• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA ACEH SEBAGAI SALAH SATU BAHASA IBU DI NUSANTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA ACEH SEBAGAI SALAH SATU BAHASA IBU DI NUSANTARA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA ACEH

SEBAGAI SALAH SATU BAHASA IBU DI NUSANTARA

oleh

Azwardi, S.Pd., M.Hum. azwardani@yahoo.com Universitas Syiah Kuala

Pendahuluan

Bahasa menunjukkan bangsa. Hilang bahasa hilang pula penunjuk suatu bangsa. Demi mempertahankan eksistensi bahasa, khususnya bahasa daerah, secara konstitusional keberadaan bahasa daerah dijamin oleh Undang-Undang Dasar negara kita. Meskipun demikian, realitas dewasa ini menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah di Nusantara telah berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan, diambang kepunahan. Beberapa bahasa daerah bahkan sudah punah dan beberapa lagi berada dalam proses kepunahan. Kepunahan bahasa daerah, antara lain, disebabkan oleh keengganan generasi muda untuk menggunakannya, keenganan orang tua untuk menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan bahasa daerah. Oleh karena itu, marilah sama-sama kita mencegahnya dari kepunahan, sebab bahasa daerah, selain merupakan penciri suku bangsa, ciri dari kebhinnekaan, pemerkaya kosakata bahasa Indonesia, pengandung sistem nilai dan ilmu pengetahuan, di dalamnya juga terdapat ungkapan-ungkapan yang berisi nilai-nilai luhur yang dapat memberi kontribusi terhadap pembentukan karakter anak bangsa.

Pemertahanan Bahasa Ibu Bahasa Aceh

Mengingat fungsinya yang sangat strategis, yaitu (1) sebagai lambang kebanggaan daerah, (2) sebagai lambang identitas daerah, (3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (3) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, dan (5) sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia (Alwi dan Sugono, 2000:220), pemertahanan bahasa ibu perlu terus diupayakan, baik secara pribadi oleh penuturnya, maupun oleh negara. Pada saat ini fungsi-fungsi tersebut harus diakui semakin menurun pada bahasa ibu BA. Oleh karena itu, perlu dilalukan berbagai upaya agar bahasa tersebut dapat terus bertahan karena hal itu merupakan lambang identitas daerah dan sekaligus lambang kebanggaan daerah. Untuk itu, menurut Djunaidi (2004) tidak ada cara lain selain kita harus melakukan revitalisasi bahasa daerah agar eksistensi bahasa itu dapat dipertahankan.

Bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang berperan sebagai bahasa pertama bila masyarakat penuturnya mengenal bahasa itu sejak lahir yang dipeloleh melalui proses pemerolehan. Ditinjau dari sudut pandang kebudayaan sebagai suatu produk masyarakat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara lisan, ibu mengajari bayinya berkomunikasi melalui bahasa yang dimilikinya (Ohoiwutun, 2007:78). Sebagaimana bahasa-bahasa lainnya di dunia, bahasa ibu BA juga potensial mengalami pergeseran dan kepunahannya bila tidak dilakukan upaya-upaya yang stategis untuk menunda atau mempertahankannya dari kepunahan.

disampaikan pada seminar internasional dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa 2016 FMPBSI PPs Unsyiah Darussalam, 24 September 2016



(2)

2 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

Pemertahanan bahasa ibu BA menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya bagi penutur asli bahasa ibu BA. Ketahanan bahasa ibu BA kian melemah dari masa ke masa. Sekitar 30 tahun yang lalu para peneliti BA telah melilis hasil penelitiannya menyangkut dengan pemertahanan BA. Saat itu, BA sebagai bahasa ibu di Aceh dapat dikatakan eksistensinya masih baik. Para peneliti mendeskripsikan lingkup antara pemertahanan BA di kota dan di desa. Pemertahanan BA di desa jauh lebih baik daripada di kota. Relatif sedikit didapati anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini tentu saja terjadi karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi dengan anak-anaknya menggunakan BA. Berbeda dengan kasus yang terjadi di kota yang cenderung lebih lemah. Banyak didapati anak-anak di kota yang tidak mampu berbahasa Aceh, padahal kedua orang tua mereka merupakan penutur asli BA. Faktor penyebabnya, antara lain, adalah tuntutan dunia pendidikan di sekolah.

Akhir-akhir ini, kondisi bahasa ibu BA semakin melemah. Baik di kota maupun di desa, pemertahanan bahasa ibu BA kian mengkhawatirkan. Melemahnya bahasa ibu BA ini diprediksikan lambat laun akan menuju kepada kepunahannya. Sebagaimana dikatakan Djunaidi (2004) bahwa kekhawatiran akan kepunahan itu tidak hanya ditakuti akan menimpa bahasa-bahasa daerah dengan penutur yang relatif kecil, tetapi juga perasaan serupa telah menghantui bahasa-bahasa daerah dengan penutur yang relatif besar, seperti BA.

Di sisi lain, kita salut dengan etnis Tionghoa yang ada di Banda Aceh. Meskipun sebagai masyarakat minoritas, mereka mampu mempertahankan eksistensi bahasa ibunya, bahasa Cina. Anak-anak etnis Tionghoa di Banda Aceh, seperti di Peunayong, meskipun sudah cukup lama tinggal di Aceh, mereka tetap berinterkasi dengan menggunakan bahasa Cina. Dalam interaksi antaranggota keluarga mereka selalu menggunakan bahasa Cina. Lebih salut lagi, sebagian masyarakat etnis Tionghoa ini mampu menguasai BA dengan baik, bahkan ada yang tingkat kefasihannya mengalahkan penutur asli BA. Dalam pada itu, saat berinteraksi dengan masyarakat etnis Aceh, mereka menggunakan bahasa Indonesia atau BA sebagai perantara.

Rasa Memiliki Bahasa dan Budaya Aceh

Bahasa dan budaya adalah dua khazanah sosial yang tidak mungkin berpisah. Bahasa adalah cerminan budaya, sedangkan budaya itu sendiri ada dan meleket dalam bahasa. Ketinggian atau kerendahan budaya suatu bangsa tercermin dari bahasa yang digunakannya. Namun siapakah yang memiliki bahasa dan budaya tersebut? Aceh memiliki sekurang-kurangnya sebelas bahasa ibu, yakni BA, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Kluet, bahasa Singkil, bahasa Haloban, bahasa Simeulue, bahasa Devayan dan bahasa Sigulai (Daud, 2004).

Pertanyaan Daud, “Siapa yang memiliki bahasa dan dan budaya...?” menggelitik saya berkontemplasi lebih jauh. Sudahkah kita merasa memiliki BA? Sudahkah kita berkompetensi memadai tentang BA? Sudahkah kita berperformansi yang baik dengan BA? Sudahkah kita bersikap positif terhadap BA? Sudahkah kita berkontribusi membina dan mengembangkan BA? Sudahkah kita ikut serta melestarikan BA? Sudahkah kita menghambat kepunahan BA? Idealnya, jawaban terhadap semua pertanyaan itu adalah sudah meskipun dalam takaran yang relatif berbeda; sudah dalam takaran perfektif atau sudah dalam takaran inkoatif. Sudah dalam takaran perpektif berarti kita sudah melaksanakan secara maksimal semua pertanyaan itu, sedangkan sudah dalam takaran inkoatif bermakna kita sedang melaksanakan semua itu.

Problem Pembinaan Bahasa Ibu Bahasa Aceh dan Solusi Alternatif

Kebertahanan bahasa ibu BA bagai salah satu khazanah budaya di Aceh akan terjaga bila ada upaya yang serius, baik dari masyarakat penutur asli bahasa tersebut, maupun pihak-pihak atau lembaga terkait yang membina bahasa ibu BA. Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan kontinyu sehingga, di samping dapat bertahan sebagai penciri suatu bangsa, bahasa ibu BA juga dapat berperan sebagai kekuatan budaya lokal di Aceh. Berdasarkan

(3)

3 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

berbagai hasil penelitian dan hasil kajian akademik, ada beberapa solusi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menjaga agar eksistensi bahasa ibu BA sebagai salah satu bahasa ibu di nusantara tetap terpelihara dengan baik. Solusi alternatif tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut: (1) bersikap positif terhadap bahasa ibu BA, (2) mendirikan institusi tenaga kependidikan BA, dan (3) memproduksi dan mendistribusi dokumen akademik sebagai bahan bacaan dan referensi.

Bersikap Positif terhadap Bahasa Aceh

Sikap pemakai BA terkesan tidak positif. Pengguna BA tampaknya tidak menganggap penting belajar dan menggunakan BA yang benar. Hal tersebut tecermin dari memakaian BA sehari-hari yang cenderung tidak baik, tidak benar, tidak logis, dan tidak sistematis baik oleh masyarakat awam maupun masyarakat terpelajar. Dalam kenyataan penggunaan BA sehari-hari, baik dalam situasi resmi, maupun tidak sering kita jumpai pemakaian BA yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa tersebut. Perhatikan, bagaimana kacaunya penulisan BA pada media-media di Aceh, baik media-media luar ruang maupun media-media dalam ruang. Perhatikan beberapa kasus pemakaian BA berikut (dikutip dari salah satu teks lagu Aceh) yang telah beredar luas dalam masyarakat Aceh berikut!

Sayang-sayang leupah that sayang

Bungoeng ban keumang hana harom le Yoeh mantong putik uloen petimang

Jinoe troeh kumbang bungong ka laye

Padahal bungong ceudah koen wayang

Jinoe meulang lang hudep lam donya Tari bukoen le wate ta pandang Oh wate malam angen peudoda Hana so sayang hana so hiroe

Akhe bak dudoe bungoeng binasa

Patah bak tangke hana so pako

Meubaloet duroe racoen meubisa

Mungken ka naseb ka ehno wate Jinoe ka laye katroek bak masa Awai phoen seunang jinoe ka male

Bungoeng di tipe ngoen rayuan cinta Kasep hai bungoeng

Bek meu ulang le

But kumbang jahe sabe digoda

Jika diperhatikan secara saksama, dalam teks syair lagu tersebut terdapat beberapa tipe kesalahan, khususnya kesalahan penulisan. Kesalahan penulisan terjadi pada penulisan kata dan huruf/ortografi (bungoeng, harom, le, yoeh, mantong, uloen, petimang, troeh, laye, padahal,

ceudah, loen, hudep, bukoen, wate, so, akhe, tangke, meubaloet, racoen, ehnoe, troek, phoen, male, di tipe, ngoen, kasep, bek meu ulang le, but, jahe, sabe). Kemudian, juga terdapat

kesalahan penulisan persesuaian pronomina persona (ta pandang). Selain itu, kesalahan juga terjadi akibat pencampuran penggunaan bahasa Indonesia dalam BA (padahal, kumbang, di

(4)

4 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

tekstual, padahal secara teori kebahasaan bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual, bahasa harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal tersebut perlu dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat dihindari. Bandingkan dengan pemakaian berikut yang sesuai dengan kaidah keilmuan BA yang berlaku!

Sayang-sayang leupah that sayang

Bungong ban keumang hana harôm lé Yôh mantöng putik ulôn peutimang

Jinoe trôh kumbang bungong ka layèe

Padahai bungong cidah kön wayang

Jinoe meulanglang udép lam donya Tari bukön lé watè tapandang

’Oh watè malam angen peudoda

Hana soe sayang hana soe hiroe

Akhé bak dudoe bungong binasa

Patah bak tangké hana so pako

Meubaloet duroe racoen meubisa

Mungken ka naseb ka ‘ehno watè Jinoe ka layèe katrôk bak masa Awai phôn seunang jinoe ka malèe

Bungong jitipèe ngön rayuan cinta Kasép hai bungong

Bèk me ulang lé

Buet kumbang jahé sabé digoda

Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa kesalahan penulisan BA yang umum terjadi adalah sebagai berikut: (1) kesalahan ejaan, yakni terkait dengan pelambangan fonem (konsonan dan vokal, khususnya vokal nasal, vokal tinggi, vokal tinggi-sedang, dan vokal rendah-sedang; pelambangan diftong dan pemakaian tanda diakritik; (2) kesalahan diksi yang meliputi pemakaian kata yang tidak baku, pemakaian istilah secara tekstual, penggunaan persesuaian pronomina secara terpisah, pencampuran penggunaan BA dan Bahasa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, dapat ditegaskan bahwa jangan menganggap berBA dengan baik dan benar itu mudah sehingga kita tidak merasa perlu belajar dan menggunakan bahasa tersebut secara sungguh-sungguh dan cermat. Jika kita menganggap berBA dengan baik dan benar itu mudah, kita tidak akan pernah sukses belajar BA atau tidak akan pernah terampil berBA, baik secara lisan maupun tulis.

“Bahasa menunjukkan bangsa”, “Mulutmu harimaumu”, “Bahasa adalah pedang”. Demikian, antara lain, ungkapan tentang bahasa. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa bahasa merupakan identitas, dan kecermatan dalam berbahasa merupakan hal penting. Bahasa salah cermin pikiran kacau. Dalam pada itu, cermati lagi pemakaian BA sehari-hari dalam konteks berikut!

(1) Krue seumangat Persiraja! (2) Wareèh

(3) Wareeh Wartel (4) Saweu Sabee (5) Ceuremén

(5)

5 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara (6) Angel Springbed

Rasakan lumpoé nyang goét

Neu periksa yooh goh lom neu bloëi

(7) Launching Balee Raihan (8) Rincoeng meupucoek (9) Aceh mulia sabee roe darah (10) ta peujeu-oh nyang bida-bida (11) ta puga buet bersama

(12) na lom nyang peuduk honda meranggapat (13) Saleum Group

Jika kita perhatikan secara saksama, pada beberapa konteks tersebut terdapat beberapa kesalahan, khususnya kesalahan penulisan. Kesalahan penulisan terjadi pada penulisan kata dan huruf/ortografi (krue, wareeh, warèeh, saweu, sabee, ceureumén, lumpoé, goét, yooh, bloëi,

balee, rincoeng, meupucoek, roe, peujeu-oh, peuduk, meranggapat, saleum). Kemudian, juga

terdapat kesalahan penulisan persesuaian pronomina persona (neu periksa, neu bloëi, ta

peujeu-oh, ta puga). Selain itu, kesalahan juga terjadi akibat pencampuran penggunaan struktur bahasa

Inggris dalam BA (Wareeh Wartel, Lounching Balee, Saleum Group).

Dalam pada itu, kesalahan juga sering terjadi akibat penerjemahan bahasa secara tekstual, padahal berdasarkan teori kebahasaan, bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual, bahasa harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal tersebut perlu dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat dihindari. Bandingkan dengan konteks berikut yang sesuai dengan kaidah keilmuan BA yang berlaku.

(1) Kru seumangat Persiraja! (2) Waréh

(3) Wartel Waréh (4) Saweue Sabé (5) Ceurem’èn (6) Angel Springbed

neurasa lumpoe nyang göt neupareksa yôh goh neubloe

(7) balèe Raihan (8) rincông meupucôk

(9) Aceh mulia sabé rô darah (10) tapeujeu-ôh nyang bida-bida (11) tapuga buet bersama

(12) na lom nyang peuduek honda barangkapat (13) Saleuem Group

Pascatsunami di Provinsi Aceh telah terjadi perbauran budaya dan bahasa. Perbauran budaya dan bahasa, khususnya bahasa Inggris, tidak dapat dibendung. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari tingginya solidaritas dan mobilitas masyarakat internasional dalam upaya rekonstruksi Aceh. Secara kebahasaan, akibat dari kondisi seperti itu, akhir-akhir ini penulisan BA pada media massa, khususnya media luar ruang cendrung mengebaikan kaidah bahasa.

Kesalahan berbahasa dapat terjadi pada bahasa ragam lisan dan ragam tulis. Kesalahan pada bahasa ragam tulis bersifat permanen. Akibatnya, kesalahan yang terjadi pada ragam tulis dapat memberi dampak negatif yang lebih luas dan permanen. Pembaca akan meniru tulisan yang dibacanya, menjadi skemata, dan menulis pada tempat dan waktu yang lain. Kesalahan itu

(6)

6 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

akan terus berulang jika tidak mendapat perhatian dan perbaikan yang semestinya. Oleh karena itu, kesalahan ragam tulis, termasuk kesalahan pada penulisan BA pada media luar ruang, perlu segera ditanggapi dan diatasi.

Degradasi sikap positif terhadap BA juga sangat kentara terlihat pada generasi muda. Generasi muda Aceh jangankan kemampuan menggunakan BA dengan benar, kemauan menngunakannya pun sudah sangat memudar. Ada kebanggaan tersendiri bila mereka dapat menggantikan BA-nya dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Dengan perkataan lain, mereka tidak mampu dan tidak bangga lagi menggunakan bahasa ibunya, BA sehingga banyak kosakata BA yang tidak pernah dipakainya atau tidak diketahui artinya, padahal kosakata tersebut masih aktif dipakai dalam komunikasi masyarakat Aceh secara umum. Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan yang sarat akan makna yang cukup banyak terdapat dalam masyarakat Aceh, mereka jarang sekali atau bahkan tidak pernah mendengar, memakai, apalagi memahami hakikat makna yang terirat dalam berbagai ungkapan itu. Hal ini sungguh merupakan kemunduran komunikasi bagi generasi bangsa.

Dalam pada itu, sering saya amati selompok siswa atau mahasiswa yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sesama temannya, padahal mereka semua sedang berada pada situasi yang tidak resmi, dan berbahasa ibu yang sama, yaitu BA. bila mereka kira hal itu demi prestise, itu salah kaprah. Fenomena ini bertolak belakang dengan teori sosiolinguistik. Mestinya, dalam konteks yang tidak resmi dan pesertanya homogen saharusnya kita menggunakan bahasa ibu karena lebih efektif dan komunikatif ketimbang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, berkomunikasi antarsesama dengan menggunakan bahasa ibu yang sama (sama-sama bahasa ibu BA) tangkapan pesannya lebih mantap karena dapat memahami dengan maksimal sampai kepada nuansa makna setiap unit kebahasaan yang diujarkan. Sebaliknya, bila peserta yang terlibat dalam obrolan bersama itu heterogen (berlatar belakang bahasa ibu yang berbeda-beda), sebaiknya gunakan bahasa Indonesia agar semua mengerti dengan hal yang dibicarakan. Dalam konteks seperti ini jangan pula sampai ada peserta yang menggunakan salah satu bahasa ibunya karena akan berakibat miskominikasi bagi peserta lainnya yang berbahasa ibu lainnya. Inilah yang dimaksud dengan menggunakan bahasa yang baik, yaitu pengunaan bahasa sesuai dengan konteks atau situasi dan tempat pemakaian. Meskipun demikian, berdasarkan temuan penelitian Alamsyah (2008) kecenderungan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam berbahasa ibu BA karena sejak dini mereka juga tidak diutamakan menggunakan bahasa ibu BA oleh orang tuanya sebagaimana penjelasan berikut.

Lain lagi ceritanya dari pasangan suami-istri, khususnya pasangan-pasangan muda yang sama-sama berlatar belakang bahasa ibu yang sama, BA “memaksa” buah hatinya dengan “bahasa asing”, bahasa Indonesia. Umumnya terjadi bagi mereka yang tempat domisilinya di wilayah perkotaan atau salah seorang di antara pasangan itu atau kedua-dua berprofesi sebagai pegawai (periksa Alamsyah, 2008). Mereka begitu bangga mewarisi kepada anak-anaknya sejak dini bahasa keduanya, bahasa Indonesia, padahal itu sangat tidak disarankan. Mereka berasumsi spekulatif bahwa tindakannya itu dilakukan agar anak-anaknya lebih maju dan dapat menyesuaikan diri secara lebih baik dengan lingkungannya kelak, khususnya di lingkungan sekolah. Hal ini juga anggapan yang salah kaprah, yang berseberangan dengan teori sosiolinguistik. Supaya anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan realitas sosial budayanya secara intensif, perkenalkan dan ajari dia bahasa yang paling ia pahami, yang paling dekat dengannya, yakni bahasa ibu sebagai bahasa pertama. Bahasa kedua akan diperolehnya dengan mudah secara otomatis pada saat dia berinterasi di luar rumah dalam kelompok sosialnya yang heterogen.

Berdasarkan kenyataan tersebut, sikap positif terhadap BA perlu dibina. Pembinaan tersebut, antara lain, membekali masyarakat, khususnya generasi muda dengan kompetensi kebahasaan (ilmu tentang BA) yang memadai, memupuk rasa bangga dan percaya diri yang

(7)

7 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

tinggi bagi masyarakat, khususnya generasi muda menggunakan BA dalam berkomunikasi secara nonformal sehari-hari, dan menyarankan para orang tua agar mau mewarisi sejak dini kepada putra putrinya bahasa ibunya, BA. Dengan terbinanya sikap positif terhadap bahasa ibu BA, kompetensi kebahasaan yang memadai tentang bahasa ibu juga akan meningkat, dan akhirnya rasa bangga menggunakan bahasa ibu BA terlihat dalam setiap aktivitas interaksi sosialnya di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan demikian, saat berbelanja di pasar tradisional seperti Pasar Aceh atau pasar-pasar modern di Aceh atau memesan tiket bus atau L300 di loket di Aceh atau membeli pulsa HP atau data selular tidak perlu menggunakan bahasa Indonesia karena umumnya pelaku bisnis tersebut adalah orang Aceh yang mengerti BA.

Mendirikan Institusi Tenaga Kependidikan Bahasa Aceh

Pembinaan bahasa ibu secara berencana, sistematis, dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan formal sangat diperlukan. Wujud tindakan pembinaan tersebut, antara lain, melalului pendirian program studi atau jurusan pendidikan bahasa Aceh pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di tingkat perguruan tinggi. Dengan adanya Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh di perguruan tinggi, secara berencana dan berkelanjutan dapat dipersiapkan guru yang akan mengajar bahasa ibu BA di sekolah-sekolah, khususnya di Aceh. Selain itu, segala macam kebijakan anggaran yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan BA, seperti pelatihan guru, pengembangan kurikulum, dan penulisan buku dengan mudah dapat direncanakan dan dilaksanakan.

Berkaitan dengan hal itu, di usianya yang ke 54 tahun Universitas Syiah Kuala ternyata belum memasukkan rencana pendirian program studi pendidikan bahasa Aceh dalam rencana strategi (renstra) akademiknya. Hal ini sangat ironis. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kebijakan akademik kampus “Jantông Até Rakyat Aceh” ini belum positif terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa daerah di Aceh, khususnya BA. Mestinya, para penentu kebijakan akademik di Universitas Syiah Kuala telah memikirkan jauh-jauh hari tentang rencana pendirian program studi bahasa Aceh itu, dan memasukkannya dalam renstra universitas. Di perguruan tinggi lainnya, seperti USU, Unpad, Undip, dan UGM program studi bahasa daerah mereka sudah eksis berkiprah. Itulah sebabnya, segala macam upaya yang berkaiatn dengan pembinaan bahasa daerah di Aceh, khususnya bahasa ibu BA tidak berjalan secara baik. Untuk itu, pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh sebagai starting point pembinaan dan pengembangan bahasa daerah di Aceh, khususnya BA urgen dilakukan.

Terkait dengan pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh di LPTK Universitas Syiah Kuala, kini sudah ada sedikit titik terang. Beberapa waktu yang lalu, atas rekomendasi Tim Perumus Kongres Peradaban Aceh 2015, rektor Universitas Syiah Kuala telah menyambut baik dan memberi sinyal maju bagi upaya pendirian prodi bahasa Aceh tersebut. Alhamdulillah, terhitung mulai April 2015 Rektor Unsyiah telah menerbitkan Surat Keputusan Tim Taskforce Pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala. Meskipun belum tertuang dalam renstra universitas, berdasarkan permohonan ketua tim taskforce, rektor akan melakukan upaya khusus dengan mengajukan permohonan pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh kepada Kemristekdikti. Sambil menunggu pembukaan pendaftaran prodi baru oleh Kemristekdikti, tim taskforce yang telah terbentuk terus bekerja mempersiapkan segala dokumen akademik yang diperlukan. Selain itu, berdasarkan rekomendasi Lokakarya Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh pada Desember 2015 di Darussalam, Banda Aceh, Tim Perumus Penyusunan Ejaan Bahasa Aceh juga sudah terbentuk dan sedang bekerja mempersiapkan aturan baku terkait dengan kaidah penulisan BA yang baku. Semoga segala upaya tersebut dapat berjalan dengan lancar, dan Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh segera berdiri di universitas “Jantong Ate Rakyat Aceh” ini.

(8)

8 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

Memproduksi dan Mendistribusi Berbagai Dokumen Akademik sebagai Bahan Bacaan dan Referensi

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan dokumen akademik yang representatif dan update sebagai bahan bacaan dan referensi tentang BA sangat kurang. Hal ini tentunya terkait dengan kebijakan anggaran dan political will pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh dalam melihat keurgenan pembinaan bahasa ibu BA. Wacana, isu, dan angin segar lainnya mengenai pembinaan bahasa daerah, khususnya bahasa ibu BA sepertinya hanya isapan jempol. Dalam beberapa kali kampanye pilkada pernah menguat isu pengutamaan pembangunan BA sebagai sarana komunkasi utama di Aceh di samping bahasa Indonesia. Para kontestan pemilu “berapi-api” mengembuskan “angin surga” tersebut, tetapi saat berhasil bertahta mereka memicingkan mata rapat-rapat. Pascatsunami yang begitu banyak dana segar yang tersedia untuk rehab-rekon, tetapi untuk sebuah proposal semiloka BA yang proyeksi anggaran biayanya sekitar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) merasa sangat besar bagi penguasa, dan singkat cerita semiloka itu pun gagal. Kemudian, seiring bangkitnya kembali Aceh pascakonflik dan tsunami, secara pribadi saya juga pernah mengusulkan kegiatan penulisan dan penyediaan dokumen akademik sebagai bahan bacaan dan referensi bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi siswa sebagai generasi penerus bangsa kepada Pemerintah Aceh sampai saat ini tidak jelas juntrungannya.

Terkait dengan peran dan tanggung jawab Pemerintah Aceh, dalam penjelasan undang-undang dasar 1945, dalam Pasal 36 disebutkan bahwa negara akan menghormati dan memelihara bahasa-bahasa daerah yang masih digunakan oleh penuturnya karena bahasa-bahasa tersebut merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Kemudian, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom telah menambah lagi kekuatan untuk membina dan mengembangkan bahasa daerah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, dan Permen Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa. Keempat regulasi tersebut menegaskan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dan budaya daerah merupakan kewenangan masing-masing daerah.

Kembali ke persoalan di atas, ketersediaan dokumen akademik yang representatif dan

update sebagai bahan bacaan dan referensi tentang bahasa ibu BA sangat urgen bagi

peyebarluasan nilai-nilai kearifal lokal yang beragan yang terdapat di Aceh. Pemerintah Aceh mesti menyadari bahwa ini penting sehingga kebijakan pembangunannya akan memihak juga kepada pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah di Aceh, khususnya BA sebagai bahasa ibu yang dominan dipakai. Pemerintah Aceh perlu mengalokasikan anggaran biaya pembangunannya, antara lain, kepada pertemuan-pertemuan ilmiah yang menghasilkan kesepakatan bersama antarberbagai elemen masyarakat terkait dengan aturan atau kaidah bahasa tulis yang digunakan dalam BA, penelitian-penelitian bahasa dan sastra daerah di Aceh, penulisan buku-buku paket atau buku-buku referensi atau buku-buku bacaan siswa atau kamus-kamus BA.

Agar dokumen yang telah diproduksi dapat bermanfaat bagi masyarakat secara luas, pendistribusian secara merata dan memadai kepada lembaga-lembaga pemerintah, khususnya sekolah-sekolah perlu dilakukan secara berkelanjutan. Di samping itu, sosialisasi pemanfaatan buku-buku yang telah tersedia juga menjadi kegiatan penting yang perlu dilakukan. Untuk terealisasikan semua itu tentu membutuhkan dana yang memadai. Yang jelas, tanpa kebijakan anggaran dan political will yang positif dari pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh, usah berharap BA sebagai bahasa ibu akan terbina dengan baik. Yang terjadi adalah terbinasanya BA secara pasti, dan akhirnya benar-benar punah seperti bahasa Yunani dan bahasa Latin itu.

(9)

9 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

Rekomendasi Kongres Bahasa Daerah Nusantara Pertama

Berdasarkan berbagai kekhawatiran akan melemahnya fungsi dan kedudukan bahasa ibu sebagai penciri bangsa, Kongres Bahasa Daerah Nusantara (KBDN) pertama yang dilaksanakan pada 2-4 Agustus 2016 di Bandung telah merumuskan 14 rekomendasi yang urgen yang perlu menjadi perhatian kita dalam upaya dan tindakan nyata membina, megembangkan, dan mempertahankan bahasa ibu di Nusantara. Rumusan rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

(1) UNESCO harus menetapkan secara tegas bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Mengingat kekayaan nilai budaya, etika, dan hikmat yang tercantum dalam setiap bahasa daerah, dan bahwa salah satu faktor kunci dalam kepunahan sebuah bahasa adalah orang tua yang tidak lagi mewariskan bahasa daerah kepada anak mereka, UNESCO harus mempromosikan manfaatnya penggunaan bahasa daerah oleh orang tua dengan anak mereka, dan oleh penutur bahasa daerah dengan sesama suku bangsanya.

(2) UU Nomor 24 Tahun 2009 belum secara khusus mengatur secara teknis terhadap perlindungan bahasa daerah. Oleh karena itu, KBDN mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membuat undang-undang perlindungan bahasa daerah yang komprehensif, mengikat, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(3) Perlu adanya perubahan pandangan masyarakat, yang hanya melihat bahasa daerah dari aspek ekonomis (kemanfaatan) menjadi bahasa daerah sebagai identitas, jatidiri, sumber sistem nilai dalam berperilaku, dan salah satu sumber sistem pengetahuan.

(4) Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus membuat peraturan perlindungan dan pengembangan bahasa daerah dengan ruang lingkup yang jelas dan rinci, mengikat terhadap dirinya sendiri, serta masyarakat umum sehingga bahasa daerah digunakan di lingkungan keluarga dan lingkungan yang lebih luas, seperti di sekolah, di dalam mata pelajaran, kegiatan beragama, dan penamaan pemukiman, pertokoan atau perkantoran.

(5) Pelajaran bahasa daerah tidak hanya ditempatkan sebagai muatan lokal atau pilihan wajib, tetapi harus sejajar dengan mata pelajaran lain dalam kurikulum nasional.

(6) Untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa daerah, perguruan tinggi harus membuat program studi bahasa daerah, dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus menyediakan guru bahasa daerah dengan mengangkat lulusan program studi bahasa daerah dan secara terus-menerus meningkatkan kompetensinya.

(7) Dewasa ini buku teks mata pelajaran nonbahasa daerah untuk peserta didik di tingkat PAUD, TK, dan kelas 1 sampai dengan kelas 3 menggunakan bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah yang anak anak didiknya lebih menguasai bahasa daerah daripada bahasa nasional, penyampaian materi di tingkat ini lebih efektif apabila dominan menggunakan bahasa daerah. Oleh karena itu, di daerah-daerah tersebut buku teks semua mata pelajaran di tingkat usia dini sebaiknya menggunakan bahasa daerah, dan para guru dilatih agar mendorong penggunaan bahasa daerah di ruang kelas, baik secara lisan maupun tertulis.

(8) Sehubungan dengan perlunya bahan tertulis dalam bahasa daerah, dan mengingat bahwa hanya sekitar sepertujuh dari semua bahasa daerah di Indonesia (atau sekitar 100 bahasa) sudah memiliki sistem ejaan, universitas-universitas di seluruh Nusantara harus mengadakan kuliah linguistik tentang proses pembuatan sistem ejaan (ortografi). Di daerah yang sistem ejaan bahasa daerahnya sudah ada, balai bahasa setempat wajib menyosialisasikan sistem ejaan bahasa tersebut, misalnya dengan cara mengadakan pelatihan guru yang dipimpin oleh linguis-linguis yang menguasai ortografi tersebut.

(9) Pemerintah perlu lebih meningkatan penerbitan buku pelajaran, buku sastra, dan buku teks berbahasa daerah lainnya, serta berkewajiban menyebarluaskannya.

(10) Pengadaan buku pengajaran dan buku bacaan bahasa daerah hendaknya tidak dilaksanakan oleh pemerintah sendiri. Peran pemerintah dalam penerbitan adalah sebagai penyedia dana dan pembentuk tim penilai yang kompeten dan kredibel.

(10)

10 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

(11) Setakat ini, belum ada kamus bahasa daerah yang lengkap. Pembuatan kamus dapat pula dipandang sebagai bentuk pelestarian bahasa, menggambarkan sejarah kata, serta memberi gambaran perbandingan antarbahasa di setiap daerah. Untuk itu, perlu dilakukan penyusunan kamus bahasa daerah yang lengkap dan dapat diakses oleh masyarakat.

(12) Sebagai negara dengan jumlah bahasa daerah terbanyak kedua di dunia, data keberadaan bahasa daerah di Indonesia belum akurat. Oleh karena itu, diperlukan program inventarisasi dan dokumentasi bahasa daerah untuk mengetahui keberadaan bahasa daerah, baik yang masih hidup, yang terancam punah, maupun yang sudah punah. Sebagian data tersebut dapat dikumpulkan dari sensus kependudukan lewat pertanyaan tentang bahasa yang dikuasai oleh responden secara lisan atau tertulis.

(13) Sejalan dengan upaya-upaya terhadap perlindungan bahasa daerah, perlu pula dilakukan upaya-upaya khusus di dalam perlindungan, pengembangan, dan penyebarluasan aksara daerah.

(14) Optimalisasi penggunaan teknologi informasi untuk pembelajaran, pendidikan, dan penyebarluasan bahasa daerah.

Penutup

Catatan penutup makalah terakhir Djunaidi (2004) yang disampaikan dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV; sebelum beliau tutup usia pada 12 tahun yang lalu dalam prahara tsunami (allahummaghfirlahu...) masih sangat urgen untuk kita renungi bersama saat ini. Apakah kita, khususnya para pemangku kebijakan, sudah menindaklanjuti pesan-pesan terakhir beliau terakait dengan tindakan nyata yang harus kita lakukan dalam pembinaan dan pengembahanan bahasa, khususnya bahasa ibu, BA?

Globalisasi sering sekali digunakan sebagai benteng untuk membenarkan bahasa dan sastra daerah berada pada posisi subordinasi di dalam masyarakat pemakainya. Hal itu, terutama dikaitkan dengan ketidakberdayaan bahasa dan sastra daerah untuk mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya modern. Jika keadaan demikian, yang memang tidak perlu dihindari, tidak diimbangi dengan kebijakan melestarikan bahasa dan sastra daerah melalui perencanaan sosial, status, dan korpus bahasa, bahasa dan sastra daerah pada suatu saat akan punah. Dalam lingkup Aceh, beberapa tindakan yang dapat dilakukan pada saat ini adalah (a) perlu ada sebuah kanun tentang kebijakan (policy) bahasa dan sastra daerah agar semua pihak terikat untuk melaksanakan kebijakan tersebut; (b) Balai Bahasa Banda Aceh, yang merupakan organisasi profesional milik Pemerintah di tingkat provinsi, diberi wewenang terus-menerus untuk bersama-sama dengan Pemerintah Daerah membina dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah; (c) perlu disediakan di tingkat provinsi sebuah perpustakaan yang modern dan canggih yang memberikan informasi tentang bahasa, sastra, dan budaya daerah; (d) Pemerintah Daerah dan masyarakat perlu terus memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa melahirkan karya besar dalam bidang bahasa atau sastra daerah; (e) Pemerintah Daerah perlu menggalang kerja sama yang lebih terarah dan terencana dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, Balai Bahasa, organisasi profesi (Masyarakat Linguistik Indonesia dan/atau Himpunan Pembina Bahasa Indonesia), dan instansi terkait lain dalam membina dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah.

(11)

11 | Upaya Pemertahanan Bahasa Aceh sebagai Bahasa Ibu di Nusantara

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Teuku dkk. 2008. “Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama Anak dalam Keluarga Masyarakat Aceh Penutur BA di Nanggroe Aceh Darussalam”. Laporan Penelitian Fundamental Dikti Tahum 2008.

Azwardi. 2013. “Penggolong Boh dalam BA”. Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia MPBSI PPs Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Daud, Bukhari. 2004. “Bahasa dan Sastra Aceh Milik Siapa”. Makalah dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV di Banda Aceh.

Djunaidi, Abdul. 2004. “Revitalisasi Bahasa-Bahasa Daerah di Aceh”. Makalah dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV di Banda Aceh.

Idham, Muhammad dan Azwardi. 2007. “Analisis Kesalahan Penulisan BA pada Media Luar Ruang di Kota Banda Aceh”. Laporan Penelitian Dikti Tahu 2007.

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan

Kebudayaan. Jakarta: Kesain Blanc.

Subhayni, dan Azwardi. 2008. “Analisis Kesalahan Penulisan BA dalam Teks Syair Lagu Aceh pada Video Compact Disc Lagu Aceh”. Laporan Penelitian Dikti Tahu 2007.

Referensi

Dokumen terkait

240 Pemerintah Provinsi Bengkulu 241 Pemerintah Provinsi DIY Yogyakarta 242 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 243 Pemerintah Provinsi Gorontalo 244 Pemerintah Provinsi Jambi

Jika santunan yang akan diterima oleh ahli waris ketika Pak Sofyan meninggal sebelum istrinya adalah Rp 50.000.000,00, maka premi yang harus dibayarkan setiap awal tahun

An ability to apply knowledge of mathematics, statistics, science and engineering analysis in order to solve industrial engineering problems ( Kemampuan menerapkan

Saran revisi produk pada indikator tersebut diberikan oleh ahli lingkungan hidup karena ada tiga teks eksposisi yang memerlukan penambahan data/informasi penunjang

Pada penelitian ini dilakukan formulasi sediaan lepas lambat tablet teofilin dengan metode granulasi basah dengan matriks Natrium Karboksimetil selulose (NaCMC) dan Xanthan Gum

sehingga negeri yang yang tandus, kering dan tidak ada tanaman menjadi negeri yang aman, penduduknya terdiri dari orang-orang yang beriman bertaqwa mendirikan sholat dan dijauhkan

1) Kekuatan dan kelemahan pembelajaran mata pelajaran yang ditekuni Praktikan merupakan mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar sehingga nantinya menjadi guru kelas dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id.. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id