• Tidak ada hasil yang ditemukan

EXECUTIVE SUMMARY. Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EXECUTIVE SUMMARY. Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

EXECUTIVE SUMMARY Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah Oleh: Yuni Sudarwati, S.I.P., M.Si. Achmad Wirabrata, S.T., M.M. T. Ade Surya, S.T., M.M. Hariyadi, S.I.P., M.PP. PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2017

(2)

A. Pendahuluan

Permasalahan pengelolaan SDA menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang akan datang. Hal ini karena SDA tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Sehingga ketika terjadi permasalahan dalam pengelolaannya secara otomatis kerugian akan dirasakan oleh manusia baik kerugian secara material maupun nonmaterial. Salah satunya adalah kerusakan SDA yang terjadi terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Kerusakan SDA dan lingkungan hidup yang dapat dilihat meliputi antara lain: kerusakan hutan, daerah aliran sungai (watershed), kehilangan keragaman biologi (biodiversity), erosi tanah/lahan yang berlebihan, kerusakan lahan yang dicirikan oleh meluasnya padang alang‐alang, kelebihan tangkapan ikan (over fishing), dan pencemaran udara yang di antaranya dapat berdimensi lokal, regional, maupun global.

Idealnya, kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia dapat membuat masyarakat Indonesia sejahtera. Namun, meski banyak sekali SDA yang dikelola tetapi masyarakat Indonesia masih banyak yang kurang sejahtera dan tidak menikmati hasil kelola SDA. Indonesia seakan mengalami kutukan SDA. Berlimpahnya SDA yang dimiliki malah membuat masyarakatnya hidup dengan kemiskinan dan kurang sejahtera. Hal ini terjadi karena dengan kekayaan SDA yang dimiliki, cenderung membuat sebuah bangsa menjadi miskin, tidak produktif, cenderung malas, dan memerosotkan industri manufaktur, industri pertanian, dan pada akhirnya menurunkan ekspor pertanian.

Ada dua hal yang membuat negara berkembang yang memiiki kekayaan SDA mengalami kutukan yaitu pertama, pemerintah dari negara dengan SDA berlimpah biasanya terlambat dalam memulai industrialisasi. Kedua, pemerintah cenderung mengeluarkan kebijakan yang buruk (bad policies). Kedua hal ini yang membuat

(3)

kekayaan SDA yang dimiliki justru menjadi kutukan bagi negara‐negara dengan ekonomi berbasis SDA.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan mengenai pengelolaan SDA yang ditengarai masih belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Berdasarkan permasalahan tersebut disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(1) Bagaimanakah kebijakan dalam pengelolaan SDA selama ini?

(2) Bagaimana dampak pengelolaan SDA bagi kesejahteraan dan pembangunan daerah?

(3) Hal‐hal apa saja yang perlu dilakukan pemerintah sebagai alternatif kebijakan dalam rangka optimalisasi pengelolaan SDA?

B. Metodologi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data baik data primer maupun sekunder dilakukan dengan studi pustaka, diskusi, dan wawancara. Analisis dilakukan terhadap data yang telah terkumpul. Analisis bertujuan untuk menyajikan, mendeskripsikan, menguraikan, menjelaskan, dan menjabarkan secara jelas dan sistematis data yang telah diperoleh di lapangan. Terakhir, diambil kesimpulan dan rekomendasi yang disusun dalam laporan.

Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu daerah penelitian dengan pertimbangan bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain belum maksimalnya pemanfaatan SDA, di luar pengawasan pemerintah sering terjadi pemanfaatan SDA secara ilegal dan bertentangan dengan undang‐undang yang berlaku, seperti alih fungsi lahan dan illegal minning. Akibatnya kerugian negara dari sektor SDA ini masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, menjadi menarik untuk mengetahui bagaimana pemerintah setempat mengambil kebijakan dalam pengelolaan SDA terutama dengan besar kemungkinan terjadinya persinggungan dalam pengelolaan masing‐masing SDA tersebut, berikut dengan pencemaran, dan kerusakan lingkungan yang terjadi.

(4)

Sementara itu, penentuan lokasi Kabupaten Banyumas terkait dengan menguatnya isu pengelolaan SDA dan potensi SDA yang dimiliki relatif besar.

Namun masih banyak permasalahan terkait pengelolaan SDA yang dihadapi antara tahun 2013 ‐2018 antara lain dalam bidang pertambangan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan kewenangan baru yang diatur dalam PP. 38 Tahun 2007, kesulitan memperoleh data laporan produksi karena kurangnya kesadaran pemrakarsa kegiatan dalam melaporkan kegiatan usaha pertambangan, kurangnya kepahaman pemrakarsa kegiatan pertambangan terhadap regulasi di bidang pertambangan, kurangnya kesadaran pemrakarsa kegiatan pertambangan dalam memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, banyaknya kegiatan penambangan tanpa izin (PETI); dan kurangnya peraturan daerah yang dapat melindungi sumber daya alam serta investasi sektor pertambangan, seperti reklamasi dan pengusaha pertambangan agar lebih mengupayakan pola pengembangan/pengusahaan pertambangan dan konservasi terhadap biaya rehabilitasi (rehabilitation cost) serta pendapatan asli daerah (PAD) atau nilai tambah (added value) yang dihasilkan.

Proses penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, yaitu dimulai Februari 2017 sampai November 2017. Pada tahap penyusunan proposal didahului dengan pencarian data dan informasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Focus Group Discussion dilaksanakan pada Rabu, Jumat 19 Mei 2017 dengan orang narasumber Dr. Marwan Batubara (IRESS) dan Dr. Ir. Dodik R Nurrochmat (IPB). Penelitian pertama di Provinsi Jawa Barat dilakukan pada 24 s.d 30 Juli 2017. Adapun penelitian kedua yaitu Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah dilakukan pada 2 s.d 8 Oktober 2017.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1) Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam merupakan landasan peraturan perundang‐undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam mengamanatkan untuk melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundangan yang berhubungan dengan agraria

(5)

dan pengelolaan sumber daya alam agar sepenuhnya dikelola demi kemakmuran rakyat. Keberadaan TAP MPR ini menjadi panduan untuk merumuskan dan kembali mensinkronisasikan berbagai peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan pengelolaan sumber daya alam kita. Sinkronisasi perlu dilakukan mengingat berbagai peraturan perundang‐undangan sektoral yang dikeluarkan cenderung berjalan sendiri‐sendiri, menciptakan sistem hukum sendiri‐sendiri, bahkan yang lebih parah adalah membuat benturan diantara sektor sehingga merugikan kepentingan negara secara luas. Peraturan perundang‐ undangan yang terpisah dan cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan lain, kepentingan keberlanjutan dan konservasi misalnya, menyulitkan pengaturan dalam pengelolaan SDA selanjutnya baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Di Provinsi Jawa Barat, dalam bidang pertambangan, pengelolaan pertambangan dilakukan berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebelum UU No 24 tahun 2014 terbit, pengelolaan pertambangan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Setelah kewenangan perijinan pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan berada di pemerintah provinsi, maka Pemprov Jabar melaksanakan kewenangan tersebut dengan berdasarkan aturan perundang‐ undangan yang berlaku dan dengan melibatkan seluruh sektor yang berhubungan dengan pertambangan.

Pada sektor kehutanan, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menjadi rujukan bagi pengaturan pengelolaan kawasan lindung di kabupaten/kota. Terkait sumber daya air, Perda Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air menjadi pedoman daerah dalam melakukan pengelolaan sumber daya air yang dimaksudkan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya air secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup serta berkelanjutan, untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan berdasarkan Perda Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah

(6)

Aliran Sungai yang menyatakan bahwa pengelolaan DAS dimaksudkan untuk menjamin kelestarian fungsi DAS sebagai sumber utama kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya secara serasi, seimbang, dan berkesinambungan melalui perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan

Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka dibentuklah Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penataan Hukum Lingkungan yang dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan, pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan pedoman bagi Kabupaten/Kota dalam penetapan Peraturan Daerah dan/atau kebijakan bidang lingkungan hidup

Sektor pertambangan mineral dan batubara pada awalnya diatur berdasarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Kabupaten Banyumas. Akan tetapi dengan berlakunya Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sub urusan mineral dan batubara telah diubah tidak lagi menjadi kewenangan Kabupaten/kota. Pencabutan kewenangan ini didasarkan pada Perda Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Kabupaten Banyumas.

Terkait pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk mempertegas bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Hasil KLHS menjadi dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Sementara dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik, Perda Kabupaten Banyumas Nomor 11 Tahun 2011 tentang Ketenagalistrikan menjadi pedomannya.

(7)

Permasalahan air tanah di Kabupaten Banyumas diatur melalui Perda Kabupaten Banyumas Nomor 22 Tahun 2011 tentang Air Tanah. Perda ini bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan pemberian izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pemakaian air tanah dan pengusahaan air tanah di Daerah.

2) Implementasi Kebijakan

Permasalahan pengelolaan sumber daya alam menjadi semakin kompleks karena dalam pelaksanaannya sering terjadi benturan antar sektor. Sebagai contoh di sektor kehutanan, adanya tumpang tindih kawasan peruntukan. Beberapa perusahaan tambang mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan karena terdapat perubahan peruntukan di kawasan hutan, seperti perusahaan tambang yang sesuai peraturan terbaru tiba‐tiba berada di kawasan hutan dari sebelumnya yang bukan kawasan hutan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan SDA di wilayah Jabar, pemprov melakukan koordinasi baik dengan pemerintah pusat, kalangan industri, maupun pemangku kepentingan lainnya. Koordinasi dengan pemerintah pusat selama ini dilakukan dalam rangka pengawasan baik kegiatan maupun perijinan pertambangan. Koordinasi dengan kalangan industri dilakukan dalam rangka penerbitan ijin pertambangan, pemerintah provinsi juga melakukan koordinasi dalam rangka pembinaan pelaksanaan penambangan yang sesuai dengan kaidah good mining pratice. Sementara koordinasi dengan pemangku kepentingan lainnya dilakukan dengan selalu melibatkan sektor lain selain di luar bidang ESDM melalui rapat tim teknis perijinan pertambangan maupun juga melalui forum BKPRD Provinsi.

Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemprov Jabar dalam pengelolaan SDA antara lain keterbatasan anggaran;kerangka hukum yang kurang mendukung/overlap; lemahnya sinergi/koordinasi antar‐pemangku kepentingan karena masih adanya ego sektoral; tidak lengkapnya data pengelolaan pertambangan yang diserahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagai pengelola pertambangan sebelumnya sebagai konsekuensi UU 23/2014; kurangnya pengetahuan masyarakat dan juga pengusaha pertambangan terhadap

(8)

prosedur perijinan yang benar dan juga terhadap pengelolaan pertambangan yang baik; keterbatasan kapasitas SDM; lemahnya kemauan politik daerah; lambatnya proses konsolidasi/implementasi UU 23/2014; dan kebijakan tata ruang yang belum sesuai.

Di Kabupaten Banyumas masih banyak terjadi Penambangan Tanpa Ijin (PETI) atau penambangan liar yang berpotensi merusak lingkungan. Jika sebelumnya permasalahan pertambangan rakyat yang termasuk PETI diatur berdasarkan Pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 12 Tahun 20110 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Kabupaten Banyumas, namun hingga penelitian ini dilaksanakan belum ada peraturan khusus yang mengaturnya. Kekosongan ini menyulitkan dalam penanganan permasalahan penambangan rakyat, sebagai contoh penambangan emas. Pengolahan emas pada pertambangan emas rakyat dilakukan belum sesuai dengan persyaratan persyaratan teknis pengolahan emas yang benar, pengolahan emas hanya dilakukan sesuai dengan perkembangan pengalaman lapangan penambang. Terkait emas, upaya yang telah dilakukan dalam rangka mengurangi potensi dampak adalah dengan melakukan pengujian sumber, media, biomarker, dan status kesehatan misalnya seperti risiko tremor dan lain‐lain.

Pembangunan PLTP Baturaden dilaksanakan oleh PT Sejahtera Alam Energi (SAE), hal ini mengingat bahwa proyek ini merupakan pembangkit dari sumber energi baru dan terbarukan, membutuhkan pendanaan yang sangat besar, dan risiko konstruksi yang cukup besar. (Pasal 11 Perpres Nomor 4 Tahun 2016). Namun ternyata dalam pelaksanaan proyek mengalami sedikit hambatan dengan munculnya gejolak sosial di masyarakat terkait keruhnya air di beberapa sungai, sehingga proyek pernah diberhentikan sementara yang akan menghambat proses pembangunan PLTP Baturaden. Pemerintah Daerah seharusnya dapat mengambil diskresi dalam rangka penanganan dampak sosial yang timbul dalam pelaksanaan PIK sesuai Pasal 38 Perpres Nomor 4 Tahun 2016. 3) Dampak Implementasi Kebijakan

Secara legal formal, kebijakan pengelolaan SDA selama ini relatif komprehensif dari kebijakan yang berbentuk UU maupun sejumlah peraturan

(9)

turunan. Dari keseluruhan sektor SDA yang ada di kedua lokasi, dasar legal formal pengelolaannya dipastikan telah tersedia terutama dari sisi UU. Sejumlah peraturan turunan pun telah tersedia meskipun untuk sebagian sektor SDA belum sepenuhnya dipenuhi pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa dari sisi legal formal pengelolaan SDA telah relatif komprehensif.

Persoalan dari aspek ini muncul karena munculnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dengan implikasi adanya peralihan pengelolaan sejumlah sektor SDA yang penting seperti minerba, kehutanan dan lain‐lain. Sementara itu, sejumlah aturan turunan tidak hanya belum semua terpenuhi berdasarkan mandat UU ini tetapi juga masih belum samanya perspektif semua daerah dalam pengelolaan SDA. Akibatnya, kompleksitas pengelolaan SDA semakin besar khususnya bagi daerah.

Data menunjukkan bahwa dampak lain implementasi UU 23/2014 mencakup dampak pengelolaan SDA bagi kesejahteraan dan pembangunan daerah. Secara umum, beralihnya kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan SDA berakibat pada berkurangnya potensi pendapatan daerah. Akibatnya, situasi ini dapat berpotensi mengurangi kemampuan pembangunan daerah. Sejumlah narasumber menegaskan bahwa jika tidak ada kebijakan ‘kompensasi’, dampak pengurangan pembangunan daerah akan berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Dampak lainnya adalah lemahnya partisipasi daerah dalam pengawasan pengelolaan SDA.

3) Alternatif Kebijakan

Secara umum, dampak perubahan rezim pengelolaan SDA terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masih belum kuat. Persoalan masa konsolidasi pelaksanaan aturan turunan menjadikan dampak tersebut masih harus dilihat dalam jangka waktu yang lebih lama. Pertanyaanya kebijakan alternatif apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan SDA ke depan? Secara normatif, perpindahan rezim pengelolaanSDA dari kabupaten/kota ke provinsi dan pusat dilatarbelakangi oleh maraknya persoalandampak pengelolaan SDA selama ini. Dengan demikian, persoalan lebih pada bagaimana tata kelola

(10)

pemerintahan yang baik yang lebih mendesak dilakukan daripada mengganti kerangka kebijakan yang ada.

Hal ini mengimplikasikan sejumlah hal sebagai berikut. Pertama, perlunya sinergi pusat dan daerah. Untuk tujuan ini, penyatuan dan sinergi kepentingan harus diarahkan pada upaya mengoptimalkan pengelolaanSDA yang berkelanjutandan non‐egosektoral. Kedua, penguatan pengawasan dan penegakkan hukum. Untuk memperkuat upaya ini, skema kompensasi yang memadai bagi daerah akan memperkuat partisipasi daerah dalam proses pengawasan tersebut. Ketiga, perlunya penguatan fungsi kelembagaan khususnya kelembagaan pusat di daerah. Hal ini menegaskan pentingnya penguatan peran lembaga‐lembaga vertikal di daerah sehingga dapat secara langsung menjembatani kepentingan pusat dan kepentingan daerah.

Hal ini bukan berarti bahwa tidak diperlukan adanya penyempurnaan kerangka legal formal pengelolaan SDA. Agenda ini tetap perlu dilakukan dalam rangka penyempurnaan sehingga pengelolaan SDA ke depan akan semakin partisipatif, berkelanjutan dan memberikan dampak yang semakin kuat bagi upaya kesejahteraan rakyat.

D. Penutup

Pengelolaan SDA selama ini masih bersifat parsial dan cenderung ego‐ sektoral, baik antara pusat dan daerah maupun antar K/L. Kondisi ini diperlemah dengan keberadaan UU 23/2014, penarikan kewenangan pengelolaan SDA dari kabupaten/kota ke pusat dan provinsi. Akibatnya, partisipasi daerah dalam hal ini kabupaten/kota dalam pengawasan dan pengelolaan SDA secara umum akan lemah. Hal ini merefleksikan sebuah fenomena yang anomalistik daerah sebagai penghasil SDA tersebut. Penarikan kewenangan ini membuat panjang dan jauhnya proses perijinan, diperburuk lagi dengan kurangnya SDM yang menangani.

Dampak lain bahwa kebijakan pengelolaan SDA juga belum menganut asas‐ asas pengelolaan SDA sesuai dengan tata kelola yang baik. Akibatnya, pengelolaan SDA cenderung lebih didorong oleh pengejaran kepentingan ekonomis, jangka pendek dan bahkan, dalam batas tertentu, sangat politis.

(11)

Secara kuantitas, kebijakan pengelolaan SDA selama ini telah mencukupi. Hal ini berarti bahwa pengelolaan SDA telah relatif komprehensif. Persoalan muncul karena kehadiran UU No. 23 Tahun 2014 dengan implikasi adanya peralihan pengelolaan sejumlah sektor SDA yang penting seperti minerba, kehutanan dan lain‐lain. Sementara itu, sejumlah aturan turunan tidak hanya belum semua terpenuhi tetapi juga masih belum samanya perspektif semua daerah dalam pengelolaan SDA. Akibatnya, kompleksitas pengelolaan SDA semakin besar khususnya bagi daerah.

Secara umum, beralihnya kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan SDA berakibat pada berkurangnya potensi pendapatan daerah. Akibatnya, situasi ini dapat berpotensi mengurangi kemampuan pembangunan daerah. Tanpa dibarengi dengan kebijakan ‘kompensasi’ yang dampak pengurangan pembangunan daerah akan berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Dampak lainnya adalah lemahnya partisipasi daerah dalam pengawasan pengelolaan SDA. Terlepas dari penilaian ini, secara umum, dampak perubahan rezim pengelolaan SDA terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masih belum kuat. Persoalan masa konsolidasi pelaksanaan aturan turunan menjadikan dampak tersebut masih harus dilihat dalam jangka waktu yang lebih lama.

Peraturan perundang‐undangan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, dan mewujudkan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antarsektor. Oleh karena itu, laporan ini merekomendasikan dua keperluan penting berikut: (1) penyempurnaan kerangka hukum perlu lebih partisipatoris dan melibatkan para ahli yang tidak memihak sehingga paradigma pengelolaan SDA dapat lebih diarahkan bagi terciptanya keadilan ekologis, ekonomi, dan sosial; dan (2) pengembangan kapasitas kelembagaan di daerah yang mampu berkoordinasi secara lintas‐sektoral, berwenang mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem pemberian izin kegiatan dan beberapa aspek pengelolaan SDA secara umum.

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH IMPLEMENTASI APLIKASI QUIZIZZ TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMAN 32

Pada proses product detector, sinyal BPSK yang dihasilkan akan dikalikan lagi dengan sinyal sinus sehingga akan menghasilkan sinyal seperti pada gambar 4.7. 4.3 Modulator

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada variabel gaya hidup maka dapat diketahui berpengaruh terhadap minat beli pada Shopee di Kota Padang dengan nilai

Untuk uji khasiat ekstrak Kolesom, hasil pengamatan yang dilakukan meliputi bobot badan tikus putih; jumlah dan moti- litas spermatozoa tikus putih serta kadar

Ukuran kinerja dari Bundaran Adipura Nganjuk dapat diperkirakan untuk beberapa kondisi yang terkait dengan geometri, lingkungan dan lalu lintas dan juga beberapa

Dengan ungkapan lain, perlu ada upaya reformasi batas minimal usia perkawinan bagi perempuan; dari 16 tahun sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan

Peristiwa Sabai membunuh Rajo Nan Panjang, merupakan puncak klimaks dalam teks kaba, tetapi dalam naskah teater peristiwa tersebut tidak ditampilkan.. Klimaks

Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS FROZEN SHOULDER DEXTRA AKIBAT CAPSULITIS ADHESIVE DI RSUD KARANGANYAR” telah disetujui dan