23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMILAHAN CEPAT ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus
Pemilahan cepat isolat ditujukan untuk menyeleksi isolat Staphylococcus aureus yang mengalami penurunan mendekati dua siklus log pada pemanasan suhu 540C selama 35 menit. Penurunan jumlah mikroba > 2 sikus log mengindikasikan bahwa isolat yang diujikan tidak cukup tahan panas. Berdasarkan hasil percobaan, terlihat bahwa jumlah mikroba pada fase log akhir berkisar antara 1,2x108- 1,5x109 CFU/ml. Jadi, jumlah mikroba awal pada
menstruum pemanas berkisar antara 1,2x107- 1,5x108 CFU/ml karena telah mengalami pengenceran 10-1. Kedelapan isolat Staphylococcus aureus yang diuji dengan pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit mengalami penurunan log jumlah mikroba (Gambar 7.)
Gambar 7. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/ml) setelah pemanasan 54°C selama 35 menit
Penurunan logaritma jumlah bakteri berbanding terbalik dengan ketahanan panasnya. Semakin kecil penurunan logaritma jumlah bakteri berarti semakin tinggi ketahanan panas bakteri. Terlihat bahwa penurunan log mikroba masing-masing kelompok isolat
Staphylococcus aureus hampir seragam kecuali pada isolat asal nasi uduk. Isolat Staphylococcus aureus asal ayam suwir dan jari tangan mengalami penurunan log
berturut-turut sekitar dua siklus log dan empat siklus log setelah pemanasan. Penurunan siklus log untuk isolat asal nasi uduk lebih bervariasi berkisar antara 2-4 siklus log. Isolat ayam suwir AS2 relatif lebih tahan panas dibandingkan dengan isolat lainnya. Isolat NU3 lebih tahan terhadap pemanasan dibandingkan dengan isolat NU1 dan NU2. Penurunan log NU3 sebesar 2,61 siklus log. Isolat dari jari tangan pekerja menunjukkan penurunan siklus log yang cukup besar yaitu 3,88 siklus log untuk J1 dan 4,22 siklus log untuk J2. Jadi, isolat dari jari tangan lebih rentan terhadap pemanasan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus akan mengalami penurunan log jika dipanaskan pada suhu 540C selama 35 menit (Tabel 9).
24
Namun, penelitian tersebut menggunkan heating menstruum yang berbeda seperti susu skim, susu murni, buffer fosfat, whey keju cheddar dan susu kambing. Beberapa isolat mengalami penurunan jumlah mikroba yang cukup ekstrim > 6 siklus log seperti pada isolat S-1, B-120, BP3, dan isolat hasil penelitian Eden et al. (1973). Namun beberapa isolat lainnya mengalami penurunan jumlah mikroba < 3 siklus misalnya pada isolat MS 149, 196E, 161-C, S-18, 237, dan isolat Staphylococcus aureus campuran.Tabel 9. Penurunan logaritma beberapa isolat Staphylococcus aureus pada heating
menstruum berbeda
a
(Thomas et al., 1966), b(Walker dan Harmon, 1966), c(Eden et al., 1977), d(Parented dan Mazzatura, 1991), e(Kennedy et al., 2005)
Penurunan logaritma untuk kedelapan isolat hasil penelitian berkisar antara 2-4 siklus log. Menurut Jay (2006) selama pemanasan sel mikroba dan spora bakteri dapat mengalami heat shock, injured subletal, atau kematian. Heat shock adalah penurunan daya Isolat Staphylococcus aureus Heating Menstruum D54 (menit)
Penurunan log pada pemanasan 54°C selama 35 menit
AS2 TSB 19,52 1,84
NU3 TSB 13,40 2,61
MS 149a susu skim 32,3 1,08
196Ea susu skim 51,65 0,68
161-Cb Fosfat bufer 16,22 2,16 Susu murni 9,78 3,58 Susu Skim 16,28 2,15 Whey keju cheddar 9,72 3,60 S-1b Fosfat bufer 1,55 22,58 Susu murni - Susu Skim 2,03 17,24 Whey keju cheddar 2,12 16,51 B-120b Fosfat bufer 1,08 32,4 Susu murni 0,80 43,75 S-18b Fosfat bufer 5,97 5,86 Susu murni 16,47 2,12 Firstenbeg-Edenc Susu skim 3,73 9,38
BP3d Susu kambing 5,3 6,6 237d Susu kambing 17,68 2,03 Campurane1 TSB 28,51 1,26 Campurane2 TSB 30,71 1,40
25
tahan bakteri. Heat injured dapat menyebabkan kehilangan sifat permeabilitas dari membran sel, meningkatkan sensitifitas terhadap beberapa komponen senyawa. Kerusakan subletal terlihat dari rusaknya membran sel, dinding sel, terputusnya ikatan DNA, degradasi RNA ribosom dan denaturasi enzim. Kematian terjadi karena kerusakan vital komponen vital dan struktural.1. Isolat Staphylococcus aureus Asal Ayam Suwir
Gambar 8. menyajikan data jumlah penurunan log isolat Staphylococcus
aureus asal ayam suwir. Pemanasan dilakukan pada suhu 54°C selama 35 menit. Jumlah mikroba awal untuk isolat ayam suwir berkisar antara 7,5x107-1,5x108. Pemanasan menurunkan jumlah mikroba pada ketiga isolat yang diuji. Setelah pemanasan jumlah mikroba menurun menjadi 5,0x105-2,5x106.
Gambar 8. Jumlah Staphylococcus aureus asal ayam suwir (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit.
Terlihat bahwa isolat AS2 mengami penurunan siklus log 1,84. Log mikroba awal isolat AS3 sebesar 8,18. Akan tetapi, setelah pemanasan jumlahnya menurun menjadi 5,70 sehingga isolat AS3 mengalami penurunan log sebesar 2,20 siklus. Isolat AS4 berkurang jumlahnya dari 7,88 menjadi 6,28 sehingga mengalami penurunan siklus log sebesar 1,60.
Kesemua isolat asal ayam suwir mengalami penurunan logaritma mendekati dua siklus log. Nilai ini mendekati penurunan log pada isolat Staphylococcus aureus 161-C, S-18 dan 237d (Tabel 9.). Ketiga isolat sebenarnya dapat menjadi kandidat untuk uji ketahanan panas utama karena mengalami penurunan mendekati 2 siklus log. Dari hasil ini dipilih isolat AS2 untuk diuji lebih lanjut.
2. Isolat Staphylococcus aureus Asal Nasi Uduk
Jumlah mikroba awal isolat Staphylococcus aureus asal nasi uduk berkisar antara 6,9x107-1,1x108 CFU/ml. Pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit menyebabkan jumlah mikroba berkurang 7,1x103-1,7x105 CFU/ml. Penurunan jumlah siklus log setelah pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit untuk ketiga isolat
Staphylococcus aureus NU1, NU2, dan NU3 berturut-turut sebesar 3,91; 4,19; dan 2,61.
Isolat NU1 mengalami penurunan jumlah log dari 7,88 menjadi 3,97. Penurunan jumlah log dari 8,04 menjadi 3,85 terjadi pada isolat NU2. Sedangkan isolat NU3 mengalami
26
penurunan log dari 7,84 menjadi 5,23. Terlihat bahwa hanya isolat NU3 yang mengalami penurunan logaritama sekitar dua siklus (Gambar 9). Jadi, isolat ini akan diuji lanjut pada uji ketahanan panas utama.Gambar 9. Jumlah Staphylococcs aureus asal nasi uduk (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit
3. Isolat Staphylococcus aureus Asal Jari Tangan
Berbeda dengan isolat ayam suwir dan nasi uduk, isolat dari jari tangan yang diuji pada tahap ini relatif tidak tahan panas. Pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit menurunkan jumlah mikroba sikitar 4 siklus log untuk kedua jenis isolat (Gambar 10). Jumlah mikroba awal pada kedua isolat berkisar antara 1,2x107- 7,5x107 CFU/ml. Isolat J1 mengalami penuruan log sebesar 3,88 siklus sedangkan isolat J2 menurun sebanyak 4,23 siklus. Penurunan logaritma yang cukup besar pada isolat jari tangan berkaitan dengan kondisi asal isolat. Rata-rata suhu badan manusia mencapai 36-35°C. Suhu ini adalah suhu optimum bagi pertumbuhan Staphylococcus aureus. Pada suhu ini
Staphylococcs aureus tidak mendapatkan paparan panas pendahuluan sehingga isolatnya
pun tidak mengalami peningkatan ketahanan panas (Jay, 2000). Berdasarkan hasil ini, kedua isolat tidak lolos untuk uji utama ketahanan panas karena penurunan logaritama sangat jauh dari dua siklus log.
Gambar 10. Jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/ml) asal jari tangan sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit
27
B. STUDI KETAHANAN PANAS ISOLAT Staphylococcus aureus HASIL
PEMILAHAN CEPAT ISOLAT
1. Nilai D
Pengujian ketahanan panas dilakukan untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3 dan ATCC 25923. Isolat ATCC 25923 disertakan dalam pengujian sebagai pembanding. Jumlah mikroba awal bakteri pada heating menstruum TSB berkisar antara 4,6x107-2,1x108 CFU/ml. Penurunan jumlah bakteri berbanding lurus terhadap lama waktu pemanasan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa isolat AS2 memiliki nilai D pada suhu 53, 54, 55, dan 56 °C berturut-turut sebesar 19,47±1,33; 13,42±0,13; 6,59±0,85, dan 5,17±0,26 menit. Isolat NU3 memiliki nilai D pada suhu 53, 54, 55, dan 56 °C masing-masing 64,59± 2,95, 23,83± 0,80, 14,3±0,78, dan 8,78±0,92 menit. Isolat ATCC 25923 memiliki nilai 53, 54, 55, dan 56 °C berturut-turut sebesar 22,00± 1,02, 15,31± 1,16, 11,12±0,52, dan 7,53±1,76 menit. Persamaan linier kurva penurunan logaritma bakteri menghasilkan nilai r2 sekitar 0,92-0,98. Kurva penurunan logaritma untuk isolat AS2, NU3, dan ATCC 25923 dapat dilihat pada Gambar 11.
28
Gambar 11. Penurunan logaritma jumlah mikroba isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC 25923 (log CFU/ml) yang dipanaskan pada suhu 53, 54, 55, dan 56 °C selama waktu tertentuIsolat Staphylococcus aureus NU3 memiliki nilai D53, D54, D55, dan D56 lebih
tinggi dibandingkan dengan isolat AS2 dan ATCC 25923. Nasi uduk biasanya disimpan dalam termos nasi setelah pemanasan (Apriyadi, 2010). Penyimpanan pada suhu hangat ini memberikan paparan panas pendahuluan sehingga isolat NU3 lebih tahan panas daripada isolat lainnya (Jay, 2000). Penyimpanan ayam suwir biasanya terjadi pada suhu ruang sehingga tidak memberikan efek ketahanan panas yang tinggi. Isolat ATCC 25923 merupakan isolat klinis yang berasal dari tubuh manusia yang bersuhu 36-370C. Suhu ini merupakan suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus. Kondisi pertumbuhan optimum tidak memberikan efek ketahanan panas yang lebih tinggi.
Nilai D53, D54, D55, dan D56 isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC
25923 lebih besar daripada isolat Staphylococcus aureus hasil percobaan (Walker dan Harmon, 1966). Keduanya menyelidiki ketahanan panas strain Staphylococcus aureus S-18 dan B-120 pada buffer fosfat dan susu murni. Nilai Dyang lebih kecil pada fosfat buffer mungkin berkaitan dengan kandungan nutrisi pada medium pemanas yang digunakan. Menurut Jay (2006) komposisi (karbohidrat, protein, lemak, dan padatan terlarut), aw (kelembaban), pH, dan zat antimikroba berpengaruh sangat besar terhadap
kerusakan mikroba selama pemanasan. Secara umum, karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut memberikan perlindungan bagi mikroba untuk melawan pemanasan. Ketahanan panas yang besar sebanding dengan peningkatan konsentrasi karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut. Mikroorganisme dalam makanan yang mempunyai ukuran partikel kecil tersuspensi lebih mudah rusak oleh panas daripada dalam makanan padat atau gumpalan. Nilai D Staphylococcus aureus S-18 dan B-120 juga lebih kecil dibandingkan dengan dengan isolat NU3, AS2, dan ATCC 25923 padahal isolat tersebut diuji dengan menggunakan heating mensruum kaya nutrisi seperti susu murni. Isolat S-18 diisolasi dari susu sapi yang terkena penyakit mastitis sedangkan isolat B-120 diisolasi dari makanan penyebab keracunan. Tampak bahwa kandungan nutrisi pada medium pemanas tidak begitu berpengaruh terhadap ketahanan panas bakteri. Kemungkinan perbedaan daya tahan terhadap panas berhubungan dengan sifat isolat atau strain. Spesies dan strain yang berbeda juga memiliki sensitifitas panas yang berbeda pula (Jay, 2006).
29
Nilai D55 untuk isolat AS2 dan ATCC 25923 lebih rendah dibandingkan dengannilai D55 isolat campuran Staphylococcus aureus percobaan Kennedy (2005). Isolat
campuran tersebut memiliki D55 sebesar 13,0 menit. Tingginya nilai D55 isolat campuran Staphylococcus aureus berkaitan dengan pengaruh kondisi lingkungan asal isolat. Isolat
campuran tersebut diisolasi dari lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan bakteri yaitu refrigerator. Kondisi lingkungan yang dingin bisa memicu stress bakteri sehingga bakteri mensintesis heat shock protein. Produksi heat shock protein ini memberikan perlindungan bagi bakteri dan dapat meningkatkan ketahanan panas (Ray dan Bhunia, 2008).
Eden et al. (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Nilai D55 isolat tersebut
sebesar 3,11 menit. Nilai ini juga lebih rendah daripada nilai D55 isolat NU3, AS2, dan
ATCC 25923. Ketahanan Staphylococcus aureus isolat BP3 dan isolat 237 dalam susu kambing dipelajari oleh Parente and Mazzatura (1991). Isolat BP3 memiliki D55 yang
lebih kecil daripadaisolat NU3, AS2, dan ATCC 25923 yaitu sebesar 3,30. Namun, isolat kedua yaitu strain 237 memiliki D55 sebesar 10,60 menit. Nilai ini hampir sama dengan
D55 isolat NU3 dan ATCC 25923 tetapi lebih tinggi daripada isolat AS2.
Nilai D54 isolat AS2, dan NU3 pada uji utama ketahanan panas berbeda dengan
nilai D54 kedua isolat pada tahap pemilahan cepat isolat. Pada tahap pemilahan cepat nilai
D54 isolat AS2, dan NU3 berturut-turut sebesar 19,52 dan 13,40 menit. Akan tetapi, nilai
D54 isolat AS2, dan NU3 sebesar 13,42 dan 23,83 menit. Perbedaan nilai yang berbeda ini
terjadi karena pemilahan cepat isolat dilakukan dengan satu kali ulangan sedangkan pada uji ketahanan panas utama dilakukan dengan dua kali ulangan. Selain itu, media pemupukan yang berbeda juga berperan terhadap perbedaan nilai D tersebut. Pada pemilahan cepat isolat digunakan media pemupukan TSA sedangkan pada uji utama ketahanan panas digunakan media selektif BPA. Dapat disimpulkan bahwa pemilahan cepat isolat dengan menggunakan media TSA dan satu kali ulangan menghasilkan nilai D54 yang kurang akurat dibandingkan dengan uji ketahanan panas dengan menggunakan
media BPA yang ditambahkan egg yolk tellurite.
2. Nilai Z Isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC 25923
Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan suhu. Sensitivitas nilai D terhadap suhu sering dinyatakan dengan nilai Z, yaitu perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 90% atau 1 siklus (Tolledo et al., 1991). Kurva nilai Z dibuat dengan cara memplotkan suhu sebagai sumbu x dengan log nilai D sebagai sumbu y. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat
Staphylococcus aureus AS2 memiliki nilai Z sebesar 4,74-5,10˚C. Nilai Z isolat Staphylococcus aureus NU3 adalah 3,37-3,7˚C. Isolat ATCC 25923 memiliki nilai Z
sebesar 5,59-6,06˚C (Gambar 12.).
Dari hasil ini diketahui bahwa nilai Z terkecil dimiliki oleh isolat NU3. Dapat disimpulkan bahwa Staphylococcus aureus isolat NU3 lebih sensitif terhadap perubahan suhu dibandingkan dengan isolat AS2 dan ATCC 25923. Dari kurva Nilai Z dapat diketahui karakteristik kecendurangan ketahanan panas mikroba. Berdasarkan Gambar 12. dapat diketahui bahwa nilai ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus NU3 lebih tinggi daripada isolat AS2, dan ATCC 25923 pada suhu 53, 54, 55, dan 56°C. Hal ini tidak selalu terjadi apabila suhu pemanasan berubah. Dengan menyamakan persamaan
30
garis kurva Z antar dua isolat dapat diketahui kecenderungan ketahanan panas mikroba. Perpotongan kurva nilai Z isolat NU3 dengan AS2 dan ATCC 25923 berturut-turut terjadi pada suhu 57,62°C, dan 55,9°C. Sedangkan perpotongan isolat AS2 dengan ATCC 25923 terjadi pada suhu 50,32°C. Dua mikroba memiliki ketahanan panas yang sama pada suhu perpotongan yang dihasilkan dari dua persamaan nilai Z (Tolledo, 1991). Jadi isolat NU3 dan AS2 mempunyai ketahanan panas yang sama pada 57,62°C. Pada suhu pemanasan <57,62°C isolat NU3 lebih tahan terhadap pemanasan daripada isolat AS2. Namun, ketahanan panas isolat NU3 lebih kecil dibandingkan dengan isolat AS2 pada pemanasan suhu > 57,62°C. Hal yang sama juga berlaku untuk isolat lainnya.persamaan linier nilai Z isolat NU3, y = -0,297x + 17,50 persamaan linier nilai Z isolat AS2, y = -0,196x + 11,68
persamaan linier nilai Z isolat ATCC 25923, y = -0,165x + 10,12 Gambar 12. Kurva Z-value Isolat AS2, NU3, dan ATCC 25923
Nilai Z Staphylococcus aureus hasil penilitian cukup bervariasi seperti pada hasil penelitian sebelumnya. Nilai Z hasil percobaan Stumbo (1973) adalah 4,6-6,7˚C untuk pemanasan Staphylococcus aureus pada pangan pasteurisasi. Terlihat bahwa isolat AS2 dan ATCC 25923 masuk dalam range nilai Z percobaan Stumbo. Namun, nilai Z isolat NU3 (3,3-3,37˚C) lebih kecil daripada isolat Stumbo. Eden et al. (1977) mendapatkan nilai Z sebesar 9,46˚C, sedangkan isolat campuran Staphylococcus aureus hasil penelitian Kennedy (2005) memiliki nilai Z sebesar 7,70-8,0. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai Z isolat NU3, AS2, dan ATCC 25923. Isolat yang diperoleh dari hasil penelitian lebih sensitif terhadap terhadap perubahan suhu daripada isolat campuran dan isolat hasil percobaan Eden et al. (1977) (Tabel 7.).
Nilai Z Staphylococcus aureus hasil penelitian serupa dengan nilai Z bakteri lainnya yaitu mendekati 50C dengan menggunakan heating menstruum kaya protein seperti daging ayam, chicken broth, TSB dan lain-lain (Tabel 10). Namun, nilai Z
31
Staphylococcus epidermidis. Jika dibandingkan dengan nilai Z bakteri laiinya pada heating menstruum susu nilai Z Staphylococcus aureus lebih kecil dibandingkan dengan
bakteri psikotrof seperti Listeria monocynogenes, Yersinia enterocolitica, dan
Pseudomonas fragi. Nilai ini juga lebih kecil daripada nilai Z bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Eschericia coli, dan Lactobacillus lactis. Terlihat juga bahwa
spora bakteri Clostridium botulinum dan Bacillus cereus memiliki nilai Z yang lebih tinggi daripada isolat lokal AS2, NU3 dan ATCC 25923 (Tabel 6.)
Tabel 10. Perbandingan nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3,dan ATCC 25923 dengan bakteri lain pada heating menstruum kaya protein Mikroorganisme Heating menstruum Nilai Z (˚C) isolat Staphylococcus aureus AS2 TSB 4,74-5,10 isolat Staphylococcus aureus NU3 TSB 3,37-3,7 isolat Staphylococcus aureus
ATCC 25923 TSB 5,59-6,06
Campylobacter jejunia Daging ayam 5,81
Salmonellab Daging ayam 5,35
Listeria monocytogenesb Daging ayam 5,11
Salmonellatyphimuriumc Chicken broth 5,80
Salmonella enteritidisc Chicken broth 5,86
Yersinia enteroliticad Minced beef 5,1
S. epidermidise Daging ayam 7,46
Escherichia coli O-157f breaded pork patties 5,43
a
(Blankenship et al., 1982), b(Murphyet al., 2004), c(Jenuja et al., 2001), d(Bolton et
al., 2000) , e(Bertolatti et al., 2001), f(Osaili et al., 2007)
Nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC 25923 jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai Z komponen kimia dan reaksi kimia (Tabel 11.). Nilai Z untuk ketiga isolat Staphylococcus aureus 3,37-6,06˚C. Artinya, menaikkan suhu pemanasan 3,37-6,06˚C akan mampu menurunkan waktu untuk pemanasan untuk inaktivasi mikroba sebesar satu siklus logaritma. Dengan waktu pemanasan yang sama, laju penurunan mutu kimiawi akan lebih kecil. Menurut (Toledo, 1991), proses pemanasan (sterilisasi atau pasteurisasi) pada suhu tinggi secara umum lebih disukai, karena akan mengurangi waktu proses dan efek letalitas yang sama tetapi dapat meminimalkan kerusakan zat gizi. Pemanasan pada suhu tinggi tidak akan cukup untuk menginaktivasi enzim. Oleh karena itu, inaktivasi enzim biasanya dilakukan selama blansir atau prapemanasan sebelum proses sterilisasi (Toledo, 1991)
32
Tabel 11. Perbandingan nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3,danATCC 25923 dengan komponen kimia dan reaksi kimia
Substansi Nilai Z (˚C) isolat Staphylococcus aureus AS2 4,74-5,10 isolat Staphylococcus aureus NU3 3,37-3,7 isolat Staphylococcus aureus ATCC 25923 5,59-6,06
Enzim* 30-40 Tripsin inhibitor* 60 Vitamin* 20-25 Asam folat* 66 Tiamin wortel* 27 Tiamin pear* 21,2 B12* 50 Pigmen* 40-70 Klorofil bayam* 92 Lisin* 38 Reaksi Mailard* 45 * (Toledo, 1991)
C. EVALUASI KECUKUPAN TERMAL PROSES PEMASAKAN PADA WARUNG SIAP SANTAP DI DESA BABAKAN RAYA
1. Survei Suhu dan Waktu Pemasakan pada Warung Siap Santap
Survei dilakukan di lingkungan kampus IPB. Dari hasil survei diketahui bahwa rata-rata penjual pangan siap santap memanaskan makanan pada suhu diatas 70°C. Pada umumnya pemasakan bakso dan soto serta penanakan nasi uduk dilakukan pada suhu mendekati titik didih air. Penggorengan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi sekitar 160°C. (Tabel 12.).
Setelah didapatkan persamaan nilai Z, dilakukan ekstrapolasi untuk mendapatkan nilai D73 dan D92. Ekstrapolasi pada suhu 92 karena proses perebusan biasanya dilakukan
pada suhu 92-1000C. Sedangkan untuk proses penumisan ekstrapolasi dilakukan pada suhu 730C. Untuk penggorengan, ekstraplasi dilakukan pada suhu 1620C. Hasil ekstrapolasi ini akan digunakan untuk menentukan kecukupan proses pemanasan pada tahap selanjutnya.
33
Tabel 12. Kombinasi suhu dan waktu pemanasan di warung pangan siap santap dilingkungan kampus IPB. No Nama
Warung
Nama Penjual
Bahan yang
Dipanaskan Suhu dan Lama Pemasakan 1. Warteg
Dodo Ibu Dodo
Semur
Jengkol Perebusan 92°C selama 1 jam 2. Tenda
Kuning Ibu Ika Siomay Perebusan 86°C terus menerus 3. Perwira Ibu Ramsik Soto Daging Perebusan daging 92°C selama 3 jam 4. Bakso
Favorit Mas Doel Bakso Perebusan 96°C selama 1 jam 5. RM
Padang Andalas
Ibu Zanimar
Ikan Bakar Pembakaran 73°C selama 10 menit Ayam Bakar Perebusan 94°C selama 2 jam,
Pembakaran 5-6 menit
7. Bara 3 Ibu Tini Ayam Srundeng
Perebusan 94°C selama 1 jam, Pencampuran srundeng 95°C selama 1 jam
8.
Nasi Uduk dekat Ciber
Ibu Narsih Nasi Uduk Pengaronan 95°C selama 30 menit, Pengukusan 82°C selama 33 menit
9. Bara 3
ujung Nasi Biasa
Pengaronan 94°C selama 28 menit, Pengukusan 83°C selama 25 menit 10. Soto H
Iyas Soto Daging Perebusan daging 95°C selama 3 jam, 11. Warung
Salsabila Mba Yani Tumis Kacang Penumisan 73 °C selama 5-10 menit 12. Wartono Tempe dan
tahu Penggorengan 2-3 menit, 165°C 13. Amirudin Kentang
kering Penggorengan 2-3 menit, 165°C 14.
Bara 4 Ibu Oon Suganda
Gado gado Pengukusan, 89 °C selama 5 menit Ketoprak Pengukusan, 89 °C selama 5 menit 15. Bantolo P Raharjo Bakso Perebusan 95°C selama 1 jam
Sawargi Ibu Yeti
Opor Ayam Perebusan 95°C selama 1 jam
16. Balado
Terong Penumisan 73 °C selama 5-10 menit Ikan Goreng
34
2. Penentuan Kecukupan Termal Proses Pemasakan pada Warung Siap Santap di DesaBabakan Raya
Ekstrapolasi dilakukan untuk menentukan keefektifan proses pemanasan yang biasa dilakukan masyarakat berdasarkan hasil survei. Dari nilai ekstrapolasi ini akan ditentukan jumlah penurunan Staphylococcus aureus selama pemasakan dengan menggunakan rumus log (N0/Nt) = tT/DT. Simbol tT menyatakan lama pemasakan
sedangkan simbol DT menunjukkan nilai D hasil ekstrapolasi. Nilai D73 dan D92 hasil
ekstrapolasi dapat dilihat pada (Table 13). Tampak bahwa pemanasan makanan pada suhu 73°C selama 0,00006-0,011 menit mampu membunuh bakteri Staphylococcus
aureus sebesar satu siklus log. Pemanasan pada suhu 92°C mampu membunuh mikroba
satu siklus log selama 1,5x10-10 - 1,93 x10-6 menit. Jika diinginkan penurunan jumlah
Staphylococcus aureus sebesar 12D (12 siklus log) dan 5D (5 siklus log), dibutuhkan
pemanasan pada suhu 92 °C masing-masing selama 0,132 menit (0,011x12 menit) dan 0,055 menit (0,011x5 menit).
Tabel 13. Ekstrapolasi persamaan nilai Z isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC 25923 untuk menentukan D73 dan D92
Isolat Nilai D73 (menit) Nilai D92 (menit) Nilai D162 (menit) NU3 (ulangan 1) 0,0002 1,62x10-9 5,75x10-28 NU3 (ulangan 2) 0,00006 1,5x10-10 2,43x10-31 AS2 (ulangan 1) 0,001 1,25 x10-7 2,13x10-22 AS2 (ulangan 2) 0,002 4,4 x10-7 8,47x10-21 ATCC 25923 (ulangan 1) 0,006 1,93 x10-6 3,52x10-19 ATCC 25923 (ulangan 2) 0,011 8,70 x10-6 2,45x10-17
Jika dibandingkan dengan ketahanan panas komponen kimia, nilai D73 dan D92
komponen kimia lebih tinggi daripada nilai D73 dan D92 isolat lokal Staphylococcus aureus. Hasil Ekstrapolasi persamaan nilai Z isolat lokal dengan komponen kimia dapat
dilihat pada (Tabel 14). Dari tabel tersebut tampak bahwa senyawa kimia memiliki nilai D73 dan D92 yang jauh lebih tinggi daripada isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan
ATCC 25923. Jadi proses penumisan dan perebusan pada suhu 73 dan 920C menurunkan konsentrasi senyawa kimia lebih kecil dibandingkan dengan penurunan jumlah baketeri.
Tabel 14. Nilai D73 dan D92 beberapa komponen kimia dan reaksi kimia
Isolat Nilai D73 (menit) Nilai D92(menit)
Enzim 59,17 16,96
Tripsin inhibitor 84,24 40,63
Vitamin 400,56 jam 57,31 jam
Asam folat 10,44 hari 5,38 hari Tiamin wortel 159,2 jam 31,50 Tiamin pear 507,65 jam 64,47 jam
35
Pigmen 243,43 109,89
Klorofil bayam 43,33 26,93
Lisin 241,58 76,39
Reaksi Mailard 52,74 hari 19,95 (Toledo, 1991)
Pemanasan pada suhu 92°C selama satu jam mampu mereduksi jumlah mikroba sebesar 6,9x106 siklus log. Penumisan pada suhu 73°C selama 5 menit mengurangi jumlah mikroba sebesar 454,5 siklus log. Penggorengan pada suhu 162°C selama dua menit mampu mereduksi Staphylococcus aureus 8,62x10-16. Jumlah awal Staphylococcus aureus pada nasi rames sebesar 1,0x103 CFU/gr (Hartini, 2001). Karena pengolahan dan komposisi nasi uduk serupa dengan nasi rames, jumlah awal Staphylococcus aureus pada nasi uduk berarti 1,0x103 CFU/gr. Dengan mengasumsikan bahwa satu bungkus nasi uduk memiliki berat 100 gram, dapat diketahui bahwa jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk sebesar 1,0x103x100 CFU/bungkus (1,0x105 CFU/bungkus). Jumlah Staphylococcus aureus setelah pemanasan pada suhu 92°C selama lima menit, penumisan pada suhu 73°C selama lima menit dan pengorengan pada suhu pada suhu 162°C mampu dieduksi sampai level yang sangat rendah (<1:10449,5) CFU/bungkus (Tabel 15). Sebagai contoh, jika peluang keberadaan
Staphylococcus aureus setelah penanakan nasi uduk pada suhu 920C selama 60 menit sebesar 1:106,9x(10^6) dapat didefiisikan bahwa dari 106,9x(10^6) nasi uduk yang diproduksi terdapat satu bungkus nasi uduk yang mengandung Staphylococcus aureus. Tampak bahwa resiko keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan setelah proses perebusan, penumisan, dan peggorengan sangat kecil. Standar maksimum Staphylococcus aureus pada bahan pangan yang tidak dikemas menurut New Hamshire Guidline adalah 1x102 CFU/gr (Shapton, 1993) sedangkan menurut BPOM (2004) adalah sebesar 0-5x103 CFU/gr. Karena satu bungkus nasi uduk diasumsikan memiliki berat 100 gr, batas cemaran maksimum Staphylococcus aureus pada nasi uduk berarti sebesar 5x103x100 gr (5x105 CFU/bungkus). Berdasarkan Tabel 15. terlihat bahwa proses pemasakan makanan di warung siap santap Desa Babakan Raya efektif untuk mereduksi jumlah mikroba sampai level yang tidak membahayakan (<5x105 CFU/bungkus).
Tabel 15. Penurunan log Staphylococcus aureus dan jumlah Staphylococcus aureus setelah proses pemasakan pada suhu dan waktu tertentu
Proses Pemasakan Suhu (0C) Waktu Penurunan Log Jumlah Mikroba (S) Peluang S. aureus setelah pemanasan (Nt) (CFU/bungkus) Keefektifan Proses Pemasakan
Perebusan 92 1 jam 6,9x106 1:106,9x(10^6) Efektif Penumisan 73 5-10 menit 454,5 1:10449,5 Efektif Penggorengan 162 2 menit 8,2x1016 1:108,2x(10^16) Efektif