ( Cys 0,5 ) 5,5% (Tyr 1,8 ) 3,8% 1,0% 2,8% 6–10% 0,5 % - 18:2n-6 < 0,9 % 25 % 2500 – 4300 Kkal / kg Santiagoet al (1982) Santiagoet al (1986) Santiago & Lovell (1988)

Jauncey & Ross (1982) Takeuchiet al(1982) Watanabeet al(1980) Jauncey & Ross (1982) Jauncey & Ross (1982)

(2)

Menurut Watanabe (1988) kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ukuran ikan, suhu air, kadar pemberian pakan, energi dalam pakan dan kualitas protein.

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi dalam makanan ikan. Karbohidrat sebagian besar didapat dari bahan nabati, sedangkan kadarnya dalam makanan ikan berkisar antara 10-50%. Karbohidrat dalam pakan disebut dengan BETN atau Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen atau NFE (Nitrogen Free Extract). BETN ini mengandung karbohidrat, gula, pati dan sebagian besar berasal dari hemiselulosa. Daya cerna karbohidrat sangat bervariasi tergantung dari kelengkapan molekul penyusunnya. Kandungan karbohidrat pakan yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk ikan omnivora pada kisaran 30-40%, dan untuk ikan karnivora berkisar 10-20% (Furuichi 1988).

Serat Dalam Bahan Pakan Ikan

Istilah serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Sedangkan serat kasar merupakan fraksi karbohidrat yang telah dipisahkan dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan selama 30 menit (Tillman 1998). Serat kasar merupakan penyusun utama dinding sel tumbuhan yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Fungsi utama selulosa pada nutrisi ialah untuk menyediakan bahan bulky dan tidak dapat dicerna yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran usus yang dapat disamakan dengan fungsi serat dalam makanan (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Selulosa pakan dalam jumlah yang berlebihan mempunyai pengaruh menurunkan pertumbuhan serta efisiensi pakan.

Sedikit berbeda dengan selulosa, hemiselulosa terdiri dari heksosa, pentosa dan bentuk-bentuk asam kedua komponen tersebut. Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 1.

(3)

Gambar 1 Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa.

Seperti hewan monogastrik lainnya, kemampuan ikan dalam mencerna serat kasar dibatasi oleh kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk mensekresikan selulase (Bureau et al. 1999). Apabila jumlah serat kasar berlebih dalam pakan akan menyebabkan proporsi makanan yang dapat dicerna menjadi berkurang, seperti menurunkan penyerapan lemak, sehingga total bobot kering pakan juga berkurang (Sutardi 1997). Akibatnya daya cerna ikan terhadap pakan yang diberikan akan menurun yang menyebabkan kinerjanya menjadi kurang bagus (De Silva dan Anderson 1995).

Kemampuan hewan dalam mencerna serat kasar bergantung pada banyaknya bakteri yang dikandung dalam alat pencernaannya (Guillaume 1999). Hewan monogastrik pemakan hijauan yang memiliki lambung sederhana serta caecum dan kolon yang besar memiliki kesamaan fungsi dengan rumen pada sapi dan domba (Cheeke 1982). Menurut Kirchgessener (1986) peningkatan kandungan serat kasar dalam komposisi pakan menurunkan kecernaan nutrisi.

Serat kasar dibutuhkan dalam membantu proses pencernaan makanan. Kandungan serat kasar yang berbeda pada masing-masing bahan penyusun pakan dapat mempengaruhi nilai energi yang tersedia (available energy). Kadar serat kasar dalam pakan berkorelasi negatif dengan energi yang tersedia dalam pakan. Semakin tinggi kandungan serat kasar pakan maka semakin rendah energi yang tersedia. Hal ini dikarenakan serat kasar tidak mampu menyediakan energi yang dapat dimanfaatkan oleh ikan.

(4)

Meskipun serat kasar tidak mengandung nutrisi penting tetapi fungsinya sebagai pengatur ekskresi sisa makanan sangatlah penting. Serat kasar membantu mempercepat ekskresi sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan. Dalam keadaan tanpa serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat menyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga ekskresi feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, pakan dengan serat kasar tinggi dapat mengurangi berat badan karena serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, serat kasar tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan (Piliang 2006).

Fraksi serat kasar diukur berdasarkan kelarutannya dalam larutan detergent yang membagi menjadi isi sel dan dinding sel atau Neutral Detergent Fiber (NDF) dan fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa yang disebut Acid Detergent Fiber (ADF) dan fraksi yang larut yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Van Soest et al. (1991) menguraikan mengenai komponen dinding sel menjadi fraksi-fraksi seperti tersaji pada Gambar 2.

(5)

Kecernaan Pakan Pada Ikan

Kecernaan adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan menjadi feses (Maynard et al. 1979). Kapasitas lambung dan laju pakan dalam saluran cerna merupakan variabel dari kecernaan. Ikan yang berbobot lebih kecil akan mengosongkan sejumlah pakan (prosentase bobot tubuh perjam) dari dalam lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot lebih besar. Akan tetapi semakin besar ukuran ikan, kecernaan komponen serat semakin baik. Selain faktor ukuran ikan, nilai kecernaan dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah konsumsi, status fisiologi, dan manajemen pemberian pakan.

Menurut Affandi et al. (2009) dalam proses pencernaan tidak semua komponen pakan yang dimakan dapat terserap, karena pada kenyataannya ada sebagian pakan yang tidak dapat tercerna. Bagian tersebut akan dikeluarkan dari dalam tubuh ikan berupa feses. Penentuan nilai kecernaan suatu bahan makanan adalah membandingkan kadar nutrien atau energi pakan dengan energi feses yang dinyatakan dalam satuan persen.

Kemampuan cerna ikan terhadap suatu jenis makanan tergantung kepada faktor fisik dan kimia makanan, jenis makanan, umur ikan, sifat fisik dan kimia air serta jumlah enzim pencernaan pada sistem pencernaan gastrointestinal (NRC 1983). Secara umum daya cerna untuk protein berkisar 70-90%, untuk karbohidrat berkisar 5-15%, dan untuk tepung selulosa dan glukosa 1%. Daya cerna ikan terhadap karbohidrat sangat rendah, tergantung pada spesies ikannya (Zonnelveld et al.1991). Pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sedikit dicerna dibanding dengan bahan hewani. Hal ini dikarenakan bahan nabati memiliki serat kasar yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel kuat yang sulit dipecahkan (Hepher 1988).

Untuk mengukur kecernaan terdapat dua metode yaitu metode koleksi feses dan metode indikator (Maynard et al. 1979). Sangat sulit memisahkan feses dari air dan sisa-sisa ransum. Oleh sebab itu pendekatan yang paling tepat untuk mengatasi sulitnya pengukuran jumlah konsumsi dan pengumpulan feses adalah dengan metode indikator (Maynard et al.1979, Choet al. 1985).

(6)

Indikator adalah bahan yang bersifat inert yang berarti dapat ditemukan kembali di dalam feses, dengan kriteria : (1) harus tidak dapat diabsorbsi, (2) harus tidak disamarkan oleh proses pencernaan, (3) harus secara fisik sama atau bergabung dengan bahan pakan yang akan diuji dan (4) metode pengambilan sampel digesta harus spesifik dan sensitif (Maynardet al.1979).

Indikator yang mempunyai sifat tersebut adalah Chromium oxide (Cr2O3). Jumlah kromium yang digunakan dalam penentuan kecernaan adalah 0,5-1,0%. Keuntungan dari penggunaan indikator ini adalah feses yang telah dikumpulkan dapat dianalisa kandugan nutriennya sehingga dapat diketahui koefisien daya cerna suatu nutrien dalam pakan tersebut (Takeuchi 1988).

Kelapa Sawit dan Hasil Sampingnya

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman daerah hutan hujan tropik (10° dari katulistiwa) yang berasal dari Afrika Barat. Habitat alami kelapa sawit adalah di daerah beriklim panas yang lembab pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut dengan suhu optimum pertumbuhan antara 22 °C–32 °C serta curah hujan rata-rata antara 1 600 mm (minimum) sampai 2 500–3 500 mm per tahun (Schultz 2001).

Ada 2 macam metode untuk proses ekstraksi minyak yaitu menggunakan mesin expeller secara mekanis dan ekstraksi solvent secara kimia. Metode expeller akan menghasilkan BIS yang mempunyai kandungan minyak (5-12%) lebih tinggi dibandingkan dengan BIS yang dihasilkan dari proses ekstraksi solvent (0,5-3%). Pada umumnya metode solvent menghasilkan BIS dengan nilai serat kasar dan protein yang lebih tinggi dibandingkan metode expeller (Wanasuria 2008).

Menurut Devendra (1998) yang diacu dalamSinurat (2003), bahwa dalam proses pengolahan buah sawit menjadi crude palm oil(CPO) akan menghasilkan hasil samping berupa lumpur sawit, bungkil inti sawit dan serabut sawit yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pakan (Gambar 3). Minyak kelapa sawit dihasilkan dari inti kelapa sawit yaitu minyak inti kelapa sawit (palm kernel oil) dan hasil sampingnya adalah bungkil inti kelapa sawit (palm kernel meal).

(7)

Gambar 3 Proporsi hasil pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit (Devandra 1998dalamSinurat 2003).

Kandungan Nutrien Bungkil Inti Sawit

Bungkil inti sawit mempunyai kandungan nutrien yang cukup baik untuk dijadikan sebagai bahan pakan. Menurut Jaelani dan Firahmi ( 2007) kandungan protein kasar bungkil inti sawit adalah 16,5-17,69%, lemak kasar 5,69-9,46% dan kandungan serat kasarnya 24,22-30,50%. Kandungan nutrisi BIS secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan nutrien pada bungkil inti sawit

Nutrien A B C SF F Kadar Air (%) 10,4 5,50–12,00 10,72 10,55 Protein kasar (%) 16,8 14,50–19,60 16,5 20,12 BETN 35 46,70–58,80 - -Serat Kasar 24 13,00–20,00 19,24 24,22 Lemak 9,5 5,00– 8,00 5,69 4,97 Abu (%) 4,3 5,00– 8,00 4,69 4,18 NDF (%) 70,07* 66,80–78,90 -

-Keterangan: BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen; NDF =Neutral detergent fibre. A = Simanjuntak (1998)

B = Alimon (2005

C = Jaelani (2007); SF = Sebelum fermentasi; F = Setelah fermentasi * = Chong (1999)

(8)

Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit (BIS) untuk Pakan

Penelitian pemanfaatan BIS telah banyak dilakukan untuk bahan baku pakan ternak (unggas, kambing, sapi, kelinci, ayam). Sedangkan penelitian pemanfaatan BIS dalam bidang akuakultur belum sebanyak dalam bidang peternakan.

Mirwandhono dan Siregar (2004) melaporkan bahwa fermentasi menggunakan Aspergillus niger (3% dari bahan kering BIS secara nyata mampu meningkatkan kandungan protein dari 15,03% menjadi 18,50%. Selanjutnya dilaporkan bahwa penggunaan 2% Aspergillus niger pada fermentasi BIS secara nyata meningkatkan kandungan energi bruto pada BIS yaitu dari 1 661 kkal/kg (BIS sebelum fermentasi) menjadi 1 837 kkal/kg (setelah fermentasi).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pakan dengan bahan baku limbah sawit yang difermentasi dengan enzim rumen dapat digunakan untuk pembesaran ikan nila, meskipun belum dapat menyamai pakan yang menggunakan bungkil kedelai. Namun dari segi harga, pakan ini lebih murah sehingga dapat dijadikan sebagai pakan alternatif (Hadadi et al. 2007).

Menurut Zahari dan Alimon ( 2004), penggunaan BIS untuk bahan baku ikan catfish maksimal 30 %, dan untuk tilapia maksimal 20%. Limet al(2001) melaporkan bahwa BIS dapat digunakan dalam pakanOreochromis mosambicus mencapai 30%. Sedangkan Amri (2007), menyatakan bahwa penggunaan bungkil inti sawit yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus sebanyak 18% dalam pakan ikan mas secara nyata meningkatkan jumlah konsumsi pakan, pertambahan berat tertinggi, dan menurunkan konversi pakan.

Jaelani (2007) melaporkan bahwa penggunaan BIS yang difermentasi menggunakan kapang Trichoderma reesei dapat dilakukan sampai taraf 15% dalam ransum ayam pedaging tanpa mengganggu bobot badan, konsumsi dan konversi ransum serta persentase bobot karkas.

(9)

Onggok

Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka. Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah kandungan zat organik berupa pati. Onggok berpotensi sebagai bahan pakan karena mengandung karbohidrat atau pati sekitar 60-80% dari berat kering. Onggok cukup potensial digunakan sebagai sumber karbon dalam fermentasi padat, meskipun masih memerlukan suplementasi zat gizi seperti nitrogen dan unsur-unsur mineral lainnya (Sumantiet al.2005).

Sianida dapat bersifat racun apabila diberikan dalam jumlah yang tinggi dalam pakan (Parrakasi 1990). Kandungan total HCN ubi kayu dapat hilang hingga lebih dari 86% selama pengeringan dengan sinar matahari. Sjofjan et al. (2001) menyatakan fermentasi campuran onggok dan kotoran ayam dengan A. niger, Rhizopus oligosporus atau Saccaromyces cerevisiae dapat memperbaiki nutrisi campuran onggok dan kotoran ayam tersebut.

Fermentasi

Fermentasi adalah proses penguraian unsur organik kompleks terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas. Simanjuntak (1998) melaporkan bahwa fermentasi dapat dilakukan untuk meningkatkan nutrien pada bahan yang berkualitas rendah, fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan serta cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang terkandung pada suatu bahan.

Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Pada fermentasi medium padat yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Hardjoet al. 1989).

Perlakuan secara fisik yang diberikan sebelum proses fermentasi dapat berupa pengeringan, pemotongan, penggilingan, perendaman, dan pengukusan. Pengukusan bertekanan tinggi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan

(10)

kualitas bahan pakan kasar. Dengan pengukusan menyebabkan pengembangan serat sehingga memudahkan untuk dicerna oleh enzim mikroorganisme. Uap akan menghancurkan ikatan antara selulosa, hemiselulosa dan lignin sedangkan komposisi kimianya tidak berubah. Pengukusan mampu meningkatkan ketersediaan energi karena meningkatnya kelarutan selulosa dan hemiselulosa dan atau pembebasan substansi terhidrolisis dari lignin dan silika (Murniet at .2008).

Hidrolisis Selulosa oleh Kapang

Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim selulosa. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif (Hamelincket al. 2005).

Degradasi selulosa oleh kapang merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis (Howard et al. 2003). Hidrolisis selulosa oleh enzim selulase terjadi dalam dua tahap. Tahap awal merupakan tahap aktivasi, kemudian dilanjutkan dengan tahap hidrolisis seperti tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatis (Muchtadiet al.1992).

Aktivasi selulosa disebabkan oleh enzim non hidrolisis C1, dan hidrolisis selulosa yang telah diaktifkan oleh enzim Cx. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim β -glukosidase yang memecah selobiosa menjadi 2 molekul glukosa (Perez et al. 2002). Proses hidrolisis oleh kapang adalah terjadinya degradasi terhadap dinding sel yang diselaputi oleh lignin, selulosa dan hemiselulosa. Akibat hidrolisis sebagian lignin akan terdegradasi, selulosa dan hemiselulosa terurai menjadi glukosa.

(11)

KapangTrichoderma harzianumRifai

KlasifikasiTrichoderma harzianummenurut Frazier dan Westhoff (1978) adalah divisi Thallophyta, kelas Deuteromycetes, famili Moniliaceae dan ordo Moniliales.

Koloni kapang yang tua berwarna hijau tua dan bentuknya bola-bola konidia yang berwarna hijau yang melekat satu sama lain. Ciri spesifik kapang ini adalah (1) miselium septat, (2) konidia bercabang banyak, septat dan ujung percabanganya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang dan berbentuk bola-bola (Fardiaz 1998).

Trichoderma adalah salah satu kapang tanah yang tersebar luas (kosmopolitan) di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Trichoderma merupakan salah satu jamur yang bersifat selulolitik yang potensial menghasilkan selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa. Trichoderma menghasilkan enzim kompleks selulase yang dapat merombak selulosa menjadi selobiosa hingga menjadi glukosa. Trichoderma spp. memiliki kemampuan untuk menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler, khususnya selulase yang dapat mendegradasi polisakarida kompleks (Harman 2006). Trichoderma adalah salah satu kapang perombak selulosa yang mempunyai kombinasi enzim C1 dan Cx (Wiseman 1981).

Menurut Schmidt (2006) Trichoderma merupakan kapang selulolitik yang memiliki potensi yang baik mendekomposisi selulosa dan hemiselulosa dibandingkan lignin. Hal ini juga dilaporkan oleh Samingan (2009) bahwa T. harzianummampu mendekomposisi selulosa lebih tinggi dibandingkan lignin.

T. harzianum memiliki peranan yang sangat berarti untuk meningkatkan kualitas lumpur sawit. Untuk menurunkan serat kasar penggunaanT. harzianum akan lebih efektif dibandingkan dengan Rhizopus sp. Menurut Ginting dan Krisnan (2006), T. harzianum mempunyai aktifitas selulolitik lebih tinggi dibandingkan denganT. koningii atauT.viridae.

Gambar

Tabel 1 Kebutuhan  nutrisi ikan nila (Oreochromis sp)
Gambar 1 Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa.
Gambar 2 Skema penguraian komponen dinding sel.
Gambar 3 Proporsi hasil pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit (Devandra 1998 dalam Sinurat 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, sebagaimana telah diubah beberapa

Dengan memperhatikan peta penurunan luas sawah, dapat diketahui bahwa daerah Kecamatan Somba Opu adalah daerah yang paling tinggi perubahan alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Hal

Buku ilmiah populer Etnobotani Tumbuhan Leucosyke capitellata di Kawasan Hutan Bukit Tamiang Kabupaten Tanah Laut mempunyai nilai 92,71% dengan kriteria sangat valid yang

Fenomena tersebut terjadi karena Desa Pakraman hanya mewajibkan Krama Desa Pakraman (krama wed) untuk mendukung apapun yang diselenggarakan oleh Desa Pakraman,

Karena motif intrinsik adalah sebuah motif yang tidak mudah berubah dikarenakan berada di dalam diri manusia tersebut selain itu motif intrinsik dapat lebih tahan dalam

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272 / Kpts.II / 2003 tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka

Laju fotosintesis, laju transpirasi, dan konduktivitas stomata berlangsung secara optimal pada kondisi tanah dengan adanya peningkatan bahan organik dalam tanah sebagai

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya melalui Bidang Permukiman berupaya untuk selalu mereview dan memperbaharui status dari Database infrastruktur,