• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi Terapeutik 2.1.1.1 Pengertian

Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi atau proses pemberian arti sesuatu antara dua atau lebih orang dan lingkungannya bisa melalui simbol, tanda, atau perilaku yang umum, dan biasanya terjadi dua arah (Supartini, 2004).

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi (Supartini, 2004). Menurut Mundakir (2006) menyatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk

(2)

kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik adalah proses di mana perawat menggunakan pendekatan terencana dalam mempelajari klien (Potter & Perry, 2001).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat kepada pasien dengan teknik-teknik tertentu yang direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik juga merupakan salah satu cara untuk membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian informasi yang akurat kepada pasien, sehingga diharapkan dapat berdampak pada perubahan yang lebih baik pada pasien dalam menjalankan terapi dan membantu pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan.

(3)

2.1.1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien ke arah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:

1. Realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Klien yang tadinya tidak biasa menerima apa adanya atau merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya.

2. Kemampuan membina hubungan intrapersonal dan saling bergantung dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya.

(4)

3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis. Terkadang klien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya. 4. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. Identitas personal di sini termasuk status, peran, dan jenis kelamin. Klien yang mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas. Dalam hal ini perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri klien melalui komunikasinya dengan klien (Supartini, 2004).

(5)

2.1.1.3 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik Menurut Supartini (2004) terdapat beberapa prinsip yang harus dimiliki seorang perawat sehingga dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik dengan pasien, yaitu sebagai berikut:

1. Kejujuran (Trustworthy)

Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur dalam memberikan informasi yang benar bila klien yakin bahwa perawat dapat dipercaya.

2. Tidak Membingungkan dan Ekspresif Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi non verbal harus mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.

(6)

3. Bersikap Positif

Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian, dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati, dan sikap positif.

4. Empati Bukan Simpati

Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien, meskipun dia turut merasakan permasalahan yang dirasakan oleh kliennya, tetapi tidak larut pada permasalahan tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati

(7)

membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut di dalamnya.

5. Mampu Melihat Permasalahan Klien Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus menggunakan active listening technic dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya akan menjadi fatal, karena bisa saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan tidak dapat membantu bahkan merusak klien. 6. Menerima Klien Apa Adanya

Jika seorang pasien diterima dengan tulus, pasien akan merasa nyaman dan

(8)

aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau mengritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.

7. Sensitif Terhadap Perasaan Klien

Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi, dan menyinggung perasaan klien. 8. Tidak Mudah Terpengaruh Oleh Masa

Lalu Klien Ataupun Diri Perawat Sendiri Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.

(9)

2.1.1.4 Sikap Dalam Berkomunikasi Terapeutik Menurut Hidayat (2009) sikap menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, yaitu:

1. Berhadapan, arti posisi ini adalah “Saya siap untuk Anda.”

2. Mempertahankan kontak mata, kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. 3. Membungkuk ke arah klien, posisi ini

menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu.

4. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan, menunjukkan keterbukaan berkomunikasi.

5. Tetap rileks, dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respon pada klien.

(10)

6. Berjabat tangan menunjukkan perhatian dan memberikan kenyaman pada pasien serta penghargaan atas keberadaannya.

2.1.1.5 Teknik Dalam Berkomunikasi Terapeutik Menurut Potter & Perry (2001) ada banyak teknik komunikasi yang dapat digunakan dalam berkomunikasi. Teknik komunikasi yang biasa digunakan saat perawat berhadapan dengan pasien antara lain, yaitu:

a. Mendengarkan Aktif

Keuntungan yang diperoleh jika mampu mengembangkan keterampilan mendengar aktif adalah:

1. Pasien dan keluarga merasa didengar dan dipahami.

2. Pasien dan keluarga merasa dirinya berharga dan penting.

3. Pasien dan keluarga menjadi mudah untuk mendengarkan apa yang kita sampaikan.

(11)

5. Pasien dan keluarga mampu berkomunikasi

b. Mengajukan Pertanyaan

Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang spesifik apa yang disampaikan oleh pasien dari keluarga. 1. Pertanyaan terbuka, yaitu

memberikan dorongan pada pasien untuk memilih topik yang akan digunakan. Contoh: “Apa yang sedang Anda pikirkan?”

2. Pengulangan pertanyaan, yaitu mengulang kembali pikiran utama yang telah diekspresikan oleh pasien dan keluarga. Contoh: “Anda mengatakan bahwa Ibu Anda telah meninggalkan Anda ketika Anda berusia 5 tahun?”

3. Pertanyaan klarifikasi, berupaya untuk menjelaskan ide atau pikiran pasien yang tidak jelas atau meminta pasien untuk menjelaskan artinya. Contoh: “Saya tidak jelas dengan apa yang

(12)

Anda maksudkan, dapatkah Anda menjelaskannya kembali?”

4. Pertanyaan refleksi, yaitu mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi pembicaraan kepada pasien. Contoh: “Anda tampak tegang dan cemas, apakah ini berhubungan dengan pembicaraan Ibu Anda semalam?”

5. Pertanyaan berbagi persepsi, yaitu meminta pasien untuk memastikan pengertian perawat yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh pasien. Contoh: “Anda tersenyum tetapi saya merasa bahwa Anda sangat marah kepada saya.”

c. Memberikan Informasi

Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk pasien dan keluarga. Pada teknik komunikasi tidak dibenarkan petugas kesehatan memberikan nasihat kepada pasien karena tujuan tindakan ini

(13)

adalah memfasilitasi klien dalam mengambil keputusan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan informasi adalah:

1. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti pasien

2. Katakan dengan jelas

3. Gunakan kata-kata yang positif 4. Tunjukkan sikap yang antusias d. Tingkat Hubungan Komunikasi

Komunikasi intrapersonal, terjadi dalam diri individu sendiri. Komunikasi ini akan membantu agar seseorang atau individu tetap sadar akan kejadian di sekitarnya. Komunikasi intrapersonal merupakan interaksi antara dua orang atau kelompok kecil. Komunikasi ini merupakan inti dari praktek keperawatan karena dapat terjadi antara perawat, dan klien serta keluarga, perawat dengan perawat, dan perawat dengan tim kesehatan lain. Komunikasi massa, interaksi yang terjadi dalam kelompok

(14)

besar. Ceramah yang diberikan kapada mahasiswa kampanye, merupakan contoh komunikasi massa.

e. Memberi Umpan Balik

Tahap-tahap yang perlu diperhatikan dalam melakukan umpan balik, yaitu: 1. Mempelajari hasil kerjanya dengan

teliti. Beri tanda pada hal-hal yang perlu diperbaiki.

2. Ketika menyampaikan umpan balik, perhatikan contoh-contoh dari kesalahan yang telah dibuat.

3. Mengembangkan argumen mengenai dampak negatif yang bisa muncul dari kesalahan yang dibuat.

4. Memastikan penerima umpan balik menyadari kekeliruan, kekurangan, atau kesalahan.

5. Menggali lebih dalam mengenai hambatan yang ditemui.

6. Mendorong penerima umpan balik untuk menemukan jalan keluar dan

(15)

langkah-langkah untuk memperbaiki tugasnya atau cara kerjanya.

7. Membuat kesepakatan mengenai perbaikan yang akan dilakukan.

2.1.1.6 Fase-Fase Komunikasi Terapeutik

Menurut Hidayat (2007) timbulnya respon kecemasan sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati, dan responsif terhadap kebutuhan klien pada pelaksanaan komunikasi terapeutik. Berikut, merupakan fase-fase komunikasi terapeutik: a. Fase Pra-Interaksi

Pada tahap ini perawat menggali perasaan dan mengidentifikasi kelebihan serta kekurangannya sendiri. Pada tahap ini perawat juga mencari informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tugas perawat pada tahap ini antara lain, yaitu:

1. Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum

(16)

berinteraksi dengan klien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri. 2. Menganalisis kekuatan dan

kelemahan sendiri. Kegiatan ini sangat penting dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan klien. 3. Mengumpulkan data tentang klien.

Kegiatan ini juga sangat penting karena dengan mengetahui informasi tentang klien perawat bisa memahami klien.

4. Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Hal yang direncanakan mencakup kapan, di mana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk pertemuan pertama tersebut.

b. Fase Orientasi

Fase orientasi merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan klien. Dengan

(17)

memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya. Tugas perawat pada tahap ini antara lain:

1. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka. Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan komunikasi terapeutik. 2. Merumuskan kontrak pada klien. Pada

saat merumuskan kontrak perawat juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan klien agar tidak terjadi kesalah pahaman klien terhadap kehadiran perawat.

3. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap ini perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya. 4. Merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan

(18)

interaksi bersama klien, karena tanpa keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.

c. Fase Kerja

Fase kerja merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Pada tahap ini perawat dan klien bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih.

(19)

d. Fase Terminasi

Fase terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien. Tugas perawat pada tahap ini antara lain:

1. Melakukan evaluasi objektif. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Dalam mengevaluasi, sebaiknya perawat terkesan mengulang atau menyimpulkan apa yang menjadi interaksi dengan klien selama ini, bukan menguji pemahaman klien. 2. Melakukan evaluasi subjektif.

Dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat.

3. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya.

4. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat

(20)

agar terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya. Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi.

2.1.2 Konsep Kecemasan 2.1.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan atau ansietas adalah reaksi yang normal terhadap stres dan ancaman bahaya. Ansietas merupakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya, baik yang nyata maupun yang hanya dibayangkan. Ansietas dan ketakutan sering digunakan denga arti yang sama, tetapi ketakutan biasanya merujuk akan adanya ancaman yang spesifik, sedangkan ansietas merujuk pada ancaman yang tidak spesifik (Brunner & Suddart, 2002).

Kecemasan merupakan suatu respon emosi atau perasaan yang timbul dari penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak

(21)

nyaman dan merasa terancam. Kecemasan terjadi sebagai akibat adanya ancaman terhadap diri, harga diri atau identitas seseorang, selain itu kecemasan bisa berhubungan dengan ketakutan akan hukuman, penolakan, kurang kasih sayang, rusaknya hubungan atau rusaknya fungsi tubuh (Stuart, G.W & Sundeen, S.J, 1995).

Kecemasan juga berkaitan dengan tingkat perkembangan, jenis kelamin, sosial budaya, dan pengalaman. Manifestasi yang khas pada ansietas tergantung pada masing-masing individu dan dapat meliputi menarik diri, membisu, hiperaktif, mengumpat, berbicara, atau bercanda secara berlebihan, menyerang dengan kata-kata atau secara fisik, berkhayal, mengeluh, dan menangis (Stuart & Sundeen, 1995).

Riwayat kecemasan yang berkembang secara normal pada awalnya nampak pada usia 7-8 bulan, ketika bayi mulai membandingkan dengan pengasuh primernya, pada diri mereka sedang

(22)

berkembang rasa was-was dan perubahan suasana hati yang sebelumnya tidak ada apabila bersama orang asing.

Anak usia prasekolah secara khas mengembangkan ketakutan spesifik akibat gelap, binatang, maupun situasi khayalan. Anak usia sekolah berhenti mengkhayalkan ketakutan secara perlahan dan menggantinya dengan takut bahaya badaniah dan juga dengan ketakutan lain yang secara potensial nyata (Arvin, 2000).

Kecemasan yang dirasakan oleh klien dan keluarganya di saat klien harus dirawat mendadak dan tanda terencana merupakan reaksi pertama yang muncul begitu mulai masuk rumah sakit dan akan terus menyertai klien dan keluarganya dalam setiap upayanya perawatan terhadap penyakit yang diderita klien.

Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subyektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung. Perawat dapat

(23)

mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku klien.

Stuart (1995) mendefinisikan cemas sebagai emosi tanpa obyek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui, dan didahului oleh pengalaman baru. Sedangkan takut mempunyai sumber yang jelas dan obyeknya dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian tersebut. Lebih jauh dikatakan pula, kecemasan dapat dikomunikasikan dan menular, hal ini dapat mempengaruhi hubungan terapeutik perawat-klien dan keadaan seperti inilah yang harus menjadi perhatian klien.

Stuart & Sundeen (1995) mengemukakan stresor sebagai faktor presipitasi kecemasan adalah bagaimana individu berhadapan dengan kehilangan dan bahaya yang mengancam. Bagaimana mereka menerima tergantung dari kebutuhan,

(24)

keinginan, konsep diri, dukungan keluarga, pengetahuan, kepribadian, dan kedewasaan.

Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seperti rasa tak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, maupun phobia tertentu (Stuart & Sundeen, 1995). Kecemasan muncul bila ada ancaman, ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, serta perasaan terisolasi.

Berdasarkan pengertian kecemasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan atau ansietas adalah suatu respon emosional terhadap persepsi adanya bahaya yang tidak spesifik atau tidak pasti sehingga menimbulkan perasaan terancam dan tidak nyaman.

(25)

2.1.2.2 Gejela-Gejala Kecemasan (Perry & Potter, 2001)

a. Fisiologis

Peningkatan frekuensi jantung, peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi pernafasan, diaphoresis, dilatasi pupil, suara tremor atau perubahan nada, gelisah, gemetar, berdebar-debar, sering berkemih, diare, insomnia, kelemahan, pucat kemerahan, pusing, mual, dan anoreksia.

b. Emosional

Ketakutan, ketidakberdayaan, gugup, kurang percaya diri, kehilangan kontrol, ketegangan, individu juga sering memperlihatkan marah berlebihan, cenderung menyalahkan orang lain, kontak mata buruk, kritisme pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif, dan mencela dirinya sendiri.

c. Kognitif

Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa, penurunan kemampuan belajar,

(26)

terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu daripada masa kini atau masa depan.

2.1.2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecemasan (Perry & Potter, 2001)

1. Jenis Kelamin

Kecemasan sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Selain itu umumnya laki-laki dalam merespon stimulus atau rangsangan yang berasal dari luar lebih kuat dan lebih intensif daripada perempuan.

Gunarsa (2011) menyatakan bahwa perempuan lebih cemas dibandingkan laki-laki karena laki-laki lebih aktif dan eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif dan banyak menggunakan perasaan. Selain itu perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan daripada laki-laki yang kurang sabar dan tidak mudah menggunakan air mata.

(27)

2. Umur

Semakin tua seseorang, maka semakin baik seseorang dalam mengendalikan emosinya.

3. Lama Hari Rawat

Lama hari rawat dapat mempengaruhi seseorang yang sedang dirawat dan juga mempengaruhi anggota keluarga klien.

Kecemasan akan sangat terlihat pada hari pertama sampai dengan hari kedua bahkan hari ketiga. Biasanya memasuki hari keempat dan kelima kecemasan akan dirasakan berkurang. Kecemasan yang terjadi biasanya dipengaruhi oleh lamanya seseorang dirawat serta faktor biaya dan diagnosis pasien.

2.1.2.4 Kecemasan Anak Usia Prasekolah Ketika Dirawat Di Rumah Sakit

Dirawat di rumah sakit atau perawatan di rumah sakit adalah suatu proses yang karena suatu alasan berencana ataupun darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di

(28)

rumah sakit, untuk menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Penyakit dan dirawat di rumah sakit sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak. Untuk anak-anak, penyakit dan dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan tantangan.

Anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal sangat rentan terhadap krisis penyakit dan dirawat di rumah sakit karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas lingkungan. Anak memiliki mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stresor atau kejadian-kejadian yang menimbulkan stres. Stresor utama dari dirawat di rumah sakit, antara lain; perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh, dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis tersebut dipengaruhi usia perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau dirawat di rumah sakit, ketrampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis,

(29)

serta sistem pendukung yang ada. Perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh, dan nyeri dapat membuat anak menjadi cemas. Rasa cemas yang ditunjukkan setiap anak berbeda-beda, sesuai usianya. Namun, yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini yaitu pada anak usia 3-6 tahun yang masuk dalam usia prasekolah. Berikut ini adalah proses kecemasan ketika proses dirawat di rumah sakit pada anak usia prasekolah atau usia 3-6 tahun menurut Wong (2009):

1. Cemas Akibat Perpisahan

Kecemasan akibat perpisahan merupakan stres yang besar yang timbul selama proses perawatan di rumah sakit pada masa bayi, masa kanak-kanak awal, atau masa prasekolah. Respon terhadap stresor ini pada masa bayi, masa kanak-kanak awal, atau masa prasekolah, ditunjukkan melalui tiga fase, yaitu; fase protes, fase putus asa, dan fase pelepasan (Wong, 2009).

(30)

a. Fase Protes

Selama fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan orang tua yang mereka tunjukkan dengan cara menangis, dan berteriak memanggil orang tua mereka, menolak perhatian dan orang lain, serta kedukaan mereka tidak dapat ditenangkan. Perilaku lain yang diobservasi selama masa toddler dan prasekolah yaitu menyerang orang asing secara verbal misalnya; pergi, menyerang orang asing secara fisik misalnya; menendang, memukul, mencubit, maupun menggigit, mencoba kabur untuk mencari orang tua, mencoba menahan orang tua secara fisik agar tetap tinggal bila ada perawat yang akan melakukan tindakan invasive seperti pemasangan infus ataupun injeksi.

(31)

Perilaku-perilaku tersebut dapat berlaku dari beberapa jam sampai beberapa hari. Protes seperti menangis dapat terus berlangsung, hanya berhenti bila lelah. Pendekatan orang dapat mencetuskan peningkatan stres.

b. Fase Putus Asa

Perilaku yang diobservasi pada usia prasekolah dalam fase putus asa, yaitu; anak menjadi tidak aktif, anak menarik diri dari orang lain, anak terlihat depresi atau sedih, anak menjadi tidak tertarik dengan lingkungan, misalnya; hanya ingin tidur terus, tidak komunikatif, mundur ke perilaku awal, seperti; mengisap ibu jari, mengompol, menggunakan dot, ataupun menggunakan botol. Lamanya perilaku tersebut berlangsung bervariasi dan kondisi anak dapat memburuk karena

(32)

menolak untuk makan, minum, atau bergerak.

c. Fase Pelepasan

Fase pelepasan disebut juga penyangkalan. Pada tahap ini, secara

superficial tampak bahwa anak

menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Anak tersebut menjadi tertarik terhadap lingkungan sekitar, bermain dengan orang lain, dan tampak membentuk hubungan baru, akan tetapi perilaku ini merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan tanda-tanda kesenangan.

Anak memisahkan diri dari orang tua sebagai upaya menghilangkan nyeri emosional karena menginginkan kehadiran orang tua dan mengatasinya dengan membentuk hubungan yang dangkal dengan orang lain, menjadi makin berpusat dengan diri sendiri.

(33)

Perkembangan pada tahap pelepasan jarang terjadi. Perilaku yang diobservasi pada fase pelepasan yaitu menunjukkan peningkatan minat terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi dengan orang asing atau pemberi asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru, namun dangkal dan tampak bahagia.

2. Kehilangan Kendali

Suatu faktor yang mempengaruhi jumlah stres akibat dirawat di rumah sakit adalah jumlah kendali yang orang tersebut rasakan. Wong (2009) mengatakan bahwa perasaan kehilangan kendali terjadi akibat perpisahan, restriksi fisik, perubahan rutinitas, pemaksaan ketergantungan, dan pemikiran magis. Kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi koping anak-anak.

Kehilangan kendali dalam konteks kekuasaan diri mereka merupakan faktor

(34)

yang mempengaruhi secara krisis persepsi dan reaksi mereka terhadap perpisahan, nyeri, sakit, dan dirawat di rumah sakit.

Egosentris dan pemikiran magis anak usia prasekolah membatasi kemampuan mereka untuk memahami berbagai peristiwa karena mereka memandang semua pengalaman dari sudut pandang mereka sendiri (egosentrik). Tanpa persiapan yang adekuat terhadap lingkungan yang tidak dikenal atau pengalaman, penjelasan fantasi anak prasekolah untuk peristiwa-peristiwa semacam itu biasanya lebih berlebihan, aneh, dan lebih menakutkan dari kejadian sebenarnya.

Respon terhadap pemikiran semacam itu membuat anak biasanya merasa malu, bersalah, dan takut. Anak prasekolah juga menyimpulkan dari sesuatu yang khusus ke sesuatu yang khusus lagi, bukan dari spesifik ke umum

(35)

atau sebaliknya, misalnya; jika konsep ada prasekolah tentang perawat adalah mereka yang menyebabkan nyeri, maka anak prasekolah akan berpikir bahwa setiap perawat atau setiap orang yang memakai seragam yang sama juga akan menyebabkan nyeri.

3. Cidera Tubuh dan Nyeri

Takut akan cidera tubuh dan nyeri sering terjadi di antara anak-anak. Konsekuensi rasa takut ini sangat mendalam. Konflik psikososial pada anak kelompok usia prasekolah membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cidera tubuh. Prosedur intrusif baik yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak, merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang baik. Anak prasekolah dapat bereaksi terhadap injeksi yang sama kuatirnya dengan nyeri pada saat jarum dicabut, mereka takut intrusif atau pungsi vena atau pungsi

(36)

lumbal pada tubuh tidak akan menutup kembali dan ‘isi tubuh’ mereka akan bocor keluar.

Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan yang terlihat pada masa toddler, meskipun beberapa perbedaan menjadi jelas, misalnya; respon anak prasekolah terhadap intervensi persiapan dalam hal penjelasan dan distraksi lebih baik bila dibandingkan dengan anak yang lebih kecil.

Agresi fisik dan verbal lebih spesifik dan mengarah pada tujuan bukan menunjukkan resistensi tubuh total, anak prasekolah akan mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang nyaman. Anak prasekolah juga bisa menyerang atau melarikan diri. Ekspresi verbal yang bisa mereka tunjukkan dengan mengatakan kepada perawat

(37)

secara verbal, “pergi dari sini” atau “saya benci kamu”.

Respon anak prasekolah saat mengalami cidera tubuh dan nyeri, yaitu; menangis keras, berteriak, memukul-mukulkan lengan dan kaki, berusaha mendorong stimulus menjauh sebelum nyeri terjadi, tidak kooperatif, memerlukan restrain fisik, meminta agar prosedur dihentikan, bergelayut pada orang tua atau orang bermakna lainnya, meminta dukungan emosional seperti pelukan, dapat menjadi gelisah, ekspresi verbal seperti; “aduh”, “auw”, “sakit”, dan peka terhadap nyeri yang berkelanjutan.

2.2 Tinjauan Praktik Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah Penelitian yang dilakukan oleh Oppenheim, Goldsmith, dan Koren-Karie (2004) menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik perawat kepada pasien anak usia prasekolah di Haifa dapat meningkatkan mekanisme koping secara emosional.

(38)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hannan, Susilo, dan Suwanti (2009) di RSUD Ambarawa menunjukkan pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat pada anak usia prasekolah di ruang perawatan anak RSUD Ambarawa dapat menurunkan tingkat kecemasan. Ditunjukkan dengan 17 dari 32 responden pasien anak usia prasekolah (53,1%) memiliki tingkat kecemasan ringan.

Hasil penelitian Stadler, Bolten, dan Schmeck (2011) menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit di Jerman dan salah satu rumah sakit di Jepang yang keduanya menjadi kelompok kontrol dalam penelitian, komunikasi terapeutik dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien anak usia prasekolah dengan pendekatan terapeutik yang komprehensif.

Hal yang hampir serupa dilakukan dalam penelitian Sukoati dan Astarani (2012) di RS Babtis Kediri bahwa adanya upaya komunikasi terapeutik perawat pada pasien anak usia prasekolah yang merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketegangan dan membantu anak beradaptasi.

(39)

Hal yang sama dilakukan oleh Washington, Stonell, Oddson, McLeod, Leeper, Robertson dan Rosenbaum (2013) di Canada bahwa fokus pada pra-intervensi keperawatan dan post-intervensi keperawatan dengan dilakukannya komunikasi terapeutik pada pasien anak usia prasekolah dapat menurunkan tingkat kecemasan dan dapat meningkatkan sikap adaptif dari pasien anak usia prasekolah tersebut.

(40)

2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

Keterangan:

Yang di teliti :

Yang tidak diteliti :

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual Penelitian

Sumber: Wong (2009) yang telah dimodifikasi Variabel Independen: Komunikasi terapeutik Pemberian tindakan invasif Faktor-faktor yang mempengaruhi: a. Pengalaman dirawat sebelumnya b. Lama dirawat Variabel Dependen: Tingkat kecemasan anak

usia prasekolah

Ada hubungan

Tidak ada hubungan

(41)

2.4 Hipotesis

Ho: Tidak ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak usia prasekolah pada pemberian tindakan invasif di Ruang Anggrek RSUD Kota Salatiga.

Ha: Ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak usia prasekolah pada pemberian tindakan invasif di Ruang Anggrek RSUD Kota Salatiga.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

4 Bagi peserta yang tidak menang lelang, pengembalian uang jaminan Lelang maksimal 5 (lima) hari kerja setelah lelang dilaksanakan.. 5 Daftar Unit ini hanya merupakan panduan

Berdasarkan hal di atas, maka dalam penelitian ini akan dicoba memformulasi ketoprofen yang praktis tidak larut air dalam bentuk dispersi padat dengan metoda pelarutan

Kondisi stabilitas tanah di lapangan cukup baik dan memungkinkan untuk dilakukan pemindahan dinding penahan tanah dalam rangka mengurangi luas area lahan pondasi

Hasil yang dicapai pada uji hipotesa antara ekstrovert dengan perilaku asertif adalah (p=0,733, p>0,05), sedangkan untuk introvert dengan perilaku asertif adalah

Untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik khususnya pemilu, ada beberapa faktor yang bisa menggambarkan tentang bagaimana keaktifan masyarakat untuk ikut serta seperti

Waktu tinggal (td) yang memiliki efisiensi removal terbesar pada uni t gravel bed flocculator a dalah 4 menit dengan efisiensi removal rata-rata untuk warna