• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es

(Hail )

Akhmad Fadholi

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Indonesia

Intisari: Hujan es (hail ) merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrim yang akhir-akhir ini sering terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Bentuk dari presipitasi yang berupa tetes-tetes air yang disertai butiran-butiran es kecil membuat masyarakat membuat daya tarik tersendiri bagi masyarakat awam. Sesuai dengan peraturan Kepala BMKG tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan desiminasi Informasi Cuaca Ekstrim, setiap kejadian cuaca ekstrim harus dilakukan analisa baik sementara maupun lengkap. Dalam penulisan ini, penulis mencoba memberikan beberapa teknik analisa untuk menganalisa kejadian cuaca ekstrem hujan es. Teknik yang digunakan adalah teknik analisa kondisi cuaca permukaan, teknik analisa data radiosonde, dan teknik analisa citra radar. Ketiga teknik analisa tersebut dinilai sanagat responsif untuk analisa kejadian cuaca ekstrem hujan es. Analisa kondisi cuaca permukaan merupakan langkah awal yang dilakukan dalam rangka menyelidiki gejala-gejala pendukung terjadinya hujan es. Analisa data upper air dari radiosonde berperan sebagai pemberi informasi tentang profil udara atas sehingga didapatkan nilai-nilai indeks indicator cuaca signifikan. Sedangkan analisa data citra radar merupakan langkah untuk mengetahui kondisi liputan uap air yang berpotensi menjadi awan dalam area tertentu.

Kata kunci: teknik analisa, cuaca ekstrem, hujan es

E-mail: akhmad.fadholi@bmkg.go.id

Received : 10 Juli 2012; Accepted : 10 Agustus 2012

1 PENDAHULUAN

P

enulisan makalah ini didasari pada fenomenakondisi cuaca ekstrem yaitu hujan es yang akhir-akhir ini terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) seba-gai lembaga nasional dengan salah satu tupoksinya melakukan pengamatan, prakiraan dan analisa kon-disi cuaca mempunyai tanggungjawab dalam mema-parkan kondisi cuaca yang terjadi. Apabila terjadi ke-jadian cuaca yang tidak lazim dan menyebabkan keru-gian atau yang dikenal sebagai cuaca ekstrem, maka BMKG bertugas memaparkan hasil analisanya. Na-mun, untuk memaparkan analisa kejadian cuaca eks-trem diperlukan analisa yang tepat dan efisien se-hingga membutuhkan teknik analisa yang efektif.

Fenomena cuaca ekstrem hujan es (hail) sebenarnya bukan fenomena cuaca yang baru terjadi atau fe-nomena cuaca yang aneh, karena sebenarnya bisa terjadi di Indonesia hanya kejadiannya mempunyai frekuensi yang jarang. Fenomena ini sifatnya lokal, tidak merata, terjadi sangat mendadak, dan sulit diperkirakan. Oleh karena itu, dalam menganalisa ke-jadian cuaca ekstrem seperti ini perlu adanya metode atau semacam teknik mencari penyebab terjadinya hal tersebut.

Awal terjadinya hujan es (hail) karena tumbuhnya

jenis awan bersel tunggal berlapis-lapis (Cumulonim-bus) yang dekat dengan permukaan tanah atau dapat juga berasal dari multi sel awan dengan luasan area horizontal sekitar 3-5 km yang tumbuh vertikal ke atas dengan ketinggian mencapai 30.000 feet atau lebih. Kejadian hail sangat singkat, yaitu kurang dari satu jam[6]. Dari penjelasan singkat mengenai awal ter-jadinya hujan es tersebut diindikasikan bahwa dalam menganalisa kejadian hujan es memerlukan penyebab terjadinya pertumbuhan awan Cumulonimbus.

Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk memaparkan tiga teknik untuk menganalisa kejadian cuaca ekstrem hujan es yaitu teknik analisa kondisi cuaca permukaan, teknik analisa data upper air radiosonde, dan data citra radar.

Dalam pembuatan analisa kejadian ekstrim teru-tama kejadian hujan es, memiliki beberapa tahapan dan bahan-bahan sebagai data dukung. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam pelaporan analisa keja-dian cuaca ekstrim menghasilkan konsekuensi petu-gas pembuat analisa harus bekerja secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, diperlukan teknik analisa yang baik sehingga mampu memaparkan bahan dan data dukung sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan secara mudah dapat diinterpretasikan sebagai pemicu atau penyebab terjadinya kondisi cuaca

(2)

eks-trem.

2 TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Hujan Es

Hujan es merupakan salah satu bentuk dari presipitasi yang berupa bola-bola, potongan, maupun serpihan-serpihan es dan memiliki diameter antara 5-50 mm. Namun dalam pertumbuhan ekstrem, diameter hail bisa lebih besar lagi. Hail dapat jatuh secara tepisah atau terkumpul menjadi gumpalan-gumpalan yang tidak memiliki bentuk yang teratur[3]. Batuan es yang

jatuh pada saat hujan es disebut hailstone.

Jika dalam awan Cumulonimbus terdapat kristal-kristal es dan butiran air super jenuh (super cold wa-ter ) secara bersamaan, maka butiran air super jenuh cenderung menguap dan langsung mengendap pada kristal-kristal es. Hal ini berkaitan dengan proses Bergeron-Findeisen yang terjadi dalam awan Cumu-lonimbus[2]. Akibatnya pertumbuhan Kristal es jauh lebih cepat daripada pertumbuhan tetes air. Pertum-buhan partikel es juga dapat terjadi melalui proses pembekuan tetes. Dalam proses ini terdapat pertam-bahan massa es yang disebabkan oleh proses tumbukan dengan tetes kelewat dingin yang kemudian membeku dengan partikel es sehingga mempercepat proses per-tambahan massa partikel es tersebut[5].

Selain itu, proses pertumbuhan partikel es dalam awan Cumulonimbus masih dapat terjadi dengan cara tumbukan dan penggabungan antara satu partikel es dengan partikel es lainnya. Proses ini dapat ter-jadi jika terdapat perbedaan kecepatan jatuh partikel-partikel es. Namun dalam proses ini, kemungkinan pelekatan (adhesion) antar partikel es ditentukan oleh jenis dan besarnya suhu partikel es tersebut. Biasanya pelekatan permukaan es akan sangat kuat jika terjadi pada suhu kurang dari −5◦C.

Kejadian hujan es yang disertai dengan jatuh-nya kristal es relatif lebih sering terjadi di wilayah ekstra-tropis karena memiliki lapisan beku (freezing level ) yang relatif lebih rendah dibandingkan wilayah tropis. Pada umumnya ukuran hydrometeor yang jatuh meninggalkan freezing level memiliki ukuran yang hampi sama baik di wilayah tropis maupun eks-tratropis. Dengan demikian wilayah Indonesia yang memiliki freezing level yang relatif lebih tinggi jarang terjadi hujan es. Untuk freezing level yang cukup tinggi, maka selama perjalanan jatuhnya, partikel es meleleh sedikit demi sedikit karena mengalami gesekan udara sehingga saat mencapai permukaan bumi, ba-tuan es tersebut telah mencair menjadi air hujan.

Hail biasanya jatuh langsung dalam awan Cumu-lonimbus tetapi dapat juga keluar oleh arus vertikal yang kuat dan jatuh beberapa mil dari awan Cumu-lonimbus di bawah anvil dari awan cirrus atau sel awan

Cumulonimbus yang condong. 2.2 Labilitas Udara

Perubahan cuaca dari cerah tanpa awan menjadi be-rawan atau hujan terjadi bila terdapat gangguan. Udara yang stabil bila mendapat gangguan akan kem-bali kekondisi semula, artinya tidak ada perubahan yang signifikan. Sebaliknya bila kondisi udara tidak stabil (labil), adanya gangguan akan mengakibatkan perubahan yang cukup berarti. Udara yang labil memungkinkan terbentuknya awan, khususnya awan yang mempunyai ukuran vertikal yang mencolok yang biasanya menimbulkan cuaca buruk[4].

Pada dasarnya stabilitas udara dapat dideteksi dari perubahan suhu (∂T ) terhadap ketinggian (∂Z) yang disebut Lapse Rate (g) yang dirumuskan sebagai:

γ = −∂T

∂Z (1)

Jika parsel udara bergerak keatas dan suhu parsel udara lebih panas daripada suhu lingkungan se-hingga arahnya bergerak terus keatas dengan ke-cepatan bertambah, keadaan ini disebut Labil. Jika parsel udara bergerak keatas tetapi Karena suhu parsel udara lebih dingin dibandingkan suhu lingku-ngan sehingga parsel udara bergerak turun kembali ke posisi semula, maka atmosfer dalam keadaan Sta-bil. Jika parsel bergerak keatas lalu berhenti.Maka at-mosfer Netral,kondisi ini terjadi bila suhu parsel udara sama dengan suhu lingkungannya.

Dalam penjelasan stabilitas vertikal atmosfer ada tiga macam penurunan suhu terhadap ketinggian yaitu lapse rate udara sekitar (g), lapse rate udara kering (gd) dan lapse rate udara basah (gs). Lapse rate udara

kering selalu lebih besar dari udara jenuh. Parsel udara yang bergerak naik mengikuti gd ataupun gs [4].

Jika udara di atmosfer bergerak ke atas maka pro-sesnya adiabatik, yaitu suatu proses dimana tekanan, temperatur dan volume udara dapat berubah-ubah tanpa adanya penambahan atau pengurangan panas kedalam udara tersebut.

Udara yang bergerak vertikal akan mengalami pe-rubahan suhu terhadap ketinggian atau lapse rate, parsel udara dianggap kering (belum tercapai konden-sasi) maka penurunan suhu parsel berlangsung dengan laju penurunan adiabat kering (gd) yang bersifat

kon-stan yaitu sebesar 0,0098◦C/m[4].

Jika udara bergerak terus ke atas, penurunan suhu parselnya juga berlangsung terus. Dengan turunnya suhu parsel, kelembaban nisbinya akan bertambah, se-hingga pada suatu saat uap air di dalam parsel men-jadi jenuh dan setelah itu termen-jadi kondensasi, maka laju penurunan suhu parsel berlangsung dengan laju penurunan adiabat jenuh (gs). Berbeda dengan laju

(3)

penurunan adiabat kering, besarnya laju penurunan adiabat jenuh tergantung pada suhu atau ketinggian. Hal ini disebabkan oleh karena massa udara yang suhunya lebih tinggi dapat menampung uap air se-hingga pada saat kondensasi melepaskan banyak ba-hang laten, yang berarti pula pada suhu yang lebih tinggi laju penurunan adiabat jenuh lebih kecil dari-pada suhu yang lebih rendah. Meskipun demikian untuk troposfer bagian bawah dan menengah nilai gs sebesar 0,0049◦C/m dapat dipakai untuk berbagai keperluan[4].

2.3 Dasar Hukum Analisa Cuaca Ekstrim Ruang lingkup prosedur standar operasional pelak-sanaan peringatan dini, pelaporan, dan desiminasi informasi cuaca ekstrim, meliputi prediksi cuaca, peringatan dini cuaca ekstrim, respon cepat, dan ana-lisa. Analisa cuaca ekstrim terdiri dari analisa semen-tara dan analisa lengkap. Analsis semensemen-tara harus di-lakukan untuk mengidentifikasi perilaku gejala mete-orology hasil pengolahan data pada saat kejadian dan disampaikan selambat-lambatnya 6 jam setelah dike-tahui adanya kejadian di lingkungan UPT atau di luar lingkungan UPT sedangkan analisa lengkap harus di-lakukan untuk mengidentifikasi perilaku gejala mete-orology hasil pengolahan data pada saat kejadian dan setelah kejadian dan disampaikan selambat-lambatnya 24 jam setelah diketahui adanya kejadian (Peraturan Kepala BKG, No:009 Tahun 2010).

3 PEMBAHASAN

Pembahasan dilakukan dengan menjelaskan tentang ketiga teknik yang telah disebutkan di atas serta sub-sub bagian masing-masing teknik.

3.1 Analisa Kondisi Cuaca Permukaan Pada teknik analisa kondisi cuaca permukaan kita mengenal beberapa unsur cuaca yang sangat famil-iar baik di kalangan observer maupun forecaster an-tara lain, suhu, angin, kelembaban, awan, endapan, tekanan udara, dan sebagainya. Namun pada penje-lasan teknik analisa kondisi cuaca permukaan kali ini, penulis mengambil tiga unsur cuaca yang dijadikan sebagai unsur teknik analisa, yaitu suhu udara per-mukaan, kelembaban, dan tekanan udara.

Suhu Udara Permukaan (T )

Suhu adalah kondisi yang menentukan besaran dari total perpindahan panas antara dua buah benda. Dalam sebuah system, dapat dikatakan bahwa benda yang kehilangan panasnya ke benda lain berarti benda tersebut memiliki temperatur yang lebih tinggi. Suhu udara permukaan merupakan data yang dicatat

berdasarkan skala thermometer bola kering yang ter-pasang salam sangkar meteorologi dengan tinggi ±1.2 meter. Suhu udara ini merupakan salah satu data mentah untuk menentukan perkiraan maupun analisa cuaca.

Series data suhu permukaan yang panjang meru-pakan suatu deret angka yang jika diinput pada grafik maka akan membentuk pola berulang. Dari pola-pola itulah sebenarnya baik observer maupun forecaster bisa memperkirakan atau menganalisa suatu kejadian cuaca. Contoh yang mudah dipahami, suhu udara per-mukaan pasti akan mengalami kenaikan ketika siang hari dan akan menurun secara perlahan dan terus menerus sampai esok hari berikutnya (Gambar 1).

Gambar 1: Contoh grafik suhu udara permukaan harian

Dalam kondisi hari biasa tanpa fenomena cuaca yang mengakibatkan presipitasi bisa dipastikan seperti itu.

Namun, ketika pada suatu hari grafik menunjukkan pola pergerakan yang berbeda maka bisa dipastikan ada fenomena cuaca signifikan yang terjadi seperti pada Gambar 2. Grafik suhu udara permukaan seperti itu dapat dipastikan mempunyai fenomena cuaca yang signifikan antara lain hujan lebat disertai guntur atau angin kencang yang berasal dari awan cumulonimbus.

Gambar 2: Contoh grafik suhu udara permukaan indikasi kejadian hujan es

(4)

Kelembaban Udara Relatif Permukaan (RH) Kelembaban udara relatif atau relative humidity (U ) adalah perbandingan (dalam persen) untuk tekanan uap yang teramati dengan tekanan uap jenuh/saturasi (untuk kondisi air/cair) pada suhu dan tekanan udara yang sama. Secara umum relative humidity (RH) merupakan istilah yang dipakai untuk menggam-barkan jumlah uap air yang ada di udara dan dinya-takan dalam persen dari jumlah uap air maksimum dalam kondisi jenuh. Data kelembaban udara realtif yang selalu diamati dan dilaporkan pada sandi syn-optik merupakan hasil perhitungan suhu termometer bola kering dan basah.

Seperti data suhu udara permukaan, series data kelembaban udara relatif permukaan jika diinterpre-tasikan melalui grafik, maka akan membentuk pola pergerakan yang berulang. Kondisi grafik akan tinggi di waktu pagi hari dan akan turun sampai siang haru yang kemudian naik lagi sampai esok harinya. Seperti contoh Gambar 3 yang merupakan grafik kelembaban udara permukaan. Grafik itu merupakan grafik data kelembaban udara permukaan pada tanggal 10 Juni 2012 dimana pada hari itu tidak terjadi kejadian cuaca bermakna. Namun berbeda dengan grafik kelembaban udara permukaan dimana pada hari tersebut terjadi kejadian cuaca bermakna berupa hujan lebat disertai guntur dan butiran es.

Gambar 3: Contoh grafik kelembaban udara harian

Grafik kelembaban udara permukaan pada tanggal 11 Juni 2012 (Gambar 4) memberikan pola pergera-kan data kelembaban yang tidak sama dimana pada pagi hari kelembaban turun drastis dan bertahan sam-pai sore, kemudian langsung naik drastis dan bertahan samapai esok harinya.

Contoh perbedaan grafik kelembaban udara relatif permukaan bisa dijadikan teknik untuk menganalisa kejadian cuaca signifikan atau bermakna.

Tekanan Udara Permukaan (P )

Tekanan udara pada suatu permukaan didefinisikan sebagai gaya atau berat yang diberikan oleh sekolom

Gambar 4: Contoh grafik kelembaban udara indikasi hu-jan es

udara di atas suatu permukaan atau area kepada su-atu permukaan atau area tersebut. Tekanan yang diberikan tersebut sebanding dengan massa udara secara vertikal di atas permukaan tersebut sampai pada batas lapisan atmosfer terluar, sehingga tekanan udara selalu berkurang dengan bertambahnya keting-gian. Data tekanan udara permukaan merupakan data tekanan udara yang dihasilkan oleh barometer air raksa atau digital (AWS, AWOS, AAWS, dll.). Data yang digunakan merupakan data tekanan udara per-mukaan laut.

Series data tekanan udara antara hari yang terdapat kejadian cuaca bermakna atau signifikan dengan yang tidak terjadi cuaca bermakna akan berbeda pola perg-erakannya jika diinterpretasikan dalam bentuk grafik. Seperti contoh antara grafik tekanan udara pada tang-gal 10 Juni 2012 dan 11 Juni 2012 (Gambar 5 dan 6).

Gambar 5: Contoh grafik tekanan udara permukaan har-ian

Pada grafik tanggal 10 Juni 2012 (Gambar 5) yang mana tidak terjadi kejadian cuaca bermakna, perge-rakan tekanan udara adalah naik di sekitar jam 10 UTC dan turun sampai sekitar jam 09 UTC, naik lagi sampai sekitar jam 15 UTC dan turun samapi seki-tar jam 21 UTC. Terlihat grafik membentuk pola 2 puncak dan 2 lembah. Namun puncak yang pertama

(5)

Gambar 6: Contoh grafik tekanan udara permukaan in-dikasi hujan es

lebih tinggi dan lembah pertama lebih rendah. Sedan-gkan pada grafik tanggal 11 Juni (Gambar 6) yang mana terdapat fenomena cuaca signifikan berupa hu-jan lebat dengan guntur dan disertai butiran es, mem-berikan pola 2 puncak dan 2 lembah. Namun, pun-cak pertama lebih rendah dan lembah pertama sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa terjadi penu-runan tekanan uadara yang sangat tajam dan dapat diindikasikan sebagai tanda-tanda akan adanya cuaca bermakna.

3.2 Analisa Data Radiosonde

Analisis data radiosonde sangat penting untuk menge-tahui karakteristik labilitas atmosfer pada skala lokal, yang berguna untuk pembuatan prakiraan cuaca jangka pendek dengan jangkauan hingga 12 jam ke depan. Selain itu pola sebaran terhadap ruang dan waktu data analisis udara tas juga sangat berguna se-bagai alat untuk memahami variabilitas pola dinamika atmosfer yang berskala, regional maupun global.

Analisa data radiosondo sangat bermanfaat baik dalam pembuatan prakiraan atau analisa kondisi cuaca signifikan atau bermakna. Adapun dari data-data tersebut bisa didapatkan nilai-nilai indeks labili-tas udara antara lain Lifted Index, K-Index, Total To-tal Index, Showalter Index, dan Convective Available Potential Energy (CAPE).

Analisa Lifted Index (LI)

Lifted Indeks (LI) dihitung dari perbedaan antara suhu observasi pada lapisan 500 mb dan suhu parsel udara yang diangkat dari lapisan dekat permukaan sampai lapisan 500 mb. Makin tidak stabil suatu ling-kungan, maka nilai LI makin negative[1]. Formulanya diberikan oleh kaitan berikut:

LI = T 500 − Tp500; (2)

dengan T = temperature lingkungan, Tp temperature

parcel (terangkat dari permukaan sampai 500 mb)

Tabel 1: Indeks LI LI Kondisi Atmosfer > 10 Atmosfer stabil, langit clear

> 2 Cuaca Tidak Signifikan 0 - 2 Kemunfkinan shower atau TS −2 - 0 Kemungkinan TS

(−4) - (−2) Kemungkinan Badai TS

< (−4) Kemungkinan badai TS bahkan Tornado

Analisa K-Index (KI)

K Indeks (KI) merupakan indeks yang dapat digu-nakan untuk mengidentifikasi proses konvektif dan hujan deras. KI menghitung distribusi vertical dari kelembaban dan suhu. Untuk menentukan KI tidak harus menggunakan diagram Skew-T. Perhitun-gannnya cukup sederhana, dihitung dari suhu pada lapisan 850, 700 dan 500 mb dan Dewpoint pada lapisan 850 dan 700 mb. Semakin tinggi kelemba-ban dan semakin besar perbedaan suhu antara lapisan 850 - 500 mb, maka semakin besar KI dan potensi terjadinya konveksi[1]. Adapun formulanya sebagai

berikut

K = (T 850 − T 500) + (Td850 − Tdd700) (3)

Tabel 2: Indeks KI KI Konvektivitas < 15 Tidak ada konvektivitas 15 - 25 Konvektivitas Kecil 26 - 39 Konvektivitas Sedang

> 40 Konvektivitas Besar

Analisa Total Total Index (TTI)

Total Total Indeks (TT) merupakan indeks lain untuk menenrukan proses konveksi. TT dihitung berdasarkan nilai Suhu dan Kelembaban pada lapisan 850 mb dan suhu pada lapisan 500 mb. Semakin tinggi kelembaban dan suhu pada lapisan 850 mb dan se-makin rendah suhu pada lapisan 500 mb, maka kondisi atmosfer semakin tidak stabil dan semakin besar nilai TT[1]. Adapun formulanya sebagai berikut

T T = (T 850 − T 500) + (T d850 − T 500) (4)

Analisa Showater Stability Index (SSI)

Showalter Indeks merupakan indeks yang sering digu-nakan untuk menentuka proses konveksi. SSi hampir sama dengan LI, yang membedakan SSI menggunakan

(6)

Tabel 3: Indeks TT KI Konvektivitas

< 44 Konvektivitas Lemah 44 - 50 Konvektif Kuat, Petir Lokal 51 - 56 Indikasi Cuaca Petir Meluas

> 56 Petir Semakin Merata, Cuaca Buruk

parsel udara yang terangkat adri lapisan 850 mb ke lapisan 500 mb. Pada lapisan 500 mb suhu parsel merupakan hasil pengurangan dari suhu lingkungan. Semakin negativ nilai SSI mengindikasikan kondisi at-mosfer yang semakin tidak stabil[1]. Adapun

formu-lanya sebagai berikut.

LI = T 500 − T p500 (5)

dengan T = temperature lingkungan, Tp temperature

parcel (terangkat dari 850 mb sampai 500 mb)

Tabel 4: Indeks SSI SS Identifications

3 - 1 Shower, Thundershowers 1- (−2) Thundershowers

(−3) - (−6) Severe Thunderstorms

< (−6) Sever Thunderstorms, Tornadoes

Convective Available Potential Energy (CAPE)

CAPE adalah area dimana suhu parcel udara lebih panas dari pada lingkungannya. Area tersebut me-nunjukkan jumlah energy yang tersedia untuk parcel udara bergerak naik ke atas. CAPE dinyatakan dalam satuan Joules/Kilogram (J/Kg). Adapun formulanya sebagai berikut: CAP E = Z zfzng  T vparcel− T venv T venv  dz (6)

dengan Zn= Ketinggian lapisan LfcEL, Zf =

Keting-gian lapisan Lfc, T vparcel= Virtual temperature parsel

udara, T venv = Virtual temperature lingkungan, g =

Gaya gravitasi bumi (9.8 m/s2)

Pada Area dengan nilai positif yang lebih besar, maka semakin besar pula nilai CAPE, ketidakstabi-lan dan potensi konvektif yang lebih besar. Tabel 5 menunjukan gambaran umum korelasi antara CAPE dan stabilitas.

3.3 Analisa Data Citra Radar Cuaca

Analisa citra radar merupakan salah satu teknik yang terbaru dalam meteorologi Indonesia. Hal ini, dikare-nakan peralatan radar yang memang masih muda di

Tabel 5: Indeks CAPE CAPE STABILITAS

0 Stabil

0 - 1000 Ringan, Tidak Stabil 1000 - 2500 Sedang, Tidak Stabil 2500 - 3500 Labil

> 3500 Sangat Labil

Indonesia. Namun, dalam prakteknya analisa cotra radar mempunyai dasar yang hampir sama dengan analisa citra satelit.

Data citra radar digunakan untuk memantau kon-disi sebaran awan hujan yang selanjutnya digunakan untuk menambah bahan pertimbangan pembuatan prakiraan cuaca. Analis harus mempertimbangkan citra satelit sebelum mengintepretasikan data citra radar tersebut, sehingga memahami dinamika at-mosfer untuk mempertimbangkan cuaca yang sudah, sedang dan akan terjadi. Contoh-contoh produk im-age radar MAX, PPI, dan RTR seperti ditunjukkan pada Gambar 7.

Dalam analisa citra radar, banyak yang bisa di-lakukan analis karena memang banyak output yang dihasilkan citra radar yang diantaranya:

• Pengukuran Presipitasi • Pengukuran Angin

• Mendeteksi Turbulensi dan wind shear • Severe storm nowcasting

• Mendeteksi Hail

• Menentukan Lokasi dari melting level • Mendeteksi Mesocyclone and Microburst • Wind soundings in stratiform precipitation • Analisa Struktur Hurricane

4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan beberapa teknik analisa cuaca kejadian cuaca ekstrim berupa hujan es di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Analisa kejadian cuaca ekstrim harus mengikut-sertakan data unsur-unsur cuaca permukaan hasil pengmatan. Hali ini dilakukan untuk menun-jukkan perbedaan nilai-nilai unsur cuaca sebelum, saat, dan sesudah kejadian.

(7)

Gambar 7:

2. Data yang dihasilkan sari pengamatan radiosonde merupakan data yang sangat bermanfaat untuk mendapatkan nilai-nilai labilitas udara yang men-dukung terjadinya cuaca ekstrim.

3. Hasil interpretasi citra radar cuaca akan menam-pilkan citra-citra untuk mendeteksi terjadinya cuaca ekstrim.

4.2 Saran

Untuk lebih mengembangkan penelitian ini, maka dis-arankan beberapa hal berikut.

1. Perlu adanya data pembanding yang berasal dari analisa citra satelit untuk mendukunganalisa ra-diosonde dan analisa citra radar.

2. Perlu adanya data pembanding dari Automatic Weather Station (AWS) untuk mendeteksi keja-dian yang singkat yang tidak tercatat dalam data observasi.

REFERENSI

[1]AWS/TR-79/006, 1979, The Used of The SKEW T, LOG

P Diagram in Analysis and Forecasting, Air Weather Service

[2]Barry, R.G. and R.J. Chorley, 1998, Atmosphere, Weather

and Climate, London: Seventh Edition, Rooutledge Ltd., 409 pp

[3]Byers, H.R., 1974, General Meteorology, New york:

McGraw-Hill Book Company Inc. London

[4]Prawirowardoyo, S., 1996, Meteorologi, Institut Teknologi

Bandung, Bandung

[5]Tjasyono, B.H.K., 2004, Klimatologi, Institut Teknologi

Bandung, Bandung

[6]Zakir, A., 2008, Modul Praktis Analisa dan Prakiraan

Cuaca, Pusat Pendidikan dan Latihan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta

Gambar

Gambar 2: Contoh grafik suhu udara permukaan indikasi kejadian hujan es
Gambar 4: Contoh grafik kelembaban udara indikasi hu- hu-jan es
Gambar 6: Contoh grafik tekanan udara permukaan in- in-dikasi hujan es
Tabel 4: Indeks SSI SS Identifications

Referensi

Dokumen terkait

Bahan-bahan yang digunakan ialah benih tomat varietas Betavila, media tanam steril, kompos, pupuk urea, fungisida, tanaman tomat yang terinfeksi layu bakteri di

Siklus Manajemen Proyek (SMP) adalah istilah yang digunakan pada proses perencanaan dan pengelolaan proyek, program dan organisasi.. Istilah ini digunakan secara

Dalam strategi public relations yang digunakan pada kampanye “Stop the Trafficking of Children and Young People” tersebut, yang menjadi kekuatan dalam strategi

Air permukaan yang biasanya dimanfaatkan sebagai sumber atau bahan baku air bersih adalah air waduk (berasal dari air hujan), air sungai (berasal dari air hujan dan mata air), air

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian yang akan diteliti yaitu : apakah terdapat hubungan antara higiene pribadi dengan

Peranan p o lit ik h uku m d alam pengembangan ekonomi syariah harus dilihat secara inte- gral, karena masing-masing unsur bersifat komplementer dan berada dalam suatu

Rosady Ruslan (dalam Nova,2011:204) mendefinisikan media relations adalah suatu kegaiatan humas dengan maksud menyampaikan pesan (komunikasi) mengenai aktivitas yang

1. Pada pengujian 1, dilakukan pelatihan dengan menggunakan parameter yang besar, dengan learning rate yang kecil, menyebabkan waktu pembelajaran terhadap data