VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Aspek Non Finansial
Analisis aspek–aspek non finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dilihat dari aspek-aspek non finansial. Aspek kelayakan non finansial mencakup pembahasan mengenai aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan.
6.1.1. Aspek Pasar
Aspek pasar merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam menentukan kelayakan pada suatu usaha. Tidak tersedianya pasar yang baik dalam menyerap produk yang dihasilkan suatu usaha maka usaha tersebut akan sulit untuk berjalan dengan lancar. Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai komponen-komponen dari aspek pasar.
6.1.1.1. Potensi Pasar (Permintaan dan Penawaran)
Terdapat dua jenis permintaan yang terjadi pada pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan, yaitu permintaan log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Kedua jenis permintaan tersebut belum mampu terpenuhi oleh pelaku usaha. Saat ini, pelaku usaha dapat menghasilkan log jamur tiram putih sebanyak 32.000 log/bulan, sedangkan permintaan yang diterima mencapai 95.000 log/bulan. Permintaan tersebut berasal dari Cibedug sebesar 16.667 log/bulan, Cipanas sebesar 33.333 log/bulan, Cianjur 5000 log/bulan, dan Kabupaten Bandung sebesar 40.000 log/bulan. Selisih penawaran dan permintaan yang tinggi tersebut menyebabkan log jamur tiram putih yang diproduksi selalu terserap oleh pasar dan menjadi peluang yang baik bagi pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan untuk melakukan pengembangan usaha pembuatan log jamur tiram putih. Pelaku usaha akan melakukan pengembangan usaha produksi log menjadi 52.000 log/bulan untuk mengambil peluang tersebut yang didasarkan pada kapasitas teknologi sterilisasi yang mampu menampung baglog sampai 2000-2200 log.
Tangerang. Wilayah tersebut menjadi sasaran pasar utama dikarenakan harga jual yang cukup tinggi mencapai Rp 9000/kg. Permintaan dari pasar di Jakarta, Depok, dan Tangerang masing-masing mencapai 8 ku/hari, 2 ku/hari, dan 4 ku/ hari. Namun, pada saat ini pelaku usaha jamur tiram putih baru mampu memenuhi permintaan tersebut sebesar 6,66 ku/hari. Selisih antara penawaran dan permintaan yang terjadi saat ini sebesar 7,34 ku/hari menyebabkan jamur tiram putih segar selalu terjual habis di pasar. Selain permintaan dari pasar di atas, pada akhir tahun 2011 akan terdapat permintaan baru dari Batam dan wilayah Jawa masing-masing sebesar 2 ku/hari dan 6 ku/hari. Melihat peluang tersebut pelaku usaha akan melakukan pengembangan budidaya jamur tiram putih menjadi sebesar 8,88 ku/hari. Pelaku usaha jamur tiram di Desa Tugu Selatan perlu meningkatkan terus produksinya agar dapat mengisi peluang-peluang pasar tersebut. Berikut merupakan perkembangan produksi jamur di Jawa Barat (Tabel 11).
Tabel 11. Perkembangan Produksi Jamur di Jawa Barat Tahun 2004-2009
Tahun Produksi (kg) Presentase (%)
2004 9.500.000 - 2005 13.662.000 43,81 2006 10.173.800 -25,53 2007 5.133.000 -49,55 2008 5.416.094 5,52 2009 7.306.746 34,91
Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)
Proyeksi produksi pada tahun 2011 diperoleh melalui analisis deret waktu berupa metode kuadrat terkecil dengan persamaan:
dimana, dan
Tabel 12. Perhitungan Proyeksi Perkembangan Jamur di Jawa Barat
Tahun X Y X2 XY 2004 -3 9.500.000 9 -28.500.000 2005 -2 13.662.000 4 -27.324.000 2006 -1 10.173.800 1 -10.173.800 2007 1 5.133.000 1 5.133.000 2008 2 5.416.094 4 10.832.188 2009 3 7.306.746 9 21.920.238 Jumlah (∑) 51.191.640 28 -28.112.374
Dari perhitungan di atas diperoleh persamaan sehingga proyeksi produksi pada tahun 2011 (X=5) sebesar 3.511.873,21 kg. Dengan mengetahui produksi industri dan produksi pelaku usaha dapat diketahui market share dari usaha jamur tiram putih segar di Desa Tugu Selatan, saat ini dan setelah dilakukan pengembangan.
Market share saat ini (sebelum pengembangan usaha):
= 6,83%
Market share setelah pengembangan usaha:
= 9,11%
Market share yang diterima pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan saat ini sebesar 6,83% dan akan meningkat menjadi 9,11% setelah dilakukan pengembangan usaha. Perhitungan market share tersebut memiliki kelemahan dalam penentuan jumlah produksi jamur industri karena diperoleh dengan asumsi bahwa produksi dan penjualan jamur tiram dilakukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, sehingga jumlah produksi industri didasarkan pada total produksi jamur pada kedua provinsi tersebut.
6.1.1.2. Bauran Pemasaran
1. Produk
Pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan menghasilkan produk berupa log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Baglog yang saat ini dihasilkan pelaku usaha sebesar 2176 log/hari, dimana sekitar 1067 log untuk dijual dan 1109 log untuk dibudidayakan, sedangkan baglog yang akan dihasilkan pelaku usaha setelah pengembangan sebesar 2843 log/hari, dimana sekitar 1734 log untuk dijual dan 1109 log untuk dibudidayakan. Jumlah baglog yang akan digunakan untuk kegiatan budidaya tidak meningkat, namun jumlah
meningkat menjadi 888,18 kg/hari dimana diasumsikan log menghasilkan 5 ons/log pada setiap masa panen. Hal tersebut terjadi dikarenakan terdapat pelaku usaha yang akan melakukan pengembangan usaha dengan membeli log jamur tiram putih untuk dibudidaya yang diperoleh dari petani di sekitar Cisarua, namun diluar dari pelaku usaha yang diteliti. Jamur segar yang dihasilkan pelaku usaha merupakan jamur dengan kualitas baik yaitu segar langsung dijual, berwarna putih dengan sedikit kekuningan, berukuran standar (banyak diminati pasar), dan berdaging tebal, sedangkan untuk baglog jamur yang diproduksi memiliki berat sekitar 1,2 kg dan dapat menghasilkan jamur segar rata-rata 5 ons/log. Masa produktif dari log sekitar 70 hari. Selama masa produktif tersebut log jamur dapat dipanen sebanyak lima kali.
Gambar 4. Baglog Jamur Tiram Putih Gambar 5. Jamur Tiram Putih Segar 2. Harga
Harga jamur tiram putih segar yang diterima pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan sebesar Rp 6.500/kg dengan sistem jual di tempat. Penjualan jamur segar dilakukan dengan sistem penjualan secara langsung ke pedagang pengumpul. Harga jual log jamur tiram putih yang ditetapkan oleh pelaku usaha sebesar Rp 1.800/log. Harga jual tersebut ditetapkan berdasarkan biaya produksi yang diperlukan untuk memproduksi log yang mencapai Rp 1.200/log, sehingga diperoleh selisih sebesar Rp 600/log yang merupakan keuntungan yang diterima pelaku usaha.
3. Tempat (Saluran Distribusi)
Output yang dihasilkan dari usaha ini berupa jamur tiram putih segar dan log jamur tiram putih. Log jamur tiram putih dari pelaku usaha dipasarkan ke daerah sekitar Cibedug, Cipanas, dan Cianjur. Pemasaran dari log jamur tiram putih ini dengan cara mengantarkan log jamur langsung ke konsumen dengan biaya transport Rp 100/log.
Gambar 6. Saluran Distribusi Baglog Jamur Tiram Putih di Desa Tugu Selatan
Pemasaran jamur tiram putih segar berbeda dengan baglog jamur tiram putih dimana pelaku usaha tidak menjual langsung jamur tiram putih segar kepada konsumen akhir melainkan melalui pedagang pengumpul. Jamur tiram putih segar dipasarkan ke daerah sekitar Jakarta, Depok, dan Tangerang. Jamur tiram segar yang dijual ke pedagang pengumpul tidak menghasilkan biaya transport bagi pelaku usaha dikarenakan pedagang pengumpul sendiri yang akan datang ke lokasi usaha dan diangkut dengan mobil milik pedagang pengumpul. Berikut distribusi jamur tiram putih segar dari pelaku usaha di Desa Tugu Selatan:
Gambar 7. Saluran Distribusi Jamur Tiram Putih Segar di Desa Tugu Selatan
Pada saluran pertama, jamur tiram putih segar yang dihasilkan dijual ke pedagang pengumpul. Selanjutnya pedagang pengumpul menjual jamur tiram putih segar tersebut ke pedagang pengecer pertama yang berjualan di Pasar Jakarta, Depok, dan Tangerang seperti Ciputat dan Pasar Induk Kramat Jati. Dari pedagang pengecer ini kemudian sampai di konsumen akhir.
Saluran kedua, pelaku usaha tetap menjual kepada pedagang pengumpul dan dari pedagang pengumpul dijual ke pedagang pengecer pertama. Pedagang pengecer pertama kemudian menjual ke pedagang pengecer kedua seperti
Pelaku Usaha di Desa Tugu Selatan
Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer 1 Pedagang Pengecer 2 Konsumen Akhir 1 2 Pelaku Usaha di Desa Tugu
Selatan
Petani Cibedug Petani Cipanas
pedagang di Pasar Pondok Gede dan Pasar Jatinegara. Dari pedagang pengecer kedua kemudian sampai kepada konsumen akhir.
4. Promosi
Promosi merupakan kegiatan memperkenalkan produk yang dihasilkan. Kegiatan promosi yang dilakukan oleh pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan pada awal usaha yaitu dengan memberikan contoh log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar kepada konsumen atau pasar, sehingga konsumen atau pasar tersebut dapat mengetahui kualitas dari log dan jamur segar tersebut. Saat ini promosi yang terjadi hanya melalui word of mouth karena beberapa pasar sudah mengetahui kualitas yang baik dari log dan jamur segar pelaku usaha di Desa Tugu Selatan.
Berdasarkan uraian tesebut, pada aspek pasar pengembangan usaha jamur tiram putih layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan besarnya potensi pasar dan peluang pasar yang ditunjukkan dengan nilai market share dan selisih antara permintaan dan penawaran yang diperoleh pelaku usaha.
6.1.2. Aspek Teknis
Aspek teknis yang dikaji berkaitan dengan pemilihan lokasi usaha, pemilihan jenis teknologi dan peralatan, proses produksi, dan tata letak usaha.
6.1.2.1. Pemilihan Lokasi Usaha
Pada dasarnya, pelaku usaha jamur tiram putih memilih lokasi usaha di Desa Tugu Selatan berdasarkan kondisi lingkungan dan agroekosistem yang cocok untuk pertumbuhan tanaman jamur tiram putih, ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, letak pasar yang dituju, dan ketersediaan sarana prasarana serta fasilitas transportasi.
a) Lingkungan Agroekosistem
Pelaku usaha jamur tiram putih berada di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa Tugu Selatan terletak pada 1025 m-1052 m dari ketinggian permukaan laut dengan tingkat suhu rata-rata harian, yaitu 200C-240C. Suhu dan kelembaban udara tersebut cocok untuk kegiatan budidaya jamur tiram putih. Suhu yang baik saat jamur tiram putih membentuk miselium atau pada masa inkubasi adalah berkisar antara 220C-280C dengan kelembaban udara 60%-70%, sedangkan suhu pada pembentukan tubuh buah berkisar antara
160C-220C dengan kelembaban 80-90% (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Syarat tumbuh jamur tersebut memperlihatkan bahwa Desa Tugu Selatan cukup baik dan cocok untuk pertumbuhan jamur didukung dengan pemeliharaan jamur yang baik.
b) Ketersediaan Bahan Baku
Pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan memiliki kegiatan bisnis yang berbeda. Ada pelaku usaha yang memproduksi baglog untuk dijual maupun untuk dibudidayakan. Kegiatan produksi baglog tersebut memerlukan beberapa bahan baku utama, yaitu serbuk kayu, dedak, kapur, jagung, gips, dan bibit jamur tiram putih. Pelaku usaha tersebut akan memproduksi 2843 log setiap hari, sehingga ketersediaan bahan baku perlu diperhatikan agar kelancaran kegiatan produksi dapat terjamin.
Bahan baku dibeli dari pemasok yang berada di beberapa daerah, yaitu Sukabumi, Cianjur, dan sekitar Cisarua. Bahan baku serbuk kayu diperoleh dari pemasok di daerah Sukabumi. Pemasok tersebut dipilih karena mampu memenuhi permintaan dari pelaku usaha secara kontinu. Bahan baku berupa dedak dan bibit berasal dari daerah Cianjur yang cukup dekat dengan lokasi usaha. Bibit yang digunakan adalah bibit F2 yang memiliki jaminan kualitas dari pemasok. Bahan baku lain seperti kapur, jagung, karet, dan plastik diperoleh dari pasar di Cisarua, sehingga memiliki biaya transportasi yang rendah dikarenakan jarak yang sangat dekat dengan lokasi usaha. Berikut bahan baku yang digunakan pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan:
Tabel 13. Kebutuhan Bahan Baku pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu
Selatan
No. Jenis Bahan Baku Satuan Kebutuhan (per bulan) Asal Bahan Baku
1 Serbuk kayu Karung 2.132 Sukabumi
2 Dedak Kg 6.396 Cianjur
3 Kapur Kg 1.279,2 Cisarua
4 Jagung Kg 2.558,4 Cisarua
5 Gips Kg 639,6 Tajur
6 Bibit Log 2132 Cianjur
7 Plastik Kg 460,973 Cisarua
8 Koran Kg 42,64 Cianjur
c) Ketersediaan Tenaga Kerja
Lokasi usaha jamur tiram putih di daerah Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor merupakan lokasi yang memiliki jumlah ketersediaan tenaga kerja cukup banyak. Saat ini terdapat 17 orang yang menjadi tenaga kerja tetap dan 16 orang pekerja borongan. Untuk pengembangan usaha yang akan dilakukan menyebabkan kebutuhan tenaga kerja meningkat menjadi 25 orang tenaga kerja tetap dan 21 orang pekerja borongan. Tenaga kerja tersebut melakukan berbagai pekerjaan kegiatan budidaya jamur tiram putih seperti pengadukan, loging, perebusan, inokulasi, pemeliharaan, dan pemanenan. Tenaga kerja tidak diharuskan memiliki keterampilan atau keahlian khusus dalam budidaya jamur tiram putih, tetapi memiliki keinginan untuk belajar dan bekerja serta disiplin dalam bekerja. Pelaku usaha akan melakukan pelatihan kepada calon tenaga kerja sebelum mereka bekerja. Sebagian besar tenaga kerja berasal dari wilayah sekitar lokasi usaha. Hal ini dapat mengurangi angka pengangguran bagi desa tersebut.
d) Letak Pasar yang Dituju
Pasar tujuan dari baglog jamur tiram putih adalah Cibedug, Cipanas, dan Cianjur. Daerah tersebut tidak terlalu jauh dari lokasi usaha dan cukup mudah diakses dengan menggunakan mobil. Pemasaran baglog jamur tiram putih dilakukan sendiri dengan menyewa mobil bak terbuka.
Pasar tujuan jamur tiram putih segar dari pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan adalah Jakarta, Depok, dan Tangerang. Pelaku usaha mempercayakan pemasaran jamur tiram putih segar kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul mengambil jamur tiram putih segar langsung di lokasi usaha. Pedagang pengumpul mengambil menggunakan mobil, sehingga para pelaku usaha tidak mengeluarkan biaya transportasi.
e) Ketersediaan Sarana Prasarana dan Fasilitas Transportasi
Pelaku usaha memiliki akses yang mudah dijangkau dan cukup dekat dengan pasar bahan baku serta pasar baglog jamur tiram putih, sehingga biaya transportasi yang dikeluarkan tidak besar. Lokasi usaha berjarak sekitar 500 m dari jalan utama, sehingga memudahkan pelaku usaha melakukan mobilisasi ke
berbagai wilayah. Jalan utama di sekitar lokasi telah beraspal dan cukup lebar serta akses kendaraan umum mudah didapat.
6.1.2.2. Pemilihan Jenis Teknologi dan Peralatan
Pemilihan teknologi dan peralatan produksi pada pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan termasuk dalam teknologi dan peralatan sederhana. Pada proses pengadukan media log dan loging menggunakan peralatan seperti sekop, cangkul, ayakan, sarung tangan, ember, dan timbangan. Pada proses sterilisasi atau pengukusan menggunakan drum atau oven, termometer, gas, dan roli. Namun, drum memiliki kelemahan dalam kepastian pematangan log karena hanya didasarkan pada habisnya tabung gas 12 kg yang digunakan sebanyak dua tabung selama kurang lebih delapan jam tanpa mengetahui suhu perebusan yang dilakukan dan drum hanya memiliki kapasitas 600-700 baglog sehingga dalam penelitian ini akan menggunakan oven sebagai alat sterilisasi yang dipanaskan menggunakan kayu bakar.
Proses sterilisasi menggunakan oven dilakukan sampai suhu mencapai 900C-1000C yang dapat dilihat pada termometer yang terpasang pada oven tersebut. Proses pengukusan dengan menggunakan oven memiliki kapasitas yang mencapai 2000-2200 baglog dengan bahan bakar berupa kayu bakar yang diperoleh dari daerah sekitar lokasi usaha. Proses inkubasi, pemeliharaan, dan pemanenan menggunakan cutter, keranjang, timbangan, stimer, termometer, dan selang air. Stimer digunakan untuk proses penyiraman baglog. Pada saat proses inkubasi dan pemeliharaan sebaiknya menggunakan barometer yang berfungsi untuk mengetahui kelembaban ruangan, sehingga pertumbuhan miselium dan pertumbuhan jamur menjadi lebih baik.
6.1.2.3. Proses Produksi
Adapun rangkaian kegiatan proses produksi yang dilakukan oleh pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan Media Tanam a. Pengayakan
Serbuk kayu yang akan digunakan sebagai media tanam jamur tiram putih disaring dengan menggunakan ayakan untuk mendapatkan serbuk kayu yang halus dan seragam. Pengayakan dilakukan untuk mendapatkan kepadatan tertentu tanpa ada kerusakan plastik dan mendapatkan tingkat pertumbuhan miselium yang merata.
b. Pencampuran
Serbuk kayu yang telah halus dicampur dengan dedak, kapur, jagung, dan gips. Komposisi pencampuran ini terdiri dari dedak 10%, kapur 2%, jagung 4%, dan gips 1%. Presentase tersebut mengacu dari jumlah serbuk kayu sebagai media utamanya. Dedak dan jagung berfungsi sebagai nutrisi yang baik untuk pertumbuhan miselium jamur tiram putih. Kapur berfungsi sebagai penetral keasaman dengan mengontrol pH tetap stabil pada proses pemeraman dan gips berfungsi menguatkan kepadatan baglog. Setelah bahan dicampur hingga merata, ditambah air secukupnya. Penambahan air dilakukan sampai campuran tidak hancur saat digenggam dan tidak mengeluarkan air.
c. Pemeraman/Pengomposan
Pemeraman merupakan kegiatan menimbun campuran media tanam selama satu malam dengan cara menutupnya secara rapat menggunakan terpal. Proses ini dilakukan untuk fermentasi campuran media, sehingga kandungan yang terdapat dalam media tersebut terurai menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh jamur. Penguraian senyawa-senyawa kompleks tersebut terjadi dengan bantuan mikroba agar diperoleh senyawa-senyawa yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah dicerna oleh jamur.
d. Pengisian Media ke Kantung Plastik (Baglog)
Media produksi dimasukkan ke dalam plastik polipropilen ukuran 17x35 cm dengan kepadatan tertentu agar miselium jamur dapat tumbuh maksimal dan menghasilkan panen yang optimal. Media dipadatkan sampai memiliki bobot sekitar 1,2 kg.
e. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses yang dilakukan untuk mematikan mikroba baik bakteri, kapang, maupun khamir yang dapat mengganggu pertumbuhan jamur yang ditanam. Sterilisasi dilakukan dengan memasukkan baglog ke dalam oven pengukusan hingga suhu 90-100 0C. f. Pendinginan
Proses pendinginan merupakan upaya menurunkan suhu media tanam setelah disterilkan agar bibit jamur yang akan dimasukan ke dalam baglog tidak mati. Pendinginan dilakukan selama semalam sebelum dilakukan inokulasi.
2. Inokulasi Bibit (Penanaman)
Inokulasi merupakan proses kegiatan pemindahan sejumlah kecil miselium jamur tiram putih dari biakan induk ke dalam media tanam yang telah disediakan. Satu log bibit dapat digunakan untuk 40 log jamur budidaya. Inokulasi dilakukan dalam ruangan yang bersih dan steril agar tidak terjadi kontaminasi yang dapat membuat pertumbuhan jamur menjadi tidak baik. Setelah diberi bibit, baglog ditutup dengan menggunakan koran, ring bambu, dan karet.
3. Inkubasi
Inkubasi merupakan proses menempatkan media tanam yang telah diinokulasi pada kondisi ruang tertentu agar miselium jamur tiram putih tumbuh. Pelaku usaha umumnya tidak memiliki kumbung inkubasi khusus. Baglog yang telah diinokulasi langsung dimasukkan ke dalam kumbung yang nantinya juga akan digunakan sebagai tempat pemeliharaan dan pemanenan. Hal ini dilakukan untuk melakukan penghematan ruang budidaya dan efisisiensi proses produksi. Suhu yang diperlukan untuk perumbuhan
dilakukan sampai seluruh permukaan dalam baglog berwarna putih merata yang umumnya berlangsung selama 30 hari. Apabila setelah satu minggu tidak terdapat pertumbuhan miselium jamur tiram putih maka kemungkinan besar jamur tersebut tidak tumbuh dan lebih baik dimusnahkan.
Gambar 10. Log Jamur Siap Budidaya Gambar 11. Log Jamur Gagal
4. Pemeliharaan
Setelah baglog berwarna putih merata, jamur tiram putih akan mulai tumbuh sehingga sumbatan koran pada baglog harus dibuka. Kelembaban udara diatur sekitar 90 persen agar media tidak mengering. Kelembaban udara dapat dijaga dengan melakukan penyiraman. Penyiraman dilakukan tiga kali dalam sehari jika cuaca panas, sedangkan saat musim penghujan penyiraman dapat tidak dilakukan sama sekali sampai satu atau dua kali penyiraman selama sehari. Kegagalan pada budidaya jamur ditandai dengan tumbuhnya serat/miselium jamur tiram berwarna, misalnya hitam, biru, coklat, dan kuning yang dapat disebabkan kurang matangnya dalam proses pengukusan baglog atau kurang strerilnya dalam proses inokulasi, sehingga tumbuhnya jamur lain yang merugikan. Penanganan selanjutnya adalah jamur tiram segera dipisahkan ke luar ruangan dan cepat dibakar. Pertumbuhan tubuh buah awal umumnya ditandai dengan adanya bintik-bintik serat berwarna putih yang semakin lama membesar dan setelah selang beberapa hari akan tumbuh jamur tiram kecil.
5. Pengendalian Hama dan Penyakit
Kegiatan pengendalian hama dan penyakit dilakukan untuk mengkoordinasikan baglog dan tubuh buah yang bebas dari organisme pengganggu dengan tujuan untuk menghindari kegagalan panen yang diakibatkan oleh serangan hama, penyakit, dan cendawan pengganggu. Umumnya hama yang sering menyerang jamur tiram putih adalah tikus, kutu, dan bintik nyamuk. Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan tidak menggunakan pestisida, tetapi dengan menjaga kebersihan kumbung dan memasang perangkap plastik yang diberi minyak jelantah agar hama nyamuk dan kutu dapat terperangkap.
Gambar 13. Perangkap Plastik
6. Panen
Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat optimal, yaitu cukup besar tetapi belum maksimal. Panen jamur dilakukan dengan cara mencabut seluruh jamur hingga bagian pangkal jamur yang terdapat pada baglog. Bagian lubang baglog harus bersih dari sisa jamur yang lama agar tidak terjadi pembusukan yang dapat menghambat pembentukan jamur baru. Panen dilakukan pada pagi hari dan didiamkan sekitar satu jam untuk mengurangi kadar air dalam jamur. Hal tersebut dilakukan agar jamur tidak mudah rusak saat pengemasan. Satu baglog jamur dapat dipanen sebanyak lima kali dengan waktu antar panen berkisar antara 12-14 hari.
Gambar 14. Jamur Tiram Putih Siap Panen
7. Pasca Panen
Kegiatan pasca panen yang dilakukan berupa membersihkan jamur dari kotoran dan memotong akar jamur yang kotor dengan menggunakan cutter. Jamur yang telah bersih ditimbang dan dikemas dalam kantong plastik dengan kapasitas 5 kg.
Gambar 15. Pemotongan Akar Jamur Gambar 16. Pengemasan Jamur Tiram
Pelaku usaha yang menjual log jamur tiram putih hanya memiliki kegiatan produksi sampai proses inkubasi, pelaku usaha yang hanya melakukan budidaya jamur tiram putih kegiatan produksi dimulai pada tahap inkubasi, dan pelaku usaha yang membuat log serta budidaya jamur tiram putih memiliki kegiatan mulai dari pembuatan media tanam sampai pemanenan dan pasca panen.
6.1.2.4. Tata Letak Usaha
Pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan memiliki tiga lokasi usaha yang berbeda dengan luas lahan pada usaha penjualan baglog jamur tiram putih sebesar 2.000 m2, pada usaha membeli log untuk budidaya jamur tiram putih sebesar 2.000 m2, dan pada usaha membuat log jamur tiram putih untuk dijual dan dibudidaya sebesar 4.000 m2. Tata letak lokasi usaha ini akan disesuaikan dengan skenario yang dilakukan. Lokasi pelaku usaha pada skenario pertama merupakan tempat usaha pembuatan baglog jamur tiram putih yang akan dijual kepada pembudidaya. Pada lokasi tersebut terdapat beberapa bangunan, yaitu ruang produksi yang terdiri dari ruang pengadukan, ruang inokulasi, dan ruang sterilisasi serta kumbung jamur dan ruangan karyawan. Bangunan-bangunan tersebut memiliki ukuran yang berbeda, ruang pengadukan berukuran 6x6 m2, ruang inokulasi berukuran 10x6 m2, ruang sterilisasi berukuran 6x5 m2, kumbung jamur berukuran 17x16 m2, dan ruang karyawan berukuran 5x5 m2 (Lampiran 1).
Lokasi pelaku usaha pada skenario kedua merupakan tempat usaha budidaya jamur tiram putih. Pada lokasi tersebut hanya terdapat beberapa bangunan, yaitu dua kumbung budidaya jamur dan ruangan karyawan. Bangunan-bangunan tersebut memiliki ukuran yang berbeda, kumbung jamur berukuran 16x16 m2 dan ruang karyawan berukuran 5x5 m2 (Lampiran 1). Lokasi pelaku usaha pada skenario ketiga merupakan tempat usaha pembuatan baglog jamur tiram putih yang akan dijual dan dibudidayakan. Tata letak lokasi pada skenario ini pada umumnya merupakan gabungan antara tata letak lokasi usaha skenario pertama dengan tata letak lokasi usaha skenario kedua, namun disesuaikan dengan jumlah produksi yang akan dilakukan. Pada lokasi ini terdapat beberapa bangunan, yaitu ruang produksi yang terdiri dari ruang pengadukan, ruang inokulasi, dan ruang sterilisasi serta kumbung jamur dan ruangan karyawan. Bangunan-bangunan tersebut memiliki ukuran yang berbeda, ruang pengadukan berukuran 8x8 m2, ruang inokulasi berukuran 12x8 m2, ruang sterilisasi berukuran 7x7 m2, tiga kumbung jamur berukuran masing-masing 16x16 m2, dan ruang karyawan berukuran 10x10 m2 (Lampiran 1). Berikut merupakan layout kumbung jamur pelaku usaha di Desa Tugu Selatan baik dari luar maupun dalam kumbung.
Gambar 18. Layout Kumbung Depan Gambar 19. Layout Kumbung Dalam
Berdasarkan analisis tersebut dapat dikatakan bahwa secara teknis pengembangan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan layak untuk dijalankan. Pada setiap kriteria dari aspek teknis secara keseluruhan tidak terdapat kendala dan permasalahan yang menghambat jalannya usaha. Pemilihan lokasi usaha, teknologi, proses produksi, dan tata letak usaha mampu menghasilkan produk secara optimal serta mendukung kegiatan pengembangan usaha dalam memperoleh laba.
6.1.3. Aspek Manajemen dan Hukum
Aspek manajemen mengkaji bentuk usaha, pengadaan tenaga kerja, struktur organisasi, dan jumlah tenaga kerja yang akan digunakan. Pada aspek hukum berisi mengenai masalah kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha, mulai dari bentuk badan usaha sampai izin-izin yang dimiliki (Kasmir & Jakfar 2009).
1. Manajemen
Tenaga kerja yang dimiliki pelaku usaha diperoleh melalui proses perekrutan yang sederhana berupa mencari masyarakat sekitar lokasi usaha yang membutuhkan pekerjaan dan memiliki disipilin dalam bekerja. Beberapa pemilik usaha mencari tenaga kerja yang memiliki pengalaman dalam usaha jamur tiram putih, namun pemilik usaha lain tidak mengharuskan calon tenaga kerja memiliki keterampilan atau keahlian khusus dalam budidaya jamur tiram putih. Pemilik usaha tersebut akan melakukan pelatihan kepada calon tenaga kerja sebelum mereka mempraktekannya dalam pekerjaan mereka. Pada usaha jamur tiram putih ini umumnya menggunakan tenaga kerja pria karena diperlukan dalam pekerjaan berat seperti melakukan proses pencampuran dan proses sterilisasi dalam pembuatan media tanam. Namun, terdapat juga tenaga borongan wanita yang bekerja dalam proses loging dan inokulasi. Untuk pengembangan usaha yang akan
dilakukan membutukan tenaga kerja sebanyak 25 orang tenaga kerja tetap dan 21 orang pekerja borongan.
Rata-rata jam kerja buruh tani usaha jamur tiram putih adalah delapan jam per hari yang dimulai dari pukul delapan pagi sampai empat sore. Gaji yang diperoleh pekerja tetap sebesar Rp 750.000/bulan. Besar gaji tersebut berdasarkan rata-rata gaji para tenaga kerja pada bidang yang sama di wilayah sekitar lokasi usaha. Upah yang diterima pekerja borongan sebesar Rp 110/log dimana besar upah tersebut juga didasarkan rata-rata upah para pekerja borongan pada bidang yang sama di wilayah sekitar lokasi usaha. Kegiatan pembuatan media tanam yang meliputi proses pengayakan hingga inokulasi akan dilakukan oleh delapan orang tenaga kerja tetap dan dua puluh satu orang pekerja borongan. Kegiatan pasca pembuatan media tanam yang meliputi inkubasi hingga pasca panen dilakukan oleh empat belas orang tenaga kerja tetap. Setiap lokasi usaha memiliki tenaga kerja yang bertugas sebagai supervisor. Pemilihan supervisor oleh pemilik usaha umumnya orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai usaha jamur tiram putih dengan baik. Supervisor tidak hanya mengawasi tenaga kerja dalam bekerja, tetapi juga melakukan pembukuan dan membantu proses pembuatan log atau budidaya jamur tiram putih.
Secara normatif suatu usaha yang baik memiliki struktur organisasi yang baku dan deskripsi yang jelas pada setiap jenis pekerjaannya. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung dan memastikan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan berlangsung dengan baik dan sesuai dengan pencapaian tujuan usaha. Pada usaha jamur tiram putih ini belum memiliki struktur organisasi yang baku. Struktur organisasi usaha jamur tiram putih umumnya terdiri dari pemilik, supervisor, tenaga kerja tetap, dan pekerja borongan yang berasal dari masyarakat sekitar (Gambar 20). Namun, setiap pekerja telah mengetahui dengan pasti pekerjaan yang harus mereka lakukan dan disiplin dalam bekerja, sehingga kegiatan operasional usaha jamur tiram putih dapat berlangsung dengan baik. Supervisor telah mampu mengkoordinir semua tenaga kerja dengan baik sesuai dengan pekerjaan mereka masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, maka aspek manajemen pengembangan usaha jamur tiram putih layak untuk dijalankan.
Gambar 20. Struktur Organisasi Usaha Jamur Tiram Putih di Desa Tugu Selatan
2. Hukum
Secara normatif suatu usaha yang baik memiliki badan usaha yang legal, sehingga kehadiran usaha tersebut telah memiliki kekuatan hukum dan mempermudah serta memperlancar kegiatan bisnis pada saat menjalin kerjasama dengan pihak lain. Namun, pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan belum memiliki badan usaha yang resmi dari pemerintah setempat. Pelaku usaha hanya tergabung dalam Kelompok Tani Jamur Mekar Rasa yang telah memiliki legalitas dari pemerintahan setempat yang ditandai dengan adanya surat keputusan dari Kepala Desa Tugu Selatan. Pada awal dilakukannya kegiatan usaha jamur tiram putih, pelaku usaha telah melakukan lapor izin usaha kepada pemerintah setempat. Perizinan yang telah dimiliki oleh pelaku usaha, yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Berdasarkan hal tersebut, walaupun usaha jamur tiram putih belum memiliki badan usaha, tetapi usaha tersebut telah memiliki legalitas dari pemerintah setempat untuk melakukan kegiatan operasional sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan aspek hukum pengembangan usaha jamur tiram putih layak untuk dijalankan
6.1.4. Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Dalam menyusun studi kelayakan bisnis, salah satu faktor yang perlu dinilai menyangkut aspek sosial. Pada umumnya, aspek sosial dapat dinilai dari segi manfaat yang diberikan suatu usaha terhadap perkembangan perekonomian masyarakat secara keseluruhan seperti terbukanya kesempatan kerja dan bertambahnya sarana serta prasarana daerah sekitar usaha. Ditinjau dari aspek sosial keberadaan pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat memiliki kontribusi dalam
Pemilik
Supervisor
Bagian Pencampuran dan Sterilisasi
Bagian loging dan inokulasi
Bagian Budidaya, Panen, dan Pasca Panen
pemberian kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Selain itu, masyarakat dapat belajar mengenai usaha jamur tiram putih. Masyarakat dapat belajar dengan cara melihat langsung proses produksi yang sedang dilakukan. Hal ini akan menambah pengetahuan dan kemampuan masyarakat sekitar dalam budidaya jamur tiram putih.
Dari segi ekonomi, adanya pelaku usaha dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini terlihat dari asal pekerja tetap dan pekerja borongan yang dimiliki usaha. Pekerja tetap dan pekerja borongan yang dimiliki usaha sebagian besar berasal dari daerah sekitar usaha. Para pekerja borongan merupakan ibu-ibu rumah tangga sekitar yang melakukan kegiatan produksi pada proses loging dan inokulasi dengan upah Rp 110/log, sedangkan pekerja tetap sebagian besar merupakan pekerja pria yang berasal dari daerah sekitar lokasi usaha dengan gaji Rp 750.000/bulan. Dilihat dari aspek budaya keberadaan usaha jamur tiram putih tidak mengganggu atau merusak kebiasaan masyarakat sekitar baik dilihat dari agama, nilai sosial, dan norma sosial masyarakat. Pemilik usaha yang bukan berasal dari daerah setempat dapat berbaur dengan masyarakat sekitar yang asli Sunda. Berdasarkan hal tersebut, aspek sosial, ekonomi, dan budaya pada pengembangan usaha jamur tiram putih layak untuk dijalankan.
6.1.5. Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan, terutama dampak dari suatu usaha terhadap kelestarian lingkungan. Dampak lingkungan dengan adanya usaha ini adalah limbah plastik dan limbah log jamur tiram putih yang sudah tidak produktif. Penanggulangan limbah plastik yang dilakukan pelaku usaha yaitu menjual limbah plastik kepada penampung limbah plastik yang berada di sekitar lokasi usaha. Limbah berupa log jamur tiram putih digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman oleh masyarakat sekitar dan pemilik usaha sayuran lainnya di Desa Tugu Selatan. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan usaha jamur tiram putih layak untuk dijalankan secara aspek lingkungan karena kegiatan usaha tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak lingkungan dan mengganggu masyarakat sekitar.
6.1.6. Hasil Analisis Aspek Non Finansial
Ditinjau dari beberapa aspek non finansial usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dapat dikatakan layak. Aspek pasar dapat dilihat dari adanya peluang usaha yang cukup potensial di kegiatan penjualan log jamur tiram putih maupun jamur tiram putih segar. Total permintaan jamur tiram putih segar yang diterima pelaku usaha sebesar 22 ku/hari, tetapi penawaran yang baru mampu dihasilkan pelaku usaha sebesar 6,66 ku/hari dan akan ditingkatkan menjadi 8,88 ku/hari. Total permintaan log jamur tiram putih yang diterima pelaku usaha sebesar 95.000 log/bulan, tetapi penawaran yang mampu dihasilkan pelaku usaha sebesar 32.000 log/bulan. Hal tersebut menunjukan peluang pasar yang dapat diambil perusahaan masih sangat besar. Aspek teknis yang dilakukan pelaku usaha sudah memenuhi kriteria budidaya jamur tiram putih yang telah dirujuk oleh beberapa teori tentang budidaya jamur tiram putih.
Pada aspek manajemen dan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha layak untuk dijalankan. Walaupun tidak memiliki struktur organisasi yang baku serta tidak memiliki badan hukum secara pribadi, namun para pelaku usaha tergabung dalam kelompok tani yang telah memiliki legalitas serta telah memiliki ijin berupa surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ditinjau dari aspek sosial, adanya pelaku usaha memberikan kontribusi dalam memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Aspek ekonomi dapat dilihat dari adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Aspek budaya, masyarakat tidak terganggu dengan adanya pelaku usaha di Desa Tugu Selatan. Aspek lingkungan dapat dilihat dari limbah yang dihasilkan. Usaha jamur tiram putih ini menghasilkan limbah plastik dan log jamur. Limbah berupa plastik dijual kepada penampung limbah plastik yang berada di sekitar lokasi usaha dan limbah log jamur tiram putih digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman oleh masyarakat sekitar dan pemilik usaha sayuran lainnya di Desa Tugu Selatan, sehingga limbah tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi daerah sekitar usaha.
6.2. Analisis Aspek Finansial
Analisis aspek finansial usaha jamur tiram putih perlu dilakukan untuk melihat apakah secara finansial usaha dapat dikatakan layak atau tidak layak.
Penelitian ini akan menggunakan tiga skenario, yaitu skenario I (hanya menjual log jamur tiram putih), skenario II (membeli log untuk budidaya jamur tiram putih), dan skenario III (membuat log untuk dijual dan dibudidaya). Skenario I pelaku usaha memproduksi log jamur tiram putih sebanyak 52.000 log setiap bulan yang disesuaikan dengan kapasitas oven pengukusan yang mampu memproduksi sebanyak 2000-2200 log per hari. Dari kegiatan tersebut pemilik usaha memperoleh output yaitu log jamur tiram putih. Skenario II pelaku usaha membeli log jamur tiram putih dari petani lain sebanyak 100.000 log setiap tiga bulan yang disesuaikan dengan kapasitas kumbung. Dari kegiatan tersebut pemilik usaha memperoleh output yaitu jamur tiram putih segar. Pada skenario III pelaku usaha memproduksi log jamur tiram putih sebanyak 85.280 log setiap bulan. Dari kegiatan tersebut pelaku usaha menghasilkan dua jenis output produksi, yaitu jamur tiram putih segar dan log jamur tiram putih. Ketiga skenario tersebut menggunakan modal sendiri. Dilakukan evaluasi pada ketiga skala usaha tersebut untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari masing-masing kegiatan usaha jamur tiram. Umur usaha didasarkan pada umur ekonomis kumbung, yaitu selama lima tahun dikarenakan kumbung merupakan aset terbesar dan investasi paling penting dalam usaha jamur tiram putih.
6.2.1. Arus Penerimaan (Inflow)
Arus penerimaan merupakan aliran kas masuk ke usaha dan ini merupakan pendapatan bagi usaha. Penerimaan pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan berasal dari penjualan jamur tiram putih segar, penjualan baglog jamur tiram putih, dan nilai sisa dari investasi yang diperhitungkan pada akhir umur usaha.
1. Skenario I (Menjual Log Jamur Tiram Putih)
Penerimaan log jamur tiram putih merupakan penerimaan yang bersumber dari produksi log yang dilakukan pelaku usaha. Pada penelitian ini, jumlah produksi log yang dihasilkan pelaku usaha sebanyak 52.000 log per bulan. Produksi sebanyak 52.000 log berdasarkan pada kapasitas mesin produksi, yaitu oven pengukusan yang mampu mengukus baglog sebanyak 2000-2200 log per hari. Harga jual log jamur tiram putih sebesar Rp 1.800 per log. Harga tersebut
tiram putih sebesar Rp 1.200 per log. Adapun penerimaan log jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Penerimaan Log Jamur Tiram Putih Pelaku Usaha di Desa Tugu
Selatan (Skenario I) Tahun Produksi Log
(Bulan)
Harga (Rp)
Siklus Penjualan Log (Bulan) Penerimaan/Tahun (Rp) 1 52.000 1.800 6 561.600.000 2 52.000 1.800 12 1.123.200.000 3 52.000 1.800 12 1.123.200.000 4 52.000 1.800 12 1.123.200.000 5 52.000 1.800 12 1.123.200.000
Total Penerimaan Log 5.054.400.000
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 14, dapat dilihat bahwa penerimaan dari penjualan log jamur tiram putih yang dihasilkan pada tahun pertama sebesar Rp 561.600.000. Angka tersebut diperoleh dari jumlah produksi log sebanyak 52.000 per bulan dikali dengan harga jual sebesar Rp 1.800 per log dan siklus penjualan log pada tahun pertama sebanyak enam kali sama dengan Rp 561.600.000. Penjualan log pada tahun pertama sebanyak enam kali disebabkan pelaku usaha melakukan kegiatan investasi pada enam bulan pertama. Pada tahun kedua sampai tahun kelima pelaku usaha telah mampu memproduksi log jamur tiram putih setiap bulannya, sehingga penerimaan yang diperoleh pelaku usaha tetap sebesar Rp 1.123.200.000. Angka tersebut diperoleh dari jumlah produksi log sebanyak 52.000 per bulan dikali dengan harga jual sebesar Rp 1.800 per log dan siklus penjualan log setiap tahunnya sebanyak dua belas kali sama dengan Rp 1.123.200.000. Dari hasil usaha jamur tiram putih pada skenario I total penerimaan dari penjualan log jamur tiram putih sebesar Rp 5.054.400.000. 2. Skenario II (Membeli Log Jamur Tiram Putih)
Penerimaan yang diperoleh pelaku usaha pada skenario II dengan membeli log jamur tiram putih sebanyak 100.000 log per tiga bulan, yaitu jamur tiram putih segar sebanyak 8.000 kg setiap siklus panennya. Siklus panen setiap log jamur tiram sebanyak lima kali selama tiga bulan dengan menghasilkan 0,1 kg jamur tiram putih segar setiap siklusnya dimana tingkat kegagalan log sebesar 20% dari total log. Tingkat kegagalan log sebesar 20% tersebut didasarkan pada pengalaman pelaku usaha dalam melakukan budidaya jamur tiram putih. Angka
8.000 kg diperoleh dari total log jamur tiram putih sebanyak 100.000 log dikali dengan 80% log jamur yang berhasil tumbuh dan jumlah panen setiap log sebesar 0,1 kg per siklus sama dengan 8.000 kg. Log tersebut diperoleh pelaku usaha dari petani jamur tiram putih di sekitar Kecamatan Cisarua diluar petani yang diteliti.
Pemanenan dapat dilakukan setelah log berumur tujuh hari sampai sepuluh hari setelah pembelian log di petani jamur tiram putih. Pelaku usaha dapat melakukan pemanenan selama sekitar 70 hari dengan siklus panen lima kali. Jamur tiram putih segar yang dihasilkan dijual dengan harga Rp 6.500 per kilogram. Penjualan dilakukan kepada pedagang pengumpul yang datang ke lokasi usaha. Pedagang pengumpul akan menjual jamur tiram putih tersebut ke pasar di daerah Jakarta, Depok, dan Tangerang. Adapun penerimaan jamur tiram putih segar pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Penerimaan Jamur Tiram Putih Segar Pelaku Usaha di Desa Tugu
Selatan (Skenario II) Tahun Total Panen
(Kg/3 bulan)
Harga (Rp)
Periode Produksi Penerimaan/Tahun (Rp) 1 40.000 6.500 2 520.000.000 2 40.000 6.500 4 1.040.000.000 3 40.000 6.500 4 1.040.000.000 4 40.000 6.500 4 1.040.000.000 5 40.000 6.500 4 1.040.000.000
Total Penerimaan Log 4.680.000.000
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa penerimaan dari penjualan jamur tiram putih segar yang dihasilkan pada tahun pertama sebesar Rp 520.000.000. Angka tersebut diperoleh dari total panen jamur tiram putih segar pada satu periode (tiga bulan) sebanyak 40.000 kg dikali dengan harga jual sebesar Rp 6.500 per kilogram dan periode produksi pada tahun pertama sebanyak dua kali sama dengan Rp 520.000.000. Periode produksi pada tahun pertama sebanyak dua kali disebabkan pelaku usaha melakukan kegiatan investasi pada enam bulan pertama. Pada tahun kedua sampai tahun kelima periode produksi yang telah dilakukan pelaku usaha sebanyak empat kali dalam satu tahun, sehingga penerimaan yang diperoleh pelaku usaha sebesar Rp 1.040.000.000. Angka tersebut diperoleh dari total panen jamur tiram putih segar pada satu periode (tiga bulan) sebanyak 40.000 kg dikali dengan harga jual
sebesar Rp 6.500 per kilogram dan periode produksi pada tahun kedua sampai tahun kelima sebanyak empat kali kali sama dengan Rp 1.040.000.000. Dari hasil usaha jamur tiram putih pada skenario II total penerimaan dari penjualan jamur tiram putih segar sebesar Rp 4.680.000.000.
3. Skenario III (Menjual Log dan Jamur Tiram Putih Segar)
Penerimaan yang diperoleh pelaku usaha pada skenario III dengan memproduksi log jamur tiram putih sebanyak 85.280 log per bulan, yaitu log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Proporsi penjualan log jamur tiram putih dari total baglog yang diproduksi sebesar 44 % dan jumlah baglog yang akan dibudidayakan memiliki proprosi sebesar 56 %. Proporsi yang diperoleh tersebut diasumsikan sama dengan perbandingan jumlah log jamur tiram putih yang dijual dengan jumlah log yang dibudidayakan oleh pelaku usaha di Desa Tugu Selatan.
Dengan proporsi tersebut jumlah log jamur tiram putih yang dijual sebanyak 37.523 log per bulan dan yang dibudidayakan sebanyak 47.757 log per bulan. Harga jual log jamur tiram putih sebesar Rp 1.800 per log dan harga jual jamur tiram putih segar sebesar Rp 6.500 per kilogram. Adapun penerimaan dari penjualan log jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Penerimaan Log Jamur Tiram Putih Pelaku Usaha di Desa Tugu
Selatan (Skenario III) Tahun Produksi Log
(Bulan)
Harga (Rp)
Siklus Penjualan Log (Bulan) Penerimaan/Tahun (Rp) 1 37.523 1.800 6 405.248.400 2 37.523 1.800 12 810.496.800 3 37.523 1.800 12 810.496.800 4 37.523 1.800 12 810.496.800 5 37.523 1.800 12 810.496.800
Total Penerimaan Log 3.647.235.600
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa penerimaan dari penjualan log jamur tiram putih yang dihasilkan pada tahun pertama sebesar Rp 405.248.400. Angka tersebut diperoleh dari jumlah produksi log sebanyak 37.523 per bulan dikali dengan harga jual sebesar Rp 1.800 per log dan siklus penjualan log pada tahun pertama sebanyak enam kali sama dengan Rp 405.248.400. Pada tahun kedua sampai tahun kelima pelaku usaha telah mampu
memproduksi log jamur tiram putih setiap bulannya, sehingga penerimaan yang diperoleh pelaku usaha sebesar Rp 810.496.800. Angka tersebut diperoleh dari jumlah produksi log sebanyak 37.523 per bulan dikali dengan harga jual sebesar Rp 1.800 per log dan siklus penjualan log setiap tahunnya sebanyak dua belas kali sama dengan Rp 810.496.800. Dari hasil perhitungan tersebut total penerimaan dari penjualan log jamur tiram putih pada skenario III sebesar Rp 3.647.235.600.
Pada skenario ini jumlah jamur tiram segar yang diperoleh setiap siklusnya sebesar 3.820,56 kg dan log jamur tiram putih yang akan dibudidaya, diproduksi setiap bulan (Lampiran 3). Siklus panen setiap log jamur tiram sebanyak lima kali selama tiga bulan dengan menghasilkan 0,1 kg jamur tiram putih segar setiap siklusnya dimana tingkat kegagalan log sebesar 20% dari total log. Tingkat kegagalan log sebesar 20% tersebut didasarkan pada pengalaman pelaku usaha dalam melakukan budidaya jamur tiram putih. Angka 3.820,56 kg diperoleh dari total log jamur tiram putih sebanyak 47.757 log dikali dengan 80% log jamur yang berhasil tumbuh dan jumlah panen setiap log sebesar 0,1 kg per siklus sama dengan 3.820,56 kg, sehingga pada tahun pertama diperoleh penerimaan dari penjualan jamur tiram putih segar sebesar Rp 521.506.440 dan pada tahun kedua sampai kelima sebesar Rp 1.490.018.400. Dari hasil perhitungan tersebut total penerimaan dari penjualan jamur tiram putih segar pada skenario III sebesar Rp 6.481.580.040 dan total penerimaan dari keseluruhan hasil usaha jamur tiram putih pada skenario III sebesar Rp 10.128.815.640.
6.2.2. Nilai Sisa
Nilai sisa adalah nilai barang atau peralatan yang tidak habis selama usaha berjalan. Nilai sisa tersebut menjadi tambahan manfaat bagi usaha. Penelitian ini digunakan tiga skenario, dimana skenario I (menjual log jamur tiram putih) dari pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan memproduksi 52.000 log per bulan, skenario II (membeli log jamur tiram putih) dari pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan membeli 100.000 log per tiga bulan untuk dibudidaya, dan skenario III (menjual log dan jamur tiram putih segar) dari pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan memproduksi 85.280 log per bulan.
1. Nilai Sisa Skenario I (Menjual Log Jamur Tiram Putih)
Total nilai sisa usaha jamur tiram putih pada skenario I yaitu sebesar Rp 618.346.666,67. Perhitungan nilai sisa dilakukan dengan cara harga beli barang dibagi dengan umur ekonomis dimana pada akhir umur ekonomis diasumsikan nilai barang telah habis. Contoh perhitungan dapat dijelaskan sebagai berikut, jika harga beli ayakan Rp 100.000 dengan umur ekonomis dua tahun, maka nilai sisa pada akhir umur usaha (tahun kelima) adalah Rp 50.000. Komponen yang masih memiliki nilai sisa diantaranya lahan, bangunan pembuatan log, bangunan pekerja, sekop, cangkul, ayakan, sekop kecil, sepatu boot, ember, instalasi air, dan instalasi listrik. Nilai sisa lahan diasumsikan sama dengan nilai belinya sebesar Rp 600.000.000, sedangkan investasi yang lainnya didasarkan pada nilai beli dikurangi dengan nilai penyusutan setiap tahunnya, yaitu bangunan pembuatan log Rp 13.500.000, bangunan pekerja Rp 2.500.000, sekop Rp 108.333,33, cangkul Rp 26.666,67, ayakan Rp 50.000, sekop kecil Rp 21.666,67, sepatu boot Rp 110.000, ember Rp 30.000, instalasi air Rp 1.500.000, dan instalasi listrik Rp 500.000 (Tabel 17).
2. Nilai Sisa Skenario II (Membeli Log Jamur Tiram Putih)
Total nilai sisa usaha jamur tiram putih pada skenario II yaitu sebesar Rp 604.950.000. Perhitungan nilai sisa dilakukan dengan cara harga beli barang dibagi dengan umur ekonomis dimana pada akhir umur ekonomis diasumsikan nilai barang telah habis. Contoh perhitungan dapat dijelaskan sebagai berikut, jika harga beli keranjang Rp 7.000 dengan umur ekonomis dua tahun, maka nilai sisa pada akhir umur usaha (tahun kelima) adalah Rp 3.500. Komponen yang masih memiliki nilai sisa diantaranya lahan, bangunan pekerja, sepatu boot, kursi plastik, keranjang, instalasi air, dan instalasi listrik. Nilai sisa lahan diasumsikan sama dengan nilai belinya sebesar Rp 600.000.000, sedangkan investasi yang lainnya didasarkan pada nilai beli dikurangi dengan nilai penyusutan setiap tahunnya, yaitu bangunan pekerja Rp 2.500.000, sepatu boot Rp 165.000, kursi plastik Rp 75.000, keranjang Rp 210.000, instalasi air Rp 1.500.000, dan instalasi listrik Rp 500.000 (Tabel 18).
3. Nilai Sisa Skenario III (Menjual Log dan Jamur Tiram Putih Segar)
Total nilai sisa usaha jamur tiram putih pada skenario III yaitu sebesar Rp 1.230.471.000. Perhitungan nilai sisa dilakukan dengan cara harga beli barang dibagi dengan umur ekonomis dimana pada akhir umur ekonomis diasumsikan nilai barang telah habis. Contoh perhitungan dapat dijelaskan sebagai berikut, jika harga beli ayakan Rp 50.000 dengan umur ekonomis dua tahun, maka nilai sisa pada akhir umur usaha (tahun kelima) adalah Rp 25.000. Komponen yang masih memiliki nilai sisa diantaranya lahan, bangunan pembuatan log, bangunan pekerja, sekop, cangkul, ayakan, sekop kecil, sepatu boot, ember, keranjang, kursi plastik, instalasi air, dan instalasi listrik. Nilai sisa lahan diasumsikan sama dengan nilai belinya sebesar Rp 1.200.000.000, sedangkan investasi yang lainnya didasarkan pada nilai beli dikurangi dengan nilai penyusutan setiap tahunnya, yaitu bangunan pembuatan log Rp 22.250.000, bangunan pekerja Rp 5.000.000, sekop Rp 173.333,33, cangkul Rp 40.000, ayakan Rp 75.000, sekop kecil Rp 35.000, sepatu boot Rp 411.666,67, ember Rp 50.000, keranjang Rp 301.000, kursi plastik Rp 135.000, instalasi air Rp 1.500.000, dan instalasi listrik Rp 500.000 (Tabel 19).
6.2.3. Pengeluaran Perusahaan (Outflow)
Arus biaya (outflow) adalah aliran kas yang dikeluarkan oleh usaha. Arus biaya pada usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya-biaya yang dikeluarkan ini merupakan biaya yang dikeluarkan usaha dalam mengembangkan usaha dan menjalankan operasional usaha jamur tiram putih selama umur usaha.
6.2.3.1. Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memulai suatu usaha. Pada penelitian ini menggunakan tiga skenario yaitu skenario I (menjual log jamur tiram putih), skenario II (membeli log jamur tiram putih), dan skenario III (menjual log dan jamur tiram putih segar), sehingga biaya yang dikeluarkan pelaku usaha disesuaikan dengan kegiatan usaha yang akan dilaksanakan. Adapun rincian biaya investasi terhadap ketiga skenario tersebut dapat dilihat dibawah ini.
1. Biaya Investasi Skenario I (Menjual Log Jamur Tiram Putih)
Biaya investasi yang dilakukan untuk usaha penjualan log jamur tiram putih terdiri dari lahan, bangunan pembuatan log, bangunan pekerja, kumbung, oven, sekop, cangkul, selang air, ayakan, sekop kecil, sepatu boot, timbangan 10 kg, rolly, termometer, kipas angin, ember, instalasi air, dan instalasi listrik. Dana investasi yang dikeluarkan untuk usaha ini mencapai Rp 700.590.000. Adapun rincian penggunaan biaya investasi ini dapat diliihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Biaya Investasi, Nilai Sisa, dan Penyusutan (Skenario I)
No Uraian Umur Ekonomis (Tahun) Harga Satuan (Rp) Nilai Investasi (Rp) Nilai Sisa (Rp) Penyusutan (Rp) 1. Lahan 2000 m2 300.000 600.000.000 600.000.000 0 2. Bangunan Produksi Log 10 27.000.000 27.000.000 13.500.000 2.700.000 3. Kumbung 5 52.000.000 52.000.000 0 10.400.000 4. Bangunan Pekerja 10 5.000.000 5.000.000 2.500.000 500.000 5. Oven 5 8.340.000 8.340.000 0 1.668.000 6. Sekop 3 65.000 325.000 108.333,33 108.333,33 7. Cangkul 3 40.000 80.000 26.666,67 26.666,67 8. Selang air 5 240.000 240.000 0 48.000 9. Ayakan 2 50.000 100.000 50.000 50.000 10. Sekop kecil 3 5.000 65.000 21.666,67 21.666,67 11. Sepatu boot 3 55.000 330.000 110.000 110.000 12. Timbangan 10 kg 5 150.000 300.000 0 60.000 13. Rolly 5 450.000 2.250.000 0 450.000 14. Termometer 5 100.000 100.000 0 20.000 15. Kipas angin 5 200.000 400.000 0 80.000 16. Ember 2 20.000 60.000 30.000 30.000 17. Instalasi air 10 3.000.000 3.000.000 1.500.000 300.000 18. Instalasi listrik 10 1.000.000 1.000.000 500.000 100.000 Total 700.590.000 618.346.666,67 16.672.666,67
Berdasarkan Tabel 17, bagian terbesar investasi dialokasikan untuk pembelian lahan, yaitu sebesar Rp 600.000.000, pembuatan fasilitas kegiatan usaha berupa kumbung sebesar Rp 52.000.000, dan bangunan produksi log Rp 27.000.000. Barang investasi ini mengalami penyusutan setiap tahunnya. Nilai penyusutan ini dipengaruhi oleh umur ekonomis dari masing-masing barang investasi. Umur ekonomis suatu barang merupakan tingkat kemampuan suatu barang untuk dapat digunakan secara layak dan masih memiliki fungsi yang baik untuk mendukung jalannya suatu usaha. Umur ekonomis dari setiap barang investasi berbeda-beda. Umur ekonomis ayakan dan ember selama dua tahun, sedangkan sekop, cangkul, sekop kecil, dan sepatu boot memiliki umur ekonomis selama tiga tahun. Hal tersebut dikarenakan barang-barang investasi tersebut
setelah dua atau tiga tahun harus digantikan karena sudah tidak berfungsi optimal. Bangunan pembuatan log, bangunan pekerja, instalasi air, dan instalasi listrik memiliki umur ekonomis 10 tahun. Kumbung, oven, selang air, timbangan, rolly, termometer, dan kipas angin memiliki umur ekonomis lima tahun.
Barang-barang investasi dengan umur ekonomis yang berbeda tersebut memiliki penyusutan yang besarnya tergantung pada nilai beli, umur ekonomis, dan nilai sisa. Lahan tidak memiliki nilai penyusutan karena penggunaan lahan tidak memiliki batas umur ekonomis tertentu, sedangkan peralatan investasi lain memiliki nilai penyusutan. Investasi usaha seperti bangunan pembuatan log, kumbung, oven, dan barang investasi lainnya memiliki nilai penyusutan yang berbeda (Tabel 17).
Reinvestasi atau pergantian barang-barang investasi merupakan biaya yang dikeluarkan usaha setelah barang-barang investasi usaha telah habis umur ekonomisnya. Biaya reinvestasi tepat dikeluarkan setelah secara umur ekonomis barang investasi sudah tidak dapat digunakan secara optimal. Biaya reinvestasi ini dikeluarkan pada tahun yang berbeda-beda. Pada tahun kedua tidak ada biaya reinvestasi. Pada tahun ketiga dan kelima ada biaya reinvestasi sebesar Rp 160.000 untuk keperluan ember dan ayakan. Pada tahun keempat biaya reinvestasi yang dikeluarkan sebesar Rp 800.000 untuk keperluan sekop, sekop kecil, cangkul, dan sepatu boot.
2. Biaya Investasi Skenario II (Membeli Log Jamur Tiram Putih)
Biaya investasi yang dilakukan untuk usaha budidaya jamur tiram putih terdiri dari lahan, kumbung, bangunan pekerja, stimer, rolly, selang air, timbangan 10 kg, gentong, termometer, sepatu boot, kursi plastik, keranjang, instalasi air, dan instalasi listrik. Dana investasi yang dikeluarkan untuk usaha ini mencapai Rp 714.955.000. Adapun rincian penggunaan biaya investasi ini dapat diliihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Biaya Investasi, Nilai Sisa, dan Penyusutan (Skenario II)
No Uraian Umur Teknis
(Tahun) Harga Satuan (Rp) Nilai Investasi (Rp) Nilai Sisa (Rp) Penyusutan (Rp) 1. Lahan 2000 m2 300.000 600.000.000 600.000.000 0 2. Kumbung 5 50.000.000 100.000.000 0 20.000.000 3. Bangunan Pekerja 10 5.000.000 5.000.000 2.500.000 500.000 4. Stimer 5 2.200.000 2.200.000 0 440.000 5. Rolly 5 450.000 1.800.000 0 360.000 6. Selang air 5 240.000 240.000 0 48.000 7. Timbangan 10 kg 5 150.000 300.000 0 60.000 8. Gentong 5 150.000 150.000 0 30.000 9. Termometer 5 100.000 200.000 0 40.000 10. Sepatu boot 3 55.000 495.000 165.000 165.000 11. Kursi plastik 2 30.000 150.000 75.000 75.000 12. Keranjang 2 7.000 420.000 210.000 210.000 13. Instalasi air 10 3.000.000 3.000.000 1.500.000 300.000 14. Instalasi listrik 10 1.000.000 1.000.000 500.000 100.000 Total 714.955.000 604.950.000 22.328.000
Berdasarkan Tabel 18, bagian terbesar investasi dialokasikan untuk pembelian lahan, yaitu sebesar Rp 600.000.000 dan pembuatan fasilitas kegiatan usaha berupa kumbung sebesar Rp 100.000.000. Barang investasi ini juga mengalami penyusutan setiap tahunnya. Umur ekonomis kursi plastik dan keranjang selama dua tahun, sedangkan sepatu boot memiliki umur ekonomis selama tiga tahun. Bangunan pekerja, instalasi air, dan instalasi listrik memiliki umur ekonomis 10 tahun. Kumbung, stimer, rolly, selang air, timbangan, gentong, dan termometer memiliki umur ekonomis lima tahun.
Barang-barang investasi tersebut memiliki penyusutan yang besarnya berbeda. Lahan tidak memiliki nilai penyusutan karena penggunaan lahan tidak memiliki batas umur ekonomis tertentu, sedangkan peralatan investasi lain memiliki nilai penyusutan. Investasi usaha seperti bangunan pekerja, kumbung, stimer, dan barang investasi lainnya memiliki nilai penyusutan yang berbeda (Tabel 18).
Biaya reinvestasi pada skenario ini juga dikeluarkan pada tahun yang berbeda-beda. Pada tahun kedua tidak ada biaya reinvestasi. Pada tahun ketiga dan kelima ada biaya reinvestasi sebesar Rp 570.000 untuk keperluan kursi plastik dan keranjang. Pada tahun keempat biaya reinvestasi yang dikeluarkan sebesar Rp 495.000 untuk keperluan sepatu boot.
3. Biaya Investasi Skenario III (Menjual Log dan Jamur Tiram Putih Segar) Biaya investasi yang dilakukan untuk usaha penjualan log dan budidaya jamur tiram putih terdiri dari lahan, bangunan pembuatan log, kumbung, bangunan pekerja, oven, sekop, cangkul, selang air, stimer, gentong, ayakan, sekop kecil, sepatu boot, timbangan 10 kg, rolly, termometer, kipas angin, ember, kursi plastik, keranjang, instalasi air, dan instalasi listrik. Dana investasi yang dikeluarkan untuk usaha ini mencapai Rp 1.475.472.000. Adapun rincian penggunaan biaya investasi ini dapat diliihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Biaya Investasi, Nilai Sisa, dan Penyusutan (Skenario III)
No Uraian Umur Teknis
(Tahun) Harga Satuan (Rp) Nilai Investasi (Rp) Nilai Sisa (Rp) Penyusutan (Rp) 1. Lahan 4000 m2 300.000 1.200.000.000 1.200.000.000 0 2. Bangunan Produksi Log 10 44.500.000 44.500.000 22.250.000 4.450.000 3. Kumbung budidaya 5 50.000.000 150.000.000 0 30.000.000 4. Kumbung inkubasi 5 38.000.000 38.000.000 0 7.600.000 5. Bangunan Pekerja 10 10.000.000 10.000.000 5.000.000 1.000.000 6. Oven 5 8.340.000 16.680.000 0 3.336.000 7. Sekop 3 65.000 520.000 173.333,33 173.333,33 8. Cangkul 3 40.000 120.000 40.000 40.000 9. Selang air 5 240.000 240.000 0 48.000 10. Stimer 5 2.200.000 2.200.000 0 440.000 11. Gentong 5 150.000 150.000 0 30.000 12. Ayakan 2 50.000 150.000 75.000 75.000 13. Sekop kecil 3 5.000 105.000 35.000 35.000 14. Sepatu boot 3 55.000 1.235.000 411.666,67 411.666,67 15. Timbangan 10 kg 5 150.000 900.000 0 180.000 16. Rolly 5 450.000 4.500.000 0 900.000 17. Termometer 5 100.000 600.000 0 120.000 18. Kipas angin 5 200.000 600.000 0 120.000 19. Ember 2 20.000 100.000 50.000 50.000 20. Keranjang 2 7.000 602.000 301.000 301.000 21. Kursi plastik 2 30.000 270.000 135.000 135.000 22. Instalasi air 10 3.000.000 3.000.000 1.500.000 300.000 23. Instalasi listrik 10 1.000.000 1.000.000 500.000 100.000 Total 1.475.472.000 1.230.471.000 49.845.000
Berdasarkan Tabel 19, bagian terbesar investasi dialokasikan untuk pembelian lahan yaitu sebesar Rp 1.200.000.000, pembuatan fasilitas kegiatan usaha berupa kumbung budidaya sebesar Rp 150.000.000, kumbung inkubasi Rp 38.000.000, dan bangunan produksi log sebesar Rp 44.500.000. Barang investasi ini juga mengalami penyusutan setiap tahunnya. Umur ekonomis ember, ayakan, kursi plastik, dan keranjang selama dua tahun, sedangkan sekop, sekop kecil,
pembuatan log, bangunan pekerja, instalasi air, dan instalasi listrik memiliki umur ekonomis 10 tahun. Kumbung, oven, stimer, gentong, rolly, selang air, timbangan, kipas angin, dan termometer memiliki umur ekonomis lima tahun.
Barang-barang investasi tersebut memiliki penyusutan yang besarnya berbeda. Lahan tidak memiliki nilai penyusutan karena penggunaan lahan tidak memiliki batas umur ekonomis tertentu, sedangkan peralatan investasi lain memiliki nilai penyusutan. Investasi usaha seperti bangunan pembuatan log, kumbung, stimer, oven, dan barang investasi lainnya memiliki nilai penyusutan yang berbeda (Tabel 19).
Biaya reinvestasi pada skenario ini juga dikeluarkan pada tahun yang berbeda-beda. Pada tahun kedua tidak ada biaya reinvestasi. Pada tahun ketiga dan kelima ada biaya reinvestasi sebesar Rp 1.122.000 untuk keperluan ayakan, ember, kursi plastik, dan keranjang. Pada tahun keempat biaya reinvestasi yang dikeluarkan sebesar Rp 1.980.000 untuk keperluan sekop, sekop kecil, cangkul, dan sepatu boot.
6.2.3.2. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan keseluruhan biaya yang berkaitan dengan kegiatan operasional usaha. Biaya operasional ini dikeluarkan secara berkala selama usaha tersebut berjalan, Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
1. Biaya Tetap
Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan tanpa mempengaruhi jumlah produksi perusahaan. Biaya tetap tidak berubah walaupun volume produksi bertambah atau berkurang. Biaya tetap yang dikeluarkan pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan pada ketiga skenario meliputi biaya pembelian cutter, sarung tangan, masker, sapu lidi, sapu ijuk, pengki, gaji karyawan, gaji supervisor, listrik, komunikasi, pemeliharaan oven, dan biaya tak terduga.
a. Biaya Tetap Skenario I (Menjual Log Jamur Tiram Putih)
Biaya tetap yang dikeluarkan pada skenario I sebesar Rp 33.296.000 pada tahun pertama dan bertambah menjadi Rp 65.846.000 pada tahun kedua sampai kelima. Kenaikkan tersebut disebabkan oleh siklus penjualan log jamur tiram
putih pada tahun pertama hanya enam bulan, sedangkan pada tahun kedua sampai kelima dua belas bulan. Adapun rincian biaya tetap yang dikeluarkan oleh pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan pada skenario I dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Biaya Tetap Pelaku Usaha Jamur Tiram Putih di Desa Tugu Selatan
(Skenario I)
No. Uraian Tahun ke-
1 2 3 4 5 1 Cutter 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 2 Sarung tangan 76.000 76.000 76.000 76.000 76.000 3 Masker 95.000 95.000 95.000 95.000 95.000 4 Sapu lidi 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 5 Sapu ijuk 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 6 Pengki 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 7 Gaji karyawan 22.500.000 45.000.000 45.000.000 45.000.000 45.000.000 8 Gaji supervisor 7.200.000 14.400.000 14.400.000 14.400.000 14.400.000 9 Listrik 450.000 900.000 900.000 900.000 900.000 10 Komunikasi 600.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 11 Pemeliharaan oven 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 12 Biaya tak terduga 1.800.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 Total 33.296.000 65.846.000 65.846.000 65.846.000 65.846.000 Berdasarkan pada Tabel 20, dapat dilihat bahwa biaya tetap yang dikeluarkan pelaku usaha setiap tahunnya berupa pembelian lima unit cutter sebesar Rp 25.000, 19 pasang sarung tangan sebesar Rp 76.000, 19 unit masker sebesar Rp 95.000, dua unit sapu lidi sebesar Rp 10.000, dua unit sapu ijuk sebesar Rp 30.000, satu unit pengki sebesar Rp 10.000, gaji lima karyawan sebesar Rp 22.500.000 pada tahun pertama dan Rp 45.000.000 pada tahun kedua sampai kelima, gaji supervisor Rp 7.200.000 pada tahun pertama dan Rp 14.400.000 pada tahun kedua sampai kelima, listrik sebesar Rp 450.000 pada tahun pertama dan Rp 900.000 pada tahun kedua sampai kelima, komunikasi sebesar Rp 600.000 pada tahun pertama dan Rp 1.200.000 pada tahun kedua sampai kelima, pemeliharaan satu unit oven sebesar Rp 500.000 serta biaya tak terduga sebesar Rp 1.800.000 pada tahun pertama dan Rp 3.600.000 pada tahun kedua sampai kelima.
b. Biaya Tetap Skenario II (Membeli Log Jamur Tiram Putih)
kelima. Kenaikkan tersebut disebabkan oleh bulan produksi pada tahun pertama hanya enam bulan, sedangkan pada tahun kedua sampai kelima dua belas bulan. Adapun rincian biaya tetap yang dikeluarkan oleh pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan pada skenario II dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Biaya Tetap Pelaku Usaha Jamur Tiram Putih di Desa Tugu Selatan
(Skenario II)
No. Uraian Tahun ke-
1 2 3 4 5 1 Cutter 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 2 Sarung tangan 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 3 Masker 45.000 45.000 45.000 45.000 45.000 4 Sapu lidi 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 5 Sapu ijuk 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 6 Pengki 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 7 Gaji karyawan 36.000.000 72.000.000 72.000.000 72.000.000 72.000.000 8 Gaji supervisor 7.200.000 14.400.000 14.400.000 14.400.000 14.400.000 9 Listrik 450.000 900.000 900.000 900.000 900.000 10 Komunikasi 600.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 11 Biaya tak terduga 1.800.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 Total 46.221.000 92.271.000 92.271.000 92.271.000 92.271.000 Berdasarkan pada Tabel 21, dapat dilihat bahwa biaya tetap yang dikeluarkan pelaku usaha setiap tahunnya berupa pembelian delapan unit cutter sebesar Rp 40.000, sembilan pasang sarung tangan sebesar Rp 36.000, sembilan unit masker sebesar Rp 45.000, dua unit sapu lidi sebesar Rp 10.000, dua unit sapu ijuk sebesar Rp 30.000, satu unit pengki sebesar Rp 10.000, gaji delapan karyawan sebesar Rp 36.000.000 pada tahun pertama dan Rp 72.000.000 pada tahun kedua sampai kelima, gaji supervisor Rp 7.200.000 pada tahun pertama dan Rp 14.400.000 pada tahun kedua sampai kelima, listrik sebesar Rp 450.000 pada tahun pertama dan Rp 900.000 pada tahun kedua sampai kelima, komunikasi sebesar Rp 600.000 pada tahun pertama dan Rp 1.200.000 pada tahun kedua sampai kelima serta biaya tak terduga sebesar Rp 1.800.000 pada tahun pertama dan Rp 3.600.000 pada tahun kedua sampai kelima.
c. Biaya Tetap Skenario III (Menjual Log dan Jamur Tiram Putih Segar)
Biaya tetap yang dikeluarkan pada skenario III sebesar Rp 99.195.000 pada tahun pertama dan bertambah menjadi Rp 196.845.000 pada tahun kedua sampai kelima. Kenaikkan tersebut disebabkan oleh bulan produksi pada tahun pertama hanya enam bulan, sedangkan pada tahun kedua sampai kelima dua belas