• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Multikultural Dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Non Bse Untuk Siswa Smp Di Surakarta abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan Multikultural Dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Non Bse Untuk Siswa Smp Di Surakarta abstrak"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DALAM BUKU PELAJARAN BAHASA INDONESIA

NON-BSE UNTUK SISWA SMP DI SURAKARTA

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Joko Purwanto S841108037

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2013

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya

sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Alinsyirah: 5-6)

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa mendoakanku.

2. Istriku, Yuni Susilowati, dan anakku, Faiza Abidatu Tsabita, yang paling saya cintai dan sayangi.

3. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa mendoakan dan menyemangatiku.

4. Rekan-rekanku yang selalu memberiku semangat.

5. Seluruh sahabat dan handai taulan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih karena atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Penyusunan tesis ini adalah salah satu persyaratan untuk mencapai derajat magister pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini.

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS sekaligus pembimbing I yang telah memberikan izin dan dukungan serta motivasi yang membangun dalam penyusunan tesis ini.

3. Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan serta motivasi yang luar biasa dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini.

4. Sivitas akademik Program Pascasarjana UNS atas pelayanan dan bimbingan yang tulus selama berjuang menimba ilmu, sehingga dapat menyelesaikan studi.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang selalu saling memberikan motivasi dalam perjuangan selama di kampus tercinta.

6. Keluarga besar saya yang senantiasa memberikan semangat dalam menyelesaikan studi ini.

(8)

viii

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis ini.

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah Swt. Penulis berharap semoga penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas buku dan pembelajaran bahasa Indonesia.

Surakarta, Desember 2012 Penulis

(9)

ix

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ... 10

1. Hakikat Pendid ikan Mu ltikultural ... 10

a. Multikulturalisme... 10

(10)

x

b. Pendidikan Multikultural ... 15

c. Pendekatan Pendidikan Multiku ltural ... 26

2. Hakikat Buku Pelajaran... ... 32

a. Pengertian Buku Pelajaran... 32

b. Penyusunan Buku Pelajaran ... 34

c. Tujuan dan Manfaat Penyusunan Buku Pelajaran ... 36

d. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Berperspektif Pendidikan Multikultural ... 39

e. Pengintegrasian Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia ... 48

B. Penelitian Relevan ... 49

C. Kerangka Berpikir ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 54

B. Bentuk dan Strategi Penelitian... 54

C. Data dan Sumber Data... 55

D. Teknik Pengumpulan Data ... 55

E. Valid itas Data ... 57

F. Teknik Analisis Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 59

1. Buku dengan judul Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP dan MTs Kelas VIII karya Ratna Purwaningtyastuti ……. 59

(11)

xi

2. Buku berjudul Seribu Pena Bahasa Indonesia

untuk SMP/MTs Kelas VIII karya Tim Abdi Guru ... 67

3. Buku berjudul Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VIII karya E. Kosasih dan Restuti Murwaningrum… 72 4. Buku berjudul Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII Karya Nurhadi, Dawud, dan Yuni Pratiwi ... 77

5. Buku dengan judul Bahasa dan Sastra Indonesia karya Suharma, dkk. ……….. 79

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 81

1. Muatan Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia non-BSE tingkat SMP Kelas VIII ... 81

2. Kualitas Muatan Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia non-BSE tingkat SMP Kelas VIII. ... 100

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 105

B. Implikasi ... 106

C. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

LAMPIRAN ... 115

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 1 ... 115

Lampiran 2: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 2 ... 128

Lampiran 3: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 3 ... 141

Lampiran 4: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 4 ... 152

Lampiran 5: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 5 ... 162

Lampiran 6: Transkrip Hasil Wawancara ... 172

Lampiran 7: Foto Sampul Buku-buku Pelajaran Bahasa Indonesia Non-BSE yang Diteliti ……….. 183

Lampiran 8: Angket Rekapitulasi Data Buku Non-BSE Bahasa Indonesia SMP Kelas VIII di Surakarta …………..… 188

(13)

xiii

Joko Purwanto. S841108037. 2013. Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Non-BSE untuk Siswa SMP di Surakarta. Tesis. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; II: Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Un iversitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini memilik tujuan: (1) mendeskripsikan dan menjelaskan muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE untuk tingkat SMP, dan (2) mendeskripsikan dan menjelaskan kualitas muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE tingkat SMP.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE untuk tingkat SMP di Kota Surakarta dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik analisis konten, angket, dan wawancara mendalam. Uji validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi teori dan sumber, sedangkan analisis data menggunakan teknik analisis interaktif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE yang dianalisis belum sepenuhnya memuat dimensi-dimensi pendidikan multikultural. Hal ini terbukti dari dari lima dimensi yang seharusnya ada hanya ada tiga dimensi yang dimunculkan, yakni dimensi integrasi materi, pengurangan prasangka, penguatan budaya sekolah dan struktur sosial. Sedangkan dua dimensi yang lain, yakni dimensi konstruksi pengetahuan dan dimensi penyesuaian metode pembelajaran tidak ditemukan dalam lima buku pelajaran tersebut. Bahkan ada satu buku pelajaran yang tidak memuat keseluruhan dimensi multikultural. (2) kualitas muatan pendidikan multikultural dalam lima buku pelajaran tersebut masih sangat kurang memadai. Hal ini karena belum semua dimensi multikultural terintegrasi dalam buku-buku pelajaran tersebut.

Kata kunci: pendidikan multikultural, buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE

(14)

xiv

Joko Purwanto. S841108037. 2013. Education Multicultural In Indonesian Textbook non-BSE For Student SMP at Surakarta. Thesis. Supervisor I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; II: Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M. Hum. Indonesian Language Education Study Program, Post Graduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta.

ABSTRACT

This watchfulness has aim: (1) describe and explaination education load multicultural in Indonesian textbook non-BSE for level SMP, and (2) describe and expalin education load quality multicultural in Indonesian textbook non-BSE level SMP.

The method of the research is qualitative descriptive. Data source in this watchfulness Indonesian textbook non-BSE for level SMP at city Surakarta and informant. Data collecting technique uses analysis technique content, questionnaire, and interview deepens. Data validity test is done with technique triangulatings theory and source, while data analysis uses analysis technique interactive.

Based on watchfulness result inferential that: (1) education load multicultural in Indonesian textbook non-bse that analyzed not yet thoroughly hold education dimensions multicultural. This matter proved from from five dimensions should there there's only three dimensions that showed, that is matter integration dimension, prejudice reduction, school culture reinforcement and social structure. While two other dimensions, that is erudition construction dimension and dimension settings study method is not found in five textbook. May even exist one textbook doesn't hold overall dimension multicultural. (2) education load quality multicultural in five textbook still very less memadai. This matter is because not yet all dimensions multicultural integration in lesson books.

Keyword: education multicultural, Indonesian textbook non-bse

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai letak geografis serta kondisi sosial budaya yang beragam sangatlah memberikan gambaran yang begitu jelas bahwa Indonesia adalah sebagai negara multikultural. Bagaimana tidak? Indonesia adalah sebuah negara dengan ribuan pulau dengan jumlah penduduk yang lebih dari dua ratus juta jiwa dan menggunakan lebih dari tujuh ratusan bahasa daerah yang berbeda-beda. Masyarakatnya pun memeluk berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai aliran kepercayaan lainnya. Hal tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas tentang keragaman yang ada di Indonesia.

Namun, keragaman tersebut seringkali menimbulkan masalah yang sangat hebat. Sering terjadi konflik antarsuku, golongan, bahkan antaragama yang sampai menimbulkan pertumpahan darah dan korban jiwa di antara mereka. Kerusuhan di Sampit, Ambon, Poso, dan Papua adalah beberapa contoh konflik yang terjadi antarberbagai suku dan agama yang ada di Indonesia. Hal itu adalah masalah yang dihadapi bangsa Indonesia yang harus segera dicarikan solusinya.

Kemajemukan atau keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Keberagaman itu, di satu sisi, merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena jika bisa dikelola dengan baik akan dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan

(16)

dalam upaya pembangunan bangsa. Keberagaman itu pula akan mampu mendinamisasikan kita sebagai sebuah bangsa. Di sisi lain, keberagaman itu dapat pula merupakan titik pangkal terjadinya friksi yang dapat memicu konflik (Sarwiji Suwandi, 2008: 1).

Selain permasalahan tersebut, dunia pendidikan di Indonesia saat ini pun dihadapkan pada berbagai permasalahan yang sangat kompleks. Menurunnya kualitas pendidikan, rendahnya kualitas lulusan, rendahnya daya serap lulusan pada dunia kerja, adanya kenakalan pelajar, semua itu merupakan cerminan masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Berbagai permasalahan tersebut juga tidak mudah untuk diselesaikan.

Hal yang tak kalah penting selain yang berkaitan dengan permasalahan di atas dan tentu menjadi sebuah tantangan besar bagi dunia pendidikan Indonesia adalah masih adanya konflik dan kekerasan yang seringkali terjadi di masyarakat, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dengan berbagai macam alasan, sesama pelajar justru terlibat tawuran. Dengan mengatasnamakan individu maupun kelompok, mereka saling ejek, saling serang dan bahkan saling membunuh. Bahkan sampai saat ini, hal-hal semacam itu masih sering terjadi di kalangan pelajar ataupun mahasiswa. Masalah-masalah tersebut mengindikasikan bahwa harus segera ada perbaikan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Perbaikan dalam dunia pendidikan diperlukan karena pemecahan masalah dalam kekerasan belumlah cukup jika hanya mengandalkan peran dari aparat penegak hukum saja. Dunia pendidikan pun mempunyai peran yang sangat besar dalam memberikan solusi terhadap berbagai konflik tersebut. Terbangunnya

(17)

konsep kesadaran akan pentingnya toleransi, saling menghargai, dan kedamaian bisa diwujudkan melalui dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia harus mengarahkan kepada para peserta didiknya agar mau dan mampu menerima serta memahami berbagai perbedaan suku, budaya, dan agama yang berbeda. Jika tidak demikian, tentu akan menimbulkan berbagai macam benturan antarsuku, budaya, dan agama yang berbeda tersebut sehingga akan berujung pada perpecahan bangsa.

Merunut pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Bab III pasal 4 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Berdasar pada undang-undang tersebut, sudah seyogyanya bila pendidikan yang dilaksanakan harus mampu membentuk karakter para peserta didik untuk mempunyai jiwa yang humanis, demokratis, dan tidak diskriminatif. Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk menerapkan pembelajaran yang akan mampu membantu mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut. Penerapan bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan, yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, menumbuhkan persahabatan di antara siswa yang beragam suku, ras, agama, dan mengembangkan sikap saling memahami. Oleh sebab itu, menurut Sitti Mania (2010: 78-79), pendidikan multikultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajemukan itu.

(18)

Pendidikan multikultural merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Pendidikan multikultural tidak sekadar merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan, berbangsa dan bernegara, tetapi memberikan pemahaman tersendiri terhadap rasa kebangsaan sendiri. Pendidikan multikultural bisa berguna untuk merespon fenomena konflik etnis, sosial, budaya yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat multiku ltural. Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 5), merupakan salah satu alternatif melalui konsep pendidikan dan penerapan strategi yang didasarkan pada pemanfaatan berbagai keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa, seperti keragaman budaya, status sosial, agama, etnis, bahasa, umur, status sosial, gender, dan lain-lain. Mansouri dan Trembath (2005: 516) memberikan penegasan bahwa penerapan pendidikan multikultural juga diperlukan untuk menggabungkan dinamika sosial-politik di luar batas faktor sekolah dan keluarga agar bisa berlangsung lebih dinamis.

Dengan penerapan pendidikan multikultural, diharapkan akan mampu membantu para peserta didik mengerti, memahami, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, status sosial, etnis, budaya dan sebagainya. Melalui penanaman konsep multikulturalisme ini diharapkan akan menjadi sarana pelatihan dan penyadaran bagi para peserta didik untuk menerima dan menghargai perbedaan serta bisa hidup bersama secara damai. Selain itu, agar para peserta didik mempunyai rasa kepekaan yang tinggi dalam menghadapi, menyikapi, dan mencari solusi berbagai gejala serta masalah sosial yang bersifat multikultural. Adanya perbedaan budaya dan sulitnya penyesuaian diri terhadap berbagai budaya

(19)

yang berbeda tentu akan mempersulit proses pembelajaran. Hal senada dinyatakan oleh Novera (2004: 475) bahwa penyesuaian diri adalah kontributor yang signifikan untuk keberhasilan akademis mahasiswa internasional yang berbeda budaya, dan perbedaan budaya dapat menyebabkan masalah penyesuaian diri.

Pada jenjang pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, tidak akan bisa dilepaskan dari penggunaan buku pelajaran. Buku pelajaran dapat menjadi pegangan guru dan siswa sebagai referensi utama ataupun menjadi buku pendamping dalam proses belajar mengajar di sekolah. Di dalam kegiatan belajar, siswa tidak sebatas mencermati apa-apa saja yang diterangkan oleh guru. Siswa membutuhkan referensi atau acuan untuk menggali ilmu agar pemahaman siswa lebih luas sehingga kemampuannya dapat lebih dioptimalkan. Dengan adanya buku pelajaran tersebut, siswa dituntun untuk berlatih, berpraktik, atau mencobakan teori-teori yang sudah dipelajari dari buku tersebut. Oleh karena itu, guru harus secara cerdas menentukan buku pelajaran apa yang akan digunakan di dalam pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan muatan materi yang ada di dalamnya. Karena pada saat guru mampu secara tepat menentukan buku pelajaran terbaik, hal tersebut akan berpengaruh besar di dalam proses pembelajaran siswa.

Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia tentu juga tidak akan terlepas dari adanya penggunaan buku pelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, konsep maupun praktik pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam buku pelajaran atau materi ajar mata pelajaran bahasa Indonesia, baik dalam materi kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pengintegrasian materi

(20)

tentu saja dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan siswa, kebutuhan guru, dan pemanfaatan semua unsur sosial dan budaya dilingkungan sekitar peserta didik sebagai salah satu sumber belajar.

Menurut James A. Banks (2010: 23), pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan: (1) content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam pelajaran; (2) the knowledge contruction

pr ocess, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam

sebuah mata pelajaran; (3) a n equity pa eda gogy, yaitu menyesuaikan metode pembelajaran dengan kondisi siswa; (4) pr ejudice r eduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pembelajaran mereka, kemudian melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. (5) empowering

school cultur e and socia l structur e, yakni mengonstruksi kultur sekolah dan

struktur sosial. Kelima dimensi tersebut hendaknya ada dalam buku pelajaran, dalam hal ini adalah buku pelajaran bahasa Indonesia.

Buku pelajaran yang baik harus mampu memberikan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh mengenai kenyataan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan. Karena muatan budaya yang beragam akan membantu peserta didik untuk menerima dan menghargai keragaman budaya yang ada. Untuk itu, aspek multikultural harus ada dan terintegrasikan dalam buku pelajaran. Nilai-nilai multikultural dalam buku pelajaran harus dirancang sedemikian rupa agar dapat

(21)

terefleksikan dalam aspek-aspek pembelajaran, baik tersirat maupun tersurat. Nilai-nilai multikultural bisa diimplementasikan ke dalam pilihan materi pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu analisis terhadap buku-buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia. Apakah nilai-nilai atau muatan pendidikan multikultural sudah tercakup atau terintegrasikan dalam buku pelajaran bahasa Indonesia.

Dalam penelitian ini, buku pelajaran yang dianalisis adalah buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE (non-Buku Sekolah Elektronik) untuk siswa SMP kelas VIII. Hal ini didasarkan pada realita yang ada di sekolah, yakni masih banyak sekolah-sekolah yang menggunakan buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE. Padahal pemerintah, melalui Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sudah menerbitkan BSE (Buku Sekolah Elektronik) yang dapat digunakan oleh pihak sekolah untuk mendukung proses pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE tingkat SMP?

2. Bagaimana kualitas muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE tingkat S MP?

(22)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan:

1. muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE tingkat SMP.

2. kualitas muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-BSE tingkat SMP.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini memberikan pemahaman tentang konsep dan aplikasi pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia, khususnya untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama kelas VIII.

2. Manfaat Praktis a. Untuk guru

Dapat digunakan sebagai acuan bagi para guru dalam memilih dan menyiapkan materi ajar yang benar-benar sesuai dan mampu mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan, khususnya dalam pelaksanaan pendidikan multikultural.

b. Untuk Penyusun Buku Pelajaran

Bagi penyusun buku pelajaran, seperti penulis buku ajar, penerbit, guru dan pusat perbukuan, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan buku-buku pelajaran berperspektif pendidikan multikultural. Hal ini agar para siswa memiliki pemahaman

(23)

dan penghargaan terhadap berbagai keanekaragaman, seperti suku, etnis, bahasa, budaya, dan agama.

c. Untuk Pusat Perbukuan

Dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pusat Perbukuan dalam menerbitkan buku pelajaran bahasa Indonesia yang memuat aspek atau nilai-nilai pendidikan multikultural.

(24)

10

BAB II

LANDASAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, DAN

KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Hakikat Pendidikan Multikultural

a. Multikulturalisme

Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan, adalah negara yang terdiri dari berbagai macam sukubangsa. Adanya sukubangsa yang berbeda-beda tentu saja akan menampakkan adanya berbagai budaya yang berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, suatu negara atau bangsa yang mempunyai masyarakat dengan budaya yang beragam, negara atau bangsa tersebut adalah negara yang bersifat multikultur. Dalam suatu masyarakat yang multikultur, kemungkinan besar akan dapat menimbulkan suatu permasalahan jika masyarakat yang bersifat multikultur tersebut tidak ditangani dengan baik. Permasalahan yang timbul bisa berasal dari berbagai macam aspek, seperti sosial, hukum, pendidikan, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan lain-lain.

Hal ini dipertegas o leh Baidhawy (2005: 26) yang menyatakan bahwa satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Satu pelajaran berharga dari sejarah masa lalu dan kini adalah bahwa bangsa besar yang kedodoran di hamparan kepulauan nusantara ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris, pola pikir monolog yang membuat kita menderita

(25)

dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalis karena kealpaan-kealpaan yang dibuatnya sendiri. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.

Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk saling memahami keberagaman kultur maupun pemahaman tentang apa itu multikulturalisme. Untuk memahami pengertian multikulturalisme, perlu dipahami terlebih dahulu tentang kata kultur. Banyak pakar yang telah mengemukakan atau mendefinisikan makna kata kultur. Meskipun memang mungkin tidak akan pernah ada kata sepakat mengenai makna dari kata kultur. Demikian halnya yang dinyatakan oleh Tilaar (2005: 59) bahwa studi kultural memang berkenaan dengan seluruh kehidupan manusia.

Berbicara mengenai makna kultur, L. H. Morgan (dalam Yaqin, 2011: 27) mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Julian Steward dan Leslie White mengemukakan bahwa kultur adalah sebuah cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat hidupnya terjamin (dalam Yaqin, 2005: 28). Dengan luasnya cakupan makna kultur, perlu pula dipahami terlebih dahulu karakteristik-karakteristik kultur.

Conrad P. Kottak (dalam Yaqin, 2005: 6-9) menyatakan karakter-karakter khusus kultur. Per ta ma, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai

(26)

kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, bergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada. Kedua , kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini, ada tiga macam pembelajaran: (1) pembelajaran individu secara situasional, (2) pembelajaran situasi secara sosial, dan (3) pembelajaran kultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya. Ketiga, kultur adalah sebuah simbol, baik berbentuk verbal maupun nonverbal (linguistik dan nonlinguistik). Keempa t, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan untuk mendapatkan energi, kemudian kultur mengajarkan manusia untuk makan apa, kapan, dan bagaimana. Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keena m, kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai kait-mengait. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.

Berdasarkan uraian tentang karakter-karakter khusus kultur di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur merupakan ciri-ciri tingkah laku manusia

(27)

yang dipelajari, bersifat sangat khusus, dan tidak diturunkan secara genetis. Artinya, kultur dapat dimaknai sebagai sebuah cara dalam bertingkah-laku dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya dan masing-masing kultur memiliki keunikan tersendiri dan tidak bisa dikatakan bahwa kultur yang satu lebih baik dari kultur yang lain.

Oleh sebab itu, sangatlah jelas bahwa sebenarnya kultur bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan sesuatu yang jamak. Dengan kata lain, kultur adalah sesuatu yang multikultural. Ada banyak sekali kultur yang ada di dunia ini. Sebab itulah, setiap individu hendaknya memiliki sikap dan perilaku yang arif dan bijaksana terhadap keberadaan berbagai macam kultur dan tidak menggunakan sudut pandang kulturnya sendiri dalam menilai kultur yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini karena masing-masing ku ltur memiliki karakteristik tersendiri. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikembangkan pemaknaan dan pemahaman terhadap konsep multikulturalisme.

Multikulturalisme adalah sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan (Ngainun Naim & Achmad Sauqi, 2011: 125). Senada dengan pendapat Naim tersebut, Pareh (2008: 15) menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan pandangan mengenai keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Sementara itu, Tilaar (2005: 306) menyatakan bahwa multikulturalisme

(28)

adalah suatu pandangan yang multietnis di dalam kehidupan modern. Pandangan ini mengakui adanya jenis-jenis budaya, dan karena itu sifatnya antirasisme, kesamaan budaya, partisipasi, dialog, dan berdiferensiasi. Tidak ada budaya yang murni, semuanya bersifat hibrida. Pendapat senada disampaikan oleh Lawrence Blum (Ujan, dkk., 2011: 14) bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Abdullah (dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi, 2011: 125) mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.

Multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu konteks sosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan kesehatan jati diri dan secara timbalbalik mengembangkan sikap-sikap antarkelompok yang positif (Berry dalam Markhamah, 2003: 22). Pemahaman seseorang akan adanya budaya yang beragam tentu akan mampu menjadikan kehidupan ini lebih

(29)

harmonis dan dinamis. Dengan demikian, akan tercipta suasana kerukunan antarsesama suku, ras, etnis, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda.

Berpijak pada beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah pemahaman, penghargaan dan penghormatan terhadap adanya keragaman budaya yang ada dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara.

b. Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural menjadi sebuah hal yang didengung-dengungkan dalam pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini. Hal in i seiring dengan semakin maraknya konflik yang terjadi di masyarakat. Konflik itu terjadi bukan hanya sesama suku, melainkan juga sudah melibatkan antarsuku yang tentu mempunyai kultur yang berbeda-beda. Sebagai contoh adanya konflik yang terjadi di Ambon dan Poso serta konflik yang terjadi di Sampang, Madura. Sebuah hal yang memang tidak bisa dihindari bahwa masyarakat Indonesia selain beragam dari segi etnis, suku, bahasa dan agama, juga majemuk dari segi budaya.

Sering terjadinya pergesekan maupun pertentangan atas nama suku, etnis, bahkan agama yang terjadi beberapa tahun belakangan ini seharusnya memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada setiap individu tentang pentingnya pendidikan multiku ltural. Dalam konsep-konsep yang telah disepakati, baik dalam undang-undang, peraturan perundangan, dan lain sebagainya, memang sudah ada pengakuan tentang adanya berbagai

(30)

keragaman, baik etnis, suku, budaya, bahasa, bahkan agama. Namun, dalam praktik nyata di lapangan, hal itu hanyalah omong kosong belaka. Betapa tidak? Adanya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan antarsuku, etnis, bahkan agama masih saja sering terjadi. Hal itu menjadi bukti bahwa adanya undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya belumlah cukup untuk mengarahkan masyarakat memahami dan menghormati adanya keberagaman.

Lahirnya sebuah ide tentang sangat perlunya diterapkan pendidikan multikultural tidak bisa dilepaskan dari adanya kondisi dan situasi penindasan yang terjadi pada kultur minoritas di Amerika Serikat saat itu. Tentu saja pihak yang melakukan penindasan adalah pihak yang memiliki kultur dominan. Saat itu, di Amerika Serikat, masyarakatnya adalah masyarakat multikultural yang memiliki banyak kultur yang beragam namun memiliki satu kultur yang sangat dominan. Dalam bukunya, Zamroni (2011: 141), menyatakan kultur dominan tersebut dengan kultur kelompok WMCA, yaitu kultur orang kulit putih (White), kultur lelaki (Ma le), kultur pemeluk Kristen Protestan (Christian), dan kultur orang-orang yang datang dari Eropa Barat

(Anglo Sa xon). Kultur kelompok lain, seperti kultur Eropa non-Anglo Saxon,

kelompok Yahudi dan kelompok Greek (Yunani), kelompok lain dari Eropa, kelompok orang Asia, kelompok orang Amerika Latin dan kelompok orang Afrika yang disebut Negro atau bla ck people, merupakan kelompok kultur minoritas.

(31)

Penindasan yang dilakukan oleh ku ltur dominan atas kultur minoritas juga terjadi pada penindasan sosial ekonomi. Warga dari kelompok minoritas sulit sekali mendapatkan pekerjaan. Selain itu, terdapat pula kebijakan diskriminatif yang sangat mencolok antara kaum lelaki dan kaum wanita. Para wanita yang bekerja mendapatkan gaji yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok laki-laki, padahal pekerjaan yang dilakukan sama. Dengan adanya diskriminasi ini lahirlah gerakan women equa l right

movement yang kemudian mengilhami gerakan kesetaraan berdasarkan jenis

kelamin yang dikenal sekarang ini.

Penindasan dan diskrim inasi dalam bidang sosiokultural juga terjadi, yaitu dengan adanya pemisahan antara orang kulit putih dengan orang kulit hitam. Hal ini terjadi dalam berbagai layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Tidak cukup sampai di situ, diskriminasi dalam bidang pendidikan pun juga terjadi. Kelompok kultur dominan akan dengan sangat mudah dan lancar dalam mendapatkan layanan pendidikan, bahkan mereka pasti dijamin keberhasilannya dalam pendidikan. Berbeda halnya dengan kelompok yang datang dari kaum kultur minoritas.

Berdasarkan gambaran di atas, jelaslah bahwa pendidikan multikultural memiliki suatu tanggung jawab yang besar, yaitu menyatukan bangsa yang terdiri dari berbagai macam budaya dan menyiapkan bangsa untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi. Jika kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, kemungkinan perpecahan bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. Konflik-konflik kedaerahan sering terjadi karena

(32)

tidak adanya pemahaman tentang masyarakat yang multikultur. Oleh karena itu, salah satu cara yang bisa diterapkan untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut adalah penerapan dan pengembangan pendidikan multikultural. Hal ini perlu dilakukan agar setiap individu, termasuk para siswa, memiliki penghargaan yang baik terhadap berbagai perbedaan dan keragaman yang ada.

Pentingnya penerapan pendidikan multikultural, khususnya di sekolah, didasarkan pada adanya lima pertimbangan tentang kenyataan yang terjadi di lapangan, yakni: keragaman budaya, ketidakmampuan hidup secara harmoni, tuntutan untuk menguasai/memahami bahasa lain, kesetaraan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, dan proses pengembangan citra diri yang positif (Cardinas, 1975: 23).

Pendapat yang dikemukakan oleh Cardinas di atas, diperkuat lagi oleh pendapat yang dikemukakan oleh Gollnick (1983: 15) yang mengemukakan bahwa urgensi penerapan pendidikan multikultural didasarkan pada beberapa asumsi, yakni: keragaman budaya merupakan inti dari masyarakat sekarang ini, adanya interaksi antarbudaya yang beragam, perlunya keadilan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara, pendidikan memberikan fungsi yang penting terhadap sikap dan nilai bagi kelangsungan masyarakat yang demokratis, guru dan praktisi pendidikan dapat memberikan peran dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural.

Zamroni (2011: 140) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu bentuk reformasi pendidikan yang bertujuan untuk

(33)

memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa tanpa memandang latar belakangnya sehingga semua siswa dapat meningkatkan kemampuan secara optimal sesuai dengan ketertarikan, minat, dan bakat yang dimiliki. Hal senada juga disampaikan Teguh Sarosa (2009: 25) yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang lain dengan latar belakang suku, budaya, nilai, pemikiran, dan tingkah laku yang berbeda. Untuk itu, siswa perlu diajak melihat nilai budaya, lingkungan, dan individu lain sehingga mengerti secara mendalam dan akhirnya dapat menghargainya.

Pengertian pendidikan multikultural menurut Ainurrafiq Dawam (dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi, 2011: 50) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran agama. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki adanya penghormatan dan penghargaan terhadap setiap individu yang memiliki latar budaya yang berbeda-beda.

Pendapat yang semakna dikemukakan oleh Banks (2002: 14) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara berpikir tentang adanya keberagaman kelompok, etnis, ras, dan budaya. Suatu konsep pendidikan yang memberikan kesempatan secara adil kepada semua peserta didik dengan tanpa memandang adanya perbedaan etnik, ras, agama, kelas sosial, dan karakteristik kultural mereka. Singkatnya, pendidikan multikultural seharusnya mencakup semua aspek dalam

(34)

pendidikan seperti: kurikulum, pendidik, materi, metode, dan lain-lain. Semua peserta didik harus memperoleh hak dan perlakuan yang sama di sekolah meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Pendapat yang dikemukakan oleh Banks di atas diperkuat oleh Baker (dalam http://www.csupomona.edu/~jis/1999/baker.pdf) yang menyatakan bahwa pendidikan multiku ltural merupakan gerakan reformasi yang didesain untuk mengubah lingkungan pendidikan secara menyeluruh sehingga peserta didik yang berasal dari kelompok ras dan etnik yang beragam memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah, perguruan tinggi, dan universitas.

Senada dengan Banks dan Baker, Hidalgo (dalam

http://education.nmsu.edu/faculty/ci/ruchavez/publications/8_MULTICULTU

RAL%20EDUCATION.pdf) mengungkapkan bahwa pendidikan

multikultural adalah pembelajaran yang bebas dari seksisme, rasisme, dan segala bentuk dominasi sosial serta intoleran lainnya.

Pendapat yang semakna juga disampaikan oleh Okada (dalam

http://themargins.net/fps/student/okada.html) yang memberikan pengertian bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu para peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural.

Senada dengan pendapat Okada adalah pendapat yang disampaikan oleh Wilson (dalam http://www.edchange.org/multicultural/papers/keith.html) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang

(35)

didesain berdasarkan pembangunan konsensus, penghargaan, dan penguatan pluralisme kultural ke dalam masyarakat yang rasial.

Menurut Abdullah Aly (2011: 109), definisi Wilson dan Okada memiliki kesamaan. Hal ini karena kedua pengertian tersebut sama-sama menyatakan serta menggarisbawahi bahwa pendidikan multikultural menekankan pada pentingnya penghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, meskipun memiliki perbedaan latar belakang budaya, etnis, ras, dan agama. Dengan demikian akan tercipta kehidupan manusia yang aman, harmonis, dan nyaman.

Nieto (dalam Zamroni, 2011: 144) juga mengungkapkan hal yang semakna bahwa pendidikan multikultural sebagai suatu bentuk pendidikan yang bertumpu pada keadilan sosial, kesetaraan pendidikan dan suatu dedikasi guna memberikan pengalaman pembelajaran di mana seluruh siswa dapat mencapai perkembangan secara optimal. Sejalan dengan pemikiran di atas, Hilda Hernandez (dalam Choirul Mahfud, 2011: 176) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural adalah perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialam i oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dalam proses pendidikan.

Pendidikan multikultural merupakan upaya yang dapat digunakan untuk mengelola suatu masyarakat majemuk dengan berbagai dinamika sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih

(36)

harmonis di antara berbagai individu dalam masyarakat. Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kebersamaan, serta mengakui, menerima, menghargai, dan menghormati adanya keragaman dan perbedaan budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah gerakan yang menjamin terciptanya lingkungan pendidikan yang setara bagi para siswa, maka pendidikan multikultural memiliki prinsip-prinsip yang harus diketahui sebagaimana yang dijelaskan oleh Zamroni (2011: 147) berikut ini.

Per ta ma, pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang

bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada.

Kedua, pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: level kelas,

yakni pembelajaran dan level sekolah, yakn i kelembagaan, antara keduanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif.

(37)

Ketiga, pendidikan multikultural menekankan pada perlunya analisis kritis terhadap sistem kekuasaan untuk dapat dilakukannya reformasi komprehensif dalam pendidikan.

Keempat, berdasarkan analisis kritis ini, tujuan pendidikan multikultural

adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat yang dimiliki siswa.

Kelima, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang baik

untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya.

Lebih lanjut Zamroni (2011: 152) menjelaskan tentang tujuan yang akan dicapai pada diri siswa melalui proses pendidikan multikultural ini, yakni:

1) Siswa memiliki cr itica l thinking yang kuat sehingga bisa mengkaji materi yang disampaikan secara kritis dan konstruktif.

2) Siswa memiliki kesadaran atas sifat curiga atas pihak lain yang dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat curiga itu muncul, serta terus mengkaji bagaimana cara menghilangkan sifat curiga tersebut.

3) Siswa memahami setiap ilmu bagaikan pisau bermata dua, ada sisi baik dan sisi buruk. Semua tergantung pada yang memiliki ilmu tersebut. 4) Siswa memiliki keterampilan untuk memanfaatkan dan

mengimplementasikan ilmu yang dikuasai.

5) Siswa bersifat sebagai a lea rning per son, terus belajar sepanjang hayat masih dikandung badan.

(38)

6) Siswa memiliki cita-cita untuk menempati posisi sebagaimana ilmu yang dipelajari. Namun, juga menyadari bahwa posisi tersebut harus dicapai dengan kerja keras.

7) Siswa memahami keterkaitan apa yang dipelajari dengan kondisi dan persoalan yang dihadapi bangsa.

Mughni (dalam Choirul Mahfud, 2011: xiii) menyatakan bahwa setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan bila akan mewujudkan pendidikan multikultural yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Per ta ma adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak akan mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Dengan adanya dialog, d iharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan serta saling memahami dan menghargai.

Kedua adalah toleransi. To leransi adalah sikap mau menerima bahwa

orang lain, budaya orang lain berbeda dengan kita atau budaya kita. Dialog dan toleransi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog itu bentuknya, toleransi adalah isinya. To leransi tidak hanya diperlukan pada tataran konseptual, tetapi juga dalam tataran teknis operasional. Inilah yang sejak lama terabaikan dalam sistem pendidikan kita. Selama ini yang dititikberatkan hanya pengayaan pengetahuan dan keterampilan tetapi sering

(39)

mengabaikan penghargaan atas nilai-nilai budaya dan tradisi bangsa. Oleh sebab itu, hadirnya pendidikan multikultural adalah sebuah keniscayaan bagi dunia pendidikan.

Kembali pada konsep pendidikan multikultural, Banks (2010: 23) menjelaskan adanya lima dimensi dalam implementasi pendidikan multikultural, yakni: conten integra tion, knowledge construction, equity pedagogy, prejudice reduction, empowering school culture a nd socia l

structure. Penjelasannya sebagai berikut:

Conten integra tion, berkaitan dengan sejauh mana upaya guru untuk

menghadirkan aspek kultur dari berbagai kultur yang ada ke ruang-ruang kelas seperti: pakaian, tarian, kebiasaan, dan sebagainya. Presentasi masalah ini akan mengembangkan kesadaran pada diri siswa akan kultur milik kelompok lain.

The knowledge process, pembelajaran memberikan kesempatan kepada

para siswa untuk memahami dan merekonstruksi berbagai kultur yang ada.

Pr ejudice reduction, sebagai upaya agar para siswa menghargai adanya

berbagai kultur dengan segala perbedaan yang menyertainya. Selain itu, siswa juga bisa memiliki sifat positif atas perbedaan tersebut.

Equity pedagogy, kesetaraan akan muncul apabila guru sudah mulai

memodifikasi perilaku pembelajaran mereka disesuaikan dengan kondisi para siswa yang memiliki berbagai latar belakang yang berbeda sehingga memberikan harapan bahwa semua siswa tanpa melihat latar belakang yang dimilikinya akan dapat mencapai hasil sebagaimana yang telah direncanakan.

(40)

Pada tahap ini, para guru sudah mengembangkan pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mengarah pada student centered, pembelajaran di kelas yang bertumpu pada diri siswa sebagai seorang individu.

Empowering school culture a nd socia l str uctur e, merupakan tahap

dilakukannya penguatan, baik kultur sekolah maupun struktur sosial. Hal ini diperlukan untuk memberikan jaminan kepada semua siswa dengan latar belakang yang berbeda agar mereka merasa mendapatkan pengalaman dan perlakuan yang setara dalam proses pembelajaran di sekolah.

c. Pendekatan Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural, khususnya di Indonesia, tentu akan menghadapi berbagai tantangan yang sangat besar. Hal ini karena Indonesia memang memiliki sekian banyak kultur yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural agar benar-benar mampu mencapai sasaran yang diinginkan. Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam proses pendidikan multikultural.

Choirul Mahfud (2011: 192-193) mengemukakan lima pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Per ta ma, pendidikan multikultural menolak pandangan yang

menyamakan pendidikan dengan perseko lahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang leb ih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan juga bermaksud

(41)

membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan semata-mata berada di tangan mereka melainkan tanggung jawab semua pihak.

Kedua, pendidikan menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan

dengan kelompok etnis. Hal ini dikarenakan seringnya para pendidik, mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Oleh karena individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi di mana setiap pemahaman tersebut berbeda, maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural akan melenyapkan kecenderungan memandang individu secara ster eotip menurut identitas etnik mereka. Malah akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak-didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam

beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas melainkan berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, keh idupan multikultural yang

(42)

dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

Keempat, pendidikan multiku ltural meningkatkan kompetensi dalam

beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun

nonformal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan nonpribumi.

Sementara itu, Banks (dalam Zamroni, 2011: 155) mengemukakan empat tahap pendekatan dalam implementasi pendidikan multikultural. Keempat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut.

Per ta ma, pendekatan membawa masuk ke sekolah elemen kultur

masyarakat, seperti peringatan hari-hari besar, kebiasaan dan ritual kultural, makan, pakaian, dan lain sebagainya.

Kedua, pendekatan menambah isi dan materi pembelajaran tanpa

mengubah struktur kurikulum-keilmuan.

Ketiga, pendekatan transformatif, dengan mengubah struktur

kurikulum-keilmuan agar siswa dapat mengkaji materi dan kondisi masyarakat dari berbagai perspektif kultural.

Keempat, pendekatan aksi, siswa membuat keputusan dan mengambil

tindakan berkaitan dengan masalah personal, sosial kemasyarakatan.

(43)

Paparan di atas hendaknya mampu memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik agar menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Melalui penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.

Paradigma pendidikan multikultur mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Guru harus belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya. Salah satu tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah konseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dari berbagai kultur memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Kesempatan yang sama itu bukan semata-mata memperoleh

(44)

bangku sekolah, melainkan yang lebih penting adalah selain kebersamaan dalam satu kelas, perhatian dan pelayanan penuh juga harus ada terhadap kebutuhan khusus pendidikan setiap individu.

Pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

Hal yang terpenting adalah dari sekian pendekatan yang telah dikemukakan di atas haruslah diselaraskan atau disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat di Indonesia yang beraneka ragam. Oleh sebab itu, dalam pendekatan pendidikan multikultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat yang ada. Secara garis besar, Choirul Mahfud (2011: 194) mengemukakan dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud, yakni:

1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.

(45)

2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.

3) Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.

5) Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Dari paparan yang telah disampaikan di atas dapat ditarik satu kesimpulan berkaitan dengan pendekatan pendidikan multikultural sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Boyd (dalam Choirul Mahfud, 2011: 234) bahwa pendekatan pendidikan multikultural haruslah dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta d idik, memanfaatkan kebudayaan itu sebagai sumber konten dan sebagai titik berangkat untuk pengembangan kebudayaan itu sendiri, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan siswa, mengembangkan perilaku yang etis dan juga mampu memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai bagian dari entry-beha vior siswa sehingga dapat menciptakan kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi.

(46)

2. Hakikat Buku Pelajaran

a. Pengertian Buku pelajaran

Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (Abdul Majid, 2007: 174).

Salah satu bentuk bahan ajar yang digunakan untuk menunjang kelancaran proses pembelajaran adalah buku pelajaran. Buku pelajaran mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran, baik bagi guru maupun siswa. Berkaitan dengan definisi buku pelajaran, ada beberapa pakar yang sudah mengemukakannya.

Depdiknas (2005: 3) menyatakan buku pelajaran adalah buku yang digunakan sebagai sarana belajar di sekolah untuk menunjang program pelajaran. Buku pelajaran diperuntukkan bagi para siswa. Di dalamnya tersedia materi yang tersusun untuk keperluan pembelajaran siswa. Buku pelajaran menyediakan bahan yang sudah disiapkan, dipilih, dan ditentukan cakupan dan urutannya sehingga memberikan kemudahan bagi siswa dalam belajar.

Pendapat senada di sampaikan oleh Bacon (dalam Slamet, 2004: 31) yang menyatakan bahwa buku pelajaran adalah buku yang dirancang untuk digunakan di kelas, disusun dengan cermat dan disiapkan oleh orang yang

(47)

ahli dalam bidangnya dan dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi. Pendapat yang semakna dikemukakan oleh Loveridge (dalam Slamet, 2004: 31) yang menyatakan bahwa buku pelajaran adalah buku yang memuat bahan yang telah diseleksi mengenai mata pelajaran tertentu, dalam bentuk tertulis, dan memenuhi syarat keadaan khusus dalam belajar mengajar, serta disusun secara sistematik untuk diasimilasikan.

Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Wirawan (2011: 260) menyatakan bahwa buku pelajaran adalah buku yang secara formal dipergunakan untuk mempelajari mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah atau perguruan tinggi. Wirawan juga menambahkan bahwa buku pelajaran sering dibedakan antara buku pelajaran pegangan guru dan buku pelajaran pegangan siswa. Perbedaannya terletak pada dilengkapinya buku pelajaran pegangan guru dengan panduan untuk mengajarkan pokok bahasan dan materi yang diuraikan dalam buku pelajaran pegangan murid. Sedangkan Patrick, Locked dan Verspoor, Altbach, Buckingham (dalam Depdiknas, 2005: 4) menyatakan bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran (instruksional) yang dominan peranannya di kelas, media penyampaian materi kurikulum, dan bagian sentral dalam suatu sistem pendidikan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa buku pelajaran adalah buku yang memuat materi pembelajaran tertentu yang disusun secara sistematis berdasarkan aturan-aturan standard yang telah ditetapkan yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran sehingga siswa akan dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan.

(48)

b. Penyusunan Buku pelajaran

Buku pelajaran sebagai sumber utama belajar siswa dan sumber utama materi pelajaran mempunyai peran yang sangat dominan dalam mengantarkan siswa mencapai tujuan belajar. Berkaitan dengan hal tersebut, buku pelajaran harus disusun berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu: aspek kebutuhan siswa (baik kebutuhan materi pelajaran maupun kebutuhan aspek kognitif, afektif, psikomotorik) serta aspek perkembangan kebahasaan siswa (Yulaelawati, 1994: 21).

Ditambahkannya pula bahwa dalam penyusunan buku pelajaran harus memperhatikan beberapa hal berikut: (a) didasarkan pada kurikulum, (b) memasukkan hal-hal penting dalam konteks yang lebih luas, (c) materi terkait dengan pengalaman dan pengetahuan siswa, (d) sesuai dengan perkembangan dan intelektual siswa, (e) mendorong rasa ingin tahu dan kreativitas, (f) mendorong siswa untuk berpegang teguh dan berani berpendapat, serta (g) menggunakan bahasa yang sesuai disiplin ilmu tertentu.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Gafur (1994: 17) yang menjelaskan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyusunan buku pelajaran, yakni: prinsip relevansi (materi yang disampaikan hendaknya sesuai atau ada hubungannya dengan pencapaian SK dan KD), prinsip konsistensi (jika kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah empat kompetensi, materi yang diajarkan juga harus terdiri dari empat macam materi yang sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai), prinsip kecukupan (materi yang diajarkan harus mencukupi dalam membantu kelancaran proses

(49)

belajar peserta didik dalam mencapai atau menguasai kompetensi yang diajarkan).

Depdiknas (2005: 6-11) menyatakan bahwa dalam menyusun buku pelajaran suatu mata pelajaran perlu diketahui landasan-landasannya. Khusus untuk buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus berlandaskan:

Per ta ma, keilmuan bahasa dan sastra. Dalam pembelajaran bahasa

dikehendaki terjadinya kegiatan berbahasa, yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Jadi, berbagai unsur bahasa, seperti kosakata, bentuk serta makna kata, bentuk serta makna kalimat, bunyi bahasa, dan ejaan, tidaklah diajarkan secara berdiri sendiri, tetapi dijelaskan di mana diperlukan dalam kegiatan berbahasa. Dalam hal ini adalah dalam empat kegiatan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Penggunaan bahasa hendaknya memperhatikan penggunaan bahasa sesuai dengan hakikat penggunaannya.

Kedua, ilmu pendidikan dan keguruan. Pemilihan bahan, penentuan

luas cakupan dan urutannya dalam pembelajaran dipertimbangkan berdasarkan kaidah-kaidah pendidikan dan keguruan. Hal itu misalnya dipertimbangkan dari segi perkembangan diri siswa, sedangkan penyajiannya dipilih metode dan teknik yang cocok yang sesuai dengan materi pelajaran maupun dengan keadaan siswa.

Ketiga, keterbacaan materi dan bahasa yang digunakan. Bagaimana

materi itu harus diolah agar memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahaminya. Buku pelajaran yang memberikan kemudahan kepada siswa disebut sebagai buku pelajaran yang mempunyai tingkat keterbacaan yang

(50)

tinggi. Sebaliknya, buku pelajaran yang menimbulkan kesulitan siswa disebut sebagai buku pelajaran yang mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah.

Berto lak dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa buku pelajaran yang digunakan di kelas untuk membantu meningkatkan efektivitas pembelajaran harus memenuhi tiga kriteria pokok, yaitu: 1) sesuai dengan kurikulum yang berlaku, 2) sesuai dengan tuntutan perkembangan intelektual siswa, dan 3) sesuai dengan tingkat bahasa (keterbacaan) siswa. Oleh karena itu, untuk menyusun, menganalisis, mengevaluasi suatu buku pelajaran yang dipakai pada suatu jenjang pendidikan tertentu, seseorang harus memahami dan menguasai ketiga aspek tersebut.

c. Tujuan dan Manfaat Penyusunan Buku pelajaran

Menurut Depdiknas (2008: 10) tujuan penyusunan bahan ajar, termasuk di dalamnya adalah buku pelajaran, yakni: (a) menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah; (b) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar; dan (c) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Penulisan bahan ajar bermanfaat untuk: (a) membantu guru dalam proses pembelajaran; (b) memudahkan penyajian materi di kelas; (c) membimbing siswa belajar dalam waktu yang lebih banyak; (d) siswa tidak tergantung kepada guru sebagai satu-satunya sumber infomasi; dan (e) dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk mengembangkan diri dalam mencerna dan memahami pelajaran.

(51)

Selanjutnya apabila guru mengembangkan bahan ajar sendiri, manfaat yang dapat diperoleh: (a) diperoleh bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sekolah dan daerah; (b) tidak perlu tergantung pada buku pelajaran; (c) bahan ajar menjadi lebih kaya (karena dikembangkan dengan berbagai referensi; (d) menambah khasanah guru dalam menulis; (e) membangun komunikasi pembelajaran efektif antara guru dan siswa; dan (f) siswa lebih percaya pada gurunya serta kegiatan belajar mengajar akan lebih menarik.

Wirawan (2011: 261) menyatakan bahwa penyusunan atau penggunaan buku pelajaran dalam pelajaran mempunyai beberapa keuntungan, yakni: (a) menyediakan struktur dan silabus untuk program pembelajaran mata pelajaran; (b) membantu menstandarkan pembelajaran, artinya siswa akan mampu mempelajari materi yang sama yang telah diuji coba berdasarkan standard dan prinsip-prinsip pembelajaran yang sama; (c) menjamin kualitas buku pelajaran; (d) efisien, karena di dalamnya materi tersaji secara efisien yang dilengkapi gambar, grafik, dan tabel; (e) menyediakan bahasa standar, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa; (f) sangat menarik secara visual, dalam arti desain buku pelajaran sangat dipertimbangkan keterbacaannya agar materi yang ada di dalamnya dapat dengan mudah dipahami oleh siswa.

Depdiknas (2005: 3) memberikan pendapat bahwa buku pelajaran dapat dipandang sebagai sebuah simpanan pengetahuan tentang berbagai macam segi kehidupan. Karena sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan materi dan

(52)

cara penyajiannya, buku pelajaran memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang caranya. Dengan demikian, penggunaan buku pelajaran oleh siswa merupakan bagian dari budaya buku yang menjadi salah satu tanda dari masyarakat yang maju.

Adanya buku pelajaran juga sangat bermanfaat bagi guru meski memang buku pelajaran diperuntukkan bagi siswa. Akan tetapi, dengan adanya buku pelajaran, seorang guru akan mampu mempertimbangkan apa yang hendak disampaikan kepada para siswa disesuaikan dengan apa yang tersaji di dalam buku pelajaran. Guru memang memiliki hak untuk mengembangkan dan menyajikan materi sesuai dengan apa yang sudah dipersiapkannya. Namun, dengan adanya buku pelajaran, seorang guru tentu akan lebih mudah dalam menyusun konsep cara penyajian materi kepada para siswa. Hal ini karena di dalam buku pelajaran sudah ada gambaran secara garis besar dan bahkan mungkin secara khusus hal-hal apa saja yang harus dan perlu disampaikan kepada para siswa.

Perlunya pengembangan bahan ajar, agar ketersediaan bahan ajar sesuai dengan kebutuhan siswa, tuntutan kurikulum, karakteristik sasaran, dan tuntutan pemecahan masalah belajar. Pengembangan bahan ajar harus sesuai dengan tuntutan kurikulum, artinya bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan KTSP yang mengacu pada standar isi dan standar kompentensi lulusan. Kemudian karakteristik sasaran disesuaikan dengan lingkungan, kemampuan, minat, dan latar belakang siswa.

Gambar

Tabel 1. Dimensi-dimensi Pendidikan Multikultural
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
Tabel 2. Waktu dan Kegiatan Penelitian
Gambar 2. Alur Teknik Analisis Isi (Berelson dalam Burhan Bungin, 2003: 85)
+2

Referensi

Dokumen terkait