• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Ekostruktur Mangrove

Pengamatan struktur ekosistem mangrove dilokasi penelitian terbagi menjadi 5 lokasi penelitian yaitu Tanjung Tembing, Panamparan, Pajan Barat, Tanjung Kiaok, dan Pajan Barat 2. Untuk stasiun Sepanjang dikarenakan tidak ditemukan mangrove, maka tidak dilakukan transek. Pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan transek sebanyak 3 stasiun pengamatan mangrove yang terdiri dari 3 plot pengamatan. Pengamatan terhadap ekostruktur mangrove dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu dari INP dan indeks keseragaman, keanekaragaman serta dominansi.

5.1.1 Distribusi dan Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove

Distribusi dan kerapatan merupakan keberadaan suatu individu dalam satuan luas tertentu yang didalamnya juga diketahui jumlah total tegakannya. Tabel 11 menunjukkan distribusi dan kerapatan jenis mangrove per satuan area 10 m2. Pada lokasi penelitian ditemukan 9 spesies mangrove yang terbagi dalam 5 famili mangrove. Kesepuluh spesies tersebut adalah Aegiceras floridum dari famili Myrsinaceae; Avicennia officinalis dari famili Avicenniaceae; Bruguiera

gymnorrhiza, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata dari famili Rhizohoraceae; Pandanus tectorius dari famili

Pandanaceae; dan Sonneratia alba dari famili Sonneratiaceae.

Secara keseluruhan pada lokasi pengamatan komunitas mangrove, dapat diketahui bahwa setiap stasiun pengamatan memiliki tegakan mangrove yang relatif berbeda baik dari segi spesies maupun kerapatannya. Distribusi terbanyak adalah mangrove dari jenis Rhizophora apiculata dengan tegakan sebanyak 73 pohon, kemudian Avicennia officinalis dengan jumlah tegakan sebanyak 51 pohon. Adapun jumlah tegakan yang paling sedikit adalah Sonneratia alba dengan jumlah tegakan hanya 5 pohon.

(2)

Tabel 11 Jumlah tegakan mangrove setiap 300m2

No Famili Spesies

Stasiun

TTB PNP PJB TJK PB2

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1

1 Myrsinaceae Aegiceras floridum 10

2 Avicenniaceae Avicennia officinalis 11 13 11 5 2 9

3 Rhizohoraceae Bruguiera gymnorrhiza 2 9

4 Rhizohoraceae Ceriops decandra 9 9 2 3

5 Rhizohoraceae Ceriops tagal 2 1 17 7 2 18 6

6 Pandanaceae Pandanus tectorius 3 2 3

7 Rhizohoraceae Rhizophora apiculata 5 18 14 19 17

8 Rhizohoraceae Rhizophora mucronata 2 2 3 4

9 Sonneratiaceae Sonneratia alba 2 1 2

Sumber : Data Lapang (2011)

Keterangan : TTB (Tanjung Tembing); PNP (Panamparan); PJB (Pajan Barat); TJK (Tanjung Kiaok); PB2 (Pajan Barat 2)

Tegakan mangrove yang paling banyak ditemukan di stasiun TTB adalah dari spesies Avicennia officinalis. Meskipun substrat yang ada di lokasi tersebut adalah didominasi pasir, namun spesies tersebut masih bisa tumbuh dikarenakan pada layer 60 cm (stasiun 1) dan 30 cm (stasiun 2) (Lihat Lampiran 2) dapat ditemukan lempung yang mampu menunjang kehidupan mangrove jenis ini. Sedangkan pada stasiun 3, mangrove yang paling banyak tegakannya adalah spesies Aegiceras floridum. Banyaknya spesies tersebut pada stasiun 3 dikarenakan pada lokasi tersebut bersubstrat pasir dan berbatu.

PNP merupakan stasiun pengamatan yang berada di sisi selatan Pulau Sepanjang. Pada stasiun tersebut, tegakan mangrove yang bisa ditemui hanya berasal dari famili Pandanaceae berupa Pandanus tectorius dikarenakan stasiun ini berbatasan langsung dengan laut lepas dan memiliki substrat pasir. Pada stasiun PJB mangrove yang paling banyak ditemui adalah dari spesies Bruguiera gymnorrhiza.

(3)

Banyaknya spesies tersebut dikarenakan substrat habitat mangrove ini adalah berpasir pada lapisan atas. Selain dapat hidup pada substrat berpasir, spesies ini dapat hidup pula pada substrat berlumpur. Sedangkan pada PB2 tegakan mangrove yang paling banyak ditemukan adalah Avicennia officinalis. Banyak ditemukannya spesies tersebut juga tidak lepas dari jenis substrat di lokasi penelitian yang sangat mendukung kehidupan spesies ini.

Adapun pada TJK memiliki mangrove yang banyak ditemukan dari spesies Rhizophora apiculata. Apabila dikompilasikan dengan fraksi sedimen, pada dasarnya ada perbedaan dengan mendominasinya spesies ini. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi tersebut substrat yang ada berupa lempung berpasir, Namun demikian spesies ini dapat berkembang dengan baik.

Setelah dilakukan analisis kelompok (cluster analisis) terhadap keberadaan jenis mangrove didapatkan 5 kelompok yang didasarkan pada lokasi penelitian mangrove. Hasil cluster analisis direpresentasikan dalam dendrogram yang disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan keberadaan mangrove

Gambar 12 menyatakan bahwa stasiun Panamparan (PNP) memiliki kemiripan yang tinggi dengan stasiun Pajan Barat 2 (PB2) dari segi jumlah kerapatan mangrovenya. Adapun stasiun Tanjung Tembing (TTB) memiliki

(4)

kemiripan yang tinggi dengan stasiun Pajan Barat (PJB) dari segi kerapatan mangrove.

5.1.2 Struktur Vegetasi Mangrove

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilai yang dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis vegetasi mangrove dalam suatu komunitas mangrove (Bengen, 2002). Baik maupun tidak kondisi mangrove dan seberapa besar perannya dalam suatu komunitas mangrove, dapat dilihat dari nilai yang dapat ditunjukkannya. Hasil perhitungan INP secara keseluruhan disajikan pada Tabel 12.

Hasil Perhitungan INP pada stasiun TTB 1 menunjukkan bahwa spesies

Avicennia officinalis memiliki nilai INP paling tinggi, yaitu 154,38 kemudian

diikuti oleh Ceriops decandra dengan nilai INP 119,42 dan yang memiliki nilai INP paling rendah pada stasiun ini adalah spesies Ceriops tagal (26,20). rendahnya nilai INP pada spesies Cerips tagal menandakan bahwa spesies tersebut kurang mampu bersaing dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan.

Pada Stasiun TTB 2 spesies yang memiliki INP paling tinggi adalah

Avicennia officinalis dengan nilai 139,09 dan INP paling rendah pada stasiun ini

adalah dari spesies Ceriops tagal (29,19). Demikian halnya dengan stasiun PJB 1 dan PJB 2, spesies yang memiliki nilai INP paling tinggi adalah Avicennia

officinalis dengan nilai masing-masing 190,82; dan 88,25. Sedangkan pada stasiun

TTB 3, INP paling tinggi adalah dari spesies Aegiceras foridum. Pada stasiun PNP hanya ditemukan spesies Pandanus tectorius sehingga spesies tersebut memiliki nilai INP 300 pada ketiga stasiunnya. Stasiun TJK secara keseluruhan didomiminasi oleh spesies yang sama dalam hal tingginya nilai INP. Spesies tersebut berasal dari famili Rhizohoraceae yaitu spesies Rhizophora apiculata dengan nilai INP masing-masing adalah 142,25; 224,46; dan 182,64. Adapun stasiun PB 2 memiliki nilai INP yang didominasi oleh jenis Avicennia officinalis dengan nilai INP sebesar 216,90.

Keanekaragaman spesies merupakan keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas dari struktur komunitas. Keanekaragaman mencakup 2 hal pokok yaitu seberapa banyak spesies yang yang menghuni suatu komunitas serta berapa besar kelimpahannya. Secara umum nilai indeks kenekaragaman pada

(5)

keseluruhan stasiun dapat dilihat pada Tabel 13. Keanekaragaman terbesar dapat ditemukan pada stasiun PB2 dengan nilai 1,046 dan stasiun yang memiliki indeks keanekaragaman (H’) terkecil adalah stasiun PNP secara keseluruhan dengan nilai 0. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun PNP dikarenakan pada stasiun tersebut komunitas mangrove bersifat homogen yaitu hanya dari spesies

Pandanus tectorius. Namun demikian secara keseluruhan nilai indeks

keanekaragaman mangrove masuk dalam kategori keanekaragaman rendah. Adapun nilai indeks keseragaman (E) dari keseluruhan lokasi penelitian rata-rata menunjukkan nilai keseragaman yang tinggi (>0,6) dengan nilai indeks keseragaman tertinggi pada stasiun TJT 2 (E = 3,343) dan terendah pada stasiun PNP secara keseluruhan yaitu sebesar 0. Nilai indeks keseragaman 0 mengindikasikan bahwa penyebaran individu setiap jenis tidak sama dan cenderung didominasi oleh jenis tertentu. Sebaliknya apabila nilai indeks keseragaman mendekati 1, maka hal tersebut menunjukkan keseragaman populasi yang tinggi dan mengindikasikan sama atau tidak jauh berbeda.

Indeks dominansi pada keseluruhan stasiun menunjukkan angka dan klasifikasi yang heterogen. Stasiun PB2 merupakan stasiun yang memiliki nilai indeks dominansi paling rendah (D = 0,368) dengan kata lain stasiun ini memiliki dominansi sedang karena memiliki nilai 0,3 < D < 0,6. Rendahnya nilai indeks dominansi ini berbanding terbalik dengan nilai indeks keanekaragaman spesies yang ada di stasiun tersebut yang memiliki nilai 1.046 dan merupakan nilai indeks keanekaragaman tertinggi diantara stasiun-stasiun lainnya. Adapun stasiun yang memiliki indeks dominansi tinggi yaitu stasiun PNP secara keseluruhan (D = 1). Tingginya nilai dominansi menunjukkan bahwa struktur komunitas sedang dalam keadaan labil atau sedang terjadi tekanan ekologis tertentu. Secara umum hampir seluruh stasiun tidak terjadi dominansi, hal tersebut ditandai dengan banyaknya stasiun yang mengalami dominansi sedang.

(6)

Tabel 12 Indek Nilai Penting (INP) mangrove setiap 300 m2

Spesies INDEKS NILAI PENTING

TTB PNP PJB TJK PB2 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 Aegiceras foridum 191,16 Avicennia officinalis 154,38 139,09 190,82 88,25 216,90 Bruguiera gymnorrhiza 60,61 108,84 85,17 Ceriops decandra 119,42 71,11 27,69 40,26 Ceriops tagal 26,20 29,19 83,69 27,95 179,37 111,78 Pandanus tectorius 300,00 300,00 300,00 Rhizophora apiculata 70,95 120,63 142,25 224,46 182,64 Rhizophora mucronata 25,49 40,17 53,00 71,32 Sonneratia alba 77,31 75,54 64,36

Sumber : Analisis data lapang (2011)

Tabel 13 Indek keanekaragaman (H’), E (keseragaman), dan Dominansi (D)

Stasiun Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Dominansi (D)

TJT 1 0,930 2,875 0,426 2 1,039 3,343 0,408 3 0,659 2,172 0,534 PNP 1 0 0 1 2 0 0 1 3 0 0 1 PJB 1 0,927 2,776 0,435 2 0.876 2.746 0.102 3 0,863 3,139 0,452 TJK 1 0,996 3,033 0,483 2 0,199 0,595 0,905 3 0,689 2,129 0,624 PB2 1 1,046 3,080 0,368

(7)

5.2 Karakteristik Biofisik Lingkungan 5.2.1 Parameter Fisika Kimia Perairan

Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pengukuran kualitas air ini dilengkapi dengan suhu udara sebagai faktor pendukung. Pengukuran kualitas air ini dibagi pada beberapa stasiun penelitian yang didasarkan pada lokasi dimana didapat pusat pencemaran, ekosistem mangrove, dan juga perairan setelah ekosistem mangrove. Pengambilan sample dan pengukuran kualitas lingkungan dilaksanakan berdasar informasi pasang tertinggi dan surut terendah pada siang hari yaitu pada pukul 10.00-13.00 WIB (pasang) dan pukul 15.00-17.00 WIB (surut). Pembagian stasiun tersebut dijelaskan pada Tabel 10.

Sumber : Data Dishidros (2011)

Gambar 13 Kondisi pasang surut pada lokasi penelitian a) Bulan Maret b) Bulan April Tahun 2011

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi TNI AL (DISHIDROS) menunjukkan bahwa tipe pasang surut permukaan air laut di Pulau Sepanjang adalah bersifat harian tunggal (diurnal tide). Tipe pasang surut ini memiliki pengertian bahwa pada pulau ini hanya terdapat satu kali periode pasang dan satu kali surut dalam sehari. Pasang surut pada penelitian ini

a)

(8)

berpengaruh bagi waktu sampling. Pengambilan sample penelitian dilakukan pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Adapun kondisi pasang surut dilokasi penelitian saat dilakukan sampling adalah sebagai berikut (Gambar 13).

Pasang surut memiliki peran penting terhadap keberadaan bahan pencemar disuatu lingkungan. Pasang surut juga berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan ekosistem mangrove. Bagi mangrove, pasang surut sangat berpengaruh terhadap perpindahan massa air tawar dan laut yang secara langsung mempengaruhi distribusi vertikal spesies mangrove dan zonasi (Bengen dan Dutton, 2004). Selain itu, rentang pasang surut dapat mempengaruhi sistem perakaran dan penyebaran propagul mangrove. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, pneumatofora Rhizophora, Sonneratia, dan Aegialites tumbuh lebih tinggi daripada di daerah yang rentangnya sempit. Terkait dengan pencemaran, pasang surut memiliki peran penting dalam mendistribusikan bahan pencemar kelaut.

Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang menjadi faktor utama dalam mempengaruhi kondisi lingkungan. Suhu sangat mempengaruhi proses fisika maupun kimia perairan sehingga berperan penting bagi ekosistem perairan khususnya biota yang berada di dalam perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu udara pada saat pasang dari seluruh stasiun berkisar antara 28,830C – 30,830C dan surut 280C – 30,330C (Gambar 14, 15, dan 16). Secara umum perbedaan suhu tidak terlalu signifikan. Pada umumnya lokasi yang memiliki suhu udara rendah adalah pada stasiun yang berada pada daerah mangrove dan

point source. Hal tersebut dikarenakan stasiun-stasiun tersebut masih berada di

daerah yang tidak mendapatkan penyinaran langsung dari sinar matahari. Adapun stasiun yang memiliki suhu tinggi yaitu pada stasiun yang berada pada daerah perairan laut yang mendapatkan pemaparan sinar matahari secara langsung.

Pengambilan data suhu air dilakukan dalam waktu yang sama dengan pengambilan data suhu udara. Hasil pengukuran yang dilakukan di 12 stasiun penelitian menunjukkan bahwa suhu air pada saat pasang berkisar antara 28,50C - 30.50C dan pada saat surut perkisar antara 28,170C – 30,670C (Gambar 14, 15, dan 16). Suhu udara dan suhu air memiliki korelasi yang kuat diantara keduanya. Demikian halnya yang terjadi pada lokasi penelitian yang menunjukkan bahwa

(9)

perbedaan suhu antara atmosfer dan air berkorelasi positif dengan cuaca dan waktu pengambilan data. Stasiun Tanjung Tembing dan stasiun Panamparan adalah bukti bahwa cuaca sangat berpengaruh, dikarenakan saat pengambilan data dilakukan pada saat cuaca mendung sedangkan stasiun lainnya pada saat kondisi cuaca cerah. Tingginya suhu pada saat pasang dari pada saat surut di hampir seluruh stasiun dikarenakan pengambilan data dilakukan pada siang hari yaitu pada pukul 10.00 – 13.00 WIB sehingga menyebabkan suhu air tinggi karena mendapatkan sinar matahari secara langsung. Sedangkan data surut dilakukan pengambilan pada sore hari (jam 15.00-17.00 WIB) dimana intensitas matahari yang diterima lebih sedikit dibandingkan siang hari.

Suhu memiliki peranan penting bagi kehidupan biota perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa suhu memiliki peran terhadap proses fisika kimia dan biologi. Setiap organisme yang memiliki kisaran suhu maksimum maupun minimum dalam melangsungkan kehidupannya. Kenaikan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme pada organisme (Affandi dan Tang, 2002). Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat pula laju metabolisme yang terjadi dan mengakibatkan oksegen terlarut (DO) yang ada di perairan semakin menurun karena banyak dimanfaatkan oleh organisme. Siagian (2001) in Suwondo et al., (2010) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25 - 320C. Welch (1980) in Diniarti (2010) menambahkan bahwa suhu diatas 34 – 400C merupakan suhu letal yang dapat menyebabkan kematian bagi makroavertebrata bentik. Saenger (2002) menambahkan bahwa laju respirasi dan fotosintesis memiliki dampak yang sangat signifikan dengan laju terendah apda suhu 170C dan tertingggi pada suhu 250C.

Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 200C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 100C (Kusmana, 2008). Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, limbah, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi 2003; Nurjaya 2006).

(10)
(11)

Salinitas khususnya diwilayah pesisir terlebih lagi di ekosistem mangrove memiliki tingkat fluktuasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan wilayah pesisir merupakan daerah peralihan pasang surut dimana pengaruh darat dan laut sangat berpengaruh terhadap mangrove maupun habitat biota akuatik. Pada lokasi penelitian untuk salinitas terbagi menjadi 3 yaitu : pertama, untuk lokasi point

source pencemaran (A1, A4, A7 dan A10) yaitu berkisar antara 4,33 – 16,670/00

pada saat surut dan 4,00 – 17,000/00 pada saat pasang; kedua, pada ekosistem

mangrove (A8, A11 dan A13) berkisar antara 28,50 – 29,670/00 saat pasang dan

28,00 – 28,330/00 saat surut; ketiga, yaitu pada lokasi kearah laut setelah ekosistem

mangrove (A3, A6, A9, A12 dan 14) memiliki salinitas 28,83 – 33,670/00 saat

pasang dan 28,17 – 32,500/00 saat surut (Gambar 14, 15, dan 16). Rendahnya

salinitas di stasiun A1, A4, A7 dan A10 dikarenakan pada stasiun tersebut air yang diukur adalah air payau dari limbah penduduk yang berasal dari sumur yang ada di sekitar rumah mereka. Adapun stasiun A8, A11 dan A13 dimana mangrove ditemukan, salinitas berada pada kisaran yang optimum bagi kehidupan mangrove yaitu sampai dengan 340/00 (Kep Men LH No 51 Tahun 2004). Sedangkan untuk

stasiun A3, A6, A9, A12 dan 14 dimana perairan tersebut adalah perairan laut dimana memiliki rata-rata nilai salinitas yang tinggi dan sangat mendukung bagi kehidupan terumbu karang dan lamun (berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004).

pH yang biasa dikenal sebagai derajat keasaman digunakan sebagai penunjuk apakah suatu larutan tersebut bersifat asam atau basa. pH di perairan khususnya pesisir sangat fluktuatif tergantung dari masukan air tawar dari darat maupun air laut. pH juga sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Sebagian besar biota akuatik memiliki sensitifitas yang sangat terhadap pH. pH optimum yang disukai adalah berkisar antara 7 – 8,5 (Effendi, 2003). pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir apabila pH rendah. Nilai pH di lokasi penelitian pada saat pasang berkisar antara 6,74 – 7,52 (Gambar 14, 15, dan 16). Nilai pH terendah terletak pada stasiun A1 dimana pusat pencemaran di desa tersebut berkumpul dan tertinggi pada stasiun A14 yaitu di Desa Sepanjang. Adapun pada saat surut

(12)

(13)

berkisar antara 6,76 - 7,48 dengan nilai pH terendah berada pada stasiun A7 (pusat pencemaran) dan tertinggi pada stasiun A14 (setelah ekosistem mangrove). Nilai pH tertinggi baik pasang maupun surut berada di stasiun yang sama dikarenakan perairan tersebut bersubstrat pasir tanpa vegetasi mangrove. Berdasarkan baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai pH pada seluruh stasiun pengamatan berada pada kisaran 7,0 – 8,5 sehingga memiliki kondisi yang baik bagi kehidupan organisme dan mangrove. Nilai pH juga sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos khususnya kelas gastropoda, dimana nilai pH yang disukai adalah > 7 (Moss in Suwondo et al., 2006).

Kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh bahan organik maupun anorganik yang terdapat di perairan tersebut. Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan dan TSS. Semakin tinggi kecerahan maka semakin rendah nilai Kekeruhan dan TSS. Demikian pula sebaliknya semakin rendah nilai kecerahan maka semakin tinggi nilai kekeruhan dan TSS. Apabila suatu perairan memiliki nilai kekeruhan dan TSS yang tinggi, maka penetrasi cahaya kedalam perairan akan terganggu sehingga menyebabkan terganggunya produktivitas suatu perairan (Nybakken, 1992). Dari keseluruhan stasiun pengamatan, nilai kecerahan menunjukkan angka 100%. Hal tersebut dikarenakan lokasi pengambilan sample adalah aliran air yang kecil dan dangkal serta di pantai yang dangkal pula.

Nilai kekeruhan menunjukkan bahwa stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai kekeruhan yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 40,05 – 43,04 NTU saat pasang 45,62 – 49,13 NTU saat surut. Fenomena ini diduga dikarenakan stasiun tersebut merupakan kawasan yang paling besar menerima beban limbah langsung dari penduduk. Adapun stasiun A8, A11, dan A13 dimana ekosistem mangrove berada memiliki tingkat kekeruhan yang bervarisi baik disaat pasang maupun surut. Pada saat pasang nilai kekeruhan berkisar antara 13,1 – 30,6 NTU, sedangkan saat surut berkisar antara 16 – 34,64 NTU. Bervariasinya nilai tersebut dikarenakan kawasan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam kaitannya dengan faktor oseanografi maupun masukan dari daratan. Adapun stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 merupakan daerah yang memiliki nilai kekeruhan paling kecil, yaitu berkisar 3,43 – 3,85 NTU saat pasang dan 4,55 –

(14)
(15)

8,81 NTU saat surut. Meskipun stasiun ini adalah berbatasan langsung dengan laut yang seharusnya memiliki nilai kekeruhan yang tinggi, namun demikian hampir keseluruhan stasiun memiliki nilai kekeruhan yang rendah dan baik bagi biota laut. Berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai kekeruhan maksimum untuk biota laut adalah <5 NTU. Namun demikian hanya sebagian kecil dari seluruh stasiun yang memiliki kekeruhan yang memenuhi syarat, diantaranya yaitu stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 dan itupun hanya pada saat pasang, namun saat surut hampir seluruhnya memiliki kekeruhan lebih dari 5 NTU. Nilai kekeruhan sangat ditentukan oleh besarnya nilai kandungan nutrien dalam dari sedimen (Prartono dan Hasena, 2009). Semakin tinggi nutrien yang ada, maka semakin besar pula nilai kekeruhan dalam suatu perairan.

Nilai TSS di seluruh lokasi penelitian memiliki nilai yang berbanding lurus dengan kekeruhan. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai TSS rata-rata berkisar antara 152,79 – 183,54 mg/L pada saat pasang dan 154,48-182,1 mg/L pada saat surut. Tingginya nilai TSS dikarenakan banyaknya beban pencemar yang terakumulasi di stasiun tersebut. Penurunan kualitas air yang dibarengi dengan peningkatan nilai TSS akan berdampak langsung dalam menghambat laju fotosintesis tumbuhan perairan sehingga secara langsung pula menurunkan nilai DO dalam perairan yang diakibatkan terhambatnya penetrasi sinar matahari. Pada stasiun A8, A11, dan A13 nilai TSS pada saat pasang berkisar antara 87 - 106 mg/L, dan pada saat surut 98 - 128 mg/L. Adapun stasiun yang berbatasan langsung dengan laut yaitu stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki nilai TSS pada saat pasang berkisar antara 31 - 36 mg/L dan pada saat pasang rata-rata berkisar antara 37 - 69 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Secara umum nilai TSS pada saat surut di seluruh stasiun penelitian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan saat pasang.

Kadar oksigen terlarut pada perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan atmosfer. Selain itu kadar oksigen terlarut juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (Effendi, 2003). Terkait dengan limbah, kadar oksigen bisa jadi menjadi sangat rendah sebagai akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang membutuhkan oksigen dalam proses penguraian yang

(16)

mengakibatkan do menjadi rendah. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di Pulau Sepanjang tersebar merata dan hampir seragam pada stasiun pengamatan yang sama karakteristiknya. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai DO yang rendah yaitu berkisar antara 4,12 – 4,33 mg/L pada saat pasang dan antara 4,08 - 4,25 mg/L pada saat surut. Hal tersebut dikarenakan titik pengambilan sample merupakan pusat pertemuan pencemaran sehingga DO yang ada banyak dimanfaatkan oleh bakteri pengurai dalam proses penguraian. Adapun pada stasiun A8, A11, dan A13 yang diambil pada wilayah mangrove diketahui bahwa konsentrasi DO berkisar antara 5,45 – 5,80 mg/L pada saat pasang dan antara 5,33 – 5,96 mg/L. Sedangkan stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi do antara 5,67 – 6,34 mg/L pada saat pasang dan antara 5,10 – 6,22 mg/L.

Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut Kep Men LH No 51 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut adalah >5. Suwondo et al., (2006) menambahkan bahwa organisme di pantai dapat hidup minimal dengan kondisi DO 4 ppm tergantung dari ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran bahan pencemar, dan suhu air. Oleh karena itu untuk seluruh stasiun yang merupakan ekosistem mangrove (stasiun A8, A11, dan A13) dan stasiun di sisi laut (stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14) masih memenuhi syarat dan baik dalam kondisi pasang maupun surut. Namun untuk stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 yang merupakan pusat asal pencemaran sudah tidak memenuhi syarat bagi kehidupan biota (menurut Kep Men LH No 51 Tahun 2004) namun masih sesuai menurut Suwondo et al., (2006).

Konsentrasi bahan organik total dalam air pada stasiun pengamatan sangat bervariasi tergantung dimana lokasi pengamatan dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan informasi bahwa konsentrasi TOM pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut adalah sebesar 55,1 – 57,82 mg/L dan pasang berkisar antara 51,05 – 55,54 mg/L. Konsentrasi terbesar ditemukan pada stasiun A7 yaitu 57,82 mg/L saat surut dan 55,54 saat pasang. Besarnya nilai tersebut diakibatkan oleh banyaknya penduduk yang mendiami stasiun tersebut dan banyak membuang limbah serta pada stasiun tersebut terdapat dermaga perahu yang cukup aktif yang berpotensi meningkatkan konsentrasi bahan organik. Konsentrasi bahan organik pada stasiun A8, A11, dan A13 saat surut berkisar antara 13,66 - 30 mg/L dan

(17)

pasang berkisar antara 24,37 – 30,43 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A13 konsentrasi bahan organik pada saat surut berkisar antara 10,18 – 13,93 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 12,32 – 28,65 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Secara umum konsentrasi bahan organik semakin kearah laut semakin mengecil khususnya di rentetan stasiun yang melewati ekosistem mangrove. Hal tersebut dikarenakan bahan organik yang melawati mengendap ke dasar perairan dan mengalami pencucian.

Fosfor merupakan salah satu nutrien yang dimanfaatkan dalam pertumbuhan alga (Effendi, 2003). Fosfor yang ditemukan dalam perairan berupa ortofosfat dan polifosfat. Fosfat banyak ditemukan di perairan apabila perairan tersebut mengalami pencemaran bahan organik baik yang berasal dari limbah penduduk maupun pertanian yang menggunakan pupuk dalam usaha pertaniannya. Konsentrasi fosfat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut berkisar antara 0,23 – 0,29 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 0,18 – 0,28 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Besarnya konsentrasi fosfat di stasiun-stasiun tersebut dikarenakan banyaknya limbah organik dari buangan penduduk. Adapun pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut konsentrasi fosfat berkisar antara 0,04 – 0,07 mg/L dan pada saat surut berkisar antara 0,06 – 0,1 mg/L. Sedangkan pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi fosfat pada saat surut berkisar antara 0,02 – 0,16 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 0,04 – 0,13 mg/L. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004 kandungan fosfat maksimum adalah 0,015 mg/L, maka dapat diketahui bahwa secara keseluruhan memiliki konsentrasi fosfat yang tidak memungkinkan bagi kehidupan biota laut. Effendi (2003) menjelaskan bahwa perairan yang memiliki kandungan fosfat melebihi 0,1 merupakan perairan eutrofik yang berpotensi terjadi blooming.

Konsentrasi deterjen pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut 1,27 – 1,46 mg/L, pasang 0,99 - 1,24 mg/L. Konsentrasi deterjen tertinggi ditemukan pada stasiun A1 dikarenakan stasiun pengamatan sangat dekat dengan aktifitas penduduk yang cukup padat. Adapun konsentrasi deterjen pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut berkisar antara 0,44 – 1,04 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 0,86 – 0,92

(18)

mg/L. Sedangkan pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi deterjen pada saat surut adalah 0,36 – 0,96 mg/L dan pada saat pasang 0,37 – 0,64 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh stasiun yang berada pada point source pencemaran memiliki konsentrasi deterjen diatas 1 mg/L. Adapun untuk stasiun ekosistem mangrove dan stasiun setelah ekosistem mangrove secara umum memiliki konsentrasi deterjen yang cukup rendah yaitu dibawah 1 mg/L. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004, kandungan deterjen yang diizinkan adalah 1 mg/L sehingga secara umum kondisi perairan di Pulau Sepanjang adalah mendukung bagi kehidupan biota akuatik.

BOD merupakan jumlah oksigen yang didigunakan dalam proses biokimia bahan organik oleh organisme yang terdapat dalam air, pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 200C selama 5 hari (BOD5) (APHA, 2005). Nilai BOD5 di suatu perairan dapat dijadikan petunjuk dalam menentukan tingkat

pencemaran bahan organik suatu perairan (Effendi, 2003). Nilai BOD5 berbanding

lurus dengan konsentrasi bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Nilai BOD5 berkisar antara 2,36 – 4,07 mg/L pada

saat pasang dan 2,27 – 3,96 mg/L saat surut (Gambar 14, 15, dan 16). Nilai tertinggi pada seluruh stasiun rata-rata diperoleh pada stasiun pusat pencemaran, sedangkan nilai BOD5 terendah rata-rata ditemui setelah ekosistem mangrove. hal

tersebut sesuai dengan kondisi DO di lokasi penelitian berbanding terbalik dengan nilai BOD5. Hal tersebut dikarenakan oksigen dipakai oleh oleh mikroorganisme

dalam proses oksidasi bahan organik.

Nitrat merupakan senyawa nitrogen yang paling banyak ditemukan di perairan. Nitrat juga merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh tanaman air dan alga (Effendi, 2003). Nitrat nitrogen merupakan senyawa yang mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Dalam bentuk nitrat, nitrogen mampu dengan mudah dimanfaatkan oleh fitoplankton, sehingga nitrat memiliki peranan penting dala mengendalikan maupun memacu kesuburan perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrat 0,18 – 0,32 mg/L dan pada saat surut sebesar 0,21 – 0,28 mg/L. Sedangkan pada stasiun A8, A11, dan A13 konsentrasi nitrat pada saat pasang

(19)

adalah 0,13 – 0,16 mg/L dan pada saat surut sebesar 0,09 – 0,18 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi nitrat pada saat pasang sebesar 0,05 – 0,16 mg/L dan pada saat surut 0,07 – 0,12 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Stasiun A1, A4, A7, dan A10 memiliki konsentrasi nitrat yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya konsentrasi nitrat di stasiun-stasiun tersebut diduga karena banyaknya bahan organik yang ada di stasiun tersebut sebagai akibat buangan limbah dari penduduk yang berupa berbagai macam sampah organik dan juga sampah lainnya. Pada ekosistem mangrove nitrat selain dihilangkan melalui proses denitrifikasi, juga dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan mangrove itu sendiri (Wu et al., 2008).

Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dangan nitrogen (denitrifikasi). Pada perairan alami, nitrit ditemukan sangat sedikit sekali dan lebih sedikit dari pada nitrat karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen (Effendi, 2003). Hal tersebut dikarenakan nitrit segera dioksidasi menjadi nitrat. Meskipun sedikit, nitrit memiliki sifat toksik bagi biota. Berdasarkan hasil penelitian secara jelas ditemukan konsentrasi nitrit di seluruh stasiun memiliki konsentrasi sangat kecil bahkan ada yang mencapai 0 mg/L. Konsentrisi nitrat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 saat pasang memiliki konsentrasi antara 0,002 – 0,017 mg/L dan pada saat surut berkisar antara 0,003 – 0,014 mg/L. Sedangkan pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada yaitu stasiun A8, A11, dan A13 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrit sebesar 0,003 – 0,014 mg/L dan pada saat surut 0,002 – 0.01 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi nitrit pada saat pasang berkisar antara 0,00 – 0,004 mg/L dan pada saat surut 0,00 – 0,002 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Mayoritas sumber nitrit berasal dari limbah domestik dan limbah industri (Effendi, 2003). Pada perairan alami konsentrasi nitrit hanya sekitar 0,001 mg/L dan tidak lebih dari 0,06 mg/L (CCREM, 1987 dalam Effendi, 2003). Apabila dibandingkan dengan yang ada di likasi penelitian maka dapat disimpulkan bahwa perairan di lokasi penelitian masih bisa memenuhi syarat untuk kehidupan biota laut.

Amonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah

(20)

dan kolom air yang bersumber dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur dan biasa dikenal sebagai proses amonifikasi (Effendi, 2003). Sumber amonia diantaranya adalah feses dari hewan akuatik, difusi dari atmosfer, limbah industri dan limbah domestik. Konsentrasi amonia pada seluruh stasiun memiliki variasi yang sangat beragam. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 konsentrasi amonia pada saat pasang berkisar antara 0,29 – 0,36 mg/L dan pada saat surut berkisar antara 0,23 – 0,38 mg/L, sedangkan pada stasiun A8, A11, dan A13 konsentrasi amonia pada saat pasang adalah 0,18 – 0,29 mg/L dan pada saat surut 0,18 – 0,24 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 pada saat pasang memiliki konsentrasi amonia antara 0,13 – 0,20 mg/L dan pada saat surut 0,16 – 0,19 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Pada perairan alami, konsentrasi amonia pada umumnya kurang dari 0,1 mg/L (McNeely et al., 1979 in Effendi, 2003). Tingginya nilai amonia mengindikasikan terjadinya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, limpasan pupuk pertanian dan sebagainya (Effendi, 2003). Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004, kandungan maksimum amonia yang dizinkan adalah 0,3 mg/L. Nilai tersebut apabila dibandingkan dengan hasil penelitian, maka diketahui bahwa hampir seluruh stasiun penelitian masih sangat memenuhi syarat bagi kehidupan biota akuatik, kecuali stasiun-stasiun yang berada pada puast pencemaran yaitu A1, A4, A7 dan A10 yang hampir seluruhnya memiliki kadar amonia lebih tinggi diantara yang lainnya.

5.2.2 Distribusi Spasial Karakteristik Fisika dan Kimia Air

Untuk mengetahui secara lebih jelas karakteristik kontribusi antar stasiun pengamatan terhadap beban pencemar serta korelasinya dengan karakteristik fisika kimia air baik pada saat surut maupun pasang, maka dilakukan analisis komponen utama (AKU) atau yang lebih dikenal dengan uji Principal Component

Analysis (PCA). Hasil uji tersebut disajikan pada Gambar 17 dan 18.

Gambar berikut merupakan biplot kualitas perairan saat kondisi perairan mengalami pasang tertinggi. Gambar 17 menunjukkan bahwa stasiun A12, A3, dan A9, berada dalam satu kelompok yang sama, dalam artian stasiun tersebut

(21)

memiliki karakter lingkungan yang hampir sama. Parameter yang paling dominan pada kelompok tersebut adalah kecepatan arus. Sedangkan stasiun A4 dan A7 memiliki karakter yang sama dalam menyumbang bahan pencemar berupa BOD5,

TOM, deterjen, nitrat, dan kekeruhan. Adapun stasiun A1 dan A10 memiliki karakter yang sama pula dengan penyumbang beban pencemar yang dominan adalah fosfat, amonia, dan nitrit. Stasiun A4 dan A12 memiliki karakter yang kuat pada parameter pH, DO dan kedalaman. Untuk stasiun A8 memiliki karakter yang kuat diantara beberapa parameter penelitian dengan karakter yang lebih menonjol pada parameter nitrit.

Gambar 17 Biplot kualitas perairan pada kondisi pasang tertinggi

(22)

Pada kondisi surut terendah seluruh stasiun memiliki karakteristik yang berbeda pula seperti halnya pada saat pasang tertinggi (Gambar 18). Pada gambar tersebut diketahui bahwa stasiun A3, A9, A9, A12 dan A14 memiliki karakteristik lingkungan yang sama yaitu DO. Demikian halnya yang terjadi pada stasiun A11 yang memiliki karakter kuat pada seluruh parameter namun lebih menonjol pada parameter DO. Pada stasiun tersebut berkorelasi positif dengan bahan pencemar berupa nitrat, amonia, TSS, kekeruhan, BOD5, fosfat, dan deterjen. Adapun

stasiun A4, A7, dan A10 memiliki pola yang sama memiliki karakteristik yang didominasi oleh nitrat, amonia, TSS, kekeruhan, dan TOM. Sedangkan stasiun A1 memiliki karakteristik yang berbeda sama sekali dengan stasiun-stasiun lainnya dimana memiliki karakteristik yang kuat dalam menyumbang bahan pencemar berupa BOD5, fosfat, deterjen, dan nitrit. Adapun stasiun A6, A8, dan A13

memiliki karakter yang kuat pada seluruh parameter, namun lebih menonjol pada faktor lingkungan berupa kedalaman, pH, dan kecepatan arus.

5.2.3 Karakteristik Fisika Kimia Sedimen

Analisis terhadap sifat-sifat tanah dilakukan pada 14 stasiun penelitian. Sifat-sifat tanah tersebut diharapkan dapat menjadi gambaran secara umum bagi lokasi penelitian dalam upaya diketahuinya kapasitas asimilasi ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Adapun rincian dari stasiun-stasiun tersebut adalah disajikan pada Gambar 19, 20, dan 21.

Sifat-sifat tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi beberapa parameter, diantaranya : fraksi sedimen, C organik sedimen, N organik, dan P. Pengukuran tersebut selain digunakan untuk mengetahui kapasitas asimilasi ekosistem mangrove, juga digunakan untuk mengetahui karakteristik sedimen pada mangrove di lokasi penelitian. Penelitian terkait dengan fraksi sedimen pada seluruh lokasi penelitian dilakukan pada keseluruhan stasiun penelitian. Pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan pengambilan sample pada 3 layer yang berbeda, yaitu layer 10 cm, 30 cm, dan 60 cm kecuali pada beberapa stasiun yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pengambilan sample. Adapun hasil analisis fraksi sedimen disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil penelitian, fraksi sedimen di Pulau Sepanjang adalah pasir dengan kisaran (46,89 – 99,43)%,

(23)

debu dengan kisaran rata-rata (0,00 – 21,49)%, dan liat berkisar antara (0,57 - 51,66)%. Diketahuinya prosentase sedimen adalah setelah dilakukan pengukuran fraksi sedimen dengan menggunakan metode pipet dan hasil tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Segitiga Miller. Hasil yang didapat merupakan interpretasi dari gambaran umum sedimen di Pulau Sepanjang.

Secara umum substrat yang terdapat di Pulau Sepanjang berupa substrat pasir. Hal tersebut dikarenakan material penyusun Pulau Sepanjang secara umum adalah berupa pulau karang sehingga substrat yang mendominasi adalah substrat berpasir. Pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 yang merupakan lokasi berkumpulnya beban pencemar mimiliki substrat yang bervariasi antar baik antar stasiun maupun antar layernya. Pada stasiun S7 misalnya, pada stasiun tersebut memiliki perbedaan di setiap layernya, yaitu bersubstrat pasir di layer atas, lempung berpasir di layer tengah, dan lempung liat berpasir di layer bawah. Namun demikian, pada stasiun S4 dan S10 memiliki karakteristik substrat yang sama pada ketiga layer di masing-masing tipenya, yaitu liat berpasir di stasiun S4 dan lempung berpasir di stasiun S10.

Stasiun yang terdapat pada ekosistem mangrove (S2, S5, S8, dan S11) juga memiliki kondisi substrat yang mayoritas berpasir. Pada stasiun S5 dimana substrat pada lokasi tersebut mutlak berpasir dan berhadapan langsung dengan laut lepas, hanya memiliki mangrove dengan spesies Pandanus tectorius. Demikian halnya dengan stasiun S2 dimana substrat adalah pasir dan pasir berlempung, maka mangrove yang dapat hidup dengan baik adalah spesies

Avicennia officinalis. Kusmana et al. (2008) menjelaskan bahwa pertumbuhan

mangrove sangat dipengaruhi oleh substrat dimana habitat mangrove berada baik berpasir, koral, tanah berkerikil, maupun tanah gambut.

Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 yang merupakan stasiun paling luar (berada di posisi paling depan menghadap ke laut), kesemuanya terdiri dari substrat berpasir dari ketiga layernya. Perbedaan hanya didapat pada layer 60 cm pada stasiun S6 dan layer 30 cm pada stasiun S12 yang masing-masing bersubstrat lempung berpasir. Perbedaan tipe substrat sangat mempengaruhi terhadap faktor fisik, kimia, maupun biologi suatu perairan. Pada substrat berpasir sangat jarang bisa ditemui mollusca namun masih bisa ditemui crustacea. Demikian halnya

(24)

dengan spesies mangrove yang dapat hidup pada tipe substrat tersebut. Hal tersebut dikarenakan masing-masing spesies mangrove memiliki karakteristik sedimen yang berbeda-beda tiap jenisnya.

Selain itu tekstur sedimen sangat menentukan terhadap daya dukung penerimaan limbah yang masuk. Semakin kasar suatu tekstur, maka semakin besar pula kemampuannya dalam menerima laimbah. Sebaliknya semakin kecil ukuran suatu tekstur sedimen, maka semakin kecil pula daya dukung sedimen dalam menerima beban limbah. Kemampuan tersebut sangat terkait dengan kondisi oksidatif sedimen. kondisi oksidatif tersebut menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik, namun sebaliknya akan lebih bisa bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya.

Kandungan bahan organik dalam sedimen berbeda-beda berdasarkan jenis substrat yang menyusunnya. Substrat yang lebih halus memiliki kemampunya menyimpan bahan organik yang lebih baik dari pada substrat yang lebih kasar. Nilai rata-rata C-organik pada masing-masing stasiun penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan pada masing-masing lokasi yang berbeda. Stasiun S1, S4, S7, dan S10 yang merupakan pusat pencemaran memiliki konsentrasi C organik sebanyak 14,53 – 18,36% pada saat surut dan 13,47 – 16,47% pada saat pasang. Sedangkan stasiun S2, S5, S8, dan S11 merupakan kawasan ekosistem mangrove memiliki konsentrasi C organik pada saat surut berkisar antara 17,04 – 24,04% dan pada saat pasang sebesar 15,12 – 22,86%. Adapun pada stasiun S3, S6, S9, dan S12 konsentrasi C organik pada saat surut berkisar antara 6,19 – 30,67% dan pada saat pasang sebesar 10,12 – 25,82%.

Tingginya konsentrasi C organik pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 dikarenakan posisi stasiun tersebut berada pada pusat pencemaran sehingga bahan organik dari limbah antropogenik banyak terendap pada stasiun-stasiun tersebut. Sedangkan tingginya C organik pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada dikarenakan banyaknya serasah mangrove yang mengakibatkan kandungan C organik tinggi. Selain itu kondisi substrat juga sangat berpengaruh, semakin halus fraksi substrat di suatu lokasi, maka semakin banyak pula kandungan C organiknya. Menurut Foth (1978) in Iswahyudi (2008), faktor yang

(25)
(26)

mempengaruhi jumlah dan penyebaran bahan organik antara lain : iklim, vegetasi, kondisi drainase dan tekstur tanah. Semakin rapat tegakan mangrove yang ada pada suatu lokasi, maka semakin tinggi pula kandungan bahan organiknya.

Nitrogen total merupakan gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan amonia pada air limbah (Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2003). Terlihat bahwa stasiun pusat pencemaran (S1, S4, S7, dan S10) memiliki konsentrasi N organik yang tinggi yaitu berkisar antara 0,89 – 1,23% saat pasang dan pada saat surut sebesar 0,92 – 1,26%. Sedangkan stasiun S2, S5, S8, dan S11 (stasiun pada ekosistem mangrove) memiliki konsentrasi N organik pada saat pasang berkisar antara 0,96 – 1,26% dan pada saat surut sebesar 0,98 – 1,22%. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 memiliki konsentrasi saat pasang 0,49 – 1,05% dan saat surut 0,54 – 1,00%. Terlihat jelas bahwa stasiun yang berada pada pusat pencemaran memiliki kandungan N organik yang lebih tinggi dari pada stasiun lainnya dan selanjutnya diikuti oleh stasiun pada ekosistem mangrove. Tingginya N organik pada keseluruhan stasiun secara umum berkorelasi positif dengan tingginya C organik. Selain itu diduga bahwa tingginya N total adalah disebabkan oleh perbedaaan fraksi sedimen dimana fraksi sedimen yang lebih halus lebih banyak memerangkap bahan organik dari pada sedimen yang berukuran lebih kasar. Wu

et al., (2008) menyatakan bahwa sedimen merupakan media utama yang mampu

memerangkap nitrogen. Zhang et al., (2010) menambahkan bahwa 97% TN dan 95% TP pada ekosistem mangrove diendapkan oleh sedimen.

Kadar Total P sangat tergantung pada bahan organik yang tersedia, semakin tinggi bahan organik yang tersedia, maka semakin banyak fosfat yang tersedia. Menurut Sanchez (1976) in Iswahyudi (2008) tingkat P dalam tanah mineral dikendalikan oleh komposisi mineral dam sifat-sifat tanah seperti : pH tanah, Kadar Fe dan Al-terlarut, Ca-tersedia, bahan organik, dan aktivitas mikroorganisme tanah. Pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 diketahui bahwa saat pasang konsentrasi total P berkisar antara 0,12 – 0,23% dan saat surut 0,16 – 0,24%, sedangkan stasiun S2, S5, S8, dan S11 pada saat pasang memiliki konsentrasi antara 0,09 – 0,25% dan saat surut 0,11 – 0,27%. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 pada saat pasang memiliki konsentrasi sebesar 0,07 – 0,25% dan saat surut 0,08 – 0,28%.

(27)
(28)

Total organik matter/ bahan organik pada sedimen di seluruh lokasi penelitian menunjukkan angka yang fluktuatif sebagaimana terjadi pada air. Konsentrasi TOM tertinggi didapat pada stasiun S8 baik pasang maupun surut dengan konsentrasi 55,2% saat pasang dan 46,48% saat surut. Hal tersebut dikarenakan stasiun tersebut memiliki kondisi mangrove sangat rapat sekaligus menerima beban limbah dari stasiun S7 dimana stasiun tersebut merupakan pusat terjadinya pencemaran di desa Pajan Barat. Adapun stasiun yang memiliki konsentrasi TOM paling rendah adalah stasiun S6 dimana stasiun tersebut berada di sisi selatan Pulau Sepanjang dengan memiliki substrat pasir dan tidak jauh dari stasiun tersebut terdapat palung yang kedalamannya mencapai 300 m.

Sebaran pH sedimen berkisar antara 6,40 – 7,44. Adapun secara terperinci nilai pH pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 pada saat pasang berkisar antara 6,70 – 6,94 dan pada saat surut 6,62 – 6,90. Sedangkan pada stasiun S2, S5, S8, dan S11 pada saat pasang nilai pH berkisar 6,40 – 6,85, dan berkisar antara 6,40 – 6,80 pada saat surut. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 memiliki rata-rata nilai pH pada saat pasang surut 7,20 – 7,44 dan pada saat pasang 7,12 – 7,43. Secara umum stasiun yang menghadap ke laut memiliki nilai pH substrat yang tinggi. Sebaliknya stasiun yang berada pada pusat pencemaran memiliki nilai pH substrat yang rendah. Hal tersebut dikarenakan pada pusat pencemaran memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi. pH substrat memiliki nilai berbanding terbalik dengan kadar C organik (Notohadiprawiro, 1986 in Emiyarti, 2004).

Secara umum kandungan deterjen di keseluruhan stasiun penelitian adalah sangat kecil yaitu berkisar antara 0,0001% sampai dengan 0,00035%. Sedangkan secara terperinci di stasiun S1, S4, S7, dan S10 pada saat pasang memiliki kandungan konsentrasi deterjen sebesar 0,00019 – 0,00031% dan pada saat surut sebesar 0,00014 – 0,00035%. Pada stasiun S2, S5, S8, dan S11 memiliki konsentrasi deterjen saat pasang berkisar antara 0,00013 – 0,00022% dan pada saat surut berkisar antara 0,00014 – 0,00027%. Adapun pada stasiun S3, S6, S9, dan S12 pasang berkisar antara 0,0001 – 0,00019% dan pada saat surut berkisar antara 0,00007 – 0,00024%. Tingginya konsentrasi deterjen pada stasiun S1 dan S4 dikarenakan tingginya konsentrasi deterjen di air pada stasiun tersebut.

(29)
(30)

Gambar 22 Biplot karakteristik fisika kimia sedimen pada kondisi pasang tertinggi

Gambar 23 Biplot karakteristik fisika kimia sedimen pada kondisi surut terendah

Hasil analisis biplot pada distribusi karakteristik fisika dan kimia sedimen saat pasang tertinggi menunjukkan karakter yang menyebar luas bagi masing-masing stasiunnya (Gambar 22). Stasiun S3, S6, S10, dan S13, berada dalam satu kelompok yang sama, dalam artian stasiun tersebut memiliki yang sama dimana tidak memiliki pengaruh yang dominan terhadap beban pencemar. Stasiun S1, S2, S4, S5, dan S7 memiliki karakter yang penyumbang konsentrasi N organik dan deterjen. Adapun stasiun S8, S9, dan S13 secara umum memiliki konsentrasi yang

(31)

dominan pada beban pencemar berupa C organik, P, dan TOM. Sedangkan stasiun S12, dan S14 memiliki karakter yang kuat pada pH tanah.

Gambar 23 menunjukkan hasil analisis biplot karakteristik fisika dan kimia sedimen saat kondisi perairan mengalami surut terendah. Stasiun S3, S6, S10, dan S11 memiliki karakter yang sama dan tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam menyumbang beban pencemar. Stasiun S1, S2, S4, dan S7 berada pada satu kelompok yang sama dengan memlikiki karakter yang kuat pada deterjen dan N organik. Parameter TOM dan P berkorelasi positif, sedangkan deterjen berkorelasi negatif dengan nilai pH tanah. Adapun stasiun S8, S11, dan S13 memiliki karakter yang kuat dalam menyumbang beban pencemar berupa C organik, P, dan TOM. Adapun stasiun S12 dan S14 memiliki karakter yang kuat pada parameter pH tanah.

5.2.4 Struktur Komunitas Makrozoobentos

Organisme makrozoobentos yang terdapat pada lokasi penelitian terdiri dari 12 spesies yang terbagi dalam 3 kelas. Kelas tersebut adalah gastropoda (10 jenis), bivalvia (1 jenis), dan malacostraca (1 jenis). Adapun komposisi dari makrozoobentos pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 24.

Gambar 24 Komposisi kelas makrozoobentos pada lokasi penelitian

Gambar tersebut menunjukkan bahwa 83% makrozoobentos yang ditemukan adalah dari kelas gastropoda. gastropoda pada lingkungan mangrove memiliki arti sangat penting dalam proses dekomposisi serasah mangrove.

83%

9% 8%

(32)

Sedangkan kelas malacostraca dan bivalvia hanya ditemukan masing-masing 1 spesies dari total stasiun penelitian dengan kelimpahan masing-masing 9% untuk Malacostraca dan 8% untuk Bivalvia. Adapun sebaran makrozoobentos yang paling banyak ditemukan adalah dari kelas gastropoda. Stasiun S8 merupakan stasiun dimana banyak ditemukan spesies Clypeomorus coralium dari kelas gastropoda (71 individu dari 86 individu yang ada). Sedangkan stasiun yang memiliki kelimpahan individu paling sedikit adalah stasiun S6 yang hanya ditemukan Cerithidea quadrata dari kelas gastropoda (Lampiran 6). Banyaknya kehadiran gastropoda sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mangrove pada lingkungan pesisir (Suwondo et al., 2006). Selain itu banyaknya jenis gastropoda yang terdapat pada lokasi penelitian sangat terkait dengan faktor lingkungan yang mendukung keberadaannya (Cannicci et al., 2009). Nagelkarken et al., (2008) menyatakan bahwa distribusi gastropoda pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : sinar matahari, pasang surut, salinitas dan tipe substrat. Sedimen yang didominansi pasir sangat mendukung bagi kehidupan gastropoda (Barnes dan Hughes, 1999). Sedangkan Lee (2008) berpendapat bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam kelimpahan makrozoobentos adalah bahan organik.

Indeks keanekaragaman memiliki kontribusi penting dalam mengetahui status lingkungan suatu ekosistem. Nilai indeks keanekaragaman pada lokasi penelitian berkisar antara 0 – 2,18 dengan nilai tertinggi ditemui pada stasiun S9 (H’ = 2,18) dan terkecil pada stasiun S6 dan S15 (H’ = 0). Adapun secara lengkap disajikan pada (Lampiran 7). Heddy dan Kurniaty (1996) menjelaskan bahwa dengan mengetahui nilai indeks keanekaragaman suatu organisme, dapat diketahui pula tingkat stress atau tekanan yang didapat oleh lingkungan. Secara keseluruhan nilai indeks keanekaragaman menunjukkan angka < 3,32 yang menunjukkan keseluruhan stasiun memiliki status keanekaragaman rendah.

Nilai Indeks keseragaman pada keseluruhan lokasi penelitian menunjukkan kisaran antara 0 – 7,67 dengan nilai indeks keseragaman tertinggi pada stasiun S9 dan terendah pada stasiun S6 dan S15 (Lampiran 7). Nilai indeks keseragaman memiliki arti dalam menggambarkan keseimbangan ekologis suatu ekosistem. Semakin besar nilai indeks keseragaman, maka semakin baik pula

(33)

kualitas lingkungan yang dimiliki, namun sebaliknya semakin rendah nilai indeks keseragaman, maka semakin tidak baik pula kualitas lingkungan yang ada.

Nilai indeks dominansi pada keseluruhan lokasi penelitian berkisar antara 0,25 - 1 dengan nilai tertinggi pada stasiun S6 dan S15 dan terendah pada stasiun S9. Nilai indeks dominansi menunjukkan dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas makrozoobentos. Apabila terdapat suatu nilai yang tinggi, maka terdapat suatu spesies tertentu yang mendominansi suatu komunitas, sedangkan sebaliknya semakin rendah nilai indeks ini, maka tidak terdapat dominansi oleh spesies tertentu. Tingginya nilai indeks dominansi pada stasiun S6 dan S15 dikarenakan pada stasiun tersebut hanya ditemukan 1 individu makrozoobentos dari jenis Cerithidea quadrata. Sebaliknya nilai terkecil pada stasiun S9 dikarenakan pada stasiun tersebut ditemukan 34 individu yang terbagi dalam 6 spesies yang berbeda.

5.3 Hubungan Mangrove dan Karakteristik Biofisik Lingkungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik air dan sedimen sangat mempengaruhi distribusi jenis mangrove maupun makrozoobentos. Pada stasiun S8 dimana mangrove spesies yang paling banyak ditemui adalah Bruguiera

gymnorrhiza dan memiliki substrat pasir ternyata sangat disukai oleh gastropoda.

Demikian halnya yang terjadi pada stasiun S13 dimana mangrove yang paling banyak ditemui adalah Avicennia officinalis dengan substrat pasir juga sangat disukai oleh gastropoda. Adapun mangrove stasiun S11 dimana spesies

Rhizophora apiculata paling banyak ditemukan dan memiliki substrat lempung

berpasir, ternyata juga paling disukai oleh gastropoda.

Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Suhu optimum mangrove adalah diatas 200C dengan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 50C (Saparinto, 2007). Pada lokasi penelitian suhu berkisar antara 28,830C – 30,830C dan surut 280C – 30,330C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 200C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 100C (Kusmana et al., 2008). Menurut Hutcings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa temperature optimum bagi pertumbuhan daun Rhizophora stylosa, Ceriops spp., adalah

(34)

berkisar antara 26-280C, sedangkan bagi Bruguiera spp. adalah 270C. Oleh karena itu suhu di keseluruhan lokasi penelitian berada pada kondisi baik bagi seluruh organisme akuatik maupun bagi kehidupan mangrove. Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi 2003; Nurjaya 2006). Selain itu suhu juga dipengaruhi oleh faktor antropogenik seperti limbah dan sebagainya.

Salinitas memiliki peran penting bagi pertumbuhan, daya adaptif, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993). Mangrove dapat tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas air payau (> 0,5‰) sampai dengan salinitas air laut 30‰ - 33‰. Salinitas yang tinggi (> 35‰) dapat berpengaruh buruk bagi vegetasi mangrove karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif (Bengen, 2002). Pada keseluruhan lokasi penelitian didapatkan nilai salinitas berkisar antara 28,50 – 29,670

/00 saat pasang dan 28,00 – 28,330/00 saat surut. Ini menunjukkan bahwa

salah satu parameter kualitas lingkungan berupa salinitas berada pada kondisi yang optimum bagi pertumbuhan mangrove.

Pasang surut juga sangat mempengaruhi distribusi dan struktur vegetasi serta fungsi mangrove. Mangrove yang mengalami penggenangan secara terus menerus biasanya hanya bisa ditumbuhi oleh Rhizophora mucronata dan beberapa ada yang tumbuh diantaranya adalah Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. Pasang surut juga sangat mempengaruhi sistem perakaran. Pada lokasi penelitian pasang surut yang terjadi tidak melebihi dari 1 m, oleh karena itu perakaran dari mangrove juga tampak tidak terlalu tinggi khususnya dari genus Rhizophoraceae.

Kaitannya dengan oksigen terlarut (DO), mangrove dan biota yang berasosiasi dalam ekosistem mangrove sangat membutuhkan bagi proses respirasi dan fotosintesis (Aksornkoae, 1993). Namun demikian oksigen terlarut dapat diperoleh lebih dari bantuan hewan yang melobangi substrata tau dengan adaptasi perakaran. Pada lokasi penelitian didapat nilai oksigen terlarut berkisar antara 5,45 – 5,80 mg/L pada saat pasang dan antara 5,33 – 5,96 mg/L saat surut. Angka ini sangat mendukung bagi kehidupan mangrove dan biota yang berasosiasi dikarenakan masih dalam range yang diinginkan. Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa oksigen yang ada pada ekosistem mangrove berkisar antara 3,8 – 7,3 mg/L,

(35)

sedangkan baku mutu bagi biota laut dalam Kep Men LH No. 51 Tahun 2004 menyatakan bahwa oksigen terlarut harus lebih dari 5 mg/L.

Mangrove memiliki hubungan yang erat dengan substrat. Jenis substrat sangat mempengaruhi bagaimana zonasi terbentuk. Selain itu substrat sangat berpengaruh terhadap lingkungan yang di sekitar mangrove. Pada lokasi penelitian secara umum substrat berpasir baik apda layer 10 cm, 30 cm, maupun 60 cm. Sebagai contoh pada stasiun S7, S10, S12, dan S13 (Lampiran 2) menunjukkan bahwa substrat utama yang ada berupa substrat berpasir, dan ternyata pada stasiun tersebut spesies Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan cukup baik. Steenis (1958) in Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa

Rhizophora mucronata dapat hidup dengan baik pada substrat berpasir, dan

Gledhy (1963) in Aksornkoae (1993) juga menambahkan bahwa substrat lumpur berpasir sangat mendukung bagi kehidupan Avicennia marina dan Bruguiera spp.

Gambar 25 menunjukkan hasil analisis faktorial koresponden pada saat surut terendah. Terlihat jelas pada kuadran 1 dimana stasiun S11 berada sangat didominasi oleh mangrove dari spesies Rhizophora apiculata. Stasiun ini cenderung berada pada substrat lempung berpasir dengan faktor lingkungan yang paling mempengaruhi adalah pH dan deterjen. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang berada pada lokasi ini sangat menonjol pada nilai pH dan deterjen. Adapun pada kuadran 2 dimana S8 dan S13 berada, masing-masing memiliki mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia officinalis ternyata banyak ditemukan gastropoda. Parameter yang paling berpengaruh dari kuadran ini adalah TOM, pH, deterjen, P, dan N. Sedangkan pada stasiun S5 dimana spesies Pandanus tectorius mendominasi memiliki substrat berpasir dan tidak ditemukan makrozoobentos. Parameter yang mendominasi apda stasiun ini adalah C organik dan deterjen. Kuadran 4 dimana stasiun S2 berada didominasi oleh mangrove dari spesies Avicennia marina. Parameter yang mendominasi pada stasiun ini adalah N organik, P, TOM, dan pH.

(36)

Gambar 25 Distribusi spasial hubungan mangrove dan karakteristik lingkungan pada saat surut terendah

Gambar 26 Distribusi spasial hubungan mangrove dan karakteristik lingkungan pada saat pasang tertinggi

(37)

Sebaran spasial hubungan ekosistem mangrove dengan lingkungannya pada saat pasang tertinggi disajikan pada Gambar 26. Kondisi pasang tertinggi pada kuadran 1 dimana stasiun S5 berada ditemukan spesies Pandanus tectorius. Pada stasiun ini parameter lingkungan yang mendominasi adalah N organik, P, C organik, pH dan tidak ditemukan makrozoobentos. Sedangkan pada kuadran 2 dimana stasiun S2 berada memiliki substrat pasir dan didominasi oleh parameter TOM, pH, dan deterjen. Tidak ditemukannya makrozoobentos disini dikarenakan makrozoobentos sulit untuk hidup pada substrat berpasir yang disebabkan oleh dinamika substrat pasir yang lebih dinamis.

Kuadran 3 dimana stasiun S8 dan S13 dimana tumbuh mangrove spesies

Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia officinalis ternyata sangat disukai oleh

makrozoobentos dari kelas gastropoda. Parameter kualitas lingkungan yang dominan pada stasiun ini adalah C organik, N organik, P, dan TOM. Sedangkan pada kuadran 4 dimana stasiun S11 berada memiliki substrat lempung berpasir dengan dominasi spesies Rhizophora apiculata memiliki karakter lingkungan yang didominasi oleh C organik, TOM, dan deterjen. Mendominasinya C organik pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada dikarenakan banyaknya serasah mangrove yang mengakibatkan kandungan C organik tinggi. Selain itu kondisi substrat juga sangat berpengaruh, semakin halus fraksi substrat di suatu lokasi, maka semakin banyak pula kandungan C organiknya. Menurut Foth (1978) in Iswahyudi (2008) faktor yang mempengaruhi jumlah dan penyebaran bahan organik antara lain mencakup iklim, vegetasi, kondisi drainase dan tekstur tanah. Selain itu tingginya C organik pada lokasi penelitian sangat dipengaruhi guguran serasah maggrove baik yang berasal dari daun, batang, ranting, buah, maupun akar. Semakin rapat tegakan mangrove yang ada pada suatu lokasi, maka semakin tinggi pula kandungan bahan organiknya.

5.4 Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Pulau Sepanjang

Beban pencemar merupakan istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna, 2007). Tingkat pencemaran pada pesisir Pulau Sepanjang sampai dengan saat ini masih belum

(38)

dirasakan mengalami peningkatan secara signifikan. Hal tersebut dikarenakan masih alaminya ekosistem yang ada serta jumlah penduduk yang mendiaminya tidak terlalu padat. Pada tahun 2006 penduduk Pulau Sepanjang berjumlah hanya 7.843 jiwa yang masing masing terbagi atas Desa Sepanjang (4747 jiwa) dan Desa Tanjung Kiaok (3096 jiwa). Sedangkan pada Tahun 2008 penduduk pada pulau Sepanjang meningkat menjadi 9.730 jiwa yang terbagi dalam 2 desa, masing-masing desa tersebut adalah Desa Sepanjang sebanyak 409 jiwa dan Desa Tanjung Kiaok sebanyak 3.131 jiwa (BPS, 2009). Namun demikian, peningkatan jumlah penduduk tersebut berpotensi mengancam lingkungan dengan makin meningkatnya buangan limbah yang dihasilkan.

Belum terjamahnya Pulau Sepanjang oleh industri yang disertai aktivitas transportasi yang tidak terlalu padat, menjadikan pulai ini tetap terjaga kealamiannya. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan ekosistem mangrove yang masih luas dan rapat ditambah dengan potensi terumbu karang yang luas dan masih alami serta keanekaragaman biota yang mendiaminya. Disisi lain, dengan kealamian tersebut terdapat suatu potensi dan sekaligus ancaman bagi pulau tersebut. Potensi yang ada sangat mendukung pagi pengembangan pulau tersebut sebagai kawasan wisata yang berpotensi dalam meningkatkan perekonomian penduduk setempat, namun ancaman yang sekaligus didapat adalah potensi pencemaran yang sekaligus berpotensi merusak ekosistem yang saat ini ada.

Adapun tujuan dari perhitungan beban pencemar adalah untuk mengetahui jenis beban pencemar yang ada di Pulau Sepanjang serta untuk mengetahui seberapa besar jumlah yang masuk ke dalam perairan. Perhitungan kapasitas asimilasi dilakukan dengan membandingkan konsentrasi dan beban limbah yang ada pada kondisi eksisting dengan konsentrasi dan beban limbah yang didasarkan pada baku mutu bagi kehidupan biota laut yang tercantum dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004. Apabila hasil perhitungan terhadap konsentrasi bahan pencemar dan beban limbah tidak melebihi grafik baku mutu, maka dapat dikatakan belum melampaui kapasitas asimilasi, namun apabila telah melebihinya, maka dikatakan telah melampauinya.

Nilai beban pencemar dari seluruh parameter pada seluruh stasiun didapatkan dengan mengalikan konsentrasi pencemar maksimum dengan volume

(39)

air yang didapat pada lokasi penelitian. Nilai volume didapatkan dengan mengalikan lebar aliran air dan ketinggian aliran air serta kecepatan arus yang ada. Untuk stasiun pada ekosistem mangrove nilai volume didapatkan dengan mengalikan luasan ekosistem mangrove dengan ketinggian air rata-rata serta kecepatan arus rata-rata yang terdapat pada stasiun-stasiun tersebut. Adapun nilai beban pencemar maksimum yang ditampilkan dan dimiliki oleh seluruh stasiun dengan harapan nilai yang didapat dalam kapasitas asimilasi nantinya adalah nilai maksimum dari beban pencemar yang ada pada lokasi penelitian.

Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia yang mendiami sekitar aliran perairan mulai dari hulu sungai yang mengalir kearah laut (Suharsono, 2005). Pada stasiun A1, A4, A7, dan A10 konsentrasi beban pencemar secara umummemiliki nilai lebih tinggi pada saat surut dari pada saat pasang. Perbedaan nilai tersebut tidak lebih dikarenakan banyak faktor diantaranya laju penguraian, konsentrasi beban pencemar dan waktu pembilasan. Pada saat pasang, beban limbah yang masuk akan sangat kecil dikarenakan tertahan oleh tingginya atau terjadinya peningkatan oleh massa air yang berasal dari laut. Sedangkan sebaliknya pada saat surut beban limbah yang ke muara dan pantai akan besar (Rafni, 2004; Hadi, 2005 in Mezuan, 2007).

Kapasitas asimilasi merupakan kemampuan dari suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima limbah ataupun bahan pencemar tanpa menyebabkan gangguan ataupun kerusakan bagi lingkungan ataupun ekosistem tersebut. Perhitungan kapasitas asimilasi sangat tergantung dari lingkungan studi dan bersifat sangat spesifik, sehingga antara suatu lingkungan dengan lingkungan yang lain akan berbeda penilaiannya. Nilai kapasitas asimilasi dapat ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya pada suatu grafik. Setelah itu hasil yang diperoleh direferensikan dengan baku mutu yang berlaku dan berkaitan dengan biota laut (Rajab, 2005).

5.4.1 Stasiun pada Ekosistem Mangrove (A8, A11, dan A13)

Stasiun pada ekosistem mangrove (A8, A11, dan A13) secara umum memiliki kondisi yang unik pada setiap stasiunnya. Persamaan regresi pada konsentrasi dan beban pencemaran deterjen adalah y = 329,22x – 7,547 dengan R2

(40)

= 0,5669 (Gambar 27). Beban pencemar maksimum yang dapat diasimilasi adalah sebesar 369,966 kg/jam dengan konsentrasi deterjen maksimum sebesar 1 mg/l.

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan stasiun di ekosistem mangrove berada pada saat pasang tertinggi maupun surut terendah memiliki kondisi under capacity kecuali stasiun A8 yang telah mengalami over

capacity pada saat surut terendah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa

secara keseluruhan stasiun di ekosistem mangrove memiliki kondisi yang belum tercemar oleh parameter deterjen kecuali stasiun A8.

Gambar 27 Analisis regresi antara konsentrasi deterjen dan beban pencemar deterjen

Parameter kekeruhan di stasiun penelitian memiliki konsentrasi yang telah mengalami over capacity. Gambar 28 merupakan gambar regresei linier yang didapat dari korelasi antara konsentrasi dan beban pencemar parameter kekeruhan. Pada gambar tersebut didapat persamaan y = 76,802x + 200,79 dengan R2 = 0,7845. Adapun nilai kapasitas asimilasi maksimum adalah 517,957 kg/jam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan stasiun penelitian telah tercemar oleh parameter kekeruhan. Hal tersebut wajar dikarenakan pada stasiun mangrove banyak terdapat bahan organik yang berpotensi menjadikan nilai kekeruhan sangat tinggi. Sumber bahan organik tersebut selain dari limbah penduduk jug didapat dari guguran serasah mangrove.

Gambar

Tabel 11 Jumlah tegakan mangrove setiap 300m 2
Tabel 12 Indek Nilai Penting (INP) mangrove setiap 300 m 2
Gambar 13 Kondisi pasang surut pada lokasi penelitian a) Bulan Maret b) Bulan  April Tahun 2011
Gambar 14 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun pusat pencemaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di Jakarta, pernah dilakukan penelitian mengenai faktor risiko rinitis akibat kerja antara lain pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum (Pujiwati, 2006) dan

Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan dianalisis data dalam pembahasan tentang Pengaruh layanan bimbingan kelompok dengan

2 Putar kenop volume untuk memilih item (lihat tabel berikut), kemudian tekan kenop.. 3 Ulangi langkah 2 hingga item yang diinginkan dipilih atau

Kegiatan penulis saat ini selain melakukan penelitian yang berhubungan dengan kanker dan penyakit degeneratif lainnya, penulis juga mengajar beberapa mata kuliah antara lain

Pada divisi 1 yang merupakan workshop jalur 1 yaitu tempat untuk mempersiapkan besi yang akan digunakan pada proses produksi jalur 1, potensi bahaya yang paling tinggi adalah

Secara normal domba memiliki saluran pencernaan mulai dari mulut, esophagus, lambung (rumen, reticulum, omasum, dan abomasum), usus halus (duodenum, jejenum, dan