• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci Absorpsi, Removal CO 2, Isotermal.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci Absorpsi, Removal CO 2, Isotermal."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak— Gas CO2 merupakan gas yang bersifat asam, dengan adanya uap air akan menyebabkan CO2 semakin korosif. Gas CO2 juga dapat mengurangi nilai kalor pada gas alam. Oleh karena itu, pemisahan CO2 dari campuran gas merupakan proses yang penting di industri. Absorpsi reaktif CO2 menggunakan pelarut kimia adalah metode yang paling banyak digunakan karena efektif dan ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mensimulasikan kolom absorber pada unit CO2 removal dalam skala industri yang menggunakan larutan Benfield. Simulasi dilakukan secara teoritis dengan mengembangkan model matematis untuk fenomena perpindahan massa yang disertai reaksi kimia pada proses removal CO2 dalam larutan K2CO3 berkatalis ACT-1, dengan asumsi isotermal. Model perpindahan massa yang digunakan adalah model Film. Data kesetimbangan dan kinetika reaksi dalam pemodelan ini diperoleh dari Fei Yi (2009). Sedangkan data kelarutan gas diperoleh dari Weisenberger (1996). Penelitian ini menggunakan pemrograman MATLAB. Selanjutnya hasil penelitian ini divalidasi dengan data operasi di pabrik PT. PKT I. Variabel-variabel yang digunakan adalah laju alir absorben (lean dan semi lean solution), suhu absorben (lean dan semilean solution), dan tekanan operasi. Dari hasil simulasi, pada kondisi operasi yang sama yaitu pada laju alir lean solution: 320.867 kg/jam, laju alir semilean solution: 2.514.122 kg/jam, temperatur lean solution: 343 K, suhu semilean solution: 385 K, dan tekanan kolom absorber: 29,4 atm mempunyai persen removal CO2 sebesar 97,2606 %. Sedangkan

dibandingkan dengan data lapangan (PT.PKT-Bontang) dengan kondisi operasi yang sama mempunyai persen removal CO2

sebesar 97,515%. Sehingga didapatkan %error, yakni sebesar 0,26%.

Kata Kunci—Absorpsi, Removal CO2, Isotermal. I. PENDAHULUAN

roses absorpsi gas ke dalam liquida seringkali dijumpai di dalam dunia industri, seperti dalam industri gas alam, petroleum chemical plants, dan industri ammonia. Tujuan dari penerapan absorpsi dalam industri adalah untuk mengambil suatu komponen dari campuran gas atau untuk menghasilkan suatu produk reaksi, salah satu komponen yang seringkali dipisahkan adalah gas CO2. Pada industri ammonia pengurangan kadar CO2 dari aliran gas proses dapat menghindari poisoning katalis sintesis serta dapat mengurangi biaya operasi.

Proses pemisahan gas CO2 ini menjadi penting karena termasuk kategori gas yang bersifat asam dan korosif. Karena sifat korosif ini, gas CO2 dapat merusak bagian dalam utilitas pabrik dan sistem perpipaannya. Sifat korosif CO2 akan muncul pada daerah-daerah yang menyediakan penurunan temperatur dan tekanan, seperti pada bagian elbow pipa, tubing-tubing, cooler, dan injektor turbin. Di samping itu, gas CO2 dapat mengurangi nilai kalor dari gas alam.

Contoh penerapan teknologi absorpsi gas CO2 dalam pelarut reaktif salah satunya terdapat pada industri pupuk di Indonesia, yakni pada unit CO2 removal yang menggunakan larutan Benfield, yaitu larutan K2CO3 yang berkatalis amine. Unit CO2 removal tersebut berfungsi untuk memisahkan gas CO2 yang terkandung di dalam gas alam. Unit ini sangat berperan penting, baik dalam proses pembuatan ammonia maupun urea. Gas CO2 dikenal sebagai racun bagi katalis

promoted iron pada unit ammonia converter, namun gas CO2 juga digunakan sebagai bahan baku utama dalam proses pembuatan urea. Penurunan performance penyerapan di unit CO2 removal dapat mengakibatkan peningkatan CO2 di absorber, sehingga menurunkan kemurnian CO2 di outlet

stripper. Penurunan kemurnian CO2 akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi H2 dalam gas CO2.

Keuntungan utama dari penggunaan larutan kalium karbonat bila dibandingkan dengan larutan amine dalam pemisahan gas CO2 adalah regenerasi panas yang rendah, dapat mengabsorb mercaptan, dan loading gas asam tinggi. Sedangkan larutan amine memiliki kelemahan antara lain ialah biaya utilitas tinggi, panas regenerasi yang tinggi, dan tidak dapat memisahkan senyawa mercaptan. Penggunaan pelarut kalium karbonat juga memiliki kelemahan, yaitu laju reaksi yang lambat bila dibandingkan dengan larutan amine, dimana dalam fasa liquida menyebabkan rendahnya rate perpindahan massa, sehingga membutuhkan luas permukaan yang lebih besar. Oleh karena itu untuk menambah efisiensi proses dan untuk meningkatkan laju absorpsi CO2, biasanya digunakan penambahan katalis pada larutan kalium karbonat tersebut.

Berbagai katalis disarankan untuk meningkatkan efisiensi proses absorpsi yang menggunakan pelarut kalium karbonat. Salah satu kelompok dari katalis tersebut adalah katalis anorganik, misalnya: arsenik trioksida (As2O3), garam alkalimetal dari selenious atau asam tellurous, dan garam logam alkali yang lemah asam anorganik seperti kalium dan garam natrium dari asam borat, asam vanadic, dan asam arsenious. Selain katalis anorganik, ada sejumlah katalis organik yang juga diusulkan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan larutan kalium karbonat, contohnya ialah larutan senyawa alkanolamine, seperti monoethanolamines (MEA), diethanolamines (DEA), triethanolamines (TEA), dan ACT-1.

Untuk mengendalikan kinerja proses unit absorpsi CO2 pada industri biasanya dilakukan dengan cara coba-coba (trial and error), yaitu mengatur laju alir dan komposisi absorben masuk sehingga sulit untuk mendapatkan kinerja alat yang optimum bila ada perubahan kondisi aliran gas masuk serta sulit untuk memprediksikan berapa target %removal CO2 yang didapat. Oleh karena itu, kajian teoritis mengenai karakterisasi

Simulasi Absorpsi Reaktif CO

2

dengan Larutan Benfield

dalam Skala Industri

Firsta Hardiyanto, Hendi Riesta Mulya, Susianto, dan Siti Nurkhamidah

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: susianto@chem-eng.its.ac.id

(2)

Bj Bin

B P Pin Pj X X X X      packed column untuk absorpsi CO2 ke dalam larutan Benfield

adalah sangat penting untuk optimasi proses.

Simulasi dan eksperimental absorpsi CO2 dengan larutan

Benfield telah dilakukan oleh Fei Yi et al, (2008), Mustofa (2003), Sanitasari (2009), Simon (2011). Akan tetapi, penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan geometri kolom absorber berdiameter seragam. Pada aplikasi dalam industri pupuk, kolom absorber yang digunakan umumnya terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian bawah kolom berdiameter lebih besar daripada bagian atasnya. Demikian pula ukuran packing yang digunakan pada absorber bagian atas dan bawah tidak sama. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesamaan karakteristik hidrodinamika pada kedua bagian kolom tersebut. Sehingga penelitian simulasi absorpsi reaktif CO2 dengan larutan Benfield ini akan menggunakan geometri kolom absorber yang diambil dari data industri yang terdiri dari dua bagian kolom (atas dan bawah) dengan diameter kolom, jenis packing, luas spesifik packing, ukuran diameter packing, dan tinggi packed bed (unggun) antara kolom bagian atas dan bawah ialah berbeda. Hasil dari simulasi ini selanjutnya divalidasi dengan data aktual dari industri, yakni di PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT)-Bontang.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model matematik unit absorpsi CO2 skala industri dengan pelarut K2CO3 berkatalis serta mengestimasi kinerja unit CO2 removal yang dinyatakan dengan %removal CO2 dalam absorber dan komposisi gas yang keluar dari absorber. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan pada industri untuk merancang unit CO2 removal dan menganalisa serta mengoptimasi kinerja unit tersebut.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Secara garis besar, pelaksanaan penelitian akan dilakukan dengan pendekatan secara teoritis (simulasi) dengan pengembangan model matematis pada proses absorpsi reaktif gas CO2 dengan larutan Benfield dalam skala industri. Untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian maka di tempuh metodologi sebagai berikut:

Pengembangan Model Matematis Proses Absorpsi dalam Packed Column

Pengembangan model matematis dilakukan dengan membuat neraca massa diferensial pada packed column.

Gambar 1. Mekanisme Proses Absorpsi. Sistem I:

Penentuan konsentrasi K2CO3 pada tiap-tiap titik yang ditentukan dapat dengan metode kolokasi orthogonal sebagai berikut:

atau jika dibagi dengan molar density cairan, C dalam mol/cm3, maka akan didapatkan persamaan fraksi mol K

2CO3 dalam fase liquida seperti berikut:

dengan konsentrasi CO2 pada interface (CA*) dan HT:

(11) Sedangkan untuk mengetahui fraksi KHCO3, dapat ditentukan

dengan persamaan berikut ini: Sistem II:

CO2 :

k (untuk gas-gas terlarutnya):

Yk didefinisikan sebagai mol komponen k dalam gas per mol

gas masuk seperti CO,CH4,N2,H2,dan Ar.

Persamaan-persamaan yang telah diuraikan ini berlaku untuk kolom absorpsi bagian bawah dan atas. Penyelesaian persamaan-persamaan Aljabar non-linier yang diperoleh dari metode kolokasi orthogonal diselesaikan dengan metode pendekatan berurutan, dan akhirnya harga %removal CO2 dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(10) III. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari secara teoritis kinerja packed column untuk absorpsi CO2 dari gas alam dengan larutan K2CO3 yang katalis ACT-1 dengan memperhatikan kelarutan gas-gas yang lain, yang dinyatakan dengan %removal CO2. Penelitian ini dilaksanakan dengan membuat program simulasi untuk proses absorpsi gas CO2 disertai reaksi dalam kondisi isotermal.

Kondisi operasi pada penelitian ini adalah suhu gas masuk (T= 362K), laju alir gas masuk (G= 204.020 kg/jam), fraksi mol komponen gas masuk (CO2= 0,1847, CO= 0,0025, H2= 0,5988, N2= 0,2082, CH4= 0,0032, Argon= 0,0025), fraksi massa komponen lean solution (K2CO3= 0,23, KHCO3= 0,08,

ACT-1= 0,01), dan fraksi massa komponen semilean solution (K2CO3= 0,16, KHCO3= 0,14, ACT-1= 0,01).

Sedangkan untuk variabel penelitian adalah suhu lean solution, suhu semilean solution, laju alir lean solution, laju alir semilean solution, dan tekanan kolom absorber, yang selanjutnya dipelajari pengaruh dari variabel tersebut terhadap %removal CO2. Kemudian hasil simulasi divalidasi dengan data lapangan PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT)-Bontang.

Bin Bj C C        

  ) ( * 2 1 o A A N i ji T T B H E C C H Z  * * 2 1 ) 1 ( A A o A N i ji T T B Bin Bj X HZ H E CC X X          

   ] [ ] [ . Aj Ain M M Bin Bj B M M Ain Aj Y GLv X X GL X X Y      IN A OUT A Y Y %Removal1 ] [ j IN IN j K K M M K K Y GL X X Y    C He k E k C E k P k C G L A L A G A . . . . . 0 *    ' a k L H L M T

(3)

Fitting Parameter Konstanta Kecepatan Reaksi untuk Katalis ACT-1

Dikarenakan konstanta kecepatan reaksi untuk katalis ACT-1 tidak ditemukan, maka diperlukan fitting parameter untuk menentukan konstanta kecepatan reaksinya. Dengan persamaan umum dari konstanta kecepatan reaksi yang bergantung pada temperatur adalah sebagai berikut (Arrhenius Equation):

dengan K1 adalah faktor pre-eksponensial atau disebut faktor

sterik dan K2 adalah –E/R, yaitu pembagian antara energi

aktivasi dengan konstanta tetapan gas yang bisa dianggap konstan. Maka dengan metode trial and error untuk menentukan nilai K1 dan K2, hingga dihasilkan error yang

kecil dan mendekati dengan nilai lapangan (di PT. PKT-Bontang). Maka diperoleh nilai dari K1 adalah sebesar

2678769927,4 dan diperoleh nilai dari K2 adalah sebesar

-2868,6462. Sehingga persamaan untuk konstanta kecepatan reaksi dengan katalis ACT-1 secara lengkap adalah sebagai berikut:

Pengaruh Suhu Absorben terhadap %Removal CO2 Penelitian absorpsi reaktif CO2 ini dilakukan pada variabel suhu absorben yang terbagi menjadi dua aliran, yaitu lean solution dan semilean solution. Untuk variabel suhu lean solution adalah sebesar 320K, 330K, 343K, 350K, dan 360 K; dan variabel untuk suhu semilean solution adalah 360K, 370 K, 385 K, 390 K, dan 395 K. Pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap %removal CO2 dapat menjadi acuan di dalam suatu industri untuk mendapatkan %removal yang diinginkan. Grafik pengaruh suhu lean solution dan suhu semilean solution terhadap %removal CO2 dapat dilihat pada Gambar 2. dan Gambar 3. Untuk grafik pada Gambar 2. dibuat pada temperatur semilean solution, yakni 385 K. Sedangkan untuk grafik pada Gambar 3. dibuat pada temperatur lean solution, yakni 343K.

Gambar 2. Pengaruh Suhu Semilean terhadap %Removal CO2 dan Perbandingan Hasil Simulasi dengan Hasil Lapangan.

Gambar 3. Pengaruh Suhu Lean terhadap %Removal CO2 dan Perbandingan Hasil Simulasi dengan Hasil Lapangan.

Berdasarkan Gambar 2, terlihat grafik mengalami penurunan seiiring dengan kenaikan suhu semilean. Sehingga untuk mendapatkan %removal CO2 yang tinggi, maka suhu

semilean harus bernilai rendah. Sedangkan pada Gambar 3, terlihat grafik mengalami kenaikan %removal CO2 terlebih dahulu yaitu pada range suhu lean antara suhu 320K-347K, dan kemudian terjadi penurunan setelah suhu berkisar 347K. Hal ini menunjukkan bahwa suhu optimal untuk mendapatkan %removal CO2 paling tinggi adalah pada suhu lean, yakni sebesar 347 K.

Kenaikan dan penurunan grafik yang dipengaruhi oleh suhu absorben tersebut dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kecepatan reaksi, difusivitas, dan kelarutan gas. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula gas CO2 yang bereaksi, dan akan memperbesar %removal CO2 yang didapat. Kemudian untuk difusivitas, dari persamaan di atas semakin tinggi suhu juga akan memperbesar difusivitas, sehingga banyak komponen gas CO2 yang terserap ke dalam sisi liquida dan memperbesar %removal CO2 yang didapat. Akan tetapi suhu berbanding terbalik dengan sifat kelarutannya, semakin tinggi suhu maka kelarutan gas tersebut ke dalam badan liquida akan semakin rendah, sehingga akan memperkecil %removal CO2 yang didapat.

Untuk grafik pada Gambar 2, temperatur berpengaruh lebih besar pada kelarutannya saja dibandingkan pada kecepatan reaksi dan difusivitasnya, yang menyebabkan kenaikan temperatur semilean, sehingga %removal CO2 akan terus menurun. Sedangkan untuk grafik pada Gambar 3., pada range suhu lean 320 K-347 K temperatur akan berpengaruh lebih besar pada kecepatan reaksi dan difusivitas dibandingkan dengan kelarutan gasnya, sehingga grafik akan mengalami kenaikan. Akan tetapi setelah suhu 347 K, sebaliknya temperatur akan berpengaruh besar pada kelarutan gasnya dibandingkan dengan kecepatan reaksi dan difusivitasnya. Sehingga setelah suhu 347K, grafik mengalami penurunan. Pengaruh Laju Alir Absorben terhadap %Removal CO2

Variabel selanjutnya dalam penelitian ini adalah laju alir absorben, baik itu yang lean solution maupun yang semilean solution. Untuk variabel laju lean solution adalah sebesar 259.902,27 kg/jam, 288.780,3 kg/jam, 320.867 kg/jam, 352.953,7 kg/jam, dan 388.249,07 kg/jam. Kemudian variabel untuk laju semilean solution adalah 2.365.537,39 kg/jam, 2.438.698,34 kg/jam, 2.514.122 kg/jam, 2.589.545,66 kg/jam, dan 2.667.232,03 kg/jam. Selanjutnya variabel tersebut akan menjadi input di dalam program yang sudah dibuat, sehingga akan memunculkan %removal CO2 yang berbeda-beda. Sumbu x pada grafik adalah variabel laju alir absorben, dan sumbu y pada grafik adalah %removal CO2, maka grafik pengaruh laju alir absorben terhadap %removal CO2 dapat dilihat pada Gambar 4. dan Gambar 5. Untuk grafik pada gambar 4., dibuat pada laju alir semilean solution sebesar 2.514.122 kg/jam, sedangkan untuk grafik pada Gambar 5., dibuat pada laju alir lean solution sebesar 320.867 kg/jam.

) exp( 2 1 1 K KT kACT  ) 6462 , 2868 exp( * 4 , 2678769927 1 T kACT   

(4)

3 2 3 2 2

K

CO

H

O

2KHCO

CO

Gambar 4. Pengaruh Laju Alir Semilean terhadap %Removal CO2 dan Perbandingan Hasil Simulasi dengan Hasil Lapangan.

Gambar 5. Pengaruh Laju Alir Lean terhadap %Removal CO2 dan Perbandingan Hasil Simulasi dengan Hasil Lapangan.

Dari grafik yang ada pada Gambar 4. dan Gambar 5., terlihat bahwa semakin tinggi laju alir absorben (lean solution dan semilean solution) maka semakin tinggi pula %removal yang akan didapatkannya. Hal ini dikarenakan reaksi berikut: Semakin tinggi laju alir absorben, berarti akan memperbesar mol K2CO3 dan H2O. Dengan semakin besarnya mol K2CO3 dan mol H2O, maka gas CO2 juga akan semakin banyak yang bereaksi. Sehingga akan memperbesar %removal gas CO2 tersebut dari fasa gas ke dalam fasa liquida.

Pengaruh Tekanan Kolom terhadap %Removal CO2 Variabel lain yang digunakan adalah variasi tekanan kolom absorber. Variabel kolom absorber dibuat menjadi 25 atm, 27 atm, 29,4 atm, 31 atm, dan 33 atm. Variabel ini dilakukan pada suhu lean solution konstan (T= 343 K) dan suhu semilean solution konstan (T= 385 K). Variabel ini akan membantu industri yang terkait untuk menentukan besarnya tekanan supaya mendapatkan %removal seoptimal mungkin. Pengaruh tekanan kolom absorber terhadap %removal, dapat dilihat pada Gambar 6. sebagai berikut:

Gambar 6. Pengaruh Tekanan Kolom terhadap %Removal CO2 dan Perbandingan %Removal Hasil Simulasi dengan Hasil Lapangan.

Pada gambar grafik di atas, diketahui semakin tinggi tekanan di dalam kolom maka semakin besar %removal CO2 yang akan didapat. Hal ini berkaitan dengan kelarutan komponen-komponen gas di dalamnya. Semakin tinggi tekanan kolom, maka kelarutan akan semakin besar. Dengan kelarutannya semakin besar, maka gas CO2 akan semakin mudah dan banyak masuk ke badan liquida sehingga %removal CO2 juga akan semakin tinggi. Hal ini bisa menjadi penjelasan mengapa pada Gambar 6., grafik akan mengalami kenaikan %removal seiiring dengan kenaikan tekanan di dalam kolom absorber.

Distribusi Konsentrasi Komponen di dalam Fasa Liquida Penelitian absorpsi reaktif CO2 ini menggunakan larutan K2CO3 sebagai absorben. Pada absorpsi ini terjadi reaksi yang berlangsung antara larutan K2CO3 dengan gas CO2 membentuk komponen KHCO3. Konsentrasi komponen-komponen tersebut pada setiap titik posisi axial pada packing atas maupun bawah terlihat pada Gambar 7. dan Gambar 8., sebagai berikut:

Gambar 7. Distribusi Konsentrasi Komponen dalam Liquida pada Packing Atas.

(5)

Gambar 8. Distribusi Konsentrasi Komponen dalam Liquida pada Packing Bawah.

Pada Gambar 7. dan Gambar 8., menunjukkan bahwa konsentrasi K2CO3 mengalami penurunan, dimana konsentrasi awal K2CO3 sebesar 0,029986 mol/cm3 dan konsentrasi K2CO3 yang keluar dari kolom absorber sebesar 0,0069494 mol/cm3. Hal ini disebabkan karena larutan K2CO3 tersebut bereaksi dengan gas CO2 dalam packed column membentuk senyawa KHCO3. Sehingga konsentrasi KHCO3 mengalami kenaikan dari 0,014393 mol/cm3 menjadi 0,053853 mol/cm3. Pada Gambar 7. dan Gambar 8., juga menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO2 dalam liquida mengalami kenaikan karena terserap oleh larutan K2CO3, yaitu dari 0 (tidak ada CO2 di dalam larutan K2CO3) menjadi 0,00019842 mol/cm3, disamping itu komposisi gas lain seperti CH4, CO, H2, N2, dan Ar juga mengalami kenaikan karena proses difusi. Larutan K2CO3 yang digunakan sebagai absorben masuk ke dalam kolom pada bagian atas kolom dan awalnya tidak mengandung CO2, CO, H2, N2, CH4 maupun Ar, tetapi pada saat keluar dari absorber larutan K2CO3 tersebut mengandung gas CO sebesar 5,9588e-008 mol/cm3, H

2 sebesar 4,1834e-005 mol/cm3, N

2 sebesar 6,9029e-006 mol/cm3, CH4 sebesar 1,7063e-007 mol/cm3, dan argon sebesar 1,2599e-007 mol/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya gas CO

2 saja yang larut dalam larutan K2CO3, tetapi gas-gas yang lain seperti CO, H2, N2, CH4, dan Ar juga ikut larut dalam larutan K2CO3. Hal tersebut dikarenakan proses difusivitas dari fasa gas ke dalam fasa liquida.

Validasi Data dengan Data Lapangan di PT. PKT-Bontang Data-data dari hasil penelitian (simulasi) divalidasi dengan data lapangan di PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT)-Bontang pada kondisi operasi yang sama, yaitu tekanan absorber sebesar 29,4 atm dengan laju alir lean sebesar 320.867 kg/jam, Tlean= 343 K dan laju alir semilean sebesar 2.514.122 kg/jam,

Tsemilean= 385 K. Perbandingan antara hasil validasi dan

penelitian dapat dilihat pada Tabel 1., yakni sebagai berikut: Tabel 1.

Validasi Hasil Penelitian dengan Data Lapangan di PT. PKT-Bontang

Hasil validasi pada Tabel 1., menunjukkan adanya selisih hasil %removal CO2, dari hasil penelitian pada kondisi operasi yang sama, %removal CO2 yang dicapai ialah sebesar 97,2606%, sedangkan pada data lapangan di PT. PKT-Bontang ialah sebesar 97,515%, sehingga persen kesalahannya (%error) ialah sebesar 0,26%. Error yang terjadi dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah asumsi keadaan yang ideal di dalam lapangan (pabrik), seperti letak packing yang dianggap ideal sehingga spesific area dari packing dianggap konstan,

asumsi gas ideal, dan asumsi di setiap titik axial dalam packing adalah isothermal condition.

IV. KESIMPULAN/RINGKASAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan: 1. Pada penelitian ini telah dikembangkan program simulasi

proses absorbsi CO2 dengan absorben K2CO3 berkatalis

ACT-1 dalam packed column untuk skala industri.

2. Penelitian ini mendapatkan data konstanta kecepatan reaksi untuk absorbsi CO2 ke dalam larutan K2CO3 berkatalis

ACT1, yaitu:

3. Hasil prediksi simulasi untuk tekanan absorber sebesar 29,4 atm dengan laju alir lean sebesar 320.867 kg/jam, Tlean= 343

K; dan laju alir semilean sebesar 2.514.122 kg/jam, Tsemilean=

385 K, menunjukkan nilai %removal CO2 sebesar 97,2606%, sedangkan data lapangan (pabrik) di PT. PKT-Bontang menunjukkan nilai %removal CO2 sebesar 97,515%.

4. Pada penelitian ini telah dikaji secara teoritis pengaruh berbagai variabel proses (penelitian) seperti laju alir lean solution, laju alir semilean solution, suhu lean solution, suhu semilean solution, dan tekanan kolom absorber terhadap %removal CO2.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alper, E.,dan Danckwerts, P.V. (1976). “Laboratory Scale-Model of a Complete Packed Column Absorber”. Chem. Eng. Sci. Journal Vol. 31, 599-608.

[2] Birnbaum, I., dan Lapidus, L. (1978). “Double Orthogonal Collocation with an Infinite Domain”. Chem.Eng.Sci. Journal Vol. 33, 443.

[3] Cents, A.H.G, D.W.F Brilman, dan G.F. Versteeg.(2005).”CO2 Absorption in Carbonate and

Bicarbonate Solutions: The Danckwerts-Criterion Revisited”. Chem. Eng. Sci Journal Vol.60, 5830-5835. [4] Danckwerts, P.V. (1970). “Gas-Liquid Reaction”. New

York-USA: McGraw-Hill Company.

[5] Daubert, E. Thomas dan Muhammad R. Riazi. (1980). “Application of Corresponding States Principles for Prediction of Self Diffusion Coefficients in Liquids”. AIChE Journal Vol. 26 (3), 386-390.

[6] Dobbins, W.E. Inmecable, M.L., dan Eckenfelder, W.W. (1956). “Biological Treatment of Sawage and Industrial Wastes Part 2-1. NewYork-USA: Reinhold.

[7] Fuller, E.N., Schettler, P.D., dan J.C. Giddings. (1966). ”New Method for Predicting of Binary Gas-Phase Diffusion Coefficients”. Ind. Eng. Chem Journal Vol. 58, 18-27.

[8] Geankoplis, C.J. (1995). ”Transport Processes and Unit Operation 3rd Edition”. New Jersey-USA: Prentice-Hall

International.

[9] Hatta, S. (1932). “The Rate of Absorption Velocity Gases by Liquids”. Technological Reports of Tohoku University Vol. 10, 119-135.

[10] Higbie, R. (1935). “The Rate of Absorption of a Pure Gas into a Still Liquid during Short Periods of Exposure. IChemE Journal Vol. 35, 36-60.

Fraksi Komponen Hasil Penelitian Hasil di PT. PKT Gas Keluar CO2 0,0061675 0,00129 CO 0,0038982 0,00225 H2 0,7293 0,7532 N2 0,25369 0,2368 CH4 0,0038982 0,00338 Ar 0,0030456 0,00312 Liquida Keluar KKHCO2CO33 0,041248 0,23163 0,06917 0,2652 %Removal CO2 97,2606 97,515 ) 6462 , 2868 exp( * 4 , 2678769927 1 T kACT   

(6)

[11] King, C.J. (1966). “Turbulent Liquid-Phase Mass Transfer at a Free Gas-Liquid Interface”. Ind. Eng. Chem. Journal Vol. 5 (1), 1-8.

[12] Kozinski, A. A., dan C.J. King. (1966).”The Influence of Diffusivity on Liquid Phase Mass Transfer to the Free Interface in a Stirred Vessel”. AIChE Journal Vol. 12, 109-116.

[13] Lepaumier, H., Eirik F.S., Aslak E., Andreas G., Jacob N.K., Kolbjorn Z, dan Hallvard F.S. (2011). “Comparison of MEA Degradation in Pilot-Scale with Lab-Scale Experiment”. Energy Procedia Journal Vol. 4, 1652-1659.

[14] Levenspiel, Octave. (1999). “Chemical Reaction Engineering”. USA: John Wiley & Sons, Inc.

[15] Mendez, F., Sandall dan C. Orville. (1975). ”Gas Absorption Accompanied by Instantaneous Bimolecular Reaction in the Turbulent Liquids. AIChE Journal Vol. 21 (3), 599-608.

[16] Missen, W. Ronald, Charles A. Mims, dan Bradley A. Saville. (1999). ”Introduction to Chemical Reaction Engineering and Kinetics”. Toronto-USA: John Wiley & Sons, Inc.

[17] Mustafa, H. (2003). “Development of New Type og Gas Absorber, Industrial Applications”. IChemE Journal Vol. 81 (B), 210-216.

[18] Onda, K, E. Sada, dan M. Saito. (1982). “Gas-Side Mass Transfer Coefficients in a Packed Towers”. Chem. Eng. Sci. Journal Vol. 25 (11), 820-829.

[19] Plaza, J.M. dan Rochelle G.T. (2011). ”Modeling Pilot Plant Results for CO2 Capture by Aqueous Piperazine”.

Energy Procedia Journal Vol. 4, 1593-1600.

[20] Reid, R.C., Prausnitz, J.M., dan Poling, B.E. (1987). “The Properties of Gases and Liquids 4th Edition”. New

York-USA: McGraw-Hill Company.

[21] Rice, G. Richard dan Duang D. Do. (1994). “Applied Mathematics and Modelling for Chemical Engineers”. USA: John Wiley & Sons, Inc.

[22] Sander, Rolf. (1999).” Compilation of Henry’s Law Constants for Inorganic and Organic Species of Potential Importance in Environmental Chemistry”. AIChE Journal Vol. 3, 1-107.

[23] Sari, Sanita. dan Kumalasari, L. (2009). ”Simulasi Recovery CO2 dari Gas Sintesa Dengan Absorben

K2CO3 dan Katalis DEA dalam Packed Column”.

Skripsi. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri ITS.

[24] Simon, L.L., Yannick E., Graeme P., Yuli A., dan Konrad H. (2011). “Rate Based Modelling and Validation og CO2 Pilot Plant Absorption Column

Operating on MEA”. IChemE Journal Vol. 89, 1684-1692.

[25] Taylor, Ross dan R. Krishna. (1993).“Multicomponent Mass Transfer”. USA: John Wiley & Sons, Inc.

[26] Toor, H.L., dan Marchello J.M. (1958). “Film-Penetration Model for Mass Transfer and Heat Transfer. AIChE Journal Vol. 4, 97-101.

[27] Treybal, R.E. (1969). “Adiabatic Gas Absorption and Stripping in Packed Towers”. Ind. Eng. Chem. Journal Vol. 61 (7), 36-61.

[28] Treybal, R.E. (1981). “Mass Transfer Operation”. USA: McGraw Hill Book Company.

[29] Van Elk, E.P., M.C. Knaap dan G.F. Versteeg. (2007). “Application of the Penetration Theory for Gas-Liquid Mass Transfer Without Liquid Bulk”. IChemE Journal Vol. 85, 516-524.

[30] Villadsen, J.V., dan Stewart W.E. (1967). ”Solution of Boundary-Value Problems by Orthogonal Collocation”. Chem. Eng. Sci. Journal Vol. 22, 3981-3996.

[31] Weisenberger, S dan A. Schumpe. (1996). ”Estimation of Gas Solubilities in Salt Solutions at Temperatures from 273 K to 363 K”. AIChE Journal Vol. 42 (1), 298– 300.

[32] Whitman, W.G. (1923). “Preliminary Experimental Confirmation of the Two-Film Theory of Gas Absorption”. Chem. Eng. Sci. Journal Vol. 29, 146-147. [33] Winkelman, J.G.M., H. Sijbring, dan A.A.C.M. Beenackers. (1992). ”Modelling and Simulation of Industrial Formaldehyde Absorbers. IChemE Journal. Vol. 47 (13), 3785-3792.

[34] Yi, Fei., Kui Zou, H., Wen Chu, G., Shao, L., dan Feng Chen, J. (2009). ”Modeling and Experimental Studies on Absorption of CO2 by Benfield Solution in Rotating

Packed Bed”. Chem. Eng. Sci. Journal Vol. 145, 377-384.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam jurnal yang disusun oleh Osman, Wahab dan Ismail (2009, p173), Virtual Tour merupakan teknologi yang menempatkan user di dalam gambar dan memungkinkan user

Soerjodinito dan Hariadi Adnan, kemudian pada tahun 1947 rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang berasal dari Filipina dapat dibudidayakan di Indonesia, setahun kemudian LIPI

Pabrik metil metakrilat menggunakan bahan baku aseton sianohidrin, asam sulfat dan metanol dengan kapasitas 63.000 ton/tahun yang akan didirikan di Gresik, Jawa Timur,

Beberapa diagram ada yang rinci (jenis timming diagram ) dan lainya ada yang bersifat umum (misalnya diagram kelas). Para pengembang sistem berorientasi objek menggunakan bahasa

Dari analisa perbandingan antara suh}t dengan korupsi pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur suh}t memiliki kesamaan dengan tiga unsur korupsi,

Bila beban maksimum dicapai pada penetrasi sebelum 5,08 mm atau 0,2” maka harga CBR diambil dari beban maksimum tersebut dan dibagi dengan beban standar yang

Karakteristik WUS di Dusun Gatak Gari Gunung Kidul sebagian besar berusia 20-40 tahun, berpendidikan dasar (SD/SMP), tidak bekerja atau menjadi Ibu Rumah Tangga,

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, karena dengan metode ini peneliti bisa melihat suatu fenomena secara mendalam dan