1 HUBUNGAN HIGIENE PRIBADI DENGAN INFESTASI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SD NEGERI 1 BUMI
DIPASENA MAKMUR, RAWAJITU TIMUR, LAMPUNG
(USUL PENELITIAN)
Oleh :
dr. SHINTA NARESWARI NIP 198910212014042001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG 2015
2 HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Hubungan Higiene Pribadi dengan Infestasi Soil Transmitted Helminths pada Siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung
2. Bidang Penelitian : Kedokteran / Parasitologi 3. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : dr. Shinta Nareswari b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP : 198910212014042001
d. Disiplin Ilmu : Kedokteran / Parasitologi e. Gol./Pangkat : IIIb/Penata Muda Tk.I f. Jabatan : Dosen
g. Fakultas/Jurusan : Kedokteran/Pendidikan Dokter
h. Alamat : Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung
i. Telp : (0721) 7691197
j. Alamat Rumah : Perumahan Bumi Puspa Kencana Blok DD No. 1, Bandar Lampung 35145
k. Telp/E-Mail : 082182172444 / shinta_1989@yahoo.com 4. Jumlah Anggota Peneliti : - orang
5. Lokasi Kegiatan : Rawajitu Timur, Tulang Bawang
6. Jumlah Dana yang Diusulkan: Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah)
Bandar Lampung, 23 Maret 2015 Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Ketua Tim Pengusul
Dr. Sutyarso, M. Biomed dr. Shinta Nareswari, S. Ked NIP. 195704241987031001 NIP. 198910212014042001
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Lampung
Dr. Eng. Admi Syarif NIP. 196701031992031003
3 DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Daftar Isi ... iii
I. Pendahuluan ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 2
II. Tinjauan Pustaka ... 3
2.1.Tujuan Penelitian ... 12
III. Metode Penelitian ... 13
IV. Jadwal Pelaksanaan ... 17
V. Personalia Penelitian ... 18
VI. Perkiraan Biaya Penelitian ... 19
4 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Soil Transmitted Helminths (STH) merujuk pada cacing usus yang menginfestasi manusia, yang ditransmisikan melalui tanah yang terkontaminasi (CDC, 2011). Yang termasuk STH adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis (Bethony et al., 2006).
Penyakit yang disebabkan oleh infestasi STH merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah. Jumlah kasus infeksi STH terbanyak dilaporkan di kawasan Sub-Sahara Afrika, benua Amerika, Cina dan Asia Timur. Infeksi terjadi oleh karena ingesti telur cacing dari tanah yang terkontaminasi atau dari penetrasi aktif melalui kulit oleh larva di tanah (Webber, 2009; WHO, 2011).
Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh STH masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit kecacingan banyak ditemukan di daerah tropis dengan kelembaban tinggi terutama pada kelompok masyarakat dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Usia sekolah dasar merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Infeksi kecacingan tergolong penyakit negclected disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinik yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang, dan gangguan kognitif pada anak (Depkes RI, 2006; Kurniawan, 2010). Selain itu infeksi kecacingan dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit penting
5 lainnya seperti malaria, TBC, diare dan anemia (Bethony et al., 2006). Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Hasil survei Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 sekolah dasar di 10 provinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2% - 96,3% (Depkes RI, 2006). Secara teoritis kejadian kecacingan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan higiene pribadi yakni: kebiasaan ibu dan anak mencuci tangan sebelum makan dan menyuapi anaknya, frekuensi potong kuku anak, kebiasaan bermain di tanah, kepemilikkan jamban, lantai rumah dan ketersediaan air bersih (Endriani dkk, 2011).
Rawajitu Timur merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Wilayah ini mayoritas terdiri dari area tambak udang. Pemukiman penduduknya cukup padat. SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur merupakan salah satu sekolah yang cukup besar di daerah ini. Di sekolah ini belum pernah dilakukan pemeriksaan infeksi kecacingan pada siswa. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara umum, khususnya pada siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, maka diperlukan data tentang infeksi kecacingan di sekolah tersebut. Kemudian pada siswa yang dinyatakan positif mengalami infestasi soil transmitted helminths akan diberikan pengobatan agar siswa tersebut tidak terinfeksi lagi dan tidak menjadi sumber penularan penyakit bagi siswa yang lain.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian yang akan diteliti yaitu : apakah terdapat hubungan antara higiene pribadi dengan infestasi soil transmitted helminths pada siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung?
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Higiene Pribadi
Higiene atau biasa juga disebut dengan kebersihan, adalah upaya untuk memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan kebersihan kerja. Kebersihan merupakan suatu perilaku yang diajarkan dalam kehidupan manusia untuk mencegah timbulnya penyakit karena, pengaruh lingkungan serta membuat kondisi lingkungan agar terjaga kesehatannya (Putri, 2011).
Personal higiene (kebersihan diri) adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto dan Wartonah, 2003). Pemeliharaan kebersihan diri berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri baik apabila orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, tangan dan kuku,dan kebersihan genitalia agar terhindar dari berbagai macam penyakit yang disebabkan berbagai mikroorganisme seperti parasit (cacing) bakteri dan virus (Sudomo, 2008).
Penyakit cacingan sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain : lokasi (desa atau kota, kumuh dan lain-lain), kelompok umur, kebiasaan penduduk setempat (tempat buang air besar, cuci tangan sebelum makan, pemakaian air bersih, pemakaian alas kaki dan pekerjaan penduduk (Sudomo, 2008).
7 B. Soil Transmitted Helminths
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari tanah (Hotez et al., 2006). Soil Transmitted Helminths dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), dan Strongyloides stercoralis. (Adi Sasongko, 2002).
1) Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda terbesar yang hidup sebagai parasit pada usus manusia. Cacing betina berukuran lebih besar dari cacing jantan. Ukuran cacing betina dewasa mencapai 20-35 cm dan cacing jantan dewasa 15-30 cm (CDC, 2013). Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur 100.000-200.000 butir sehari (Sutanto dkk., 2008).
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea, larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan
8 sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Sutanto dkk., 2008).
Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2013)
Pada pemeriksaan tinja penderita, dapat ditemukan telur cacing. Ada tiga bentuk telur yang mungkin ditemukan, yaitu (1) telur yang dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat, terdiri dari 3 lapis. (2) Telur yang mengalami dekortikasi adalah telur yang dibuahi, akan tetapi kehilangan albuminoidnya. (3) Telur yang tidak dibuahi, mungkin dihasilkan oleh betina yang tidak subur atau terlalu cepat dikeluarkan oleh betina yang subur (Rusmartini, 2009).
9 Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemerikasaan tinja rutin atau karena cacing dewasa keluar bersama tinja (Rusmartini, 2009).
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Sutanto dkk., 2008).
Metode standar untuk mendiagnosis ascariasis adalah dengan mengidentifikasi telur Ascaris lumbricoides dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Karena telur mungkin sulit ditemukan pada infeksi ringan, maka dianjurkan untuk menggunakan prosedur konsentrasi. Bila prosedur konsentrasi tidak tersedia, pemeriksaan sediaan langsung pada spesimen dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi sedang sampai berat. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Selain itu stadium larva dapat diidentifikasi dalam dahak atau aspirasi lambung selama fase migrasi paru (CDC, 2012).
10 2) Trichuris trichiura
Trichuris trichiura) merupakan nematoda usus penyebab penyakit trikuriasis. Trikuriasis adalah salah satu penyakit cacing yang banyak tedapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Penyakit ini sering dihubungkan dengan terjadinya kolitis dan sindrom disentri pada derajat infeksi sedang (Soedarmo dkk., 2010).
Manusia merupakan hospes definitif dari Trichuris trichiura. Cacing ini terutama dapat ditemukan di sekum dan appendiks, tetapi juga dapat ditemukan di kolon dan rektum dalam jumlah yang besar. Cacing ini tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh menjadi bentuk infektif (Rusmartini, 2009).
Gambar 3. Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2013)
Cacing betina panjangnya kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira-kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk
11 dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus (Sutanto dkk., 2008).
Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Sutanto dkk., 2008).
Gambar 4. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2009)
Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan belum matang (belum membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur yang infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-paru (Rusmartini, 2009).
Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami
12 prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi (Sutanto dkk., 2008).
Infeksi Trichuris trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses ataupun cacing dewasa pada feses. Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram feses (Lubis, 2012).
3) Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Sehatman, 2006). Manusia merupakan hospes definitif. Cacing ini hidup dalam usus halus terutama di daerah jejunum. Pada infeksi berat, cacing dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus (Rusmartini, 2009).
Ukuran Ancylostoma duodenale sedikit lebih besar dari Necator americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan Necator americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Necator americanus mempunyai benda kitin, sedangkan Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi (Soedarmo dkk., 2010; Sutanto dkk., 2008).
Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran 40 x 60 mikron. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus, di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan bening.
13 Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur Necator americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale. Jumlah telur per-hari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada Ancylostoma duodenale 10.000-20.000 butir (Rusmartini, 2009).
Gambar 5. Telur cacing tambang (hookworm) (CDC, 2010)
Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250-300 µm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo dkk., 2010).
14 Gambar 6. Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2013)
Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch. Sewaktu larva berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis (Rusmartini, 2009).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi telur cacing dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Untuk membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dapat dilakukan biakan dengan cara Harada-Mori (Soedarmo dkk., 2010; CDC, 2012).
4) Strongyloides stercoralis
Cacing ini disebut juga dengan cacing benang. Predileksi cacing dewasanya pada mukosa usus halus terutama duodenum dan jejunum manusia. Cacing dewasa betina mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak berwarna dan berbentuk seperti benang halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus yang
15 panjang (Soedarto, 2008). Cacing jantan memiliki panjang ± 1 mm, dengan ekor melingkar dengan spikulum, dan esofagus pendek dengan dua bulbus. Sedangkan cacing betina memiliki panjang yang sama dengan jantan, ± 10 mm, dengan uterus berisi telur, dan ekor runcing, serta memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus. Larva rabditiformnya memiliki panjang ± 225 mikron, mulut terbuka, pendek, dan lebar, esofagus dengan dua bulbus. Larva ini memiliki ekor runcing. Larva filariformnya memiliki panjang ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esofagus menempati ½ panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk. (Srisasi Gandahusada dkk., 2003).
Telur cacing ini berukuran 54 x 32 mikron, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform. Kemudian larva rabditiform menembus sel epithel dan masuk ke dalam lumen usus (Soedarto, 2008).
2.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk :
1) Mengetahui tingkat higiene pribadi siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung
2) Mengetahui angka infestasi soil transmitted helminths pada siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung
3) Mengetahui apakah terdapat hubungan antara higiene pribadi dengan infestasi soil transmitted helminths pada siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung
16 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desai penelitian yang digunakan pada penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study, dimana pengukuran variabel diobservasi pada waktu tertentu dan bersamaan (Notoatmodjo, 2005).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Penelitian direncanakan untuk dilaksanakan pada bulan Mei sampai November 2015.
C. Subyek Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur yang seluruhnya berjumlah 213 siswa. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur yang telah memenuhi kriteria inklusi. Adapun besar sampel yang diambil menggunakan rumus Taro Yamane yang dikutip dari Notoatmodjo (2005) yaitu sebagai berikut :
n =
Keterangan :
N = besarnya populasi n = besarnya sampel
D = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0,05) N
17 Jumlah seluruh siswa di SD Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur adalah sejumlah 213 siswa. Berdasarkan rumus Taro Yamane, maka didapatkan :
n =
n = 138 siswa
D. Kriteria Retriksi
Kriteria inklusi:
- Siswa di Sekolah Dasar Negeri 1, Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung
- Bertempat tinggal di wilayah atau di sekitar Sekolah Dasar Negeri 1 Bumi Dipasena Makmur, Rawajitu Timur, Lampung
- Dapat berkomunikasi dengan baik dan kooperatif
Kriteria eksklusi:
- Tidak bersedia menjadi responden
E. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah higiene pribadi siswa, dimana yang diukur yaitu: kebiasaan mencuci tangan, penggunaan alas kaki, kebersihan kuku dan kebiasaan mandi. Variabel terikat adalah infestasi soil transmitted helminth yang akan diukur dengan pemeriksaan feses di laboratorium.
Higiene pribadi adalah tindakan yang dilakukan siswa untuk memelihara kebersihan dan kesehatan diri. Higiene pribadi yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah :
1 + 213 (0,052) 213
18 1) Kebiasaan mencuci tangan
Kebiasaan mencuci tangan adalah kebiasaan sehari-hari dari siswa untuk membersihkan tangan sebelum makan, setelah buang air besar, dan setelah bermain di tanah. Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner serta dikategorikan atas “baik” dan “tidak baik”. Skala pengukurannya adalah skala nominal.
2) Penggunaan alas kaki
Penggunaan alas kaki adalah kebiasaan siswa apakah menggunakan alas kaki atau tidak pada saat bermain dan beraktivitas. Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner serta dikategorikan atas “selalu” dan “tidak selalu” menggunakan alas kaki. Skala pengukurannya adalah skala nominal.
3) Kebersihan kuku
Kebersihan kuku adalah upaya yang dilakukan oleh siswa/orang tua siswa untuk memotong kuku. Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner serta dikatergorikan atas “baik” dan “tidak baik”. Skala pengukurannya adalah skala nominal.
4) Kebiasaan mandi
Kebiasaan mandi adalah kebiasaan yang dilakukan setiap hari oleh siswa untuk membersihkan diri dengan mandi/membasuh diri menggunakan sabun. Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner serta dikategorikan atas “baik” dan “tidak baik”. Skala pengukurannya adalah skala nominal.
5) Higiene Pribadi secara keseluruhan akan dikategorikan atas “baik” dan “tidak baik”. Dikatakan baik apabila memiliki nilai baik pada keempat sub-variabel yang meliputi kebiasaan mencuci tangan, penggunaan alas kaki, kebersihan kuku dan kebiasaan mandi
19 6) Infestasi soil transmitted helminths
Infestasi soil transmitted helminths adalah deteksi telur cacing ataupun cacing dewasa pada feses siswa yang diperiksa di laboratorium. Skala pengukurannya adalah nominal. Kategori infestasi soil transmitted helminths:
- Positif: Bila dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya telur cacing atau cacing dewasa di dalam feses.
- Negatif: Bila dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya telur cacing atau cacing dewasa di dalam feses.
F. Alat dan Cara Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk mendapatkan data mengenai higiene pribadi. Sedangkan untuk data mengenai infestasi soil transmitted helminths diukur dengan pemeriksaan feses di laboratorium. Data yang diambil berupa data primer, yang diperoleh dari teknik wawancara dan pemeriksaan feses.
G. Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan bantuan perangkat lunak program SPSS ver. 21 lalu dianalisis dengan uji chi-square dan uji alternatif fischer exact untuk mengetahui hubungan antar variabel yang diteliti yaitu higiene pribadi dengan infestasi soil transmitted helminths.
20 BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN
KEGIATAN III IV V VI VII VIII IX X XI
Penyusunan proposal Review proposal Perizinan Pengumpulan data Pengolahan & analisis Penyusunan laporan Seminar & publikasi
21 BAB V
PERSONALIA PENELITIAN
1. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : dr. Shinta Nareswari b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP : 198910212014042001
d. Disiplin Ilmu : Kedokteran/Parasitologi e. Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk 1/ IIIb f. Jabatan fungsional/struktural : Dosen
g. Fakultas/Jurusan : Kedokteran/Pendidikan Dokter h. Waktu penelitian : 30 jam/minggu
22 BAB VI
PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN
a. Persiapan penelitian
No Uraian Volume Satuan Biaya (Rp) 1 Penelusuran referensi/literatur 1 Paket 1.450.000 2 Penyusunan proposal 1 Paket 250.000 Subtotal 1.700.000
b. Bahan habis pakai dan perlengkapan
No Uraian Volume Biaya/satuan (Rp) Biaya (Rp) 1 Penggandaan kuesioner 200 Paket @ 2.500 500.000 2 Pengambilan data 6 Hari @ 550.000 4.500.000 3 Penyusunan laporan 5 Eksemplar @ 50.000 250.000 4 ATK 1 Paket @ 450.000 450.000 5 Seminar dan publikasi 1 Paket @ 1.500.000 1.500.000 6 Monev internal 1 Paket (11%) 1.100.000 Subtotal 8.300.000 Total biaya : Rp 1.700.000 + Rp 8.300.000 = Rp. 10.000.000 Terbilang : Sepuluh Juta Rupiah
23 DAFTAR PUSTAKA
Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, et al. Soil transmitted helminth infections: Ascariasis trichuriasis, and hookworm.Lancet. 2006; 367: 1521–32.
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/AF/Ascariasis/body_ Ascariasis_il2.htm, diakses 4 Maret 2015.
Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Hookworm. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/GL/Hookworm/body_ Hookworm_il1.htm, diakses 4 Maret 2015.
Centers for Disease Control and Prevention. 2011. Parasites - Soil-transmitted Helminths (STHs) Diakses dari http://www.cdc.gov/parasites/sth/ pada tanggal 15 Maret 2015.
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites - Ascariasis: Biology. http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html., diakses 3 Maret 2015.
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites - Hookworm. http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html, diakses 3 Maret 2015.
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites - Soil-transmitted Helminths (STHs). http://www.cdc.gov/parasites/sth/, diakses 1 Maret 2015.
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites - Trichuriasis (also known as Whipworm Infection). http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/ biology .html, diakses 1 Maret 2015.
Depkes RI 2004. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi, Depkes RI, Jakarta
Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. Permenkes RI Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006.
Endriani, Mifbakhudin, Sayono. 2011. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Usia 1-4 Tahun. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 7(1):22-35
Hotez, Peter J., Donald A. P. Bundy, Kathleen Beegle, Simon Brooker, Lesley Drake, Nilanthi de Silva, Antonio Montresor, Dirk Engels. 2006. Helminth
24 Infections: Soil-Transmitted Helminth Infections and Schistosomiasis. Pp 467-482 In: Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd edition. Jamison, Dean T., Joel G. Breman, Anthony R. Measham, George Alleyne, Mariam Claeson, David B. Evans, Prabhat Jha, Anne Mills, Philip Musgrove. Disease Control Priorities Project. Washington (DC). Pp 1400.
Kurniawan A. Infeksi Parasit: Dulu dan Masa Kini. Maj Kedokt Indon. 2010;60(11):487-88.
Lubis, Aridamuriany Dwiputri. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 Dan 7 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiuria. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Putri, Btari Sekar. 2011. Hubungan Higiene Perseorangan, Sanitasi Lingkungan dan Status Gizi Terhadap Kejadian Skabies Pada Anak [Skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro
Rusmartini, Tinni. 2009. Penyakit Oleh Nematoda Usus. 73-96 hlm dalam: Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra, D., Agoes, R. EGC. Jakarta. Hlm. 450.
Sasongko, A. et al. 2002..Intestinal Parasitic Infections in Primary School
Children in Pulau Panggang and Pulau Pramuka,Kepulauan Seribu.
Makara,Kesehatan,vol 6,No.1: 8-11.
Sehatman. 2006. Diagnosa Infeksi Cacing Tambang. Media Litbang Kesehatan XVI Nomor 4 Tahun 2006. Jakarta. Hlm 22-25.
Soedarmo, Sumarmo S. P., Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Hal. 71-96.
Srisasi Gandahusada., Herry D.I., Wita Pribadi. 2003. Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : FK UI.
Sudomo, M. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Jakarta.
Sutanto, Inge, Is Suhariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 6-32 hlm.
25 Webber, R. 2009. Communicable disease epidemiology and control.Edisi
ke-3.London: CAB International.
WHO. 2011. Helminthiasis (online) Diakses dari http://www.who.int/topics/helminthiasis/en/ pada tanggal 15 Maret 2015
26 RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS
Nama Lengkap : dr. Shinta Nareswari Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 21 Oktober 1989
Agama : Islam
Alamat Rumah : Perumahan Bumi Puspa Kencana Blok DD No.1, Bandar Lampung 35145
PENDIDIKAN
SD Kartika II-5 Bandar Lampung : 1995-2001
SMPN 2 Bandar Lampung : 2001-2004
SMAN 2 Bandar Lampung : 2004-2006 FK UNILA Bandar Lampung : 2006-2012
PEKERJAAN
Dosen FK UNILA : 2013-sekarang
Bandar Lampung, 23 Maret 2015
Peneliti
dr. Shinta Nareswari