ANALISIS SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN NON MIGAS PEREKONOMIAN KOTA LHOKSEUMAWE
Faisal
Dosen Tata Niaga Politeknik Negeri Lhokseumawe
Abstract Regional economic development needs to consider the potential areas , by examining the GDRP to see the advantages of economic sectors in order to optimize the results of the development to obtain a high level of welfare . If the government wants to have regional competitiveness, the development program should depart from the development of the economic potential of the base that has the advantage . This study aims to analyze potential sectors of the economy without oil in the city of Lhokseumawe . The approach used is quantitative descriptive with Location Quotient ( LQ ) method . The results of this research says that the leading sectors that can be developed in the city of Lhokseumawe and a base sector is trade , hotels and restaurants ; transport and communications ; finance, leasing and corporate services ; as well as the construction sector of specialization of these sectors in the city of Lhokseumawe higher than the provincial rate . The results of this study are also expected to be the information and input for the City goverment of Lhokseumawe to prioritize the development of the leading sectors for the improvement of the regional economy .
Keywords : Potential sector, Regional Competitive and Location Quotient (LQ)
PENDAHULUAN
Adanya otonomi daerah mampu mendorong kegairahan daerah untuk memngembangkan perekonomiannya. UU No. 32 Tahun 2004, menyebutkan bahwa pembangunan harus memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, karena setiap daerah memiliki karakter baik itu sosial, budaya, bahkan geografis yang berbeda sehingga perlu kebijakan yang berbeda pula. Kebijakan pembangunan ekonomi yang diambil oleh pemerintah daerah diharapkan mampu memaksimalkan potensi yang ada didaerahnya agar mampu mencapai hasil pembangunan yang optimal.
Menyusun perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah memiliki kemampuan untuk menganalisis potensi ekonomi yang ada dalam wilayah tersebut serta mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat potensi sektor tertentu rendah sehingga dalam perencanaan tersebut dapat ditentukan sektor-sektor riil mana yang perlu dikembangkan agar dapat tumbuh dengan cepat dan di sisi lain dapat menentukan langkah-langkah untuk menanggulangi potensi sektor-sektor yang lemah tersebut.
Kinerja suatu perekonomian daerah dapat dilihat dari nilai PDRB dan pertumbuhan PDRBnya. Salah satu indikator ekonomi yang sangat diperlukan untuk melihat sektor basis dan mengukur kinerja pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan PDRB Kota Lhokseumawe yang disumbang oleh 9 (sembilan) sektor, yaitu (1) sektor pertanian; (2) sektor pertambangan dan penggalian; (3) sektor industri pengolahan; (4) sektor listrik dan air minum; (5) sektor bangunan dan konstruksi; (6) sektor perdagangan, hotel, dan restoran; (7) sektor pengangkutan dan komunikasi; (8) sektor bank dan lembaga keuangan lainnya serta (9) sektor jasa-jasa.
Menurut Data BPS Kota Lhokseumawe, dalam PDRB tahun 2012 atas dasar harga konstan 2000, sektor ekonomi yang menunjukkan nilai tambah bruto terbesar adalah Sektor Industri Pengolahan sebesar 1,694 milyar rupiah dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 1,316 milyar rupiah. Dua sektor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kota Lhokseumawe sebagaimana tergambar dalam table 1 berikut ini :
Tabel 1. PDRB Kota Lhokseumawe ADHK 2000 Dengan Migas (milyar Rupiah) Tahun 2008-2012
No Lapangan Usaha/Sektor 2008 2009 Tahun 2010 2011*
2012** 1. Pertanian 267.74 271.86 277.89 288.03 293.1 2. Pertambangan dan penggalian 8.21 8.48 8.92 9.32 9.74 3. Industri Pengolahan 2749.18 2334.50 2033.17 1807.89 1694.53 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 2.83 3.14 3.32 3.52 3.6 5. Bangunan 157.25 163.98 171.22 177.92 186.38 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 995.31 1074.38 1161.07 1236.98 1316.48 7. Pengangkutan dan Komunikasi 196.18 205.16 215.46 225.36 236.14 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 45.50 48.01 51.21 53.84 57.7 9. Jasa-jasa 219.21 226.89 233.35 239.78 249.91 Jumlah PDRB dengan Migas 4641.10 4336.41 4155.62 4042.65 4047.59 Sumber BPS Kota Lhokseumawe
Sektor Industri Pengolahan walupun memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB Kota Lhokseumawe, namun nilainya terus menurun mulai dari tahun 2008 sebesar 2.749,18 Milyar Rupiah hingga tahun 2012 menjadi 1.694,53 Milyar rupiah. Penurunan sektor ini dikarenakan penurunan kontribusi dari sub sektor industry migas. Pada Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran kontribusi sektor dalam PDRB Kota Lhokseumawe memberikan kontribusi yang terus meningkat mulai dari tahun 2008 sebesar 995,31 Milyar Rupiah hingga
menjadi 1.316,14 Milyar Rupiah pada tahun 2012. Sektor-sektor lain dalam PDRB Kota Lhokseumawe walaupun tidak memberikan kontribusi yang besar namun dari tahun 2008 hingga tahun 2012 nilainya terus meningkat.
Berdasarkan hal diatas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisi pengembangan sektor ekonomi potensial non migas dalam wilayah perekonomian Kota Lhokseumawe agar dapat dikembangkan sehingga tumbuh dengan cepat dan memberi kontribusi yang lebih besar.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan atau input sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan khususnya Pemerintah Kota Lhokseumawe berkenaan dengan pengembangan sektor-sektor potensial non migas dalam perencanaan dan pembangunan ekonomi daerah.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Sektor Potensial Perekonomian Daerah
Kegiatan pertama yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah mengadakan tinjauan keadaan, permasalahan dan potensi-potensi pembangunan (Tjokroamidjojo, dalam Yudha, 2011:74). Berdasarkan potensi sumber daya alam yang di miliki, maka adanya sektor potensial di suatu daerah harus dikembangkan dengan seoptimal mungkin.
Potensi ekonomi daerah didefinisikan oleh Suparmoko (2002 : 99) : “kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat mendorong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan.”
Sumihardjo (2008 : 114) menjelaskan bahwa pengembangan sektor unggulan yang dimiliki daerah tercermin pada visi dan misi daerah yang tertuang di dalam rencana pembangunan jagka panjang daerah (RPJPD) dan rencana jangka menengah daerah (RPJMD). Di dalam RPJPD dan RPJMD tampak bidang-bidang prioritas pada setiap program daerah kabupaten/kota dalam memperkokoh pengembangan sektor unggulan. Selain itu, APBD harus mencerminkan program-program dan tujuan-tujuan pembangunan. Karena suatu rencana akan bersifat operasionil apabila anggarannya tersedia. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam pengembangan potensi daerah yang tertuang dalam perencanaan pembangunan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan dibidang pembangunan pada dasarnya adalah kunci keberhasilan pengembangan potensi ekonomi lokal untuk menguatkan daya saing daerah. Muktianto (2005 : 8) menjelaskan bahwa pendekatan yang umum dalam pengembangan potensi daerah dengan cara menelaah komponen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), komponen sumber daya manusia, teknologi dan sistem kelembagaan.
Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (Arsyad, 2004:300). Untuk menentukan suatu kegiatan tersebut merupakan kegiatan basis dan kegiatan bukan basis dapat dilakukan dengan metode-metode baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode pengukuran langsung dapat dengan survey langsung untuk mengidentifikasi sektor mana yang merupakan sektor basis. Metode ini dapat menentukan sektor basis dengan tepat. Sedangkan pendekatan tidak langsung, yaitu (Sitohang, dalam Yudha 2011:66):
1. Menggunakan asumsi-asumsi atau metode arbitrer sederhana yang mengasumsikan bahwa semua industri primer dan manufaktur adalah basis dan semua industri jasa adalah bukan basis.
2. Metode location quotient (LQ), yaitu dengan membandingkan peranan industri tertentu dalam suatu perekonomian daerah dengan peranan industri yang sama dalam perekonomian nasional. Dari perbandingan tersebut, rasio yang lebih besar daripada 1 menunjukkan kegiatan ekspor atau kegiatan basis, sedangkan rasio LQ yang lebih kecil daripada 1 menunjukkan kegiatan local atau bukan basis.
3. Metode kebutuhan minimum (minimum requirement) adalah modifikasi dari metode LQ dengan menggunakan distribusi minimum dari tenaga kerja yang diperlukan untuk menopang industri regional dan bukannya distribusi rata-rata.
Dari ketiga metode diatas, metode yang kedua (metode LQ) yang akan dipakai lebih lanjut dalam penelitian ini untuk mengidentifikasikan sektor-sektor yang ada dalam daerah penelitian kedalam sektor-sektor basis dan non basis. Karena, metode ini sangat berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan
masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi.
Metode Location Quetient (LQ) digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan (leading sector). Indikator yang digunakan : kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah Location Quotient (Emilia, 2006: 24). Teknik ini membandingkan antara aktivitas pada perekonomian daerah dengan pereko-nomian yang lebih luas yaitu regional atau nasional, dalam usaha untuk mengidentifikasi spesialisasi dari perekonomian daerah. Dalam teknik ini, kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi menjadi (dua) golongan, yaitu (Arsyad dalam Yudha, 2011:140):
1. Kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan yang di sebut dengan industri basic.
2. Kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah tersebut yang di sebut dengan industri non basic atau industri lokal.
Menurut Sumiharjo ( 2008 : 12), dalam menelaah PDRB dilakukan untuk mengetahui potensi basis dan non basis. Suatu daerah yang memiliki keunggulan memberikan kekhasan tersendiri yang tidak ada pada daerah lain, sehingga sektor unggulan tadi dapat dikatakan sebagai kegiatan basis (Triyuwono & Yustika, 2003 : 93). Tarigan (2007 : 28) menjelaskan bahwa teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut.
Dengan mengetahui kegiatan basis disuatu daerah berdasarkan potensi yang dimilikinya maka dapat menguatkan daya saing daerah tersebut. Abdullah dkk (2002 : 15) juga menjelaskan bahwa “daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional.”
Bertambah banyaknya kegiatan basis di dalam suatu daerah akan menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya serta menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya, berkurangnya kegiatan basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan dan turunnya permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan basis. Dengan demikian kegiatan basis ekonomi mempunyai peranan sebagai penggerak utama (primer mover rule),
sedangkan setiap perubahan mempunyai “efek multiplier” terhadap perekonomian regional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskripif dengan metode Location Quotient (LQ), untuk menentukan sektor basis dan non basis dalam perekonomian Kota Lhokseumawe tanpa migas yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki tingkat spesialisasi sektor lebih tinggi daripada di tingkat propinsi. Dengan mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Bendavid-Val dalam Kuncoro (2004:183) maka Analisi Location Quotient (LQ) dapat dirumuskan sebagai berikut:
LQ = (PDRBKL,i / ∑PDRBKL) (PDRBNAD / ∑PDRBNAD) Di mana :
PDRBKL.i = PDRB sektor i Kota Lhokseumawe pada tahun tertentu
∑PDRBKL = Total PDRB Kota Lhokseumawe pada tahun tertentu
PDRBNAD.i = PDRB sektor i di Provinsi Aceh pada tahun tertentu
∑PDRBNAD.i = Total PDRB di Provinsi Aceh pada tahun tertentu
Berdasarkan hasil perhitungan LQ tersebut nantinya dapat disimpulkan sebagai berikut : - Bila nilai LQ > 1, merupakan sektor basis, artinya tingkat spesialisasi sektor di Kota
Lhokseumawe lebih tinggi dari tingkat propinsi
- Bila nilai LQ = 1 , berarti tingkat spesialisasi sektor di Kota Lhokseumawe sama dengan ditingkat propinsi
- Bila nilai LQ <1, adalah merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang tingkat spesialisasi Kota Lhokseumawe lebih rendah dari tingkat propinsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kontribusi sektor perekonomian Kota Lhokseumawe tanpa migas dalam PDRB Kota Lhokseumawe adalah sebagaimana kontribusi sektor-sektor yang ada namun pada sektor Industri Pengolahan nilai kontribusi sektor yang dipakai adalah tanpa kontribusi sub sektor industri migas. Secara keseluruhan kontribusi sektor tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 3. PDRB Kota Lhokseumawe ADHK 2000 Tanpa Migas, (milyar Rupiah) Tahun 2008-2012 No Lapangan Usaha/Sektor Tahun 2008 2009 2010 2011* 2012** 1. Pertanian 267.74 271.86 277.89 288.03 293.1
2. Pertambangan dan penggalian 8.21 8.48 8.92 9.32 9.74 3. Industri Pengolahan 77.70 79.53 81.35 84.91 87.78 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 2.83 3.14 3.32 3.52 3.6
5. Bangunan 157.25 163.98 171.22 177.92 186.38
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 995.31 1074.38 1161.07 1236.98 1316.48 7. Pengangkutan dan Komunikasi 196.18 205.16 215.46 225.36 236.14 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 45.50 48.01 51.21 53.84 57.7
9. Jasa-jasa 219.21 226.89 233.35 239.78 249.91
Jumlah PDRB tanpa Migas 2031.44 2081.44 2203.79 2319.66 2440.84 Sumber BPS Kota Lhokseumawe
Analisis Location Quotient (LQ)
Hasil perhitungan dengan meode analisis Location Quotient (LQ) terhadap PDRB Kota Lhokseumawe periode 2008-2012 tanpa subsektor industri migas adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 4 berikut:
Tabel 4. Indeks Location Quotient (LQ) PDRB Kota Lhokseumawe Tanpa Migas Tahun 2008-2012, (Milyar Rupiah)
Sektor Tahun LQ
Rata-rata 2008 2009 2010 2011 2012
1. Pertanian 0.56 0.49 0.47 0.46 0.45 0.49
2. Pertambangan dan Penggalian 0.35 0.32 0.31 0.30 0.30 0.32 3. Industri Pengolahan 0.93 0.79 0.74 0.74 0.74 0.79 4. Listrik dan Air Bersih 0.53 0.47 0.41 0.40 0.38 0.44
5. Konstruksi 1.26 1.14 1.09 1.07 1.05 1.12
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 2.91 2.68 2.64 2.62 2.61 2.69 7. Pengangkutan dan Komunikasi 1.56 1.39 1.33 1.29 1.24 1.36 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 1.44 1.26 1.24 1.22 1.22 1.28
9. Jasa-jasa 0.68 0.61 0.58 0.57 0.57 0.60
Sumber : Data PDRB diolah
Berdasarkan tabel 3 tersebut diketahui ada tiga sektor merupakan sektor basis atau memiliki tingkat spesialisasi sektor di Kota Lhokseumawe lebih tinggi dari pada di tingkat tingkat propinsi sehingga potensial untuk dikembangkan mulai dari sektor yang memiliki nilai LQ paling tinggi yaitu sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai LQ mencapai 2,69 kemudian sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan nilai LQ nya 1,36
dan berikutnya sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan dengan nilai LQ nya 1,28 serta sektor Konstruksi dengan nilai LQ 1,12.
Karena memiliki tingkat spesialisasi lebih tinggi dari tingkat propinsi maka hendaknya sektor-sektor tersebut dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah dengan dukungan kebijakan dan mendapatkan prioritas program sehingga nantinya sektor-sektor tersebut akan dapat menambah keuntungan bagi Kota Lhokseumawe dimasa yang akan datang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dengan analisis Loqation Quotient (LQ) maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan yaitu sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai LQ mencapai 2,69; sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan nilai LQ nya 1,36; sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan dengan nilai LQ nya 1,28; serta sektor Konstruksi dengan nilai LQ nya 1,12.
Berdasarkan keadaan tersebut, saran peneliti adalah
1. Pemerintah Kota Lhokseumawe sebaiknya berusaha mengembangkan ketiga sektor potensial non migas dan berdaya saing tersebut sebagai prioritas sektor pengembangan untuk mengantisipasi semakin menurunnya kontribusi sektor ekonomi dengan migas. 2. Melakukan koordinasi antara rencana investasi pemerintah dan rencana yang akan
dilakukan oleh sektor swasta serta mengoptimalkan kerja sama antar daerah sekiar
3. Dalam melakukan pengembangan potensi ekonomi lokal pemerintah Kota Lhokseumawe tetap perlu mempertahankan local wisdom dan mendasarkan pembangunan ekonominya terhadap Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), agar dapat meminimalisir adanya dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R, 2008. Ekonomi Archipelago, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Arsyad, Lincolin. 2005. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Kedua.Yogyakarta: BPFE.
Badan Pusat Statistik Kota Lhokseumawe, Kota Lhokseumawe Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kota Lhokseumawe, Kota Lhokseumawe Dalam Angka 2010.
BAPPEDA Kota Lhokseumawe, 2013. Profil Kota Lhokseumawe.
Facha Indra, 2009. Skripsi Perencanaan Pengembangan Wilayah Melalui Komoditi Unggulan Di
Kabupaten Samosir. UHN . Medan
Herzog, H.W and. Olsen, R. 1977. Shift-Share Analysis Revisited : The Allocation Effect and The
Stability of Regional Structure. OAK Ridge National Laboratory. Tennesse.
Kuncoro, M, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Erlangga, Jakarta.A
Marhayanie, 2003. .Identifikasi Sektor Ekonomi Potensial dalam Perencanaan Pembangunan Kota Medan.. Tesis. Program Pascasarjana USU, Medan.
Richardson, Harry W, 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional, Terjemahan Paul Sitohang, Edisi Revisi, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta.
Safi’i, H.M, 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Malang: Penerbit Averroes Press.
Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Baduose Media, Cetakan Pertama, Padang. Tambunan, Tulus T. H, 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia: Teori & Penemuan Empiris.
Salemba Empat Jakarta.