• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLEH : Nurhasima NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OLEH : Nurhasima NIM:"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PERESEPAN DAN KETEPATAN PEMBERIAN

ANTASIDA, PPI (PROTON PUMP INHIBITOR), DAN

AH2 (ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN TIPE 2)

PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS

RENGAS KOTA TANGERANG SELATAN PERIODE

JANUARI-APRIL 2019

Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Nurhasima

NIM: 11161030000077

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)

iii ABSTRAK

Nurhasima. Program Studi Kedokteran. Pola Peresepan dan Ketepatan Pemberian Antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019.

Latar belakang: Dispepsia termasuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat Indonesia dan sangat sering ditemukan di Faskes (fasilitas kesehatan) tingkat satu. Pemberian tatalaksana farmakologi dispepsia yang tersedia di Faskes tingkat satu adalah antasida, PPI berupa omeprazol dan AH2 berupa ranitidin, obat tersebut diberikan kepada pasien baik yang didiagnosis dispepsia maupun penyakit lainnya yang membutuhkan antasida, PPI dan AH2. Tujuan: Mengetahui distribusi pemberian antasida, PPI dan AH2 kepada pasien berdasarkan jenis kelamin, usia, gejala dan diagnosis, pola peresepan dan ketepan pemberiannya serta mengetahui potensi interaksi dengan obat lain pada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019. Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder, desain yang digunakan adalah desain penelitian potong lintang (cross-sectional). Hasil: Berdasarkan 138 pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan yang mendapatkan terapi antasida, PPI dan AH2 periode Januari-April 2019 ditemukan bahwa pasien perempuan lebih dominan dibandingkan pasien laki-laki dengan persentase 73%:27%, pasien didominasi oleh usia dewasa muda sampai lansia dengan rentang usia 20-60 tahun dengan gejala dan diagnosis kerja terbanyak penyakit gastrointestinal berupa dispepsia. Ketepatan penggunaan obat rasional antasida, PPI dan AH2 pada pasien adalah tepat indikasi 100%, tepat diagnosis 99,2%, tepat pemilihan obat 98,5%, dan tepat dosis 100%. Pada penelitian ini ditemukan 12 jenis potensi interaksi dengan jumlah keseluruhan 81 kasus potensi interaksi obat

.

(4)
(5)

v ABSTRAK

Nurhasima. Program Studi Kedokteran. Pola Peresepan dan Ketepatan Pemberian Antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019.

Latar belakang: Dispepsia termasuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat Indonesia dan sangat sering ditemukan di Faskes (fasilitas kesehatan) tingkat satu. Pemberian tatalaksana farmakologi dispepsia yang tersedia di Faskes tingkat satu adalah antasida, PPI berupa omeprazol dan AH2 berupa ranitidin, obat tersebut diberikan kepada pasien baik yang didiagnosis dispepsia maupun penyakit lainnya yang membutuhkan antasida, PPI dan AH2. Tujuan: Mengetahui distribusi pemberian antasida, PPI dan AH2 kepada pasien berdasarkan jenis kelamin, usia, gejala dan diagnosis, pola peresepan dan ketepan pemberiannya serta mengetahui potensi interaksi dengan obat lain pada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019. Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder, desain yang digunakan adalah desain penelitian potong lintang (cross-sectional). Hasil: Berdasarkan 138 pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan yang mendapatkan terapi antasida, PPI dan AH2 periode Januari-April 2019 ditemukan bahwa pasien perempuan lebih dominan dibandingkan pasien laki-laki dengan persentase 73%:27%, pasien didominasi oleh usia dewasa muda sampai lansia dengan rentang usia 20-60 tahun dengan gejala dan diagnosis kerja terbanyak penyakit gastrointestinal berupa dispepsia. Ketepatan penggunaan obat rasional antasida, PPI dan AH2 pada pasien adalah tepat indikasi 100%, tepat diagnosis 99,2%, tepat pemilihan obat 98,5%, dan tepat dosis 100%. Pada penelitian ini ditemukan 12 jenis potensi interaksi dengan jumlah keseluruhan 81 kasus potensi interaksi obat

.

(6)

vi ABSTRACT

Nurhasima. Medicine Study. Prescribing Pattern and Antacids, PPI (Proton Pump Inhibitor), and AH2 (Type 2 Histamin Receptors Antagonists) Drug Prescribing Exactness on Outpatient of Puskesmas Rengas, South Tangerang City on January to April 2019.

Background: Dyspepsia is one of 10 most common diseases suffered by

Indonesians and often found in primary health care provoder. Treatments given by primary health care provoder for dyspepsia are antacids, PPI (Omeprazole), and AH2 (Ranitidine). Those drugs were given to dyspepsia patients and other patients who need to be given antacids, PPI and AH2. Objective: To understand the distribution of antacids, PPI and AH2 to patients according to sex, age, symptoms, and diagnosis, prescribing patterns and prescribing exactness and also to determine drug interaction potentials with other drugs on outpatients of Puskesmas Rengas, South Tangerang City on January to April 2019. Method: This study is a descriptive study using secondary data. This study used cross-sectional design. Result: Based on 138 outpatients on Puskesmas Rengas, South Tangerang City who received antacids, PPI and AH2 on January to April 2019, it was found that female patient is more often than male patient with ratio of 73%:27%, patients are group were predominantly young adults to elderly people with age range of 20-60 years old with symptoms and working diagnosis predominantly dyspepsia. The rationality of drug prescribing was 100% indication precise, 99,2% diagnosis precise, 98,5% drug choice precise, and 100% dosage precise. On this study there were found 12 potentials of drug interaction with 81 cases in total amount of drug interactions potentials.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan berkahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam tidak lupa pula kita sertakan kepada baginda Rasulullah SAW manusia terbaik dimuka bumi, semoga di hari akhir nanti kita mendapatkan syafaat dari beliau, aamiin ya rabbal `alamiin.

Dalam proses pembuatan dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pola

Peresepan dan Ketepatan Pemberian Antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019”

tentunya penulis tidak lepas dari peranan berbagai pihak yang memberikan bimbingan, dukungan, bantuan dan doa sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis ingin memberikan penghormatan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang terlibat, diantaranya:

1. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI yang telah memberikan Program Beasiswa Santri Berprestasi kepada penulis sehingga dapat mengenyam Pendidikan Kedokteran di FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. H. Hari Hendarto, Ph.D, Sp.PD.KEMD, dr. Flori Ratna Sari, Ph.D, dr.Fika Ekayanti, M. Med, Dr. Endah Wulandari, M. Biomed selaku Dekan dan Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M. Epid selaku Ketua Program Studi

Kedokteran Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK selaku pembimbing satu serta dr Nurmila Sari, M.Kes selaku pembimbing 2 yang telah memberikan banyak ilmu, wawasan, dan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Almh. dr. Riva Auda, Sp.A selaku dosen pembimbing 1 penulis sebelumnya

(8)

viii

6. dr. Cut Warnaini dan dr. Taufik Zain, Sp.OG sebagai dosen Pembimbing Akademik yang sangat penulis hormati, yang selalu memotivasi, dan selalu menjadi tempat curahan hati bagi penulis di saat kesulitan.

7. dr. Femmy Nurul Akbar, Sp.PD., KGEH selaku dosen penguji 1 dan dr. H. Meizi Fachrizal Achmad, M. Biomed selaku dosen penguji 2 yang telah memberikan ilmu, saran dan kritik akan hasil penelitian penulis.

8. Drg. Laifa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset angkatan 2016 yang telah mengajari banyak hal tentang riset dan menyemangati kami untuk menyelesaikan penelitian secepat mungkin.

9. Kepada seluruh staff di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan yang telah membantu dan mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian.

10. Seluruh staf dosen FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan berbagai pengajaran hidup sebagai bekal bagi penulis untuk menjadi seorang dokter muslim yang baik, bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

11. Kedua orang tua penulis, Bapak Syartunis dan Ibu Nurhayati yang sangat penulis hormati dan cintai, yang telah banyak memberikan perhatian dan mendukung penulis, baik dari segi waktu, ilmu, pengajaran, pengalaman hidup, motivasi, semangat, dukungan serta doa yang tak henti-hentinya mengalir agar penulis dapat menjadi dokter yang hafidzah. Serta banyak hal yang tidak dapat penulis ungkapkan satu persatu.

12. Kepada kakek nenek dan keluarga besar penulis yang turut mendukung, menyemangati, dan mendoakan penulis sampai sejauh ini. Tidak lupa kepada adik-adik penulis yakni Syaiful Adri, Suci Ramadhani, M. Hendra Fahmi, dan si bayi M. Alfaridzi yang telah menyemangati dan menjadi pelipur lara penulis.

13. Ustadz Gustrivoni, S. Ag, M.Pd sebagai Pimpinan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Assalam Naga Beralih, Ustadz M. Amin S.Ag M.Pd sebagai Pimpinan Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Assalam Naga Beralih serta jajaran ustadz-ustadzah dan pengasuh Pondok Pesantren Assalam Naga Beralih yang telah membimbing dan menanamkan nilai keislaman dan

(9)

ix

keilmuan pada diri penulis, membantu, menyemangati, dan menasehati penulis selama 6 tahun di Pesantren.

14. Ustadz Luqmanul Hakim, Lc beserta istri dan anak yang sudah menemani, memotivasi, dan menjadi guru peneliti dalam menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 Juz.

15. Teman sejawat dan sekelompok dalam mengerjakan skripsi Zely Martiani, Maghfiratulliza, Nila Rahadatul Aisy, Vina Izzatul Awaliyah, Dwi Sheila Fauziayang telah membantu dan saling memotivasi satu sama lain.

16. Teman dan adik-adik seperjuangan Rumah Tahfidz Cahaya Hati EL-Agung Bogor. Sahabat-sahabat terbaik penulis ALMITIMA yakni Nurul Nabilah, Siti Aminah, Ukhti Humairoh yang selalu memotivasi dan mewarnai hidup penulis, Kepada Elzahir yang selalu sabar dalam menemani penulis untuk proses belajar dan banyak memberikan pengalaman hidup.

17. Saudara-saudara MAESTRO ku yang telah menemani dan menyemangati penulis selama ini, begitupun PACEMAKER yang telah bersedia menemani dan sigap turun saat penulis kesulitan.

18. Ustadzah Malih Najihah selaku guru tahfidz penulis di Rumah Tahfidz Alif serta seluruh saudariku di Rumah Tahfidz Alif yang sangat baik dan mendukung setiap kegiatan penulis.

Masih banyak lagi pihak yang turut serta dalam membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan proposal penelitian ini, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan keikhlasan dengan pahala yang berlipat ganda, keberkahan, serta keridhoanNya, dan semoga laporan penelitian ini dapat memberikan banyak manfaat bagi berbagai golongan.

Ciputat, November 2019

(10)

x DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 2 1.3 Tujuan Penelitian ... 2 1.3.1 Tujuan Umum ... 2 1.3.2 Tujuan khusus ... 3 1.4 Manfaat penelitian ... 3 1.4.1 Bagi Institusi ... 3 1.4.2 Bagi Masyarakat... 3 1.4.3. Bagi Peneliti ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Landasan Teori ... 4

2.1.1 Dispepsia ... 4

2.1.2 Fisiologi sekresi asam lambung ... 4

2.1.3 Terapi ... 6

2.1.4 Interaksi obat... 12

2.1.5 Pembahasan Interaksi Obat ... 13

2.1.6 Kriteria Penggunaan Obat yang Rasional ... 17

2.2 Kerangka Teori ... 20

2.3 Kerangka Konsep ... 21

2.4 Definisi Operasional ... 22

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Desain Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi dan Sampel ... 23

3.3.1 Populasi Target ... 23 3.3.2 Populasi Terjangkau ... 23 1.3.3 Kriteria sampel ... 24 3.4 Besar Sampel ... 24 3.5 Cara Kerja ... 25 3.6 Managemen Data ... 26 3.6.1 Persiapan penelitian ... 26 3.6.2 Pengambilan sampel ... 26 3.6.3 Pengolahan Data ... 26 3.6.4 Analisis Data ... 26

(11)

xi

3.6.5 Penyajian Data ... 27

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Distribusi Pasien yang Mendapatkan Terapi Antasida, PPI, dan AH2 Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan Gejala serta Diagnosis Pasien Di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019. . 28

4.2 Nama Obat, Golongan dan Jumlah Obat yang Diberikan Bersamaan dengan Antasida, PPI, dan AH2 Pada Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019. ... 31

4.3 Interaksi Obat ... 33

4.4 Keterbatasan Penelitian ... 34

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1 SIMPULAN ... 36

5.2 SARAN ... 36

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fase sefalik dan fase gastrik. ... 5 Gambar 2.2 Mekanisme sintesis HCl secara kimiawi. Sumber Goodman and

Gillman edisi 30, 2018 ... 6 Gambar 2.3 Susunan kimia jeni-jenis PPI. Sumber Goodman and Gillman edisi 30, 2018 ... 8 Gambar 2.4 Struktur kimia ranitidin. Goodman and Gillman edisi 30, 2018 ... 11

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2 1. Antasida DOEN. Sumber: Farmakologi UI edisi 6 2016 ... 7

Tabel 2 2. Omeprazol. Sumber : Farmakologi dan tarapi UI 2016, Katzung 2018, Goodmann and Gillman 2018. ... 10

Tabel 2 3. Ranitidin .Sumber : Farmakologi dan Terapi UI 2016 ... 11

Tabel 2 4. Definisi Operasional ... 22

Tabel 4.1 Sebaran kualitatif sampel berdasarkan jenis kelamin………... 28

Tabel 4.2 Persebaran pemberian antasida, PPI, dan AH2 berdasarkan usia. ... 29

Tabel 4.3 Distribusi Diagnosis Pasien pada Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019 ... 30

Tabel 4.4 Jenis obat lain yang diberikan bersamaan dengan Antasida, PPI dan AH2. ... 31

Tabel 4 5. Analisis Ketepatan Peresepan Antasida, PPI, AH2. ... 32

Tabel 4.6 Sebaran interaksi obat Antasida, PPI dan AH2 dengan obat lain di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019. ... 33

(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2 1. Kerangka teori ... 20 Bagan 2 2. Kerangka konsep ... 21 Bagan 3 1. Alur penelitian………... 26

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

PPI : Proton Pump Inhibitor

AH2 : Antagonis Reseptor Histamin 2

HCl : Hydrochlorid Acid

NSAID : Nonsteroidal Anti-Inflamatory Drugs Faskes : Fasilitas Kesehatan

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

Ach : Asetilkolin

Sel G : Sel Gastrin

Sel ECL : Entero Cromatin Cell H2O : Hidrogen Monoksida

CO2 : Karbondioksida

K+ : Kalium

CL- : Clorida

Kemenkes : Kementrian Kesehatan

Depkes RI : Departemen Kesehatan Rakyat Indonesia OAINS : Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid

FORNAS : Formularium Obat Nasional GERD : Gastroesophageal Reflux Disease

DM : Diabetes Mellitus

PJK : Penyakit Jantung Kronik IBS : Irritable Bowel Desease H. Pylori : Helicobacter Pylori

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Obat di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019

2. Daftar Diagnosis Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Rengas yang Mendapatkan Terapi Antasida, PPI Dan AH2`

3. Surat Persetujuan Etik

4. Surat Keterangan Izin Penelitian 5. Riwayat Penulis

(17)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penderita dispepsia atau gangguan lambung pada populasi umum dunia berkisar antara 10%-15%dengan 3%-5% terdapat di Amerika Selatan dan 50% di Eropa. Dispepsia juga merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2011 dispepsia masuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit1, hampir 30% pada praktik umum dan 60%

pada praktik gastroenterologis, rata-rata pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, dan kembung1.

Dispepsia disebabkan oleh peningkatan asam lambung (HCl) dan atau kerusakan epitel mukosa lambung. Gejala yang muncul menurut ROME II tahun 1996 dapat berupa nyeri tekan epigastrium berulang, mual, muntah, perasaan kembung atau begah dan mudah kenyang yang dirasakan oleh pasien tanpa disertai penyebab organik2,3,4,5. Faktor risiko meningkatnya asam lambung dapat

berasal dari berbagai hal seperti defek sel intrinsik lambung, rangsangan dari makanan pedas, makanan asam, kafein, rokok, alkohol, psikis, kerusakan epitel mukosa lambung akibat infeksi Helicobacter pylori dan penggunaan NSAID dalam jangka waktu lama6,7,8.

Tatalaksana dispepsia bertujuan untuk mengurangi efek dari peningkatan sekresi HCl ataupun menghambat sekresi HCl, dan pengobatan yang tersedia di Faskes tingkat 1 yakni antasida kombinasi (DOEN), PPI jenis omeprazol, dan AH2 jenis ranitidin9,10. Dewasa ini, antasida, PPI dan AH2 sangat lazim diberikan

pada pasien yang memiliki gejala di atas sehingga perlu diketahui lebih lanjut lagi mengenai pola peresepan, ketepatan pemberian, dan kemungkinan kejadian interaksi jika diberikan bersamaan dengan obat lain. Penelitian di RSUD Moewardi yang dilakukan oleh Hannisa Nur Farikhah pada tahun 2016 ditemukan bahwa kejadian interaksi ondansentron-antasida terjadi sebanyak 19,74% pada pasien dengan gangguan lambung11. Kejadian interaksi tersebut berhubungan

dengan ketepatan peresepan yang berdasarkan kepada penggunaan obat rasional, salah satu indikatornya yakni tepat edukasi atau informasi yang harusnya dijelaskan dengan baik kepada pasien tentang cara dan waktu minum obat

(18)

2

khususnya ondasentron dan antasida tidak boleh diminum dalam waktu yang bersamaan karena akan meningkatkan risiko aritmia dan gangguan elektrolit pada pasien. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin meneliti lebih lanjut bagaimana pola peresepan dan ketepatan pemberian antasida, PPI, dan AH2 kepada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019. Semoga hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya terkhusus di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka penulis menentukan pertanyaan penelitian yakni;

1. Bagaimana pola peresepan antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor) dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) pada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019?

2. Apakah pemberian antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor) dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) pada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019 sudah sesuai dengan kriteria penggunaan obat rasional?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui pola peresepan dan ketepatan pemberian antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor) dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) berdasarkan kriteria penggunaan obat rasional pada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019.

(19)

3

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui jumlah dan persentase dari pengunaan obat rasional dan ketepatan pemberian antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) yang sesuai dan tidak sesuai pada Puskesmas.

2. Mengetahui jumlah dan jenis obat-obat lain yang berpotensi megalami interaksi dengan antasida, PPI (Proton Pump Inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) pada Puskesmas.

1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Bagi Institusi

1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi dan tugas Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

2. Sebagai sumber referensi bagi pihak yang terkait dan bagi yang membutuhkan.

1.4.2 Bagi Masyarakat

1. Sebagai bahan evaluasi guna meningkatkan kewaspadaan teman sejawat agar benar dan tepat dalam memberikan terapi medikamentosa terhadap pasien khususnya pada pasien dispepsia.

2. Untuk dapat membuktikan bahwasanya terdapat potensi interaksi pada berbagai jenis obat yang dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan.

3. Menghindari potensi peresepan obat yang tidak rasional dan potensi kejadian interaksi obat yang merugikan pada pasien.

1.4.3. Bagi Peneliti

1. Sebagai sarana pengamalan ilmu pengetahuan selama mempelajari hal terkait.

2. Menambah pengetahuan tentang berbagai macam jenis, kerja obat, pola peresepan rasional dan potensi interaksi yang mungkin terjadi jika digabungkan dengan obat lain.

(20)

4 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Dispepsia

Dispepsia berasal dari bahasa Greek yakni “dys” yang berarti buruk dan “pepsis” yang berarti pencernaan atau dalam bahasa lain berarti gangguan pencernaan6. Dispepsia merupakan kumpulan dari berbagai macam gejala

gastrointestinal mencakup bagian anatomi esofagus, lambung, duodenum, pankreas dan hepar yang disebabkan oleh peningkatan pH intragastrik akibat rangsangan oleh faktor internal dan eksternal6,13..

Dispepsia dibagi menjadi dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Dispepsia fungsional menurut ROME II tahun 1996 dikatakan positif jika pasien mengalami satu atau lebih gejala seperti nyeri epigastrium, nyeri setelah makan, mudah kenyang, dan perasaan terbakar di epigastrium, gejalanya dapat timbul dari 6 atau 3 bulan yang lalu5,14. Diagnosis dispepsia organik ditegakkan jika

ditemukannya tanda dan gejalaseperti melena, muntah darah dan lain sebagainnya dari waktu yang sudah ditetapkan, dalam hal ini tenaga medis akan melakukan peninjauan ulang dengan bantuan alat penunjang seperti endoskopi dan dicurigai terdapat patologi penyakit organik seperti ulkus peptikum, gastritis, batu kandung empedu, keganasan, kelainan anatomi, kelainan biokomiawi, dan lain sebagainnya5.

2.1.2 Fisiologi sekresi asam lambung

Sel parietal memproduksi HCl berkisar 160 mmol/L, distimulasi oleh faktor intrinsik (Ach, gastrin dan histamin) dan faktor ekstrinsik (makanan asam, makanan pedas, kafein dan psikis)13. Untuk mekanisme dari pembentukan HCl

ini, terdapat beberapa tahap yang akan dilalui yakni: 1. Cephalic phase atau fase sefalik

Persepsi di batang otak yang distimulus oleh rangsangan seperti bau, visual, dan rangsang kecap yang nantinya akan dihantarkan melalui perantara nervus vagus sehingga akan meningkatkan aktivitas lambung

(21)

5

seperti aktivasi Ach, kemudian Ach akan ditangkap oleh sel parietal untuk sintesis HCl15.

2. Gastrik phase atau fase gastrik

Fase ini terjadi saat lambung sudah terisi oleh makanan sehingga terjadi distensi dan perubahan pH intralambung, saat banyak peptida di lambung yang berasal dari makanan, peptida ini akan merangsang sel G atau sel gastrin untuk menghasilkan gastrin kemudian merangsang sel ECL untuk mensekresi histamin dan akhirnya histamin ini juga akan merangsang sel parietal untuk produksi HCl15.

Gambar 2.1 Fase sefalik dan fase gastrik. Sumber : Fisiologi Costanzo ed 20, 2010.

Setelah sel parietal dirangsang oleh faktor-faktor di atas maka proses dibentuknya HCl terjadi, awalnya H2O dan CO2 yang terdapat di dalam sel

parietal yang merupakan hasil dari metabolisme sel parietal itu sendiri mempunyai enzim yang dinamakan carbonic anhydrase yang nantinya akan mengkatalis terjadinya reaksi antara H2O dan CO2 menjadi H2CO3, reaksi

kimianya:

CO2+H2OCAH H2CO3 HCO3-+H+

H2CO3 akan terpecah menjadi H+ dan HCO3-. HCO3- nantinya akan

keluar melalui HCO3-CO- antiporter yang mana HCO3- akan dikeluarkan menuju

kapiler darah dan CO- dari intersisial fluid akan masuk ke sel parietal, sedangkan

H+ nya yang memiliki proton pump H+K+ATP-ase (transporter khusus yang ada

(22)

6

mekanismenya sama seperti Na+K+ATP-ase tapi letaknya saja yang berbeda. H+

tadi yang melewati transpor aktif proton pumpakan menyebabkan keluarnya H+

dari lumen gaster, sedangkan K+ akan masuk dan nantinya akan keluar lagi

melalui potassium ion channel secara sito diffusion, setelah itu untuk CL- yang

tadi masuk melalui intersisial fluid karena adanya HCO3- yang keluar melalui

aktifasi porter nantinya akan keluar menuju lumen gaster melalui chloride ion channel (CL- ion channel) tadi H+ dan CL- yang sudah ada pada lumen gaster

keduanya akan bereaksi membentuk HCl- atau asam hidroklorida di intragaster17.

Gambar 2.2 Mekanisme sintesis HCl secara kimiawi. Sumber: Goodman and Gillman edisi 30, 2018. 2.1.3 Terapi

Prinsip pengobatan pada dispepsia fungsional selain merubah pola hidup adalah menetralkan atau menurunkan sekresi asam lambung, pilihan obat dispepsia yang tersedia di Faskes tingkat satu dan di FORNAS yakni antasida, PPI (Proton pump inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2) 8,18,19.

1. Antasida a. Definisi

Antasida merupakan senyawa dengan sifat basa lemah yang dapat berinteraksi dengan HCl sehingga dapat mengurangi keasaman pH lambung dan hasil interaksinya juga dapat menghasilkan garam dan air19, 20, 21.

b. Mekanisme kerja

Kerja antasida bukan sebagai inhibitor sekresi HCl akan tetapi hanya sebagai penetral pH intralambung yang asam, dan juga tidak dapat membasakan HCl secara signifikan akan tetapi

(23)

7

maksimal kekuatannya hanya sampai pada pH 4 dari yang awalnya pH intralambung 1,320.

c. Klasifikasi

Antasida terbagi menjadi 2 jenis, yakni antasida sistemik dan antasida non sistemik. Antasida sistemik merupakan antasida yang dapat memberikan efek secara sistemik, contohnya adalah natrium bikarbonat yang sifatnya mudah diabsorbsi di usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis. Hal ini sangat membahayakan jika diberikan kepada pasien gagal ginjal, karena dapat mengakibatkan alkalosis metabolik dan meningkatkan peluang pasien mengalami nefrolitiasis fosfat, sedangkan antasida non sitemik merupakan antasida yang tidak memberikan gejala sistemik pada penggunaannya karena sifatnya sendiri mudah larut dan tidak diabsorbsi usus contohnya adalah kalsium karbonat, magnesium hidroksida dan alumunium hidroksida20.

Menurut FORNAS 2017, sediaan yang tersedia di Faskes tingkat satu adalah tablet kunyah 200 mg dan suspensi 200 mg.

Dalam satu gram alumunium hidroksida dapat menetralkan 25 mEq HCl8,20.

Tabel 2 1. Antasida DOEN.

Definisi Antasida Doen/kombinasi ini merupakan gabungan dari alumunium

hidroksida dan magnesium hidroksida yang masing-masing komponennya bersifat beda, dan untuk menghindari efek salah satu dari keduanya (diare dan konstipasi), maka dibuatlah sediaan yang mengandung kedua komponen ini.

Indikasi Meringankan gejala-gejala akibat hipersekresi asam lambung atau

HCl seperti dispepsia, tukak peptik dan GERD.

Kontra-indikasi Kontraindikasi jika diberikan kepada pasien yang hipersensitif

terhadap alumunium dan magnesium.

Efek samping Gangguan saluran cerna, gangguan absorbsi fosfat dan

hipermagnesemia pada penderita gagal ginjal.

Sediaan Tablet dan sirup, tiap satu tablet atau 5 ml antasida DOEN

mengandung alumunium hidroksida 200 mg dan magnesium hidroksida 200 mg, diberikan dengan dosis 1-2 tablet sebelum makan maksimal 4 kali sehari, tablet dikonsumsi dengan cara dikunyah.

(24)

8

d. Efek samping

i. Sindrom susu alkali

Pasien yang minum susu setelah mengkonsumsi antasida kemungkinan akan terjadi interaksi, yakni berupa protein susu yang akan meningkatkan absorbsi kalsium sehingga akan terjadi hiperkalsemia, alkalosis ringan, dan paling fatal akan terbentuk batu ginjal dan gagal ginjal kronik20.

ii. Neurotoksisitas

Alumunium yang diabsorbsi di usus halus dapat menyebar secara sistemik dan terakumulasi di berbagai tempat, jaringan yang paling fatal terkena dampaknya adalah jaringan otak yang mana dapat mengakibatkan ensefalopati pada pasien gagal ginjal kronik dan dapat menimbulkan alzheimer20.

iii. Gangguan saluran cerna

Magnesium hidroksida bersifat katartik, reaksi akhir pemecahan magnesium jika bertemu degan HCl adalah garam dan air yang mana jika penggunaannya secara terus menerus akan menyebabkan diare pada pasien14.

2. PPI ( Proton Pump Inhibitor) a. Definisi dan struktur kimia

Gambar 2.3 Susunan kimia jenis-jenis PPI. Sumber Goodman and Gillman edisi 30, 2018

PPI merupakan obat yang paling sering digunakan dalam dekade terakhir ini karena keamanan dan tingkat efikasinya yang tinggi2

. PPI dikenal sejah tahun 1980-an dan merupakan obat yang

paling ampuh untuk mengobati tukak lambung. PPI juga merupakan obat yang memberikan efek lokal. Jenis-jenis PPI yakni

(25)

9

omeprazol, lansoprazol, rabeprazol, pantoprazol, dan esomeprazol. Secara kimiawi, susunan masing-masing isomer PPI hampir mirip bedanya hanya pada substitusi di cincin pridin dan atau benzimidazol19,20.

b. Mekanisme

i. Farmakodinamik

PPI merupakan prodrug yang bekerja pada suasana asam, setelah diabsorbsi dan masuk ke inravaskular, obat ini akan berdifusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli dan akan bekerja di daerah tersebut. Kerja PPI lebih kuat dibandingkan AH2 reseptor, karena PPI bekerja langsung pada pompa proton, yang mana bentuk aktif PPI berupa sulfonamid tetrasiklik akan berikatan dengan gugus sulfhidril K+,H+ATPase (pompa proton) sehingga terjadi proses

penghambatan kerja gugus sulfhidril K+,H+ATPase yang

nantinya akan dimanfaatkan untuk produksi HCl, hasilnya sekitar 80-95% HCl akan dihambat yang berlangsung selama 24-48 jam, HCl baru akan diproduksi pada 3-4 hari pasca pengobatan karena kerja PPI bersifat ireversibel19,20.

ii. Farmakokinetik

Sifat PPI adalah inaktif jadi sangat diperlukan perlindungan khusus agar obat sampai ke target organ tanpa sempat dirusak oleh mekanisme lain seperti asam lambung, jadi pada kasus ini biasanya PPI dilapisi dengan salut tahan asam19.

Pemberian PPI baiknya diberikan satu jam sebelum makan agar masa puncak kadarnya di darah dapat bersamaan dengan aktivitas maksimalnya pompa proton pada sel parietal, masa kerja serum PPI berkisar antara 1-1,5 jam akan tetapi aktivitas inhibisinya tetap berjalan selama 24 jam. PPI dimetabolisme di hati oleh CYP2C19 dan CYP3A420.

(26)

10

c. Efek samping

Efek yang dapat ditimbulkan oleh PPI pada umumnya adalah sakit kepala, nyeri perut, kembung, diare dan mual. Penggunaan PPI yang terlalu lama dan sering dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa lambung dan usus sehingga meningkatkan risiko malnutrisi dan diare pada pasien23. Selain itu, karena pH

intralambung yang berubah mengakibatkan sangat mudah terjadi kolonisasi bakteri dan akhirnya akan menimbulkan infeksi seperti infeksi pernafasan dan infeksi pada jalur gastrointestinal19.

Tabel 2 2. Omeprazol.

Indikasi Pasien tukak lambung, tukak duodenum, GERD.

Kontraindikasi Pasien yang memiliki hipersensitivitas terhadap PPI, perhatikan

pemberiannya pada pasien dengan penyakit hati, hamil, menyusui dan pada pasien kanker lambung.

Efek samping Urtikaria, mual, muntah, konstipasi, kembung, nyeri abdomen,

lesu, nyeri otot, nyeri sendi, pandangan kabur, edema perifer, perubahan hematologik, perubahan enzim hati, gangguan fungsi hati, depresi dan mulut kering.

Interaksi Omeprazol diberikan bersamaan dengan ketokonazol dan

itrakonazol akan menghambat absorbsi kedua obat tersebut

Dosis Dibutuhkan 1x20 mg/hari selama 4-8 minggu pada dosis awal

dan dapat ditingkatkan dosisnya menjadi 40 mg/hari pada keadaan berat dan profilaksisnya 1x20 mg/hari.

Sediaan Kapsul 20 mg dan vial 40 mg.

Sumber : Farmakologi dan terapi UI 2016, Katzung 2018, Goodmann and Gillman 2018.

3. AH2 (Antagonis reseptor Histamin Tipe 2) a. Definisi

AH2 berfungsi untuk menghambat sekresi HCl. Jenis-jenis AH2 yang ditemukan saat ini berupa yakni simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Jenis AH2 yang lain adalah simetidin yang saat ini sudah mulai ditinggalkan karena efek sampingnya yang dapat mengakibatkan disfungsi seksual dan ginekomastia20.

(27)

11

b. Mekanisme

Gambar 2.4 Struktur kimia ranitidin.

Goodman and Gillman edisi 30, 2018 Tabel 2 3. Ranitidin .

Farmakodinamik Simetidin dan ranitidin bekerja sebagai penghambat reseptor

H2 secara selektif dan bersifat reversibel. Bioavailabilitasnya dapat mencapai 50% dan dapat meningkat pada pasien penderita gangguan hepar, masa paruh normalnya adalah 1,5-3 jam dan akan meningkat pada pasien gangguan hepar dan lansia karena telah mengalamai penurunan fungsi organ20.

Farmakokinetik Ranitidin harus melewati metabolisme lintas pertama di hepar

dulu, sehingga bioavailibilitasnya mencapai 70%, absorbsi oral dihambat oleh makanan, sehingga untuk mencapai keberadaan ranitidin yang lama di intralambung pasien dianjurkan pemberiannya tidak bersamaan dengan makan, masa puncak absorbsi simetidin terjadi pada menit ke 60-90 setelah dikonsumsi sedangkan masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam20.

Indikasi Pasien tukak lambung, tukak duodenum, refluks esofagitis,

dan hipersekresi abnormal (Zollinger Ellison Syndrome).

Kontraindikasi Pasien yang hipersensitif terhadap AH2. Perhatikan

pemberiannya kepada ibu hamil, menyusui dan gagal ginjal.

Efek samping Sistem saraf pusat: sakit kepala, pusing, malaise, mengantuk,

insomnia, vertigo, agitasi, depresi dan halusinasi; Kardiovaskular: aritmia; Gastrointestinal: konstipasi, diare, mual, muntah dan nyeri perut; Hematologi: leukopenia, granulositopenia, pansitopenia dan trombositopenia; Reaksi hipersensitivitas. Tidak mengakibatkan impotensi dan ginekomastia.

Sediaan Dosis yang diperlukan pada pemakaian oral adalah 150 mg

dalam 2 sampai 3 kali sehari pada pagi dan malam hari atau 300 mg diminum sekali sehari setelah makan malam atau sesaat sebelum tidur dengan jangka waktu konsumsi 4 sampai 8 minggu pada penderita ulkus peptikum dan ulkus duodenum, sedangkan pada dosis profilaksisnya adalah 150 mg sekali sehari sebelum tidur. Sediaan yang dimiliki ranitidin adalah tablet 150 mg, 300 mg, dan injeksi ampul 25 mg.

(28)

12

2.1.4 Interaksi obat

2.1.4.1 Definisi interaksi obat

Interaksi obat adalah perubahan efek obat dan/atau timbulnya efek lain selain efek asli dari obat yang dapat terjadi akibat dari bercampurnya satu obat (index drug) dengan obat lain (precipitant drug) dan atau dengan pemicu lain seperti obat herbal, makanan, minuman, zat kimia dari lingkungan, bahkan berdasarkan waktu pemakaiannya20. Selain itu, faktor pada pasien yang dapat

mencetuskan interaksi dapat berupa usia, penyakit parah dan kronik, perbedaan bersihan faktor intrinsik, perbedaan kapasitas metabolisme, kebiasaan, gaya hidup, genetik, jenis kelamin, penyakit yang sedang diderita, dan diet. Sedangkan faktor spesifik obat yang dapat memicu interaksi dapat berkaitan dengan dosis, rute pemberian, formulasi obat, dan urutan pemberian obat20,24.

Interaksi obat itu sendiri tidak hanya berupa kerugian yang dialami oleh pasien, akan tetapi juga dapat berdampak baik. Mekanisme timbulnya interaksi obat dapat disebabkan dari berbagai hal, seperti farmakokinetik obat (absorbsi, distribusi, metabolisme dan sekresi) dan farmakodinamik obat (efek aditif, sinergik, atau antagonistik)20.

2.1.4.2 Mekanisme interaksi obat ada 3 jenis: 1. Interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas

Interaksi ini terjadi sebelum obat tersebut dikonsumsi oleh pasien yang dapat berupa penggabungan atau pencampuran masing-masing bahan obat baik secara kimiawi atau fisik yang tidak dapat bercampur sehingga hasil akhirnya tidak sesuai dengan harapan dan akan menghasilkan presipitasi obat, perubahan bentuk atau perubahan warna obat akan mempengaruhi aktivasi obat. Contoh obat yang paling sering menghasilkan endapan yaitu pemberian obat suntik dan infus yang keduanya mengalami interaksi20.

2. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik merupakan proses terjadinya interaksi obat yang mempengaruhi kerja obat mulai dari awal masuk hingga selesai dan dikeluarkan oleh tubuh20.

(29)

13

i. Efek perubahan pH saluran cerna ii. Absorbsi, kelasi

iii. Mengubah motilitas saluran cerna

iv. Kompetisi untuk transporter membran di saluran cerna v. Malabsorbsi disebabkan oleh obat

b. Fase distribusi

i. Kompetisi untuk mengikat protein plasma ii. Perubahan pada sawar jaringan lokal c. Fase metabolisme

i. Hambatan metabolisme obat ii. Induksi metabolisme obat

iii. Faktor genetik dalam metabolisme obat iv. Perubahan aliran darah hepar

d. Fase eksresi

i. Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal ii. Perubahan pH urin

iii. Gangguan eksresi ginjal akibat kerusakan ginjal oleh obat 3. Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik akan terjadi jikalau ada interaksi antara dua atau lebih obat yang bekerja pada satu sistem reseptor, tempat kerja ataupun sistem fisiologik yang sama sehingga akan timbul efek agonis atau antagonis tanpa adanya perubahan kadar obat itu sendiri di dalam plasma20.

a. Interaksi aditif b. Interaksi antagonis c. Interaksi sinergis

2.1.5 Pembahasan Interaksi Obat

Berikut adalah interaksi antara antasida, PPI (Omeprazol) dan AH2 (Ranitidin) dengan beberapa obat yang tersedia di Puskesmas.

a. Parasetamol dan Ranitidin

Pemberian ranitidin 150 mg dua kali sehari selama 4 hari bersamaan dengan parasetamol dapat menimbulkan perubahan pada farmakokinetik

(30)

14

parasetamol yakni dapat meningkatkan risiko hepatotoksik, hal ini sudah diuji secara klinik pada hewan percobaan, namun hingga saat ini efek hepatotoksik yang timbul pada manusia belum ditemukan secara pasti, sehingga guna menghindari risiko tersebut pasien disarankan untuk mengkonsumsi ranitidin satu jam sebelum parasetamol20,24,32.

b. Antasida dan Ranitidin

Antasida secara berkala dapat menurunkan konsentrasi ranitidin atau AH2 lainnya di dalam plasma, karena kandungan antasida yang berupa alumunium, kalsium, dan magnesium dapat menetralkan asam lambung sehingga absorbsi AH2 menurun dan bioavailabilitasnyapun menurun, sebagai contoh ranitidin (alumunium/magnesium hidroksida) sediaan syrup 30 ml jika diberikan single dose 150 mg maka level serum dan kadar ranitidin di dalam plasma akan menurun pada 2 dari 6 pasien sehat, hal ini diduga karena peningkatan pH intragastrik yang disebabkan oleh antasida24,32.

Dalam kasus lain ditemukan bahwa alumunium fosfat dapat menurunkan bioavailabilitas dari ranitidin sebanyak 56%. Salah satu mekanisme untuk menghindari terjadinya interaksi antara antasida dan ranitidin adalah dengan mengkonsumsi keduanya secara terpisah, minimal 2 jam24,32.

c. NSAID dan Ranitidin

Pada pemberian ranitidin 150 mg dua kali sehari dapat meningkatkan kadar puncak level serum dan kadar plasma dari ibuprofen sebanyak 6%. Disini interaksi antara NSAID dan AH2 tidah selalu terjadi atau bahkan tidak ditemukan24,32.

d. Sefalosporin dan Ranitidin

Ranitidin dapat menurunkan bioavailabilitas dari sefalosporin disebabkan karena pH intragastrik yang meningkat atau dalam keadaan basa. Interaksi antara sefalosporin dan AH2 tidak terlalu signifikan24.

(31)

15

e. CCB dan Ranitidin

Ranitidin memiliki interaksi jika diberikan bersamaan dengan CCB akan tetapi efek interaksi yang timbul hanya minimal dan tidak signifikan. Berdasarkan penemuan klinis, pemberian ranitidin 150 mg dua kali sehari selama seminggu dapat meningkatkan kadar obat di plasma dari diltiazem sebanyak 15%, tapi kembali diingatkan bahwa kejadian ini tidak signifikan24.

f. Kaptopril (ACE Inhibitor) dan Antasida

Salah satu golongan ACE-I seperti kaptopril jika pemberiannya bersamaan dengan antasida maka dapat menurunkan bioavailabilitas dari kaptopril sebanyak 40% dengan mekanisme penurunan absorbsi kaptopril pada saat pH lambung yang tinggi24,32.

Studi kasus menjelaskan, pada 10 orang sehat yang diberikan terapi antasida yang mengandung alumunium/magnesium hidroksida dan juga magnesium karbonat akan menurunkan konsentrasi plasma dari kaptopril dosis tunggal 50 mg sebanyak 40%24.

g. Ibuprofen (NSAID) dan Antasida

Pengunaan masing-masing obat ini harus diperhatikan, pemakaian dalam satu waktu yang sama mungkin dapat mempengaruhi efek analgetik pada NSAID, oleh karena itu konsumsi NSAID hendaknya diwaktu yang berbeda dari antasida atau dapat disela dengan makan. Studi farmakodinamik menunjukkan peningkatan gastriris erosi saat pemberian ibuprofen bersamaan dengan antasida jenis magnesium hidroksida. Pemberian ibuprofen pada 8 orang sehat dalam keadaan puasa dan mendapatkan antasida yang mengandung alumunium/magnesium hidroksida menunjukkan bahwa bioavailabilitas ibuprofen akan menurun24.

h. Deksametason dan Antasida (Kortikosteroid)

Antasida yang mengandung magnesium trisiklat akan menurunkan absorbsi deksametason. Berdasarkan penemuan klinis, pemberian deksametason pada 6 orang sehat bersamaan dengan magnesium trisiklat

(32)

16

dengan dosis 5 g dalam 100 ml air dapat menurunkan bioavailabilitas 1 mg deksametason pemberian secara oral. Untuk menghindari efek samping, jarak minimal dari pemberian anatasida dan deksametason adalah 2-3 jam24,32.

i. Siprofloksasin (Quinolon) dan Antasida

Antasida yang mengandung alumunium dan magnesium dapat menurunkan serum level dari antibiotik quinolon karena absorbsi Siprofloksasin (Quinolon) yang kurang sehingga efek teurapetik dari antibiotiknya tidak efektif dalam membunuh bakteri. Upaya agar tidak terjadi interaksi maka jarak konsumsi antara keduanya harus sekitar 2-6 jam24,32.

j. Zat besi (Fe) dan Antasida

Pemberian antasida yang mengandung kalsium dan pemberian Fe oral secara bersamaan akan mengurangi absorbsi Fe sehingga terjadi penurunan kadar Fe dalam saluran cerna dan di darah24,32. Bukti klinis

pada subjek yang kekurangan Fe disebabkan oleh donor darah atau menstruasi lalu diberikan 5 ml alumunium/magnesium hidroksida didapati penurunan absorbsi sulfat ferrosus sebanyak 10-20 mg dari dalam 2 jam24.

k. Vitamin C dan Antasida

Antasida yang mengandung alumunium jika bertemu dengan vitamin C atau asam askorbat akan meningkatkan jumlah alumunium di darah, hepar, otak dan tulang pada mencit yang diberikan aluminium hidroksida. Berdasarkan bukti klinis, pada 13 orang sehat yang diberikan aluminium hidroksida tab 900 mg tiga kali sehari dan diberikan vitamin C 2 g perhari maka akan meningkatkan ekskresi dari alumunium, hal ini akan sangat berbahaya bagi penderita gagal ginjal dan dapat menyebabkan ensefalopati. Hindari pemberian antasida yang mengandung alumunium dan vitamin C secara bersamaan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal24,32.

(33)

17

l. Omeprazol dan Antasida

Antasida yang mengandung aluminium/magnesium hidroksida dapat menurunkan kadar plasma omeprazol tablet sebanyak 26%. Namun berdasarkan penelitian random pada pasien sehat yang diberikan omeprazol tab 20 mg sekali sehari selama 3 hari dan diberikan 2 tab gaviscon (aluminium hidroksida, magnesium trisilikat dan sodium alginat) ditemukan bahwa omeprazol tidak bertahan lama di lambung24.

2.1.6 Kriteria Penggunaan Obat yang Rasional

Penggunaan obat rasional merupakan kondisi jika pasien mendapatkan obat dari dokter atau tenaga medis yang sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan keadaan pasien, dan sesuai dengan ekonomi pasien12. Dalam menelaah bahwa

pasien telah mendapatkan obat yang penggunaanya secara rasional, maka dibutuhkan beberapa indikator yakni;

1. Tepat Diagnosis

Obat yang diberikan harus sesuai dengan diagnosis pasien yang ditentukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

2. Tepat Indikasi

Obat yang diterima pasien harus sesuai dengan gejala atau indikasinya, jika tidak sesuai maka tidak akan menghilangkan gejala yang dialami pasien.

3. Tepat Pemilihan Obat

Setelah diagnosis ditegakkan, obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan etiologi penyakit dan obat yang sesuai dengan simptom penyakit pasien.

4. Tepat Dosis

Efek dari obat yang diberikan kepada pasien sangat bergantung kepada dosis, cara dan lama pemberian obat, setiap individu dengan gejala dan usia yang berbeda pada suatu penyakit, dapat saja mendapatkan dosis, cara dan lama pemberian obat yang berbeda pula.

(34)

18

5. Tepat Cara Pemberian

Beberapa obat tertentu memiliki cara pemberian yang berbeda, hal ini berdasarkan pada perbedaan keadaan pasien, perbedaan waktu, dan perbedaan organ yang membutuhkan terapi.

6. Tepat Interval Waktu

Pola kepatuhan pasien minum obat juga berkaitan dengan interval waktu minum obat pasien. Interval waktu pemberian obat dapat dinyatakan dengan frekuensi minum obat per harinya yang dapat diedukasi langsung oleh dokter atau tenaga medis lainnya.

7. Tepat Lama Pemberian

Lama pemberian obat dapat bervariasi, bergantung kepada penyakit yang diderita pasien dan keparahannya.

8. Waspada Terhadap Efek Samping

Pemberian obat kepada pasien dapat memiliki efek samping, yakni berupa efek yang tidak diinginkan yang dapat timbul dari obat tersebut. 9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien

Setiap pasien memiliki respon yang berbeda terhadap obat, oleh karena itu para medis harus memperhatikan betul bagaimana nasib obat terhadap kondisi pasien. Contohnya pada ibu hamil harus diperhatikan pemberian obat yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janinnya.

10. Tepat Pemberian Obat yang Efektif, Aman, Mutu Terjamin, Mudah Terjangkau dan Harga yang Efisien.

Pemberian obat yang terdapat dalam daftar obat esensial lebih diutamakan dibandingkan obat lainnya, karena obat ini sudah dijamin keefektifannya dan keamanannya.

11. Tepat Informasi

Informasi atau edukasi yang akan diberikan kepada pasien harus tepat dan benar sesuai dengan obat dan penyakit guna menghasilkan keberhasian terapi pada pasien.

(35)

19

12. Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)

Setelah pasien mendapatkan terapi, dokter memiliki tanggung jawab untuk memantau terapi pasien, follow up dilakukan guna mengontrol apakah terdapat efek samping, interaksi, atau penurunan efikasi obat pada pasien.

13. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)

Pemberian obat dapat dilakukan oleh apoteker dengan resep yang didapat dari dokter, namun apoteker tetap memberikan informasi mengenai cara dan waktu minum obat kepada pasien.

14. Tepat Kepatuhan Minum Obat.

Setelah pemberian dan informasi mengenai obat, pasien harus difollow up kepatuhan minum obatnya12.

(36)

20

2.2 Kerangka Teori

Bagan 2 1. Kerangka teori

Peningkatan HCl Kelainan genetik, dan emosi. faktor internal Penggunaan NSAID Konsumsi makanan dan minuman yang memicu sekresi HCl Faktor eksternal

Tepat diagnosis Tepat indikasi

Diagnosis berdasarkan Rome III (yang dipakai di Indoensia baru

sampai ROME II)

Tepat pemilihan kondisi pasien

Tepat obat Tepat dosis dan interval Tepat informasi Tepat penyerahan obat Tepat cara pemberian Tepat lama pemberian Terapi obat Antasida, PPI, dan AH2

Terapi obat rasional

Tepat pemberian obat secara efektif, aman, dan efisien Waspada efek samping Tepat follow up

(37)

21

2.3 Kerangka Konsep

Bagan 2 2. Kerangka konsep

Tepat diagnosis Tepat indikasi Tepat pemilihan obat

Tepat dosis Diagnosis berdasarkan

Rome II

Pasien penerima obat Antasida, PPI, dan AH2

Interaksi dengan obat lain

Peresepan obat Rasional

(38)

22

2.4 Definisi Operasional

Tabel 2 4. Definisi Operasional

No Variabel Definisi

operasional

Cara ukur Alat ukur Hasil

ukur

Skala 1 Tepat indikasi Obat yang

diberikan sesuai dengan diagnosis pasien yang ditentukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Studi pustaka Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Tepat dan tidak tepat Kategorik 2 Tepat diagnosis Diagnosis pasien sesuai dengan gejala dan pemerikaan fisik pasien Studi pustaka Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Tepat dan tidak tepat Kategorik 3 Tepat pemilihan obat obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan etiologi penyakit dan diperhatikan interaksinya dengan obat lain yang diterima pasien Studi pustaka Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Tepat dan tidak tepat Kategorik

4 Tepat dosis Efek dari obat yang diberikan kepada pasien bergantung kepada dosis, cara dan lama pemberian obat yang dapat saja berbeda pada satu pasien dengan pasien yang lain

Studi pustaka Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Tepat dan tidak tepat Kategorik

5 Interaksi obat Peristiwa yang terjadi akibat bertemu dengan obat lain sehingga menghasilkan efek yang berbeda Studi pustaka Masing-masing obat dilihat potensi interaksinya berdasarkan literatur berupa buku stockley, aplikasi lexicomp dan Medscape. Terdapat potensi interaksi atau tidak terdapat potensi interaksi Kategorik

(39)

23 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian

Berdasarkan data statistik yang digunakan, desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penilitian deskriptif untuk mendapatkan data sekunder dan menelaah pola peresepan dan ketepatan pemberian antasida, PPI dan AH2 pada pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019. Berdasarkan waktu penelitian, desain yang digunakan adalah desain penelitian potong lintang (cross-sectional). Data yang diambil merupakan data aktual atau data yang diambil disaat itu juga.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi : Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan pada bulan Januari-April 2019

b. Waktu :

i. Rentang waktu yang dibutuhkan untuk penelitian: Januari-April 2019 ii. Pengambilan data : Mei-Juli 2019

iii. Pengolahan data : Mei-Agustus 2019

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Target

Populasi target pada penelitan ini adalah semua pasien rawat jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan pada bulan Januari-April 2019.

3.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau yang digunakan adalah pasien yang mendapatkan antasida, PPI dan AH2 dengan sampel berupa pasien rawat jalan dari poli umum di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan pada bulan Januari-April 2019.

(40)

24

1.3.3 Kriteria sampel 1.3.3.1 Kriteria inklusi

 Semua pasien poli umum yang mendapatkan antasida, PPI dan AH2 di Puskesmas dalam bulan Januari-April 2019 tanpa memandang usia pasien dan memiliki nomor rekam medik.

 Semua pasien yang mendapatkan antasida, PPI dan AH2 di Puskesmas dalam bulan Januari-April 2019 baik tunggal maupun bersamaan dengan obat lain.

3.3.3.2 Kriteria eksklusi

 Pasien rawat jalan yang mendapatkan antasida, PPI dan AH2 di Puskesmas dalam bulan Januari-April 2019 yang tidak memiliki nomor rekam medik dan data diri yang lengkap.

 Pasien yang didiagnosis dengan dispepsia akan tetapi tidak diberikan terapi antasida, PPI dan AH2

3.4 Besar Sampel

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kategorik yang mana penilaiannya akan dilakukan dengan cara melihat pola penggunaan obat rasional dan menemukan efek interaksi antara obat dispepsia dengan obat lain yang diterima pasien. Oleh karena itu, untuk menentukan banyaknya sampel yang dibutuhkan dalam sampel ini akan digunakan rumus besar sampel sebagai berikut:

Keterangan:

N = jumlah sampel

Za = tingkat kepercayaan atau nilai standar dari alpha (α), diperoleh dari tabel

z kurva normal95% dengan α=0,05, sehingga Zα = 1,96 P = proporsi kejadian dari penelitian sebelumnya = 0,5298 Q = tingkat kesalahan absolut yang dikehendaki. 1-P = 0, 4702 D = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki 5% = 0,05

(41)

25

n=(1,96)2 . 0,5298 . 0,4702

(0,05)2

n=382,7954022(dibulatkan menjadi 383)

Maka, minimal jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 383 sampel. Peneliti mengambil data dengan teknik total sampling sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dan didapati keseluruhan data rekam medik sebanyak 138 sampel.

3.5 Cara Kerja

Persiapan penelitian

Pengajuan kode etik FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dinas Kesehatan

Tangerang Selatan Perizinan Puskesmas Rengas

Identifikasi sampel penelitian Pengambilan data ke Puskesmas

Literasi dan tinjauan pustaka Pengolahan data berdasarkan indikator

Analisis data dan hasil

Pembuatan proposal dan perizinan

Penyajian data

Penyusunan laporan penelitian

(42)

26

Bagan 3 1. Alur penelitian 3.6 Managemen Data 3.6.1 Persiapan penelitian

Persiapan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pengumpulan berkas perizinan dari pihak Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dan Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan.

3.6.2 Pengambilan sampel

Apabila ajuan perizinan sudah diterima, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi dari populasi. Data diambil dari rekam medik pasien yang mendapatkan terapi antasida, PPI dan AH2 dan ditulis dengan lengkap berdasarkan subject (nama, usia, jenis kelamin dan alamat), object (keluhan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang), plan ( diagnosis) dan assessment (tatalaksana).

3.6.3 Pengolahan Data

Data rekam medik pasien yang telah memenuhi syarat inklusi dimasukkan ke dalam komputer pada program Microsoft Excel untuk diolah dan dilihat pola peresepan dan ketepatan pemberian antasida, PPI dan AH2 berdasarkan penggunaan obat rasional, akan tetapi hanya diambil 4 kriteria yang tertulis pada rekam medik yakni tepat indikasi, tepat diagnosis, tepat pemilihan obat dan tepat dosis. Selain itu juga dinilai jumlah dan jenis kombinasi 2 obat atau lebih yang terjadi pada seluruh sampel. Kombinasi obat tersebut ditelaah melalui berbagai literatur seperti Adverse Drug Interactions, Stockley dan dimasukkan pula kedalam program yang tersedia dari aplikasi Lexicom dan medscape untuk mempermudah peneliti mengetahui kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan efek interaksi.

3.6.4 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi. Data yang didapat kemudian dinilai dan diteliti untuk mendapatkan pola peresepan

(43)

27

rasional dan jumlah interaksi obat yang terjadi, selanjutnya data tersebut dianalisis melalui studi pustaka.

3.6.5 Penyajian Data

Penyajian data disajikan dalam bentuk narasi, teks, tabel dan grafik. Hasil penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian yang dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Studi Kedokteran FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(44)

28 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan perhitungan total sampling, data pasien yang diambil dari rekam medik Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan yang telah dieksekusi memenuhi kriteria inklusi adalah 138 sampel, yaitu pasien yang menerima antasida, PPI dan AH2.

4.1 Distribusi Pasien yang Mendapatkan Terapi Antasida, PPI, dan AH2 Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan Gejala serta Diagnosis Pasien Di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019. Tabel 4 1. Sebaran kualitatif sampel berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 37 27%

Perempuan 101 73%

Total 138 100%

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pasien rawat jalan yang mendapatkan obat antasida, PPI, dan AH2 di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan dari jumlah keseluruhan pasien sebanyak 138 orang, didapati jumlah pasien laki-laki 37 orang atau 27% dan perempuan 101 orang atau 73%. Data tersebut menunjukan bahwa pasien yang menerima antasida, PPI, dan AH2 didominasi oleh perempuan. hal ini juga terkait dengan etiologi khusus peningkatan sekresi HCl berupa stress psikologi (depresi, pelecehan dan penyiksaan) yang dialami perempuan6,7,

dispepsia juga memiliki dampak terhadap kualitas hidup pada wanita yang lebih besar dari pada laki-laki27,28. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ford et

al pada tahun 2015, menemukan bahwa dari 55 studi kasus dispepsia yang dilakukan pada masyarakat umum, perbandingan kasus antara penderita laki-laki dan perempuan adalah 21,9% dan 25,3%26.

Perempuan juga cenderung mudah mengalami dispepsia diakibatkan oleh faktor hormon yang berlangsung pada masa luteal mengakibatkan motilitas atau gerakan peristaltik saluran cerna yang cenderung lebih lamban dari pada masa folikular, sehingga akumulasi makanan dapat mengaktivasi reseptor regang dan peningkatan sekresi gastrin terus menerus sehingga timbul reflex muntah dan nyeri tekan epigastrium17.

(45)

29

Tabel 4 2. Distribusi pasien yang mendapatkan terapi antasida, PPI, dan AH2 berdasarkan usia.

Usia (tahun) Jumlah Persentase

0-5 0 0% 6-11 1 0,7% 12-16 2 1,4% 17-25 22 15,9% 26-35 28 20,2% 36-45 25 18,1% 46-55 30 21,7% 56-65 18 13% >65 12 8,6% Total 138 100%

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pemberian antasida, PPI, dan AH2 terjadi pada semua golongan usia, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Pada penelitian ini didapati puncak rentang usia yang mengalami dispepsia adalah usia dewasa yakni usia dewasa tua 46-55 tahun sebanyak 30 kejadian tau 21,7%. Hal ini juga sesuai dengan faktor risiko dispepsia yang biasanya terjadi pada usia dewasa dan usia lanjut6.

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kelainan gastrointestinal sangat sering terjadi pada usia tua, khususnya usia 50-60 tahun yang mengalami depresi. 30% dari pasien lansia memiliki penyakit gastrointestinal kronik seperti gastritis, ulkus peptik, irritable bowel syndrome dan penyakit divertikulis yang ditandai dengan salah satu atau lebih gejala berikut, seperti mual yang terus-menerus, muntah, konstipasi, flatus, tidak nafsu makan, nyeri abdominal, dispepsia, dan nyeri dada29.

Di Bangladesh, populasi pasien yang mengalami dispesia berdasarkan umur paling tinggi didapat pada usia dewasa atau sekitar 20-60 tahun dengan persentase 61.9% dari keseluruhan pasien yang berasal dari berbagai daerah perkotaan di Bangladesh. Peningkatan persentase ini diduga disebabkan oleh perubahan status sosio-ekonomi, gaya hidup, lingkungan, dan makanan yang dikonsumsi oleh pasien30.

(46)

30

Tabel 4 3 Distribusi gejala dan diagnosis pasien pada Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan periode Januari-April 2019

Klasifikasi Gejala Diagnosis Jumlah Persentase

Gejala Gastrointestinal Dispepsia 87 63%

Non dispepsia 11 7,9%

Gejala Non gastrointestinal Penyakit saluran pernafasan 12 8,6% Penyakit muskuloskeletal 11 7,9% Penyakit metabolik endokrin 10 7,2% Penyakit kulit 2 1,4% Penyakit neurologi 4 2,8%

Penyakit saluran kemih 1 0,7%

Total 138 100%

Tabel 4.3 menjelaskan bahwa berdasarkan 138 data rekam medik pasien yang mendapatkan antasida, PPI dan AH2 disamping gejala utama berupa keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, kembung dan nyeri tekan epigasstrium, pasien juga mengalami gejala dari organ tubuh yang lain seperti batuk, sesak nafas dan lain sebagainya sehingga ditulis dengan diagnosis yang berbeda sesuai dengan ICD 10. Diketahui 3 urutan gejala dan diagnosis utama terbanyak yang mendapatkan terapi tersebut dari rekam medik yang telah diakumulasikan dari bulan Januari-April 2019 di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan adalah penyakit gastrointestinal khususnya diagnosis dyspepsia (K29) sebanyak 87 kasus atau 63%, selanjutnya gejala non-gastrointestinal berupa penyakit saluran pernafasan dengan jumlah 12 kasus atau 8,6%, dan penyakit gastrointestinal non-dispepsia 11 kasus atau 7,9%.

Berdasarkan data tersebut, diketahui indikasi pemberian antasida, PPI dan AH2 diberikan pada pasien yang memiliki gejala sesuai ROME II tahun 1996 yang saat ini berlaku di Indonesia5.

Pemberian gastroproteksi berupa PPI jenis omeprazol juga dianjurkan kepada pasien yang memiliki risiko tinggi seperti pasien usia lanjut yang mendapatkan NSAID, hal ini selaras dengan teori penuaan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi organ khususnya fisiologi sekresi HCl, selain itu kerja NSAID sendiri adalah menghambat pembentukan prostaglandin yang berperan sebagai mukoprotektor pada lambung sehingga akan meningkatkan potensi terjadinya ulkus pada lambung pasien4,5,6.

(47)

31

4.2 Nama Obat, Golongan dan Jumlah Obat yang Diberikan Bersamaan dengan Antasida, PPI, dan AH2 Pada Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan Periode Januari-April 2019.

Tabel 4 4. Jenis obat lain yang diberikan bersamaan dengan antasida, PPI dan AH2.

Golongan Obat

Nama Obat Jumlah Kejadian Persentase

Kalsium Kalk 3 2,1 %

Pneuron 1 0,7%

NSAID Asam mefenamat 1 0,7%

Natrium diklofenak 13 9,4%

Ibu profen 20 14,4%

Antasida Antasida 117 84,7%

Antipiretik Parasetamol 77 55,7%

Coditam 1 0,7%

AH2 inhibitor Ranitidin 17 12,3%

AH3 Betahistin 3 2,1 %

Anti histamine Loratadin 7 5%

CTM 7 5% Molexflu 3 2,1 % Vitamin B complek 35 25,3% Vit B1 4 2,8% Vit b 9 5 3,6% Vit c 2 1,4% Neurovit c 2 1,4% B6 1 0,7% Provit 1 0,7% PPI Omeprazol 48 34,7% Antiemetik Domperidon 5 3,6% CCB Amlodipin 20 14,4%

Antidiare New antides 7 5%

Antidiabetes biguanid

Metformin 3 2,1 %

Statin Simvastatin 6 4,3%

Oralit Oralit 6 4,3%

ACE inhibitor Kaptopril 1 0,7%

Mukolitik Gliseril guaiacolat 20 14,4%

Asetilsistein 19 13,7% OBH 2 1,4% Kortikosteroid Deksametason 5 3,6% Steroid Metilprednison 1 0,7% Antibiotik Cotrimoksazol 3 2,1 % Kloramfenicol Tiamfenikol 3 2,1 % Sefalosforin Cefadroksil 1 0,7% Ceftriakson 1 0,7% Quinolon Siprofloksasin 1 0,7% Besi Fe 2 1,4%

Hormon sintesis Provula 1 0,7%

Antivirus Methisoprinol 1 0,7%

Axiclovir 1 0,7%

Xanthine oksidase-i Allopurinol 2 1,4%

Total 43 479

Tabel 4.4 menunjukkan bahwasanya terdapat 23 golongan obat yang juga diberikan pada pasien yang mendapat antasida, PPI dan AH2 di Puskesmas

Gambar

Gambar  2.1  Fase sefalik dan fase gastrik. ............................................................
Gambar 2.1 Fase sefalik dan fase gastrik.
Gambar 2.2 Mekanisme sintesis HCl secara kimiawi.
Tabel 2 1. Antasida DOEN.
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Yang dimaksud dari pasal ini adalah agar adanya control dari Badan Pengawas terhadap perusahaan baik merupakan pos-pos pengembangan perusahaan, secara

Penyerahan Wisudawan kepada orang tua secara simbolis oleh Kepala SMAN 16 *2 Wisudawan *2 Ortu tua Wisudawan *Kasek *2 Wakasek (pak Sulis,pak Ridwan) *2 Pembaca Puisi

Seperti yang sudah diuraikan pada keterangan sebelumnya bahwa mata pelajaran Aqidah Akhlak merupakan sub mata pelajaran pendidikan agama islam yang tujuannya untuk

Rancangan penelitian berupa survei dengan pendekatan teknik korelasional antara variabel terikat dan variabel bebas. Populasi penelitian adalah Bidan di desa yang

Dari uraian Visi dan Misi Kota Bandung 2013-2018 yang akan menjadi landasan atau dasar dalam menentukan arah kebijakan dan untuk melaksanakan program kegiatan

Light shelves dipasang untuk mengurangi panas radiasi matahari dan menambah distribusi pencahayaan alami, sehingga cahaya alami dapat dimanfaatkan sebanyak mungkin ke dalam

V veliki večini 73,1% so anketiranke najprej pomislile, ko so slišale za mlečno banko, da gre za možnost darovanja svojega mleka za druge otroke, 15,4% so anketiranke najprej

sehingga target output workshop, yaitu Dalam workshop ini belum ada review soal untuk OSCE, padahal dalam TOR telah disebutkan salah satu targetnya adalah terpilih