• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lambang-lambang yang berarti dari seseorang kepada orang lain. Wilbur Schramm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. lambang-lambang yang berarti dari seseorang kepada orang lain. Wilbur Schramm"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai proses pengoperan lambang-lambang yang berarti dari seseorang kepada orang lain. Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari kata Latin communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9).

Sedangkan Carl Hovland mengemukakan bahwa komunikasi itu adalah suatu proses dimana seseorang memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain (Soenarjo, 1995:143).

Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5).

Devito menegaskan bahwa komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan, dalam suatu konteks, yang menimbulkan efek dan kesempatan arus balik. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen sebagai berikut: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses encoding, arus balik dan efek (Effendy, 1996:50).

(2)

II.1.2 Fungsi Komunikasi

Laswell (Effendy, 1993:27) mengemukakan fungsi komunikasi sebagai berikut:

a. Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment) maksudnya penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai-nilai dan bagian-bagian unsur di dalamnya.

b. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation

of the components of society in making a response to the environment).

c. Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Di sini berperan para pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun sekolah, yang meneruskan warisan sosial kepada keturunan berikutnya.

Lebih lanjut lagi Effendy mengemukakan fungsi komunikasi sebagai berikut:

a. Menginformasikan b. Mendidik

c. Menghibur d. Mempengaruhi

II.1.3 Model Penelitian Komunikasi

Effendy (1996:11) mengemukakan bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa

(3)

keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.

Sementara itu, Laswell (Effendy, 1993:253) menyatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa, Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa). Dari pertanyaan tersebut dapat didaftarkan 5 unsur proses komunikasi yakni : 1. Komunikator (pengirim pesan atau sender)

2. Pesan (message)

3. Media (saluran atau channel)

4. Komunikan (penerima pesan atau recipient) 5. Efek (efek atau effect)

Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian yang dilaksanakan:

1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa kata-kata, saran, pikiran maupun pesan nonverbal (bahasa tubuh) dalam proses konseling.

2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang diberikan atau disampaikan oleh konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai klien tunanetra.

3. In Which Channel (media) adalah saluran atau sarana penyampaian pesan melalui organ pengindera.

(4)

4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor.

5. With What Effect (efek yang ditimbulkan) adalah terbentuknya konsep diri pada klien tunanetra.

Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan komunikator, teknik komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi (Effendy, 1993:55):

a) Komunikasi informatif (menginformasikan, memberitahukan) b) Komunikasi persuasif (membujuk)

c) Komunikasi koersif (memaksa) d) Komunikasi instruktif (memerintah)

e) Komunikasi hubungan manusiawi (hubungan insani)

II.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi

II.2.1 Pengertian Komunikasi Hubungan Manusiawi

Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Tubbs, 1996:5). Yang membuat komunikasi insani menjadi unik adalah kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun memahami orang lain.

Dalam komunikasi insani terdapat pandangan transaksional, dimana penekanan pada derajat keterlibatan dua orang atau lebih akan menciptakan suatu hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Selanjutnya perspektif transaksional memberi penekanan pada dua sifat peristiwa komunikasi, yaitu

(5)

serentak dan saling mempengaruhi sehingga kedua komunikator akan mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi.

Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs, 1996:3-4).

II.2.2 Proses Komunikasi Hubungan Manusiawi

Unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah: 1. Komunikator 1 dan komunikator 2

Merupakan sumber informasi dan berfungsi untuk memberi dan menerima pesan secara serentak dan pada saat yang bersamaan saling mempengaruhi. Aspek penting dalam penerimaan pesan adalah memperhatikan, mendengar, memahami dan mengingat.

2. Pesan

Ada empat jenis pesan yang mungkin terjadi: a. Pesan verbal disengaja

b. Pesan verbal tak disengaja c. Pesan non verbal disengaja d. Pesan non verbal tak disengaja

(6)

3. Saluran

Saluran adalah media yang menyampaikan rangsangan komunikasi. Saluran komunikasi tatap muka organ pengindera yang biasanya digunakan adalah: indera pendengaran, penglihatan dan perabaan.

4. Gangguan (interference)

Gangguan adalah segala sesuatu yang mengubah informasi yang disampaikan kepada penerima pesan dan mengalihkannya dari penerimaan tersebut.

Gangguan ada dua jenis yaitu:

a) Gangguan teknis: faktor yang menyebabkan si penerima merasakan perubahan dalam informasi atau rangsangan yang tiba.

b) Gangguan semantik: apabila penerima memberi arti yang berlainana atas sinyal yang disampaikan oleh pengirim.

5. Umpan balik

Luft menyatakan umpan balik (feed back) sebagai balasan atas perilaku yang diperbuat. Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri sendiri.

6. Waktu

Merupakan siklus komunikasi antara pemberi dan penerima pesan yang berlangsung terus sejalan dengan berlalunya waktu, dimana proses itu mengakibatkan hubungan sebagai hasil dari setiap interaksi.

(7)

Berikut proses siklus komunikasi hubungan manusiawi sesuai dengan unsur-unsurnya menurut Tubbs (1996:6):

Bagan 1

Proses Siklus Komunikasi Hubungan Manusiawi

SALURAN PESAN GANGGUAN KOMUNIKATOR 1 sebagai pengirim/penerima pesan KOMUNIKATOR 2 sebagai pengirim/penerima pesan GANGGUAN PESAN SALURAN

(8)

II.2.3 Efektivitas Komunikasi Hubungan Manusiawi

Menurut Tubbs (1996:11-12) dalam bukunya Human Communication

Konteks-konteks Komunikasi, ada empat karakteristik untuk menilai

efektivitas/kualitas komunikasi hubungan manusiawi atau hubungan antara dua orang, yakni:

1. Informasi tentang orang lain lebih bersifat psikologis daripada bersifat kultural dan sosiologis.

2. Aturan-aturan dalam hubungan ini lebih banyak dikembangkan oleh kedua orang yang terlibat di dalamnya daripada diatur oleh tradisi.

3. Peranan dalam hubungan antarpesona pada pokoknya lebih ditentukan oleh karakter pribadi daripada oleh situasi.

4. Lebih menekankan pilihan perseorangan daripada pilihan kelompok..

Pilihan perseorangan dan informasi psikologis yaitu pengetahuan mengenai sikap dan kepercayaan pribadi, perilaku-perilaku yang khas, dan sebagainya.

Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kualitas hubungan antara dua orang itu adalah:

a. Penyingkapan diri (self disclosure)

Adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontetikan memasuki hubungan sosial seseorang dan berkaitan dengan kesehatan mental dan dengan pengembangan konsep diri.

b. Kepercayaan dan keberbalasan. c. Keakraban.

(9)

e. Kesalingbergantungan yang berkaitan dengan rasa percaya, komitmen dan perhatian/kepedulian.

f. Afiliasi yang berkaitan dengan sikap bersahabat, suka berkumpul/bersama dengan orang lain serta ramah.

Ciri-ciri perilaku berafiliasi tinggi adalah: - memberi nasehat - mengkoordinasikan - mengarahkan - memulai - memimpin II.3 Tunanetra

II.3.1 Pengertian Tunanetra

Dalam masyarakat umumnya, istilah tunanetra sering dikaitkan dengan pengertian “buta”. Bila ditinjau dari segi etimologi bahasa, kata tuna berarti rusak, sedangkan kata buta berarti tidak dapat melihat karena rusak matanya. Jika kata tunanetra berarti rusaknya penglihatan, maka pada hakekatnya pengertian tunanetra bukanlah semata-mata pada hilangnya penglihatan, akan tetapi masih mempunyai sisa penglihatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah tunanetra lebih tepat menggambarkan keadaan seseorang yang hanya mengalami kekurangan penglihatan, sedangkan pengertian buta digunakan untuk menunjukkan keadaan seseorang yang rusak penglihatannya sehingga mengakibatkan tidak dapat melihat. Jadi, tunanetra berarti kerusakan mata atau

(10)

kerusakan penglihatan dan mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan yaitu buta dan kurang lihat.

John D. Kershaw berpendapat bahwa kebutaan ialah “a blind person is

one who can not see” (seorang buta ialah orang yang tidak dapat melihat dengan

jelas). Menurut Departemen Sosial, tunanetra (penyandang cacat netra) adalah seseorang yang tidak dapat menghitung jari tangan pada jarak satu meter di depannya, dengan menggunakan indera mata.

Sedangkan menurut WHO, kebutaan adalah suatu keadaan dimana tajam penglihatan-penglihatan, setelah koreksi optimal, kurang dari kemampuan menghitung jari pada jarak sampai dengan 3 meter. Sebagai penjelasan dapat diterangkan, bahwa pada orang normal kemampuan menghitung jari adalah sampai dengan jarak 60 meter. Dengan demikian, tajam penglihatan setelah koreksi optimal kurang dari 3/60 atau 5% dari tajam penglihatan normal, sudah termasuk dalam kategori kebutaan.

Selanjutnya, Departemen Sosial membedakan tunanetra menjadi dua golongan, yaitu buta total dan buta sebagian (low vision) yaitu ketunanetraan yang masih memiliki sisa penglihatan.

Kurang lihat (partially sighted/low vision) menunjukkan keadaan mata yang masih berfungsi akan tetapi kurang baik atau secara umum seseorang dikatakan kurang lihat apabila setidak-tidaknya masih dapat melihat jari-jari tangannya. Mereka yang kurang lihat masih dapat diajarkan dengan metode visual namun tetap memerlukan bantuan atau teknik khusus yang tidak terdapat disekolah-sekolah biasa. Dengan demikian, anak kurang lihat masih dapat menggunakan sisa penglihatannya sebagai medium utama dalam belajar dengan

(11)

menggunakan metode visual dan dengan bantuan alat-alat khusus (Ramidjo, 1998:2).

II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatan yang diderita oleh anak tunanetra dapat menimbulkan berbagai masalah terutama keterbatasan-keterbatasan penglihatannya. Keterbatasan tersebut antara lain karena anak tunanetra mempunyai tanggapan yang sangat kurang, bila dibandingkan dengan anak awas. Karena keterbatasannya dalam memperoleh rangsangan visual itu, mereka merasa dunia mereka kecil dan sempit. Hal ini menimbulkan masalah-masalah yang kemudian menumbuhkan dampak psikologis dan tingkah laku yang negatif pada anak tunanetra.

Ramidjo (1998:4-5) dalam tulisannya yang berjudul “Ortopedagogik

Ketunanetraan” mendaftarkan 3 dampak psikologis ketunanetraan yang menjadi

karakteristik ketunanetraan sebagai berikut : 1. Perasaan curiga terhadap orang lain.

Perasaan curiga disebabkan karena keterbatasan rangsangan visual yang mengakibatkan anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan lingkungannya, sehingga kemampuan mobilitasnya terganggu. Dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menemukan hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan kesal, marah, kecewa, tetapi ia tidak tahu kepada siapa perasaan tidak senang itu dapat ditumpahkan.

(12)

Perasaan-perasaan kecewa tersebut mendorong mereka untuk selalu berhati-hati terhadap situasi maupun kondisi setempat. Sikap berhati-hati-berhati-hati yang terlalu berlebihan akan berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi perasaan-perasaan kecewa yang disebabkan oleh keterbatasan rangsangan visual, maka dikembangkan potensi yang masih ada misalnya dengan mempertajam indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman dan indera pengecapan.

2. Perasaan mudah tersinggung.

Perasaan ini pada anak tunanetra karena disebabkan oleh keterbatasannya rangsangan visual yang diterimanya serta peranan indera lain yang kurang baik. Hal tersebut didapat dari pengalaman sehari-hari misalnya, mendengar orang berbicara kepadanya dengan tekanan suara tertentu, singgungan fisik yang tidak disengaja oleh temannya dan sebagainya. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perasaan mudah tersinggung. Untuk mengatasi hal ini diusahakan melalui pendidikan agama, olah raga dan kesenian yang bertujuan untuk membuat anak tunanetra merasa bahagia dalam hidupnya dan tidak selalu menyesali nasibnya karena kecacatannya.

3. Ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain.

Sikap ketergantungan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum sepenuhnya dapat mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan kasih sayang yang berlebihan dari orang tua atau saudaranya dengan cara memberikan pertolongan-pertolongan yang berlebihan kepada anak tunanetra, sehingga ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun untuk menolong dirinya

(13)

sendiri seperti mandi, makan dan minum, berpakaian, memakai sepatu dan sebagainya.

II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra

Adapun dampak ketunanetraan/keterbatasan dasar anak tunanetra adalah: 1. Perkembangan Bahasa.

Sebagian besar ahli percaya bahwa kekurangan penglihatan tidak merubah kemampuan seseorang untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hanya sebagian kecil aspek komunikasi ditemukan adanya perbedaan, misalnya dalam hal “gesture” (mimik muka). Karena indera pendengaran lebih banyak digunakan daripada penglihatan dalam mempelajari bahasa, maka tidaklah mengherankan jika hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra relatif tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Anak tunanetra masih dapat mendengar bahasa dan bahkan mungkin lebih termotivasi untuk menggunakannya, karena ini merupakan cara utama yang dapat mereka lakukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan.

2. Kemampuan Intelektual.

Hasil penelitian para ahli menunjukkan Intelegensia Quatient (IQ) anak tunanetra tidak secara mencolok lebih rendah daripada anak awas setelah diukur dengan menggunakan tes intelegensi verbal yang standar. Bagi anak buta total, kemampuan anak diukur dalam menggunakan indera perabaan (suatu kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dalam membaca braille).

(14)

3. Kemampuan Konseptual.

Perkembangan kemampuan konseptual atau kognitif anak tunanetra tertinggal di belakang anak-anak awas. Anak tunanetra juga cenderung lebih miskin dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemikiran abstrak. Kekurangan tersebut bukan disebabkan karena sifat-sifat pembawaannya, tetapi karena kurangnya mendapatkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang memadai.

4. Penyesuaian Sosial.

Akibat dari hilangnya atau terbatasnya daya penglihatan menyebabkan anak tunanetra menjadi pasif dan hilang keinginannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi proses belajar anak. Salah satu kesulitan anak tunanetra dalam menguasai keterampilan sosial tertentu misalnya bagaimana menampilkan ekspresi muka yang tepat (Ramidjo, 1998:7-9).

II.4 Konseling Individual

II.4.1 Pengertian Konseling Individual

Konseling adalah suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian dirinya. Sedangkan Glen E. Smith mendefinisikan konseling yakni suatu proses dimana konselor membantu konseli (klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan dengan pemilihan perencanaan dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu (Willis, 2004:17).

(15)

Sementara itu, John McLeod (2003:16) menyatakan bahwa konseling adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu di antara mereka.

Shertzer dan Stone dalam bukunya “Fundamental of Counseling” (Lubis, 2006:11) mengemukakan konseling ialah berhubungan dengan usaha untuk mempengaruhi perubahan sebahagian besar tingkah laku klien secara sukarela (klien ingin untuk mengubah perilakunya yang bermasalah dan mendapatkan bantuan dari konselor).

Milton E. Hahn mengartikan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang dengan seorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh pelatihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan kesulitannya (Willis, 2004:18).

Selanjutnya, Burks dan Stefflre (1979) mengatakan bahwa konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong klien untuk memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (McLeod, 2003:5).

(16)

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling individual merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberitahuan bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya serta mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.

II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual

Dalam Willis (2004:63-64), client-centered therapy sering juga disebut suatu metode yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal-self (diri klien) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).

Ciri-ciri konseling individual ini adalah:

1. Ditujukan kepada klien yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.

2. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling), bukan segi intelektualnya.

3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial-psikologis masa kini dan bukan pengalaman masa lalu.

4. Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikan antara ideal-self dengan

(17)

5. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh klien, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya. Tujuan konseling adalah pengembangan kemampuan klien untuk mengatasi masalahnya, memiliki kemampuan untuk mencintai dan bekerja keras, melakukan sesuatu dengan rasa tanggung jawab dan percaya diri.

II.4.3 Tujuan Konseling Individual

Terapi terpusat pada klien yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers pada tahun 1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.

Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran diri yang ideal (ideal-self) dengan kenyataan diri yang sebenarnya (actual-self).

Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain. Sebelum menentukan pilihan, tentu individu harus memahami dirinya sendiri (kekuatan dan kelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia terima.

Untuk mencapai tujuan itu diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Kemampuan dan keterampilan teknik konselor.

2. Kesiapan klien untuk menerima bimbingan. 3. Taraf intelegensi klien yang memadai.

(18)

Secara umum dikatakan bahwa tujuan konseling harus mencapai :

a) Effective daily living, artinya setelah selesai proses konseling, klien harus dapat menjalani kehidupan sehari-harinya secara efektif dan berdaya guna untuk diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Tuhannya;

b) Relationship with other, artinya klien mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain di keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, dan sebagainya.

II.4.4 Proses Konseling Individual

Berikut ini adalah tahap-tahap konseling terapi terpusat pada klien, yakni:

1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila klien datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien memilih apakah ia akan terus minta bantuan atau membatalkannya.

2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk itu konselor menyadarkan klien.

3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima klien sebagaimana adanya.

4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.

5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya.

(19)

6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan).

7. Klien merealisasikan pilihannya itu.

II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual

Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Karena itu dalam pelaksanaan teknik konseling diutamakan sifat-sifat konselor berikut:

1. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.

2. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan, dan konsisten.

3. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat memahami secara

empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu.

4. Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.

Adapun penggunaan teknik-teknik itu seperti: (1) pertanyaan

(2) dorongan (3) interpretasi (4) sugesti

(20)

II.4.6 Karakteristik Hubungan Konseling Individual

Benjamin mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara seorang profesional dengan klien dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan serta mempunyai minat, pengetahuan, dan keterampilan (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut :

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor.

Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek.

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan, yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya

keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

3. Integrasi pribadi.

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama.

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan.

Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur.

Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.

(21)

7. Kerjasama.

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

9. Perubahan.

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif dimana si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan ekternal terjadi di dalam sikap dan tindakan serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44).

Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dalam hubungan konseling yakni:

a) Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu demikian hangat bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa bersahabat, tidak formal, serta membangkitkan semangat dan rasa humor. b) Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan klien,

dan memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.

c) Keterlibatan klien, yaitu terlihat klien sungguh-sungguh mengikuti proses konseling dengan jujur mengemukakan persoalannya, perasaannya, dan keinginannya. Selanjutnya dia bersemangat mengemukakan ide, alternatif dan upaya-upaya.

(22)

Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Rasa kebersamaan yang diciptakan konselor akan membuat jarak antara dia dengan klien menjadi dekat.

Keterlibatan klien dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan dirinya di hadapan konselor. Jika klien diliputi keengganan dan resistensi, maka dia tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya.

II.5 Konsep Diri

II.5.1 Pengertian Konsep Diri

Menurut Dayakisni (2003:65), konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.

Pearson et.al. (Tubbs,1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.

(23)

II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory)

Teori Rogers atau teori diri adalah teori yang berpusat pada pribadi, yang ditemukan oleh Carl Ransom Rogers. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilai-nilainya dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, pengagungan dan cinta dari irang lain. Kebutuhan ini disebut need

for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi seutuhnya

adalah pribadi yang mengalami penghargaaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu, sehingga ia tidak bersifat defensif, namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self concept) dan pengalaman di satu sisi dan interpretasinya tentang stimulus lingkungan pada sisi yang lain. Inilah tingkatan kongruensi antara faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi perluasan aktualisasi diri yang terjadi.

Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan lama persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang, sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya. Termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, sehingga menjadi individu yang lebih otonom, spontan dan percaya diri (Graham, 2005:92-93).

(24)

Selanjutnya teori ini banyak digunakan dalam hubungan konseling yang berpusat pada klien terapi (client-centered therapy). Ciri utama konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa apabila para klien mempersepsikan bahwa para ahli terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) mereka, maka proses perubahan mulai bergerak. Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya (Hall, 1993:127-128).

Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):

1. Keterbukaan pada pengalaman.

Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel, sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian, ia akan mengalami banyak emosi baik yang positif maupun yang negatif. Seseorang akan cenderung mencek pengalaman-pengalaman masa lalu yang dilambangkan dengan dunia sebagaimana adanya. Uji terhadap kenyataan ini memberikan orang pengetahuan yang dapat diandalkan tentang dunia, sehingga orang dapat bertingkah laku secara realistis.

2. Tidak adanya sikap defensif.

Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya dan bersikap realistis, sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru dan selalu berubah serta cenderung menyesuaikan diri sebagai respon atas pengalaman selanjutnya.

(25)

3. Kesadaran yang cermat.

Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasakannya benar (timbul seketika dan intuitif), sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.

4. Penghargaan diri tanpa syarat.

Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan terhadap diri sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri-ciri beringkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respon atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.

Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan yang berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya masa depan bergantung pada dirinya sendiri, tidak ada peristiwa di masa lampau, sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.

Perubahan tingkah laku (self concept) akan mendorong seseorang berinteraksi atau menjalin hubungan dengan orang lain sebagai dasar pemenuhan akan kebutuhan atas pengakuan orang lain (Hall, 1993:128).

(26)

II.6 Hubungan Komunikasi Layanan Konseling Individual dengan Pembentukan Konsep Diri

Sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian-uraian di atas, bahwa komunikasi layanan konseling individual adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling efektif dalam mengubah sikap, pendapat serta perilaku seseorang. Hal ini dikarenakan di dalam konseling individual menggunakan komunikasi hubungan manusiawi/insani yang memiliki proses siklus komunikasi antara pemberi dan penerima pesan yang berlangsung terus menrus sejalan dengan berlalunya waktu, dimana proses itu menciptakan hubungan sebagai hasil dari setiap interaksi. Dalam penelitian ini pemberi pesan adalah konselor dan penerima pesan adalah klien tunanetra.

Komunikasi layanan konseling individual yang bersifat dialogis (berupa percakapan) ini terdapat pandangan transaksional, dimana penekanan pada derajat keterlibatan/keikutsertaan antara konselor dan klien akan menciptakan suatu hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Aspek penting dalam penerimaan pesan di antara keduanya adalah memperhatikan mendengar, memahami dan mengingat.

Jadi dalam hal ini konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu, sehingga klien dapat mengemukakan perasaannya atau permasalahannya sebagaimana adanya.

Komunikasi layanan konseling individual memiliki umpan balik yang berlangsung dan seketika, sebagaimana Luft (Tubbs, 1996:28) menyatakan umpan balik (feed back) adalah balasan atas perilaku yang diperbuat. Dengan adanya umpan balik ini, maka si konselor dapat mengetahui tanggapan si klien seketika

(27)

itu juga pada saat komunikasi berlangsung. Konselor mengetahui dengan pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, konselor akan memberikan kesempatan kepada si klien untuk bertanya dan memberikan tanggapan/respon seluas-luasnya sehingga maksud si konselor dapat tercapai dan tujuan konseling pun tercapai juga.

Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri si klien yang selanjutnya akan membentuk identitas diri atau konsep dirinya.

Komunikasi layanan konseling individual sebenarnya suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Usaha untuk saling mempengaruhi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan atau menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari komunikan yang dipengaruhi.

Dalam hal ini, agar komunikasi layanan komunikasi konseling individual tersebut dapat mencapai hasil yang baik, maka si konselor harus mengenal latar belakang psikologis dan sosiologis kliennya. Pada prakteknya, konselor harus mampu menyesuaikan pesan dengan memperhatikan aspek psikologis dan sosiologis seperti sikap, watak atau kebiasaan si klien, sehinggga pesan tersebut dapat diterima.

Identitas diri atau pandangan tentang diri pribadi merupakan sesuatu yang menyangkut totalitas diri seseorang yang mencakup aspek biologis, psikologis dan sosiologis yang tampak dalam perilaku, sikap, perkataan dan perbuatan-perbuatan individu tersebut yang tidak identik satu sama lain.

(28)

Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) mengatakan bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dicapai, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘pembentukan’ berarti hal atau cara membentuk. Pembentukan konsep diri berarti hal atau cara membentuk konsep diri. Konsep diri dibentuk oleh adanya suatu interaksi dan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang dilaksanakan dapat berupa komunikasi verbal (lisan) maupun non verbal (perilaku non verbal/bahasa tubuh).

Komunikasi layanan konseling individual merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif dalam upaya membentuk konsep diri klien, hal ini disebabkan komunikasi konseling lebih memperhatikan kedekatan/ketelibatan/hubungan yang bermakna antara konselor dan klien. Dalam kedekatan tersebut, konselor banyak memanfaatkan penggunaan latar belakang psikologis dan sosiologis si klien, dengan demikian pembentukan konsep diri lebih efektif.

Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi layanan konseling individual berperan dalam mengefektifkan proses pembentukan konsep diri si klien. Nilai-nilai sosial yang disosialisasikan dalam upaya membentuk konsep diri akan lebih mengena apabila disosialisasikan melalui komunikasi layanan konseling individual.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai state of the art, pada penelitian ini diusulkan sebuah rancangan broadband metamaterial BPF menggunakan bahan mikrostrip dengan menggunakan metode open split

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tekanan penyebab trauma yang dialami oleh tokoh Ajo Kawir, dampak trauma yang diderita, dan mendeskripsikan bentuk

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada pemberian ketorolac tromethamine intraperitoneal dengan dosis 5mg/kgBB selama 5 hari pertama penelitian menyebabkan

Berdasarkan hasil dan analisis, (1) Bentuk pelanggaran maksim kesantunan berbahasa yang terdapat dalam Fesbukers di Antv mencakup maksim kebijaksanaan, maksim

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa informan terkait pendapat informan definisi SISRUTE, informan mengatakan bahwa SISRUTE adalah Sistem rujukan

1. Adakah perbedaan hasil belajar IPS antara pembelajaran dengan strategi bertukar pasangan dan strategi Bamboo Dancing pada siswa kelas 5 SD Negeri Kleco 1

1. Dalam menentukan distribusi keturunan generasi ke-n pada persilangan dihibrid kacang kapri dapat menggunakan teori peluang, teori diagonalisasi matriks serta limit