• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. termasuk situ dan wadah air sejenis dengan sebutan istilah lokal (Permen LH No.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. termasuk situ dan wadah air sejenis dengan sebutan istilah lokal (Permen LH No."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Danau

Danau adalah wadah air dan ekosistemnya yang terbentuk secara alamiah termasuk situ dan wadah air sejenis dengan sebutan istilah lokal (Permen LH No. 28 Tahun 2009). Menurut (Sihotang dan Efawani, 2007) bahwa danau merupakan suatu cekungan yang dapat menahan air, terbentuk secara alami yang disebabkan oleh daya tektonik, vulkanik atau glacial dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi sampai ratusan meter persegi (Barus, 2004) menyatakan suatu perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam, airnya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggiran saja.

Pada dasarnya danau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologi dan fungsi sosial-ekonomi-budaya. Fungsi ekologi danau adalah sebagai pengatur tata air, pengendali banjir, habitat hidupan liar atau spesies yang dilindungi atau endemik serta penambat sedimen, unsur hara dan bahan pencemar. Fungsi sosial- ekonomi-budaya danau adalah memenuhi keperluan hidup manusia, antara lain sebagai sumber plasma nutfah yang berpotensi dalam penyumbang bahan genetik, sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora dan fauna yang penting, sebagai sumber air yang dapat digunakan oleh masyarakat baik langsung

(pertanian, perikanan, industri, rumah tangga) maupun tidak langsung (sumber bahan baku air minum dan penghasil energi melalui PLTA), sebagai

(2)

mengatasi banjir, sebagai pengatur tata air, menjaga iklim mikro karena keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaban dan curah hujan setempat serta sebagai sarana rekreasi dan objek wisata (Sittadewi, 2008).

Susmianto (2004), menyatakan terdapat berbagai ancaman penyebab kerusakan ekosistem danau baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Penyebab kerusakan secara alami seperti, banjir, gempa bumi, vulkanik. Sedangkan ancaman kerusakan yang disebabkan aktivitas manusia, misalnya sedimentasi, pencemaran (limbah rumah tangga, limbah pertanian, limbah industri dan limbah budidaya perikanan), pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, memasukkan spesies eksotik, konversi lahan, perubahan sistem hidrologi serta pembangunan pemukiman.

2.2. Kualitas Perairan

Kualitas lingkungan perairan mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di dalam perairan. Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap biota air jumlahnya cukup banyak, namun parameter yang pengaruhnya lebih besar antara lain intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan, kecerahan, suhu, kedalaman perairan, warna air, oksigen terlarut, kandungan fosfat total, total nitrogen, chemichal oxygent demand (COD), klorofil-a serta plankton yang ada di dalam perairan tersebut (Irsyaphiani, 2009)

Minggawati (2012), kualitas perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan makhluk hidup di perairan itu sendiri. Lingkungan perairan yang baik bagi organisme aquatik diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Kualitas air yang kurang baik akan mengakibatkan pertumbuhan organisme aquatik semakin lambat. Beberapa hal yang dapat

(3)

menurunkan kualitas lingkungan perairan adalah pencemaran limbah organik, bahan buangan zat kimia dari pabrik, pestisida dari penyemprotan di sawah dan kebun, serta dari limbah rumah tangga (Suyanto, 2010).

2.2.1. Suhu

Suhu merupakan parameter yang sangat penting dalam lingkungan perairan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Suhu permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26 – 30 0 C. Pada saat musim Barat (Desember – Februari) suhu di perairan tropis akan mencapai nilai minimum (Rasyid, 2010). Menurut hukum Vant Hoffs, kenaikan temparatur sebesar 10 o

Rachmanda (2011), menyatakan bahwa suhu dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan organisme aquatik. Jenis, jumlah dan keberadaan organisme aquatik sering berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama terjadinya kenaikan suhu. Menurut (Wibisono, 2005), suhu yang masih dapat ditolerir oleh organisme berkisar antara 20 – 30

C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkat laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).

0

C, suhu yang sesuai dengan perkembangan fitoplankton berkisar antara 25 – 30 0C, namun suhu yang optimal untuk pertumbuhan dari zooplankton antara 15 – 35 0C.

(4)

musim, lintang, ketinggian dari permukaan air laut, waktu, sirkulasi udara, penutupan vegetasi (kanopi), awan, serta kedalaman. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses fisika, kimia dan biologi badan air. Selain itu suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu akan menurunkan kadar kelarutan gas dalam air. Suhu yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 20 – 30 0

Jangkaru (2000), penurunan suhu udara pada malam hari, pada waktu hujan atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu atau pelindung Iainnya akan menurunkan suhu air permukaan. Jika proses penurunan suhu udara terus berlangsung sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses pencampuran. Apabila penurunan suhu air permukaan terus berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu air di dasar maka akan terjadi proses pembalikan (Up Welling atau Turn Over).

C.

2.2.2. Kecerahan

Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air (fitoplankton) untuk proses asimilasi. Besar nilai kecerahan dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton suatu perairan (Barus, 2004), kecerahan merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga kematian pada organisme tertentu.

(5)

Kedalaman penetrasi cahaya suatu perairan merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain: absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik, dan musim (Odum, 1996). Fotosintesis oleh fitoplankton jelas tergantung pada adanya cahaya. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat kecerahana tinggi dan menurun bila kecerahan menurun. Sebaliknya, laju respirasi fitoplankton dapat dikatakan konstan di semua kedalaman. Pada tingkat-tingkat kecerahan yang sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari kecerahan,

nilai kecerahan yang mendukung kehidupan organisme di suatu perairan adalah > 45cm.

2.2.3. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan suatu parameter penting untuk menentukan kadar asam/basa dalam air. Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepas sejumlah ion Hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam/ basa. Di dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam keseimbangan, sehingga air yang bersih akan bereaksi normal. Peningkatan ion hidrogen akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam. Sebaliknya apabila ion hidrogen berkurang akan menyebabkan nilai pH naik dan keadaan ini disebut sebagai larutan basa. Nilai pH yang ideal untuk mendukung kehidupan organisme aquatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5 (Barus, 2004).

(6)

Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang sangat rendah akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme aquatik. Kisaran nilai pH bagi kehidupan organisme perairan adalah 6 – 9,5 (Effendi, 2003).

Kisaran nilai pH yang baik adalah berkisar antara 7 – 8. Terjadinya perubahan nilai pH disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : peningkatan gas CO2

sebagai hasil pernafasan dari organisme aquatik, pembakaran bahan organik di dalam air oleh jasad renik, rendahnya konsntrasi oksigen terlarut, kandungan garam (salinitas) yang tinggi, jumlah padat tebar yang tinggi, keadaan suhu air yang tidak stabil, serta tingginya tingkat kekeruhan melebihi ambang batas (Pratiwi, 2010).

2.2.4. Oksigen Terlarut (DO)

Salmin (2005) menyatakan Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter yang penting dalam menentukan kualitas perairan. DO berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik, seperti diketahui bahwa DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, DO juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil

(7)

Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas.

Kandungan oksigen terlarut di dalam air merupakan salah satu penentu karakteristik kualitas air yang terpenting dalam kehidupan organisme aquatik. Pada saat pengambilan sampel air, konsentrasi oksigen terlarut mewakili status kualitas air tersebut (Rakhmanda, 2011). Adapun sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan. Kecepatan difusi oksigen dari udara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Semakin tinggi suhu dan salinitas yang dimiiki sebuah perairan maka perairan tersebut akan memiliki nilai DO yang rendah, demikian sebaliknya nilai DO akan tingi jika perairan tersebut memiliki suhu dan salinitas yang rendah. Demikian juga terhadap lapisan permukaan air nilai DO suatu perairan akan semakin rendah seiring dengan bertambahnya ke dalam perairan (Salmin, 2005).

Rustam (2010), menyatakan bahwa oksigen terlarut juga diperlukan untuk mendekomposisi limbah organik dalam perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan yang baik untuk budidaya adalah < 3 mg/l. Namun untuk merombak/ mengurai 1 kg limbah organik pakan diperlukan oksigen terlarut sebesar 0,2 kg. Sedangkan menurut (Lukman, 2011), diperlukan 1,42 gr oksigen untuk melakukan perombakan limbah organik, baik yang tersuspensi maupun yang mengendap di dasar perairan.

(8)

2.2.5. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat penguraian bahan organik pada kondisi aerobik. Dalam penguraian bahan organik dimana bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energi diperoleh dari proses oksidasi. Dapat dijuga diartikan bahwa BOD adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri)

untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Salmin, 2005).

Barus (2004), BOD adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme dalam lingkungan air, untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang dapat mudah diuraikan secara biologis. Selanjutnya (Lee, et al. 1978) bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.

Perairan yang tingkat pencemarannya rendah, dan dikatagorikan sebagai perairan yang kualitasnya biak, apabila perairan itu memiliki kadar oksigen terlarutnya (DO) adalah > 5 mg/l dengan kadar oksigen biokimianya (BOD) berkisar 0 – 10 mg/l (Salmin, 2005).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Happy et al. 2012) bahwa nilai BOD mengindikasikan keberadaan bahan organik di perairan yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik

(9)

menjadi karbon dioksida dan air, namun hanya menggambarkan bahan organik yang mampu dikomposisi secara biokimia oleh mikroba.

2.2.6. Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical oxygen demand (COD) adalah jumlah oksigen yang diperlukan

untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia

yang dinyatakan dalam O2

Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar nilai COD bisa mencapai lebih dari 200 mg/l (Effendi, 2003). Tingginya bahan organik yang berasal dari kegiatan pertanian (pestisida), perikanan (pakan), limbah domestik yang berasal dari pemukiman akan menimbulkan nilai COD yang tinggi di suatu perairan (Rustam, 2010).

/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik, baik yang mudah diurai maupun yang sukar diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

2.2.7. Kandungan Unsur Fosfat dan Nitrat

Fosfat merupakan unsur esensial disuatu perairan yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan alga sehingga dapat mempengaruhi produktivitas perairan, sedangkan nitrat merupakan nutrien utama di perairan dalam membentuk pertumbuhan tanaman dan alga (Hendrawati, et al. 2007).

(10)

Sumber utama fosfat dan nitrat di perairan berasal dari limbah budidaya KJA yang cukup besar ke perairan, baik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan akibat cara pemberian pakan yang tidak tepat serta buangan metabolisme ikan yang dikeluarkan dalam bentuk amoniak, urin, dan bahan buangan lainnya (Erlania, et al. 2010).

Unsur nitrogen (total N) dan fosfat (total P) yang dikandung pakan ikan merupakan sumber pencemaran air yang dapat mendorong terjadinya eutrofikasi, disamping nilai BOD tinggi yang menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut. Selain itu hasil peruraiannya menyebabkan timbulnya nitrit, ammonia, dan sulfida yang akan menyebabkan pencemaran air apabila jumlahnya berlebihan sehingga

melampaui daya dukung perairan yang berakibat timbulnya alga (Machbub, 2010).

Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil. Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, K, dan S, sangat penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, dan Si dan Ca merupakan bahan untuk dinding sel atau cangkang. Disamping itu silikat (Si) lebih banyak digunakan oleh diatom dalam pembentukan dinding sel. Nitrat dan fosfat yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton masing-masing 3,9 mg/l – 15,5 mg/L dan 0,27 mg/l – 5,51 mg/l (Wetzel, 2001).

(11)

Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai bahan nutrien bagi berbagai organisme aquatik. Fosfat merupakan unsur hara yang sangat penting dalam pertukaran energi dari organisme yang sangat dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mikronutrient), sehingga fosfat berfungsi sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisme. Peningkatan konsentrasi fosfat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatan pertumbuhan alga dan tumbuhan air lainnya secara cepat. Peningkatan fosfat akan menyebabkan timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut, diikuti dengan timbulnya kondisi aerob yang menghasilkan berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit dan belerang (Barus, 2004).

2.2.8. Plankton

Plankton adalah organisme yang berkuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus. Mereka terdiri dari makhluk yang hidupnya sebagai hewan (zooplankton) dan sebagai tumbuhan (fitoplankton). Zooplankton ialah hewan-hewan laut yang planktonik sedangkan fitoplankton terdiri dari tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis (Soegianto, 2005). Karena organisme planktonik biasanya ditangkap dengan menggunakan jaring-jaring yang mempunyai ukuran mata jaring yang berbeda, maka penggolongoan plankton dapat pula dilakukan berdasarkan ukuran plankton. Penggolongan ini tidak membedakan fitoplankton dari zooplankton, dan dengan cara ini dikenal lima golongan plankton, yaitu : megaplankton ialah organisme plaktonik yang besarnya lebih dari 2.0 mm; yang berukuran antara 0.2 mm-2.0 mm termasuk golongan makroplankton; sedangkan mikroplankton

(12)

oleh jaring-jaring plankton baku. Dua golongan yang lainnya: nanoplankton adalah organisme planktonik yang sangat kecil, yang berukuran 2 µm-0.2 mm; organisme planktonik yang berukuran kurang dari 2 µm termasuk golongan ultraplankton. Nanoplankton dan ultraplankton tidak dapat ditangkap oleh jaring-jaring plankton baku. Untuk dapat menjaring-jaringnya diperlukan mata jaring-jaring yang sangat kecil (Barus, 2004).

2.3. Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum dari ekosistem untuk menampung komponen biotik yang terkandung di dalamnya. Diatas level daya dukung ini tidak akan terjadi peningkatan populasi yang berarti. Defenisi lain menyebutkan bahwa daya dukung merupakan batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Daya dukung lingkungan (kawasan) pada akhirnya menentukan kelangkaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh manusia dan organisme hidup yang mendiami lingkungan (kawasan) tersebut. Daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia dalam memanfaatkan fungsi lingkungan dalam suatu kawasan (Dahuri et al. 2001).

Konsepsi daya dukung perairan pada saat ini lebih berpegang pada keseimbangan unsur hara antara N (nitrogen) dan P (fosfor), yang menentukan tingkat kesuburan (trofik) perairan dan menunjang keberadaan dan melimpahnya fitoplankton. Konsepsi tersebut didasarkan pada kebutuhan akan estetika perairan untuk kegiatan wisata yang tidak menghendaki perairannya

(13)

kotor atau padat dengan fitoplankton. Pengelolaan perairan akan sangat memperhatikan kadar ketersediaan fosfor di perairan dan pasokan fosfor dari luar (Lukman, 2011).

Pada konsep paling awal, daya dukung lingkungan (carrying capacity) diartikan sebagai hubungan antara ukuran suatu populasi dengan perubahan dalam sumber-sumberdaya tempat bergantungnya populasi tersebut. Diasumsikan terdapat suatu ukuran populasi optimal yang dapat ditopang oleh sumberdaya yang ada. Konsep ini dasarnya diaplikasikan untuk menjelaskan laju stok maksimum dalam suatu area (Odum, 1996).

2.4. Kegiatan Perikanan Keramba Jaring Apung

Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan wadah budidaya perikanan yang berada di perairan dalam dan luas, seperti danau, waduk dan laut, serta menerapkan padat penebaran yang tinggi. Metode KJA merupakan teknik aquaculture yang paling produktif. Beberapa keuntungan yang dimiliki metode KJA adalah tingginya padat penebaran, jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak diperlukan pengolahan tanah, mudah mengendalikan predator, mudah melakukan pemanenan, serta meningkatkan daya saing produksi perikanan (Ghufran, 2013).

Keberhasilan pada kegiatan perikanan KJA dipengaruhi oleh kualitas air danau, sebaliknya kualitas perairan danau tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan KJA yang berlangsung di danau tersebut. Limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya KJA dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air danau. Oleh karena itu dalam melakukan kegiatan budidaya KJA juga

(14)

kegiatan budidaya terhadap kualitas perairan. Jika beban limbah organik yang masuk tidak terlalu besar, maka air dengan sendirinya dapat melakukan self purification. Namun agar proses tersebut dapat berlangsung sebagaimana

mestinya, harus didukung dengan sirkulasi air yang cukup baik (Erlania, et al. 2010).

Pengembangan budidaya ikan sistem KJA akan bernilai positif selama dalam batas kapasitas daya dukung perairan dan penetapan lokasi yang tidak berbenturan dengan kepentingan lain. Peningkatan KJA yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk pada masa yang akan datang. Kesinambungan dan optimalisasi perikanan budidaya ikan sistem KJA tergantung dari daya dukung perairan, yang ditinjau dari : 1) Daya dukung terhadap dampak penambahan hara dari proses budidaya yang tidak menimbulkan proses eutrofikasi dan penurunan kualitas air yang dapat mengganggu aktivitas lainnya dengan kebutuhan kualitas air yang tinggi; dan 2) Daya dukung terhadap tetap tersedianya cadangan oksigen (DO reservoir) pada kolom hipolimnion (kolom perairan bagian bawah) dalam menerima dan mendegradasi limbah organik dari sisa pakan dan feses (Lukman, 2011).

Kegiatan keramba jaring apung merupakan salah satu kegiatan perikanan akuakultur yang dilakukan pada wadah jaring yang terapung. Pada umumnya kerambah jaring apung digunakan untuk budidaya ikan mas, ikan nila, ikan patin, ikan mujair, ikan bandeng (Azwar, et al. 2004).

Pertumbuhan jumlah KJA yang dibudidayakan di danau/waduk secara intensif yang terus meningkat yang berarti terus meningkatnya jumlah ikan yang dipelihara akan menghasilkan limbah organik (kotoran ikan dan sisa pakan yang

(15)

tidak termakan) yang akan merangsang produktivitas perairan dan mempengaruhi karakteristik biotik dan abiotik perairan (Krismono, 1992). Budidaya ikan dalam KJA secara intensif merupakan usaha perikanan yang dapat dikembangkan dengan pemberian pakan komersil (pelet). Semakin banyak KJA yang beroperasi akan semakin banyak limbah yang masuk ke perairan. Limbah tersebut berasal dari pemberian pakan yang berlebihan yang akan menimbulkan dampak lanjut ke perairan berupa kotoran dan sisa pakan.

Kegiatan budidaya ikan sistem KJA yang dikelola secara intensif membawa konsekuensi penggunaan pakan yang besar yang bagaimanapun efisiensinya rasio pemberian pakan, tidak seluruh pakan yang diberikan akan

termanfaatkan oleh ikan-ikan peliharaan dan akan jatuh ke dasar perairan. Pakan ikan merupakan penyumbang bahan organik tertinggi di danau/ waduk

sekitar (80%) dalam menghasilkan dampak lingkungan. Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar perairan oleh ikan sekitar 30 %. (Rachmansyah, 2004).

Azwar et al. (2004), jumlah pakan pada sistem KJA yang efisien untuk diberikan per hari adalah 3,3% dari berat badan ikan yang dibudidayakan dan diberikan tiga kali sehari. Hal ini diharapkan dapat mengurangi jumlah limbah organik akibat pemberian pakan di perairan.

2.5. Status Trofik Danau dan/atau Waduk

Kondisi kualitas air danau dan/atau waduk diklasifikasikan berdasarkan eutrofikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur fosfor (P) dan nitrogen (N).

(16)

masing 0,7% dan 0,09% dari berat basah. Fosfor membatasi eutrofikasi jika kadar nitrogen lebih dari delapan kali kadar fosfor, nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadar fosfor (Permen LH No. 28, 2009).

Eutrofikasi disebabkan oleh peningkatan kadar unsur hara terutama parameter nitrogen dan fosfor pada air danau dan/atau waduk. Eutrofikasi diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik yaitu :

1) Oligotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara nitrogen dan fosfor. 2) Mesotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang

mengandung unsur hara dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar nitrogen dan fosfor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air.

3) Eutrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar nitrogen dan fosfor .

4) Hipereutrof/Hipertrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar nitrogen dan fosfor.

(17)

Tabel 2.1. Kriteria Status Trofik Danau (Sumber: KLH,2009) Status Trofik Kadar Rata-rata Total-N Kadar Rata- rata Total-P (µg/L) Kadar Rata-rata Khlorofil-a (µg/L) Kecerahan Rata-rata (m) Oligotrof ≤ 650 < 10 < 2.0 ≥ 10 Mesotrof ≤ 750 < 30 < 5.0 ≥ 4 Eutrof ≤ 1900 <100 < 15 ≥ 2,5 Hipereutrof > 1900 ≥ 100 ≥ 200 < 2,5

2.6. Ekosistem Danau Siais

Danau Siais merupakan bagian dari Desa Rianiate dengan luas + 4.500 ha dan kedalaman 20 - 25 m terletak di kecamatan Angkola Sangkunur. Berdasarkan kondisi fisik desanya, kawasan Danau Siais memiliki topografi yang berbukit-bukit dengan kemiringan lahan 40%. Danau Siais mempunyai satu karakter penggunaan lahan edisting yaitu sebagai kawasan wisata, namun kawasan ini memiliki bermacam fungsi, antara lain sebagai kawasan peyangga, wisata, permukiman, kegiatan perlindungan, pendidikan, penelitian dan olah raga serta kawasan pengembangan pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan (Bappeda, 2008).

Kawasan Danau Siais memiliki beberapa objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan, diantaranya adalah panorama alam kawasan Danau Siais, sumber kehidupan jenis-jenis ikan yang ada di dalamnya. Danau Siais merupakan tempat bermuaranya anak sungai Batangtoru dan sungai Rianiate dimana disekitar sungai merupakan tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga masyarakat yang ada di sekitar sungai tersebut (Bappeda, 2008)

Gambar

Tabel 2.1. Kriteria Status Trofik Danau (Sumber: KLH,2009)  Status Trofik  Kadar  Rata-rata  Total-N  Kadar  Rata- rata Total-P (µg/L)  Kadar  Rata-rata Khlorofil-a (µg/L)  Kecerahan Rata-rata (m)  Oligotrof  ≤ 650  &lt; 10  &lt; 2.0  ≥ 10  Mesotrof  ≤ 750  &lt; 30  &lt; 5.0  ≥ 4  Eutrof  ≤ 1900  &lt;100  &lt; 15  ≥ 2,5  Hipereutrof  &gt; 1900  ≥ 100  ≥ 200  &lt; 2,5

Referensi

Dokumen terkait

pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memnuhi kebutuhan pihak- pihak yang merupakan defisit unit, KJKS Arthamadina menyalurkan dana yang sudah terkumpul dari nasabah

Penambahan gliserol akan mengurangi gaya antar molekul sepanjang rantai polisakarida sehingga struktur film yang dibentuk menjadi lebih halus dan fleksibel (Gontard

Berdasarkan molecular docking, aktivitas analgetika dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa HP2009 dengan enzim COX-2, yang terlihat dari score docking bahwa senyawa

lihat mata, lihat bagian dalam mulut (masukkan satu jari menggunakan sarung tangan kedalam mulut, raba langit-langit), lihat dan raba perut, lihat tali pusat, lihat punggung dan

Kegiatan menggunting pada hakikatnya adalah aktivitas untuk mengembangkan motorik halus pada diri individu, perubahan motorik halus berkembang karena adanya

Hasil simulasi AVSWAT 2000 pada DAS Beratan berdasarkan perubahan tata guna lahan tahun 2003 ke 2011 menunjukkan perubahan hasil berupa peningkatan nilai baik dari

Penulisan skripsi ini penulis memilih judul: PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT PASAL 340 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (STUDI KASUS

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Non-Debt Tax Shield, Firm Size, Business Risk dan Growth Opportunity terhadap Struktur Modal pada perusahaan