• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagangan antarnegara sudah. Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perdagangan antarnegara sudah. Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Peningkatan Daya Saing

Industri Indonesia

guna Menghadapi Asean-China Free Trade

Agreement (ACFTA) dalam Rangka Memperkokoh

Ketahanan Nasional

PENDAHULUAN

P

erdagangan antarnegara sudah dilakukan sejak beratus tahun lalu, yang antara lain dikenal dengan imperium transregional Asia, Eropa maupun Timur Tengah. Imperium global pertama yang melakukan perdagangan transnasional pada masanya adalah Spanyol

yang menaklukkan peradaban Aztec, Inca dan Maya. Pada perkembangannya keberadaan imperium Spanyol tersebut surut dan tergantikan oleh ‘Pax Neerlandica’ yang dimotori Belanda dengan VOC-nya yang memonopoli perdagangan Nusantara dan menjadikan Belanda sebagai imperium modern pertama di dunia. Imperium-imperium yang lain di antaranya adalah

(2)

Pax Britannica dan Pax Americana yang merupakan imperium modern ke-4 dan sangat memengaruhi kondisi perdagangan dunia.

Keberadaan Pax imperium tersebut merupakan cikal bakal dari konsepsi perdagangan bebas (liberalisasi

perdagangan internasional), yang awal mulanya diusung oleh WTO (world trade

organization). Sehingga apabila suatu

negara menjadi anggota WTO, berarti secara otomatis harus bersedia membuka pasar bagi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas tersebut. Namun demikian, sampai sejauh ini tidak ada satu negara pun, khususnya negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat yang sepenuh hati mau membuka kran bagi kebebasan impor (Gilpin and

Gilpin, 2000), walaupun mayoritas dari

mereka berpandangan bahwa liberalisme akan mendatangkan keuntungan bagi semua pihak, di mana perdagangan bebas akan mendorong tumbuhnya konsumsi dan keuntungan, dikarenakan adanya perbedaan keunggulan komparatif relatif antarnegara dalam menghasilkan komoditas. Banyak ahli/ pakar memprediksi bahwa pada masa akan datang perdebatan terus akan berlangsung antara para pendukung liberalisme dan proteksionisme, dan hanya sedikit yang akan benar-benar melaksanakan perdagangan bebas (Krugman and Obstfeld, 2002).

Konsep perdagangan bebas secara umum dimaksudkan untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan negara-negara yang terlibat di dalamnya (Samuelson dan

Nordhaus, 1992). Demikian halnya kerja sama yang dilakukan oleh ASEAN dengan China yang dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan kedua belah pihak. Kerja sama yang dikemas dalam ASEAN-China Free Trade Agreement ini bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral. Sebelumnya sejumlah perjanjian perdagangan bebas telah ditandatangani pemerintah, di antaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade

Agreement (FTA), ASEAN-Korea Selatan Free Trade Agreement (FTA) dan Indonesia-Japan Partnership Agreement.

ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan salah satu persetujuan multilateral yang disepakati dalam era global di mana bea masuk barang dari luar negeri menjadi nol. Ini menunjukkan kemudian bahwa yang disaingkan bukan hanya aspek perdagangannya tapi juga adalah terutama aspek produksinya. Negara dengan aspek pengelolaan industrinya yang kurang baik dapat dipastikan akan kalah sebelum berperang. Oleh karena itu dalam menyikapi diberlakukannya ASEAN-China Free Trade

ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan salah satu

persetujuan multilateral yang disepakati dalam era global di mana bea masuk

barang dari luar negeri menjadi nol. Ini menunjukkan kemudian bahwa yang

disaingkan bukan hanya aspek perdagangannya tapi juga adalah terutama

aspek produksinya. Negara dengan aspek pengelolaan industrinya yang kurang

baik dapat dipastikan akan kalah sebelum berperang.

(3)

Dengan diberlakukan ACFTA diprediksi akan banyak industri yang gulung tikar,

dan dengan sendirinya akan meningkatkkan jumlah pengangguran di Indonesia.

Industri Indonesia dianggap belum siap bersaing dengan produk-produk China,

antara lain: industri permesinan, sektor perkebunan dan pertanian, industri

makanan dan minuman, industri petrokimia, industri tekstil dan produk

tekstil, industri alas kaki, industri elektronik dan peralatan listrik, industri

besi baja, industri plastik dan jasa permesinan.

Agreement ini muncul pendapat yang pro dan

kontra. Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China yang telah diberlakukan mulai Januari 2010, memunculkan berbagai tanggapan mulai dari para pembuat kebijakan, pelaku usaha maupun kaum cendekiawan. Saat ini para pendukung adanya Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) melihat bahwa pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan geoekonomis Indonesia maupun Asia Tenggara secara keseluruhan.

Pertumbuhan ekonomi China yang relatif pesat saat ini menjadikan negara Tirai Bambu tersebut sebagai salah satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN. Sebaliknya, mereka yang

berpendapat kritis terhadap kesepakatan

perdagangan bebas, melihat potensi

ambruknya industri domestik Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari membanjirnya impor produk murah dari China. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan regulasi/peraturan yang ada maupun lemahnya daya saing produk-produk industri Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya, terlebih lagi jika dihadapkan pada produk-produk China yang telah membanjiri pasar Indonesia.

Dengan diberlakukan ACFTA diprediksi akan banyak industri yang gulung tikar, dan dengan sendirinya akan meningkatkkan jumlah pengangguran di Indonesia. Industri Indonesia dianggap belum siap bersaing dengan produk-produk China, antara lain: industri permesinan, sektor perkebunan dan pertanian, industri makanan dan

minuman, industri petrokimia, industri tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki, industri elektronik dan peralatan listrik, industri besi baja, industri plastik dan jasa permesinan. Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Hal ini didasari oleh beberapa asumsi seperti neraca perdagangan dengan China yang dulunya surplus akhir-akhir ini mulai menunjukkan defisit. Neraca perdagangan nonmigas Indonesia-China mengalami defisit yang semakin lama semakin melonjak tinggi, di mana pada tahun 2007 sebesar 1,3 miliar dolar AS menjadi 9,2 miliar dolar AS pada tahun 2008. Barang-barang dari China mengalir deras ke pasar Indonesia. Kini China sudah menjadi sumber utama impor Indonesia, yakni sebesar 17,2 persen dari total impor nonmigas dan sebaliknya China hanya menyerap 8,7 persen ekspor nonmigas

Indonesia (Faisal Basri, Tempo 23 Desember 2009). ASEAN-China Free Trade Agreement diperkirakan juga akan membuat 1.597 pos bebas tarif menjadi 0% dan hingga Januari 2010 sudah 7.306 pos yang bertarif 0%.

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas selama ini sering kali dilatarbelakangi ketakutan pada dampak trade diversion. Artinya kalau dua negara melakukan perjanjian bebas maka kegiatan ekspor-Impor akan lebih banyak dilakukan oleh dua negara tersebut. Akibatnya negara lain seperti Indonesia akan mengalami kehilangan potensi ekspor di kedua negara tersebut. Namun yang perlu dicatat, trade diversion hanya berlaku bagi dua negara atau lebih yang memiliki produk yang sama dengan tujuan pasar

(4)

yang sama. Dengan kata lain, ketakutan kehilangan potensi pasar ekspor seharusnya tidak menjadi alasan bagi sebuah negara merasa terasingkan sehingga akhirnya tanpa kesiapan yang matang nekad menceburkan diri masuk dalam perjanjian perdagangan bebas meski dengan risiko pasar dalam negeri akan diserbu oleh berbagai macam produk luar yang dapat mengancam kelangsungan produsen lokal (Edy

Burmansyah, Kompas, 28 Desember 2009). Produk Industri Indonesia sekonyong-konyong dihadapkan pada perdagangan bebas. Mereka dipaksa bersaing dengan pemain-pemain besar dari luar negeri di pasar domestik tanpa ada perlindungan lagi dari pemerintah. Hal ini tentu akan memberikan dampak yang luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan daya saing produk industri Indonesia lemah dibanding dengan negara lain, seperti jaminan ketersediaan energi untuk industri, kesiapan infrastruktur yang mengakibatkan tingginya biaya

transportasi, masalah perpajakan, perizinan, insentif pemerintah hingga ke tingginya suku bunga perbankan, serta birokrasi pemerintah yang korup. Berbagai bentuk pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ikut memperlemah daya saing industri.

Daya saing industri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daya saing ekonomi suatu bangsa. Daya saing industri harus melibatkan segala aspek parameter daya saing untuk memperkuat daya saing industri tersebut. Bahkan di beberapa negara ASEAN seperti di Thailand telah dimasukkan aspek parameter entertainment. Indeks daya saing produk industri Indonesia pada tahun 2006 berada pada tingkatan yang cukup rendah, yaitu ranking ke-54 dari 117 negara (data World Economic Review 2007). Salah satu parameter pengukuran dari daya saing industri adalah tingkat keterterimaan produk negara tersebut di pasar luar negeri. Untuk bisa diterima oleh pasar global maka minimum ada dua hal yang harus terpenuhi, yaitu hak cipta dan memenuhi standar internasional.

Sejauh ini pemerintah Indonesia kurang

serius mengurus hak cipta maupun Standar Nasional Indonesia (SNI). Indikasinya antara lain terlihat dari masih maraknya pembajakan cakram optik yang dapat dijumpai secara bebas di mal-mal tanpa pernah dirazia. Hal ini juga terjadi untuk isi rekaman baik musik, film maupun soft ware. Selain itu bahwa di Indonesia ada 6900-an SNI, ternyata yang sudah diwajibkan hanya sekitar 84 buah dan yang telah dinotifikasikan ke WTO hanya sekitar 20-an SNI. Dalam kondisi seperti itu tentu saja sulit mengharapkan daya saing Indonesia meningkat. Oleh karena itu, dalam menyikapi diberlakukannya ASEAN-China

Free Trade Agreement (ACFTA) ini, maka

pemerintah harus mempersiapkannya dengan matang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemerintah memegang

komitmen menjalankan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China.

Negara dihadapkan pada persoalan melindungi kepentingan rakyat di satu sisi dan di sisi lain harus memperkuat dan melakukan persiapan yang lebih baik untuk menghadapinya. Sedangkan di sisi lainnya lagi pemerintah harus tetap menjalin kerja sama dengan ASEAN dan mitra lainnya. Kita tidak perlu cemas dalam menghadapi ini, bukan hanya China yang bisa mengekspor barang-barang ke Indonesia, tetapi kita juga harus bisa mengekspor ke sana. Peluang masih sangat terbuka, dan untuk mengatasi persaingan, pemerintah harus memberikan fasilitas guna meningkatkan mutu industri Indonesia (Tempo, 26 Januari 2010). Namun meskipun demikian, pemerintah perlu mengkaji ulang implementasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China ini karena ketidaksiapan berbagai elemen di dalam negeri untuk mengimplementasikan perjanjian itu. Peluang adanya renegosiasi masih terbuka, tinggal bagaimana

pemerintah dan para pelaku usaha untuk mengnyinergikan setiap langkah dan usahanya dalam menghadapi adanya

perdagangan bebas ASEAN-China ini, sehingga dapat bermanfaat untuk perekonomian bangsa dan negara.

ACFTA adalah suatu keharusan, mau tidak mau, siap tidak siap, masa itu akan datang. ACFTA sulit untuk dihindari, tidak

(5)

ada jalan lain selain maju. Cara terbaik saat ini adalah meningkatkan konsolidasi antara pemerintah dan dunia usaha,

mengembangkan potensi dan kekuatan lokal, serta meningkatkan profesionalisme serta sistem administrasi yang ada. Pemerintah harus memiliki keberpihakan pada sektor riil bila mengharapkan pertumbuhan pada sektor manufaktur atau mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang seimbang. Bersaing business to business dengan China memang sulit, tetapi kita tidak boleh kehabisan akal (Sofjan Wanandi, Kompas 24 Desember 2009). Diperlukan adanya dukungan pemerintah, pelaku usaha maupun instansi terkait secara sinergis sehingga diharapkan produk industri Indonesia akan dapat bersaing, berkembang sehingga dapat meningkatkan perekonomian negara, memperbaiki taraf hidup masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan dan keamanan. Dengan demikian akan terwujud kondisi yang kondusif dalam melanjutkan pembangunan guna menyerap tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka stabilitas nasional.

DASAR

a. Bedrijfsreglementeerings Ordonnantie Tahun 1934

b. Staatsblad Nomor 86 Tahun 1938 tentang Penyaluran Perusahaan

c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.

d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pergudangan.

e. Undang-Undang No 05 tahun 1984 tentang Perindustrian

f. Undang-Undang No 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi

MAKSUD DAN TUJUAN

a. Maksud. Kegiatan kajian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kondisi daya saing industri Indonesia saat ini dan kesiapannya dalam menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang telah diberlakukan mulai 1

Januari 2010.

b. Tujuan. Kajian ini bertujuan

menghasilkan rekomendasi yang dapat dipakai sebagai pedoman bertindak serta bahan-bahan pertimbangan bagi pimpinan nasional dalam menetapkan kebijakan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan peningkatan daya saing industri Indonesia dalam menghadapi ASEAN-China Free Trade

Agreement.

RUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam naskah ini adalah, “mengapa berbagai pihak, baik politisi, birokrasi, akademisi, khususnya pelaku bisnis di Indonesia, memiliki kekhawatiran dan kebimbangan terhadap diberlakukannya ASEAN-China

Free Trade Agreement sebagai kebijakan

yang dapat menggeser berbagai produk industri terutama industri kecil dan menengah di Indonesia oleh produk China, baik di pasar domestik maupun regional?” Dari berbagai fenomena dan kegelisahan akademik tersebut, maka dalam menjawab berbagai persoalan yang berimplikasi terhadap terganggunya Ketahanan Nasional, dirumuskanlah jawaban untuk mengatasi kegelisahan dimaksud sebagai berikut: a. Bagaimana kebijakan peningkatan daya

saing industri nasional diarahkan pada penanganan isu-isu strategis?

b. Bagaimana pola pengembangan industri yang relevan bagi keunggulan potensi daerah dan sesuai dengan tata ruang nasional?

c. Bagaimana kebijakan dan formulasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi ASEAN-China Free Trade

Agreement?

d. Bagaimana kebijakan yang dilakukan dalam melindungi produk-produk dalam negeri, terutama produk yang belum memiliki tingkat kompetitif dengan produk China?

(6)

RUANG LINGKUP DAN SISTEMATIKA PENULISAN

a. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian ini difokuskan pada penelaahan berbagai permasalahan daya saing industri Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas dikaitkan dengan aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan perkembangan lingkungan strategis nasional, regional maupun global.

b. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan kajian ini disusun dengan tata urut sebagai berikut:

- Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan hal-hal yang melatarbelakangi kajian tentang Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia guna Menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional, maksud dan tujuan, ruang lingkup kajian dan metodologi yang dipakai dalam pengkajian.

- Bab II Kondisi awal dan faktor-faktor yang memengaruhi. Bab ini

menguraikan data dan fakta serta faktor-faktor yang memengaruhi daya saing industri Indonesia dalam menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN-China baik secara global, regional maupun nasional. - Bab III Analisis dan Upaya. Bab

ini berisikan analisis terhadap data dan fakta serta pijakan teori dengan menggunakan pisau analisis Wasantara dan Ketahanan Nasional serta upaya-upaya yang harus dilakukan dalam merumuskan dampak yang akan dihadapi terkait dengan adanya perdagangan bebas ASEAN-China.

- Bab IV Penutup. Bab ini

mengungkapkan kesimpulan yang diperoleh dari analisis data dan fakta yang dilengkapi dengan saran/ rekomendasi sebagai alternatif solusi yang ditawarkan untuk dijadikan bahan pertimbangan dan masukan kepada Presiden RI terkait dengan daya saing industri Indonesia serta langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China.

METODE DAN PENDEKATAN

Metode pembahasan naskah

dilakukan secara deskriptif analisis untuk menggambarkan berbagai hal terkait dengan judul. Metode pendekatan dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui critical appraisal (telaah kritis), yaitu dengan mengkritisi berbagai tulisan dan dokumen yang relevan dengan persoalan dan meta analysis dengan memetakan berbagai persoalan terkait permasalahan daya saing industri Indonesia.

PENGERTIAN

a. Daya Saing adalah kemampuan untuk dapat menghasilkan barang-barang dan jasa berkualitas unggul yang mampu bersaing dengan produk-produk negara-negara lain.

(7)

b. ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan salah satu perjanjian multilateral yang disepakati dalam era global di mana bea masuk barang dari luar negeri menjadi nol.

c. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan (TAHG) baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.

KONDISI AWAL DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI

Implementasi dari ASEAN-China Free

Trade Agreement (ACFTA) tentunya akan

memberikan dampak terhadap dinamika lingkungan strategis bangsa Indonesia, tidak hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga pada bidang-bidang lain, seperti sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Sampai sejauh ini masih terdapat beberapa permasalahan internal yang menyebabkan posisi tawar Indonesia tidak menguntungkan dalam kerja sama ACFTA tersebut, baik dilihat dari skala regional apalagi global. Masih tingginya tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin, buruknya struktur ekonomi nasional, high cost economy, rentannya nilai mata uang nasional

terhadap mata uang asing, juga merupakan permasalahan yang menyebabkan rendahnya daya saing nasional di era persaingan global. Di samping itu beberapa kelemahan dari key success factors seperti kualitas sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur, modal dan pasar juga masih jauh dari posisi Sustainable Competitive Advantage. Strategi pembangunan nasional lima tahun ke depan tentu harus memberikan prioritas pada upaya perbaikan dari key success

factors tersebut. Di tataran mikro, terutama

di sektor industri manufaktur belum terlihat perbaikan yang cukup signifikan. Pertumbuhan sektor industri masih jauh dari memuaskan, bahkan gejala deindustrialisasi dini yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir makin kuat dirasakan, di mana pertumbuhan PDB, PBA mencatat laju

petumbuhan sektor industri pengolahan 2009 hanya pada angka 2,1%.

Struktur ekonomi Indonesia cenderung menjadi semakin rapuh karena hanya didukung oleh perkembangan sektor-sektor yang kurang menyerap tenaga kerja formal dan cenderung menyerap pekerja informal. Gejala tersebut perlu segera diatasi karena tidak sejalan dengan pematangan struktur ekonomi agar menjadi lebih tangguh dan modern, yang bisa menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Upaya untuk menjadi negara maju akan sangat sulit jika sektor informal terlalu besar, karena produktivitas perekonomian akan sulit berkembang.

Tantangan bagi sektor industri

manufaktur terus menghadang. Akhir-akhir ini deraan krisis listrik kian menjadi-jadi,

Implementasi dari ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) tentunya

akan memberikan dampak terhadap dinamika lingkungan strategis bangsa

Indonesia, tidak hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga pada bidang-bidang

lain, seperti sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Sampai sejauh

ini masih terdapat beberapa permasalahan internal yang menyebabkan posisi

tawar Indonesia tidak menguntungkan dalam kerja sama ACFTA tersebut, baik

(8)

ditambah lagi dengan implementasi free trade agreement (FTA) ASEAN-China yang nyaris penuh mulai tahun 2010. Tanpa FTA ini saja kita sudah keteteran menghadapi penetrasi produk-produk manufaktur dari China. Neraca perdagangan kita dengan China, berbalik dari surplus sebesar 1,12 miliar dolar AS tahun 2007 menjadi defisit sebesar 3,61 miliar dolar AS tahun 2008. Pada tahun 2009, meskipun terdapat penurunan, namun defisit perdagangan nonmigas kita dengan China masih mencapai 2,50 miliar dolar AS.

Dampak dari penerapan perdagangan bebas lainnya adalah kenaikan ekspor negara ASEAN ke Indonesia yang juga akan menjadi lebih tinggi. Hal ini terjadi karena produk-produk dari negara ASEAN tersebut menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan produk-produk dari Indonesia, karena beberapa sektor industri mereka mendapatkan akses ke bahan baku dan bahan baku antara yang lebih murah dari China, sedangkan produsen Indonesia tidak.

PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI

Selama 5 tahun terakhir (2005-2009), tiga sektor ekonomi utama dalam perekonomian, yaitu pertanian, industri pengolahan dan perdagangan bersama-sama memberikan sumbangan 56%, masing-masing pada tahun 2009 memberikan sumbangan industri 26,4%, perdagangan 13,4% dan pertanian 15,3%.

Untuk 5 tahun terakhir, pertumbuhan industri nonmigas Indonesia belum mampu mencapai kinerjanya seperti sebelum krisis tahun 1998. Pada tahun 2009 industri manufaktur hanya mengalami pertumbuhan 2,52% sedangkan perekonomian Indonesia pada tahun tersebut tumbuh 4,55%. Walau demikian industri di Thailand, Malaysia,

Singapura, Korea bahkan Jepang tumbuh negatif.

Ekspor selama periode tumbuh (CAGR) 11,09%, di mana tercatat yang pertumbuhannya tinggi adalah pengolahan kelapa sawit, pengolahan karet, besi baja, mesin dan otomotif; masing-masing 22,31%, 18,74%, 18,53%, yang ekspornya relatif stagnan adalah produk elektronik serta pengolahan kayu; sedangkan TPT sebagai komoditi ekspor tradisional pertumbuhannya selama 5 tahun terakhir cukup konsisten, yaitu sekitar 5,5%.

Industri juga memberikan andil dalam menyumbang penyerapan tenaga kerja yang tidak kecil, yaitu tahun 2009 sekitar 13,9 juta orang, dengan rata-rata pertumbuhan 5 tahun terakhir sekitar 5,41%. Industri kecil menyerap tenaga kerja sekitar 7,8 juta (56,28%), industri menengah 200 ribu (1,44%) dan industri berskala besar 5,9 juta (42,28%). Cabang industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar yaitu makanan, minuman dan tembakau (5 juta orang), TPT (2,4 juta orang) dan barang kayu dan hasil hutan lainnya (1,8 juta orang).

(9)

Hingga tahun 2009, penyebaran industri Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa yang mencapai 75% dari seluruh industri yang ada di Indonesia

Pertumbuhan kredit perbankan untuk sektor industri mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2009 sebesar 8,8 persen.

PERMASALAHAN DAYA SAING INDUSTRI INDONESIA

Bagi negara-negara kuat, apalagi negara tersebut mempunyai posisi Sustainable Competitive Advantage (SCA) dalam peta persaingan dunia, perdagangan bebas akan banyak memberikan manfaat. Perdagangan bebas akan mampu memperluas pasar, memperluas pengaruh, meningkatkan standar hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun bagi negara-negara lemah, perdagangan bebas justru akan menimbulkan banyak permasalahan. Oleh karena itu, ACFTA yang merupakan implementasi dari sistem perdagangan bebas pada tingkat regional dapat menjadi “pedang bermata dua”. Mata atau sisi pertama dapat menimbulkan peluang apabila kita mampu memanfaatkan efek sinergi dari kerja sama tersebut, sedangkan

sisi kedua adalah ancaman apabila justru negara-negara lainlah yang dapat memanfaatkan peluang tersebut. Identifikasi peluang dan ancaman tersebut sangat penting sehingga kita dapat menentukan posisi kita dilihat dari profil peluang dan ancaman.

a. Struktur Industri Indonesia

Kekuatan struktur industri biasanya dapat dilihat dari kokoh-rapuhnya hubungan kerja (networking) antara industri dasar dengan hilirnya, termasuk

supporting industry-nya seperti industri

kecil dan menengah (IKM). IKM seakan tumbuh “by accident not by design” sehingga kurang mampu menjadi

supporting industry bagi industri yang

lebih besarnya. Padahal jumlah IKM lebih dari 90% dari total industri. Ini berarti bahwa dalam kacamata Panca Gatra, posisi IKM sangatlah strategis.

Di sisi lain pemerintah tidak menyediakan insentif bagi industri besar yang memiliki networking penumbuhan. Akhirnya industri besar kurang memperhatikan pertumbuhan IKM yang sebenarnya sangat strategis dalam kehidupan berbangsa karena IKM relatif mampu bertahan dalam badai ekonomi yang cukup besar seperti yang dialami Indonesia pada tahun 1997.

Di China, industri besar yang memiliki networking dengan IKM akan berpeluang mendapatkan insentif yang lebih besar. Hal ini tentu saja akan sangat membantu mendorong industri besar supaya terkait dengan IKM yang berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat.

Sumber: Dirjen Anggaran Kemenkeu, Kompas, 3 Februari 2010:4

(10)

sebagai berikut: berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian bahwa 76% impor nasional dikuasai oleh impor bahan baku industri, kemudian barang modal 19% dan diikuti barang konsumsi sekitar 5%. Padahal negara Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM terlihat bahwa sekitar 80% lebih SDA diekspor dalam kondisi bahan alam tanpa pengolahan yang berarti. Artinya produk tambang (produk primer) yang diekspor tidak memiliki nilai tambah, terutama bagi masyarakat. Di sini terlihat bahwa kemauan politik pemerintah dituntut untuk segera memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 bahwa kekayaan alam yang terkandung dalam negara adalah untuk memakmurkan rakyat Indonesia.

Hal tersebut di atas ditengarai karena pemerintah tidak memberikan perhatian terhadap pemanfaatan sumber daya dalam negeri termasuk teknologi putra bangsa, sehingga selalu bergantung pada luar negeri. Inilah ancaman serius jangka panjang bagi bangsa Indonesia.

IKM seharusnya dapat diarahkan untuk menyuplai komponen yang diperlukan industri besar. Maka bila konsep ini benar-benar dijalankan maka pertumbuhan industri akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Tidak seperti yang kita jumpai saat ini di mana pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan pengurangan angka pengangguran atau kemiskinan. Itulah sebabnya banyak kalangan yang melukiskan bahwa ekonomi nasional tidak berkualitas seperti yang tergambar di bawah ini.

Republika, Senin, 15 Februari 2010

Karena ketergantungan yang luar biasa terhadap bahan/barang luar

negeri sehingga tentu saja akan juga berpengaruh terhadap kualitas ekonomi seperti yang dapat dilihat pada gambar di atas. Sektor tradable pertumbuhannya terus di bawah pertumbuhan PDB, sementara yang non-tradable lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional.

Akibat kondisi kualitas ekonomi yang kurang bagus tersebut maka pertumbuhan impor nasional sangat mengkhawatirkan, di mana laju petumbuhan impor hampir tiga kali lipat pertumbuhan ekspor seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut:

Kekuatan industri tentu saja akan sangat bergantung pada komitmen

pemerintah dalam menjaga

sustainability dari industri tersebut. Oleh karenanya pemerintah seyogianya komit untuk menyediakan mulai bahan baku, tenaga listrik, air dan infrastruktur untuk industri, baik bersifat fisik misalnya jalan raya, jembatan dan lain sebagainya, maupun nonfisik seperti aspek terkait dengan keuangan dan iklim usaha yang kondusif.

b. Daya saing industri. Daya saing industri merupakan manifestasi dari tingkat keterterimaan produk industri di pasar domestik maupun internasional. Memang banyak parameter dalam daya saing, kementerian perindustrian mengidentifikasi sekitar 23 parameter daya saing. Bahkan Thailand memasukkan parameter entertainment sebagai salah satu parameternya.

Salah satu parameter penting adalah diikutinya standar produk yang diakui dunia melalui pengesahan World Trade

Organization (WTO). Indonesia memiliki

sekitar 6900 Standar Nasional Indonesia (SNI) (sukarela) di mana 3.840 SNI di

(11)

antaranya dikeluarkan oleh kementerian perindustrian. Namun sayangnya dari jumlah tersebut yang diwajibkan baru 87 buah dan dari angka ini baru 47 buah (1,2%) yang sudah dinotifikasikan ke WTO. Hal ini berarti bahwaproduk Indonesia yang diakui dunia masih sangat terbatas. Tentu saja masalah ini sangat mendesak untuk segera dicarikan jalan keluarnya.

Dengan keterbatasan daya saing nasional tersebut, kita dihadapkan pada Free Trade Agreement (FTA) yang didahului oleh ASEAN-China (ACFTA), jika dibandingkan antara Indonesia vs China, gambarannya tertera dalam bagan di bawah ini. Dalam kondisi tersebut, maka daya saing kita sudah pasti jauh di bawah China. Pertumbuhan industri, suku bunga bank yang perbedaannya hampir 9%, panjang jalan tol dan sebagainya merupakan indikator yang tidak bisa disandingkan. Tentu saja hal ini menyisakan pertanyaan bahwa para negosiator kita dulu kurang memperhatikan masalah tersebut.

Neraca perdagangan Indonesia dengan China setelah tahun 2008 di mana impor kita dari China hampir dua kali lipat dan defisit. Pada tahun 2004 China telah menotifikasikan standarnya ke WTO, ini artinya mereka melakukan persiapan dari segala arah yang sama sekali kurang kita perhatikan.

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan primadona Indonesia, akan tetapi akibat “kelalaian”

pengelolaan, maka dampak ACFTA diperkirakan akan terjadi seperti dalam gambar berikut.

Total tenaga listrik nasional yang tersedia 30,9 GW dengan pertumbuhan sebesar 6,9%. Sementara rasio

elektrifikasi sekitar 65,79% dengan rasio desa berlistrik 93,19%. Ini

menunjukkan bahwa untuk listrik masih terjadi perebutan antara keperluan industri dengan keperluan masyarakat, yang tentu saja masyarakat harus didahulukan. Dengan kata lain tenaga listrik relatif masih menjadi barang “mahal” bagi industri di Indonesia.

Pertumbuhan konsumsi listrik untuk industri 4,8%, dengan jumlah tenaga yang tersedia 45,784 GWh atau 35% dari total, merupakan urutan kedua setelah residential yang mencakup besaran 54,503 GWh (41%).

Adapun untuk pemanfaatan sumber tenaga pembangkit tenaga listrik, Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya energi fosil, yaitu 62% dari seluruh sumber tenaga yang digunakan. Hal in tentu sangat berbahaya mengingat fosil merupakan non-renewable natural

resources di samping menimbulkan

(12)

terhadap pemanasan global. Konsumsi baja per kapita sering kali merupakan indikator kuat tidaknya pembangunan infrastruktur yang

merupakan salah satu parameter penting bagi penumbuhan industri, baik untuk bangunan, jembatan, pelabuhan, jalan dan sebagainya. Banyak data yang menunjukkan bahwa konsumsi baja per kapita Indonesia terendah di antara negara pembanding, sementara pertumbuhannya relatif mendekati nol persen. Hal ini sangat disayangkan karena pertumbuhan industri akan sangat bergantung pada ada tidaknya infrastruktur. Makin lengkap infrastruktur maka industri tersebut akan memiliki daya saing yang semakin tinggi.

Sebaran industri masih

terkonsentrasi di Jawa yang mengambil porsi sebanyak 65% dari total industri, berikutnya di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Sementara di Papua masih sangat terbatas. Oleh karenanya sebaran ini menjadi target utama, yaitu menumbuhkan industri di luar Jawa mengingat SDA banyak di luar Jawa. c. Iklim investasi

Pada periode 2005-2009 penanaman modal di sektor industri pengolahan terealisasi rata-rata per tahun senilai 19,14 triliun rupiah untuk proyek Penamanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sementara itu untuk Penamanaman Modal Asing (PMA) mencapai US$ 4,33 miliar. Bila kurs dihitung berdasarkan angka Rp 10.000/ dolar, maka modal asing yang diserap mencapai 40,69 triliun rupiah per tahun. Sehingga total investasi sektor industri pengolahan mencapai 59,74 triliun rupiah per tahun. Angka ini melebihi sasaran investasi sektor industri pengolahan pada RPJMN, yaitu antara 40 s/d 50 triliun rupiah.

Pertumbuhan investasi di Indonesia, tidak sejelek yang diperkirakan karena ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh positif, bahkan berada pada urutan ke-3 setelah China dan India (Deputi Menko

Ekuin bidang Industri Perdagangan) relatif bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Beberapa stimulus yang telah diberikan pemerintah tampaknya kurang direspons positif oleh pengusaha, sehingga menteri perindustrian dengan gencarnya mengusulkan pemberian tax holiday yang di beberapa tetangga sudah dilaksanakan dan mampu menyerap investor terutama asing.

Indonesia merupakan negara yang memiliki daya tarik luar biasa, namun sayangnya belum dikelola secara profesional sehingga terdapat ketidakpastian di mana-mana. Hal ini tentu saja akan sangat mengganggu terutama bagi investor asing. Oleh karenanya, dalam hal Foreign Direct

Investment (FDI) Indonesia masih di

bawah Thailand apalagi Vietnam yang masih relatif “baru” selesai perang. Untuk hal tersebut selanjutnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Untuk mempermudah pembandingan, selanjutnya lihat tabel FDI di bawah ini:

(13)

Iklim ekonomi sangat dipengaruhi oleh iklim politik dalam suatu negara.

Indonesia masih memiliki tantangan untuk mengurangi terlalu kuatnya pengaruh politik ke dalam investasi. Apalagi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak berdiri dalam satu atap dengan sektor industri sehingga sering kali langkahnya kurang harmonis. Terlebih lagi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat kepastian investasi yang rendah. Di samping politik, terdapat banyak masalah yang dihadapi, termasuk juga masalah perburuhan yang sering kali di keluhkan oleh para investor terutama dari luar negeri.

FAKTOR YANG MEMENGARUHI

a. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Global Perkembangan lingkungan global identik dengan fenomena globalisasi yang ditandai dengan terjadinya transformasi budaya tradisional menuju budaya modern, tumbuhnya fenomena pemisahan ruang dan waktu (distanciation), kepercayaan (reliability) dan refleksivitas (reflexivity) (Giddens, 1990), serta juga ditandai dengan fenomena “kapitalisme yang mendorong terjadinya revolusioner sehingga tercipta suatu masyarakat global dan menggusur dunia tradisional” (Karl Marx, 1884), di mana pasar tunggal dunia (borderless

market) menjadi tujuan utama menuju

terwujudnya ekonomi yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi “tidak ada pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami

kemajuan sangat pesat. Untuk itu kebijakan yang harus ditempuh suatu negara harus mempertimbangkan dengan matang melalui short-term and

long-term strategy dari berbagai aspek,

baik pendapatan maupun sumber daya yang dimiliki negara tersebut, karena hal tersebut yang menentukan bentuk interaksinya dengan perekonomian dunia.

Perkembangan globalisasi yang berdampak terhadap China dan Indonesia di antaranya adalah berkembangnya berbagai negara baik secara individu seperti Amerika Serikat dan sekutunya, Rusia maupun negara-negara yang membentuk kelompok seperti BRIC (Brasil, Rusia, India dan China) maupun Uni Eropa yang semakin menguat perekonomiannya, yang tercermin dari makin menguatnya Euro, sebagai dampak dari melemahnya perekonomian Amerika Serikat. Penguatan perekonomian Eropa ini membuka peluang bagi Indonesia untuk semakin memperkuat kerja sama dengan negara-negara Eropa. Terkait dengan keberadaan BRIC, menurut

Goldman Sachs dalam Global Economic Paper Nomor 34 Tahun 2005, disebutkan

bahwa India akan menjadi perekonomian terbesar ketiga pada tahun 2035 dan China akan menjadi perekonomian terbesar tahun 2041.

Kebangkitan China tersebut merupakan bagian dari proses globalisasi, yang diprediksi akan memengaruhi pasar dan sistem dunia sehingga berdampak pada efek permintaan dan efek spesialisasi produksi (production specialization

effect). Dalam hubungannya dengan

permintaan, pertumbuhan perekonomian China akan menciptakan pasar bagi barang yang diproduksi secara regional. Selain itu pertumbuhan tersebut juga menyebabkan negara-negara sekitar China memilih melakukan spesialisasi serta berusaha membentuk keunggulan komparatif terhadap China. Dalam hal ini tentunya pertumbuhan China tersebut akan menyulitkan negara-negara

(14)

China mungkin akan mengurangi market share negara lain dan hal ini berpotensi menurunkan pendapatan. Selain itu perkembangan China akan menciptakan persaingan antarnegara tetangga untuk menerima aliran modal, khususnya FDI yang dianggap sebagai katalis pembangunan.

Secara geopolitik dan geostrategi Indonesia terletak di tengah-tengah kawasan yang strategis dan dinamis di Asia Timur, serta berada di lingkup ketahanan regional ASEAN yang menjadi sentra perekonomian negara-negara berkembang yang perekonomiannya hidup seperti China, India, negara-negara Amerika Latin dan Rusia serta Eropa Tengah dan sejumlah negara di Asia. Di samping pertimbangan geopolitik dan geostrategi tersebut, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang besar,

dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia dan merupakan negara yang berdemokrasi terbesar di dunia.

Merunut dari berbagai pengaruh global dan kondisi geopolitik serta geostrategi sebagaimana diuraikan di atas, dalam rangka mempertahankan keunggulan kerja sama dengan China yang dibingkai dalam ACFTA, maupun keunggulan di kawasan Asia dan global, yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam tataran global di antaranya adalah meningkatkan upaya dalam pelibatan dengan ekonomi global dan lebih gesit serta cerdik dalam menanggapi perubahan keadaan dan isu-isu global yang sangat dinamis.

b. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Regional

Perkembangan di lingkungan regional yang dapat memengaruhi hubungan Indonesia dan China didominasi oleh keberadaan perkembangan negara-negara ASEAN dan upaya perwujudan ASEAN Community khususnya ASEAN Economic Community. Selain itu juga dipengaruhi oleh keberadaan negara-negara yang tergabung dalam BRIC yang kontribusinya terhadap ekspor dan impor dunia semakin meningkat. Kondisi ini

akan memengaruhi tingkat pangsa pasar berbagai negara yang berpendapatan sedang dan rendah, walaupun di sisi lain pertumbuhan perekonomian pada negara-negara (BRIC) tersebut akan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur, jasa dan berbagai perlengkapan industri. Keberadaan BRIC akan memengaruhi negara-negara ASEAN melalui berbagai cara, seperti populasi, angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi, pasar dan perdagangan serta konsumsi sumber daya dan energi (Angang Hu, 2007) dan perdagangan internasional yang dianggap paling berpengaruh (Winters, et al., 2007). Kondisi inilah di antaranya yang mendorong ASEAN untuk mempercepat perwujudan ASEAN Community sebagai pilar ketahanan regional. Perkembangan lain yang juga ikut memengaruhi keberadaan ACFTA adalah adanya penguatan kerja sama regional yang dilakukan oleh Jepang, Korea dan Australia maupun akan diberlakukannya FTA ASEAN dengan European Union, Australia maupun dengan Selandia Baru.

Secara geopolitik dan geostrategi Indonesia

terletak di tengah-tengah kawasan yang

strategis dan dinamis di Asia Timur, serta

berada di lingkup ketahanan regional ASEAN

yang menjadi sentra perekonomian

negara-negara berkembang yang perekonomiannya

hidup seperti China, India, negara-negara

Amerika Latin dan Rusia serta Eropa Tengah

dan sejumlah negara di Asia. Di samping

pertimbangan geopolitik dan geostrategi

tersebut, Indonesia juga memiliki sumber

daya alam yang besar, dengan jumlah

penduduk terbesar ke-4 dunia dan merupakan

(15)

Perkembangan kawasan regional Asia didominasi oleh pertumbuhan China dan India di samping Jepang dan Korea. China secara regional sudah sangat terbuka dalam hal investasi sehingga tidak memerlukan liberalisasi yang lebih jauh. Berbagai negara di kawasan regional telah banyak yang melakukan investasi di China dan menjadikannya sebagai basis produksi dengan memanfaatkan biaya produksi dan upah yang murah di negeri China. Kemudahan dalam hal investasi di China yang dipadukan dengan program kemandirian merupakan suatu hal yang dapat mengungkit berkembangnya negara China menjadi the next super power di Asia di samping India.

Menelisik perkembangan perekonomian China dan India serta Indonesia, maka keberadaan Chindonesia (China, India dan Indonesia) merupakan pilar kekuatan regional di kawasan sebagaimana dikemukakan oleh Nicholas Cashmore bahwa Chindonesia merupakan “the new global power triangle: China,

India and Indonesia” (Global Nexus Institute dalam Cristianto Wibisono,

2010). China, India dan Indonesia merupakan pangsa pasar besar bagi negara-negara kawasan, di samping itu juga merupakan negara di kawasan yang mencapai pertumbuhan ekonomi positif ketika negara-negara lain masih dalam siklus pertumbuhan negatif.

c. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Nasional

Kondisi riil menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan tingginya tingkat pengangguran, besarnya jumlah penduduk miskin, buruknya struktur ekonomi nasional, tingginya kasus korupsi maupun high cost economy yang menimbulkan terjadinya resistensi dan penyebab rendahnya daya saing nasional. Dalam sektor industri, permasalahan ‘grease money’ dalam bentuk pungli ataupun biaya ekstra mulai dari pencarian bahan baku sampai menjadi output maupun ekspor masih banyak terjadi. Selain itu Indonesia

juga masih menghadapi permasalahan terkait dengan pengelolaan ekonomi lokal yang mencakup manajemen infrastruktur, pembangunan sektor swasta, aksesibilitas dan kepastian lahan serta hubungan Pemda dan sektor bisnis (KPPOD, 2010).

Persoalan sosial budaya masyarakat yang ‘luar negeri minded’ yang

telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia seakan mendapat ruang yang lebih luas ke arah

menguatnya pola budaya konsumtif. Hal itu dapat diketahui ketika orang mengonsumsi suatu produk bukan karena kegunaan atau fungsinya, melainkan karena citra (image) yang melekat pada produk tersebut. Di sini, produk telah berubah menjadi sesuatu yang memiliki makna simbolis. Suatu produk lebih dilihat dari hubungannya dengan citra, kemewahan dan kenikmatan sesaat. Tidak heran jika kemudian hedonisme semakin melekat pada perilaku kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan penghargaan terhadap produksi dalam negeri sangat rendah sehingga industri dalam negeri semakin merana.

Otonomi daerah yang memberikan peluang pada daerah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan berbagai potensi lokal merupakan peluang tersendiri bagi pengembangan berbagai sektor khususnya industri. Namun demikian berbagai dukungan perundang-undangan masih menjadi kendala tersendiri, bahkan sering kali tidak berpihak pada masyarakat, bahkan semangat UUD 1945 khusus pasal 33 di mana bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara sering kali diabaikan. Berbagai kepentingan jangka pendek sering kali menggadaikan semangat nasionalisme dengan menyerahkan aset kekayaan alam untuk dieksplorasi oleh pihak-pihak yang tidak semestinya bahkan oleh orang asing. Reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah dengan menata struktur kelembagaan, meningkatkan sinergitas

(16)

antarkelembagaan dan mengeliminasi berbagai peluang bagi tindak korupsi merupakan angin segar bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor industri, baik BUMN maupun sektor swasta khususnya UMKM. Selama ini UMKM kurang mendapat perhatian dari pemerintah, bahkan dalam perjalanannya seakan tidak ada linkage dengan perusahaan-perusahaan besar. Mereka saling berjalan parsial, bahkan terkadang saling mematikan. Pemerintah sebagai regulator dan empowering seyogianya mulai mengnyinergikan keduanya sehingga akan menjadi pilar kekokohan perekonomian bangsa.

ANALISIS DAN UPAYA

Kerja Sama Regional (Free Trade Agreement) Apabila dirunut ke belakang, kerja sama perdagangan guna memperkuat negara ataupun kawasan sebagaimana halnya kerja sama regional sebenarnya telah lama ada. Embrionya adalah imperiumenisme (sebut saja sejarah imperium), di mana sejak pada masa itu telah dikenal adanya imperium transregional baik Asia, Eropa

maupun Timur Tengah, dengan tiga imperium terbesar di zaman itu, yaitu Pax Romana, Dinasti Mongol dan Khilafah Islamiyah Turki. Kebesaran imperium regional Tiongkok pernah dijajah oleh dinasti Yuan yang merupakan masyarakat minoritas Mongol (1267-1368) dan dinasti Qing Manchu (1644-1911). Sedangkan imperium nasional Timur Tengah pra Islam didominasi oleh peran Assyria, Babylonia, Cartago, Mesir, Sheba dan Persia. Menurut pendapat Samuel Huntington tentang the clash of civilization sebagaimana disitir oleh Cristianto Wibisono, bahwa interaksi Pax Romana, Dinasti Mongol dan Khilafah Islamiyah Turki merupakan embrio terjadinya benturan peradaban confusius, Barat dan Islam sejak zaman perang salib. Pada perkembangannya, muncullah imperium global yang dipimpin oleh Spanyol dengan menguasai suku Aztek, Inca dan Maya; lebih modern lagi muncullah Pax Neerlandica (Belanda) sebagai imperium global modern dengan VOC yang dipergunakan untuk menguasai perdagangan Nusantara, selain itu juga terdapat Pax Britannica dan Pax Americana yang kesemuanya merupakan bentuk-bentuk imperium global modern.

(17)

Foto: http://tinyurl.com/cwo8pdr

dengan simbol globalisasi, berbagai bentuk imperium maupun kerja sama yang dikemas dalam bentuk ‘Pax’ sebagaimana diurai di atas telah surut, luruh bahkan hilang dan tergantikan oleh bentuk-bentuk kerja sama perdagangan yang lebih bermartabat dengan memberikan peluang kebebasan dan keuntungan bagi berbagai pihak yang tergabung di dalamnya. Berbagai negara mulai sadar bahwa globalisasi menjadikan peran sebagai negara yang tidak bisa berdiri sendiri, namun memerlukan saling ketergantungan, di mana globalisasi telah menjadi mainstream bagi perekonomian global yang memerlukan adanya proses perdagangaan dunia bermartabat, yang mampu mendorong terciptanya efisiensi melalui spesialisasi produk, pengurangan berbagai hambatan perdagangan baik itu yang berupa tarif yang tinggi (tariff barrier) maupun yang bukan tarif (non-tariff barrier) dengan tujuan menurunkan biaya-biaya dan meningkatkan rantai supply.

Perdagangan bebas (free trade) yang merupakan landscape perekonomian global telah mendorong terbukanya pasar nasional menjadi pasar regional menuju terwujudnya pasar global. Kondisi ini akan memengaruhi berbagai kepentingan nasional, sehingga perkembangan ekonomi global perlu

dicermati secara saksama. Bentuk kerja sama free trade agreement di era globalisasi, baik bilateral maupun multilateral, dimaksudkan untuk lebih meningkatkan perekonomian bangsa dan negara dalam rangka

menyejahterakan rakyatnya.

Pada tataran regional Asia, bentuk kerja sama dominan diwarnai oleh keberadaan ASEAN dengan konsepsi tiga pilar pertumbuhan kerja sama, yaitu ASEAN

Political-Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. Pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dengan program

ASEAN Economic Community blue print 2015 mencanangkan program perwujudan ASEAN sebagai pasar tunggal dan menjadikan kawasan ASEAN lebih menarik bagi

penanaman modal asing dengan didukung oleh aliran barang dan jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terdidik yang lebih bebas. Hal ini membuka peluang bagi peningkatan

volume perdagangan antarnegara-negara anggota ASEAN maupun dengan negara lain sebagaimana dengan diberlakukannya ACFTA yang diharapkan mampu memperluas pasar industri guna menumbuhkembangkan kesejahteraan masyarakatnya. Selain ACFTA terdapat berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani, di antaranya adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Australia, New Zealand Free

Trade Agreement dan ASEAN-South Korea

Free Trade Agreement.

Secara umum, Indonesia seharusnya mampu menjadi driving force bagi negara-negara ASEAN dan the next power di Asia. Realitasnya Indonesia merupakan negara yang terluas di kawasan dengan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk 237,5 juta jiwa terbesar ke-4 di dunia. Selain itu Indonesia memiliki PDB 510,8 juta dolar AS. Terkait dengan kondisi perekonomian, kondisi ekonomi makro Indonesia telah mulai membaik yang ditandai dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional, menurunnya laju inflasi, dan peningkatan sektor industri pengolahan

Secara umum, Indonesia seharusnya

mampu menjadi driving force bagi

negara-negara ASEAN dan the next

power di Asia. Realitasnya Indonesia

merupakan negara yang terluas di

kawasan dengan kekayaan alam yang

melimpah dan jumlah penduduk

237,5 juta jiwa terbesar ke-4 di

dunia. Selain itu Indonesia memiliki

PDB 510,8 juta dolar AS. Terkait

dengan kondisi perekonomian,

kondisi ekonomi makro Indonesia

telah mulai membaik yang ditandai

dengan semakin meningkatnya

laju pertumbuhan ekonomi

nasional, menurunnya laju inflasi,

dan peningkatan sektor industri

pengolahan nonmigas, dengan

(18)

nonmigas, dengan kontribusi antara 25-29%. Namun demikian guna mewujudkan Indonesia sebagai the next power Asia tersebut, berbagai kondisi masih perlu perbaikan secara komprehensif baik dalam bidang penataan struktur industri nasional, penataan bidang tata laksana pemerintahan, penegakan hukum maupun penataan

pengelolaan sumber daya secara nasional yang harus tetap memperhatikan esensi yang terkandung pada pasal 33 UUD 1945 di mana pengelolaan sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola negara demi kemakmuran rakyat.

Mencermati pertumbuhan industri sebagaimana terurai pada bab di atas, dan dengan melihat berbagai dinamika perkembangan yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif stagnan dan belum terjadi perubahan peningkatan yang drastis khususnya apabila dilihat dari dimensi sektoral, pengeluaran dan spasial. Walaupun dari sisi lain pertumbuhan ekspor Indonesia cukup tinggi terutama pada cabang industri besi baja-mesin dan otomotif, pengolahan kelapa sawit dan pengolahan karet (pertumbuhan industri pengolahan nonmigas masih menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi antara sekitar 25% hingga 29%, dan pulau Jawa masih menjadi penyumbang terbesar PDB Indonesia). Pulau Jawa masih menjadi center bagi pertumbuhan infrastruktur dan industri, padahal di sisi lain pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat persebaran penduduknya.

Impor bahan baku industri masih relatif tinggi, yaitu sekitar 76,05% terhadap nilai ekspor nasional. Padahal kalau ditelusuri barang yang diimpor tersebut berasal dari bahan alam yang banyak terdapat di Indonesia. Sampai sejauh ini, kemandirian industri dalam negeri dengan pengolahan bahan mentah sampai menjadi bahan jadi di negeri sendiri masih jauh dari harapan. Bahkan pada sektor industri logam Aluminium (AL), Ferro Nikel (Fe-Ni) dan Tembaga (Cu) yang notabene sebagian besar masih merupakan industri asing sehingga seluruh produknya diperuntukkan bagi negara asing tersebut. Walaupun telah ada kebijakan

pemerintah untuk menumbuhkan industri pengkayaan mineral (Mineral Enrichment

Industry) sehingga dapat diproses dengan

mudah untuk menyuplai industri hilirnya. Hal ini menandakan sangat diperlukannya upaya untuk meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam negeri dalam mengolah sumber daya alam Indonesia sedemikian rupa sehingga ketergantungan pada impor bisa dikurangi. Kalau disimak maka terlihat dengan jelas bahwa struktur industri nasional tidak bertumpu pada fondasi yang kuat bahkan terkesan melayang-layang. Hal ini sangat penting karena ketergantungan yang sangat kuat tehadap impor akan sangat berbahaya dan merapuhkan pilar pembangunan ekonomi negara.

Fenomena pola mengirimkan produk ke negara lain untuk ‘dilabelisasi’, diberi merek dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang jauh lebih tinggi, sampai sejauh ini belum dapat diminimalisasi secara signifikan oleh pemerintah. Bahkan fenomena penggerusan sumber daya alam untuk dijual ke negara asing seperti penjualan pasir dan berbagai sumber daya bumi sampai sejauh ini juga masih tinggi. Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah (Otda) seakan telah bias dari yang seharusnya dan telah memunculkan aspek primordialisme yang makin kentara, di mana daerah seakan berlomba untuk meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Terutama untuk daerah yang sangat membutuhkan “cash money” di mana mereka akan sangat mudah menjual bahan tambang mentah dan dengan

mudahnya tanpa menghiraukan kepentingan nasional. Walaupun sebenarnya pemerintah telah mensosialisasikan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang pelarangan ekspor bahan mentah (mineral) tanpa diolah terlebih dahulu. Akibat kepentingan jangka pendek daerah tersebut, negara berada pada posisi sulit terutama dalam penyediaan bahan setengah jadi maupun jadi untuk kebutuhan industri hilirnya. Tentu saja hal ini makin terasa sulit manakala ada faktor lain misalnya aspek politik ikut berpenetrasi dalam masalah pelaksanaan otonomi daerah. Inilah yang juga diduga menyebabkan rendahnya, kurang dari 5% saja, daerah yang dianggap

(19)

melaksanakan otonomi daerah secara benar demi kepentingan masyarakat. Dalam menghadapi pasar global, hal ini tentunya akan sangat merugikan Indonesia.

Terkait dengan ACFTA, secara bilateral Indonesia mempunyai beberapa kepentingan kerja sama dengan China, yaitu selain sebagai mitra kerja sama bilateral juga merupakan pijakan Indonesia dalam memosisikan diri di kawasan Asia. Bagi China, Indonesia merupakan pangsa pasar besar di mana hampir sepertiga penduduk ASEAN berada di Indonesia. Menurut Menteri Lingkungan Singapura Mr. Lim Swee Say, perdagangan bilateral antara negara ASEAN dan China semakin meningkat, sebesar 15% per tahun, yaitu sebesar US$7,1 miliar di tahun 1990 menjadi hampir US$29,6% miliar pada tahun 2000. Investasi modal dan

cross regional antara ASEAN dan China juga

meningkat seiring FDI ASEAN di China yang tumbuh sebesar 57% setiap tahun antara 1990-2000. Sebaliknya, investasi China di wilayah tersebut juga meningkat (50% FDI ke wilayah Asia Timur, 20% ke ASEAN). Keterbukaan pasar China juga memungkinkan bagi ASEAN termasuk Indonesia untuk

memasarkan produknya. Namun demikian, agar dapat saling melengkapi dengan China, Indonesia harus semakin cepat dalam menata diri dan menciptakan stabilitas politik serta melakukan rekstrukturisasi perekonomian.

Persepsi peta kerja sama ekonomi Indonesia dan China dapat dilihat melalui analisis SWOT (Strength, Weakness,

Opportunity and Threat) sebagai berikut:

Sumber: Naskah Kajian ‘Peningkatan Ekonomi Melalui Iklim Investasi yang Kondusif guna Memperkokoh Ketahanan Nasional’, 2007.

(20)

Sumber: Naskah Kajian ‘Peningkatan Ekonomi Melalui Iklim Investasi yang Kondusif guna Memperkokoh Ketahanan Nasional’, 2007.

ANALISIS ASPEK ASTAGATRA

a. Demografi

Jumlah penduduk merupakan faktor yang penting bagi tumbuh kembangnya sektor perdagangan, sehingga kerja sama ACFTA apabila didukung dengan daya saing yang sama akan sangat

menguntungkan. Namun demikian permasalahan yang sampai saat ini muncul adalah adanya pangsa pasar yang relatif sama antara Indonesia dan China, di samping daya saing Indonesia yang harus diakui masih jauh di bawah China.

Persebaran penduduk dan industri yang kurang merata, khususnya di daerah perbatasan berakibat pada sulitnya penanganan tindak transnational crime (penyelundupan, trafficking, dll.). Selain itu persebaran tersebut juga berdampak pada pertumbuhan pembangunan dan perekonomian yang tidak seimbang, sehingga banyak potensi lokal yang tidak dapat tergali. Padahal banyak potensi-potensi lokal yang sebenarnya dapat lebih berdaya saing dalam pelaksanaan ACFTA.

Permasalahan daya saing ini, jika direnungkan secara mendalam berkait erat dengan keberadaan etnis China di Indonesia yang jumlahnya begitu banyak dengan tingkat perekonomian yang relatif lebih mapan dari pribumi, bahkan banyak masyarakat pribumi yang menjadi pekerja unskilled mereka.

Kecenderungan semakin mahalnya pendidikan, khususnya di perguruan tinggi, yang tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat akan semakin memperlebar jurang daya saing. Perlu diingat bahwa pendidikan tinggi merupakan tonggak pembentukan pola pikir, pembentukan analisis dan pembuka mindset yang lebih luas, sehingga jika masyarakat pribumi tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi yang lebih luas, maka yang menjadi pertanyaan adalah ke arah manakah keberlangsungan kehidupan rakyat Indonesia ke depan? Apakah akan menjadi pemain atau menjadi penonton bahkan menjadi kuli di negeri sendiri (Soekarno, 1945). Namun demikian dengan adanya etnis China di Indonesia tersebut secara psikologis juga berdampak pada hubungan kerja sama Indonesia dan China.

b. Geografi

(21)

sangat strategis untuk kegiatan perdagangan dan sangat bagus untuk pengembangan sektor pertanian. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi Indonesia, di mana masyarakat dunia saat ini dan ke depan dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Namun demikian, teknologi pertanian yang ada saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan China, sehingga terjadilah fenomena impor besar-besaran terhadap produk China khususnya hasil pertanian berupa buah-buahan. Selain teknologi pertanian yang minim, tata niaga dan infrastruktur merupakan salah satu penyebab mengapa hal itu terjadi.

Tata ruang nasional yang komprehensif dan sistemis menjadi harapan berbagai pihak. Dengan adanya tata ruang nasional yang jelas, berbagai investasi asing akan lebih tertib dan lebih termanfaatkan oleh rakyat. Perjanjian ACFTA semakin membuka peluang investasi bagi China ke Indonesia. Hal ini di satu sisi merupakan keuntungan bagi Indonesia di mana akan terjadi peningkatan industri dan penyerapan tenaga kerja, namun di sisi lain dalam jangka panjang investasi tersebut sering kali merugikan bahkan merusak ekologi lingkungan hidup. Sampai sejauh ini, investasi asing ke Indonesia belum secara komprehensif mempertimbangkan aspek strategis geografis secara menyeluruh. Sehingga banyak investasi yang tertanam

di pulau Jawa dan mengabaikan wilayah lain, khususnya wilayah Indonesia bagian Timur. Dampaknya terjadi kesenjangan kesejahteraan dan terjadi urbanisasi yang besar ke pulau Jawa. Secara geostrategi, letak geografis Indonesia meliputi wilayah perairan luas, yang sebenarnya dapat dipakai sebagai daya tawar dalam melakukan berbagai negosiasi termasuk dengan China. Aspek geografis ini juga dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan daya ungkit bagi lebih berdaya saingnya Indonesia dalam ACFTA.

Tata ruang nasional berkait erat dengan aspek grografis khususnya infrastruktur, yang sebenarnya berbanding lurus dengan daya saing produk. Menelisik pada penelitian dari LPEM-JBIC (2005), biaya logistik di Indonesia adalah sekitar 14%, sementara di Jepang 4%. Indonesia menempati urutan ke-75 di bawah China, India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam bahkan Filipina (Bank Dunia, 2010). Biaya transportasi di Indonesia 50% lebih mahal dibanding rata-rata di Asia, dan bahkan 80% lebih mahal bila melalui alur laut/ kepulauan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa penataan pembangunan pada aspek geografis khususnya pada daerah-daerah yang berposisi strategis termasuk daerah perbatasan sangat diperlukan untuk memperkuat daya saing dengan China. Dengan semakin tertatanya berbagai infrastruktur tersebut akan berpengaruh pada daya saing produk, baik dari segi harga maupun daya tahan produk, khususnya produk pertanian. c. Sumber Kekayaan Alam

Indonesia memiliki berbagai sumber kekayaan alam yang melimpah dan belum sepenuhnya terolah. Hal itu antara lain dikarenakan minimnya teknologi dan sumber daya yang ada. Minimnya teknologi tersebut juga menjadi penyebab terjadinya eksploitasi kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing. Dengan adanya kerja sama bilateral khususnya dengan China akan terjadi simbiose mutualisme

Terkait dengan ACFTA, secara

bilateral Indonesia mempunyai

beberapa kepentingan kerja sama

dengan China, yaitu selain sebagai

mitra kerja sama bilateral juga

merupakan pijakan Indonesia dalam

memosisikan diri di kawasan Asia.

Bagi China, Indonesia merupakan

pangsa pasar besar di mana hampir

sepertiga penduduk ASEAN berada di

(22)

yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk alih teknologi di masa datang.

Permasalahan pengelolaan kekayaan alam Indonesia sampai sejauh ini masih mengemuka dan didominasi oleh pihak asing, bahkan kekayaan yang berlimpah tersebut sering kali hanya mampu diolah di dalam negeri sampai menjadi bahan mentah. Sebagai contoh

bahwa Indonesia merupakan penghasil cokelat ke-3 terbesar dunia, namun 87% dijual mentah dan itu pun mutunya turun terus. Indonesia juga merupakan panghasil CPO terbesar dunia di mana 4% di antaranya diproses di dalam negeri dan sisanya di jual mentah. Di samping itu Indonesia adalah juga penghasil timah ke-2 terbesar dunia.

Kondisi yang perlu dibenahi secara saksama adalah Indonesia sebagai penghasil mineral tertinggi ke-5 di dunia (di bawah Rusia, Western Australia, Chile dan Nevada), namun pada implementasinya Indonesia memiliki policy mineral ke-empat terendah dari bawah dengan cluster mining report nomor 5 di bawah Zimbabwe.

Terkait dengan otonomi daerah, berbagai daerah memiliki beragam

sumber kekayaan alam yang terkadang di bawah kepemimpinan tertentu kekayaan alam tersebut dieksploitasi untuk kepentingan sesaat dan tanpa memperhatikan dampak jangka panjang. Perselisihan pembagian hasil antara daerah dan pusat sering kali masih menjadi persoalan yang mengemuka. Harus disadari bahwa sumber kekayaan alam memiliki keterbatasan deposit dan tidak dapat diperbaharui dalam jangka waktu pendek, sehingga

berbagai eksploitasi tersebut hendaknya tetap harus berlandaskan pada aspek sustainable development.

d. Ideologi

Fenomena perkembangan abad ke-20 yang diidentikkan dengan globalisasi menurut Appadurai (1996) dalam makalahnya yang berjudul

‘modernity at large: cultural dimensions

of globalization’ digambarkan dengan

semakin tumbuhnya daya ungkit

globalisasi yang mencakup ethnoscapes,

mediascapes, technoscapes, finanscapes and ideoscapes. Ethnoscapes merupakan

aktor-aktor pelaku yang berperan besar dalam pergeseran dunia. Technoscapes merupakan konfigurasi global yang melibatkan aspek teknologi, informasi, transportasi dan teknologi lain yang

borderless. Finance scapes melibatkan

keuangan global yang melampaui batas-batas transnasional. Mediascapes berkaitan dengan media yang mampu menyebarkan berbagai informasi dan

ideoscapes sebagai proses globalisasi

yang melibatkan aspek ideologi dan strategi kekuasaan dan penguasaan.

Ideologi merupakan suatu

kepercayaan yang dimaknai dan dihayati oleh sebagian masyarakat sebagai suatu falsafah hidup dan way of life. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, aspek ideologi merupakan aspek yang sangat urgen dan bersifat

intangible yang secara perlahan mampu

menggeser berbagai aspek dan nilai kebangsaan. Para founding fathers negeri ini secara komprehensif telah memahami benar akan berbagai ancaman ideologi

Sampai sejauh ini, investasi

asing ke Indonesia belum secara

komprehensif mempertimbangkan

aspek strategis geografis secara

menyeluruh. Sehingga banyak

investasi yang tertanam di pulau

Jawa dan mengabaikan wilayah

lain, khususnya wilayah Indonesia

bagian Timur. Dampaknya terjadi

kesenjangan kesejahteraan dan

terjadi urbanisasi yang besar ke

(23)

tersebut, dan guna mengantisipasinya ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi yang menjadi pilar utama rakyat Indonesia dalam bertindak. Sila dalam Pancasila telah mendeskripsikan berbagai hal yang mendasari terjadinya suatu permasalahan dalam suatu negara yang diawali dengan keagamaan, kemanusiaan (HAM), perlunya persatuan dan nondisintegrasi ataupun permasalahan keadilan yang menjadi persoalan terjadinya konflik.

Ideologi Pancasila saat ini diperhadapkan pada keberadaan ideologi radikalisme global seperti marxisme leninisme/komunisme yang telah mengalami pasang surut dengan runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia. Selain dimaknai secara hakiki oleh suatu negara, ideologi juga tumbuh dengan pesat di berbagai kelompok sebagai dampak dari termarginalkannya kelompok tersebut, sebagaimana meningkatnya ideologi radikalisme bermotifkan agama yang muncul pasca serangan terhadap World Trade Center di New York tanggal 11 September 2001 dan berbagai tindakan radikal yang terjadi di Indonesia seperti aksi terorisme dalam pengeboman Bali, Marriot dan lain sebagainya Perbedaan ideologi antara Indonesia yang berbasis kepada Pancasila, dan China yang berideologikan komunisme bisa menjadi penghambat dalam hubungan Indonesia dengan China. Liberalisasi dan keterbukaan China memiliki keunikan tersendiri karena walapun China telah liberal, China tetap mempertahankan ideologi komunisnya. Sehingga walaupun kerja sama telah terjalin dalam berbagai bidang, namun Indonesia tetap harus selalu mewaspadai implikasi kerja sama tersebut agar jangan sampai keluar dari koridor ideologi negara, yaitu Pancasila. Pemberontakan PKI yang pernah terjadi merupakan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, sehingga apapun bentuk kerja sama dengan China, penyebaran paham komunis dengan beragam kemasan harus diantisipasi sejak dini.

e. Politik

Politik luar negeri Indonesia bebas aktif tetap ditujukan untuk menjaga keutuhan wilayah nasional, persatuan bangsa serta stabilitas nasional dalam menghadapi permasalahan dalam negeri. Perkembangan perpolitikan nasional menjadi modal dasar dalam pembangunan citra Indonesia di dunia internasional. Permasalahan penegakan dan kepastian hukum, pembangunan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa, pemajuan dan perlindungan HAM serta penanganan berbagai isu yang mengarah pada disintegrasi bangsa sangat berpengaruh pada kepercayaan

dunia luar termasuk China terhadap Indonesia. Sebagai contoh memanasnya politik dalam negeri yang berdampak pada peristiwa terjadinya penindasan terhadap warga nonpribumi pada tahun 1997 berdampak pada hubungan antara Indonesia dengan China yang agak terganggu. Begitu pula ketika politik internasional menekan China karena ekspansi China dituduh telah mengganggu stabilitas pasar di dunia, maka hubungan Indonesia dan China pun

Indonesia memiliki berbagai sumber

kekayaan alam yang melimpah dan

belum sepenuhnya terolah. Hal itu

antara lain dikarenakan minimnya

teknologi dan sumber daya yang

ada. Minimnya teknologi tersebut

juga menjadi penyebab terjadinya

eksploitasi kekayaan alam Indonesia

oleh pihak asing. Dengan adanya

kerja sama bilateral khususnya

dengan China akan terjadi simbiose

mutualisme yang menguntungkan

bagi kedua belah pihak. Hal ini

dapat dimanfaatkan oleh Indonesia

untuk alih teknologi di masa datang.

(24)

agak terganggu. f. Ekonomi

Kondisi ekonomi dalam negeri yang belum sepenuhnya pulih dari krisis bisa menjadi masalah dalam peningkatan kerja sama hubungan antara Indonesia dengan China. Produsen domestik yang lemah akan terkena dampak besar dari masuknya produk-produk China dalam jumlah besar dengan harga yang murah. Dengan kondisi perekonomian kita yang

high cost economy, mayoritas produsen

domestik akan kalah bersaing. Dalam bidang perdagangan Indonesia akan mengalami kesulitan untuk mencegah masuknya produk-produk impor dari China. Karena harus diakui bahwa harga produk-produk China jauh lebih murah dibanding harga produk sejenis yang diproduksi di Indonesia. Di satu sisi hal tersebut tentunya menguntungkan bagi

konsumen Indonesia, tetapi di sisi lain merugikan produsen dalam negeri yang memproduksi barang serupa. Cukup sulit bagi produsen dalam negeri untuk menyaingi barang impor dari China

tersebut, apalagi jika biaya produk terus menerus meningkat, entah karena meningkatnya harga bahan bakar, biaya transportasi, biaya transaksi yang timbul karena ada hambatan birokrasi, atau karena semakin tingginya tingkat upah buruh di Indonesia. Untuk itu, produsen dalam negeri tidak harus memaksakan diri bersaing dengan produk luar tersebut, tetapi akan lebih baik jika memilih untuk melakukan diferensiasi produk dengan menajamkan sasaran pasar pada target konsumen tertentu, yang berbeda dengan konsumen yang sudah loyal dengan produk China. Bahkan bisa juga dengan memproduksi produk lain yang tidak digarap oleh produsen China, misalnya produk-produk olahan dari sektor primer seperti gas alam dan olahannya, minyak dan lemak nabati, karet mentah, sintesis dan pugaran. Produk tersebut justru dapat diekspor ke China, di mana permintaan China untuk produk-produk tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu. Besarnya populasi penduduk China berarti pasar yang sangat luas bagi produk Indonesia asalkan mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan selera masyarakat China.

Referensi

Dokumen terkait

Dari data tabel diatas untuk siklus I observasi yang dilakukan oleh observer dapat disimpulkan bahwa pada pertemuan I pembelajaran menggunakan metode NHT (Numbered

IPS peserta didik melalui penerapan metode pembelajaran Crossword Puzzle di kelas Kelas XII SMK Nurul Huda Sukaraja. Penelitian ini adalah bentuk penelitian tindakan kelas

Website adalah kumpulan dari beberapa halaman web dimana informasi dalam bentuk teks, gambar, suara, dan lain-lain dipersentasikan dalam bentuk hypertext dan dapat

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan pada tim sepakbola Putera TANTA FC Tanjung, ternyata seorang manajer atau pelatih masih merasa kesulitan dalam menentukan

Ketebalan epoxy Sikadur ® 31 CF Normal untuk perekat tulangan juga belum ada aturannya, sehingga perlu dilakukan pengujian untuk mendapatkan ketebalan yang optimal,

P1/L : Peserta SKD yang memenuhi Nilai Ambang Batas sesuai Permenpan&RB Nomor 37 Tahun 2018 dan berhak mengikuti SKB P2/L : Peserta SKD yang memenuhi ketentuan peringkat

Definisi kepatuhan dalam (Pusat Bahasa, 2008) adalah menuruti atau mengikuti atau mentaati, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai badan yang

Telah melakukan penelitian dengan menyebar kuesioner dalam rangka penyusuan skripsi tingkat Sarjana (S1) di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang pada