STUDI POTENSI KAWASAN SUBAK
SEBAGAI EKOWISATA DI DESA BELIMBING
KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
SKRIPSI
Oleh
DEWA AYU BULAN INDRAYUNI
KONSENTRASI ARSITEKTUR LANSEKAP
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
i
STUDI POTENSI KAWASAN SUBAK
SEBAGAI EKOWISATA DI DESA BELIMBING
KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Oleh
Dewa Ayu Bulan Indrayuni
NIM. 1105105033
KONSENTRASI ARSITEKTUR LANSEKAP
JURUSAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Saya bersedia dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku apabila terbukti bahwa skripsi ini
bukan hasil karya saya sendiri atau mengandung tindakan plagiarism.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan
seperlunya.
Denpasar, 12 Januari 2016
Yang menyatakan,
iii
ABSTRAK
Dewa Ayu Bulan Indrayuni. NIM 1105105033. Studi Potensi Kawasan Subak Sebagai Ekowisata di Desa Belimbing Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh : Naniek Kohdrata, SP., M.L.A. dan I Made Sukewijaya, SP., M.Sc.
Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten penghasil beras tertinggi di Bali. Keberhasilan dalam kegiatan pertanian ini tidak terlepas dari eksistensi organisasi subak. Namun, kini angka konversi lahan di Kabupaten Tabanan kian meningkat sehingga eksistensi subak menjadi semakin terkikis. Pengembangan kawasan subak sebagai ekowisata adalah salah satu upaya untuk menekan angka konversi lahan dan degradasi subak. Salah satu kawasan subak yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata ada di Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Identifikasi potensi dari kawasan subak tersebut perlu dilakukan agar dapat direkomendasikan untuk dikembangan sebagai ekowisata. Lansekap sawah berteras yang indah, kegiatan pertanian yang berlandaskan Tri Hita Karana (THK) dan sosial budaya masyarakat setempat memiliki daya tarik wisata bagi wisatawan yang berkunjung. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada perlu diedukasi agar dapat mendukung terselenggaranya ekowisata di kawasan subak Desa Belimbing. Dengan menjadikan kawasan subak sebagai ekowisata, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat khususnya petani, dan dapat menjaga kelestarian subak dan lingkungan setempat.
iv
ABSTRACT
Dewa Ayu Bulan Indrayuni. NIM 1105105033. Study Potential of Subak Areas as Ecotourism in Belimbing Village, Pupuan Districts, Counties Tabanan. Supervised by : Naniek Kohdrata, SP., M.L.A. and I Made Sukewijaya, SP., M.Sc.
Tabanan regency is the highest rice producing districts in Bali. Success in agricultural activity is inseparable from the existence of Subak organization. However, now the number of land conversion in Tabanan regency is increasing so that the existence of Subak become increasingly eroded. Subak as an eco-tourism development of the area is one of the efforts to reduce the number of land conversion and degradation Subak. One of the Subak area that have potential to be developed as eco-tourism is Subak areas in the Belimbing Village, Sub Pupuan, Tabanan. Identification of potential of the Subak area needs to be done that can be recommended to be developed as an eco-tourism. The beautiful landscape of terrace rice fields, agricultural activities are based THK, and socio-cultural local community have an attraction for tourists visiting. However, existing human resources needs to be educated in order to support implementation of eco-tourism of Subak area in Belimbing Village. So, by making the Subak areas as eco-tourism is expected to improve the welfare of local people, especially farmers and can preserve the subak organization and the local environment.
v
RINGKASAN
Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki
peran sentral dalam pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Bali tahun 2015, luas sawah di Kabupaten Tabanan sebesar 21.962 ha dari total
80.542 ha sawah di Bali.. Dari total luas lahan persawahan yang ada di Kabupaten
Tabanan, yakni 21.962 ha, Kecamatan Pupuan memiliki luas lahan persawahan
tertinggi di Kabupaten Tabanan dibandingkan kecamatan lainnya. Dengan luas
wilayah 179,02 km2, sebagian besar wilayah Kecamatan Pupuan merupakan lahan
pertanian dan perkebunan.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk, angka konversi lahan dari lahan
pertanian ke nonpertanian kian meningkat. Peningkatan angka konversi lahan dari
pertanian ke nonpertanian dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap
produksi pangan, aspek sosial budaya, aspek sosial ekonomi, dan juga aspek
lingkungan. Menurut BPS Bali tahun 2013 (Bali dalam Angka, 2014), angka konversi
lahan dari sektor pertanian ke nonpertanian di Kabupaten Tabanan selama tahun 2012 – 2013 mencapai 204 ha. Pada tahun 2012, luas lahan sawah mencapai 22.388 ha, sedangkan tahun 2013 menyusut menjadi 22.184 ha. Berdasarkan data dari BPS Bali
2014 (Bali dalam Angka, 2015), pada tahun 2014 terjadi penyusutan luas lahan sawah
sebesar 222 ha. Angka tersebut mungkin akan terus bertambah apabila tidak
ditanggulangi dengan cepat dan tepat.
Salah satu dampak dari meningkatnya konversi lahan di Kabupaten Tabanan
adalah terkikisnya eksistensi subak. Subak merupakan salah satu pilar kebudayaan
Bali yang sangat penting dijaga kelestariannya. Maka dari itu, untuk mencegah
terjadinya konversi lahan yang berimbas pada eksistensi subak, maka perlu dicarikan
alternatif pengembangan kawasan subak sebagai upaya menjaga eksistensi subak.
Salah satu caranya adalah dengan menjadikan kawasan subak sebagai salah
satu alternatif tujuan wisata. Sebagian besar masyarakat sudah tidak asing lagi dengan
objek pariwisata Jatiluwih dan juga objek pariwisata Ceking di Gianyar. Namun,
vi
potensi yang dapat dinikmati seperti halnya Jatiluwih maupun Ceking. Kawasan
subak di Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan memiliki daya
tarik yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata subak dengan melihat potensi
yang dimiliki, seperti pemandangan sawah berterasnya yang indah, masyarakatnya
yang ramah serta didukung dengan udara setempat yang sejuk.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi potensi yang dimiliki
kawasan subak di Desa Belimbing, sehingga dapat memberikan rekomendasi
pengembangan kawasan subak sebagai ekowisata berdasarkan potensi yang
dimilikinya. Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan survey lapang,
wawancara dan studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode
6A (Buhalis, 2000) untuk menganalisis destinasi pariwisata, yaitu: attractions,
accessibility, amenities, available packages, activity, dan ancillary services.
Hasil penelitian menunjukkan potensi yang dimiliki kawasan subak di Desa
Belimbing berupa bentang alam yang indah dengan sawah berteras dan berlatar
belakang Gunung Batukaru. Selain itu, kegiatan sosial budaya masyarakat yang
masih kental dengan nilai-nilai dan kearifan lokal. Kegiatan perkebunan juga dapat
menjadi atraksi wisata, didukung dengan semerbak wangi bunga kopi pada
musimnya. Kondisi lingkungan setempat yang sejuk dan asri, serta aksesibilitas yang
baik dapat menunjang kegiatan ekowisata di Desa Belimbing. Namun, karena kondisi
pendidikan SDM yang ada masih rendah, hal tersebut berpotensi menjadi kendala
dalam pengembangan kawasan subak sebagai ekowisata. Sehingga, SDM setempat
perlu diedukasi lagi agar dapat mendukung pengembangan kawasan subak sebagai
vii
STUDI POTENSI KAWASAN SUBAK
SEBAGAI EKOWISATA DI DESA BELIMBING
KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Dewa Ayu Bulan Indrayuni
NIM. 1105105033
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Naniek Kohdrata, S.P., M.L.A. I Made Sukewijaya, S.P., M.Sc. NIP. 19740801 200604 2 001 NIP. 19690426 199702 1 001
Mengesahkan
Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Udayana
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, M.S. NIP. 19630515 198803 100 1
viii
STUDI POTENSI KAWASAN SUBAK
SEBAGAI EKOWISATA DI DESA BELIMBING
KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Dipersiapkan dan diujikan oleh
Dewa Ayu Bulan Indrayuni
NIM. 1105105033
Telah diuji dan dinilai oleh Tim Penguji
pada tanggal 12 Januari 2016
Berdasarkan SK Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana
No : 07/UN14.1.23/DL/2016
Tanggal : 12 Januari 2016
Tim Penguji Skripsi adalah :
Ketua : Ir. I Nyoman Sutedja, M.S.
Anggota : 1. Ir. Cokorda Gede Alit Semarajaya, M.S.
ix
RIWAYAT HIDUP
Dewa Ayu Bulan Indrayuni lahir di Desa Sumerta,
Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, pada tanggal 1
Juni 1993. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan
Dewa Putu Sutawana dan Ni Ketut Candra. Seorang kakak
perempuan dari Dewa Ayu Putri Pratiwi.
Pendidikan dasar ditempuh di SD Saraswati 5
Denpasar, tingkat menengah pertama di SMP Negeri 3
Denpasar dan melanjutkan ke tingkat menengah atas di SMA Negeri 7 Denpasar.
Penulis melalui SNMPTN diterima pada Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian Universitas Udayana tahun 2011 dan tidak lepas dari rasa syukur penulis
memperoleh beasiswa Peningkatan Potensi Akademik (PPA) dan Bidikmisi dari
Pemerintah Republik Indonesia mulai dari semester V.
Selama kuliah penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa
Agroekoteknologi, aktif dalam kepengurusan BEM FP UNUD 2 periode dan aktif
kepanitian tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas serta aktif dalam kegiatan
organisasi di luar kampus. Pada tahun 2012, penulis juga sempat menjadi Runner Up
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa atas segala rahmat-nya penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Potensi Kawasan Subak sebagai Ekowisata di Desa Belimbing Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan” tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa skripsi
ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. I Nyoman Rai, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas selama masa
perkuliahan.
2. Ir. I Nyoman Puja MS., selaku Ketua Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas
selama masa perkuliahan.
3. Ir. Anak Agung Ngurah Gede Suwastika, M.P., selaku Pembimbing
Akademik (PA) atas bimbingan dan saran yang telah diberikan selama
masa perkuliahan.
4. Naniek Kohdrata, S.P., M.L.A., sebagai pembimbing I skripsi yang telah
mendampingi, membimbing, memberikan saran, dan masukan kepada
penulis sepanjang menyelesaikan skripsi ini.
5. I Made Sukewijaya, S.P., M.Sc., selaku pembimbing II skripsi yang juga
telah mendampingi, membimbing, memberikan saran, dan masukan
kepada penulis sepanjang menyelesaikan skripsi ini.
6. Ir. I Nyoman Sutedja, M.S., Ir. Cokorda Gede Alit Semarajaya, M.S., dan
A.A. Gede Sugiarta, S.P., M.Si., selaku tim penguji dalam sidang skripsi
yang telah banyak memberikan kritik dan saran kepada penulis.
7. Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, M.Si., yang telah mendukung dan
xi
8. Kepala Desa Belimbing beserta staf dan keluarga Wayan Eka Adi
Wirawan, yang telah membantu dan melancarkan kegiatan penelitian yang
dilakukan di Desa Belimbing.
9. Orang tua terkasih dan tersayang Dewa Putu Sutawana dan Ni Ketut
Candra yang selalu mendoakan, memberikan dukungan secara material
maupun non material, perhatian selama 24/7, dan rasa cinta kasih kepada
anak yang tak pernah henti.
10.Adik tercinta Dewa Ayu Putri Pratiwi yang selalu mendoakan,
memberikan dukungan dan semangat dari awal hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
11.Sahabat-sahabat baik penulis yaitu Nanda, Budiyani, Alit, Prema, Prana,
Ata, Dharmadi, Ratih, Dewade, Andre, Widi, Wije, Arsia, Mela, Maitri,
Kak Mayun, Mbok Arik dan Eka yang selalu menemani, mendukung,
memberikan solusi dan saran terhadap penulisan skripsi ini.
12.Teman-teman Agro’11 dan ARL’11 atas dukungan dan bantuannya dari
awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
13.Teman-teman kepengurusan BEM FP UNUD periode 2012 – 2013/2013 –
2014 dan HIMAGROTEK periode 2012-2013 atas segala masukan dan
dukungannya selama proses penulisan skripsi ini.
14.Seluruh keluarga dan kerabat yang selalu memberikan dukungan dan
masukan hingga terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna, oleh karena
itu, segala masukan yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk dijadikan
tuntunan ke arah kesempurnaan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita
semua.
Denpasar, 3 Januari 2016
xii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM ……… i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI ………. ii
xiii
3.3 Metode ... 21
3.4 Batasan Penelitian... 25
3.5 Produk/Hasil Penelitian ... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
4.1 Batas Wilayah Administratif ... 26
4.2 Letak Geografis ... 28
4.3 Biofisik ... 30
4.3.1 Topografi dan Tanah ... 30
4.3.2 Vegetasi dan Satwa ... 32
4.3.3 Hidrologi ... 35
4.4 Tipologi Lansekap ... 35
4.5 Kependudukan ... 37
4.6 Aktivitas Sosial-Budaya Masyarakat ... 41
4.7 Subak ... 45
4.8 Sintesa ... 54
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 61
5.1 Simpulan ... 61
5.2 Saran ... 61
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 19
3.2 Jenis Data dan Sumber Data ... 23
4.1 Jadwal Tanam Padi Sawah di Desa Belimbing ... 29
4.2 Jenis-Jenis Tanaman Pekarangan ... 33
4.3 Jenis-Jenis Tanaman Perkebunan ... 34
4.4 Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng ... 37
4.5 Tingkat Pendidikan Warga Desa Belimbing ... 39
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
3.1 Peta Lokasi Penelitian ... 20
3.2 Kerangka Penelitian ... 24
4.1 Peta Desa Belimbing ... 27
4.2 Kondisi Topografi Desa Belimbing ... 31
4.3 Tipologi Lansekap Desa Belimbing ... 36
4.4 Tingkat Kemiringan ... 37
4.5 Kondisi Jalan Utama Desa Belimbing ... 48
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Bali
yang memiliki peran sentral dalam pertanian. Kabupaten Tabanan yang
memiliki julukan “lumbung beras” Provinsi Bali, memiliki luas 839,33
km² (14,90% dari luas Provinsi Bali) (BPS Tabanan, 2015). Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali tahun 2015, luas sawah di
Kabupaten Tabanan sebesar 21.962 ha dari total 80.542 ha sawah di Bali.
Ditinjau dari produksi padi sawah, Kabupaten Tabanan selalu menempati
posisi tertinggi. Tahun 2014 Kabupaten Tabanan dapat menghasilkan
gabah 214.192 ton dari total produksi padi sawah di Provinsi Bali 857.499
ton. Hal ini memperkuat predikat Kabupaten Tabanan sebagai “lumbung
berasnya Bali”.
Dari total luas lahan persawahan yang ada di Kabupaten
Tabanan, yakni 22.465 ha, Kecamatan Pupuan memiliki luas lahan
persawahan tertinggi di Kabupaten Tabanan dibandingkan kecamatan
lainnya. Dengan luas wilayah 179,02 km2, sebagian besar wilayah
Kecamatan Pupuan merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Hal itu
disebabkan karena Kecamatan Pupuan memiliki kondisi tanah yang cukup
subur (http://pupuan.tabanankab.go.id).
Seiring bertambahnya jumlah penduduk, angka konversi lahan
dari lahan pertanian ke nonpertanian kian meningkat. Hal tersebut dapat
2
sosial budaya, aspek sosial ekonomi, dan juga aspek lingkungan.
Meningkatnya jumlah konversi lahan, biasanya terjadi karena adanya
persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dengan sektor
nonpertanian yang muncul akibat dari terbatasnya sumber daya alam yang
ada, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan sektor ekonomi.
Menurut BPS Bali tahun 2013 (BPS Bali, 2014), angka konversi
lahan dari sektor pertanian ke nonpertanian di Kabupaten Tabanan selama
tahun 2012 – 2013 mencapai 204 ha. Pada tahun 2012, luas lahan sawah
mencapai 22.388 ha, sedangkan tahun 2013 menyusut menjadi 22.184 ha.
Berdasarkan data dari BPS Bali 2014 (BPS Bali, 2015), pada tahun 2014
terjadi penyusutan luas lahan sawah sebesar 222 ha. Angka tersebut
mungkin akan terus bertambah apabila tidak ditanggulangi dengan cepat
dan tepat.
Permasalahan di atas memicu permasalahan lainnya, yaitu
sulitnya mendapatkan air irigasi yang cukup. Hal tersebut disebabkan oleh
pengalokasian jumlah air yang lebih banyak ke sektor nonpertanian dan
minimnya sumber air untuk irigasi. Meskipun demikian, lahan
persawahan di Kecamatan Pupuan tidak menemui kendala tersebut karena
dapat teraliri dengan air yang cukup. Hal ini tidak lepas dari peran
organisasi subak yang ada.
Subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang merupakan
perkumpulan petani pengelola air irigasi di lahan sawah, serta memiliki
karakteristik sosioagraris-religus. Kesepadanan teknologi sistem subak
3
irigasi yang menyatu dengan cara membuat bangunan dan jaringan fisik
irigasi, cara mengoperasikan, koordinasi pelaksanaan operasi dan
pemeliharaan yang berlandaskan Tri Hita Karana (Windia, 2006).
Salah satu dampak dari meningkatnya konversi lahan di
Kabupaten Tabanan adalah terkikisnya eksistensi subak. Padahal, subak
merupakan salah satu pilar kebudayaan Bali yang sangat penting dijaga
kelestariannya. Subak yang merupakan organisasi petani yang berfungsi
untuk mengatur pembagian air irigasi yang berlandaskan Tri Hita Karana,
dan sarat akan nilai dan budaya di dalamnya yang memegang peranan
dalam menjaga eksistensi kebudayaan yang ada di Bali.
Pariwisata di Bali merupakan salah satu tempat tujuan wisata
budaya, di mana budaya yang dimiliki Bali menjadi daya tarik utama bagi
para wisatawan. Apabila keberadaan subak tidak dapat dipertahankan,
eksistensi sektor pariwisata di Bali juga akan terkena imbasnya. Karena,
apabila suatu organisasi subak yang dalam setiap kegiatannya
berlandaskan harmoni dan kebersamaan yang sarat dengan nilai budaya,
lambat laun mulai menghilang tergerus arus globalisasi, maka salah satu
pilar kebudayaan Bali juga akan menghilang. Jika hal tersebut sudah mulai
menghilang, maka daya tarik yang dimiliki Bali juga mulai menghilang
dan berdampak pada sektor pariwisata dan sosial ekonomi masyarakat
Bali.
Untuk mencegah terjadinya konversi lahan yang berimbas pada
eksistensi subak, maka perlu dicarikan alternatif pengembangan kawasan
4
dengan menjadikan kawasan subak sebagai salah satu alternatif tujuan
wisata.
Sebagian besar masyarakat pasti sudah tidak asing lagi dengan
objek pariwisata Jatiluwih dan juga objek pariwisata Ceking di Gianyar.
Namun, ternyata di salah satu desa di Kecamatan Pupuan Kabupaten
Tabanan memiliki potensi yang dapat dinikmati seperti halnya Jatiluwih
maupun Ceking. Kawasan subak di Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan,
Kabupaten Tabanan memiliki daya tarik yang dapat dikembangkan
sebagai kawasan wisata subak dengan melihat potensi yang dimiliki,
seperti pemandangan sawah berterasnya yang indah, masyarakatnya yang
ramah serta didukung dengan udara setempat yang sejuk.
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini antara
lain:
a. Potensi apakah yang ada di subak yang ada di Desa Belimbing,
Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan sehingga dapat dijadikan
kawasan wisata subak?
b. Potensi apakah yang dimiliki subak Desa Belimbing, Kecamatan
Pupuan, Kabupaten Tabanan yang dapat mendukung konsep
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengidentifikasi potensi yang dimiliki subak di Desa
Belimbing sehingga dapat dikembangkan sebagai ekowisata.
b. Untuk dapat memberikan rekomendasi pengembangan kawasan subak
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wisata
Wisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok orang, bersifat sementara, serta untuk menikmati objek dan
atraksi di tempat tujuan (Suyitno, 2006). Wisata memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Bersifat sementara, karena pelaku wisata hanya akan berada di
tempat wisata dalam jangka waktu pendek, karena akan segera
kembali ke tempat asalnya.
b. Melibatkan beberapa komponen wisata seperti sarana
transportasi, akomodasi, objek wisata, dan lain-lain.
c. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi objek dengan atraksi
wisata, daerah, atau bahkan negara secara terus-menerus.
d. Memiliki tujuan untuk mendapatkan kesenangan (pleasure).
e. Tidak bertujuan untuk mencari nafkah, melainkan
kedatangannya ke tempat tersebut dapat memberikan kontribusi
pada pendapatan masyarakat atau daerah setempat.
f. Wisata terjadi karena adanya keterpaduan antara fasilitas dengan
objek yang saling mendukung dan berkesinambungan.
Istilah wisata, seperti halnya yang tercantum dalam UU No. 10 tahun
2009, pengertian wisata diberikan batasan sebagai: kegiatan perjalanan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
7
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi
dalam jangka waktu sementara.
Berdasarkan pengertian wisata menurut undang-undang tersebut di
atas, kegiatan wisata mengandung unsur perjalanan yang bersifat rekreatif
dan dilakukan secara sukarela, bersifat sementara yang bertujuan untuk
menikmati suatu objek atau daya tarik wisata yang ada pada daerah tujuan
wisata tersebut.
Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan
perjalanan seperti yang dimaksudkan dalam batasan pengertian tersebut,
disebut sebagai wisatawan (tourist) (Sunaryo, 2013).
Untuk dapat menarik seseorang berkunjung ke suatu tempat, tempat
tersebut harus memiliki objek dan atraksi yang dapat dinikmati oleh
pengunjung. Menurut Sukarsa (1999), atraksi wisata merupakan segala
sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang yang berkunjung ke suatu
daerah tertentu. Hal-hal yang dapat menarik seseorang untuk berkunjung
ke suatu tempat tujuan wisata meliputi benda-benda yang tersedia dan
terdapat di alam semesta (natural amenities) yang mencakup iklim,
pemandangan alam, hutan, flora dan fauna, benda- benda hasil ciptaan
manusia (man made supply) yang mencakup benda-benda bersejarah,
museum, kesenian rakyat, rumah ibadah dan acara-acara tradisional, serta
tata cara hidup masyarakat (the way of life) yang mencakup kebiasaan
8
Di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya, begitu
banyak hal-hal yang yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata, misalnya
kesenian rakyat, upacara adat dan agama.
Menurut Mariotti (1985) dan Yoeti (1987) (dalam Sunaryo, 2013);
dikemukakan bahwa faktor terpenting yang dapat mengundang wisatawan
mengunjungi suatu destinasi adalah daya tarik yang dimiliki oleh destinasi
tersebut. Agar suatu tujuan wisata dapat menarik wisatawan untuk
dikunjungi, tujuan wisata tersebut harus memenuhi tiga syarat utama,
yaitu:
a. Destinasi tersebut harus memiliki apa yang disebut dengan
“something to see”, maksudnya destinasi tersebut harus
memiliki daya tarik khusus yang dapat dilihat oleh wisatawan,
di samping itu juga harus memiliki atraksi wisata yang dapat
dijadikan sebagai “entertainments” bila orang tersebut datang
untuk mengunjunginya.
b. Selain itu destinasi tersebut harus memiliki “something to do”,
yang artinya selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan,
pada destinasi tersebut juga harus dilengkapi dengan beberapa
fasilitas rekreasi atau amusement dan wadah atau wahana yang
dapat dimanfaatkan oleh wisatawan untuk beraktivitas
sehingga dapat menimbulkan keinginan wisatawan untuk
tinggal lebih lama.
c. Destinasi juga harus memiliki “something to buy”. Pada suatu
9
wisatawan dan dibawa pulang ke tempat asal. Barang-barang
tersebut seperti halnya cindera mata yang merupakan hasil
kerajinan masyarakat setempat.
Jadi dapat dikatakan bahwa, pada intinya perjalanan wisata
merupakan perjalanan yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi
kebutuhan sekundernya yang berupa rekreasi (pleasure) atau penyegaran
kembali (refreshing) setelah kebutuhan primernya terpenuhi.
2.1.1 Wisata Budaya
Pemerintah Daerah Bali menetapkan secara tegas dalam Peraturan
Daerah (Perda) Bali No. 2 tahun 2012 mengenai pengembangan pariwisata
yang ada di Bali merupakan pariwisata budaya. Dalam Perda ini,
dirumuskan mengenai pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan
Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran
Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan
menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga
terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan
kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis,
harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.
Penyelenggaraan pariwisata budaya bertujuan untuk
memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu
objek dan daya tarik wisata, memupuk rasa cinta tanah air dan
10
kesempatan berusaha, dan lapangan kerja. Dalam penyelenggaraan
pariwisata berbasis budaya juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,
mendorong pendayagunaan produksi daerah dalam rangka peningkatan
produksi nasional, serta mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai
kebudayaan, agama dan keindahan alam Bali yang berwawasan
lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif
yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan (Nika, 2010).
Lebih lanjut lagi mengenai azas Pariwisata Budaya, diatur dalam
Perda Bali No. 2 tahun 2012 Bab II, pasal 2 sebagai berikut:
penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali dilaksanakan berdasarkan
pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian,
partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan
kesatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu dengan menerapkan
falsafah Tri Hita Karana (THK).
Dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan yang disebutkan
oleh Sihite (2000: 76) dalam garis besarnya dapat dilihat pada hal-hal
berikut:
a. Merupakan perangsang dalam usaha pemeliharaan
monumen-monumen budaya yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat
dan wisatawan.
b. Merupakan dorongan dalam usaha melestarikan dan
11
kesenian, kerajinan tangan, tarian, musik, upacara-upacara adat,
dan pakaian.
c. Memberikan dorongan untuk memperbaiki lingkungan hidup
yang bersih dan menarik.
d. Terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dan
masyarakat lokal, misalnya, wisatawan dapat lebih banyak
mengenal kebudayaan serta lingkungan yang lain dan peduduk
lokal juga mengetahui tempat-tempat lain berdasarkan cerita
para wisatawan.
e. Mendorong pendidikan di bidang kepariwisataan untuk
meghasilkan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan
yang andal.
2.1.2 Rekreasi
Rekreasi merupakan salah satu bentuk aktivitas manusia untuk
mengisi waktu luangnya. Manusia melakukan rekreasi untuk
menghilangkan beban pikiran akibat tekanan dan rutinitas pekerjaannya.
Rekreasi dapat memulihkan kondisi mental dan fisik yang lelah, serta
memberikan kepuasan dan rasa senang bagi manusia (Brockman, 1979;
Soekotjo, 1980; Soemarwoto, 1991). Minat masyarakat terhadap rekreasi
mulai meningkat sejak awal tahun 90-an, terutama minat terhadap obyek
wisata alam. Latar belakang fenomena tersebut adalah meningkatnya
12
sehingga mereka membutuhkan akivitas yang dapat mengembalikan
semangat kerjanya (Lindberg, 1993).
Berdasarkan tempatnya, Mercer (1981) menggolongkan rekreasi
menjadi dua, yaitu rekreasi di tempat tertutup dan rekreasi di tempat
terbuka. Lebih lanjut dinyatakan bahwa rekreasi di tempat terbuka lebih
baik karena dapat diperoleh pengalaman yang khas, baru, dan berbeda.
Brockman (1979) mengemukakan kelebihan rekreasi di alam terbuka
adalah pengalaman yang lebih baik bagi fisik dan mental manusia, karena
untuk melakukan rekreasi di alam terbuka manusia harus mempunyai
kesehatan fisik, pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan.
Bentuk kegiatan rekreasi di alam terbuka diantaranya adalah
memancing, berburu, mendaki gunung, berkuda, piknik, dan berkemah.
Pilihan bentuk kegiatan rekreasi yang akan dilakukan manusia tergantung
pada latar belakang ketersediaan kesempatan, kesesuaian dengan kondisi
pelaku, serta kemampuan fisik dan intelektual. Bentuk kegiatan rekreasi
dapat bersifat fisik, intelektual, estetik, emosi, atau kombinasinya. Karena
latar belakang dan sifat yang berbeda, maka bentuk kegiatan rekreasi
menjadi spesifik bagi setiap individu, dimana pilihan individu yang satu
berbeda dengan individu lainnya (Brockman, 1979).
2.2 Ekowisata
Salah satu jenis implementasi dari pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah berupa pengembangan
13
Pada hakekatnya program ekowisata atau nature tourism adalah konsep
perpaduan antara pendekatan konservasi lingkungan dan kepariwisataan
(Whelan, 1991).
Weber dan Damanik (2006) menyebutkan bahwa konsep dasar
ekowisata meliputi perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan, mengutamakan penggunaan fasilitas
transportasi yang diciptakan dan dikelola oleh masyarakat pada kawasan
wisata, serta menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya
lokal dimana wisatawan banyak belajar dari masyarakat lokal.
Menurut The International Ecotourism Society (1990), ekowisata
sebagai a responsible travel to natural areas which conserves the
environtment and improves the well-being of local people. Menurut
Hadinoto (1996), ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata
yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi
antara lingkungan alam dan aktivitas rekreasi, konservasi dan
pengembangan, serta antara penduduk dan wisatawan.
Menurut Yoeti (2008) ekowisata merupakan suatu bentuk wisata
yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Dengan demikian ekowisata
sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan
keaslian ekosistem di areal yang masih alami.
Menurut Sherman dan Dixon (1991), Lindberg (1989), Vant Hof
(1989) dalam Yoeti (2008) yang merupakan para pakar nature tourism;
prinsip yang harus dipegang dalam pengembangan program ekowisata
14
berasal dari industri pariwisata yang harus dikembalikan lagi untuk
lingkungan yang perlu dilestarikan
(dilindungi-dikembangkan-dimanfaatkan) termasuk kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Dalam Yoeti (2008), Alister dan Wall (1982); Wright (1977);
disebutkan bahwa beliau merupakan pakar analisis dampak lingkungan
dan aktivitas kepariwisataan, yang mengemukakan bahwa model dari
pembangunan kepariwisataan berlanjut dan berwawasan lingkungan
memiliki prinsip akan mengukur kinerja pembangunan kepariwisataan
dengan aspek indikator penting sebagai berikut:
a. Aspek indikator lingkungan fisik
Komponen fisik memiliki dua kategori indikator lingkungan
yang memerlukan pengamatan dan pengukuran secara periodik, yaitu:
1). Lingkungan fisik yang bersifat fixed. Lingkungan fisik ini berupa
sumber daya alam/ekologi bukan buatan manusia, seperti lansekap,
hutan, danau, ketersediaan air tanah, polusi udara, terumbu karang,
flora dan fauna, dan sebagainya.
2). Lingkungan fisik yang bersifat flexible. Lingkungan fisik ini berupa
sumber daya alam yang merupakan buatan manusia, seperti sistem
infrastruktur, water supply, pembuangan limbah, jaringan listrik,
transportasi, pos dan telekomunikasi, layanan kesehatan,
15
b. Aspek indikator sosial budaya
Pada aspek sosial budaya, beberapa indikator yang harus
dimonitor dan ditakar kondisi dan kapasitasnya adalah:
1). Jumlah wisatawan dan tipe kegiatan rekreasi serta perilaku
wisatawan yang dapat diserap oleh destinasi tanpa harus
mempengaruhi identitas, gaya hidup dan kehidupan sosial budaya
serta adat istiadat dari masyarakat setempat.
2). Lama tinggal dan tipe kepariwisataan yang tidak mengubah budaya
lokal secara signifikan baik langsung maupun tak langsung,
utamanya dalam hal seni, kerajinan, sistem kepercayaann, upacara,
serta adat dan tradisi.
3). Tipe kepariwisataan yang tidak ditolak oleh penduduk setempat,
terutama yang tidak menghalangi mereka untuk menggunakan
layanan dan fasilitas masyarakat/umum yang ada di destinasi.
4). Jumlah pengunjung dan tipe interaksi antara wisatawan dan
lingkungan di destinasi, tanpa harus menimbulkan penurunan
pengalaman dan kenyamanan pengunjung secara drastis.
c. Aspek indikator ekonomi
Pada aspek ekonomi, beberapa indikator yang harus selalu
dipantau keadaannya pada model kepariwisataan berlanjut adalah:
1). Derajat spelialisasi yang sudah berpengaruh pada hilangnya
peluang kerja dan usaha masyarakat setempat dalam industri
16
2). Angka kehilangan tenaga kerja manusia yang disebabkan oleh
industri kepariwisataan yang ada.
3). Distribusi pendapatan yang adil dari kegiatan kepariwisataan dan
dampak penguatannya pada masyarakat maupun masyarakat
setempat.
4). Angka penyerapan tenaga kerja dari aktivitas kepariwisataan di
objek wisata terhadap sumberdaya manusia yang ada.
Hal itu senada dengan isi dari Perda No.11 tahun 2012 tentang
RTRW Kabupaten Tabanan yang mengemukakan bahwa ekowisata adalah
suatu bentuk perjalanan wisata atau penyelenggaraan kegiatan wisata yang
bertanggung jawab ke area alami atau daerah-daerah yang dibuat
berdasarkan kaidah alam, secara ekonomi berkelanjutan disertai
upaya-upaya konservasi dan pelestarian lingkungan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Menurut Gunn (1997) hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam
ekoturisme adalah:
a. Pengalaman, penghargaan, dan pemahaman terhadap sumber daya
alam.
b. Perolehan pengalaman yang berasal dari lingkungan dan penghargaan
terhadap lingkungan.
c. Penggunaan fasilitas pelayanan dan pendukung yang ramah
lingkungan.
17
Soemarwoto (2006) dalam Utama (2009), menjelaskan bahwa
ekowisata tidak terbatas pada objek alam, tetapi juga mencakup pada
kebudayaan. Interaksi lingkungan hidup dengan manusia menciptakan
pola hidup seperti yang ada di suatu tempat, namun kebudayaan manusia
di tempat tersebut tercipta dari interaksi itu juga. Lingkungan hidup
biogeofisik tak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup sosial-budaya,
kepada para ekowisatawan disajikan keduanya secara utuh. Secara
keseluruhan tidak ada yang membedakan antara pariwisata, wisata dan
ekowisata, pembeda yang nyata adalah ruang dan waktu pelaksanaan
wisata tersebut, karena dalam penyelenggaraan suatu kegiatan satu
komponen dengan yang lainnya saling berkaitan dan mendukung,
sehingga penyelenggaraan wisata dapat berjalan dengan baik.
2.3 Potensi Desa
Menurut Bintarto (1983), potensi desa adalah sumberdaya di suatu
desa yang mungkin dapat dikembangkan dan diaktifkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Potensi desa dapat berupa
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di dalamnya beserta
hasil kerajinan manusia itu sendiri. Tiap-tiap desa memiliki sumberdaya
yang merupakan potensi desa. Potensi desa dapat dibagi menjadi dua,
yaitu potensi fisik dan nonfisik. Potensi fisik desa meliputi tanah, air,
iklim, peternakan dan perikanan, sedangkan potensi nonfisik desa
18
organisasi kemasyarakatan serta kreativitas aparatur desa yang mampu
mengelola administrasi desa secara tertib dan lancar.
2.4 Subak
Menurut Windia (2006), subak adalah suatu masyarakat hukum adat
yang merupakan perkumpulan petani pengelola air irigasi di lahan sawah,
serta memiliki karakteristik sosioagraris-religius. Arif (1999) memperluas
pengertian karakteristik subak yang sosioagraris-religius dengan
menyatakan bahwa subak tepat disebut berkarakteristik
sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk
diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi.
Subak merupakan organisasi petani yang bergerak dalam usaha
pengaturan air irigasi untuk lahan pertanian basah atau sawah yang
memiliki anggota sebagai petani atau pemilik atau penggarap sawah yang
dilayani oleh suatu jaringan atau subjaringan irigasi tertentu, tidak
memandang dari desa mana anggota tersebut berasal, dengan kata lain
pendekatan subak adalah pendekatan jaringan irigasi (coral based) dan
bukan desa (village based) (Purbathin, 2010).
Windia (2006) mengatakan, budaya pada sistem subak dicerminkan
dari pola pikir dalam pengelolaan air irigasi yang dilakukan dengan
landasan harmoni dan kebersamaan. Air dianggap sebagai karunia Tuhan
sehingga keberadaannya bernilai dan dihormati. Dalam organisasi subak,
ada upacara khusus untuk menghormati keberadaan air yang disebut
19
perwujudan dari Dewa Wisnu yang merupakan salah satu manifestasi dari
Tuhan dan dipercaya sebagai pemelihara kehidupan di dunia ini.
Sedangkan, istri dari Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri, dianalogikan dengan
padi. Padi dan air tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pertanian. Sehingga,
para petani di Bali yang tergabung dalam organisasi subak sangat