• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

24 4.1 Instalasi Pengolahan Air Limbah PT. X

Menurut Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 tahun 2016 suatu industri atau badan usaha wajib bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkannya, begitu juga PT. X yang bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkannya dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah yang bertujuan untuk mengolah limbahnya sebelum dibuang kebadan air.

(2)

Gambar 4. 2 Kondisi IPAL PT. X diambil dari Stasiun Pantau

Instalasi Pengolaha Air Limbah (IPAL) pada PT. X bekerja setiap hari. Seni – Jum’at IPAL bekerja selama 23 jam/hari dengan waktu istirahat 1 jam/hari pada pukul 07.00 – 08.00 WIB. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu IPAL bekerja selama 24 jam/hari, hal tersebut dikarenakan hari libur karyawan dan tidak ada yang mengontrol untuk waktu istirahat IPAL. Walaupun tidak ada aktivitas produksi pada hari Sabtu dan Minggu bukan berarti tidak ada limbah yang masuk kedalam IPAL. Limbah dari aktivitas produksi pada hari Seni – Jum’at tidak langsung masuk kedalam inti pengolahan air limbahnya karena kuantitas limbah yang cukup banyak tiap harinya maka limbah sebelum masuk ke pengolahan inti dilakukan penampungan terlebih dahulu dikolam penampung atau kolam mixing. Hal tersebut menyebabkan IPAL masih bekerja pada hari Sabtu dan Minggu.

Monitoring yang dilakukan petugas IPAL berupada pengukuran pH menggunakan indikator universal dan pengukuran suhu menggunakan termometer. Pengukuran dilakukan setiap 2 – 3 jam sekali selama waktu kerja. Adapun monitoring secara biologi yaitu menaruh ikan pada kolam pantau. Kolam pantau ini bertujuan

(3)

untuk melihat seberapa toksiknya limbah yang sudah diolah, dengan melihat tingkah laku dari ikan dan tingkat kematian pada populasi ikan dikolam pantau tersebut. Akan tetapi masih ada kekurangan pada monitoring biologi tersebut yaitu ikan yang digunakan sudah dewasa. Jika ingin melihat kualitas limbah tersebut sebaiknya menggunakan ikan yang berumur 30 – 40 hari, karena pada umur tersebut ikan masih terbilang sensitif terhadap perubahan kualitas air. Untuk monitoring uji kualitas limbah pada laboratorium peneliti tidak mendapatkan informasi apapun terkait kualitas fisik-kimia limbah tersebut dari pihak PT. X.

4.2 Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit

Air dalam proses penyamakan kulit memiliki peran penting sebagai media untuk melarutkan bahan – bahan kimia. Komsumsi air dalam produksi penyamakan kulit dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebesar 80% dibutuhkan untuk proses penyamakan kulit dan 20% untuk keperluan teknis lainnya. Hal tersebut menyebabkan limbah cair yang dihasilkan oleh industri tersebut tidak sedikit (Setiyono, 20014).

Peneliti melakukan uji parameter fisika-kimia pada air limbah penyamakan kulit PT. X yang sesuai dengan PerMen LH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Hasil dari uji parameter sesuai dengan PerMen LH No. 5 Tahun 2014 tersaji pada tabel 4.3.

Tabel 4.1Hasil Uji Parameter Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit Parameter Satuan Dying Kromium Mixing Effluent Baku Mutu

BOD mg/L 429.05 858.09 858.09 429.05 50.00 COD mg/L 1742.98 2659.33 1445.28 879.25 110.00 TSS mg/L 1081.67 4036.67 3103.33 568.33 60.00 Kromium mg/L 202.24 12383.13 516.67 46.85 0.60 Minyak & Lemak mg/L 467.00 2590.00 1267.00 131.00 5.00 N Total mg/L 457.76 147.41 788.09 55.49 10.00 Amonia mg/L 36.00 4.13 36.58 4.47 0.50 Sulfida mgS²¯/L 3.50 12.70 4.30 2.90 0.80 pH - 4.23 3.57 5.73 5.37 6.00 - 9.00

(4)

Kinerja dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berada di PT. X berhasil menurunkan hampir semua parameter kecuali pH. Akan tetapi hasil dari pengolahan limbah di PT. X masih jauh dari baku mutu limbah industri penyamakan kulit yang diperbolehkan untuk dibuang kebadan air. Parameter yang melebihi baku mutu menjadi salah satu faktor tingkat toksisitas, semakin tinggi parameter melebihi baku mutu maka akan semakin toksik limbah tersebut (Febrita dan Dwina, 2013).

Terdapat penelitian terdahulu terkait dengan pengolahan limbah industri penyamakan kulit pada IPAL BBKKP, hasil uji parameter limbah industri penyamakan kulit di IPAL BBKKP tersaji pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada PT. X dan BBKKP sesungguhnya sudah memiliki peran yang cukup baik untuk menurunkan parameter limbah penyamakan kulit yang masuk kedalam IPAL. Permasalahan pada BBKKP terlihat jelas pada kulitas air sungai atau badan air penerima buangan air limbah penyamakan kulit tersebut yang sudah melebihi baku mutu. Limbah dari BBKKP sesungguhnya tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan kuliatas air pada air sungai tersebut. IPAL pada BBKKP mengolah secara optimal limbah yang masuk, hal tersebut dikarenakan bahwa IPAL pada BBKKP tersebut menyesuaikan kuantitas limbah yang masuk yaitu sebesar 5 m3/hari. Sehingga IPAL tidak mengalami kelebihan air limbah dalam proses pengolahan. Selain dari kuantitas limbah yang diperhitungkan, IPAL pada BBKKP juga hanya beroperasi 5 jam dalam 1 hari. Sedangkan IPAL pada PT. X kuantitas air limbah yang masuk kedalam IPAL yaitu sebesar 10,8 m3/hari, dan operasional IPAL pada PT. X 23 jam pada hari Senin – Jumat dan 24 jam pada hari Sabtu – Minggu. Pengoperasian secara terus menerus menjadi salah satu faktor dari penurunan keoptimalisasian unit IPAL dalam mengolah air limbah.

Pembuangan limbah yang belum memenuhi baku mutu kebadan air dapat mempengaruhi aktivitas hewan yang ada didalamnya berupa hewan menjadi stres. Tidak semua limbah yang dibuang dapat masuk ketubuh hewan melalui oral. Zat – zat yang terkandung pada limbah juga dapat menempel pada tubuh hewan dan menyababkan hewan menjadi sulit bergerak (Sadana et all, 2013).

(5)

Menurut (Febrita dan Dwina, 2013) jika pH melebihi 9,5 maka dapat menyebabkan kematian pada Daphnia sp. Sedangkan pH optimal untuk kelangsungan hidup Daphnia sp sebesar 6 – 9 (Raohati, 2014). Sementara pH pada limbah baik dying, kromium, mixing, maupun effluent secara berturut – turut yaitu sebesar 4,23, 3,57, 5,73, dan 5,37. pH yang terkandung dalam limbah masih bisa dikatakan aman untuk hewan uji walaupun pH tidak memenuhi baku mutu dan pH optimal, karena konsentrasi pH tidak terlalu jauh dengan baku mutu dan pH optimal untuk kehidupan Daphnia sp.

Biochemical Oxygen Demand (BOD) dapat menentukan kualitas dari air, BOD dapat dinyatakan sebagai banyaknya kebutuhan oksigen dalam air. Oksigen tersebut digunakan oleh organisme untuk menghancurkan bahan organik yang terkandung dalam air. Semakin tinggi BOD maka pertumbuhan organisme dalam air akan semakin cepat, dan sebaliknya. Kandungan BOD juga dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut pada air, semakin tinggi kandungan BOD maka semakin kecil kandungan oksigen terlarut pada air limbah. Umumnya parameter BOD harus lebih kecil dari pada COD (Nurhayati, 2009). Hasil dari uji parameter yang dilakukan peneliti terhadap limbah penyamakan kulit menunjukan kandungan COD pada limbah masih jauh diatas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Besarnya nilai COD dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam limbah tersebut, walaupun tidak banyak mempengaruhinya. Salah satu faktor peningkatan COD yaitu tidak efektifnya kerja dari bak sedimentasi (Febrita dan Dwina, 2013). Penuran kadar oksigen terlarut pada limbah sebenarnya masih bisa ditoleran oleh Daphnia sp, karena Daphnia sp mempunyai kemampuan bertahan hidup pada lingkungan yang kadar oksigen terlarutnya rendah (Effendi, Aditya, Yusli, dan Majariana, 2012).

Total Suspended Solid (TSS) pada limbah penyamakan kulit dari semua sampel yang diambil setelah diuji hasilnya ternyata melebihi baku mutu. Kandungan TSS yang tinggi pada limbah menyebabkan tingkat kecerahan menjadi rendah dan menyebabkan tingkat kekeruhan menjadi tinggi. Jika tingkat kekeruhan tinggi maka akan mempersulit sinar matahari masuk kedalam air, sehingga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis dalam air (Winnarsih et all, 2016). Dari hasil pengujian hewan uji

(6)

mengalami kesulitan untuk bergerak karena terdapat gelambir – gelambir pada bagian tubuhnya. Kandungan TSS yang tinggi pada limbah menjadi salah satu faktor terdapatnya gelambir – gelambir pada tubuh Daphnia sp.

Senyawa kromium sebenarnya sudah terdapat dialam, seperti Cr6 biasanya terdapat pada air permukaan dan tanah. Sedangkan Cr3 biasanya terdapat pada sedimen dan lahan basah (Pawlisz et all, 1993). Pada umumnya kromium yang berlebihan dilingkungan bersifat toksik, akan tetapi kromium juga ada jenisnya. Salah satunya senyawa Cr6 lebih beracun untuk organisme perairan dibandingkan dengan senyawa Cr3. Hal tersebut didukung oleh nilai LC50 yang didapatkan pada saat pengujian lebih kecil Cr6 dibandingkan dengan Cr3 (Baral et all, 2006). Dalam penelitian (E. Biesinger dan Glenn, 1972) bahwa pemberian kromium sejumlah 350 µg/L pada media berdampak pada menurunnya tingkat reproduksi Daphnia sp. Hewan uji yang terpapar oleh kromium juga mengalami penghambatan pada masa pertumbuhan. Paparan dari kromium terhadap Daphnia sp juga menyebabkan efek yang negatif bagi tubuh Daphnia sp itu sendiri yaitu Daphnia sp mengalami penurunan berat badan setelah terpapar kromium. Batas aman pembuangan limbah kromium kebadan air untuk kehidupan akuatik yaitu sebesar 0,001 mg/L untuk Cr6, sedangkan batas aman untuk Cr3 yaitu sebesar 0,008 mg/L. Jika pembuangan limbah dapat memenuhi angkat tersebut maka dapat dipastikan kehidupan akuatik dibadan air penerima pembuangan limbah yang mengandung kromium tidak mengalami efek kerugian atau terganggu atas pembuangan limbah tersebut (Pawlisz et all, 1997).

Kandungan minyak dan lemak cukup berbahaya jika terdapat pada air limbah. Karena sifat minyak yang tidak dapat terlarut dalam air, hal tersebut bisa menghalangi sinar matahari yang masuk kedalam air (Gemilang et all, 2017). Sinar matahari yang masuk kedalam air sebagai kebutuhan untuk proses fotosintesis dalam air, jika fotosintesis mengalami gangguan maka dapat menyebabkan oksigen terlarut pada air menjadi berkurang.

Nitrogen mudah terlarut dalam air dan bersifat stabil (Novia, 2016). Kandungan nitrogen pada perairan dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan)

(7)

perairan, hal tersebut dapat menstimulasikan pertumbuhan organisme pada perairan menjadi pesat (Lestari, 2013). Pertumbuhan organisme yang pesat menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen terlarut pada air, hal tersebut menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam air menjadi menurun seiring tumbuh dengan pesatnya organisme dalam air.

Konsentrasi amonia pada limbah mengalami penurunan setelah melalui tahapan pengolahan air limbah, namun hasil dari proses pengolahan air limbah masih belum cukup memenuhi baku mutu yang berlaku. Kandungan amonia yang terlarut dalam air meningkatkan tingkat keracunan bagi hampir semua organisme perairan. Keberadaan amonia pada limbah menjadi salah satu faktor penyebab kematian hewan uji (Febrita dan Dwina, 2013). Kandungan amonia dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air. Amonia akan beraksi dan teroksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat (Novia, 2016).

Menurut (Khangarot dan Ray, 1989) sulfida yang tidak mudah terlarut merupakan senyawa yang bersifat toksik. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitannya bahwa tingkat kematian pada Daphnia sp cukup tinggi. Konsentrasi sulfida menjadi salah satu faktor dari tingkat toksisitas. Semakin tinggi sulfida maka semakin kuat tingkat toksisitasnya.

Semua parameter pada air limbah penyamakan kulit mendapatkan perannya masing – masing. Semua parameter baik dilihat dari efek tunggalnya maupun dengan kombinasi parameter hanya berdampak negatif bagi perairan atau badan air penerima dan bagi Daphnia sp sebagai hewan uji. Semakin aktif unsur kimia pada senyawa logam maka akan semakin toksik. Unsur kimia juga dapat digunakan untuk memprediksi tingkat toksisitas senyawa logam yang masuk kedalam sistem kehidupan (Khangarot dan Ray, 1989).

4.3 Uji Toksisitas Terhadap Daphnia sp

Pengujian toksisitas akut dilakukan dengan menggunakan media air limbah industri penyamakan kulit. Pengujian ini bisa dikatakan juga sebagai monitoring

(8)

biologi. Pengujian ini menggunakan hewan Daphnia sp dan dilakukan selama 96 jam untuk pengujian toksisitas. Sebelum melakukan uji toksisitas ada beberapa tahapan yang harus dipenuhi yaitu aklimatisasi terhadap hewan uji dan uji pendahuluan. Daphnia sp sebagai hewan uji didapatkan melalui Balai Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB), Cangkingan, Yogyakarta. Aklimatisasi dilakukan selama 24 jam dengan tujuan hewan uji mampu beradaptasi pada lingkungan laboratorium. Selama aklimatisasi dilakukan juga pengukuran parameter berupa pH mengacu padaSNI 06-6989.11-2004, DO mengacu pada SNI 06-6989.14-2004, dan suhu mengacu pada SNI 06-6989.23-2005.

Gambar 4.3 Hasil Pengukuran Parameter (Aklimatisasi)

Menurut (Rohati, 2014) Daphnia sp dapat hidup dengan baik pada suhu 22oC – 32oC, dengan pH 6 – 8, dan oksigen terlarut (DO) lebih dari 3,5 ppm. Dari hasil pengukuran parameter saat aklimatisasi seluruhnya memenuhi kualitas optimal hidup Daphnia sp. Sedangkan dilihat dari tingkat kematian Daphnia sp pada saat aklimatisasi yaitu sebesar 7% dari jumlah polulasi saat aklimatisasi. Menurut (EPA, 1991) batas maksimum kematian hewan untuk pengujian toksisitas sebesar 10% dari populasinya, jika melebihi 10% maka dapat dinyatakan hewan uji tidak memenuhi syarat pengujian dan harus mengganti hewan dengan populasi yang baru.

26 7.1 7.8 14 0 5 10 15 20 25 30 Aklimatisasi Suhu pH DO Kematian (oC) (-) (mg/L) (Ekor)

(9)

4.3.1 Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan sebelum uji toksisitas, uji pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi yang digunakan sebagai konsentrasi uji toksisitas. Uji pendahuluan dilakukan pada tanggal 3 – 4 Mei 2018 selama 24 jam. Konsentrasi yang digunakan pada saat uji pendahuluan yaitu 0%, 6,25%, 12,5%, 25%, 50% dan 100%.

Pada 1 jam pertama pengujian contoh uji mixing terjadi kematian 100% dari jumlah hewan uji yang digunakan dengan konsentrasi 50% dan 100%. Setelah 24 jam pengujian kematian 100% juga terdapat pada konsentrasi 12,5% dan 25%. Sementara pada konsentrasi 6,25% terjadi kematian hewan uji sebesar 70%, dan pada control atau konsentrasi 0% tidak terdapat kematian pada hewan uji.

Sedangkan pada 1 jam pertama pengujian control uji effluent terjadi kematian 100% dari jumlah hewan yang digunakan terdapat pada konsentrasi 100%. Setelah 24 jam pengujian terjadi 100% kematian juga terdapat pada konsentrasi 50%. Kematian 20% hewan uji pada konsentrasi 25%, dan kematian 40% hewan uji pada konsentrasi 12,5%. Sementara tidak ada kematian pada konsentrasi 0% dan 6,25%.

Faktor pengenceran untuk konsentrasi pada uji toksisitas yaitu sebesar 0,5 untuk contoh uji mixing dan effluent (EPA, 2000). Konsentrasi yang didapatkan untuk uji toksisitsas setelah dilakukan pengenceran 0,5 ialah untuk variasi konsentrasi contoh uji mixing yaitu 0%, 0,39%, 0,78%, 1,56%, 3,13%, dan 6,25%, sedangkan untuk variasi contoh uji effluent yaitu 0%, 1,56%, 3,13%, 12,5%, dan 25%.

4.3.2 Uji Toksisitas

Uji toksisitas dilakukan pada tanggal 5 – 8 Mei 2018 selama 96 jam. Pada pengamatan uji toksisitas 1 jam pertama tidak terjadi kematian pada hewan uji dicontoh uji mixing maupun contoh uji effluent. Berikut ini grafik hubungan antara mortalitas kematian dengan konsentrasi contoh uji tersaji pada Gambar 4.2.

(10)

(a)

(b)

Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Mortalitas Kematian dengan Konsentrasi (a) Contoh Uji Mixing dan (b) Contoh Uji Effluent

Kematian pada Daphnia sp pada saat pengujian toksisitas dialami setelah 1 jam pertama. Jumlah kematian Daphnia sp pada contoh uji mixing sebanyak 25 ekor, sedangkan pada contoh uji effluent sebanyak 27 ekor. Total kematian pada hewan uji sebesar 43,33% dari jumlah hewan uji yang digunakan. Kematian hewan uji pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 2 4 6 8 10 M o rtali tas K e m atian (% )

Konsentrasi Contoh Uji Mixing (%)

Kematian Daphnia sp. 0 20 40 60 80 100 0 5 10 15 20 25 M o rtali tas K e m atian (% )

Konsentrasi Contoh Uji Effluent (%)

(11)

contoh uji effluent lebih besar dari kematian hewan uji pada contoh uji mixing, variasi konsentrasi pada contoh uji effluent menjadi salah satu faktor banyaknya kematian hewan uji. Menurut Pattiwael (2013) Daphnia sp memiliki kemampuan bertahan hidup dalam kondisi kandungan oksigen terlarut rendah pada air. Parameter yang terkandung pada limbah menyebabkan menurunnya tingkat reproduksi pada Daphnia sp dan menyebabkan deferensiasi pada jenis kelamin Daphnia sp, bahkan dalam keadaan ekstrim populasi Daphnia sp yang terpapar limbah menjadi kelamin jantan semua dan ukuran tubuhnya relatif kecil. Kandungan pada limbah juga dapat menurunkan proses pertumbuhan pada Daphnia sp. Akan tetapi jika dilihat dari hasil pengamatan langsung pada saat uji toksisitas, Daphnia sp mengalami perubahan perilaku dari aktif menjadi pasif. Tubuh Daphnia sp juga mengalami perubahan, terdapat gelambir – gelambir pada sekitar tubuh Daphnia sp yang menyebabkan sulit bergerak. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab kematian dari Daphnia sp.

4.3.3 Lethal Concentration 50 (LC50)

Ada 4 metode perhitungan LC50 yaitu Metode Grafis, Metode Probit, Metode

Spearmen-Karber, dan Metode Trimed Spearmen-Karber (EPA, 2002). Berdasarkan perhitungan LC50 menggunakan software EPA Probit Analysis Used for Calculition

LC/EC Value Version 1.5, bahwa data hasil dari uji toksisitas contoh uji mixing dan effluent dapat dilakukan perhitungan LC50 menggunakan Metode Probit.

Tabel 4.2 Lethal Concentration 50 (LC50)

Contoh Uji LC50

Mixing 80.47

Effluent 89.83

Dari hasil perhitungan LC50 menggunakan Metode Probit menunjukan bahwa nilai LC50 untuk contoh uji mixing lebih kecil dibandingkan dengan nilai LC50 contoh uji effluent. Meskipun perbedaan hasil perhitungan LC50 tidak terpaut jauh, akan tetapi

(12)

bisa dinyatakan contoh uji mixing lebih toksik atau beracun dari pada contoh uji effluent.

4.3.4 Toxicity Unit Acute (TUa)

Setelah mendapatkan nilai LC50 dari hasil pengamatan, maka dapat dilanjutkan dengan perhitungan Toxicity Unit Acut (TUa). Nilai TUa dapat menunjukan contoh uji yang digunakan termasuk kedalam katagori tidak beracun atau beracun.

Tabel 4.3 Toxicity Unit Acute (TUa)

Contoh Uji Tua Katagori

Mixing 1.24 Significant Acute Toxic

Effluent 1.11 Significant Acute Toxic

Berdasarkan dari hasil TUa yang didapatkan nilai TUa contoh uji effluent lebih rendah dari pada nilai TUa contoh uji mixing. Contoh uji keduanya termasuk kedalam katagori yang sama yaitu Significant Acute Toxic setelah mengklasifikasikan berdasarkan Tabel 3.2, akan tetapi contoh uji mixing sedikit lebih bercun dari pada contoh uji effluent. Kondisi eksisting IPAL PT. X yang mencampurkan influent dying dengan influent kromium pada kolam mixing menjadi salah satu faktor contoh uji mxing sedikit lebih toksik dari contoh uji effluent. Kualitas dari influent dying dan influent kromium yang besar, kemudian bercampur mengakibatkan kualitas pada contoh uji mixing menjadi besar.

Gambar

Gambar 4.1 Sistem Pengolahan Air Limbah Industri PT. X
Gambar 4. 2 Kondisi IPAL PT. X diambil dari Stasiun Pantau
Tabel 4.1 Hasil Uji Parameter Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit Parameter  Satuan  Dying  Kromium  Mixing  Effluent  Baku Mutu
Gambar 4.3 Hasil Pengukuran Parameter (Aklimatisasi)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada pengalaman kami dan informasi yang ada, diharapkan tidak ada efek yang membahayakan jika ditangani sesuai dengan rekomendasi dan tindakan pencegahan yang sesuai

[r]

Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 2 Tahun 2005 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Probolinggo SETWAN

Implementasi kebijakan PIP pada jenjang SMA di Kecamatan Babakan sudah berjalan dengan baik. Unsur-unsur yang terlibat dalam pelaksanaan yang meliputi Direktorat SMA sebagai

(2002) melakukan penelitian dengan bahan stabilisator berbentuk cair (ion, polimer dan enzim) pada 3 (tiga) tipe tanah lempung (kaolinit, illite dan

Baik Fascila gigantica maupun Fasciola hepatica memiliki siput dari spesies yang berbeda sebagai induk semang antaranya.. Telur berukuran lebih kurang 100 x 160 µm yang keluar

Perbandingan tingkat keakuratan yang dilakukan berdasarkan standard error dari tiap parameter yang diuji dengan metode perbedaan rataan kuadrat terkecil untuk standard

Berdasarkan analisis data hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan tentang data altivitas guru, aktivitas siswa yang menunjukan adanya peningkatan pada setiap pertemuan,