2.1. Pengertian Sampah
Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.
Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak memiliki nilai serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.
2.1.1. Jenis Sampah
Sumber sampah digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, sampah domestik yaitu sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia sehari-hari secara langsung. Baik yang berasal dari rumah, pasar, sekolah, pemukiman, rumah sakit, pusat-pusat keramaian, dan lain-lain. Kedua, sampah non domestik, yaitu sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia sehari-hari secara tidak langsung, misalnya dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, perhutanan, transportasi, dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan bentuknya, sampah digolongkan kedalam sampah padat (berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan, kotoran), sampah cair (berasal dari buangan pabrik, industri, pertanian, peternakan, rumah tangga) dan sampah gas (berasal dari knalpot kendaraan, cerobong pabrik dan lain-lain).
Adapun berdasarkan jenisnya, sampah dibagi dalam dua jenis yaitu sampah organik yang tersusun dari senyawa organik (sisa tanaman, hewan maupun kotoran) dan sampah non organik yang tersusun dari senyawa anorganik (plastik, botol, logam).
Di alam, sampah-sampah tersebut ada yang dapat terurai secara alami oleh jasad hidup (bersifat degradable). Sebagian lainnya tidak dapat diuraikan (non degradable) yang sulit diurai secara alami oleh jasad hidup. Sebenarnya, hampir semua sampah baik organik maupun anorganik, dapat diurai oleh mikroorganisme, termasuk benda anorganik seperti besi, kaca, dan batu. Namun penguraiannya membutuhkan waktu yang sangat lama.
2.1.2. Pengolahan Sampah
Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak mencemari udara, air atau tanah, tidak menimbulkan bau dan tidak menimbulkan kebakaran (Azwar, 1990).
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat. Misalnya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau
RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat dikurangi.
2.2. Pencemaran Perairan Pesisir
2.2.1. Sumber-Sumber Pencemar Di Laut
Laut hingga saat ini sering dianggap sebagai tempat pembuangan sampah akhir oleh masyarakat, seluruh bahan pencemar yang timbul dari kegiatan manusia dapat dipastikan bermuara ke laut. Bahan-bahan pencemar yang mencemari laut tidak hanya berasal dari limpasan air sungai tapi juga dari kegiatan-kegiatan yang berada di wilayah laut itu sendiri, kegiatan-kegiatan di wilayah laut tersebut antara lain adalah kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, kecelakaan kapal, pencucian minyak dari kapal (air ballast), pelabuhan, penangkapan ikan, dan industri. Secara rinci, hal-hal utama yang biasa menjadi sumber pencemar di laut adalah (dikembangkan dari ITTXDP/Integrated Task Team of The Xiamen Demonstration Project, 1996):
(1) Pembangunan berbagai bangunan pantai seperti pelabuhan dan groin serta reklamasi pantai.
Kegiatan pembangunan di daerah pantai biasanya terdiri dari kegiatan pengerukan dan penimbunan yang menyebabkan teraduknya sedimen dasar pantai sehingga menimbulkan kekeruhan. Reklamasi juga berpotensi besar menimbulkan kekeruhan karena kegiatan reklamasi merupakan kegiatan penimbunan. Permasalahan lain yang dapat muncul dari pembangunan bangunan pantai adalah berubahnya pola arus, dimana yang tadinya terbuka menjadi tertutup. Dengan berubahnya pola arus perairan menjadi perairan tertutup maka proses dilusi bahan pencemar menjadi berkurang dan hal ini akan sangat membahayakan kehidupan biota air secara keseluruhan.
(2) Erosi tanah dari bagian hulu.
Pembukaan lahan di daerah hulu akibat pesatnya pembangunan telah menyebabkan tingginya tingkat erosi tanah di berbagai daerah. Tanah yang tergerus dari peristiwa erosi tersebut terbawa ke dalam aliran sungai dan akhirnya bermuara di lautan, partikel yang terbawa dari proses erosi ini menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan di pantai dan laut.
(3) Erosi garis pantai.
Selain erosi dari daerah hulu, erosi juga dapat terjadi di sepanjang garis pantai. Erosi garis pantai ini dapat terjadi akibat pembukaan hutan mangrove ataupun akibat pembangunan berbagai jenis bangunan pantai. (4) Kegiatan perikanan.
Kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, merupakan salah satu sumber pencemar utama di pantai dan lautan. Pencemaran dari kegiatan budidaya terutama berasal dari sisa pakan, pupuk, pestisida, dan feses; sedangkan pencemaran dari kegiatan penangkapan biasanya disebabkan dari pemakaian bahan-bahan beracun seperti potas.
(5) Limbah domestik.
Pemukiman (domestik) bisa dianggap sebagai penghasil limbah terbesar saat ini. Limbah domestik menimbulkan masalah sangat serius (terutama di negara berkembang seperti Indonesia), karena limbah domestik umumnya belum tertangani secara baik. Sekarang ini rumah-rumah di Indonesia umumnya membuang air kotornya langsung ke selokan, dan air dari selokan tersebut langsung mengalir ke sungai kemudian bermuara ke laut; sangat jarang sekali air kotor dari perumahan yang diolah pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Selain limbah berupa cairan; kegiatan domestik juga menghasilkan berbagai jenis limbah dalam bentuk padatan. Limbah padat tersebut juga sering dibuang ke sungai dan laut sehingga menimbulkan masalah pencemaran yang serius.
(6) Limbah industri.
Berbagai jenis industri yang beroperasi di sepanjang aliran sungai dan garis pantai merupakan salah satu sumber pencemar di laut. Saat ini di Indonesia masih sedikit industri yang memiliki IPAL, dan sekalipun memiliki IPAL terkadang efisiensi pengolahannya masih kurang; hal ini menyebabkan perairan semakin tercemar.
(7) Limpasan dari areal pertanian.
Kegiatan pertanian umumnya menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar, hal ini menyebabkan limpasan air dari areal pertanian mengandung pencemar pupuk dan pestisida yang tinggi. Selain dari kegiatan pertanian, limpasan air yang mengandung pupuk dan pestisida juga dapat berasal dari padang golf.
(8) Kecelakaan kapal, tumpahan minyak, dan air ballast.
Kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak dari kapal, kecelakaan kapal, dan pencucian kapal (air ballast) merupakan kegiatan-kegiatan yang menimbulkan pencemaran minyak di pantai dan laut.
2.2.2. Dampak Pencemaran Laut
Beberapa jenis dampak lanjutan akibat pencemaran di pesisir dan lautan diantaranya adalah sedimentasi, eutrofikasi, anoksia, dan kesehatan umum. Di bawah ini dipaparkan secara detail masing-masing dampak tersebut (Hartono, 2004):
(1) Sedimentasi
Sedimen yang tersuspensi, terutama dalam bentuk partikel yang halus dan kasar, akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan pesisir dan lautan. Secara garis besar dampak tersebut terjadi melalui tiga mekanisme. Pertama, bahan sedimen menutupi biota laut, terutama yang hidup di dasar perairan (benthos) seperti hewan karang, lamun, dan rumput laut, atau menyeliputi sistem pernapasannya. Akibatnya biota-biota tersebut akan susah bernapas dan akhirnya akan mati lemas. Kedua, sedimentasi menyebabkan peningkatan kekeruhan air. Kekeruhan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu organisme yang memerlukan cahaya seperti fitoplankton. Efek ini juga berpengaruh pada komunitas dasar yang juga memerlukan cahaya untuk fotosintesa misalnya padang lamun dan zooxanthellae pada terumbu karang. Ketiga, sedimen yang berasal dari lahan pertanian yang mengandung nitrogen dan fosfat tinggi dapat menimbulkan eutrofikasi.
(2) Eutrofikasi
Fitoplankton dalam masa pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan nutrien, terutama nitrogen dan fosfor. Namun, jika kadar nitrogen dan fosfor hadir dalam jumlah yang berlebihan, maka hal itu dapat menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang luar biasa, yang diistilahkan dengan eutrofikasi.
Dalam kondisi normal, jumlah individu berbagai spesies fitoplankton hadir dalam kondisi seimbang dalam komunitas. Namun pada saat terjadi ledakan populasi, sebagian besar spesies komunitas plankton musnah dan kemudian diganti oleh jenis yang tidak diinginkan dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian, eutrofikasi menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman komunitas mikroalga. Ketidakseimbangan komunitas ini dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan, yaitu berupa racun yang dihasilkan atau menciptakan kondisi tanpa oksigen pada malam hari, hal ini akan mengancam kehidupan biota lain.
(3) Kekurangan Oksigen (anoksia)
Kondisi kekurangan oksigen (anoksia) terjadi bila organisme pengguna oksigen dan proses penggunaan oksigen di dalam air berada pada kisaran yang lebih besar daripada persediaan oksigen yang berasal dari udara atau hasil fotosintesis. Umumnya, penyebab anoksia adalah kelebihan organisme pemakai oksigen yang sering dikombinasikan dengan stratifikasi oksigen dalam kolom air. Pada lapisan dasar kolom air, biasanya kandungan oksigen relatif rendah, karena di sini hanya terjadi proses pemakaian yang tidak diimbangin dengan suplai oksigen. Penyebab utama kekurangan oksigen adalah kelebihan bahan organik yang masuk ke dalam perairan, baik yang berasal dari limbah industri dan domestik ataupun ”ledakan populasi” alga.
Bahan organik yang masuk secara berlebihan ke dalam perairan pesisir dan laut akan diuraikan oleh bakteri, baik secara aerob maupun anaerob. Pada kondisi tanpa oksigen, proses penguraian yang berlangsung dapat membahayakan kehidupan ikan dan invertebrata dasar. Kematian biota yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh ketiadaan oksigen dalam kolom air, melainkan juga disebabkan oleh senyawa gas yang bersifat racun. Senyawa ini dihasilkan oleh proses
dekomposisi bahan organik secara anaerob. Senyawa gas tersebut terdiri dari gas amonia, metana, hidrogen sulfida, dan karbonmonoksida. Selain bersifat racun, senyawaaan gas tersebut mengeluarkan bau yang tidak sedap.
(4) Masalah Kesehatan Umum
Limbah rumah tangga banyak mengandung mikroorganisme, diantaranya bakteri, virus, fungi, dan protozoa yang dapat bertahan hidup sampai ke lingkungan laut. Meskipun limbah rumah tangga telah mengalami pengurangan kandungan mikroorganisme, namun mikroorganisme yang bersifat patogen dapat tetap bertahan dan berpotensi menimbulkan masalah pada kesehatan manusia.
2.2.3. Penanggulangan Pencemaran Pesisir dan Lautan
Untuk menanggulangi pencemaran pesisir dan lautan, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan dan menugaskan beberapa instansi untuk menangani masalah tersebut. Pada Tabel 1 di bawah ini disajikan beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan masalah pencemaran laut.
Tabel 1. Peraturan perundangan pencemaran laut
No Nomor Peraturan Tentang
1 UU No. 17 Tahun 1985
Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)
2 UU No. 23 Tahun 1997
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3 PP No. 19 Tahun 1999
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
4 Kepmen LH No. 45 Tahun 1996
Program Pantai Lestari
5 Kepmen LH No. 47 Tahun 1996
Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Pantai Lestari
2.3. Kapasitas Asimilasi
Limbah pada dasarnya dapat menjadi sumberdaya (resources) dan dapat juga menjadi pencemar. Bahkan Gunnerson (1987) meneliti bahwa beragam kasus dari bahan limbah cair buangan ke laut, dengan rancangan yang sesuai untuk saluran pembuangan, ternyata lebih banyak keuntungan yang didapat dari pada kerugian bagi lingkungan. Perbedaan utama dari sumberdaya dan pencemar
itu adalah meliputi karakteristik dari lingkungan penerima limbah, kualitas dari limbah yang dibuang, dan waktu limbah dibuang (Quano, 1993).
Perairan sebagai tempat penerima limbah organik (padat maupun cair) mempunyai kemampuan purifikasi atau kapasitas asimilasi yang terbatas. Kemampuan terebut terjadi karena adanya pengenceran (hidrodinamika) maupun proses perombakan.
Kapasitas asimilasi di definisikan oleh Quano (1993) sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya. Sementara itu konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan melalui tiga macam fenomena, yaitu pengenceran (dilution), penyebaran (dispertion) dan reaksi penguraian (decay or reaction). Pengenceran terjadi pada arah vertikal ketika air limbah sampai di permukaan perairan. Peristiwa penguraian merupakan pengenceran pada permukaan perairan ketika limbah tercampur karena gelombang.
Perhitungan kapasitas asimilasi sangat spesifik untuk setiap lokasi (site spesific), dengan mengembangkan model hidrodinamika dan komputer modelling yang menggunakan elemen terbatas dari persamaan penyebaran larutan. Metode tersebut memiliki kelemahan, karena setiap lokasi penelitian badan airnya diasumsikan empat persegi panjang dengan lebar dan panjang tidak terbatas, yang berarti hanya terjadi sedikit pengaruh fisik pada permukaan dan dasar perairan.
Evaluasi kapasitas asimilasi memerlukan model matematika yang sesuai untuk mendeterminasi konsentrasi parameter kunci yang merupakan hasil dari tingkat beban limbah. Konsentrasi beban limbah sangat dipengaruhi oleh proses transport (proses pencampuran dan proses kinetik). Daerah yang mempunyai sirkulasi yang bagus akan mempunyai kapasitas asimilasi yang tinggi. Selain itu, distribusi dari daerah kritis di estuari dalam hubungannya dengan kapasitas asimilasi yang pada akhirnya akan sangat berguna untuk mengestimasi daya dukung (carrying capacity) untuk suatu kegiatan adalah pasang surut (proses pencampuran), termasuk waktu pembilasan apabila limbah pencemar masuk ke lingkungan estuari.
Menurut Quano (1993) mengemukakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi diantaranya adalah dengan menggunakan hubungan antara kualitas air dan beban limbahnya. Metode lain untuk menentukan kapasitas asimilasi diantaranya :
1. Metode Penghitungan Pengurangan Limbah Awal, Dispersi dan Penguraian. Metode ini dapat ditentukan nilai kapasitas asimilasi melalui penggabungan nilai pengurangan limbah awal, nilai dispersi limbah dan nilai pengurangan limbah. Limbah awal dapat ditentukan dengan beberapa faktor antara lain kecepatan pencampuran antara limbah dan air sungai, kedalaman air limbah yang mengalir di badan air, lebar penyebaran limbah dan debit air limbah. Untuk menentukan nilai dispersi limbah, tergantung dari faktor jarak sepanjang garis aliran limbah, kecepatan pencampuran dan lebar dari sistem penyebaran limbah. Selanjutnya untuk penentuan penguraian limbah perlu di hitung waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai 90% bakteri mati, kecepatan pencampuran dan jarak air limbah.
Kelebihan dari metode ini adalah bahwa penghitungan lebih ditekankan pada faktor-faktor fisik, sehingga ketepatan perhitungannya tinggi. Adapun kelemahannya, metode ini kurang memperhitungkan faktor-faktor kimia dimana perbedaan jenis limbah yang masuk ke sungai tidak diperhatikan. 2. Metode Arus Bermuatan Partikel
Nilai kapasitas asimilasi pada metode ini ditentukan dengan cara membandingkan konsentrasi limbah dengan konsentrasi air sungai yang menerima limbah. Hal-hal yang diperhitungkan antara lain kecepatan aliran, perbedaan konsentrasi dan debit air sungai. Metode ini memperlihatkan perbandingan antara profil konsentrasi pada arus ringan yang mengalir dengan air penerima yang memiliki kepekatan yang sama.
Kelebihan metode ini adalah adanya pembanding antara konsentrasi limbah dan air sungai yang sangat penting bagi penentuan kapasitas asimilasi. Kelemahannya adalah kesulitan dalam penghitungan konsentrasi limbah berupa bahan kimia yang masuk ke sungai yang membutuhkan waktu yang lama.
3. Metode Penurunan Oksigen dari Streeter dan Phelps
Metode ini bertujuan untuk menentukan nilai asimilasi dengan cara mengamati pengurangan nilai oksigen terlarut. Faktor-faktor yang diperhitungkan antara lain waktu perjalanan limbah di sungai dan konsentrasi asam karbonat yang tetap pada saat perjalanan limbah.
Dengan metode ini penghitungan dilakukan terus-menerus secara rutin. Hal ini merupakan suatu kesulitan karena tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara itu kelebihannya adalah penghitungan akan lebih teliti karena dilakukan penghitungan waktu perjalanan limbah.
4. Metode Hubungan Kualitas Air dan Beban Limbahnya
Dalam metode ini, kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya ke dalam suatu grafik, yang selanjutnya direferensikan dengan nilai baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota laut berdasarkan Kep-Men KLH No. 02/MenKLH/1988. Dari titik potong yang diperoleh melalui grafik ini kemudian diketahui waktu terjadinya dan selanjutnya dilihat nilai beban limbahnya. Nilai beban limbah inilah yang dimaksud dengan nilai kapasitas asimilasi (Dahuri, 1999).
2.4. Interpretative Structural Modelling (ISM)
Berbagai teori telah dikembangkan untuk perencanaan strategi dimana informasi kualitatif dan normatif mendominasi input kebijakan. Salah satu diantaranya adalah “interpretative structural modelling” (ISM), yakni teknik permodelan deskriptif yang merupakan alat strukturisasi untuk suatu hubungan langsung (Saxena et al., 1992 dalam Marimin, 2004).
Teknik ISM adalah proses pengkajian kelompok. Model struktural dihasilkan guna memotret masalah kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Melalui teknik ISM, model mental yang tidak jelas ditranformasikan menjadi model sistem yang tampak (visible).
Bagian pertama dari teknik ISM adalah melakukan penyusunan hirarki. Penentuan tingkat hirarki dapat didekati dengan lima kriteria (Eriyatno, 2003)
yaitu (1) kekuatan pengikat (bond strength) di dalam dan atau antar kelompok/tingkat, (2) frekuensi relatif dari oskilasi; tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dibandingkan tingkat di atasnya, (3) konteks; tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu lebih lambat dalam ruang yang lebih luas, (4) liputan; tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat di bawahnya, dan (5) hubungan fungsional, tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat di bawahnya.
Sebagai bagian kedua adalah membagi substansi yang sedang ditelaah ke dalam elemen-elemen dan sub-subelemen secara mendalam sampai dipandang memadai. Penyusunan subelemen ini menggunakan masukan dari kelompok yang terkait. Selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antar subelemen, yang dinyatakan dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan.
Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual, disusun structural self interaction matric (SSIM), kemudian dibuat tabel reachability matrix (RM) dan perhitungan menurut transivity rule dimana dilakukan koreksi terhdap SSIM sampai diperoleh matriks yang tertutup RM yang telah memenuhi transvity rule kemudian diolah untuk menetapkan pilihan jenjang (level pertition). Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema setiap elemen menurut jenjang vertikal dan horisontal. Berdasarkan RM, subelemen di dalam satu elemen dapat disusun menurut Driver Power Dependence (DP-D) menjadi 4 klasifikasi atau sektor seperti terlihat pada Gambar 3.
IV. Independent :
Strong driver weak dependent variables
III. Linkage :
Strong driver – strongly dependent variables I. Autonomous :
Weak driver – weak dependent variables
II. Dependent :
Weak driver – strongly dependent variables
2.5. Sistem dan Model
Terminalogi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” (wholeness) (Eriyatno, 2003). Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forester (1971) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Manetsch and Park (1979) dalam Eriyatno (2003) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan. O’ Connor and McDermott (1997) mendefinisikan sistem sebagai suatu identitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya.
Dari beragam definisi sistem yang ada, terlihat bahwa sistem memiliki karaktersitik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut (Sushil, 1993) :
1) Dibangun oleh kelompok komponen yang saling berinteraksi. 2) Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” (Wholeness). 3) Memiliki satu atau segugus tujuan.
4) Terdapat proses transformasi input menjadi output.
5) Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem.
Fenomena dunia nyata seperti kawasan perkotaan, menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk memahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno, 2003). Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forrester, 1971), dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap
sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2003). Dengan demikian kajian mengenai wilayah pesisir kota Bandar Lampung, dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, untuk membangun model penataan ruang.
Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem yang dapat memliki beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forrester, 1971). Dalam pengertian yang relatif sama, Eriyatno (2003) menyatakan bahwa model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat.
Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (asumptions) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang bersifat aneka ragam (Meadows et al., 1972 dalam Damai, 2003). Dalam mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya; namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno, 2003) yaitu:
1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategori model simbolik.
2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.
3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Contoh dari model matematis adalah persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu
aliran transformasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.
Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (modelling atau permodelan) merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitifitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model