13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Anak 2.1.1 Definisi Anak
Anak adalah suatu anugrah yang diberi oleh allah kepada setiap makhluk yang harus diperhatikan dan diberikasih sayang terutama dalam perdindungnnya. Anak adalah periode perkembangan yang dimulai dari usia bayi sampai usia 5 atau 6 tahun, pada masa ini biasa disebut dengan masa prasekolah, kemudian dengan berjalannya waktu anak akan beranjak ke masa sekolah dasar. Perkembangan mental anak akan terus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia (Prijambodo, 2018).
Anak merupakan suatu harapan dalam suatu keluarga. Setiap keluarga pasti mengharapkan seorang anak yang dapat bertumbuh kembang secara optimal baik fisik, mental/kognitif, dan sosialnya. Anak harus diperhatikan sejak meraka masih dalam kandungan sampai mereka menjadi manusia dewasa. Tumbuh kembang itu sendiri merupakan suatu proses yang bersifat kontinu atau berkelanjutan yang terjadi sejak konsepsi hingga berlangsung sampai dewasa. Dalam proses untuk menjadi dewasa, anak harus melalui berbagai tahapan tumbuh kembang. Faktor biologis, fisik, dan psikososial
inilah merupakan suatu faktor yang sangat berpengaruh pada tumbuh kembang seorang anak (Soejiningsih, 2013).
2.1.2 Ciri-ciri Tumbuh Kembang Anak
Proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak memiliki berbagai ciri khas yang membedakan komponen satu dengan yang lain. Pertumbuhan dan perkembangan memiliki ciri-ciri yang dimulai dari terjadinya suatu perubahan ukuran tubuh dalam hal bertambahnya ukuran secara fisik. Perubahan pertama yang terjadi yaitu, anak akan tubuh menjadi lebih tinggi, berat badan mulai bertambah, perubahan ukuran lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar dada, dan perkembangan organ-organ tubuh lain beserta fungsinya. Yang kedua, perubahan proporsi tubuh yang akan terjadi sesuai dengan bertambahnya usia mulai dari masa konsepsi hingga dewasa (Sembiring, 2019).
Dalam periode tertentu terdapat adanya masa percepatan ataupun masa perlambatan, serta lanjut tumbuh kembang yang berlainan di antar organ-organ lain. Terdapat 3 periode pertumbuhan cepat yaitu masa janin, masa bayi 0-1 tahun, dan masa pubertas (Armini, 2017).
Pada masa bayi atau anak yang baru lahir titik pusat tubuhnya yaitu dibagian umbilicus, sedangkan dewasa titik pusatnya yaitu disimfisis pubis. Keadaan ini terjadi karena pertumbuhan badan dan bagian ekstremitas yang sangat pesat. Pada bagian kepala pada saat janin dengan umur 2 bulan ukurannya yaitu setengah dari proporsi tubuh, pada saat 5 bulan sepertiga dari proporsi tubuh, pada saat lahir seperempat dari proporsi tubuh, umur 2 tahun seperlima, pada umur 6 tahun seperenam, pada umur 12 sepertujuh, dan pada saat menginjak usia dewasa proporsinya yaitu seperdelapan dari
proporsi tubuhnya. Yang ketiga, ciri-ciri lama mulai tidak tampak, kelenjar timus mengecil, gigi susu tanggal, dan rambut bayi mulai rontok (Soejiningsih. 2013). Setelah itu, timbul ciri-ciri baru seperti tumbuh gigi permanen dan mulai timbul rambut diarea dada, aksila dan pubis (Sembiring, 2019).
Selain perubahan secara fisik, terdapat juga beberapa hal penting pada aspek perkembangan yang muncul pada soerang anak yaitu First (saat pertama) diantaranya akan terjadi suatu respon terhadap anak seperti senyuman pertama, respon menggenggam erat pertama kali, kata pertama, berjalan pertama, dan kalimat pertama yang diucapkan. Proses tumbuh kembang pada awal kehidupan yang baik merupakan salah satu faktor penentu dalam proses tumbuh kembang selanjutnya (Soejiningsih, 2013).
Semua anak memiliki pola perkembangan yang sama, namun kecepatannya berbeda-beda antara anak satu dengan anak-anak yang lainnya. Perkembangan sangat erat hubungannya dengan maturasi susunan sistem saraf. Dalam proses maturasi sendiri terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pertama adanya maturasi intrinsik yang merupakan kemampuan khas yang berasal dari bayi. Selanjutnya ada fungsi filogenetik yang merupakan suatu respon atau kemampuan seorang seperti merayap, merangkak, duduk maupun berjalan. Lalu ada fungsi ontogenetik yang memiliki fungsi lebih spesifik lagi yang dihasilkan dari suatu pelatihan seperti kemampuan berenang, melukis, bersepeda dll (Sembiring, 2019).
Dalam tumbuh kembang seorang anak terdapat beberapa keadaan yang sering mempengaruhi tumbuh kembang diawal kehidupan yaitu status nutrisi yang didapat oleh
anak. Pada saat bayi ASI merupakan makanan terbaik pada tumbuh kembang seorang anak. Dari pemberian ASI seorang ibu, anak akan mendapat stimulus sensori secara komprehensif. Selain ASI anak juga harus mendapat asupan nutrisi yang seimbang guna memenuhi kebutuhan tubuh akan bertumbuh kembang secara optimal baik secara fisik maupun mental. Tidak hanya itu, hubungan interpersonal dengan lingkungan yang menyenangkan dan kasih sayang dari orang tua harus diberikan kepada anak. Dengan bertambahnya usia pada anak status emosional juga akan mucul seperti perasaan sedih, kecewa, marah, dan gembira, serta bagaimana cara anak mengatasi situasi agar kelak anak mempunyai kecerdasan emosional yang sangat tinggi. Anak juga akan mengenal bagaimana cara bermain peran (Roleplay). Dalam hal ini biasanya anak diajarkan untuk bagaimana cara bermain peran suatu lingkungan contohnya seperti membantu orang tua dalam kegiatan rumah tangga yang bersifat kegiatan ringan seperti menyapu, mengganti popok adik ataupun memberi susu. Pola asuh yang demokratis akan berdampak positif terhadap tumbuh kembang seorang anak (Soejiningsih, 2013).
2.1.3 Tahap Tumbuh Kembang Anak
Anak yang sehat akan mengalami proses tumbuh kembang dan perkembangan yang normal dan wajar sesuai dengan standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya dan memiliki kemampuan yang sesuai dengan standar kemampuan anak seusianya. Perkembangan anak adalah segala perubahan yang terjadi pada anak mulai dari spek fisik (motorik), emosi, kognitif dan psikososialnya (bagaimana anak dapat berinteraksi terhadap lingkungan sekitarnya) (Adriani, 2016).
Walaupun terdapat variasi yang besar, akan tetapi setiap anak akan melalui suatu “milestone” yang merupakan tahapan dari tumbuh kembangnya dan tiap-tiap tahapan mempunyai ciri tersendiri. Proses tumbuh kembang yang utama pada masa anak dan remaja menurut Juliana Br Sembiring (2019) dimulai dari masa prenatal, masa neonatus, masa bayi, masa prasekolah,masa pra remaja dan masa remaja.
Tapah pertama yaitu masa pranatal terdiri dari masa embrio dan fetus. Pada fase embrio pertumbuhan dimulai 8 minggu pertama dengan terjadi defensiasi yang cepat dari ovum menjadi suatu organisme dan terbentuknya manusia. Pada minggu kedua terjadi pembelahan sel dan terjadi pemisahan jaringan antara entoderm dan ekstoderm, pada minggu ketiga terbentuk lapisan mesoderm. Pada masa ini sampai umur 7 minggu belum tampak terjadi gerakan yang menonjol, yang ada hanya denyut janin yang mulai berdenyut sejak 4 minggu. Masa fetus terjadi antara minggu ke 12 sampai 40 terjadi peningkatan fungsi organ yaitu bertambah panjang dan berat badan terutama pada pertumbuhan dan penamhana jaringan subcutan dan jaringan otot (Sriasih, 2017).
Setelah itu, tahap kedua masuk pada masa neonatus (usia 0-28 hari). Pada masa ini adalah awal dari pertumbuhan dan perkembangan setalah lahir, masa ini merupakan masa terjadi kehidupan yang baru dalam ekstra uteri dengan terjadi proses adaptasi semua sistem organ tubuh. Proses adaptasi dari organ tersebut dimulai dari aktivitas pernapasan antara 35-50x/menit, dengan ukuran jantung lebih besar apabila dibandingkan dengan rongga dada, terjadi aktivitas bayi yang mulai meningkat dan selanjutnya diikuti perkembangan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Sembiring, 2019).
Tahap ketiga yaitu masa bayi (usia 28 hari- 1 tahun). Pertumbuhan masih dibilang pesat meskipun percepatan pertumbuhannya telah mengalami deseletasi dan proses maturasi khususnya pada sistem saraf. Berlanjut pada masa prasekolah (usia 3-6 tahun), pada masa ini anak mengalami kemajuan perkembangan sistem motorik dan fungsi ekskresi. Aktivitas fisik, kemampuan dalam berkarya, dan proses berfikir anak sudah mulai meningkat sehingga pada masa ini anak lebih cenderung untuk mengeksplor mengenai hal-hal baru yang mereka lihat. Tahap keempat masa praremaja (usia 6-12 tahun), pertumbuhan lebih cepat disbanding dengan masa presekolah. Kemampuan-kemampuan mereka mengenai keterampilan dan intelektial semakin meningkat. Pada masa ini anak lebih cenderung hidup berkelompok sesuai dengan jenis kelamin mereka. Dan yang selanjutnya yaitu masuklah pada masa remaja (usia 12-20 tahun) yang merupakan suatu transisi dari anak menuju ke dewasa. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang lebih pesat lagi dibanding dengan masa praremaja seperti timbulnya tanda-tanda seks sekunder dan pertumbuhan alat kelamin (Soejiningsih, 2013).
2.2 Konsep Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi 2.2.1 Kebutuhan Nutrisi pada Anak Usia Sekolah
Selama periode usia sekolah anak mempunyai lingkungan sosial yang lebih luas selain dalam lingkungan keluarga mereka. Anak-anak banyak menghabiskan waktunya diluar rumah seperti dilingkungan sekolah dan bermain dengan teman-temannya. Mereka lebih memiliki kendali terhadap asupan makanan hariannya. Minimal 30% kalori harus berasal dari lemak, dengan hanya 10% yang berasal dari lemak jenuh dan kolesterol maksimum 300 mg perharinya. Hal ini dikarenakan agar anak terhindar dari penyakit
yang membahyakan dirinya. Selain itu zat besi juga sangat penting pada tubuh, terutama pada anak perempuan yang mulai menstruasi untuk mencegah anemia defisiensi zat besi. Pada pertengahan masa kanak-kanak dan remaja merupakan waktu untuk menerapkan praktik pemenuhan kebutuhan nutrisi yang digunakan untuk mencegah aterosklerosis, diabetes, osteoporosis dan obesitas dikemulian hari (Rosdahl, 2017).
Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang perlu diperhatikan pada anak usia sekolah yaitu yang pertama, anak mampu mengatur pola makannya sendiri. Pada anak usia sekolah memerlukan sarapan yang bernutrisi guna mencegah terjadinya hipoglikemia dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh rasa lapar yang akan berdampak pada kurangnya konsentrasi dan pendeknya rentang perhatian. Lalu, program makan siang digunakan untuk memberikan makanan bernutrisi yang menarik minat anak. Dalam hal ini pastikan bahwa orang tua juga selalu mengkonsumsi atau mengajarkan anak mengkonsumsi makanan-makanan gizi lengkap, karena dari kebiasaan orang tua tersebut yang dapat memotivasi serta mendorong anak agar mau hidup sehat. Kedua, anak harus mempunyai komitmen dalam melakukan suatu kegiatan atau aktivitas. Ketiga, ketersediaan makanan cepat saji dalam lingkungan sekitar. Keempat, defisiensi sayur-sayuran, buah-buhan, susu dan makanan lain yang kaya kalsium (Damayanti, 2013).
Berkaitan dengan uraian diatas, anjuran yang harus dilakukan orang tua yaitu untuk mengajarkan anak tentang bagaimana cara membuat pilihan makanan yang baik dan bergizi serta membantu anak agar menghindari mengkonsumsi makanan-makanan ringan yang tidak mengandung nutrisi, tinggi kalori, dan tinggi lemak. Lalu, ketika makan
bersama dengan keluarga pastikan orang tua memperkenalkan janis makanan baru di meja makan serta menawarkan makanan tersebut satu per satu dalam porsi kecil (Rosdahl, 2017).
2.2.2 Definisi Obesitas pada Anak
Pada saat ini masih banyak orang tua yang menganggap bahwa anak gemuk adalah sehat padahal justru sebaliknya (Anandhita, 2017). Obesitas adalah suatu keadaan dimana tubuh manusia mengalami akumulasi lemak yang terlalu berlebihan. Hal ini terjadi karena banyaknya asupan kalori dalam tubuh. Anak yang mengalami obesitas belum tentu memiliki kecukupan asupan gizi yang baik (Prihaningtyas, 2018).
Kecukupan gizi yang baik yaitu dengan mengkonsumsi karbohidrat, buah dan sayur, protein, dan lemak (Herbold, 2011). Kecukupuan gizi memiliki pengertian seperti yang dijelaskan Prihaningtyas (2018) bahwa Kecukupan gizi merupakan banyaknya zat gizi yang terpenuhi dari makanan bergantung pada usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Rokhmah (2016) yang menjelaskan bahwa tingkat kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecukupan gizi adalah nilai tingkat rata-rata asupan makanan yang dibutuhkan dalam tubuh seseorang.
Penyakit obesitas berhubungan dengan kelebihan kecukupan gizi. Penyakit ini bukan tergolong dari penyakit menular. Namun, penyakit ini telah menjadi masalah yang signifikan di masayarakat biasa maupun di Negara berkembang (Segula, 2014).
2.2.3 Klasifikasi obesitas
Pengklasifikasian status berat badan dapat menggunakan satuan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) (Bustan, 2015).
Klasifikasi IMT/BMI terhadap penduduk Asia Pasifik menurut kriteria WHO tahun 2004 ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.
Table 2.1 Klasifikasi Status Berat Badan Menurut IMT (WHO)
Klasifikasi Status Berat Badan
Berat badan kurang Kekurangan berat badan Kekurangan BB tingkat ringan
Kisaran normal Normal
Kegemukan Kelebihan berat badan ringan (Overweight) Kelebihan berat badan berat (obesitas) (sumber : Bustan, 2015)
Klasifkasi dari WHO ini berlaku untuk seluruh penduduk dunia terutama di Negara-negara Barat.
Table 2.2 Klasifkikasi yang digunakan untuk menentukan obesitas pada anak sebagai berikut :
Klasifikasi Overweight Obesitas
BB thd TB
(Pre Pubertas) 110-119% Std 90-95 persentil >/= 120% Std >95 persentil
BB thd Umur 110-119% Std
90-95 persentil >/= 120% Std >95 persentil >2 SD di atas mean
Umur Obesitas
Lipatan Kulit
(Trisep/Subscapula) 0-36 bulan >2 SD >90 persentil
Lipatan Kulit 0-18 tahun >2 SD
>95 persentil (Soejiningsih, 2013).
Menurut WHO 2006, anak dikatakan obesitas bila IMT berdasarkan umur, atau berat badan terhadap tinggi badan di atas 3 z-score.
2.2.4 Macam-macam obesitas
Berdasarkan patogenesisnya menurut Ayu Bulan Febry (2013) obesitas digolongkan menjadi dua yaitu :
1. Regulatory Obesity
Suatu gangguan primer pada Regulatory Obesity yang berada pada pusat pengaturan masuknya makanan.
2. Metabolic Obesity
Gangguan yang terjadi karena adanya kelainan pada metaboliseme lemak dan karbohidrat.
Sedangkan menurut gejala klinisnya menurut Soejiningsing (2013), obesitas dibagi menjadi :
1. Obesitas sederhana (simple obecity)
Terdapat gejala kegemukan saja tanpa disertai dengan kelainan hormonal/fisik/mental lainnya. Obesitas ini terjadi karena faktor nutrisi.
2. Bentuk khusus obesitas
a. Kelainan endokrin atau hormonal, hal yang sering terjadi yaitu sindrom Chusing yang terjadi pada anak yang sensitif terhadap pengobatan hormon steroid. b. Kelainan somatodismorfik. Sindrom Prader Willi, sindrom Summit dan
Carpenter, sindrom Laurence Moon Biedl, dan sindrom Cohen. Obesitas yang terjadi pada kelainan ini hampir selalu disertai dengan retardasi mental dan kelainan ortopedi.
c. Kelainan hipotalamus. Kelainan yang terjadi di hipotalamus ini dapat memengaruhi nafsu makan dan berakibat pada obesitas. Kelainan ini dapat
disebabkan oleh kraniofaringioma, leukemia serebral, trauma kepala, dan lain-lain (Soejiningsing, 2013).
2.2.5 Pengukuran Obesitas
Penentuan seseorang terkena obesitas dapat dinilai dengan melihat status gizi secara langsung. Penilaian status gizi merupakan tahapan awal untuk memiriksa keadaan gizi pada seseorang. Penilaian ini dapat dilakukan dengan metode antropometri (Sudargo, 2014). Antropometri adalah pengukuran yang digunakan untuk mengetahui suatu ukuran fisik seseorang dengan menggunakan alat ukur tertentu (Prihaningtyas, 2018).
Metode antropometri yang dapat digunakan dalam menentukan obesitas pada seseorang yang mengalami obesitas yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT), skinfold thickness (SKF), rasio lingkar pinggang panggul (RLPP), serta bioelectrical impedance analysis (BIA) (Sudargo, 2014).
a. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan tingkat obesitas yang terjadi pada seseorang. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung BB/TB dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter resiko penderita obesitas (Anies, 2018). Rumus untuk menentukan IMT yaitu sebagai berikut.
Pengukuran berat badan (BB) dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan (BB) sedangkan pengukuran tinggi badan (TB) dapat dilihat dengan menggunakan Microtoisse (Sudargo, 2014).
b. Skinfold Thickness (SKF)
Skinfold Thickness (SKF) berfungsi dalam pengukuran lemak tubuh. Pengukuran lemak tubuh dilakukan dengan mengukur ketebalan lemak yang berada pada bawah kulit (skinfold) di beberapa bagian tubuh diantaranya lengan bagian atas (triceps dan biceps), lengan bawah (forearm), tulang belikat (subscapular), di bagian tengah garis ketiak (midaxillary), bagian sisi dada(suprapatelar), dan dipertengahan tungkai bagian bawah (medial calf) (Sudargo, 2014).
Pengukuran Skinfold Thickness (SKF) ini dilakukan dengan cara mencubit bagian lipatan kulit dan lemak. Kemudian ukur berapa tebal lipatan kulit tersebut dengan menggunakan kapilerya. Kapiler adalah alat yang digunakan untuk mengukur ketebalah lipatan kulit yang ada dibeberapa bagian tubuh yang terbuat dari logam dan plastik (Sudargo, 2014).
c. Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP)
Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP) merupakan metode yang digunakan dalam menentukan status obesitas pada seseorang. Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP) adalah metode sederhana yang dapat menjelaskan distribusi penumpukan lemak bawah kulit dan jaringan adiposa intraabdomen (Sudargo, 2014).
Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP) dilakukan untuk membandingkan antara lingkar pinggang yang diukur di bagian terkecil dari perut secara horizontal dengan
lingkar panggul yang melewati bagian paling maksimal dari panggul. Pengukuran metode ini diukur dengan menggunakan metlin secara langsung (Sudargo, 2014).
d. Bioelectrical impedance analysis (BIA)
Metode bertujuan untuk penilaian komposisi tubuh. Alat yang digunakan dalam metode ini yiatu Karada Scan. Karada Scan adalah alat untukyang digunakan untuk pengukuran berat badan, persentase lemak dalam tubuh, persentase otot, indeks massa tubuh (IMT), lemak visceral, dan resting metabolism (RM) (Sudargo, 2014).
2.2.6 Etiologi Obesitas
Obesitas terjadi karena banyak faktor. Faktor utama yaitu, tidak seimbangannya asupan energi yang masuk dalam tubuh lebih banyak daripada asupan energi yang dikeluarkan. Asupan energi yang tinggi diakibatkan karena pengkonsumsian makanan yang berlebihan, sedangkan pengeluaran energi terjadi karena kurangnya aktivitas fisik (Adriani, 2012).
Menurut Ade Benih Nirwana (2012) obesitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi :
a. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor turunan dari orangtua. Faktor genetik ini salah satu faktor yang juga berperan dalam timbulnya obesitas. Obesitas cenderung diturunkan, Bila kedua orangtua mengalami obesitas, maka kemungkinan anaknya akan beresiko obesitas lebih tinggi (Nirwana, 2012).
b. Makanan cepat saji dan makanan ringan dalam bentuk kemasan
Maraknya restoran cepat saji merupakan salah satu faktor penyebab terjadi obesitas. Sebagian besar anak-anak menyukai makanan cepat saji atau fast food dan bahkan anak-anak akan makan dengan lahap jika hanya mengkonsumsi makanan cepat saji. Padahal makanan dengan jenis ini kandungan lemak dan gulanya tinggi sehingga akan berdampak pada berat badan anak sehingga menyebabkan obesitas. Pada saat ini orangtua yang mempunyai kesibukan yang sangat padat lebih sering menggunakan makanan cepat saji dengan alasan lebih praktis dihidangkan untuk diberikan pada anak mereka, walaupun kandungan gizinya buruk untuk anak. Makanan cepat saji terkenal dengan rasanya yang nikmat, namun tidak memiliki kandungan gizi untuk perkembangan dan perkembangan anak. Itulah mengapa makanan cepat saji dapat disebut dengan junk food atau makanan sampah. Selain itu, pengonsumsian makanan ringan dalam kemasan atau makanan manis harus diperhatikan juga oleh orang tua untuk diberikan untuk anak (Nirwana, 2012).
c. Minuman ringan
Tidak jauh beda dengan makanan cepat saji, minuman ringan (soft drink) terbukti memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga dapat mempercepat bertambahnya berat badan. Namun, minuman jenis ini sangatlah disukai oleh anak-anak selain rasanya yang nikmat soft dring juga menyegarkan (Nirwana, 2012).
d. Kurangnya Aktivitas fisik
Pada masa anak-anak identik dengan bermain. Dulu, permainan anak-anak umumnya merupakan permainan fisik yang dimana anak akan berlari, meloncat atau gerakan yang lain. Tetapi pada masa kini telah tergantikan dengan game elektronik,
internet, komputer, atau televisi yang hanya dilakukan dengan cara duduk saja tanpa melakukan pergerakan tubuh. Hal ini yang menyebabkan anak kurang melakukan pergerakan badan sehingga menyebabkan lebihnya berat badan (Nirwana, 2012).
e. Faktor psikologis
Faktor stabilitas emosi diketahui berkaitan dengan obesitas. Beberapa anak akan mengkonsumsi makanan dengan jumlah banyak untuk melupakan suatu masalah yang terjadi, melawan kebosanan, dan meredam emosi, seperti stress. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya overweight dan obesitas pada anak (Nirwana, 2012).
f. Faktor Keluarga
Jika orang tua selalu memberi makanan ringan untuk anaknya, seperti biskuit, chips, dan makanan tinggi kalori lainnya. Hal ini dapat berkontribusi dalam peningkatan berat badan anak. Jika orang tua dapat mengkontrol hal ini mereka dapat membantu anaknya untuk menurunkan berat badan (Nirwana, 2012).
g. Tingkat sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi sangatlah berpengaruh dalam suatu kehidupan. Anak pada dengan golongan sosial ekonomi rendah mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami obesitas. Hal ini disebabkan karena mereka sulit untuk membeli atau mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi protein atau jenis makanan-makanan yang bergizi. Mereka hanya bisa membeli makan-makanan yang murah saja tanpa memperhatikan apakah makanan tersebut sehat atau tidak, yang terpenting bagi mereka yaitu bisa makan. Memprioritaskan pengkonsumsian makanan yang sehat dan olahraga dalam suatu keluarga membutuhkan waktu dan uang. Inilah sebab mengapa anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang memliki kelibihan berat badan (Nirwana, 2012).
2.2.7 Patofisiolagi Obesitas
Obesitas hakekatnya merupakan proses terjadinya penimbunan triasilgliserol yang berlebihan pada jaringan adiposa karena imbalance (ketidakseimbangan antara asupan energi dengan penggunaanya) (Oetomo, 2011). Obesitas dapat menimbulan berbagai penyakit serius antara lain penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit resipiratorik seperti asma dan obstructive sleep apneu syndrome (OSAS), penyakit kulit, penyakit sendi degeneratif, proteinuria, depresi, dan anxiety (Nirwana, 2012).
Penyebab obesitas sendiri bisa terjadi karena pola makan yang salah, gaya hidup modern yang kurang gerak, dan faktor keturunan. Pada seorang pria dapat dianggap obesitas jika jumlah lemaknya telah melebihi 25% dari berat badannya. Sedang perempuan dikatakan obesitas jika jumlah lemak melebihi 30% dari berat bedan. Obesitas akan beresiko lebih besar jika pada masa anaknya sudah menderita obesitas. Cara mengatasi obesitas bisa dilakukan dengan mengubah pola makan dan olahraga yang teratur. Obesitas sering dikaitkan dengan banyaknya lemak yang ada dalam tubuh. Lemak adalah kawan sekaligus juga lawan. Lemak sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat panas, sebagai penyerap guncangan, dan lain-lainnya (Oetomo, 2011).
Kejadian obesitas dapat ditandai dengan adanya penambahan atau peningkatan jumlah sel ediposit pada jaringan ediposa yang biasa disebut dengan hyperplasia dan disamping itu juga dapat ditunjukkan dengan adanya penambahan ukuran sel ediposit pada jaringan adiposa yang lazim disebut dengan hipertropi. Jaringan hiperplasia dihasilkan oleh sebuah peningkatan adipogenesis, termasuk proliferasi adiposit maupun
diferensiasi adiposit. Jaringan ediposa merupakan jaringan penyokong (connective tissue) yang berfungsi sebagai penyimpan utama lemak dalam bentur trigliserida. Sebagai tempat penyimpanan energi utama, lemak menyediakan atau berperan sebagai penyangga (buffer) untuk ketidakseimbangan energi ketika intake (asupan) energi tidak sebanding dengan output energi (Oetomo, 2011).
Obesitas terjadi bila asupan energi melebihi penggunaannya sebagai akibat dari perubahan genetik maupun lingkungan. Proses biokimiawi dalam tubuh seseorang menentukan rasa kenyang dan lapar. Kondisi dan aktifitas penyimpanan kelebihan energi terdapat pada jaringan adiposit yang lalu dikomunikasikan ke system saraf sentral melalui mediator leptin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi dan sinyal-sinyal lainnya (Indra, 2006).
Penelitian lain mengenai obesitas menemukan bahwa protein yang ada dalam tubuh akan mempercepat metabolisme dalam tubuh. Terdapat dua macam metabolisme antara lain metabolisme dan metabolisme basal. Metabolisme merupakan pertukaran zat meliputi pembentukan dan pertukaran zat organik dalam tubuh. sedangkan metabolisme basal menunjukkan energi minimal yang terdapat dipermukaan tubuh untuk mempertahankan kegiatan-kegiatan fisik dasar seperti pernapasan, peredaran darah, peredaran getah bening, peristaltik (gerakan pengaturan dan pengenduran didinding usus), tonus otot (tegangan normalotot), pengaturan suhu badan, dan kegiatan kelenjar (Soejiningsih, 2013).
Menurut peneliti dari Universitas Florida di Gainesville Amerika Serikat, makan akan memberi sinyal hipotalamus (bagian otak yang akan memberikan sinyal kenyang) 10
menit sesudahnya. Mekanisme hipotalamus tidak akan bekerja dengan baik pada seseorang yang mengalami obesitas sehingga mereka susah untuk merasa kenyang meskipun mengkonsumsi makanan dengan porsi banyak dibanding dengan orang yang tidak mengalami obesitas (Soejiningsih, 2013).
2.2.8 Gejala Klinis Obesitas
Obesitas dapat terjadi pada semua usia, tetapi yang paling sering terjadi yaitu pada usia pertama kehidupan, usia 5-6 tahun dan pada masa remaja. Anak obesitas tidak hanya lebih berat daripada anak seusianya, tetapi pertumbuhan tulangnya lebih cepat matang. Anak obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi pertumbuhan memanjangnya lebih cepat selesai, sehingga hasil akhirnya mereka mempunyai tinggi badan relatif lebih pendek daripada anak sebayanya. (Soejiningsih, 2013).
Pada anak obesitas mempunya bentuk muka yang tidak proporsional, hidung dan mulut relatif kecil dan memiliki dagu ganda. Terdapat timbunan lemak pada daerah payudara, pada anak laki-laki sering malu karena payudaranya seolah-olah tumbuh. Perut menggantung dan sering disertai strie. Alat kemaluan pada anak laki-laki seolah-olah kecvi, karena adanya timbunan lemak didaerah pangkal paha. Paha dan tangan atas besar, jari-jari tangan relatif kevcil dan runcing. Sering juga terjadi gangguan psikologis, baik sebagai penyebab ataupun sebagai akibat dari obesitas itu sendiri. Selain itu anak juga lebih cepat mencapai masa pubertas. Kematangan seksual, pertumbuhann payudara, menarke, pertumbuhan rambut kelamin dan ketiakjuga lebih cepat (Soejiningsih, 2013).
2.2.9 Komplikasi Obesitas pada Anak
Komorbiditas obesitas termasuk peningkatan signifikan resiko diabetes, penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit respiratorik seperti asma dan obstructive sleep apneu syndrome (OSAS), penyakit kulit, penyakit sendi degeneratif, proteinuria, depresi, dan anxiety. Obesitas dapat memperpendek jangka waktu hidup karena komorbiditasnya dan semakin awal muncul penyakit, semakin pendek waktu hidup pasien. Obesitas adalah penyakit kronik yang memputuhkan terapi kronik. Obesitas yang terjadi pada anak terutama pada usia 6-7 tahun tingkat kecerdasannya bisa menurun, karena aktivitas dan kreativitas anak tersebut menjadi menurun dan cenderung malas-malasan. Anak yang mengalami kelebihan berat badan pada waktu tidur akan mengalami kondisi tidak bernapas, kondisi dimana pada waktu tidur tidak ada gelombang pernapasan yang berhenti, ibaratnya orang yang tidur mendengkur ada waktu dimana dia tidak bernapas (Nirwana, 2012).
2.2.10 Penatalaksanaan Obesitas
Penatalaksanaan obesitas merupakan suatu tantangan bagi seseorang yang mengalami obesitas. Upaya untuk mengendalikan atau menurunkan berat badan tergantung bagaimana cara mereka menanggapi tentang persepsi kegemukan pada dirinya sendiri. Yang paling berbahaya jika meraka tidak peduli akan kondisi mereka (Bustan, 2015).
Menurut Ade Benih Nirwana (2012) obesitas atau kelebihan berat badan yang terjadi pada anak tidak dianjurkan untuk dilakukannya diet ketat, karena hal ini dapat mengganggu pertumbuhan dan kesehatan pada anak tersebut. Untuk mengatasi obesitas
atau mencegah agar tidak terjadi obesitas pada anak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Perhatikan makanan yang diberikan untuk anak
Dalam hal ini orang tua harus mengurangi konsumsi makanan cepat saji atau fast food, makanan ringan dalam kemasan, minuman ringan atau soft drink, camilan manis atau makann yang mengandung tinggi lemak. Untuk memenuhi kebutuhan makanan yang bergizi dan sehat sebaiknya orang tua menyajikan daging dan sayuran segar, perbanyak konsumsi buah dan susu yang baik untuk pertumbuhan anak, berikan makanan yang sesuai dengan porsi dan jangan memberi makanan yang terlalu berlebihan (Nirwana, 2012).
2. Berikan sarapan dan bekal untuk anak
Sarapan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena sarapan diperlukan agar anak dapat kuat saat beraktivitas di sekolah dan mencegah anak untuk makan berlebihan setelahnya. Dengan membawa bekal dari rumah orang tua dapat mengontrol gizi anak dan menghindari agar anak tidak perlu membeli atau mengkinsumsi jajanan di luar (Nirwana, 2012).
3. Perbaiki teknik mengolah makanan
Orang tua yakni ibu harus memperhatikan teknik dalam memasak. Ibu harus menghindari terlalu banyak menggoreng makanan agar tidak terlalu banyak lemak yang dikonsumsi. Untuk menghindari hal tersebut makanan bisa disajikan dengan cara dikukus, direbus atau dipanggang agar makanan lebih sehat (Nirwana, 2012).
4. Tetepkan aturan makan
Biasakan anak untuk makan di meja makan bukan di depan televisi atau komputer. Banyak orang yang tidak sadar berapa banyak makanan yang sudah dimakan bila mereka mengkonsumsi makanan sambil menikmati tayangan televisi atau di depan komputer (Nirwana, 2012).
5. Batasi kegiatan menonton televisi, game atau penggunaan komputer
Melakukan kegiatan tersebut akan membuat anak malas untuk bergerak, makan orang tua harus memberi aturan tentang berapa lama anak melakukan kegian ini. Selanjutnya, orang tua harus membantu anak agar melakukan menyenangi hiburan lain seperti bersepeda, bermain bola atau sekedar lompat tali dll (Nirwana, 2012).
6. Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas fisik
Orang tua harus selalu mengarahkan anak agar ia malas dalam melakukan aktivitas fisik misalnya melakukan kegiatan olahraga bersama (jogging), lari pagi, berenang, badminton atau olahraga lainnya. Atau melakukan aktivitas lain seperti kepantai, kebun binatang atau taman sehingga anak dapat lebih banyak berjalan kaki (Nirwana, 2012).
Pengobatan obesitas yang terjadi pada anak berbeda dengan obesitas dewasa. Tujuan dari pengobatan obesitas hanya sebagai penghambat laju kenaikan berat badan yang pesat. Pada anak yang mengalami obesitas tidak boleh melakukan diet yang terlalu ketat, sehingga pengaturan dietnya harus mempertimbangkan bahwa anak masih berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tingkat pertumbuhan pada usia anak tersebut. pengobatan obesitas pada anak sering mengalami kegagal. Kegagalan
ini bisa dikarenakan kurangnya dukungan dari orang tua maupun dari seluruh keluarga. Olahraga maupun aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur sangat berpengaruh dalam upanya penatalaksaan obesitas yang terjadi pada anak (Soejiningsih, 2013).
Pada prinsipnya, pengobatan obesitas pada anak adalah sebagai berikut :
1. Memperbaiki faktor penyebab terjadinya obesitas, misalnya salah dalam cara pengasuhan.
2. Memberikan diet rendah kalori yang seimbang untuk menghambat kenaikan berat badan. Kemudian membimbing pengaturan makanan yang sesuai untuk mempertahankan gizi yang ideal sesuai dengan pertumbuhan anak. Ditambahkan juga pengonsumsian vitamin dan mineral.
3. Memberikan arahan anak untuk melakukan olahraga secara teratur atau memberikan peluang bagi anak untuk bermain aktif agar banyak energi yang dikeluarkan (Soejiningsih, 2013).
2.2.11 Perawatan Anak Obesitas
Terdapat beberapa perawatan obesitas untuk strategi kontrol berat badan yang melibatkan keluarga, teman sebaya, dan sekolah diantaranya sebagai berikut :
1) Mengontrol lingkungan di sekitar anak.
2) Memantau perilaku anak di rumah maupun sekolah. Jika disekolah bisa meminta bantuan guru untuk mengawasi anak.
4) Melakukan modifikasi makananan (diet) di rumah maupun di sekolah, contohnya dengan “treffic light tiet” dan menjalankan pola hidup yang sehat.
Treffic light tiet merupakan diet yang menggunakan prinsip layaknya lampu lalu lintas, yaitu ada bahan makanan yang sebaiknya dihindariatau hanya di konsumsi sekali-sekali, ada makanan yang harus dijaga nutrisinya dan ada juga makanan yang diizinkan untuk dikonsumsi.
5) Tuntun anak untuk tujuan menurunkan berat badan.
6) Memberikan reward jika anak melakukan perubahan perilaku yang berhasil baik dari pola makannya maupun aktivitas yang dilakukan.
Dalam perawatan anak yang mengalami obesitas sebaiknya orang tua selalu melakukan evaluasi disetiap tindakan yang dilakukan terhadap anaknya. Jika berat badan anak tetap mengalami peningkatan maka orang tua harus mewaspadai dan berkonsultasi lebih lanjut ke tenaga kesehatan (Soejiningsih, 2013).
2.3 Konsep Orang Tua 2.3.1 Definisi Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang dituakan dalam suatu keluarga. Orang tua adalah pusat kehidupan rohani untuk anaknya sehingga reaksi emosianal dan pemikiran anak yaitu hasil dari ajaran atau didikan orang tua mereka (Wahib, 2015). Orang tua seseorang yang sangat berpengaruh bagi kehidupan anak dan juga sebagai penentu dalam kehidupan anak sebelum maupun sesudah dilahirkan (Rachmawati & Masykur, 2016).
Menurut Zaidin Ali (2009) Orang tua merupakan bagian utama dalam suatu keluarga yang dimana satu-satunya orang yang terlibat dalam kehidupan perawatan anak.
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu yang perannya sangatlah besar, sehingga akan membuat mereka mudah stress, lelah, dll. Sedangkan menurut Mariam (2016) orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab secara utuh terhadap kesehatan anak serta sebagai pengambil inisiatif untuk memberikan semua jenis kebutubuhan yang anak butuhkan dan sebagai pemenuhan kebutuhan jenis nutrisi apa yang dapat memenuhi gizi anak tersebut.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua merupakan inti dari suatu keluarga yang meliliki peran penting dan tanggung jawab yang sangat besar terhadap anggota keluarga khususnya dalam pengoptimalan kebutuhan keluarga serta pertumbuhan dan perkembangan pada anak mereka.
2.3.2 Peran Keluarga
Peran merupakan sesuatu yang diharapkan secara normatife dari seorang didalam situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan (Padila, 2012). Peran keluarga adalah suatu perilaku interpersonal, sifat, dan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan satuan tertentu (Makhfudli, 2013). Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, seuatu kelompok dan masyarakat. Peran dalam keluarga sendiri terbagi menjadi dua yaitu peran formal dan informal. Peran formal yakni berkaitan dengan posisi formal keluarga yang bersifat homogen. Peran formal yang standar dalam keluarga seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, pengasuh anak, dll. Sedangkan peran informal biasanya bersifat impisit, tidak tampak yang hanya untuk memenuhi kebutuhan secara emosional atau untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga (Padila, 2012).
Dalam keluarga ada yang namanya orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu, mereka memiliki peran masing-masing dalam keluarga. Ayah berperan sebagai pemimpin dalam suatu keluarga, sebagai tulang punggung atau pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman untuk anggota keluarganya. Selain itu ayah juga bisa berperan sebagai anggota kelompok sosial serta anggota masyarakat dalam suatu lingkungan. Sedangkan peranan seorang ibu selain sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya yaitu bertugas sebagai pengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak, pelindung keluarga dan sebagai salah satu anggota kelompok sosial dalam suatu lingkungan, serta sebagai pencari nafkah tambahan untuk keluarga. Lalu, peran sebagai anak yaitu anak melakukan peran psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual (Makhfudli, 2013).
Menurut Marillyn M. Friedman dalam Makhfudli (2013) menyebutkan ada lima fungsi dalam keluarga, yang pertama yaitu fungsi afektif (affective function) berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar kekuatan dalam keluarga. Fungsi efektif merupakan sumber energi yang menentukan kebahagian dan sebagai pemenuhan kebutuhan psikososial keluarga. Keberhasilan dalam melaksanakan fungsi ini dapat terlihat dari kebahagian yang muncul dalam seluruh anggota keluarga. Untuk mencapai hal tersebut setiap keluarga harus saling memperhatikan, mempunyai rasa saling memiliki, dan menumbuhkan rasa kasih sayang bagi seluruh anggota keluarganya. Hal ini dapat terapkan atau dikembangkan dengan cara melalui interaksi dan berhubungan langsung dalam keluarga. Kedua, yaitu fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement function). Fungsi ini sebagai tempat untuk melihat anak dan mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain.
Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi. Hal ini dapat diterapkan juga dengan cara interaksi atau berhubungan secara langsung dengan anggota keluarga. Ketiga, fungsi reproduksi (reproductive function) artinya keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan dan menambah sumber daya manusia. Keempat, fungsi ekonomi (economic function). Dalam hal ini keluarga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sebagai tempat mengembangkan kemampuan individu untuk meningkatkan penghasilan dan pemenuhan kebutuhan keluarga salah satunya yaitu dalam hal pangan. Kelima, fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (health care function). Fungsi ini untuk mempertahankan keadaan kesehatan keluarga agar tetap memiliki produktifitas yang tinggi. Kemampuan keluarga dalam memberikan perawatan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga (Makhfudli, 2013).
2.3.3 Pengalaman Orang Tua Merawat Anak dengan Obesitas
Pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan yang diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan untuk memperoleh suatu kebenaran dari pengetahuan tersebut. Pengalaman memuat beragam hal yang dapat dipelajari, salah satunya yakni mengetahui lebih jauh mengenai suatu pemahaman mengenai suatu hal bahkan mengenai manusia itu sendiri. Dari pemahaman ini dapat diuraikan beberapa pemahaman lanjutan khususnya mengenai suatu kepribadian ataupun kebutuhan dasar manusia dalam menjalani aktifitas kesehariannya. Pengalaman pribadi seseorang dapat digunakan sebagai upanya untuk memperoleh suatu pengetahuan. Kemudian pengalaman juga menjadi sebuah tolak ukur manusia dalam melakukan suatu hal atau merespon segala sesuatunya di masa yang akan datang (Darmawan, 2013).
Menurut hasil penelitian tentang “Pengalaman Ibu Tentang Gaya Hidup yang Menyebabkan Anak Berisiko Obesitas” yang dilakukan oleh Aries Chandra Ananditha pada tahun 2017 menyebutkan bahwa dari pengalaman seorang ibu yang memiliki anak beresiko obesitas, dikalangan mereka banyak yang beranggapan bahwa penampilan fisik seorang anak yang bertubuh gemuk itu sehat, asupan kebutuhan nutrisi pada anak gemuk identik dengan gizinya tercukupi dengan empat hal yaitu pemberian makanan kesukaan, pemberian camilan, serta aktivitas fisik anak yang hanya menonton televisi dan bermain game. Dilihat dari penampilan fisik, semua ibu beranggapan bahwa anak sahat itu kalau anak yang tidak memiliki postur tubuh kurus, karena anak yang memiliki tubuh kurus itu seperti anak yang tidak terurus atau kurang makan. Jadi, dikatakan anak sehat itu anak yang harusnya memiliki butuh gemuk, apalagi jika anak-anak tersebut terlihat gemuk dan pipinya chubby anak akan terlihat sangat lucu dan jika tidak gemuk berarti anak tersebut tidak sehat dan sering terkena sakit. Selanjutnya, dilihat dari asupan nutrisi dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi ibu atau orang tua beranggapan jika anaknya gemuk maka nutrisinya terpenuhi, sehingga mereka tidak membatasi makanan apa saja yang dikonsumsi oleh anaknya. Pemenuhan nutrisi yang dimaksud yaitu, harus ada protein seperti sayur-sayuran empat sehat lima sempurna, ada daging, ayam dan termasuk susu. Selain itu, jumlah makan pada anak tidak dibatasi. Orang tua juga memberikan beberapa camilan atau jajanan pada saat anaknya nonton televisi dan pada saat sedang bermain dirumah. Sedangkan camilan yang diberikan yaitu berupa coklat, oreo, roti coklat, wafer coklat, dan semacam chiki-chiki lainnya. Sementara itu, aktivitas fisik anak cenderung kurang. Beberapa ibu atau orang tua mengatakan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan anaknya selain sekolah hanyalah menonton televisi dan bermain handphone/game.
Dari hasil survey tersebut dapat disimpulkan bahwa orang tua masih menganggap bahwa anak gemuk adalah sehat. Pengalaman orang tua dalam merawat anak tersebutpun jadi tidak terkontrol. Sehingga orang tua selalu membiarkan apa yang diinginkan anak tersebut baik dari pengonsumsian makanan atau pola makan, aktivitas fisik yang terbatas dan faktor lain-linya. Orang tua cenderung tidak mengontrol makanan yang anaknya makan, bahkan mereka membiarkan anaknya mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak agar anaknya tumbuh menjadi gemuk dan terlihat sehat. Dalam hal ini orang tua sebaiknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak sejak dini, bahkan sejak orang tua tersebut berencana untuk memiliki anak. Dalam penelitian ini untuk melihat gambaran penyebab obesitas pada anak usia sekolah yang dilihat dari pola makan dan pola aktivitas anak yang mengalami obesitas.
2.3.3.1 Pola Makan
Pola makan merupakan suatu karakteristik atau gambaran kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam memenuhi kebetuhun akan makan mengenai jenis dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh orang tersebut serta bagaimana cara memilih makanannya (Sulistyoningsih, 2011). Pola makan dapat dijadikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh secara langsung terhadap status gizi seseorang. Pola makan juga dapat dinilai secara langsung baik dari kualitas dan kuantitas hidangannya. Jika susunan hidangan tersebut memenuhi kebutuhan tubuh, baik kuantitas maupun kualitasnya maka tubuh akan memperoleh kondisi kesehatan yang sebaik-baiknya dan keadaan gizi yang baik akan dapat tercapai. Frekuensi makan sangat berhubungan erat dengan rasa lapar dan napsu makan. Meningkatnya frekuensi makan
dapat meningkatkan jumlah zat gizi yang diperoleh tubuh. Jika seseorang mendapat jumlah dan jenis makanan yang cukup dari pengonsumsian makanan tersebut maka daya tahan tubuh akan meningkat, jika tidak maka daya tahan tubuh akan menurun, sehingga tenaga dan kemampuan mentalnya juga akan menurun (Miko, 2016).
Pada dasarnya pola makan yang normal yaitu dilakukan tiga kali dalam sehari (pagi (sarapan), siang dan malam). Pengaturan jumlah dan jenis makanan yang dimakan seseorang merupakan ciri khas untuk mempertahankan suatu kesehatan, status nutrisi, mencegah dan membantu kesembuhan penyakit. Kebiasaan makan adalah cara individu untuk memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial, dan budaya (Setyawati, 2018).
Pada anak usia sekolah kebiasaan makan tergantung pada kehidupan sosial, kadang-kadang mereka malas untuk makan di rumah karena kondisi yang tidak ia sukai. Pada usia ini kemampuan makan dengan menggunakan sendok, piring, dan garpu sudah baik. Pada usia sekolah tata cara dengan makan seperti makan dengan posisi duduk, mencuci tangan sebulum makan, tidak mengisi mulut secara penuh dan mengambil makanan secara bersamaan. Kadang-kadang anak di usia ini juga sering malas untuk makan karena stress atau sakit sehingga perlu pemantauan dan anak akan cenderung suka makan secara bersamaan dengan teman-temannya (Setyawati, 2018).
Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi seimbang yang dibutuhan pada anak usia sekolah sebaiknya orang tua selalu mengontrol porsi dan jenis makanan yang akan dikonsumsi, baik dari mengurangi makanan camilan jenis chiki-chiki dan melakukan pengendalian untuk menghindari makanan yang berkalori tinggi serta memilih makanan
yang rendah kalori. Contoh menu rendah energi yang bagus dikonsumsi yaitu pada saat pagi (sarapan) anak bisa makan nasi/roti/kentang rebus, pepes ikan, sop sayur, dan air putih. Untuk selingan makan pagi dan sore orang tua bisa menyediakan buah-buahan tinggi serat seperti apel, pisang, pir, alpukat, jeruk dll. Pada saat makan siang hari, anak bisa mengkonsumsi nasi, telur ceplok air, tempe bacem, tumis kangkung, buah-buahan dan air putih. Untuk makan malamnya orangtua bisa menyajikan nasi, ayam suwir, sayur urap, tahu, buah dan air putih. Dalam pemberian porsi makan baik dari sarapan pagi, makan siang dan malam orang tua sebaiknya menyajikan makanan dalam jumlah yang tidak berlebihan (porsi banyak) (Ulilalbab, 2017).
2.3.3.2 Pola Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah suatu kegiatan atau gerakan tubuh yang terdiri dari edukasi fisik yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan otot yang dapat menghasilkan peningkatan pengeluaran energi. Pengeluaran energi melalui aktivitas fisik memiliki hubungan erat dengan keseimbangan energi. Selain itu aktivitas fisik juga sangatlah penting untuk kesehatan fisik, emosional, dan pencapaian berat badan normal. Aktivitas fisik dapat menyeimbangkan kalori yang terkandung dalam makanan dengan kalori yang digunakan tubuh selama melakukan aktivitas fisik, sehingga dapat mengontrol berat badan. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja dapat menurunkan risiko terhadap faktor yang berhubungan dengan resiko penyakit kronis seperti risiko obesitas, penyakit kardiovaskuler, diabetes, osteoporosis. Aktivitas fisik tidak harus dilakukan dalam sekali agar tubuh menjadi aktif. Untuk itu, direkomendasikan untuk membagi waktu tersebut dalam waktu seminggu. Pada anak usia 1-5 tahun waktu yang
dibutuhkan yaitu 3 jam untuk melakukan kegiatan ringan seperti berjalan kaki ke sekolah maupun melakukan kegiatan lain diluar sekolah disetiap harinya. Pada usia 5-12 tahun lebih dari 1 jam dan ditingkatkan menjadi beberapa jam setiap harinya untuk melakukan aktivitas fisik sedang seperti bersepeda, berlari, sepak bola, bulu tangkis, memanjat, melompat, menaiki tangga, dan menari atau senam (Nugraheni, 2018).
Pada anak usia sekolah sudah mulai terjadi sejumlah perkembangan pada tubuhnya, perkembangan fisik yang prima lebih cepat dibangdingkan pada usia balita. Perkembangan intelektualnya mulai nyata, dimana mereka sudah terlihat adanyya keinginan atau kemauan untuk berbuat sesuatu yang bersifat keterampilan seperti menggambar, menulis, menyanyi, berolahraga, berkebun dan lain sebagainya (Muaris, 2010). Pada anak usia telah memiliki fisik yang lebih kuat dari sebelumnya sehingga kebutuhan atau kemampuan untuk melakukan aktivitas lebih menonjol. Pada fase ini anak juga sudah memilih melakukan kegiatan yang berhubungan dengan motorik atau bermain. Dalam proses melakukan kegiatan motorik anak dapat membuang ekstra energinya dan kegiatan ini akan mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh mereka seperti tulang, otot, dan organ-organ lainnya (Adriyani, 2016).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zamzani dkk (2016) tentang “Aktivitas fisik berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak sekolah dasar” yang dimuat dalam jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia menemukan fakta rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan di sekolah, minimamnya kegiatan ekstrakulikuler sehingga dapat menurunkan kegiatan yang dilakukan oleh anak, serta kurang ketertarikan anak untuk bermain di luar rumah setelah pulang sekolah dikarenakan mereka lebih memilih untuk menonton
televisi atau bermain game yang menyebabkan aktivitas ringan menjadi lebih tinggi dibangdingkan aktivitas sedang maupun berat. Sehingga hal itulah yang dapat beresiko tinggi untuk mengalami obesitas dibangdingkan anak yang sering melakukan aktivitas fisik berat yang lebih menggunakan kekutan otot.
2.3.4 Instrumen Untuk Mengukur Gambaran Penyebab Obesitas Pada Anak
Dalam penelitian ini instrument untuk mengukur gambaran penyebab obesitas yaitu menggunakan kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan menggambil sumber dari beberapa jurnal dan litelatur buku diantaranya :
1. Dalam Buku Saku Nutrisi Oleh Nancie Herbold dan Sari Edelstein Tahun 2011, Buku Makanan Anak Usia Sekolah Oleh Diana Damayanti Tahun 2011, dan Buku Obesitas Anak Dan Pencegahannya Oleh Ade Benih Nirwana 2012.
2. Children's Eating Behaviour Questionnaire (CEBQ) dari penelitian Ester FC Sleddens,
Stef PJ Kremers dan Carel Thijs (2008) yang berjudul “The Children's Eating Behaviour Questionnaire: factorial validity and association with Body Mass Index in Dutch children aged 6–7”. Kuesioner CEBQ adalah instrument mengukur laporan orang yang dirancang untuk menilai variasi dalam gaya makan untuk anak-anak. Kuesioner CEBQ juga memiliki tujuan penelitian yang berbeda-beda misalnya, untuk memeriksa asosiasi indeks massa tubuh anak (BMI), untuk membandingkan preferensi nafsu makan pada anak-anak kurus dan orang tua obesitas, untuk menentukan kontinuitas dan stabilitas dalam perilaku makan pada anak-anak dan untuk memeriksa perilaku makan pada anak dengan perwatan idiopatik. CEBQ terdiri dari 35 item yang terdiri dari delapan sub-skala
diantaranya yaitu, Food responsiveness (FR), Enjoyment of food (EF), Emotional overeating (EOE), Desire to drink (DD), Satiety responsiveness (SR), Slowness in eating (SE), Emotional undereating (EUE) dan Food fussiness (FF).
Berikut ini adalah contoh item pertanyaan yang telah disediakan dalam jurnal tersebut. Sub-skala pertama yaitu Food fussiness (FF) (Kerewalan Makan), hal ini biasanya didefinisikan sebagai penolakan terhadap sejumlah besar makanan yang sudah dikenal serta makanan baru, sehingga menyebabkan konsumsi berbagai makanan yang tidak memadai. Jenis gaya makan ini ditandai oleh kurangnya minat pada makanan, dan lambatnya makan. Dalam sub-skala pertama ini terdapat 6 item pertanyaan yaitu “Anak saya awalnya menolak makanan baru”, “Anak saya suka mencicipi makanan baru”, “Anak saya menikmati berbagai macam makanan”, “Anak saya sulit untuk menyukai suatu makanan”, “Anak saya tertarik untuk mencicipi makanan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya”, dan “Anak saya memutuskan bahwa dia tidak suka makanan, bahkan tanpa mencicipi makanannya terlebih dahulu”. Sub-skala kedua, Enjoyment of food (EF) (Menikmati Makan), pada sub-skala ini mencerminkan makan sebagai respons terhadap nafsu makan dan frekuensi makan anak, pertanyaannya seniri terdiri dari 5 item yaitu “Anak saya suka makanan”, “Anak saya tertarik pada makanan”, “Anak saya selalu meminta makanan”, “Anak saya senang makan”, “Anak saya selalu menunggu waktu makan”. Yang ketiga, Food responsiveness (FR) (Responsif Makanan) dan Emotional overeating (EOE) (Makan Lebih Ketika Emosi) dengan jumlah item pertanyaan 8 item diantaranya yaitu “Anak saya makan lebih banyak ketika dia khawatir”,
“Anak saya makan lebih banyak ketika dia kesal”, “Jika diijinkan, anak saya akan makan terlalu banyak”, “Anak saya makan lebih banyak ketila dia gelisah”, “Jika diberi pilahan anak saya akan makan setiap waktu”, “Anak saya makan lebih banyak ketika dia tidak melakukan kegiatan”, “Bahkan jika anak saya kenyang dia akan makan jika ada makanan kesukaannya”, dan “Jika diberi kesempatan, anak saya akan terus makan dan mengunyah”. Sub-skala keempat Satiety responsiveness (SR) (Sikap Tanggap), pada sub-skala ini untuk menggambarkan kemampuan seorang anak untuk mengurangi asupan makanan setelah anak makan guna mengatur asupan energinya. Terdapat 5 item pertanyaan dalam Satiety responsiveness (SR) yaitu “Anak saya memiliki nafsu makan yang tinggi”, “Anak saya meninggalkan makanan dan piringnya setelah dia selesai makan”, “Anak saya kenyang sebelum makannya selesai”, “Anak saya mudah kenyang” dan “Anak saya tidak bisa makan jika sebelumnya dia mengkonsumsi makanan ringan”. Sub-skala kelima Emotional undereating (EUE) yang berguna untuk melihat peningkatan atau penurunan makan sebagai respons terhadap berbagau emosi negatif, seperti kemarahan dan kecemasan. Dalam sub-skala ini terdiri dari 4 item pertanyaan yaitu, “Anak saya makannya lebih sedikit jika dia sedang marah”, “Anak saya makannya lebih sedikit jika dia sedang lelah”, “Anak saya makannya lebih sedikit ketika dia bahagia”, dan “Anak saya makannya lebih sedikit ketika dia cemas”. Sub-skala keenam Desire to drink (DD) (Keinginan Untuk Minum), dalam skala ini terdiri dari 3 item pertanyaan yaitu “Anak saya selalu meminta minum”, “Jika diberi kesempatan, anak saya akan minum terus menerus seharian”, dan “Jika diberi kesempatan, anak saya akan selalu minum”.
Sub-skala ketujuh Slowness in eating (SE) (Kelambatan dalam Makan) yang terdiri dari 4 item pertanyaan yaitu “Anak saya makan lebih banyak ketika gelisah”, “Anak saya makan dengan perlahan”, “Anak saya membutuhkan lebih dari 30 menit untuk menyelesaikan makannya”, dan “Anak saya makan lebih dan lebih lambat ketika makan”
3. Family Nutrition Physical Activity (FNPA) dari penelitian yang dilakukan oleh So Hyun Park, Chang Gi, Linda McCreary, dan Kathleen F. Norr untuk Korean-Americans (KA) (2016) yang berjudul “Cognitive Interviews for Validating the Family Nutrition Physical Activity”. FNPA instrument adalah alat skrining yang digunakan untuk menilai keluarga, faktor lingkungan dan perilaku yang dapat meningkatkan resiko terhadap obesitas. Selain itu FNPA ini juga dapat dimanfaatkan untuk memprediksi risiko obesitas terhadap anak. FNPA instrument berisi 20 item pertanyaan. Semua item yang tersedia dalam jurnal tersebut di bacakan oleh pewawancara atau peneliti. 20 item dari FNPA terdapat 14 item dipertahankan dalam bentuk aslinya dan 6 item direvisi. Kegiatan ini dilakukan selama 40 sampai 60 menit. Setelah kegiatan tersebut selesai semua peserta harus mengisi kuesioner tentang latar belakang mereka seperti usia, tingkat pendidikan, dan pendapatan dalam keluarga.
Pertanyaan yang tersedia dalam Family Nutrition Physical Activity (FNPA) ini merupakan pertanyaan yang membahas mengenai berbagai jenis minuman dan makanan yang dikonsumsi anak, serta aktivitas yang dilakukan dalam kesehariannya. Contoh item pertanyaan yang disediankan yaitu “Anak saya minum soda”, “Anak saya minum minuman yang mengandung gula (manis)”,
“Anak saya minum susu rendah lemak saat makan atau mangkonsumsi makanan ringan”, “Keluarga kami menggunakan permen atau sejenis snack sebagai hadiah jika anak kita melakukan perilaku yang baik”, “Anak saya menghabiskan kurang dari 2 jam untuk menonton TV, bermain game, dan bermain komputer perhari di akhir pecan”, “Anak saya menghabiskan kurang dari 2 jam untuk menonton TV, bermain game, dan bermain komputer perhari di hari kerja atau sekolah”, “Keluarga kami membatasi anak untuk menonton TV”, “Keluarga kamu membatasi anak untuk menggunakan alat elektronik seperti bermain komputer maupun2 game”, “Keluarga kami memungkinkan atau mengijinkan anak kita untuk menonton TV di kamar tidur mereka”, “Keluarga kami memungkin atau mengijinkan anak kita untuk penggunaan perangkat elektrinik lainnya di kamar mereka”, “Keluarga kami mendorong anak kita untuk menjadi aktif setiap hari”, “Keluarga kami memberikan kesempatan anak untuk melakukan aktifitas fisik”, “Anak saya terdaftar dalam kegiatan olahraga atau kegiatan dengan pelatihan atau pemimpin”, dan “Anak saya mendapat 9 jam untuk tidur malam”.
Dalam pengembangan Family Nutrition Physical Activity (FNPA) menurut Ihmels, Welk, Eisenmann, Nusser, dan Myers (2009) terdapat 10 faktor utama dalam lingkungan keluarga yang dapat berhubungan dengan obesitas atau kelebihan berat badan yaitu pola makan dan kebiasaan makan dalam keluarga, pilihan atau jenis makanan dalam keluarga, jenis minuman yang diminum, pembatasan atau hadiah sebagai apresiasi yang diterapkan dalam keluarga, perilaku dan pemantauan waktu makan, lingkungan yang sehat, kebiasaan
aktivitas dalam keluarga, kebiasaan aktivitas yang dilakukan oleh anak dan kegiatan rutinitas yang dilakukan keluarga dalam kesehariannya.