1
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan Rote, Nusa Tenggara Timur. Seluruh cakupan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Sesuai dengan asas Uti Possidetis Juris dalam hukum internasional, sebuah negara baru memiliki cakupan wilayahnya sesuai dengan wilayah bekas jajahan dari negara penjajahnya (Arifin 2009).
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, suatu negara pantai berhak atas zonasi wilayah maritim laut yang terdiri dari perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Pada pasal 76 UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa sebuah negara pantai dapat mengakui landas kontinen atas haknya yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinennya atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal tersebut pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Penetapan batas terluar landas kontinen lebih dari 200 mil laut dijelaskan pada pasal 76 ayat 4 UNCLOS 1982. Pada pasal tersebut disebutkan beberapa ketentuan mengenai penambahan landas kontinen lebih dari 200 mil laut seperti: penentuan garis berdasarkan titik tetap terluar yang memiliki ketebalan endapan minimal 1% dari jarak terpendek antara titik tersebut dengan foot of continental slope atau penentuan garis berdasarkan titik tetap yang jaraknya tidak lebih dari 60 mil laut dari foot of continental
slope.
Selanjutnya pada ayat 5 pasal 76 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa jarak maksimal landas kontinen yang dapat diakui oleh suatu negara pantai adalah sebesar 350 mil laut yang diukur dari garis pangkal yang juga digunakan untuk menetapkan
2 laut teritorial atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari isobath 2.500 meter, dimana terdapat garis penghubung pada kedalaman 2.500 meter.
Selanjutnya, apabila suatu negara pantai yang bersangkutan tersebut memenuhi ketentuan sesuai dengan UNCLOS 1982, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka suatu negara pantai tersebut berhak mengajukan permohonan (submisi) untuk landas kontinen di luar 200 mil laut kepada Komisi Batas Landas Kontinen (Comission
on the Limits of Continental Shelf, CLCS) melalui Sekretaris Jendral Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengajukan submisi landas kontinen ekstensi (LKE) ke CLCS. Untuk mendukung tujuan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui instansi terkait telah melaksanakan penelitian untuk mengetahui potensi yang ada berdasarkan data-data hasil penelitian tersebut. Penelitian tersebut salah satunya adalah proyek Digital Marine Resource Mapping (DMRM). Proyek DMRM yang dilaksanakan pada tahun 1996 hingga tahun 1999 merupakan survei batimetri yang telah menggunakan alat SIMRAD EM12D Multibeam Echosounder. Jarak spasial antara jalur pemeruman adalah sekitar 100 km dan meliputi sekitar 200 mil laut dari garis pangkal. Tujuan dari survei tersebut adalah untuk menentukan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan untuk membuktikan survei rekonaisans pada landas kontinen. Pada proyek tersebut ditemukan beberapa lokasi dengan kondisi alam yang memungkinkan untuk melakukan penambahan batas landas kontinen lebih dari 200 mil laut. Lokasi tersebut antara lain berada di barat Pulau Sumatra, utara Papua dan di selatan Pulau Sumba (Sutisna 2005).
Berdasarkan rilis pers yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial, submisi penambahan landas kontinen Indonesia di barat Pulau Sumatra berhasil ditambahkan sebesar 4.209 kilometer persegi (Bakosurtanal 2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tidak menutup kemungkinan dapat melakukan submisi penambahan landas kontinen pada area lainnya seperti di selatan Pulau Sumba dan di utara Papua.
Oleh karena adanya bukti fisik dan peraturan dari UNCLOS 1982 yang memperbolehkan untuk melakukan penambahan landas kontinen lebih dari 200 mil laut, serta keberhasilan Indonesia dalam melakukan submisi penambahan landas kontinen sebelumnya untuk wilayah perairan barat Pulau Sumatra, tidak menutup
3 kemungkinan bahwa Indonesia dapat juga melakukan submisi untuk wilayah perairan selatan Pulau Sumba dan utara Papua. Dalam penelitian ini akan mengkaji wilayah perairan utara Papua dengan menggunakan data batimetri global GEBCO untuk studi pendahuluan delineasi landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut sehingga dapat diketahui hak Indonesia atas landas kontinen di luar 200 mil laut.
I.2. Identifikasi Masalah
Landas kontinen merupakan aspek penting bagi Indonesia karena kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Di sisi lain, submisi landas kontinen ekstensi suatu negara pantai juga dapat dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku di dunia internasional, yaitu diatur pada pasal 76 UNCLOS 1982. Submisi landas kontinen ekstensi tidaklah mudah, memerlukan penelitian yang teliti dan tidak murah. Pada intinya untuk melakukan delineasi landas kontinen terluar suatu negara pantai tidak bisa hanya dengan mengukur lebar sejauh 200 mil laut dari garis pangkal seperti yang dilakukan untuk penentuan batas laut teritorial, zona tambahan dan ZEE, tetapi juga memerlukan data geologi dan geofisika dasar laut hasil dari penelitian.
Mengingat kompleksitas penetapan batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut ini, maka umumnya proses didahului dengan kajian pendahuluan menggunakan data awal yang tersedia. Penelitian ini melakukan kajian pendahuluan hak Indonesia untuk landas kontinen di luar 200 mil laut di wilayah perairan utara Papua dengan memanfaatkan data batimetri global GEBCO sesuai dengan pasal 76 UNCLOS 1982.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Dari identifikasi masalah di atas, dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Apakah Indonesia berhak atas landas kontinen di luar 200 mil laut di perairan utara Papua sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982?
b. Dimana letak landas kontinen yang dapat diakui di luar jarak 200 mil laut dari garis pangkal apabila perairan tersebut memenuhi ketentuan dan berapa luasnya?
4 I.4. Cakupan Penelitian
Cakupan penelitian adalah:
1.
Lokasi penelitian adalah kawasan maritim utara Papua pada area yang dibatasi 133° – 144° Bujur Timur dan 6° Lintang Utara – 3° Lintang Selatan2. Data yang digunakan merupakan data batimetri global GEBCO dengan ketelitian 30 detik
3. Kriteria landas kontinen diperoleh berdasarkan pasal 76 UNCLOS 1982 yang meliputi:
a. Formula line
i. Jarak 60 mil laut dari foot of slope
ii. Batas terluar berdasarkan ketebalan sedimen 1% b. Constraint line
i. Jarak 100 mil laut dari isobath 2.500 m ii. Jarak 350 mil laut dari garis pangkal
I.5. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Teridentifikasinya landas kontinen ekstensi di wilayah perairan utara Papua dengan menggunakan data batimetri global GEBCO.
b. Diperoleh perkiraan luas dan batas area landas kontinen ekstensi dalam bentuk koordinat di luar jarak 200 mil laut dari garis pangkal di wilayah perairan utara Papua.
I.6. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi awal hak Indonesia atas landas kontinen lebih dari 200 mil laut di wilayah perairan utara Papua. Informasi awal ini penting bagi Indonesia sebelum meneruskan usaha melakukan pengajuan landas kontinen di luar 200 mil laut kepada PBB. Pada akhirnya, informasi awal ini berperan dalam mengonfirmasi hak negara pantai untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada yang terkandung di dalam landas kontinennya baik berupa
5 kekayaan mineral dan kekayaan non hayati lainnya di dasar laut dan tanah di bawahnya.
I.7. Tinjauan Pustaka
Berkaitan dengan penelitian landas kontinen ekstensi di perairan Indonesia, sebelumnya telah dilakukan beberapa penelitian terkait. Penelitian tersebut digunakan sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini. Penelitian yang ditulis oleh Sutisna, dkk (2005) mengemukakan bahwa hasil dari pengukuran batimetri proyek Digital
Marine Resource Mapping (DMRM) yang dalam pengukurannya menggunakan alat multibeam echosounder jenis SIMRAD EM12D terdapat beberapa lokasi
kemungkinan yang bisa dilakukan submisi landas kontinen ekstensi. Beberapa lokasi tersebut adalah di perairan barat Pulau Sumatra, perairan selatan Pulau Sumba dan di perairan utara Papua. Dikatakan juga bahwa untuk mendapatkan hasil yang lebih teliti, diperlukan sebuah penelitian lebih lanjut seperti data seismik dari pengukuran langsung di lokasi yang bersangkutan.
Arsana (2009) menyebutkan bahwa tantangan besar yang harus dihadapi oleh Pemerintah Indonesia untuk mengajukan submisi landas kontinen ekstensi kepada CLCS adalah berupa isu teknis, institusi, finansial, dan politis yang memerlukan pertimbangan sungguh-sungguh. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga harus menghadapi tenggat waktu pengajuan landas kontinen ekstensi, penelitian yang serius dan berkelanjutan sangat diperlukan melalui kolaborasi yang saling mendukung antar sesame pihak terkait.
Karyanto (2007) dalam skripsinya menyatakan bahwa untuk melakukan landas kontinen ekstensi Indonesia dengan hanya melihat aspek jarak 60 mil laut dari foot of
slope di wilayah perairan selatan Nusa Tenggara Timur kurang menguntungkan karena
dari hasil analisis 12 titik koordinat foot of slope, hanya terdapat dua titik koordinat yang memberikan keuntungan mengingat penelitian yang telah dilaksanakan membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga sebaiknya dalam melaksanakan penelitian untuk delineasi batas terluar landas kontinen ekstensi Indonesia mempertimbangkan juga aspek-aspek teknis lainnya. Tujuannya adalah agar data yang
6 dihasilkan dari penelitian tersebut mampu mencakup seluruh aspek teknis untuk delineasi batas terluar landas kontinen ekstensi Indonesia.
Selanjutnya pada skripsi yang ditulis oleh Radifanur (2013) mengungkapkan bahwa wilayah landas kontinen di perairan utara Papua dapat diklaim dengan tiga opsi pilihan klaim yang mempertimbangkan letak kaki lereng kontinen di punggung samudera Eaupirik Rise. Pada opsi pertama keadaan apabila Indonesia mendapatkan daerah klaim pada punggung Eaupirik Rise yang sama besar pada kedalaman yang relatif sama pada punggung samudera. Luas landas kontinen ekstensi yang didapat sekitar 35.086 km2. Opsi kedua adalah keadaan apabila Indonesia dan Papua Nugini
menerapkan prinsip equidistance untuk menetapkan perbatasan lanjutan berdasarkan garis pangkal kedua negara. Luas landas kontinen ekstensi yang didapat adalah sekitar 39.946 km2. Opsi ketiga adalah keadaan apabila Indonesia tidak berhasil mendapatkan
klaim pada daerah punggung samudera Eaupirik Rise. Luasan yang dapat diklaim adalah sebesar 6.292 km2.
Gusti (2009) dalam skripsinya menuliskan bahwa telah dilakukan pengukuran untuk landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah utara Papua yang terbagi menjadi dua tahap. Tahap I menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII pada tanggal 7 – 22 Desember 2007 dan tahap II dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya II pada tanggal 28 April – 7 Mei 2009. Dari hasil analisi data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa wilayah peairan utara Papua memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk dapat melakukan submisi landas kontinen di luar 200 mil laut.
I.8. Landasan Teori I.8.1. Batas Zona Maritim
Pada negara pantai, menurut UNCLOS 1982, dapat menetapkan batas-batas maritime seperti perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang semuanya diukur dari garis pangkal. Hanya saja pada landas kontinen memiliki aturan tersendiri dalam penentuannya yang akan dijelaskan pada sub-bab ini.
7 Batas maritim oleh suatu negara pantai memiliki arti yang sangat penting. Semua negara pantai pasti menginginkan batas maksimal yang diperbolehkan untuk menentukan batas-batas maritimnya.
Gambar I .4. Zona maritim. (sumber: Arsana, 20014)
I.8.1.1. Perairan Pedalaman. Suatu negara pantai dapat menentukan perairan pedalaman apabila sudah menentukan garis pangkal dan laut teritorialnya. Laut pedalaman biasanya terdapat di teluk yang mulut teluknya dapat ditutup dengan garis pangkal. Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa penentuan perairan pedalaman hanya dapat dilakukan oleh negara pantai saja.
Pada pasal 8 UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa perairan pedalaman merupakan perairan yang berada pada sisi darat atau bagian dalam dari garis pangkal laut teritorial.
Pada negara kepulauan, garis pangkal yang menutup seluruh kepulauan yang berada di dalamnya, perairan di dalam garis pangkal kepulauan tersebut disebut sebagai perairan kepulauan. Perairan kepulauan hanya dapat dimiliki oleh negara kepulauan saja yang telah diakui secara sah oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Status perairan pedalaman memiliki kedaulatan penuh atas negara pantai tersebut seperti pada laut teritorial.
8 I.8.1.2. Laut Teritorial. Laut teritorial merupakan perairan yang diukur 12 mil laut dari garis pangkal yang telah ditentukan, sesuai dengan pasal 3 UNCLOS 1982. Pada laut teritorial, suatu negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas laut teritorial, dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya. Meskipun negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas laut teritorial, kapal asing tetap dapat melintas di dalam laut teritorial sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam UNCLOS 1982 atau yang disebut sebagai hak lintas damai (innocent passage).
I.8.1.3. Zona Tambahan. Menurut pasal 33 ayat 2 UNCLOS 1982, zona tambahan merupakan perairan dengan jarak 24 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur. Zona tambahan diperlukan bagi negara pantai untuk dapat melaksanakan pengawasan seperti untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi di dalam wilayah laut teritorial dan untuk memberikan hukuman atas pelanggaran peraturan perundang-undangan yang disebutkan sebelumnya yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorial negara pantai tersebut.
I.8.1.4. Zona Ekonomi Eksklusif. Menurut pasal 55 UNCLOS 1982, zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada hukum khusus yang telah ditetapkan pada UNCLOS 1982 sebagaimana hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan negara lain diatur oleh ketentuan yang relevan.
ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur. Pada ZEE meliputi badan air laut dan dasar laut serta lapisan di bawah dasar laut terkecuali ruang udara di atas permukaan laut tersebut. Suatu negara pantai diberi hak berdaulat untuk mengatur, mengeksploitasi dan mengeksplorasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya kekayaan alam yang berada di wilayah ZEE, baik hayati maupun non hayati, kebebasan dalam pelayaran, hak suatu pesawat terbang untuk melintas di atasnya dan atas penempatan kabel atau jalur pipa.
I.8.1.5. Landas Kontinen. Landas kontinen suatu negara pantai menurut pasal 76 ayat 1 UNCLOS 1982 meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya
9 sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur apabila pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari daratan kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen tersebut tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukti-bukti samudera atau tanah di bawahnya.
Menurut Arsana (2013) penentuan berapa jarak untuk penentuan landas kontinen dari garis pangkal tidak lah semudah seperti dalam penentuan laut teritorial, zona tambahan dan ZEE. Pada landas kontinen diperlukan suatu kondisi alamiah khusus untuk menentukan berapa jarak landas kontinen suatu negara pantai yang kemudian apabila jarak tersebut lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal, negara pantai wajib mendaftarkan penambahan tersebut, atau yang selanjutnya disebut sebagai submisi landas kontinen, ke United Nations
Commissions on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) sebagai
rekomendasi.
Submisi landas kontinen dapat dilakukan oleh suatu negara pantai apabila memenuhi persyaratan yang ada pada pasal 76 ayat 4 butir (a) UNCLOS 1982. Landas kontinen dapat lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur, bila:
(a) Ketebalan batu endapan atau sedimen yang berada di dasar laut setidaknya 1% dari jarak terdekat antara titik pangkal tersebut dan kaki lereng kontinen (foot of slope), atau
(b) Panjang dari garis pangkal lurus antar kedua titik pangkal tidak boleh melebihi 60 mil laut dari kaki lereng kontinen.
Seluruh submisi landas kontinen seperti yang tertulis di pasal 76 ayat 4 butir (a) (i) dan (ii), tidak boleh lebih dari 350 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 m. Isobath 2.500 m yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500 m.
10 Pada pasal 77 tentang hak negara pantai atas landas kontinen UNCLOS 1982, negara pantai diberikan hak berdaulat atas landas kontinennya untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya. Apabila negara pantai tersebut tidak dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alam yang berada di landas kontinennya maka tidak ada yang berhak untuk melakukan kegiatan tersebut tanpa persetujuan negara pantai yang bersangkutan.
I.8.2. Garis Pangkal
Penentuan garis pangkal merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menentukan batas-batas maritim. Pada banyak UNCLOS, garis pangkal sering disebut untuk penentuan batas garis laut teritorial yang terukur. Garis pangkal digunakan untuk semua penentuan batas-batas maritim seperti laut territorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen.
Garis pangkal memiliki banyak jenis yang setiap jenisnya digunakan untuk penentu batas maritim dengan kondisi yang berbeda-beda. Dalam penenlitian ini akan membahas beberapa jenis garis pangkal, antara lain: garis normal, garis lurus, garis kepulauan, penentuan garis pangkal pada muara sungai, penentuan garis pangkal pada teluk atau garis penutup teluk, dan peran low-tide elevation dalam penentuan garis pangkal. Apabila terdapat karang di sekitar suatu pulau negara pantai, maka garis pangkal yang akan digunakan untuk mengukur laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana seperti yang ditunjukkan pada peta yang diakui resmi oleh negara pantai yang bersangkutan.
Garis pangkal sangat penting karena dibutuhkan dalam penentuan setiap pembuatan batas maritim. Sudah menjadi suatu kewajiban setiap negara pantai untuk menentukan garis pangkal yang teliti dan jelas.
I.8.2.1. Garis Normal. Menurut pasal 5 UNCLOS, garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana yang ditandai pada peta skala besar yang secara resmi diakui oleh negara pantai tersebut.
Beberapa negara pantai mendefinisikan garis air rendah (low water line) dengan menggunakan lowest astronomical tide (LAT). LAT merupakan datum
11 vertikal yang mempertimbangkan kemungkinan muka surutan air terendah pada keadaan yang dipengaruhi secara astronomis dan kondisi rata-rata posisi benda-benda luar angkasa seperti bulan dan matahari.
Disebutkan dalam penelitian yang dilakukan pada thesis Arsana (2013) bahwa dalam UNCLOS 1982 tidak disebutkan secara langsung jenis garis air rendah yang harus digunakan oleh negara pantai sedangkan secara teknis penentuan garis air rendah memiliki lebih dari satu jenis.
I.8.2.2. Garis Lurus. Pada pasal 7 UNCLOS 1982 menyebutkan cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dimana batas laut teritorial diukur untuk digunakan dengan keadaan dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya.
Penarikan garis pangkal lurus karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai menjadi tidak tetap, maka titik-titik yang tetap dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku hingga diubah oleh negara pantai yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982.
Penarikan suatu garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum garis pantai dan bagian-bagian laut yang berada di dalam garis pangkal dan harus dekat lokasinya dengan titik dasar yang berada di darat sebagai titik ikat agar bagian-bagian tersebut berada pada zona perairan pedalaman.
Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik menuju dan dari elevasi surut permukaan laut atau low-tide elevation (LTE), kecuali jika diatasnya didirikan sebuah mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen ada di atas permukaan laut atau penarikan menuju dan dari LTE tersebut telah memperoleh pengakuan umum internasional.
Penarikan garis pangkal lurus oleh suatu negara tidak boleh memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusifnya.
12 I.8.2.3. Garis Kepulauan. Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar dari kepulauan tersebut dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal tersebut termasuk di dalamnya pulau-pulau utama dan daerah yang memiliki perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratannya, termasuk atol, adalah satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu.
Panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali jika 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan tersebut dapat melebihi dari panjang tersebut maka dapat ditambahkan panjangnya hingga 125 mil laut.
Keseluruhan garis pangkal kepulauan suatu negara kepulauan harus tetap mempertahankan bentuk dari pulau-pulau yang berada di dalam negara tersebut. Sama seperti ketentuan pada penentuan garis pangkal lurus bahwa garis pangkal kepulauan tidak bisa ditarik dari LTE kecuali bila terdapat mercusuar atau instalasi lainnya dan penarikan garis pangkal kepulauan juga tidak boleh memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas ataupun Zona Ekonomi Eksklusif.
Garis pangkal kepulauan ini harus dicantumkan pada peta dengan skala yang memadai untuk menegaskan posisinya atau dapat juga dibuatkan sebuah daftar koordinat geografis titik-titik tersebut secara jelas dan juga datum geodetiknya. Selanjutnya negara kepulauan tersebut harus mengumumkan daftar tersebut atau peta tersebut dan juga harus mendepositkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
I.8.2.4. Penentuan Pada Muara Sungai. Pada UNCLOS 1982 tidak mencantumkan dengan jelas tentang penentuan garis pangkal pada muara sungai yang berada di suatu pantai sehingga suatu negara pantai dapat menentukan sendiri bagaimana garis pangkal yang akan dibuat atau mengikuti ketentuan seperti penentuan garis pangkal pada teluk. Di sisi lain, penempatan titik-titik pangkal pada muara sungai terkadang akan sulit dilakukan pada pantai yang memiliki garis pantai yang halus.
13 I.8.2.5. Penentuan Pada Teluk. Dikatakan pada pasal 10 ayat 2 UNCLOS 1982 bahwa suatu teluk adalah suatu lekukan yang jelas yang lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih daripada sekedar suatu lingkungan pantai. Tetapi suatu lekukan tidak akan dianggap sebagai suatu teluk apabila luasan suatu lekukan tersebut tidak lebih besar daripada luas setengah lingkaran dari panjang mulut teluk.
Disebutkan pada thesis Arsana (2013) bahwa terdapat 4 syarat untuk menutup sebuah teluk dengan menggunakan sebuah segment garis pangkal. Keempat syarat tersebut adalah bentuk teluk, luas area teluk, panjang dari garis penutup teluk dan nilai historis teluk bagi negara tersebut. Garis penutup teluk panjangnya tidak boleh lebih dari 24 mil laut, jika panjang mulut teluk lebih dari 24 mil laut maka garis penutup tersebut dapat ditarik mundur ke arah daratan hingga mencapai panjang garis penutup teluk 24 mil laut dan tetap memperhatikan luas setengah lingkaran dari 24 mil laut harus lebih luas dibandingkan dengan luas area teluk seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
(sumber: TALOS, 2006)
I.8.2.6. Peran Low-Tide Elevation. Low-tide elevation (LTE) atau elevasi surutan, menurut pasal 13 ayat 1 UNCLOS, merupakan suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air laut surut, tetapi berada di bawah permukaan air laut ketika air laut pasang.
Gambar I. 2. Bukan teluk secara yuridis.
14 LTE dapat digunakan sebagai titik pangkal dalam penentuan garis pangkal apabila memenuhi tiga persyaratan. Pertama, LTE terletak sebagian atau seluruhnya di laut teritorial dimana laut teritorial terukur sejauh 12 mil laut dari daratan utama atau suatu pulau. Kedua, pada LTE dibangun sebuah mercusuar atau instalasi lainnya dengan letak LTE sebagian atau sepenuhnya tidak berada di laut teritorial yang diukur dari daratan utama atau suatu pulau. Ketiga, sebuah LTE tersebut oleh negara yang bersangkutan sudah dipublikasikan kepada dunia internasional bahwa LTE tersebut digunakan sebagai titik pangkal penentuan garis pangkal negara tersebut.
Gambar I. 3. Peran LTE. (sumber: TALOS, 2006)
I.9. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka yang diperoleh, hipotesis yang diajukan untuk penelitian ini adalah kawasan perairan utara Papua memenuhi syarat teknis menurut pasal 76 UNCLOS 1982 untuk diajukan sebagai landas kontinen di luar 200 mil laut dengan menggunakan informasi awal dalam jurnal Sutisna, dkk (2005).