BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Teofilin
Rumus Bangun :
Nama Kimia : 1,3-dimethylxanthine Rumus Molekul : C7H8N4O2
Berat Molekul : 180,17
Pemerian : Serbuk hablur, Putih; tidak berbau; rasa pahit; stabil di
udara.
Kelarutan : Sukar larut dalam air
Mudah larut dalam air panas
Mudah larut dalam larutan alkali hidroksida Agak sukar larut dalam etanol, kloroform dan eter
pKa : 8,6
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat (Ditjen POM, 1995; Merck and Co, 1983).
Teofilin adalah suatu bronkodilator yang bekerja dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase yang bekerja merubah cyclic-adenosin-monoposphat (cAMP) menjadi 5`-AMP, sehingga terjadi peningkatan jumlah cAMP.
Meningkatnya kadar cAMP dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, antara lain bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcells (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2 Uraian Nata de coco 2.2.1 Defenisi Nata de coco
Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa
selulosa (dietary fiber), yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik, yang selanjutnya dikenal dengan bibit nata. Bibit nata de coco sebenarnya merupakan golongan bakteri dengan nama Acetobacter
xylinum yang merupakan golongan bakteri yang menguntungkan, dimana bakteri
tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia sehingga menghasilkan produk yang berguna (Rindit, 2002).
2.2.2 Cara Bakteri Acetobacter xylinum Membentuk Nata de coco
Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk Nata de coco jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan Karbon (C) dan
Nitrogen (N), melalui proses yang terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri
tersebut akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun (mempolimerisasi) zat gula (dalam hal ini glukosa) menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam air kelapa tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata (Rindit, 2002).
Pertumbuhan Acetobacter xylinum dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
i. Nutrisi
Adapun faktor yang mempengaruhi yang berkaitan dengan nutrisi ialah : - Sumber Karbon. Dipengaruhi oleh sumber karbon dalam hal ini
adalah senyawa karbohidrat terutama yang termasuk golongan monosakarida dan disakarida seperti glukosa, sukrosa dan laktosa, dan yang paling banyak digunakan ialah sukrosa.
- Sumber Nitrogen. Bisa digunakan dari senyawa organik dan non organik. Namun yang paling banyak digunakan ialah ammonium sulfat dan ammonium pospat atau sumber N lain yang lebih murah seperti urea (Rindit, 2002).
ii. Derajat Keasaman (pH)
Bakteri Acetobacter xylinum tumbuh baik dalam media yang memiliki Ph 3-4. Jika lebih dari 4 atau kurang dari 3 maka bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya (Warisno, 2004).
iii. Temperatur
Adapun suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter
xylinum adalah 28o C – 31o C. Pada suhu dibawah 28o C, pertumbuhan
bakteri akan terhambat. Demikian juga pada suhu diatas 31o C bibit nata akan mengalami kerusakan dan kematian pada suhu ± 40o C (Rindit, 2002).
Bakteri Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan atau hambatan dalam pertumbuhannyadan bahkan akan mengalami kematian. Oleh sebab itu pada proses ferrmentasi Nata de
coco tidak boleh ditutup rapat (Rindit, 2002).
2.3 Uji Disolusi 2.3.1 Defenisi
Disolusi didefenisikan sebagai proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan pada suatu medium. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak persentase zak aktif dalam obat yang melarut untuk kemudian diabsorbsi dan masuk ke dalam molekul peredaran darah dan memberikan efek terapi (Syukri, 2002).
Pada uji disolusi dapat diketahui partikel-partikel obat akan melepas bahan obat kedalam larutan dengan kecepatan tertentu. Cepatnya melarut obat akan menentukan berapa kadar bahan berkhasiat yang terlepas kedalam darah, oleh karena itu laju disolusi berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari suatu obat (Lachman, dkk., 1994).
2.3.2 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Laju Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi diklasifikasikan atas tiga kategori :
A. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat B. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
C. Faktor yang berkaitan dengan uji disolusi dan parameter uji A. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat
- Kelarutan. Kelarutan obat merupakan faktor utama yang menentukan laju disolusinya.
- Bentuk kristal atau amorf. Pada umumnya bentuk amorf lebih mudah larut dari pada bentuk kristal.
- Ukuran partikel. Pengurangan ukuran partikel akan memperluas permukaan. Luas permukaan partikel bertambah menyebabkan laju disolusi bertambah karena terjadi pertambahan luas permukaan yang bersentuhan dengan medium disolusi.
B. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
- Bahan Pembantu. Penggunaan bahan pembantu seperti bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung dari bahan pembantu yang dipakai.
- Metode granulasi. Proses granulasi basah umumnya memperbesar laju disolusi dari obat-obat kurang larut.
- Daya kompresi. Terdapat perbedaan hubungan antara daya kompresi tablet dan laju disolusinya. Peningkatan tekanan dapat meningkatkan atau menurunkan daya disolusi.
C. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji - Kecepatan pengadukan. Mempengaruhi penyebaran partikel dan
tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.
- Suhu medium. Berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif.
- pH medium. Dapat mempengaruhi laju disolusi apabila kelarutannya tergantung pada pH, maka perubahan pH medium disolusi akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat disepanjang saluran cerna.
- Metoda. Metoda penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung
pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002). 2.4 Sediaan dengan pelepasan terkontrol
Tujuan utama dari suatu produk obat pelepasan terkontrol adalah untuk mencapai suatu efek terapetik yang diperpanjang disamping memperkecil efek samping yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh fluktuasi kadar obat dalam plasma (Shargel dan Andrew., 1988).
Istilah pelepasan terkontrol menunjukkan bahwa obat dilepaskan dari sediaan sesuai dengan yang akan direncanakan dan pelepasannya lebih lambat dari sediaan konvensiaonal sehingga akan memperpanjang kerja obat (Ansel, 1989).
Sistem sustained release termasuk sistem penyampaian obat yang menghasilkan pelepasan obat yang lambat selama periode waktu yang panjang. Jika sistem berhasil mempertahankan level obat konstan dalam darah atau jaringan target, disebut controlled release. Jika tidak berhasil, tapi memperpanjang lama kerja melebihi dari yang dicapai oleh penyampaian secara konvensional, disebut prolonged release (Longer, 1990).
Gambar 1. Profil level obat dalam darah versus waktu (Longer, 1990). sediaan controlled release (A); prolonged release (B); sediaan konvensional (C)
Suatu produk obat sustained release dirancang untuk melepaskan suatu dosis terapetik awal obat (dosis muatan) yang diikuti oleh suatu pelepasan obat yang lebih lambat dan konstan. Laju pelepasan dosis penjagaan dirancang sedemikian agar jumlah obat yang hilang dari tubuh melalui eliminasi diganti secara konstan. Dengan produk sustained release konsentrasi obat dalam plasma yang konstan dapat dipertahankan dengan fluktuasi yang minimal (Shargel dan Andrew, 1988).
Suatu produk obat prolonged action dirancang untuk melepaskan obat secara lambat dan memberi suatu cadangan obat secara terus menerus selama selang waktu yang panjang. Produk obat prolonged action mencegah absorpsi obat yang sangat cepat, yang dapat mengakibatkan konsentrasi puncak obat dalam plasma yang sangat tinggi. Sebagaian besar produk prolonged action memperpanjang lama kerja tetapi tidak melepaskan obat pada suatu laju yang tetap (Shargel dan Andrew, 1988).
2.4.1 Kebaikan dan keburukan sediaan pelepasan terkontrol Keuntungan penggunaan sediaan pelepasan terkontrol adalah : a. Memperpanjang aktivitas obat.
b. Mengurangi frekuensi pemberian obat
c. Memperbaiki efisiensi pengobatan dan mengurangi fluktuasi kadar obat. d. Mencegah/ mengurangi iritasi saluran cerna.
e. Jumlah obat yang diberikan lebih sedikit dibandingkan jumlah total dosis berulang.
f. Penggunaannya lebih menyenangkan bagi pasien.
Keburukan penggunaan sediaan pelepasan terkontrol adalah :
a. Ada kemungkinan obat gagal dilepas pada kondisi yang tepat sehingga dapat terjadi kelebihan dosis untuk periode waktu yang lama dan terjadi efek toksik.
b. Adanya suatui reaksi samping obat atau keracunan obat, maka menghilangkan obat dari dalam tubuh menjadi lebih sulit.
c. Apabila sediaan dosis tunggal cukup besar, maka sediaan pelepasan terkontrol akan mempunyai ukuran yang cukup besar sehingga sukar ditelan oleh pasien.
d. Karena biaya pengembangan dan produksinya tinggi, maka harga sediaan ini lebih mahal dari sediaan biasa
2.5 Sistem pelepasan obat
Pelepasan obat dari suatu sediaan lebih mudah diramalkan dengan mengetahui sistem pelepasan obat. Ada 3 macam sistem pelepasan obat yang umum yaitu pelepasan orde nol, orde satu dan orde Higuchi.
a. Sistem Pelepasan Orde Nol
Pada sistem orde nol terjadi pelepasan obat dengan kecepatan konstan. Kecepatan pelepasan tidak tergantung pada konsentrasi. Sistem pelepasan ini merupakan sistem pelepasan yang ideal untuk sediaan sustained
release.
b. Sistem Pelepasan Orde Satu
Kecepatan pelepasan pada sistem ini bergantung pada konsentrasi. Kecepatan pada waktu tertentu sebanding dengan konsentrasi obat yang tersisa dalam sediaan pada saat itu.
c. Sistem Pelepasan Higuchi
Kinetika pelepasan ini diselidiki oleh T. Higuchi sehingga disebut juga pelepasan Higuchi. Laju pelepasan obat dari matriks yang tidak larut umumnya akan mengikuti sistem pelepasan Higuchi. Higuchi menegaskan laju pelepasan obat dari matriks yang tidak larut ini terutama dipengaruhi oleh porositas dan kerumitan (turtuositas) matriks. Porositas menggambarkan pori-pori atau saluran yang dapat dipenetrasi oleh cairan disekitarnya sedangkan turtuositas memperhitungkan peningkatan jalan difusi karena berkeloknya pori-pori. Turtuositas cenderung mengurangi jumlah obat yang terlepas pada interval waktu yang diberikan (Martin dkk, 1993).
2.6 Floating drug delivery system
Floating drug delivery system, pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada
tahun 1968, merupakan sistem dengan densitas yang kecil, yang memiliki kemampuan mengambang kemudian mengapung dan tinggal dilambung untuk beberapa waktu. Pada saat sediaan mengapung dilambung, obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang dapat ditentukan, hasil yang diperoleh adalah peningkatan gastric residence time (GRT) dan pengurangan fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma (Chawla et al, 2003).
Sistem mengapung pada lambung berisi obat yang pelepasannya perlahan-lahan dari sediaan yang memiliki densitas yang rendah atau floating drug delivery system (FDDS) atau biasa disebut hydrodynamically balanced system (HBS). FDDS atau HBS memiliki bulk density yang lebih rendah dari cairan lambung. FDDS tetap mengapung dalam lambung tanpa mempengaruhi kondisi lambung dan obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang diinginkan dari sistem (Anonim, 2003).
2.6.1 Klasifikasi floating drug delivery system
Klasifikasi floating drug delivery system dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:
1. Effervescent system
Ini adalah tipe sistem dengan menggunakan matriks polimer yang dapat mengembang seperti metil sellulosa dan kitosan, atau atau berbagai macam senyawa effervescent seperti natrim bikarbonat, asam tartrat, atau asam sitrat. Ketika matriks ini kontak dengan cairan lambung maka kan membentuk gel, dengan adanya gas yang
dihasilkan dari sistem effervescent, maka gas akan terperangkan dalam
gelyfiedhydrocolloid, yang akan mengakibatkan sediaan akan
mengapung, meningkatkan pergerakan sediaan, dan juga mempertahankan daya mengapungnya (Arora et al, 2005).
Gambar 2. A = sediaan oral dari FDDS B = prinsip kerja dari
FDDS secara effervescent
2. Non-Effervescent system
Pada non-effervescent system biasanya menggunakan matriks yang memiliki daya pengembangan yang tinggi seperti sellulosa, jenis hidrokoloid, polisakarida dan polimer seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetakarilat dan polistren. Salah satu cara formulasi bentuk sediaan ini yaitu dengan mencampur zat aktif dengan hidrokoloid gel. Hidrokoloid akan mengembang ketika kontak dengan cairan lambung setelah pemberian oral, tinggal dengan bentuk yang utuh dan bulk densitynya lebih kecil dari kesatuan lapisan luar gel. Struktur gel bertindak sebagai reservoir untuk obat yang akan dilepaskan perlahan dan dikontrol oleh difusi melalui lapisan gel (Arora et al, 2005).