• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TAKSONOMI KECELAKAAN KERETA API DI INDONESIA MENGGUNAKAN HUMAN FACTORS ANALYSIS AND CLASSIFICATION SYSTEM (HFACS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN TAKSONOMI KECELAKAAN KERETA API DI INDONESIA MENGGUNAKAN HUMAN FACTORS ANALYSIS AND CLASSIFICATION SYSTEM (HFACS)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TAKSONOMI KECELAKAAN KERETA API DI INDONESIA

MENGGUNAKAN HUMAN FACTORS ANALYSIS AND

CLASSIFICATION SYSTEM (HFACS)

Hardianto Iridiastadi∗dan Eizora Izazaya

Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganeca 10 Bandung 40132 Telepon (022) 2508124 ∗ e-Mail: hiridias@vt.edu Disajikan 29-30 Nop 2012

ABSTRAK

Keselamatan perkeretaapian di Indonesia masih membutuhkan perhatian serius, dilihat dari tingginya angka kecelakaan setiap tahunnya. Dalam tahun 2004-2010, terjadi lebih dari 700 Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH), di mana 75% merupakan peristiwa anjlok/terguling, 5% tabrakan antar KA, dan 20% tabrakan antara KA dengan kendaraan bermotor di persimpan-gan sebidang. Penelitian ini bertujuan untuk memahami berbagai faktor penyebab yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan. Tujuan penelitian dicapai dengan memanfaatkan metodologi Human Factors Analysis and Classification System for Railroad Industry (HFACS-RR) dan 35 laporan investigasi kecelakaan dari KNKT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 183 faktor yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan, yang masuk dalam kategori preconditions for operator acts (44%), organizational factors (27%), supervisory factors (18%), operator acts (10%), dan outside factors (1%). Penelitian ini membuktikan, walaupun masinis memegang peranan penting dalam menjalankan kereta api, kecelakaan dapat terjadi tidak semata-mata karena kesalahan masinis saja, tetapi terdapat faktor lain yang berkontribusi lebih besar seperti faktor organisasi, kondisi lingkungan, teknologi yang digunakan, maupun kondisi dari masinis yang terganggu akibat sistem kerja yang bu-ruk. Dengan demikian, dibutuhkan perbaikan pada berbagai aspek dan juga pendekatan yang lebih spesifik untuk membahas kategori-kategori penting yang terdapat pada HFACS-RR.

Kata Kunci: Keselamatan transportasi, kecelakaan kereta api, PLH, faktor penyebab, HFACS-RR

I.

PENDAHULUAN

Kereta api merupakan alat transportasi yang telah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Perkeretaapian di Indonesia terus berkembang, mulai dari panjang rel, pertumbuhan jumlah gerbong, per-tumbuhan jumlah stasiun, serta produksi angkutan penumpang dan barang. Dengan biaya yang relatif lebih murah dan waktu yang lebih cepat untuk jarak menengah, kereta api juga masih menjadi pilihan baik dari kalangan ekonomi rendah, menengah, sampai atas. Berdasarkan data statistik yang dihimpun Di-rektorat Jenderal Perkeretaapian,[1] sejak tahun 2006, penumpang kereta api berjumlah di atas 150 juta, dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Pada tahun 2011 sendiri sebagai contoh, 140.940.000 penumpang berada di Pulau Jawa, sedangkan 4.732.000 lainnya berada di Pulau Sumatera. Proporsi yang serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana jumlah penumpang sebagian besar berada di Pulau Jawa.

Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2007,

kereta api memiliki keunggulan khusus, salah satunya yaitu mempuanyai faktor keamanan yang tinggi. Na-mun, keunggulan ini tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada, melihat masih banyaknya kece-lakaan yang terjadi. Dalam kurun waktu 2004-2010 ter-dapat setidaknya 700 Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH), di mana 75% merupakan kejadian anjlog/terguling, 5% merupakan tumburan antar KA, dan sisanya meru-pakan tabrakan kereta dengan kendaraan bermotor pada perlintasan sebidang. Dan dalam rentang waktu tersebut, PLH ini telah memakan 367 korban jiwa, 654 orang luka berat, dan 607 orang luka ringan. Di tahun 2012 sendiri juga telah terjadi beberapa kecelakaan fatal, seperti tumburan antar KA babaranjang yang terjadi di Muara Enim dan kejadian anjlok yang dialami oleh KRL di Stasiun Cilebut maupun yang dialami oleh KA Pram-banan Ekspres. Melihat angka dan data kecelakaan ini, perlu perhatian lebih untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang berkontribusi terhadap terjadinya ber-bagai kecelakaan tersebut.

(2)

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahkan mengeliminasi kecelakaan yang mungkin terjadi yaitu dengan melakukan upaya inves-tigasi. Investigasi kecelakaan merupakan upaya kuali-tatif yang penting dilakukan guna memahami dan men-gelola keselamatan transportasi.[2] Baysari[3] juga me-nyatakan bahwa untuk menghindari ataupun mengu-rangi angka kecelakaan, yang perlu dilakukan yaitu dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kesala-han manusia, atau membuat sistem yang lebih mem-berikan toleransi terhadap terjadinya kesalahan manu-sia. Langkah pertama dalam melakukan upaya ini yaitu dengan melakukan identifikasi terhadap kesala-han yang sering muncul, sehingga pada akhirnya dapat dikembangkan strategi pencegahan ataupun mitigasi. Dalam beberapa tahun terakhir, penyelidikan terhadap penyebab kecelakaan tidak lagi hanya berfokus pada personal approach yang berujung pada pelimpahan ke-salahan kepada operator, tetapi telah beralih pada sys-tematic approach yang juga menganalisis faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan atau faktor-faktor yang mendukung terjadinya kesala-han manusia atau human error.

Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) merupakan salah satu metode analisis human error dengan pendekatan sistematik untuk mengetahui penyebab utama dari terjadinya berbagai kecelakaan. Metode ini pertama sekali dikembangkan oleh Shappell & Wiegmann,[4]dengan berdasarkan pada model swiss cheese yang diperkenalkan oleh James Reason pada tahun 1990.[5] Menurut model swiss cheese, sebuah kecelakaan terjadi tidak hanya disebabkan karena ke-salahan operator (unsafe acts) saja, tetapi juga mengkaji bahwa dibaliknya terdapat serangkaian faktor-faktor lain, yang dibagi menjadi preconditions for unsafe acts, unsafe supervision, dan organizational influences. Pada awalnya, HFACS banyak dimanfaatkan pada lingkungan penerbangan.[6–11] Namun karena sifat-nya yang umum, metode ini kemudian dapat dikem-bangkan dan dimodifikasi untuk membantu dalam menginvestigasi kecelakaan di lingkungan transportasi lainnya. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhasil mengembangkan metode analisis HFACS seperti pe-ngembangan HFACS menjadi HFACS-RR yang digu-nakan sebagai metode analisis human error pada in-dustri kereta api di Amerika Serikat.[2] Celik & Cebi[12] juga memanfaatkan dan memodifikasi HFACS untuk menginvestigasi kecelakaan pelayaran sehingga dapat dilakukan analisis kuantifikasi terhadap faktor terbe-sar penyebab kecelakaan pelayaran. HFACS juga dapat digunakan untuk menganalisis terjadinya kecelakaan pertambangan.[13] Baysari et al.[3] juga menggunakan metode ini untuk memahami kontribusi dari faktor manusia terhadap berbagai kecelakaan kereta api di Australia.

Tingginya angka kecelakaan kereta api di Indone-sia, yang mengakibatkan banyak korban jiwa mau-pun finansial, menandakan bahwa belum diperolehnya pemahaman yang mendalam mengenai berbagai fak-tor yang dapat menyebabkan terjadinya berbagai kece-lakaan ini. Untuk dapat lebih mendalami permasalahan ini, salah satu metode sistematik yang dapat digunakan yaitu HFACS-RR, yang telah dikembangkan khusus un-tuk kasus perkeretaapian. Apabila berhasil diidenti-fikasi apa yang menjadi permasalahan mendasar diba-lik terjadinya berbagai kecelakaan, maka dapat dapat dilakukan upaya investigasi yang lebih mendalam un-tuk mencari akar permasalahan yang terjadi. Dengan demikian dapat pula disusun langkah-langkah strate-gis maupun teknis untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan, yang pada akhirnya dapat me-ningkatkan keselamatan perkeretaapian di Indonesia.

II.

METODOLOGI

Investigasi dilakukan terhadap 35 laporan investi-gasi kecelakaan kereta api yang terjadi antara tahun 2001-2010 yang dirilis oleh KNKT. Laporan ini terdiri dari 18 kejadian anjlog, 11 kejadian tumburan antar kereta, 2 kejadian tabrakan kereta dengan kendaraan bermotor, dan 4 kejadian lain-lain. Pada laporan inves-tigasi ini terdapat informasi atau data-data faktual ke-celakaan, sehingga kemudian dapat ditentukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kece-lakaan. Data tambahan juga diperoleh dari KAI mau-pun dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat. Selain itu juga dikumpulkan data-data pendukung lain seperti statis-tik kecelakaan, deskripsi kecelakaan selama sepuluh tahun terakhir, dan data pendukung lainnya, baik dari sumber resmi (KAI, KNKT, dan Direktorat Jenderal Per-hubungan) ataupun dari surat kabar.

Faktor yang teridentifikasi kemudian diklasi-fikasikan ke dalam taksonomi HFACS-RR yang telah dikembangkan Reinach & Viale,[2] di mana kerangka ini terbagi menjadi 5 level, yaitu outside factors, organi-zational factors, supervisory factors, preconditions for operator acts, dan operator acts. Proses klasifikasi dila-kukan oleh 3 orang peneliti melalui diskusi, sehingga diperoleh persetujuan dari semua peneliti ketika di-lakukan pengklasifikasian. Sebelumnya peneliti telah memiliki pemahaman yang baik mengenai metodologi HFACS ini.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menggunakan 35 laporan investigasi kecelakaan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), teridentifikasi 183 faktor penyebab terjadinya kece-lakaan. Setelah dikelompokkan menggunakan HFACS-RR, diketahui bahwa faktor yang paling besar berkon-tribusi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan masuk

(3)

ke dalam kategori preconditions for unsafe acts (44%), disusul dengan organizational factors (27%), supervi-sory factors (18%), operator acts (10%), dan outside fac-tors (1%) (TABEL1).

Angka kecelakaan kereta api di Indonesia masih memprihatinkan. Berbagai upaya telah dilakukan, na-mun belum dapat menjawab permasalahan yang sebe-narnya terjadi. Ini disebabkan salah satunya karena faktor-faktor yang terkait dengan kecelakaan belum da-pat tergali ataupun dipahami dengan baik. Sebagai con-toh, penerapan jalur ganda tidak akan berpengaruh sig-nifikan mengurangi angka terjadinya PLH apabila per-masalahan utamanya terletak pada kelelahan dan kan-tuk yang dialami masinis. Dari contoh tersebut terlihat bahwa solusi yang bersifat parsial dan tidak meman-dang permasalahan secara sistematik belum tentu da-pat secara signifikan mengurangi jumlah PLH.

Untuk seluruh kejadian kecelakaan yang masuk dalam kategori PLH, sebagian besar faktor penyebab terkait kecelakaan masuk dalam level preconditions for operator acts. Dari level ini, faktor teknologi mendom-inasi karena seringnya terjadi kerusakan pada sarana maupun prasarana, meliputi sistem komunikasi, sis-tem persinyalan, kerusakan pada petunjuk kecepatan lokomotif, tidak berfungsinya sistem pengereman de-ngan maksimal, kondisi rel yang tidak baik (kondisi ballast, bantalan, dan alat penambat yang tidak baik), terjadinya genjotan track, keadaan wesel rel yang tidak baik, maupun keusan pada kop rel. Kerusakan pada sarana maupun prasarana ini mengakibatkan masinis tidak dapat memperkirakan berapa kecepatan kereta saat melewati sinyal maupun melewati rel dalam kon-disi tidak baik, tidak dapat berkoordinasi dengan PK maupun PPKA untuk mengetahui persilangan yang terjadi, dan dapat memberikan kesalahpahaman antar personil yang terlibat operasi.

Faktor teknologi menjadi masalah terbesar pada perkeretaapian Indonesia, terutama dari segi per-awatan sarana maupun prasarana. Hidayat[14] menya-takan bahwa perawatan sarana maupun prasarana oleh KAI memang lemah dilihat dari metode, fasilitas, mau-pun dari sumber daya manusia atau teknisi perawatan tersebut. Salah satu masalah utama yang dialami oleh PT KAI yaitu penundanaan dana untuk pemeliharaan. Sebagai contoh, pada tahun 2011, dana pemeliharaan sarana dan prasarana kereta api senilai total Rp. 17,4 triliun terpaksa ditunda, sedangkan di lain sisi kebu-tuhan pemeliharaan sarana dan prasarana tersebut sa-ngat mendesak, mengisa-ngat mayoritas kecelakaan ter-jadi karena faktor ini.

Faktor lain yang juga turut mempengaruhi ter-jadinya kecelakaan terutama tumburan antar KA yaitu kelelahan yang dialami oleh masinis, baik itu kelela-han mental maupun fisik, di mana dari 11 laporan ke-celakaan setidaknya terdapat 4 laporan yang

memba-has hal ini. Pekerjaan sebagai masinis sendiri dini-lai tidak terlalu berat apabila dibandingkan dengan pekerjaan mengemudi lainnya, seperti mengemudi bus. Berbeda dengan pengemudi bus yang harus waspada setiap saat dan membutuhkan pengambilan keputusan dan reaksi yang cepat, masinis cenderung santai dalam melakukan pekerjaan, dalam artian kereta yang mereka kendarai telah berada di satu jalur yang ditentukan oleh PK. Dengan demikian masinis hanya bertugas dalam penentuan kecepatan kereta, menaati sinyal dan sem-boyan, serta berkoordinasi dengan PK maupun PPKA. Namun, hal ini yang mungkin dapat menyebabkan kelelahan bagi masinis, akibat adanya kemonotonan dalam bekerja dan pekerjaan yang monoton ternyata juga membutuhkan konsentrasi yang tinggi.[15] Dunn dan Williamson[16] juga menyatakan bahwa monoton merupakan karakteristik yang melekat pada industri transportasi, termasuk kereta api, yang dapat mem-berikan dampak negatif terhadap keselamatan, kehan-dalan, dan efisiensi. Selain itu, kombinasi dari peker-jaan yang monoton dan tuntutan tugas yang rendah da-pat menurunkan performansi kerja masinis.

Hasil klasifikasi faktor penyebab kecelakaan kereta api di Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Australia. Hasil penelitian yang dilaku-kan oleh Baysari dkk.[17]terhadap 53 kasus kecelakaan kereta api dari tahun 1998-2006 menyatakan bahwa se-bagian besar faktor penyebab kecelakaan berada pada level organisational influences dan preconditions for unsafe acts. Dapat dilihat bahwa sama halnya dengan di Indonesia, kecelakaan kereta api di Australia hanya sedikit yang disebabkan murni karena kesalahan manu-sia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian terhadap ka-sus kecelakaan di pertambangan yang dilakukan oleh Lenne dkk.,[18] di mana sebagian besar faktor penye-bab utama terjadinya kecelakaan berada pada level pre-conditions for unsafe acts. Dari sini dapat kita lihat bahwa dalam menginvestigasi kecelakaan yang terjadi tidak dapat diambil jalan pintas langsung melimpahkan kesalahan pada operator, karena setelah dilakukan in-vestigasi menggunakan HFACS ternyata faktor penye-bab utama terjadinya kecelakaan berada pada berbagai aspek organisasi. Dengan demikian, upaya perbaikan yang perlu dilakukan juga harusnya berasal dari organ-isasi terlebih dahulu.

Metode taksonomi HFACS sudah banyak sekali di-gunakan pada lingkungan transportasi, dan HFACS-RR juga sudah disesuaikan dengan kondisi perkeretaapian. Metode taksonomi HFACS telah memberikan informasi penting mengenai seberapa besar tiap level dapat mem-pengaruhi terjadinya kecelakaan kereta api. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan yaitu melakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji tiap-tiap faktor. Selain itu, metode taksonomi ini juga dapat digu-nakan sebagai kerangka investigasi yang dilakukan

(4)

TABEL1: Hasil klasifikasi faktor penyebab kecelakaan ke dalam taksonomi HFACS-RR Operator Acts Preconditions for Operator Acts Supervisory Factors Organizational Factors Outside Factors Jumlah Faktor Terlibat KA vs KA 16 36 20 18 0 90 Anjlok 3 36 11 23 1 74 KA vs Ranmor 0 2 0 2 0 4 Lain-lain 0 7 2 6 0 15 Jumlah 19 81 33 49 1 183 Persentase 10% 44% 18% 27% 1% 100%

oleh KNKT. Hanya saja, dalam penggunaan metode ini, dapat saja ditemui perbedaan hasil klasifikasi oleh se-tiap analis. Oleh karena itu, perlu dilakukan peneli-tian maupun pengujian lanjutan mengenai validasi ter-hadap pendefinisian dan jenis kesalahan pada setiap level. Namun, penggunaan metode ini sudah dapat memberikan pencerahan bahwa suatu kejadian tidak hanya terjadi karena kesalahan operator, tetapi juga di-pengaruhi faktor-faktor lain seperti kondisi lingkungan kerja, kondisi tubuh masinis, kerja sama atau kordinasi yang kurang baik antara individu yang terlibat, fak-tor pengawasan dari supervisor yang kurang memadai, adanya kesalahan pada tingkat organisasi, sampai pada faktor-faktor di luar sistem baik itu faktor sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya.

IV.

KESIMPULAN

Hasil klasifikasi keseluruhan terhadap 35 laporan in-vestigasi kecelakaan menyatakan bahwa perlu adanya perhatian khusus pada aspek lingkungan kerja masi-nis (baik itu lingkungan teknologi maupun fisik), kon-disi operator akibat beban kerja mental maupun fisik yang terlalu berat, serta faktor crew resource manage-ment. Perbaikan dari faktor organisasi juga perlu dila-kukan guna memperoleh sistem kerja yang lebih baik dan lebih nyaman bagi seluruh operator kereta api.

Menggunakan informasi dari hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan beberapa upaya perbaikan yang menyeluruh dan komprehensif untuk meningkatkan keselamatan perkeretaapian di Indonesia. Perlu di-lakukan peningkatan kualitas perawatan sarana dan prasarana serta penerapan manajemen kelelahan bagi seluruh operator kereta api. Perbaikan organisasi dan kelembagaan juga perlu dilakukan, agar tidak menjadi aspek yang dapat menyebabkan masinis maupun asis-ten masinis melakukan kesalahan yang dapat menim-bulkan kerugian yang tidak sedikit. Perlu juga dila-kukan peningkatan penyelerasan hubungan antara PT KAI sebagai operator perkeretaapian dengan Direktorat Jenderal Perkeretaapian sebagai regulator agar kinerja dan keselamatan perkeretaapian dapat meningkat dan dapat melayani masyarakat sepenuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Direktorat Jenderal Perkeretaapian. (2011), Jumlah kecelakaan kereta api, diambil dari: http://perkeretaapian.dephub.go.id/index.php?-option=com content&view=article&id=61&Itemid-

=62&ffe5d588932e0dd5fc957eca7f6225ad-=f12e20efb1d9675047c41d1c57afd366

[2] Reinach, S. & Viale, A. (2006), Application of A Human Error Framework to Conduct Train Acci-dent/Incident Investigation, Journal of Accident Analysis and Prevention, Vol. 38, pp 396 - 406. [3] Baysari, M.T., McIntosh, A.S., & Wilson, J.R. (2008),

Understanding the Human Factors Contribution to Railway Accidents and Incidents in Australia, Accident Analysis and Prevention, Vol. 40, pp 1750 -1757.

[4] Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2000), The Hu-man Factors Analysis and Classification System HFACS, Federal Aviation Administration, Office of Aviation Medicine, Washington.

[5] Wiegmann, D.A. & Shappel, S.A. (2003), A Hu-man Error Approach to Aviation Accident Analy-sis, Ashgate Publishing Company, Burlington. [6] Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2001), Applying

Reason: The Human Factors Analysis and Clas-sification System (HFACS), Human Factors and Aerospace Safety, Vol. 1, pp 59 - 86.

[7] Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2003), A Hu-man Error Analysis of General Aviation Controlled Flight Into Terrain Accidents Occurring Between 1990-1998, Federal Aviation Administration, Office of Aviation Medicine, Washington.

[8] Wiegmann, D., Faaborg, T., Boquet, A., Detwiler, C., Holcomb, K., & Shappell,S. (2005), Human Er-ror and General Aviation Accidents: A Compre-hensive, Fine-grained Analysis Using HFACS. Fed-eral Aviation Administration, Office of Aerospace Medicine, Washington.

[9] Detwiler, C., Hackworth, C., Holcomb, K., Boguet, A., Pfleiderer, E., Wiegmann, D., & Shappell S. (2006), Beneath the Tip of the Iceberg: A Human Factors Analysis of General Aviation Accidents in

(5)

Alaska Versus the Rest of the United States, Fed-eral Aviation Administration, Office of Aerospace Medicine, Washington.

[10] Shappell, S., Detwiler, C., Holcomb, K., Hack-worth, C., Boquet, A., & Wiegmann D.A. (2007), Human Error and Commercial Aviation Accidents: An Analysis Using the Human Factors Analysis and Classification System, Human Factors, Vol. 49, pp 227 - 242.

[11] Li, W., Harris, D., & Yu, C. (2008), Routes to Failure: Analysis of 41 Civil Aviation Accidents From the Republic of China Using the Human Factors Anal-ysis and Classification System, Accident AnalAnal-ysis and Prevention, Vol. 40, pp 426 434.

[12] Celik, M. & Cebi, S. (2009), Analytical HFACS for Investigating Human Errors in Shipping Acci-dents, Accident Analysis and Prevention, Vol. 41, pp 66 - 75.

[13] Patterson, J.M. & Shappell, S.A. (2010), Operator Error and System Deficiencies: Analysis of 508 Mining Incidents and Accidents From Queensland, Australia Using HFACS, Accident Analysis and Prevention, Vol. 42, pp 1379 -1385.

[14] Hidayat, T. (2012), Jalan Panjang Menuju Kebangk-itan Perkeretaapian Indonesia; Reformasi dan Re-strukturisasi Perkeretaapian (2nd ed.), Indonesia Railway Watch, Bandung.

[15] Meshkati N. & Hancock P.A. (1988), Human Men-tal Workload, Elsevier Science Ltd, California. [16] Dunn, N. & Williamson, A. (2012), Driving

Monotonous Routes in A Train Simulator: The Ef-fect of Task Demand on Driving Performance and Subjective Experience, Ergonomics,Vol. 55, No. 9, pp 997 - 1008.

[17] Baysari, M.T., Caponecchia, C., McIntosh, A.S., & Wilson, JR. (2009), Classification of Errors Con-tributing to Rail Incidents and Accidents: A Com-parison of Two Human Error Identification Tech-niques, Safety Science, Vol. 47, pp 948 - 957. [18] Lenne, M.G., Salmon, P.M., Liu, C.C., & Trotter,

M. (2011), A System Approach to Accident Cau-sation in Mining: An Application of the HFACS Method, Accident Analysis and Prevention (Arti-cle in Press).

Referensi

Dokumen terkait

 selalu menjaga komunikasi baik terhadap klien, menanyakan ke klien apakah ada kekurangan kita dalam proses pengerjaan, berusaha untuk selalu bisa melayani dengan baik

Pada tulisan ini, kita menganggap model SEIR yang memiliki angka kelahiran yang bersifat ekponensial dan diasumsikan bahwa penyakit menyebar melalui 2 arah (transmisi)

Pemerintah Propinsi Jawa Timur telah membuat Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang hanyalah awalan untuk

Data hasil penelitian yang diolah dengan menggunakan SPSS menunjukkan bahwa ketiga variabel (motivasi, lingkungan kerja, dan semangat kerja) secara serentak

Berdasarkan pada paparan hasil analisis data, maka penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik siswa PPLP Jatim Kediri cabang olahraga atletik: (1) kemampuan

Hasil penelitian menunjukan bahwa frekuensi intensitas penggunaan gadget oleh siswa kelas V SDN 03 Salatiga cenderung rendah yaitu sebanyak 16 orang responden dan

Kegiatan belajar mengajar di sekolah memberikan peranan penting terhadap perubahan peserta didik. Kegiatan belajar mengajar ini menjadi kegiatan inti berlangsungnya proses

2) Melakukan komunikasi, konsultasi dan advokasi dengan Pengurus PMI Kabupaten/Kota /Kepala Markas dalam rangka penyelenggaraan program SUKARELAWAN di Organisasi PMI. 3)