• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN DALAM PERSPEKTIF PENGINDERAAN JAUH: PERKEMBANGANNYA DEWASA INI, TANTANGAN KE DEPAN, DAN ARAH PENELITIAN YANG DIPERLUKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN DALAM PERSPEKTIF PENGINDERAAN JAUH: PERKEMBANGANNYA DEWASA INI, TANTANGAN KE DEPAN, DAN ARAH PENELITIAN YANG DIPERLUKAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Orasi Ilmiah

KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN DALAM

PERSPEKTIF PENGINDERAAN JAUH:

PERKEMBANGANNYA DEWASA INI,

TANTANGAN KE DEPAN, DAN ARAH

PENELITIAN YANG DIPERLUKAN

Disampaikan oleh:

Projo Danoedoro, PhD

Projo Danoedoro, PhD

Projo Danoedoro, PhD

Projo Danoedoro, PhD

dalam rangka Lustrum ke-9 Fakultas Geografi UGM

1 September 2008

FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2008

(2)

 Yang terhormat Bapak Rektor UGM,

 Yang terhormat Pimpinan dan Anggota Senat Fakultas Geografi UGM,

 Yang terhormat Dekan, Ketua Lembaga, dan Ketua-ketua Pusat di lingkungan UGM,

 Yang terhormat para Wakil Dekan, Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan, Kepala Laboratorium dan Ketua Program Studi di lingkungan Fakultas Geografi UGM,  Yang terhormat seluruh Staf Pengajar Fakultas Geografi

UGM.

 Yang terhormat, Kepala Bagian dan Kepala Sub-bagian di lingkungan Fakultas Geografi UGM,

 Yang terhormat Ketua POMAG Fakultas Geografi UGM,  Yang terhormat para Alumni Fakultas Geografi UGM,  Yang terhormat Pengurus Dharma Wanita Persatuan Sub

Unit Fakultas Geografi UGM

 Yang saya kasihi para Wakil Mahasiswa dan seluruh sivitas akademika Fakultas Geografi UGM,

 Yang terhormat para Tamu Undangan dan Hadirin sekalian,

Salam sejahtera bagi kita semua.

Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, karena atas perkenanNya kita bisa ber-kumpul di sini untuk merayakan ulang tahun ke-45 atau Lustrum ke-9 Fakultas Geografi UGM.

Sungguh merupakan kehormatan bagi saya bahwa pada kesempatan yang membahagiakan ini saya telah diberi keper-cayaan untuk menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Kajian

(3)

Penggunaan Lahan dalam Perspektif Penginderaan Jauh: Perkembangannya Dewasa Ini, Tantangan ke Depan, dan Arah Penelitian yang Diperlukan.” Lebih dari separo materi

ini diangkat dari pergulatan akademis saya dalam menekuni bidang penginderaan jauh untuk penggunaan lahan selama 15 tahun terakhir, yang bermuara pada penulisan tesis untuk gelar Doctor of Philosophy saya pada tahun 2006.

Hadirin yang saya hormati,

Penggunaan lahan dalam perspektif penginderaan jauh saya angkat sebagai topik pidato atas dasar dua alasan.

Pertama, berbeda dengan kebanyakan argumen peneliti yang

cenderung memandang suatu topik bahasan yang mereka angkat sangat aktual, saya justru memandang bahwa pada saat ini penggunaan lahan bukanlah isyu menarik. Karena kurang menarik, maka saya mencoba untuk meyakinkan bahwa sebenarnya penggunaan lahan merupakan salah satu topik kunci dalam pembangunan di Indonesia. Kedua, penginderaan jauh saya kemukakan dalam kaitan dengan penggunaan lahan karena saya memandang bahwa penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang paling efektif dan efisien dalam membantu memahami fenomena spasial penggunan lahan. Melalui perspektif penginderaan jauh pula saya mencoba untuk membangun pemahaman tentang informasi penggunaan lahan yang sangat krusial bagi pengelolaan lingkungan dan perencanaan wilayah.

Sehubungan dengan alasan-alasan tersebut di atas, saya akan menyampaikan beberapa pokok pikiran dalam pidato ini, meliputi masalah informasi penggunaan lahan di Indonesia, perkembangan kajian yang ada selama ini dari perspektif

(4)

penginderaan jauh, serta tantangan ke depan yang berim-plikasi pada pengembangan penelitian yang diperlukan.

Para tamu undangan yang saya muliakan,

Masalah penggunaan lahan sebenarnya bersifat kompleks. Masalah ini bahkan bisa ditinjau dari pangkalnya, yang terkait dengan batasan pengertian. Pada tahap yang sangat inisial ini, para peneliti telah menjumpai adanya kekacauan dalam penggunaan istilah penutup lahan (land-cover) dan peng-gunaan lahan (land-use). Meskipun sudah sejak lama Rhind dan Hudson (1980) serta Vink (1975) berusaha membedakan kedua konsep tersebut, tetap saja terjadi kekacauan dalam praktek penerapan istilah, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global.

Situasi ini tentunya menggugah perhatian, mengapa kekacauan tersebut tetap saja terjadi, sementara berbagai tema pemetaan lain, misalnya tanah dan geologi sudah masuk atau mengarah ke sistem klasifikasi yang lebih sistematis dan mempunyai standar yang dapat diacu oleh berbagai negara dan lembaga dunia? Young (1998) sebagai pakar evaluasi lahan tingkat dunia misalnya, mendambakan adanya suatu sistem klasifikasi penggunaan lahan yang sistematis, yang dapat diperbandingkan dengan sistem klasifikasi tanah dunia.

Saya mencoba untuk melacak kekacauan ini dari tiga sisi.

Pertama, informasi penggunaan lahan selama ini hanya

dipandang penting secara formal, bukan secara substansial.

Kedua, berbagai ahli pemetaan dan lembaga teknis

meman-dang bahwa pemetaan penutup dan penggunaan lahan bukanlah suatu aktivitas yang sulit. Karena dipandang tidak

(5)

sulit dan kebanayakan praktisi pemetaan penggunaan lahan dapat melakukannya, maka kajian pemetaan penggunaan lahan pun menjadi tidak istimewa dan bahkan diabaikan. Di Fakultas Geografi UGM saja, pada sekitar 20 tahun yang lalu, bahkan pernah ada semacam discouragement atau larangan untuk melakukan penelitian skrispi dengan topik pemetaan penggunaan lahan. Ketiga, ada pendapat lain yang justru berkebalikan dengan pendapat pertama, yaitu bahwa informasi penggunaan lahan sudah dipandang sebagai informasi yang memang selalu tidak akurat dan tidak bisa dipercaya, bahkan oleh para pembuat peta penggunaan lahan sekalipun (Danoedoro, 2004). Paragraf-paragraf berikut ini mencoba menjelaskan ketiga sisi masalah tersebut secara garis besar.

Hadirin yang saya hormati,

Informasi penggunaan lahan memang dipandang penting secara formal, tetapi praktek pengumpulan dan penggunaan informasinya selama ini tidak melalui suatu sistematika yang jelas, diterima secara luas, serta relevan untuk berbagai keperluan aplikasi. Tinjauan ulang atas metode-metode pemetaan penggunaan lahan di Indonesia selama ini relatif jarang dilakukan. Seperti halnya berbagai sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan di tingkat dunia, sistem klasi-fikasi yang diacu untuk pembuatan peta-peta penutup lahan dan penggunaan Lahan di Indonesia dan di dunia sebagian besar tidak konsisten. Hingga saat ini tidak ada satu pun sistem klasifikasi yang secara tegas dan konsisten memi-sahkan informasi penutup dari penggunaan lahannya. Peta-peta penggunaan tanah Badan Pertanahan Nasional, misalnya, sudah cukup baik menyajikan informasi penggunaan lahan

(6)

untuk wilayah bukan-hutan, akan tetapi wilayah dengan penutup lahan vegetasi alami dan semi-alami justru diklasifikasi dengan mengacu pada komposisi struktural, jenis dan tingkat kerapatannya secara tidak konsisten. Sistem klasifikasi menurut Malingreau (Malingreau dan Christiani, 1982) secara sengaja telah mencampurkan konsep penutup dan penggunaan lahan dengan alasan bahwa sistem ini digunakan sebagai acuan untuk pemetaan berbasis citra penginderaan jauh, di mana obyek yang secara langsung dikenali dengan mudah adalah penutup lahan. Begitu pula halnya dengan sistem klasifikasi penggunaan lahan yang diproduksi oleh USGS (Anderson et al., 1976).

Di sisi lain, konsep penggunaan lahan yang digunakan di Indonesia juga masih mendua, yaitu antara status formal (perijinan) dan kenyataan (Danoedoro, 2006). Ketika hal ini tercerminkan dalam peta penggunaan lahan, maka muncul bias dalam penyediaan data luas sawah, luas tanam, dan luas panen padi untuk wilayah yang mengalami konversi penggunaan lahan secara cepat. Karena bias semacam ini, wajar sekali kalau akhirnya Pemerintah Indonesia juga seringkali bingung dalam menentukan ketersediaan pangan setiap tahun. Upaya standarisasi sebenarnya sudah ada tetapi tidak ada kompatibilitas di antara sistem-sistem klasifikasi yang dikeluarkan oleh instansi yang berbeda. Lebih dari itu, setiap daerah membuat sendiri peta penggunaan lahannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Hadirin yang saya hormati,

Penutup dan penggunaan lahan adalah konsep yang berbeda. Dalam arti yang paling sempit, konsep penutup lahan menggambarkan penutup permukaan atau lingkungan,

(7)

baik alami maupun budidaya, pada permukaan bumi pada suatu saat observasi yang spesifik (Campbell, 2002). Selanjutnya, dalam arti yang lebih luas, penutup lahan menggambarkan bukti kasat mata dari penggunaan lahan, termasuk kenampakan vegetasi maupun bukan-vegetasi. Selaras dengan pernyataan ini, van Gils et al. (1990) mene-kankan bahwa penutup lahan meliputi kenampakan kultural (bangunan, artefak, petak-petak lahan), vegetasi (rumput, semak, pepohonan) dan kenampakan lain (air, area yang terbakar, permukaan tanah dan batuan). Campbell mendefinisikan penggunaan lahan sebagai “pemanfaatan

lahan oleh manusia, biasanya dengan peran fungsional lahan tersebut dalam aktivitas ekonomi. Penggunaan lahan adalah suatu abstraksi yang idak selalu dapat diamati secara langsung, bahkan dari jarak yang sangat dekat sekalipun”

(Campbell, 2002 p. 554). Batasan yang melengkapi pengertian ini diberikan oleh Vink (1975) yang memandang penggunaan lahan melalui perspektif ekologis, yaitu sebagai ekspresi pengelolaan manusia atas ekosistem untuk memenuhi seba-gian dari kebutuhannya.

Penutup dan penggunaan lahan merupakan konsep yang erat kaitannya dalam kajian sumberdaya lahan. Kedua istilah tersebut seringkali dicampuradukkan (Anderson et al., 1976; Malingreau and Christiani, 1981), walaupun informasi penggunaan lahan biasanya memuat atribut penutup lahan. Meskipun demikian, pembedaan istilah secara konseptual telah dilakukan oleh banyak penulis. Campbell (1983), misalnya, menunjukkan bahwa perbedaan tersebut berupa dikotomi konkret-abstrak, di mana penutup lahan bersifat konkret sedangkan penggunaan lahan bersifat abstrak. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa penutup lahan dapat dipetakan secara langsung melalui citra, sedangkan

(8)

penggu-naan lahan memerlukan informasi penutup lahan dan infor-masi tambahan tentang bagimana lahan dimanfaatkan. Pernyataan ini juga menunjukkan bahwa kedua macam konsep tersebut diperlukan dalam kajian-kajian tentang lingkungan dan perencanaan. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO, 1998) serta Young (1998) memberikan penekanan khusus pada kebutuhan akan informasi yang akurat dan mutakhir mengenai penggunaan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa penggunaan lahan merupakan deskriptor kunci tentang pengaruh manusia terhadap lingkungan (Cihlar and Jansen, 2001).

Karena pembangunan berkelanjutan merupakan isyu bersama bagi banyak sektor dan disiplin ilmu termasuk perencanaan, maka referensi bersama sebagai dasar penilaian kondisi lingkungan merupakan suatu kebutuhan mutlak. Penutup dan penggunaan lahan merupakan contoh nyata dalam hal ini. Fenomena penutup dan penggunaan lahan dikaji pada berbagai skala, mulai dari lokal hingga nasional dan bahkan global, dan seringkali tanpa mempedulikan batas administratif. Meskipun demikian, Fresco (1997) mengatakan bahwa untuk mendukung kajian tersebut, data yang akurat dan aktual tentang penggunaan lahan dan perubahannya tetaplah langka. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan data penggunaan lahan yang mutakhir, akurat dan relevan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Keprihatinan akan langkanya data penggunaan lahan hingga tingkat global diakui oleh banyak peneliti dan lembaga dunia. Jansen dan Di Gregorio (1998) serta Cihlar dan Jansen (2001), misalnya, menyatakan bahwa belum ada sistem klasifikasi penggunaan lahan yang dapat diterima secara

(9)

internasional. Young (1998) mendukung pernyataan ini, dan menegaskan bahwa ketersediaan klasifikasi penutup dan penggunaan lahan standar yang dapat dipakai di seluruh dunia sangatlah penting. Menurut Young, upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut difokuskan pada tiga hal. Pertama, pengembangan sistem klasifikasi yang dapat dipakai bersama, dan yang dapat diperbandingkan dengan basis referensi sumberdaya tanah dunia. Kedua, pengembangan sistem translasi yang memungkinkan konversi antara suatu sistem klasifikasi ke sistem yang lain. Ketiga, pengembangan deskripsi isi yang bersifat multi-atribut yang dapat diperbandingkan dengan atribut karakteristik tanah.

Hadirin yang saya hormati,

Banyak ilmuwan mengakui bahwa informasi penggunaan lahan sebagai salah satu informasi kunci dalam perencanaan sulit diperoleh, khususnya apabila kualitas dan ketersediaan menjadi kriteria utama. Di Indonesia, pengakuan semacam itu tidak hanya diberikan oleh para pengguna, melainkan juga oleh para lembaga penyedia data. Penulis telah melakukan survei pada tahun 2004 (Danoedoro, 2004), dengan meli-batkan berbagai pemangku kepentingan perencanaan wilayah, baik penyedia peta dasar, pembuat peta tematik penggunaan lahan, konsultan dan praktisi perencana, peneliti, dosen, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan menjum-pai bahwa peta penggunaan lahan merupakan salah satu informasi spasial yang paling tidak berkualitas, dari sisi akurasi, relevansi dengan kebutuhan, serta kemutakhiran. Survei ini melibatkan 36 pihak yang masing-masing diwawancara secara mendalam. Untuk responden dari lembaga teknis seperti Bakosurtanal dan Bappeda-Bappeda,

(10)

para kepala bidang dan pimpina proyek juga didampingi oleh staf yang memahami masalah teknis survei dan pemetaan.

Peta penggunaan lahan biasanya termuat dalam himpunan peta-peta pada Data Pokok untuk Pembangunan Daerah. Secara umum, kalangan surveyor pemetaan, Bappeda, konsultan dan pengguna data spasial mengakui bahwa peta-peta dalam Data Pokok untuk Pembangunan Daerah tersebut memuat informasi yang tidak mutakhir (88%), tidak relevan (72%), dan kualitasnya rendah (80%) apabila hendak digunakan sebagai basis untuk perencanaan wilayah. Oleh karenanya, 83% dari responden cenderung untuk tidak menggunakannya sebagai acuan dalam proses perencanaan wilayah.

Secara keseluruhan, peta-peta dalam Data Pokok untuk Pembangunan Daerah tersebut dipandang mempunyai kualitas rendah dari sisi akurasi geometri (63%), hasil klasifikasi (75%), relevansi isi dan skema klasifikasi (71%), kelengkapan (64%), serta kemutakhiran (75%). Lebih lanjut, dibandingkan dengan peta tanah, lereng dan geologi, 73% responden menilai bahwa peta penggunaan lahan lebih mendesak untuk diperbaiki, meskipun ada kemungkinan bahwa ketidaktahuan responden pengguna peta mengenai kualitas peta-peta lainnya (terutama geologi dan tanah) juga menjadi faktor penentu. Hasil survei ini menunjukkan bahwa peta penggunaan lahan memang diakui paling kurang mendukung dalam aktivitas pengelolaan lingkungan dan perencanaan secara spasial.

Hadirin yang saya muliakan,

Kajian penggunaan lahan di masa lalu banyak dikaitkan dengan dua macam aktivitas, yaitu pertanian di wilayah

(11)

perdesaan dan bukan-pertanian di wilayah perkotaan. Sering diasosiasikan bahwa kajian penggunaan lahan perdesaan diterapkan pada skala kecil, sedangkan untuk perkotaan digunakan skala besar. Di masa lalu, pandangan ini menyebabkan penelitian-penelitian penggunaan lahan terpolarisasi pada kedua kutub tersebut. Perkembangan aplikasi penginderaan jauh menyebabkan dikotomi skala besar – skala kecil yang berimpit dengan dikotomi kota – desa ini menjadi kurang relevan. Penggunaan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dalam kajian pertanian yang mengarah ke precision agriculture menuntut ketersediaan data dan pemodelan berbasis citra skala sangat besar atau resolusi sangat tinggi, misalnya dalam membangun basis data perkebunan kelapa sawit. Prediksi perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan bisa dilakukan dengan citra resolusi spasial menengah (15-30 meter) atau skala sedang, namun didukung oleh resolusi temporal yang lebih tinggi dengan bantuan pemodelan spasial berbasis

cellular automata (Lein, 2003).

Implikasi dari cara pandang ini adalah pengembangan sistem klasifikasi penggunaan lahan yang dilakukan. Sistem klasifikasi pada dasarnya adalah suatu cara pandang yang dijadikan acuan dalam memandang fenomena, dan mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori, untuk memudahkan pengguna dalam merumuskan masalah serta mengatur strategi untuk mengatasinya. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dimaksudkan untuk mengelompokkan fenomena penggunaan lahan ke dalam kelas-kelas agar masing-masing kelas mudah dipetakan dan dijadikan dasar bagi pemodelan/aplikasi lingkungan, serta pengambilan kebijakan.

(12)

Ada banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan di dunia. Publikasi dalam 15 tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar dari sistem klasifikasi itu bertumpu pada citra penginderaan jauh sebagai sumber data utama. Pada tingkat global, Data and Information System Global

Land-Cover Dataset (DISCover) dari International Geosphere Biosphere Programme (Loveland and Belward, 1997) merupakan contoh dari sistem yang menekankan aspek penutup lahan. Dua contoh lainnya adalah Global Land Cover

2000 (GLC-2000) dan himpunan data penutup lahan berbasis

MODIS (Giri et al., 2005). Sistem klasifikasi penutup lahan yang lebih kompleks sedang dikembangkan oleh FAO (Jansen and Gregorio, 2002), yang dapat digunakan pada tingkat nasional dan regional. Sistem lain yang biasa digunakan dalam 30 tahun terakhir adalah sistem menurut USGS (Anderson et al., 1976), yang dirancang untuk penggunaan multitingkat dari nasional hingga lokal.

Di Indonesia, Malingreau dan Christiani (1982) mengembangkan sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang bersifat multi-tingkat, untuk memenuhi kebutuhan pemetaan pada tingkat nasional, provinsial, maupun lokal. Skema klasifikasi yang lebih sederhana dikembangkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bakosurtanal, Departemen Kehutanan dan juga berbagai instansi lokal seperti Bappeda.

Tidak semua dari sistem klasifikasi yang disebutkan di atas secara konsisten merujuk pada perbedaan antara penutup dan penggunaan lahan. Sistem klasifikasi USGS mencampurkan keduanya dengan asumsi bahwa citra penginderaan jauh menjadi sumber data utama untuk ekstraksi informasi (Campbell, 1983; Campbell, 2002; Jensen,

(13)

2007). Asumsi yang sama digunakan oleh Malingreau dan Christiani (1982). Sistem klasifikasi lain yang dikembangkan di Indonesia tidak secara jelas dan rinci memberikan argumen tentang dasar pemikiran dan metode yang digunakan untuk memetakannya. Kekacauan penggunaan istilah ini menjadi sangat terasa ketika analisis perubahan penutup/penggunaan lahan dilakukan dengan mengacu pada sistem-sistem klasifikasi tersebut. Pertanyaan akan selalu muncul, misalnya: apakah perubahan itu hanya terjadi pada tingkat penutup lahan (dan bersifat musiman), atau memang terjadi pada tingkat penggunaan (dan bersifat permanen).

Sebenarnya kepedulian akan perbedaan antara penutup dan penggunaan lahan telah ditunjukkan oleh sistem klasifikasi yang dikembangkan ITC di Belanda (van Gils et al., 1990). Cara pandang yang sama dikembangkan oleh Young (1998), FAO dan Cihlar dan Jansen (2001). Stibig (1997) secara konsisten juga mengembangkan sistem klasifikasi yang terfokus pada penutup lahan saja untuk kajian dan pemantauan perubahan penutup lahan vegetasi tropis di seluruh dunia.

Baru-baru ini, penulis (Danoedoro, 2006) juga telah mengembangkan sistem klasifikasi yang secara tegas memisahkan informasi penutup dan penggunaan lahan. Berbeda dengan sistem-sistem klasifikasi lain yang paling jauh hanya memisahkan keduanya secara dikotomis (penutup dan penggunaan), sistem klasifikasi ini bersifat multi-dimensional, di mana informasi penggunaan lahan dipilah menjadi lima aspek atau dimensi, yaitu spektral, spasial, temporal, ekologis dan fungsi sosial-ekonomi. Sistem klasifikasi ini menggu-nakan citra penginderaan jauh sebagai sumber data utama, dan masing-masing dimensi dapat dipetakan menjadi suatu lapisan tematik (thematic layer) yang terpisah. Setiap dimensi

(14)

diproses dengan metode analisis citra yang berbeda, serta memuat kategorisasi yang bersifat multi-tingkat, yang berasosiasi dengan penggunaan citra penginderaan jauh yang bervariasi resolusi spasial dan skalanya, yaitu dari nasional hingga lokal. Kelima lapisan tematik tersebut dapat diintegrasikan menjadi satu himpunan data penggunaan lahan multiguna (versatile land-use dataset), yang dapat dikonversi ke sistem klasifikasi lain yang dipakai di Indonesia atau negara lain dengan kondisi lingkungan serupa. Pengem-bangan sistem klasifikasi dan bahkan sistem informasi penggunaan lahan multiguna ini selaras dengan usaha yang sedang dilakukan oleh berbagai lembaga dan peneliti di dunia, seperti yang disebutkan oleh Young (1998).

Hadirin yang saya hormati,

Sistem klasifikasi bukan hanya daftar nama atau kategori kenampakan yang hendak dipetakan. Sistem klasifikasi juga harus secara eksplisit memberikan panduan tentang cara ekstraksi informasi atau pemetaannya, berdasarkan metode dan teknologi yang tersedia saat ini dan (dalam batas tertentu) teknologi yang akan datang. Kelemahan utama kebanyakan sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dikembangkan di Indonesia adalah tiadanya uraian pendamping yang lengkap dalam bentuk panduan (guidelines) yang dapat dipahami oleh kalangan praktisi pemetaan. Oleh karena itu, pengembangan sistem klasifikasi hendaknya juga memperhatikan pergembangan metode dan teknologi ekstrak-si informaekstrak-si dan pemetaan yang sedang berlangsung.

Jensen (2007) menjelaskan bahwa penginderaan jauh dapat memberikan informasi dalam bentuk dua macam variabel, yaitu variabel biofisik dan variabel hibrida. Variabel

(15)

biofisik dapat diukur langsung oleh suatu sistem penginderaan jauh tanpa melalui proses interpretasi, misalnya temperatur permukaan dan kandungan lengas tanah. Di sisi lain, variabel hibrida biasanya memerlukan analisis sistematik yang melibatkan beberapa variabel biofisik. Misalnya, gang-guan pada tanaman dapat dianalisis berdasarkan beberapa karakteristik termasuk serapan klorofil, temperatur dan kandungan lengas daun. Kelas-kelas penutup lahan dapat diturunkan dengan analisis statistik informasi spektral yang direkam pada beberapa saluran sekaligus. Meskipun demi-kian, informasi penutup lahan yang lebih rinci seperti halnya tipe-tipe vegetasi memerlukan variabel lain, termasuk elevasi, jenis tanah, dan karakteristik lahan yang lain (Kannegieter, 1988; van Gils et al., 1990; Danoedoro, 2001). Karena kelas-kelas penggunaan lahan tidak hanya terkait dengan informasi spektral dari komponen penutup lahannya, maka penurunan informasi penggunaannya hanya dapat dilakukan dengan melibatkan variabel lain, misalnya pola spasial, letak geografis dan asosiasinya.

Pemetaan penggunaan lahan yang dilakukan selama ini sebenarnya bertumpu pada tiga macam pendekatan. Van Gils

et al. (1990) menjelaskan tiga pendekatan itu sebagai berikut.

Pertama, photo-guided approach, di mana citra hanya digunakan sebagai panduan selama pengamatan dan pengukuran lapangan, dan tidak ada interpretasi ataupun analisis citra yang dilakukan. Kedua, photo-key approach, di mana satuan-satuan penggunaan lahan didelineasi terutamaa berdasarkan kenampakan fotomorfik pada citra tercetak. Ketiga, land(scape)-ecological approach, di mana fenomena penggunan lahan dipandang sebagai kesatuan dengan kenampakan medan atau karakteristik lahan yang terkait. Dengan demikian, delineasi satuan-satuan penggunaan lahan

(16)

dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan secara keseluruhan. Pendekatan ketiga tersebut dikembang-kan di ITC, Negeri Belanda, meskipun sebenarnya konsep ini lahir di Australia, yaitu ketika Soil Conservation Authority of Australia pada tahun 1954 mengembangkan program survei sumberdaya untuk menentukan bentuk penggunaan lahan yang paling tepat di negara tersebut (Imhoff et al., 2000). Pendekatan ala Australia inilah yang disebut dengan pende-katan sistem lahan atau land system (Young, 1998).

Skidmore (1997), menegaskan bahwa pendekatan ekologi bentanglahan dilandasi oleh pendekatan holistik, yang lebih sesuai untuk diterapkan dengan penginderaan jauh, khususnya interpretasi fotografik. Pendekatan holistik menurunkan satuan-satuan pemetaan yang didelineasi secara langsung. Berseberangan dengan pendekatan ini adalah pendekatan reduksionistik yang diterapkan dengan menggunakan SIG. Pada pendekatan reduksionistik, satuan-satuan pemetaan muncul sebagai konsekuensi logis dari proses analisis spasial dengan SIG, terutama melalui proses tumpangsusun peta-peta.

Ketika teknologi pengolahan citra digital hadir dan dimanfaatkan secara lebih luas dalam pemetaan penutup dan penggunaan lahan, para praktisi pemetaan seringkali mengalami kesulitan untuk dapat memetakan penutup dan penggunaan lahan dengan ketiga pendekatan yang sudah mapan tersebut. Di Indonesia banyak dijumpai peta-peta penutup lahan tentatif yang diklaim sebagai peta penggunaan lahan, namun diturunkan melalui proses klasifikasi multispektral. Peta-peta semacam ini sangat tidak akurat karena analis citra tidak mampu mengkaitkan fenomena penggunaan lahan yang akan dipetakan dengan pola spektral komponen penutup lahannya, serta asosiasinya dengan

(17)

karakteristik lahan yang lain dalam suatu pemrosesan digital yang kompleks. Akibatnya, informasi peta yang diturunkan ini bisa menyesatkan, dan akhirnya juga melemahkan motivasi surveyor maupun pengguna peta tersebut dalam program-program pemetaan penggunaan lahan yang lebih serius secara nasional. Hingga saat ini belum ada satu pun seri peta penggunaan lahan di Indonesia yang diproduksi secara nasional, yang memanfaatkan teknologi pengolahan citra digital secara maksimal. Proses digitalisasi paling jauh yang dilakukan adalah memindahkan metode interpretasi visual ke layar monitor melalui proses heads-up atau on-screen

digitisation. Memang harus diakui pula bahwa faktor tutupan

awan pada sebagian besar citra ikut berperan dalam terbatasnya penggunaan analisis digital untuk pemetaan penggunaan lahan.

Hadirin yang saya muliakan,

Ada beberapa masalah yang masih mengganjal dalam penggunaan penginderaan jauh dan sistem klasifikasi untuk pemetaan penggunaan lahan. Dua di antaranya saya uraikan di sini. Masalah pertama adalah jumlah kategori atau kelas yang biasanya digunakan dalam proses klasifikasi. Klaim keberhasilan pengolahan citra untuk pemetaan penggunaan lahan pada berbagai jurnal ilmiah internasional ternyata hanya membatasi jumlah kelas hingga sekitar sepuluh (Aplin and Atkinson, 2000; Sawaya et al., 2003; Wang et al., 2004; Puissant et al., 2005; Mesev, 2005; Kobler et al., 2006), padahal banyak aplikasi dalam kenyataan (terutama peren-canaan wilayah) menuntut jumlah kategori yang lebih banyak dan rinci. Kategorisasi yang rinci dalam proyek penginderaan jauh dilakukan oleh Loveland and Belward (1997), Latifovic et

(18)

pada pemetaan penutup lahan secara global. Klasifikasi penu-tup lahan secara rinci oleh FAO hanya disiapkan untuk inter-pretasi visual (Jansen and Di Gregorio, 2003). Kategorisasi rinci juga dijumpai pada sistem klasifikasi penutup/ penggunaan lahan USGS (Anderson et al., 1976), namun selain percampuran konsep penutup dan penggunan lahan, sistem ini juga sebenarnya dirancang untuk interpretasi citra secara visual. Dengan demikian, sistem klasifikasi dan metode ekstraksi untuk pemetaan penggunaan lahan secara rinci yang berbasis pengolahan citra digital pada tingkat nasional maupun dunia memang sulit dijumpai.

Masalah kedua adalah pemilihan skala spasial dan skala kategoris yang digunakan dalam klasifikasi penutup dan penggunaan lahan. Franklin dan Woodcock (1997) serta Ju et

al. (2005) membahas masalah ini dari perspektif yang

berbeda. Kebanyakan sistem klasifikasi berasumsi bahwa kelas-kelas yang lebih rinci berasosiasi langsung dengan resolusi spasial citra yang lebih tinggi (berskala besar), meskipun hal ini tidak selalu berlaku. Dalam penelitiannya, Danoedoro (2001) menjumpai kenyataan bahwa kategorisasi yang rinci untuk penggunaan lahan perdesaan (misalnya penggunaan lahan pertanian  sawah  padi diselingi palawija  dua kali padi diselingi palawija) ternyata lebih memerlukan resolusi spektral (dan kadang-kadang resolusi temporal) yang tinggi, dibandingkan dengan hanya meng-gunakan citra pankromatik resolusi spasial tinggi hasil perekaman tunggal. Hal ini dapat diartikan bahwa resolusi kategoris dapat pula diasosiasikan dengan resolusi temporal dan jumlah saluran spektral.

(19)

Selanjutnya saya ingin menguraikan secara ringkas perkembangan metode dan teknologi analisis citra yang dapat dimanfaatkan untuk pemetaan penutup dan penggunaan lahan. Klasifikasi multispektral yang meliputi banyak algoritma merupakan metode yang paling mapan dan paling mudah diterapkan, karena tersedia di semua perangkat lunak komersial; akan tetapi metode ini hanya mampu menurunkan peta penutup lahan tentatif. Peta penutup lahan akhir bisa diturunkan melalui pemrosesan pasca-klasifikasi yang kadangkala melibatkan operasi SIG berbasis raster. Beberapa varian dari algoritma klasifikasi ini, yang menggunakan pendekatan jaringan saraf tiruan (artificial neural network) justru tidak terbukti mampu menghasilkan informasi penutup lahan rinci yang lebih akurat dibandingkan algoritma

maximum likelihood standar (Danoedoro and Samudera, 2008).

Klasifikasi berbasis objek (object-based classification) telah dikembangkan untuk mengatasi kekurangan klasifikasis multispektral yang hanya mengandalkan pada algoritma yang beroperasi pada basis piksel. Salah satu metode klasifikasi berbasis objek yang berhasil diterapkan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah per-field classification (Aplin et al., 2001), yang menuntut ketersediaan data vektor untuk batas-batas objek utama, seperti misalnya petak-petak lahan pertanian atau zonasi penggunaan lahan secara umum. Metode lainnya adalah segmentasi citra (Baatz dan Schappe, 2000), yang pada dasarnya merupakan proses klasifikasi tak-terselia untuk mendefinisikan objek berdasarkan kenampakan tekstural atau pola spasial, dan masih smemerlukan pemrosesan lanjut untuk menurunkan kelas-kelas informasional terkait dengan penutup/penggunaan lahan.

(20)

Stuckens et al. (2000) menjelaskan bahwa segmentasi citra dapat dilakukan dengan menggunakan algoritma region

growing/merging, deteksi batas atau kombinasi keduanya,

misalnya algoritma ECHO (Extraction and Classification of

Homogeneous Objects) (Kettig and Ladgrebe, 1976), HSWO

(Hierarchical Stepwise Optimisation) (Bealieau and Goldberg, 1989) dan MORM (Mutually Optimum Region Merging) (Lobo, 1997). Deteksi batas menggunakan asumsi bahwa dua piksel yang berdekatan dengan perbedaan nilai yang besar mewakili dua segmen yang berbeda, dan dengan demikian suatu tepi atau batas dapat ditari di antara keduanya. Piksel-piksel tepi, dengan demikian dapat digabung dengan segmen-segmen yang serupa. Prosedur ini dapat diterapkan dengan filter gradien berbasis variansi lokal, Sobel, atau filter lain yang lebih rumit. Algoritma ini lebih merupakan suatu kerangka kerja dan bukan algoritma siap pakai. Dalam konteks penu-runan informasi penutup dan penggunaan lahan, metode ini bisa dimanfaatkan untuk pembedaan tipe-tipe penutup lahan dan juga penggunaan lahan dari sisi pola spasial dan teksturalnya. Upaya penurunan informasi terkait dengan dimensi spasial penggunaan lahan menunjukkan bahwa segmentasi citra hanya mampu memberikan akurasi yang relatif rendah, yaitu sekitar 65% (Danoedoro, 2006).

SIG dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan sistem berbasis komputer dalam menurunkan informasi penggunaan lahan yang lebih rinci dan akurat, baik untuk dimensi temporal, ekologis, maupun fungsi sosial ekonomis (Danoedoro, 2006; Danoedoro et al., 2008). Dalam perspektif ini, klasifikasi kontekstual dan klasifikasi multisumber yang melibatkan data spasial pendukung (misalnya lereng, bentuklahan, tanah) dan juga analisis spasial lanjut (misalnya analisis ketetanggaan) dalam lingkungan SIG berbasis raster

(21)

(Folly et al.,1996; Danoedoro, 2002; and Ehlers et al., 2003). Prinsip yang sama dapat diterapkan untuk bentanglahan kekotaan, meskipun parameter betanglahannya dapat diubah (Jenkins and Phinn, 2002). Teknik pemfilteran berbasis jendela bergerak merupakan cara yang paling lazim untuk mempertimbangkan hubungan antara piksel yang dikaji dengan piksel-piksel tetangganya. Teknik-teknik semacam ini sangat bermanfaat dalam analisis yang memanfaatkan citra resolusi spasial tinggi, seperti misalnya Ikonos (1m dan 4 m), dan Quickbird (0,6m dan 2,4 m).

Metode lain dalam pemetaan penutup dan penggunaan lahan adalah klasifikasi hierarkis atau berlapis. Campbell (2002) menyebutkan bahwa stratifikasi merupakan strategi yang memisahkan proses pemilihan daerah contoh dari proses klasifikasi. Hasi-hasil klasifikasi kemudian dipadukan dalam bentuk satu citra tunggal. Hutchinson mengidentifikasi keterbatasan strategi ini, khususnya dalam hal efek inkonsistensi hasil dan kesulitan memprediksi hasil yang diturunkan. Campbell (2002) selanjutnya menyarankan bahwa sebaiknya metode ini dijalankan dengan struktur tertentu agar dapat meminimalkan kesalahan pada pohon keputusan (decision tree) di tingkat awal. Metode semacam ini telah diterapkan dengan baik oleh Metternicht (2001) dan Ehlers et

al (2003).

Berbagai variasi metode seperti yang telah diuraikan ini telah diujicobakan dalam pengembangan sistem klasifikasi penggunaan lahan multiguna (Danoedoro, 2006), untuk menurunkan berbagai dimensi penggunaan lahan yang berbeda. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tidak ada strategi tunggal dalam menurunkan informasi penggunaan lahan, mengingat bahwa informasi penggunaan lahan sendiri

(22)

pada dasarnya bersifat multidimensional. Dengan demikian, setiap kategorisasi dalam masing-masing dimensi penggunaan lahan memerlukan penggunaan metode analisis citra yang berbeda-beda dalam pemetaannya.

Hadirin yang saya muliakan,

Menyimak berita di berbagai media massa dewasa ini, dan juga kecenderungan riset akhir-akhir ini, kita bisa melihat bahwa banyak masalah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan juga terkait erat dengan isyu penggunaan lahan. Oleh karena itu, dengan memahami tantangan ke depan maka kita dapat menentukan prioritas penelitian yang diperlukan, agar tantangan tersebut dapat terjawab, dan berbagai masalah yang kemudian muncul dapat diantisipasi.

Pada masa-masa mendatang kompetisi pemanfaatan lahan semakin ketat. Pertambahan jumlah penduduk menuntut ruang yang semakin besar bagi penyediaan permukiman dan infrastruktur pendukungnya. Begitu pula halnya dengan penyediaan lahan bagi berbagai aktivitas industri. Di sisi lain, jumlah penduduk yang semakin meningkat menuntut ketersediaan pangan, yang secara substansial harus didukung oleh luas lahan pertanian yang signifikan. Apabila kedua sisi kebutuhan ini harus sama-sama terpenuhi, maka biasanya kawasan lindunglah yang dikorbankan.

Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga bahan bakar minyak sebagai dampak gejolak harga di tingkat global, yang tidak diimbangi dengan akses dan penyediaan bahan bakar gas yang murah, telah mendorong masyarakat miskin untuk kembali ke bahan bakar kayu. Peningkatan kebutuhan bahan bakar kayu akan semakin mengancam

(23)

keberadaan hutan lindung dan wilayah konservasi lain, apabila penggunaan lahan perdesaan lain tidak mampu mencukupi kebutuhan ini. Survei dan pemetaan penggunaan lahan perdesaan seharusnya mampu mengakomodasi kebutuhan data akan bahan bakar kayu, apabila dilandsi oleh skema klasifikasi penggunaan lahan yang sesuai, dan metode ekstraksi informasi serta pemodelan yang andal.

Ketika kompetisi antara penyediaan biofuel and pangan telah terjadi dalam lingkungan industri pertanian, Pemerintah juga perlu untuk meningkatkan keamanan pangan (food

security) secara nasional berdasarkan informasi ketersediaan

lahan pertanian, luas tanam, luas panen dan produktivitas komoditas kunci yang akurat. Simpang-siurnya infromasi stok beras dan luas sawah menurut beberapa instansi merupakan masalah serius. Selama belum tersedia data yang akurat, maka Pemerintah tidak akan mampu memberikan perkiraan yang tepat mengenai kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional. Untuk itu, semua survei penggunaan lahan yang menyeluruh, efisien dan terintegrasi diperlukan sesegera mungkin.

Di sisi lain, pengamatan atas wilayah kota memerlukan cara pandang terpadu, untuk memahami perkembangan yang terjadi, baik secara vertikal, horisontal, maupun proses pemadatan yang terjadi. Lebih lanjut, kompleksitas internal pada setiap satuan pemetaan memerlukan pendefinisian yang jelas, konsisten, dan relevan dengan tujuan-tujuan survei. Berbagai skema klasifikasi penutup dan penggunaan lahan untuk wilayah kekotaan memerlukan tinjauan, apakah setiap kategori yang didefinisikan mampu menjawab kebutuhan akan kajian-kajian demografis, sosial, ekonomis dan kultural di satu sisi, dan kajian-kajian ekologis seperti misalnya

(24)

peningkatan pulau bahang (heat island), polusi, risiko keba-karan, banjir, dan amblesan (subsidence) di sisi lain.

Untuk wilayah perdesaan, kajian penyusutan lahan pertanian, alih fungsi, erosi, longsor telah banyak dilakukan. Meskipun demikian, fokus penelitian selama ini adalah pada laju penyusutan luas lahan secara total; padahal dari kacamata ekologis terjadinya fragmentasi lahan pertanian – yang dapat dianalogikan dengan terjadinya fragmentasi satuan-satuan ekosistem alami— juga memerlukan perhatian lebih serius. Pada tingkat penyusutan luas lahan pertanian yang sama, ekosistem sawah yang mengalami fragmentasi dapat dihipotesiskan akan mengalami gangguan yang lebih tinggi karena terganggunya suplai air irigasi, peningkatan pencemaran limbah domestik maupun industri, terkonsen-trasinya serangan hama dan penyakit, serta meningkatnya probabilitas lahan untuk terkonversi ke penggunaan bukan-pertanian.

Peta-peta penggunaan lahan juga semakin menuntut ketersediaan data mengenai pola tanam, baik pola tanam secara spasial (misalnya alley cropping), secara temporal (misalnya rotasi) ataupun secara spasio-temporal. Informasi semacam ini masih langka dijumpai pada peta-peta yang ada saat ini, sementara kemajuan teknologi semakin menuntut keandalan penggunaan precision agriculture berbasis data geospasial untuk manajemen produksi pertanian yang lebih baik. Mengingat bahwa teknologi penginderaan jauh telah mampu menyediakan data pada berbagai resolusi spasial, spektral, radiometrik dan temporal; sementara teknologi SIG mampu memadukan data dari berbagai sumber untuk pemodelan lingkungan, maka diperlukan kajian yang lebih

(25)

intensif dalam pengembangan metode ekstraksi informasi penggunaan lahan melalui citra, serta integrasinya dengan berbagai data spasial lain untuk kajian-kajian penggunaan lahan .

Para tamu undangan yang saya hormati,

Sebelum metode-metode ekstraksi informasi dikembang-kan, hendaknya kajian menyeluruh tentang sistem klasifikasi yang ada beserta keunggulan dan keterbatasannya dilakukan lebih dahulu. Ketersediaan Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan Multiguna (Danoedoro, 2006) yang belum lama dikembangkan saat ini masih pada taraf purwarupa

(proto-type) yang memerlukan pengujian pada berbagai variasi

penggunaan lahan di Indonesia dan bahkan dunia. Pengujian dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu (a) kategorisasi yang mampu merepresentasikan variasi penggunaan lahan yang ada, (b) konvertibilitas skema klasifikasi, baik dari maupun ke skema yang sudah ada saat ini, dan (c) akurasi peta-peta penggunaan lahan yang dihasilkan. Untuk itu, kerja sama dengan berbagai lembaga nasional seperti misalnya Bakosurtanal, Departemen Pertanian dan BPN diperlukan agar dapat segera tercipta sistem klasifikasi dan metode pemetaan penggunaan lahan yang andal untuk kepentingan nasional.

Fokus penelitian juga perlu diberikan pada pengembangan metode ekstraksi informasi penggunaan lahan dari citra resolusi spasial sangat tinggi. Citra seperti Ikonos dan Quickbird selama ini lebih banyak diperlakukan seperti foto udara, begitu juga cara interpretasinya. Metode interpretasi visual yang dikenal akurat untuk resolusi ini juga menyimpan masalah dengan adanya inkonsistensi para penafsir dalam

(26)

memetakan wilayah dengan liputan yang luas. Esktraksi informasi otomatis sebagai kelanjutan dari proses segmentasi berbasis objek dituntut untuk dapat menurunkan informasi mengenai pola yang lebih kompleks, khususnya dalam kajian-kajian penggunaan lahan di wilayah perkotaan.

Informasi penggunaan lahan juga memuat dimensi penutup lahan secara spektral dan ekologis. Ketersediaan teknologi hiperspektral satelit membuka kesempatan pada pengembangan metode ekstraksi informasi secara lebih rinci dan akurat untuk pemetaan jenis penutup lahan (termasuk tanaman beserta tingkat kesehatannya) dan spesies vegetasi pada kondisi ekologis tertentu. Precision agriculture menung-gu kontribusi sarjana-sarjana penginderaan jauh dengan spesialisasi penggunaan lahan untuk membantu mengatasi masalah pangan di Indonesia. Pada sisi yang berbeda, kita menyadari bahwa masih banyak tempat di Indonesia yang belum terpetakan penggunaan lahannya dengan baik. Strategi pemetaan yang efisien namun sistematis hendaknya juga dikembangkan untuk inventarisasi sumberdaya, termasuk penggunaan lahan di daerah semacam ini.

Dari perspektif geografi, pengembangan program pendidikan penginderaan jauh pada berbagai jenjang juga hendaknya mampu memberikan bekal dasar yang cukup untuk menunjang upaya perbaikan metode pemetaan penggunaan lahan secara nasional. Hal ini perlu dinyatakan secara implisit ataupun eksplist sebagai salah satu bagian dari kompetensi dasar produk pendidikan penginderaan jauh geografis. Rancangan kurikulum dan implementasi yang mengarah pada pengembangan dan penanganan data penggunaan lahan sebaiknya dipersiapkan bersama dengan

(27)

mempetimbangkan masukan dari berbagai instansi nasional terkait.

Hadirin yang saya muliakan,

Demikian pidato saya pada kesempatan ini. Sebelum saya akhiri, perkenankan saya mengucapkan terima kasih pada Ketua dan seluruh tim Panitia Dies ke-45 Fakultas Geografi, dan juga kepada Dekan beserta para Wakil Dekan dan Ketua Senat, atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah ini.

Sebagai manusia saya sangat menyadari bahwa apa yang saya sampaikan masih memuat banyak sekali kekurangan. Oleh karenanya saya mohon maaf apabila karena orasi ini ada di antara para Hadirin yang tidak berkenan. Kritik dan saran atas pandangan-pandangan yang saya kemukakan ini juga saya tunggu, demi perbaikan bagi pemikiran-pemikiran mendatang.

Terima kasih atas kesabaran Hadirin sekalian dalam mendengarkan pidato yang berkepanjangan ini. Semoga apa yang kita laksanakan pada hari ini membawa manfaat bagi masyarakat dan diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J. R., Hardy, E., Roach, J., and Witmer, R. (1976). A

Land-use and Land-cover Classification System for Use with Remote Sensor Data. Washington, DC: US Geological Survey.

Aplin, P. and Atkinson, P.M. (2001). Sub-pixel Land-cover Mapping for Per-field Classification. International Journal of Remote

Sensing, 22(14), 2853-2858.

Baatz, M., and Schape, A. (2000). Multiresolution Segmentation: An Optimization Aproach for High Quality Multiscale Image Segmentation. In. Strobl, J., Blaschke, T., and Griesebner, G. (Eds.), Angewandte Geographische Informations-verarbeitung

XII (pp. 12-23). Heidelberg: Wichmann-Verlag.

Baatz, M., Benz, U., Deghgani, S., Heymen, M., Holtje, A., Hofmann, P., Ligenfelder, I., Mimler, M., Solbach, M., Weber, M., and Wilhauck, G. (2004) eCognition User Guide. Munich: Definiens Imaging GmbH.

Bealieu, J. M., and Goldberg, M. (1989). Hierarchy in Picture Segmentation: A Stepwise Optimisation Approach. IEEE

Transaction on Pattern Analysis and Machine Intelligence(11),

150-163.

Campbell, J. B. (1983). Mapping the Land -- Aerial Imagery for

Land-use Information.Washington, D.C: Association of American

Geographers.

Campbell, J. B. (2002). Introduction to Remote Sensing, 3rd

edition.New York: Guildford Press.

Carlson, N., and Azofeifa, G.A.S. (1999). Satellite Remote Sensing of Land-use Changes and Around San Jose, Costa Rica. Remote

Sensing of Environment 70, 247-256.

Cihlar, J., and Jansen, L.L.M. (2001). From Land -cover to Land-use: A Methodology for Efficienet Land-use Mapping over Large Areas. Professional Geographer, 52(2), 275-289.

Danoedoro, P. (2001). Integration of Remote Sensing and Geographical Information Systems for Land-use Mapping: An Indonesian Example. In I. S. Zonneveld, and van der Zee, D. (Ed.), Landscape Ecology Applied in Land Evaluation,

(29)

Development and Conservation: Some Worldwide Examples. ITC Publication Number 81/IALE Publication Number MM-1.Enschede: ITC/International Association for Land Evaluation.

Danoedoro, P. (2002). Integrating Spectral, Textural, and Terrain Information for Land-use Mapping of Javanese Wet Tropical Region. Project Assignment Report for GEOS 7322 (Advanced

Remote Sensing of Environment), School of Geography,

Planning and Architecture, The University of Queensland.

Danoedoro, P., McDonald, G., and Phinn, S. (2004). Developing A Versatile Land-use Information System Based on Satellite Imagery for Local Planning in Indonesia -- Phase I: Establishment of Classification Scheme. GISDECO 2004: 7th Intenational Seminar on GIS for Developing Countries. ‘GIS Capacity Building and Infrastructures’. Universiti Teknologi

Malaysia, Skudai Johor, 10-12 May 2004

Danoedoro, P. (2006). Versatile Land-use Information for Local Planning in Indonesia: Contents, Extraction Methods, and Integration basd on Moderate- and High-spatial Resolution Satellite Imagery. PhD Thesis. The University of Queensland, Australia

Danoedoro, P., and Samudera, I.S. (2008) Assessing the Performance of Artificial Neural Network Classifier in Land-cover

Mapping based on ASTER Imagery of Salatiga Area,

Indonesia. Paper to be presented at the EORSA Conference, Beijing 12-18 October 2008

Danoedoro, P., Sammut, J., Farda, N.M., and Widyatmanti, W. (2008) Combining Image Segmentation and Multispectral Classification for Generating Land-use Information: A Case Study of Maros Area, South Sulawesi, Indonesia. Paper presented at the 8th GISDECO Conference, Istanbul, Turkey, 4

– 8 June 2008.

Ehlers, M., Gahler, M. and Janowsky, R. (2003). Automated Analysis of Ultrahigh Resolution Remote Sensing Data for Biotope Type Mapping: New Possibilities and Challenges. ISPRS Journal of

Photogrammetry and Remote Sensing, 12(52), 1-12.

Folly, A., Bronsveld, M.C., Clavaux, M. (1996). A Knowledge-based Approach for C-factor Mapping in Spain using Landsat TM and GIS. International Journal of Remote Sensing, 17(12),

(30)

2401-2415.

Foody, G. M. (2000). Estimation of Sub-pixel Land-cover Composition in the Presence of Untrained Classes. Computer and

Geosciences, (26), 469-478.

Fresco, L. O. (1997). Introduction. In L. O. Fresco, Stroosnijder, L., Bouma, J., and van Keulen, H. (Ed.), The Future of the Land --

Mobilizing and Integrating Knowledge for Land-use Options.Chichester: John Wiley and Sons.

Giri, C., Zhu, Z., and Reed, B. (2005) A Comparative Analysis of the Global Land Cover 2000 and MODIS Land-cover Data Sets.

Remote Sensing of Environment, (94) 123-132

Imhoff, M., Rampant, P., and Bluml, M. (2000). The Future of the Land

in Victoria. Retrieved 16 January, 2003, from

http://www.csiro.au

Jansen, L. J. M., and Gregorio, A Di. (2003). Land-use Data Collection using 'Land-cover Classification System': Results from a Case Study in Kenya. Land Use Policy(20), 131-148.

Jansen, L. J. M., and Gregorio, A. Di. (1998, May 1998). The Problems

of Current Land Cover Classifications: Development of a new Approach. Retrieved 12 April, 2002, from

http://www.fao.org/fao-unep/sd

Jenkins, R. B., & Phinn, S. R. (2002). Mapping the Internal Structure of

Urban Areas by Spatial Reclassification of High Resolution Imagery (Poster). Paper presented at the The 11th

Australasian Remote Sensing and Photogrammetry Association Conference -- Image to Information, Brisbane. Jensen, J. R. (2005). Introductory Digital Image Processing - A Remote

Sensing Perspective, 3rd edition.Englewood Cliffs, N.J.:

Prentice Hall.

Jensen, J. R. (2007). Remote Sensing of the Environment: An Earth

Resource Perspective.Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.

Ju, J., Gopal, S., and Kolaczyk, E.D. (2005). On the Choice of Spatial and Categorical Scale in Remote Sensing Land-cover Classification. Remote Sensing of Environment, (96) 62-77 Kannegieter, A. (1988). Mapping Land Use. In A. W. Kuchler, and

(31)

Zonneveld, I.S. (Ed.), Vegetation Mapping (Vol. 10). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Kettig, R. L., and Landgrebe, D.A. (1975). Classification of

Multispectral Image Data by Extraction and Classification of Homogeneous Objects. Paper presented at the Symposium on

Machine Classification of Remotely Sensed Data, West Lafayette.

Kobler, A., Džeroski, S., Keramitsoglou, I. (2006). Habitat Mapping using Machine Learning-extended Kernel-based Reclassification of an Ikonos Satellite Image. Ecological

Modelling, (191) 83-95

Latifovic, R., Zhu, Z., Cihlar, J., Giri, C., and Olthof, I. (2004). Land-cover Mapping of North and Central America – Global Land Cover 2000. Remote Sensing of Environment, (89) 116-127 Lein, J. K. (2003). Integrated Environmental Planning.Carlton,

Victoria: Blackwell Publishing.

Lobo, A. (1997). Image Segmentation and Discriminat Analysis for the Identification of Land Cover Units in Ecology. IEEE

Transaction on Geoscience and Remote Sensing(35),

1136-1145.

Loveland, T. R., and Belward, A.S. (1997). The Internaional Geosphere Biosphere Programme Data and Information System Global Land Cover Data Set (DISCover). Acta Astronautica, 41(4-10), 681-689.

Malingreau, J. P., and Christiani, R. (1981). A cover and Land-use Classification for Indonesia -- Firs Revision. The

Indonesian Journal of Geography, 11(41), 13-47.

Mesev, V. (2005). Identification and Characterisation of Urban Building Pattern using Ikonos Imagery and Point-based Postal Data. Computers, Environment and Urban Systems, 29(5), 541-557

Metternicht, G. (2001). Assessing Temporal and Spatial Changes of Salinity using Fuzzy logic, Remote Sensing and GIS. Foundation of an Expert System. Ecological Modelling(144), 163-179.

(32)

Analysis to Improve Per-pixel Classification for High to Very high Spatial Resolution Imagery. International Journal of

Remote Sensing, 26(4), 733-745.

Rhind, D. W., and Hudson, T. (1980). Land Use. London: Methuen.

Sawaya, K. E., Olmanson, L.G., Heinert, N.J., Brezonik, P.L., and Bauer, M.E. (2003). Extending Satellite Remote Sensing to Local Scales: Land and Water Resource Monitoring using High-resolution Satellite. Remote Sensing of Environment (88), 144-156.

Skidmore, A. K. (1997). The World Apart. ITC Journal(1), 17-20.

Stibig, H. J. (1997). Interpretation and Delineation from satellite Images. Technical Notes 2. Forest Cover Change Monitoring Project MRC/GTZ.Vientianne, Laos: Forestry Department of Laos.

Stuckens, J., Coppin, P.R., and Bauer, M.E. (2003). Integrating Contextual Information with Per-pixel Classification for Improved Land-cover Classification. Remote Sensing of

Environment(71), 282-296.

van Gils, H., Zonneveld, I.S., van Wijngaarden, W., Kannegieter, A., and Huizing, H. (1990). Land Ecology and Land-use Survey. Enschede: ITC.

Vink, A.P.A. (1975). Land-use in Advancing Agriculture. Berlin: Springer-Verlag

Woodcock, C.E., and Strahler, A.H. (1987). The Factor of Scale in Remote Sensing. Remote Sensing of Environment, 21 (3), 311-332

Young, A. (1998). Land Resources: Now and for the Future. Cambridge: Cambridge University Press.

Referensi

Dokumen terkait

 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan

[r]

Umroh Paket Hemat Mei 2015 - Seiring dengan semakin meningkatnya para calon jamaah yang ingin menunaikan ibadah umroh, terutama di bulan mei ini, kami Travel Umroh Murah di

Tantangan dalam kompleksitas keamanan kawasan yang paling menentukan dalam pembentukan kerja sama yang akan dilakukan oleh negara-negara kawasan Asia Timur adalah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Sejalan dengan upaya Pemerintah dalam pengembangan komoditas unggulan, Bank Indonesia telah melakukan studi awal mengenai hal tersebut, baik yang dilakukan melalui pengolahan

For instance In Ghana, immigration to cities is the largest source of urban growth and this is caused by push factors (e.g., natural disasters, and religious persecution) that

Anda akan menerima email konfirmasi bahwa anda telah mendaftar dan untuk mengaktifkan account Paypal, buka email dari Paypal tersebut dan klik link konfirmasi yang terdapat