• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ini, baik di lingkungan akademis maupun di lingkungan sosial masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ini, baik di lingkungan akademis maupun di lingkungan sosial masyarakat."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Isu terkait dengan nasionalisme menjadi satu perdebatan hangat belakangan ini, baik di lingkungan akademis maupun di lingkungan sosial masyarakat. Bahkan konstruksi akan identitas menjadi satu prioritas utama ketika disandingkan dengan maksud dan tujuan tertentu, terlebih maksud dan tujuan yang mengandung unsur politis ekonomis. Oleh karena itu, sering kali terjadi sebuah fenomena kontestasi identitas pada individu maupun masyarakat untuk lebih mengekspresikan atau menonjolkan jati diri yang sebenarnya melekat pada diri individu maupun masyarakat tersebut. Tentu saja kontestasi identitas yang ditinjau melalui nasionalisme yang saat ini tengah dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terjadi atas dasar pertimbangan dan proses negosiasi yang berkelanjutan.

Perwujudan kondisi fisik serta pola perilaku yang dimiliki oleh masyarakat menjadi indikator terhadap proses kontestasi nasionalisme tersebut. Seperti yang dialami masyarakat perbatasan Indonesia di Badau, nasionalisme menjadi satu persoalan rawan mengingat latar belakang geografis, ekonomis, sosial dan budayanya. Sebagai sebuah proses yang cenderung statis, ‘label’ yang melekat pada masyarakat tersebut terbentuk karena adanya suatu proses identifikasi secara berulang. Jenis barang yang digunakan, pola pemikiran, perilaku hingga pada nilai

(2)

yang berkembang dalam masyarakat menjadi variabel kajian dalam proses identifikasi yang dilakukan. Hingga pada akhirnya proses identifikasi tersebut berpotensi untuk memunculkan satu kondisi tarik menarik dalam penentuan identitas yang bertitik tolak pada beberapa faktor yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, seperti adanya pengaruh kekuasaan dan wewenang hingga pada fungsi yang dilakukannya. Menurut Burke & Stets, “an identity is the set of meanings that define who one is when one is an occupant of a particular role in society, member of particular group/claim particular characteristic that identity him/her as a unique person” (Burke & Stets, 2009).

Pernyataan tersebut seakan memberikan suatu penjelasan bahwa konstruksi identitas bukanlah suatu proses yang dapat terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbentuk atas pengaruh dari berbagai pihak. Agama, lembaga adat hingga pada negara termasuk dengan kepemerintahannya menjadi satu agen yang turut berpengaruh dalam konstruksi dan kontestasi nasionalisme pada masyarakat. Pernyataan tersebut seakan menegaskan adanya relasi yang kuat dan saling mempengaruhi antara masyarakat (society) dan sistem kepemerintahan yang menaunginya seperti negara (Chandoke,1995). Terlebih dalam konteks ini negara berperan sebagai penjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakatnya. Upaya penjaminan kesejahteraan dan kelangsungan hidup tersebut ditinjau melalui pemenuhan hak – hak asasi masyarakat, sesuai yang tertuang dalam beberapa pasal UUD 1945 (mis : Pasal 27) dan UDHR PBB yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yakni : (1) hak – hak politis dan yuridis, (2) hak – hak atas martabat dan integritas manusia, (3) hak – hak sosial, ekonomi dan

(3)

budaya (Sunarso, dkk, 2008). Oleh karena itu, fungsi negara menjadi indikator evaluatif bagi masyarakat. Kenyataan tersebut semakin menegaskan adanya relasi yang kuat antara kekuasaan dan wewenang negara dengan masyarakatnya. Relasi yang terjalin antara negara dan masyarakat tersebut membentuk suatu proses dialektika, keduanya saling mempengaruhi satu sama lain secara terus menerus. Termasuk proses konstruksi dan kontestasi identitas masyarakat dengan berdasar pada pengaplikasian fungsi negara dalam keseharian masyarakat. Dalam konteks ini negara yang berkuasa dan berwenang didudukkan dalam sebuah struktur, sedangkan masyarakat yang berada di bawah naungannya merupakan sebuah agensi.

Pada hubungan dialektika keduanya mendapatkan posisi dan kedudukan yang seimbang sehingga tidak hanya struktur yang mampu mempengaruhi agensi, melainkan juga agensi mampu mempengaruhi struktur yang oleh Giddens disebut dengan dialectic of control. Dengan kata lain agensi tidak selalu tunduk kepada struktur (agensi berkemampuan melawan kontrol dan struktur) untuk dapat menemukan kesempatan atau kemungkinan keluar dari aturan tertentu (Giddens, 1987). Menurutnya kondisi tersebut sangat berkaitan dengan ‘social practices’ masyarakat. Dialectic of control yang diusung Giddens tersebut merupakan respon terhadap konflik atau kontestasi antara negara dan masyarakat dipicu oleh tarik menarik surveillance (pengawasan) yang dilakukan negara dengan citizenship rights (hak warga negara) yang dimiliki masyarakat.

Timbulnya suatu kontestasi identitas antara negara dan masyarakat dalam fenomena degradasi nasionalisme yang dikaji melalui disfungsi negara, menjadi

(4)

ide pokok dalam penelitian ini. Faktanya disfungsi negara menjadi satu acuan atas terkonstruksinya pola pikir, perilaku bahkan identitas individu. Lokasi penelitian yang berfokus pada wilayah perbatasan yakni Desa Badau, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Lubok Antu (Serawak, Malaysia) sangat berpotensi untuk menunjukkan adanya upaya kontestasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Letak geografis yang saling berdampingan memungkinkan warga masyarakat untuk saling melakukan tindakan komparasi satu sama lain. Terkait dengan isu melemahnya nasionalisme pada masyarakat, wilayah perbatasan dirasa menjadi salah satu lokasi yang sangat krusial untuk dikaji lebih lanjut, mengingat wilayah perbatasan menjadi arena atas munculnya berbagai permasalahan yang berkaitan dengan fungsi negara.

Aspek geografis menjadi alasan utama dalam berbagai permasalahan pendistribusian barang dan kualitas pelayanan publik di wilayah perbatasan. Terlebih kontrol dan monitoring secara langsung dari pemerintah pusat sangat terbatas terkait dengan perkembangan masyarakat perbatasan. Seperti masyarakat di Kecamatan Badau yang berbatasan secara langsung dengan Lubok Antu (Serawak). Lokasinya yang berdampingan secara langsung memudahkan masyarakat dari masing – masing negara untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi. Kondisi perbatasan Indonesia yang serba ‘minim’ sangat memungkinkan warga masyarakat perbatasan untuk mencari dan mengupayakan berbagai kebutuhan hidupnya ke wilayah tetangga (Serawak). Menurut wacana perbatasan tidak hanya barang kebutuhan pokok saja yang diambil dari negara tetangga melainkan juga fasilitas penunjang kehidupan lain seperti penyediaan

(5)

listrik. Ketergantungan masyarakat perbatasan terhadap barang dan fasilitas dari negara tetangga disinyalir telah menumbuhkan kedekatan emosional antara masyarakat perbatasan Indonesia (Badau) dengan masyarakat Serawak (khususnya Lubok Antu).

Interaksi yang berlangsung secara intensif antar masyarakat kedua negara pada akhirnya memberikan peluang akan terjadinya distribusi pengalaman, bahkan hingga pada ide – ide yang terkait dengan konteks identitas. Cerita dan ide – ide tersebut secara tidak langsung dapat teraktualisasikan kedalam pola pikir dan perilaku masyarakat perbatasan. Perbedaan status kewarganegaraan semakin menegaskan adanya perbedaan diantara masyarakat. Namun, status kewarganegaraan menjadi sorotan tajam atas kekhawatiran yang muncul dalam berbagai pergolakan di perbatasan. Status kewarganegaraan atau yang dapat disebut sebagai identitas kewarganegaraan dalam konteks penelitian ini akan menjadi satu isu sentral ketika dikaitkan dengan persoalan disfungsi negara di perbatasan. Identitas kenegaraan yang membedakan masyarakat satu dengan yang lain faktanya sangat dipengaruhi oleh bentuk pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh negara. Dengan kata lain, bentuk pelayanan dan fasilitas negara menjadi satu dasar pembentukan pola pikir masyarakat bahkan hingga mengkonstruksi identitas masyarakat perbatasan. Rasa kebanggaan dan nasionalisme masyarakat menjadi indikator utama dalam melihat respon masyarakat atas disfungsi negara yang terjadi di wilayah perbatasan. Kondisi tersebut yang berpotensi untuk memunculkan kontestasi – kontestasi identitas dan

(6)

pada akhirnya berujung pada melemahnya nasionalisme pada masyarakat perbatasan.

B. Rumusan Masalah

Wilayah perbatasan merupakan suatu area yang rawan akan berbagai persoalan sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan. Mengingat tingginya akses bagi kedua negara yang saling berbatasan untuk dapat berinteraksi dan menginternalisasikan ide terkait dengan kehidupan, termasuk upaya pemenuhan kebutuhan dalam hidup. Oleh karena itu, terdapat beberapa rumusan masalah yang menjadi titik tolak kegiatan penelitian ini :

1. Bagaimana disfungsi negara dapat terjadi di wilayah perbatasan (Badau) ? 2. Bagaimana disfungsi negara mampu memberikan dampak yang sangat

signifikan dalam kehidupan masyarakat perbatasan, seperti pembentukan pola pikir dan perilaku masyarakat perbatasan ?

3. Bagaimana disfungsi negara dapat berpengaruh pada pengkonstruksian rasa nasionalisme dan kebanggaan masyarakat perbatasan (Badau) terhadap negara Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menambah khasanah penelitian terkait wilayah perbatasan dengan berbagai permasalahan yang melekat pada wilayah perbatasan, antara lain ;

(7)

1. Memberikan pemaparan bentuk - bentuk disfungsi negara yang terjadi pada masyarakat perbatasan

2. Memaparkan peran dan hubungan berbagai pihak dalam fenomena permasalahan kontestasi identitas masyarakat perbatasan sebagai akibat dari disfungsi negara

3. Memaparkan dampak adanya disfungsi negara terhadap degradasi nasionalitas dan kebanggaan masyarakat perbatasan terhadap pemerintah Indonesia.

D. Kerangka Teori

Identitas yang cenderung merujuk pada proses ‘pelabelan’ secara praktis memberikan jarak antara subjek satu dan subjek yang lainnya atas dasar berbagai pertimbangan dan proses negosiasi, baik dalam tataran psikologis atau individu, sosial budaya masyarakat dan dalam tataran yang lebih makro yakni sistem kepemerintahan negara. Merujuk pada Liliweri, konsep identitas terbagi menjadi 3 bentuk kategori yang pertama yakni identitas budaya, identitas sosial dan identitas diri (Liliweri, 2007). Masih merujuk pada konsep identitas menurut Liliweri, masing – masing bentuk kategori identitas mengkaji isu identitas dengan berdasar pada konteks dan fokus analisis tertentu. Seperti konsep identitas diri yang merupakan kesadaran dan kesinambungan pribadi yang mengintegrasikan semua gambaran diri. Identitas budaya yang menempatkan identitas sebagai ciri khas akan muncul ketika orang menjadi satu bagian dari kelompok etnis tertentu dan dapat dikaji melalui detail – detail turunan kebudayaan, seperti sifat bawaan,

(8)

bahasa dan agama. Sedangkan identitas sosial merupakan suatu pelabelan yang terbentuk atas dasar pertimbangan dan pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya (Liliweri, 2007). Peran vital budaya dalam konstruksi identitas juga dipaparkan oleh Pratt dalam konsep identitasnya (Pratt, 2003). Pengkategorian identitas tersebut sedikit banyak mampu memberikan gambaran terkait berbagai perspektif dan perilaku masyarakat yang terpengaruh oleh berbagai faktor, yakni internal dan eksternal.

Kajian kontestasi identitas yang menjadi awal dari munculnya permasalahan degradasi nasionalisme ditinjau melalui disfungsi negara dalam konteks tulisan ini nampak lebih cenderung merujuk pada persoalan identitas budaya dan identitas sosial politik dalam perkembangannya. Mengingat kedua aspek (budaya dan politik) tersebutlah yang turut mendasari pola pikir masyarakat, perilaku masyarakat hingga pada akhirnya merujuk pada konstruksi dan rekonstruksi identitas. Terlebih budaya dan politik menjadi dua aspek payung dalam kehidupan masyarakat, dimana berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat lebih diatur dan diorganisasikan dalam dua tataran yakni tataran budaya dan tataran politik. Aspek sosial dan politik juga dilihat sebagai perspektif yang penting oleh Abdullah dalam meninjau hubungan yang kompleks antar negara termasuk upaya pembentukan identitas di wilayah perbatasan (Abdullah, 2007). Stuart Hall memandang identitas budaya dalam 2 kategori yakni identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan identitas sebagai sebuah proses untuk menjadi (identity as becoming) (Hall, 1990). Sejalan dengan konsep dan pengkategorian identitas menurut Hall, telah memberikan satu asumsi bahwa

(9)

identitas tidak hanya menjadi sebuah label statis yang telah berwujud saja melainkan juga mengalami proses pengkonstruksian.

Proses pengkonstruksian identitas tersebut akan dilatarbelakangi oleh berbagai pergeseran yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan kajian dalam tulisan ini, pergeseran – pergeseran yang berpusat pada aspek budaya turut menggeser dan mengkontestasikan identitas individu yang menjadi bagiannya. Seiring dengan besarnya peranan dan kontribusi aspek budaya, terdapat dominasi sosial politik yang juga turut berperan dalam proses kontestasi identitas individu dan masyarakat. Bahkan besar kemungkinan jika aspek sosial dan politik lebih berpengaruh atau menjadi variabel penentu dalam fenomena kontestasi identitas masyarakat. Merujuk pada uraian Baron dan Byrne, setiap orang berusaha ingin membangun identitas sosial (social identity) sebagai sebuah representasi diri yang mengkonseptualisasikan dan mengevaluasi siapa diri kita (Baron and Byrne, 2003). Sehingga akan menjadi satu fenomena yang wajar apabila berkembangnya jaman termasuk dengan sistem operasionalnya turut mengembangkan, menggeser dan mengkontestasikan identitas masyarakat. Seperti halnya dalam konteks kajian perbatasan Badau, posisi dan kondisi sosial budaya sangat dipengaruhi oleh berbagai interaksi yang bersumber dari pemerintahan pusat Indonesia dan pemerintahan Serawak, Malaysia.

Lokasi geografis yang berdampingan menyebabkan masyarakat Indonesia dan Serawak (Malaysia) mengembangkan berbagai jenis jejaring dan kerjasama. Lalu lalang masyarakat dari Badau (Indonesia) ke Lubok Antu (Serawak) dan begitu pula sebaliknya sudah menjadi satu rutinitas bagi warga masyarakat yang

(10)

tinggal di wilayah perbatasan. Oleh karena itu, dalam proses interaksi tersebut sangat dimungkinkan terjadi pertukaran – pertukaran pengalaman hidup dan ide kenegaraan. Kenyataan yang demikian juga disinyalir menjadi salah satu bagian yang mendasari adanya pergeseran identitas masyarakat. Pujilaksono memaparkan integrasi sebagai salah satu penyebab adanya pergerseran identitas, dimana dalam prosesnya individu dan masyarakat dapat mengembangkan identitas baru yang merupakan hasil penyatuan berbagai interaksi dan komunikasi dari berbagai komunitas dan budaya (Pujilaksono, 2006). Pada kenyataannya tidak hanya bentuk interaksi yang mengandung unsur positif saja yang dapat mengkonstruksi dan rekonstruksi identitas, melainkan bentuk interaksi yang mengandung unsur negatif juga turut berkontribusi dalam pembentukan dan kontestasi identitas. Bentuk interaksi yang mengandung unsur negatif meliputi perselisihan, perseteruan, konflik dan bentuk – bentuk kompetisi lainnya. Sejalan dengan konsep Scarry,

“Defensive and constructive violence (RSAs and ISAs), which shape a world of rules, rights and regimes and people that world with imagined communities of ‘us’ and ‘others’, are deeply invested in the wirk of playing images of integrity off againts the threat of image violation, and we must attend in our analyses of social formations and deformations to the ways violences – violative and as well as ‘defensive’ and ‘constructive’ – shape and reshape our identities” (Scarry, 1985).

Konflik dan perselisihan yang kerap terjadi antara Indonesia dan Malaysia nampaknya menjadi satu realisasi dari konsep Scarry. Dalam konteks tersebut, masing – masing entitas (Indonesia – Malaysia) terlihat mencitrakan dan mengkonstruksi identitasnya masing – masing. Oleh karena itu, kajian perbatasan yang dalam konteks ini mengambil lokasi di Badau diharapkan mampu

(11)

merepresentasikan fenomena tersebut. Interaksi antara warga masyarakat yang berasal dari dua negara tersebut pada dasarnya diwarnai oleh perbedaan latar belakang lingkungan sosial, politik dan budaya, sehingga sangat berpotensi untuk memunculkan konflik. Terlebih kedua masyarakat tersebut memiliki doktrinasi sistem kepemerintahan yang sangat berbeda, sehingga bentuk – bentuk komparasi terkait sistem kepemerintahan dan program kebijakannya sangat mungkin terjadi. Bahkan tanpa disadari upaya – upaya internalisasi atas fenomena tersebut sangat berpotensi terjadi melalui modus perdagangan, kerjasama buruh upah, dan bentuk kerjasama pemenuhan kebutuhan vital seperti air, listrik, gas dan bahan makanan. Bangsa dalam konteks ini telah mengambil otoritas fungsinya terkait internalisasi nilai dan simbol dalam konstruksi identitas yang berujung pada rasa nasionalisme melalui sistem kepemerintahan dan berbagai program kebijakannya. Bennedict Anderson berpendapat bahwa bangsa adalah suatu immagined community (komunitas terbayang), identitas nasional adalah konstruksi yang dipadukan melalui simbol dan ritual dalam kaitannya dengan kategori teritorial dan administratifnya (Anderson, 1983). Oleh karena itu, fungsi dan disfungsi negara yang terkait dengan sistem kepemerintahan serta berbagai program kebijakan menjadi satu tinjauan utama dalam fenomena kontestasi identitas pada masyarakat. Mengingat lokasi penelitian yang berdampingan sangat berpotensi dalam pendistribusian barang, jasa dan bahkan ideologi negara yang sangat berpengaruh dan mendasari dalam fenomena kontestasi identitas masyarakat perbatasan.

Seiring dengan perkembangannya masyarakat saat ini mulai memberikan perhatian yang cukup besar pada masalah – masalah krusial, seperti

(12)

pengkonstruksian identitas yang tercermin dalam rasa nasionalisme. Permasalahan terkait dengan identitas merebak ketika masyarakat dihadapkan dengan tuntutan – tuntutan keadaan dan kepentingan sosial ekonomi politik sebagai respon dari berbagai kebutuhan hidup guna mempertahankan kelangsungan hidupnya. Melalui perspektif antropologis identitas tidak hanya ciri sosial pembeda tetapi juga suatu strategi sekelompok masyarakat untuk mencari makna dalam kehidupan bersamanya. Merujuk pada masyarakat Badau yang terletak di wilayah perbatasan, tepatnya Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang langsung berbatasan darat dengan wilayah Serawak (Malaysia), kerangka identitas menjadi satu aset yang harus benar – benar dipertahankan statusnya. Mengingat wilayah perbatasan merupakan satu area yang tergolong dalam area ‘rawan’ (rawan permasalahan sosial ekonomis politis). Letaknya yang sangat jauh dari berbagai pusat pemerintahan Indonesia secara tidak langsung menjadikan masyarakat Badau sebagai masyarakat yang cukup terisolir. Dalam konteks ini terisolir berarti berbagai macam distribusi tidak dapat diturunkan secara maksimal, baik distribusi akan barang, kebutuhan pangan pokok, berbagai macam fasilitas publik hingga pada distribusi program – program kebijakan kepemerintahan.

Pada kenyataannya, kondisi tersebut telah berpotensi untuk memunculkan satu akar permasalahan besar dalam kehidupan masyarakat Badau. Akar permasalahan yang nantinya dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan yakni

minimnya kontrol dan kehadiran negara berikut dengan sistem

(13)

kenyataannya negara dan sistem kepemerintahannya hadir dalam bentuk fisik yang diwakili oleh hadirnya institusi – institusi kenegaraan di lingkungan sekitar masyarakat, akan tetapi jikalau fungsinya tidak diaplikasikan dengan baik maka tetap saja pemaknaan ide dan konsep yang diberikan masyarakat terkait negara tetap nihil. Pada akhirnya masyarakat hanya mengetahui statusnya sebagai warga negara Indonesia saja, tanpa harus ikut campur tangan dalam upaya pertahanan dan pencitraan nama baik Indonesia. Padahal masyarakat Badau merupakan masyarakat yang berada di beranda terdepan negara Indonesia, di mana seharusnya memberikan pertahanan negara sebagai garda terdepan melalui pencitraan nama baik negara Indonesia. Kerangka permasalahan yang saat ini tengah dialami oleh masyarakat Badau tersebut tidak lantas muncul dengan sendirinya, melainkan karena adanya akumulasi rasa kecewa yang mendalam pada kinerja pemerintah Indonesia yang seakan meng-isolir kawasan perbatasan Badau. Hadirnya Pos PLB Nanga Badau nyatanya juga bukan menjadi sebuah jaminan akan kesejahteraan masyarakat.

Pemaknaan akan ketidakmaksimalan kinerja pemerintah Indonesia dapat ditinjau melalui nihilnya fungsi – fungsi negara dalam kehidupan bermasyarakat. Hingga pada akhirnya kondisi yang demikian memunculkan perilaku serta praktik – praktik pelanggaran guna merespon kondisi kepemerintahan Indonesia diwilayah perbatasan. Pada kenyataannya dalam kondisi yang serba ‘minim’, masyarakat Badau masih dapat mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya bahkan sampai pada pemenuhan kebutuhan hidup tingkat lanjut, seperti kebutuhan manusia akan teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan. Fenomena yang cukup

(14)

mencengangkan memang apabila diketahui bahwa berbagai macam bentuk pemenuhan kebutuhan tersebut justru dapat dipenuhi oleh negara tetangga (Malaysia). Terjalinnya hubungan yang kooperatif dalam urusan pemenuhan kebutuhan masyarakat antara berbagai aktor tersebut seakan mengaburkan batas – batas negara secara fisik dan administratif. Kondisi tersebut yang mampu mendasari berbagai konspirasi – konspirasi ekonomi, sosial dan politik dari kedua negara. Terlebih terbukanya akses untuk semakin berinteraksi dan berkomunikasi dapat berpotensi untuk memunculkan ketergantungan antar kedua pihak. Hingga pada akhirnya mulai muncul kontestasi identitas dan menjadi fenomena yang sangat melekat pada wilayah perbatasan. Dalam konteks penelitian ini, kontestasi identitas masyarakat perbatasan ditandai dengan adanya degradasi rasa nasionalisme dan kebanggaan masyarakat terhadap negara Indonesia berikut dengan simbol – simbol yang menyertainya.

E. Metode Dan Sumber Data

Kajian yang menempatkan wilayah perbatasan sebagai fokus utama kajiannya hingga dewasa ini belum begitu populer di kalangan akademisi maupun di kalangan praktisi yang fokus dalam pengembangan masyarakat. Selama ini desa – desa terasing di pelosok wilayah yang menjadi target sasaran sering tidak mengikutsertakan wilayah perbatasan sebagai target sasarannya. Padahal di lain sisi, wilayah perbatasan justru menjadi salah satu wilayah yang rentan akan berbagai permasalahan ekonomi, sosial politik, budaya dan pertahanan keamanan. Desa Badau sebagai wilayah bagian dari Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas

(15)

Hulu, Provinsi Kalimantan Barat1 merupakan wilayah perbatasan Indonesia Malaysia yang sering luput dari perhatian pemerintah, desa di perbatasan menjadi lokasi utama dalam konteks penelitian ini. Desa yang terletak di ujung Pulau Kalimantan tersebut merupakan kawasan yang memiliki fasilitas terbatas,

mengingat ketidakmaksimalan distribusi dari pemerintah pusat2. Meskipun

memiliki sumber daya alam yang cukup, namun kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakatnya menyebabkan Badau tetap bergantung pada distribusi barang – barang dari pusat (Indonesia) dan Malaysia. Berdasar pada beberapa aspek tersebut, maka Badau menjadi salah satu lokasi penelitian terpilih dalam konteks ini.

Masyarakat lokal tentunya menjadi salah satu bagian penting dalam pengumpulan data terkait tema kontestasi identitas yang berujung pada fenomena melemahnya nasionalisme ditinjau melalui disfungsi negara terlebih beberapa tokoh masyarakatnya. Aparatur pemerintahan juga menjadi informan kunci dalam konteks ini, mengingat penelitian ini akan melibatkan jenis data kualiatif yang bersumber dari hasil wawancara dan observasi serta data yang bersumber pada data monografi desa dan kecamatan. Selain itu mengingat lokasinya yang berada di perbatasan negara, maka aparatur keamanan seperti Komando Kompi Nanga Badau, pihak Militer dan Kepolisian juga turut berkontribusi dalam proses

                                                                                                                         

1Detail map of Nanga Badau

http://www.maplandia.com/indonesia/kalimantan-barat/kapuas-hulu/nangabadau. Diakses pada 3 April 2013 pukul 16.00 WIB

2PLB  Badau  Minim  Fasilitas  Pendukung.  http://kalbar-­‐online.com/news/ekalbar/kapuas-­‐ hulu/plb-­‐badau-­‐minim-­‐fasilitas-­‐pendukung  Diakses  pada  3  April  2013  pukul  16.25  WIB  

(16)

pengumpulan data. Pos Lintas Batas Nanga Badau juga menjadi satu rujukan informasi terkait dengan aktivitas lintas batas.

Aspek geografis menjadi salah satu faktor dominan dalam upaya pengkajian kontestasi identitas yang ditinjau melalui disfungsi negara pada masyarakat wilayah perbatasan. Pengumpulan fakta – fakta empirik terkait dengan isu disfungsi negara menjadi metode awal guna memahami suatu fenomena besar yang benar – benar tengah dialami oleh masyarakat perbatasan. Terjun ke lapangan dan melakukan observasi langsung menjadi metode yang wajib dilakukan oleh peneliti untuk dapat menangkap the native’s point of view terkait dengan isu disfungsi negara dan dampaknya pada fenomena kontestasi identitas perbatasan. Tujuan akhir dari metode ini yakni terkumpulnya sumber data yang valid dan dapat digunakan untuk proses analisis, baik data primer maupun data sekunder. Data yang bersifat primer, bisa didapatkan dengan proses observasi langsung serta tidak menutup kemungkinan juga melakukan wawancara langsung dengan beberapa pihak yang terkait. Sedangkan data sekunder yang lebih bersifat mendukung data primer dapat bersumber dari arsip – arsip monografi desa dan laporan – laporan kegiatan kerja yang biasanya terdapat di instansi – instansi kepemerintahan.

Kegiatan – kegiatan ekspedisi yang telah dilaksanakan terlebih dahulu termasuk dengan karya yang telah dihasilkan dapat dijadikan referensi dalam kegiatan penelitian, meskipun bahasan serta ide utamanya tidak terpaut secara langsung namun setidaknya masih memiliki keterkaitan dalam sisi yang lain. Analisis dan interpretasi dari data dan informasi yang ditemukan menjadi metode

(17)

selanjutnya yang harus dilakukan oleh peneliti. Mengingat dalam proses analisis dan interpretasi tersebut akan dilaksanakan identifikasi data dan informasi hasil dari observasi lapangan. Hingga pada akhirnya tercipta suatu rumusan yang mampu memberikan paparan utuh atau holistik terkait dengan wacana wilayah perbatasan yang hingga saat ini masih sering diisolirkan. Terlebih munculnya suatu permasalahan baru akan fenomena kontestasi identitas yang bertolak dari fenomena disfungsi suatu negara (Indonesia).

Referensi

Dokumen terkait

keputusan masyarakat untuk menabung di Bank Syariah, maka penulis termotivasi untuk melakukan sebuah penelitian tentang pengaruh literasi keuangan dan religiusitas

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dan dengan pertimbangan bahwa penge tahuan masyarakat tentang DM dan komplikasinya perlu terus didorong agar lebih meningkat,

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis yaitu dengan melihat atau melakukan penelitian secara mendalam terkait

Penelitian ini berangkat dari data registrasi yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi pada tahun 2012. Pendataan rumah tradisional Kota

Suatu usaha dalam mengembangkan dunia usaha ternyata banyak menemui kendala terutama dalam masalah terbatasnya jumlah modal atau dana yang akan digunakan untuk mengembangkan

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segalanya sesuatunya

BIAYA YANG TERJADI DAN OPPORTUNITY COST KARENA DITOLAKNYA PRODUK ATAU JASA OLEH PELANGGAN... Biaya Kualitas Klasifikasi

Baca petikan di bawah dengan teliti, kemudian buat satu rumusan tentang cara-cara menggalakkan orang ramai menggunakan pengangkutan awam (FOKUS 1) dan