7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
Cacing tanah merupakan hewan tanah yang memiliki kandungan atau nutrisi yang baik. Cacing tanah memiliki berbagai manfaat, termasuk memperbaiki struktur tanah, meningkatkan penyerapan air permukaan, memperkaya zat hara dalam tanah, sebagai pakan ternak dan sebagai obat (Roslim & Nastiti, 2013).
Cacing tanah (Lumbricus rubellus) termasuk dalam hewan invertebrata hewan tidak bertulang belakang. Cacing tanah (Lumbricus rubellus) salah satu hewan yang masuk dalam golongan filum Annelida karena tubuhnya tersusun atas segmen yang berbentuk cincin, serta setiap bagian segmen memiliki rambut pendek yang disebut chaeta. Cacing tanah ini memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan panjang 8-14 cm dan gerakannya relatif lambat (Brata et al., 2017).
2.2. Taksonomi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
Taksonomi cacing tanah Lumbricus rubellus (Leiden University Medical Center, 2005), adalah sebagai berikut:
Super Kingdom : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Sub Ordo : Lumbricina
Famili : Lumbricidae
Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus rubellus
2.2.1. Morfologi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
Tubuh cacing tanah (Lumbricus rubellus) terbagi menjadi lima bagian, yaitu bagian depan (anterior), bagian tengah, bagian belakang (posterior), bagian punggung (dorsal), bagian bawah atau perut (ventral). Cacing ini berwarna kemerahan, dengan panjang berkisar antara 7,5 – 10 cm. Pada tubuh bagian depan (anterior) terdapat organ prostomium yang memiliki katup menyerupai tonjolan daging yang dapat membuka dan menutup, selain itu prostomium tersusun atas sel-sel sensorik yang berfungsi sebagai sensor terhadap lingkungan sekitar. Pada bagian tubuh cacing tanah terdapat penebalan dari segmen ke 32-37 dan berwarna lebih terang bila dibandingkan segmen lainnya yang disebut dengan klitelum.
Klitelum berfungsi sebagai organ perkembangbiakan karena terdapat organ kelamin jantan dan betina dari cacing. Biasanya klitelum belum terlihat jelas pada cacing yang masih muda, klitelum baru mulai terlihat setelah cacing berumur 2-3 bulan. Segmen-segmen pada tubuh cacing tanah memiliki rambut-rambut pendek yang disebut seta (chaeta). Seta sangat berperan penting bagi cacing untuk melekat, membantu pergerakan, serta ketika proses perkawinan karena memiliki daya lekat yang sangat kuat. Sistem pergerakan cacing tanah diatur oleh susunan syaraf (Brata et al., 2017).
Pusat susunan syaraf/terletak di sebelah dorsal pharink dalam segmen ketiga dan terdiri atas simpul sistem syaraf anterior (ganglion celebrale), simpul syaraf vertikal dan serabutserabut syaraf. Dengan adanya ujung serabut syaraf di kulit, rangsangan berupa getaran atau sinar dapat diterima oleh ujung syaraf untuk kemudian disalurkan ke otak. Syaraf ini sangat sensitif terhadap cahaya, suhu, getaran, dan sentuhan (Pradinasari et al., 2017).
Lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis mempermudah pergerakannya. Sementara itu, pada bagian tubuh belakang (posterior) terdapat anus yang berfungsi sebagai alat sekresi untuk membuang sisa pencernaan dan metabolisme (Brata et al., 2017).
Gambar 2.1. Morfologi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
Sumber: bioearthworm.wordpress.com
2.2.2. Manfaat Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
Cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai menyuburkan tanah, memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah dan dari aktivitas metabolismenya (Elfayetti et al., 2017).
Cacing dikenal sebagai dekomposer limbah yang dihasilkan manusia setiap harinya. Biasanya, manusia memanfaatkan cacing dengan menebar bibit cacing tanah ke dalam tempat pembuangan sampah organik, dengan begitu cacing dapat membantu mengurangi beban pengolahan sampah. Selain itu, cacing tanah juga dapat menyuburkan lahan pertanian. Sampah yang dimakan akan diuraikan dan dikeluarkan dalam bentuk kascing (kotoran cacing) yang sangat subur. Hal ini juga menyebabkan kascing dapat disebut sebagai pupuk organik dengan warna hitam dan berbentuk partikel yang ukurannya lebih kecil daripada ukuran partikel tanah biasa. Hazra (2018) menyatakan bahwa kascing kaya nitrogen berasal dari perombakan bahan organik yang kaya nitrogen dan ekskresi mikroba yang bercampur dengan tanah dalam sistem pencernaan cacing tanah. Peningkatan kandungan nitrogen dalam bentuk kascing selain disebabkan adanya proses mineralisasi bahan organik dari cacing tanah yang telah mati, juga oleh urin yang dihasilkan dan ekskresi mukus dari tubuhnya yang kaya akan nitrogen.
Menurut Arthawidya et al., (2017) peningkatan kandungan nitrogen dikarenakan nitrobakteri sebagai perubah amonia ke nitrat akan meningkat dikarenakan adanya lendir pada cacing yang memperkaya jumlah nitrobakteri.
Semakin banyak lendir yang dihasilkan maka jumlah bakteri yang terkandung di dalam substrat akan semakin banyak sehingga kandungan nitrogen dalam bahan akan semakin meningkat. Menurut Arthawidya et al., (2017) hal ini dikarenakan adanya penggabungan dari lendir, material ekskresi, hormone pertumbuhan, dan enzim yang mengandung nitrogen yang berasal dari cacing. Demikian juga menurut Arthawidya et al., (2017), kascing mengandung bakteri seperti Bacillus sp, Azotobacter sp, Clostridium butirycum, Actmomyycetes sp dan bakteri pengurai selulosa menjadi nitrat. Pertambahan unsur hara N-total juga diakibatkan oleh ekskresi cacing tanah yang merupakan protein yang banyak mengandung nitrogen, sehingga menyebabkan nitrogen lebih tinggi ketika menjadi kascing.
Selain itu menurut Arthawidya et al., (2017), juga terdapat proses mineralisasi phospor ketika bahan organik melalui pencernaan cacing, sebagian dari phospor akan diubah menjadi bentuk P terlarut oleh enzim dalam pencernaan cacing, yaitu fosfatase dan alkalin fosfatase. Selanjutnya unsur P akan dibebaskan oleh mikroorganisme dalam kotoran cacing.
Manfaat lainnya, cacing dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik, karena cacing mengandung asam amino esensial dan enzim yang berguna untuk membantu dalam proses pergantian sel–sel yang rusak. Beberapa kosmetik dengan bahan ekstrak cacing adalah pelembab kulit, pelembab wajah, lipstick dan antiinflamasi. Selain itu, cacing tanah sejak ribuan tahun lalu di Tionghoa telah dimanfaatkan sebagai obat herbal. Beberapa contoh obat yang berbahan dasar cacing tanah adalah obat tifus, tekanan darah tinggi, batu ginjal, darah rendah dll.
Nilai lebih dari penggunaan obat herbal ini adalah tidak adanya efek samping dan harganya yang relatif murah (Pradinasari et al., 2017).
Kebutuhan cacing tanah untuk sektor peternakan dan pertanian pun kini sudah mulai meningkat. Cacing tanah digunakan sebagai sumber pakan dan sumber obat alami. Selain sebagai suplemen pakan, pemberian pakan dengan cacing tanah ternyata dapat meningkatkan produktivitas hewan ternak. Bahkan, air rebusan cacing tanah yang telah ditambah dengan tanaman herbal dapat menjadi vitamin dan obat yang ampuh bagi hewan ternak apabila diberikan secara teratur (Brata et al., 2017).
Tingginya kemampuannya dalam merombak bahan organik dan merendam bau busuk yang menyengat maka cacing tanah juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mencegah pencemaran lingkungan terutama yang ditimbulkan oleh limbah ternak, rumah tangga dan pasar (Brata et al., 2017).
Hasil analisis didapatkan bahwa kandungan protein tepung cacing tanah sebesar 60-70%, lemak kasar 7%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, serat kasar 1,08%.
Lumbricus rubellus mempunyai kandungan Lumbricin yang merupakan antibiotika berupa peptide, berasal dari protein bersifat bakteriostatik sehingga termasuk antibakteri bakteriosin yang berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri lain dengan cara absorbs ke dalam permukaan dinding sel bakteri (Febrita, 2015).
2.2.3. Syarat Tumbuh Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) 2.2.3.1. Ketersediaan Makanan
Pertumbuhan cacing tanah sangat bergantung pada jenis pakannya, pakan yang banyak mengandung bahan organik. Pakan utama cacing tanah adalah bahan organik yang dapat berasal dari serasah daun (daun yang gugur), kotoran ternak atau bagian tanaman dan hewan yang sudah mati (Putra et al., 2019). Hal ini didukung dengan pendapat (Hendrika et al., 2017) yang menyatakan bahwa pakan cacing berupa limbah–limbah organik seperti sayuran, sisa media jamur, limbah hijauan, kotoran ternak, pelepah, daun dan batang pisang, limbah jerami padi, ampas tahu, dan lain–lain.
2.2.3.2. Temperatur
Temperatur/suhu merupakan faktor yang berpengaruh pada metabolisme, reproduksi, pertumbuhan, dan respirasi cacing tanah. suhu normal untuk pertumbuhan cacing tanah antara 15°C-25°C, sementara itu suhu optimum untuk reproduksi cacing tanah berkisar antara 21-29°C (Brata et al., 2017).
2.2.3.3. Kelembaban
Kelembaban merupakan banyaknya kandungan air yang terdapat dalam media. Kelembaban yang diperlukan oleh cacing tanah memang tergolong cukup
tinggi berkisar antara 30%-50%. Kelembaban ini mempengaruhi sistem pernafasan dan kesehatan cacing tanah di dalam media. Jika kelembaban terlalu rendah cacing akan keluar dari media, dan saat kelembaban terlalu tinggi cacing akan masuk ke dalam media sehingga tubuhnya memucat dan mati. Selain itu, kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan kulit, pembengkakan tubuh, gangguan reproduksi, serta menyebabkan telur mudah rusak dan membusuk. Untuk menghindari kelembaban yang terlalu tinggi, beri lubang bagian bawah wadah media sebagai tempat keluarnya kelebihan air.
Sedangkan untuk menghindari kelembaban yang terlalu rendah, siram media cacing secara berkala (Brata et al., 2017).
Hampir seluruh tubuh cacing tanah terdiri dari air. Kandungan air dalam tubuhnya mencapai 75-90% dari beratnya. Untuk mempertahankan atau mencegah kekurangan air dalam tubuhnya saat berada di media yang terlalu kering, cacing tanah akan bergerak ke media yang lembab. Walaupun demikian, cacing tanah masih dapat hidup meskipun harus kehilangan sejumlah air dari tubuhnya. Jumlah air yang hilang tersebut harus tidak lebih dari 75% kandungan air dalam tubuh cacing tanah. selain untuk mempertahankan kandungan air dalam tubuhnya, kelembaban media sangat dibutuhkan cacing tanah untuk kegiatan bernapas.
Media yang lembab biasanya mengandung oksigen yang cukup tinggi sehingga penangkapan oksigen oleh tubuhnya dapat berjalan dengan baik (Sastro, 2014).
2.2.3.4. Keasaman Media (pH)
Keasaman media (pH) merupakan banyaknya ion hidrogen dalam media.
Konsentrasi ion hidrogen yang terlalu tinggi menyebabkan media menjadi bersifat asam, sedangkan konsentrasi rendah menyebabkan media menjadi basa. Pada umumnya cacing tanah sangat sensitif terhadap ion hidrogen. Itulah sebabnya, keasaman media menjadi faktor pembatas ada penyebaran cacing tanah. agar pertumbuhan cacing tanah menjadi baik keasaman media harus netral (Sastro, 2014).
Cacing tanah memiliki enzim yang terbatas. Oleh karena itu, pH media harus dijaga antara 68-7,2 yaitu pH yang optimum bagi bakteri yang membantu dalam saluran pencernaan cacing tanah (Elfayetti et al., 2014). Menurut Sastro,
(2014). Dengan menjaga keasaman media cacing tanah, bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal dalam proses pembusukan dan fermentasi.
Bakteri sangat dibutuhkan cacing tanah untuk mengubah atau memecahkan bahan makanan, karena cacing tanah hanya memiliki sedikit enzim pencerna.
2.2.3.5. Aerasi
Aerasi sangat penting untuk mencegah akumulasi asam dan gas dalam media. Media dapat dibalik seminggu sekali, media yang terlalu padat dapat menyebabkan sulit bergerak dan bernafas. Aerasi yang baik merupakan syarat yang penting dalam reproduksi cacing tanah. Media dapat ditambahkan bahan- bahan yang berserat kasar tinggi untuk meningkatkan aerasi media (Brata et al., 2017).
2.2.3.6. Cahaya
(Pradinasari et al., 2017) menyebutkan bahwa cacing termasuk hewan yang sangat sensitif terhadap cahaya khususnya sinar ultraviolet daari matahari.
Apabila terkena matahari lebih dari satu menit, cacing akan mengalami dehidrasi, lemas dan akhirnya mati. Selain itu, cacing juga sensitif terhadap rangsangan benda asing yang mengenai tubuhnya. Jika benda asing terkena tubuhnya, maka cacing akan melingkarkan tubuhnya dan membentuk huruf U sekaligus juga mengeluarkan lendir pada tubuhnya.
2.2.3.7. Hama
Beberapa hama dan musuh cacing tanah antara lain: semut, kumbang, burung, kelabang, lipan, lalat, tikus, katak, tupai, ayam, itik, ular, angsa, lintah, kutu dan lain-lain. Musuh yang juga ditakuti adalah semut merah yang memakan pakan cacing tanah yang mengandung karbohidrat dan lemak. Padahal kedua zat ini diperlukan untuk penggemukan cacing tanah. Pencegahan serangan semut merah dilakukan dengan cara disekitar wadah pemeliharaan (dirambang) diberi air cukup (Roslim & Nastiti, 2013).
2.3. Media Pertumbuhan
Pradinasari et al., (2017) menyebutkan bahwa media hidup yang juga sekaligus sarang cacing tanah sebenarnya adalah sekumpulan bahan-bahan organik yang sudah terfermentasi sempurna sehingga bisa memberikan tempat bagi cacing tanah untuk bereproduksi secara optimal. Selain itu, sumber lain mengatakan bahwa cacing tanah membutuhkan bahan organik sebagai makanan atau sumber nutrisi. Ketersediaan bahan organik sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah. Bahan organik yang mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin dibutuhkan oleh cacing tanah untuk mendukung pertumbuhan (Pradinasari et al., 2017).
Adapun kandungan nutrisi yang dibutuhkan cacing tanah didalam media pertumbuhannya adalah protein, air, kalsium, phospor, dan lemak. Berikut ini adalah tabel perbandingan kandungan yang terdapat didalam media pertumbuhan cacing tanah.
Tabel 2. 1 Perbandingan Kandungan yang Terdapat di Dalam Media Pertumbuhan Cacing Tanah
Unsur Hara Baglog Jamur % Kotoran Sapi % Kotoran Ayam %
Nitrogen (N) 0,7 0,65 1,50
Phospor (P) 0,3 0,15 0,77
Kalsium (Ca) 0,3 0,30 0,89
Sumber: Hartatik. (2006)
Cacing tanah sangat membutuhkan media hidup sekaligus makanan yang lunak, gembur, dan tidak panas supaya lebih mudah dicerna atau terurai oleh alat cerna di tubuhnya. Media hidup yang gembur juga bisa menjaga porositas sarang, menjaga ketersediaan oksigen, dan menjaga sirkulasi udara di dalamnya (Pradinasari et al., 2017).
Menurut (Brata et al., 2017) dalam waktu tertentu tetap mempertahankan keadaan media agar lembap dan nyaman bagi cacing tanah. Media yang sehat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Bertekstur gembur
2. Bahan organik yang mengalami pelapukan berkisar 50-65% dan sudah tidak mengeluarkan gas.
3. Media mudah terurai.
4. Kandungan protein media tidak terlalu tinggi, cukup sekitar 15%
5. Selalu ada media baru engan porsi 50% media;50% kotoran cacing.
6. Kelembaban media normal, tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering atau sekitar 35-50%.
7. Temperature media stabil pada suhu normal 8. pH media normal
Jika media kurang sesuai, cacing tanah biasanya akan menggumpal atau berusaha keluar dari media. Ketidaksesuaian media dapat disebabkan karena media yang terlalu basah, terlalu kering atau mengandung zat yang tidak disukai cacing (Brata et al., 2017). Karakter jenis media dapat mempengaruhi produksifitas dari cacing itu sendiri (Kartini, 2018b).
Kegemburan media juga berpengaruh, karena jika media gembur maka akan memudahkan pergerakan cacing tanah (Lumbricus rubellus) dalam melakukan pergerakan. Media yang gembur juga memudahkan oksigen untuk masuk kedalam media, jika media mudah memadat maka kebutuhan oksigen bagi cacing tanah (Lumbricus rubellus) akan terbatas (Putra et al., 2019).
2.3.1. Baglog Jamur
Baglog jamur merupakan istilah untuk media jamur yang terdiri dari serbuk gergaji kayu, tepung tapioka, bekatul/ dedak, kapur dan lain-lain. Baglog ini sudah terinokulasi (diberi) bibit jamur dan sudah melalui proses strilisasi. Di dalam baglog terdapat banyak nutrisi tambahan yang tidak tersedia di lingkungan, selain bahan-bahan tambahan, baglog juga memiliki kelembapan yang berasal dari air (Rosmauli, 2015). Baglog jamur ini dapat dikatakan media yang berasal dari tumbuhan.
Baglog jamur mengandung nutrisi dan serat yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan hewan ternak, beberapa penelitian telah menunjukkan nilai nutrisi yang sangat tinggi untuk hewan ternak, dan dengan pengolahan lebih lanjut untuk
meningkatkan selera makan hewan ternak, limbah baglog jamur dibuat pakan ternak dengan menambahkan tetes tebu dan bakteri pre-biotik yang berperan positif bagi hewan ternak.
Sistem analisis Van Soest menggolongkan zat pakan menjadi isi sel (cell content) dan dinding sel (cell wall). Neutral Detergent Fiber (NDF) mewakili kandungan dinding sel yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa dan protein yang berikatan dengan dinding sel. Bagian yang tidak terdapat sebagai residu dikenal sebagai neutral detergent soluble (NDS) yang mewakili isi sel dan mengandung lipid, gula, asam organik, non protein nitrogen, pektin, protein terlarut dan bahan terlarut dalam air lainnya. Serat kasar terutama mengandung selulosa dan hanya sebagian lignin, sehingga nilai ADF lebih kurang 30 persen lebih tinggi dari serat kasar pada bahan yang sama (Rosmauli, 2015).
2.3.2. Kotoran Sapi
Kotoran sapi merupakan bahan pupuk organik yang baik, terutama yang sudah dingin dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan cacing. Kotoran ini sangat baik digunakan karena dapat langsung berfungsi sebagai makanan cacing tanah dan memiliki kandungan protein yang dapat langsung dicerna sekitar 15%.
Pemberiannya dapat 100% kotoran, seperti hanya kotoran sapi saja, tanpa dicampur dengan bahan organik lain (Nenobesi & Mella, 2017). Berikut disajikan perbandingan komposisi dari kotoran sapi dengan kotoran ternak lainnya.
Tabel 2. 2 Perbandingan Komposisi dari Kotoran Sapi dengan Kotoran Ternak Lainnya (%)
Sumber N P K Ca Mg S Fe
Sapi perah 0,53 0,35 0,41 0,28 0,11 0,05 0,004
Sapi daging 0,65 0,15 0,30 0,12 0,10 0,09 0,004
Kuda 0,70 0,10 0,58 0,79 0,14 0,07 0,010
Unggas 1,50 0,77 0,89 0,30 0,88 0,00 0,100
Domba 1,28 0,19 0,93 0,59 0,19 0,09 0,020
Sumber: (Balai Penelitian Tanah,2006)
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian (Jarmuji & Pratama WN, 2017), bahwa kotoran sapi memiliki banyak zat organik sehingga bagus untuk pertumbuhan cacing tanah. (Roslim et al., 2013) juga melaporkan penggunaan media kotoran sapi lebih disukai cacing tanah dibandingkan kotoran hewan ternak yang lain karena mengandung unsur nitrogen yang tinggi, tetapi sebelm digunakan
harus dilakukan pengeringan. Pengeringan kotoran sapi dilakukan dengan tujuan menghilangkan kandungan amonia yang beresiko meracuni cacing tanah (Lumbricus rubellus) sehingga dapat menyebabkan kematian (Brata et al., 2017).
2.3.3. Kotoran Ayam
Kotoran ayam relatif padat sehingga jika digunakan sebagai media tumbuh cacing tanah harus dicampur dengan bahan tambahan untuk memperbaiki porositas. Kotoran ayam merupakan campuran dari kotoran padat dan kotoran cair yang berasal dari hasil metabolisme dan benda-benda yang tidak berguna di dalam tubuh. Kotoran ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak tercerna.
Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak, dan senyawa organik yang lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, kondisi ayam, dan makanan yang dikonsumsinya setiap hari (Jarmuji
& Pratama WN, 2017). Menurut Febrita et al., (2015), menyatakan bahwa protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting, karena perannya dalam menyediakaan sumber energi, asam-asam amino dan sebagai zat pembangun jaringan-jaringan di dalam tubuh.
Menurut Arthawidya et al. (2017), pupuk kandang ayam mempunyai kadar hara sangat dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu pula dalam kotoran ayam tersebut tercampur sisa-sisa makanan ayam serta sekam sebagai alas kandang yang dapat menyumbangkan tambahan hara. Beberapa hasil penelitian aplikasi pukan ayam selalu memberikan respon tanaman yang terbaik.
Hal ini karena pukan ayam relatif lebih cepat terdekomposisi serta mempunyai kadar hara yang cukup pula jika dibandingkan dengan jumlah unit yang sama dengan pukan lainnya.
2.4. Pupuk Kompos
Pupuk kompos merupakan jenis pupuk organik hasil proses fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan dasar seperti tumbuhan, kotoran ternak ataupun limbah rumah tangga dan lain-lain. Pengomposan dilakukan dengan teknik tertentu dan tambahan unsur atau bahan yang lain untuk mempercepat proses penguraian (Roidah, 2013).
Sisa tanaman, hewan, atau kotoran hewan, juga sisa jutaan makhluk kecil yang berupa bakteri maupun jamur merupakan sumber bahan organik yang sangat potensial bagi tanah karena perannya yang sangat penting terhada perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan-bahan yang lapuk dan busuk bila berada dalam keadaan basah dan lembap, seperti halnya daun-daun menjadi lapuk bila jatuh ke tanah dan menyatu dengan tanah. Selama proses perubahan dan peruraian bahan organik, unsur hara akan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap tanaman. Sebelum mengalami proses perubahan, bahan bahan organik tidak berguna bagi tanaman, karena unsur hara masih dalam bentuk terikat yang tidak dapat diserap tanaman (Susanti & Halwany, 2017).
Menurut Roidah, (2013), pengomposan penting karena bahan organik tidak dapat langsung digunakan sebagai pupuk, sebab unsur C/N (Carbohydrate dan Nitrogen) pada bahan relatif tinggi dibanding dengan C/N yang dikandung oleh tanah. Nilai C/N pada tanah sekitar 10-12, sedangkan pada dedaunan sekitar 20-50, dan pada kayu mencapai 300 atau lebih. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisika-kimia yang melibatkan aktivitas mikrooganisme. Secara alami peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob yang membutuhkan oksigen dan anaerob tdak membutukan oksigen. Mutu kompos dipengaruhi oleh tipe dan mutu bahan dasarnya, serta mutu dari proses pengomposannya. Mutu kompos yang sudah siap dipakai sangat tergantung pada tingkat kontaminan dari bahan pembentuknya.
2.4.1. Sifat Karakteristik
Menurut Supadma (2016), penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian.
Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain, yakni mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tegantung bahan asal dan memperbaiki kualitas kesuburan fisika, kimia dan biologi tanah.
2.4.1.1. Fisika Tanah
Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Penyebab gemburnya tanah adalah senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi perekat partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar dan mempermudah penyeraan air ke dalam tanah sehingga proses erosi dapat dicegah.
2.4.1.2. Kimia Tanah
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo dan Si). Dalam jangka panjang pemberian kompos dapat memerbaiki pH dan meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah yang bersifat masam. Pada tanah yang memiliki kandungan P rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P diperlukan tanaman.
2.4.1.3. Biologi Tanah
Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga). Proses dekomposisi lanjut oleh mikroorganisme akan terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan mikroorganisme dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Selain itu aktiitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos mengahasilkan hormon-hormon pertumpuhan.
2.5. Pupuk Kascing
Kascing merupakan kotoran cacing dapat berguna untuk pupuk. Kascing ini mengandung partikel kecil dari bahan organik yang dimakan cacing dan kemudian dikeluarkan lagi. Kualitas kascing cacing tanah dapat ditentukan beberapa parameter fisik, kimiawi dan biologis. Secara fisik kualitas casting dapat dilihat
berbagai tingkat yaitu kematangan kompos seperti tekstur, warna dan bau (Brata et al., 2017).
Proses pengomposan dapat melibatkan organisme makro seperti cacing tanah yang bekerja sama dengan mikroba dalam proses penguraian. Cacing tanah akan memakan bahan organik yang tidak terurai, mencampur bahan organik melalui pergerakannya, dan membuat rongga-rongga udara sebagai aerasi (Firmaniar, 2017). Vermikompos disebut juga kompos cacing atau pupuk kotoran cacing. Cacing yang digunakan dalam proses pembuatan vermikompos yaitu cacing tanah (Lumbricus rubellus) (Hazra et al., 2020). Vermikompos adalah proses dekomposisi bahan organic yang melibatkan kerjasama cacing tanah dan mikroorganisme.
Menurut Elfayetti et al. (2017) Bahan organik sebagai sumber makanan bagi cacing tanah bermacam- macam. Kualitas dan kuantitas dari makanan tersebut merupakan faktor penting dalam pengontrolan biomassa cacing tanah dan jumlah feses yang dihasilkan. Diduga akan terjadi perbedaan kandungan hara dan banyak kascing yang dihasilkan apabila makanan cacing tanah tersebut berbeda. Kualitas pupuk yang dihasilkan oleh kascing diharapkan dapat memperbaiki kondisi tanah terutama tanah-tanah yang miskin seperti utisol (tanah yang memilki sifat kimia, fisika dan biologi yang kurang menguntungkan).
Secara umum dapat dijadikan bahan pakan cacing berupa limbah- limbah organik, seperti limbah sayuran, serbuk gergaji atau sisa media jamur, limbah hijauan, kotoran ternak, pelepah, daun, batang dan bongkol pisang, limbah jerami padi, ampas tahu, Mengingat setiap bahan pakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah dan kualitas kascing maka jika dikombinasi bahan-bahan tersebut kemudian diberikan dengan komposisi tertentu juga akan berpengaruh terhadap kualitas kascing (Hendrika et al., 2017).
Di dalam usus cacing tanah terjadi pertumbuhan mikroba tanah yang lebih baik dan lebih banyak daripada di dalam tanah (Subowo & Kosman, 2010).
Cacing tanah mampu mencerna makanan dimana sistem pencernaannya mengandung aktivitas mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi bahan organik. Proses ini lebih cepat dari pada pengomposan tradisional, karena bahan-
bahan organik tersebut melewati sistem pencernaan cacing tanah (Purba et al., 2013).
Kandungan unsur hara dalam pupuk kascing mampu memperbaiki sifat – sifat fisik tanah seperti permeabilitas tanah, porositas tanah, struktur tanah, daya menahan air dan kation - kation tanah selain itu pupuk kascing sangat efektif menggemburkan tanah untuk membuat tanaman menjadi subur (Roidah, 2013).
Menurut Elfayetti et al. ( 2017), pemakaian pupuk organik kascing untuk tanaman disebut juga dengan pertanian organik. Pertanian organik didefenisikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alamiah, sehingga menghasilkan pangan yang berkualitas, dan berkelanjutan.
2.6. Ampas Tebu
Ampas tebu adalah suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu (Saccharum officinarum) setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya pada industri pemurnian gula sehingga diperoleh hasil samping sejumlah besar produk limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu (bagasse). Rata-rata ampas yang diperoleh dari proses gilingan 32% tebu. Dengan produksi tebu di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 21 juta ton potensi ampas yang dihasilkan sekitar 6 juta ton ampas per tahun. Selama ini hampir disetiap pabrik gula tebu menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiker.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Wijayanto et al., 2017), menyatakan bahwa ampas tebu kering mengandung kadar air 15,86%, kadar C 13,324%, kadar N 0,422%, C/N 31,57, dan pH 7. Ampas tebu memiliki kandungan lignin 24% dan kadar protein kasar 2,8%, sehingga menyebabkan kecernaan ampas tebu rendah. Upaya peningkatan nilai kecernaan ampas tebu dapat ditempuh dengan melakukan fermentasi (Wijayanto et al., 2017).
Holoselulosa merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan selulosa dan hemiselulosa. Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Hidrolisis menggunakan asam biasanya dilakukan pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang
cukup tinggi. Pada tahun 1980, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzim selulase (Sitompul et al., 2017). Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol.
Ampas tebu yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin tidak dapat langsung difermentasi oleh mikroba menjadi biofuel, karena ampas tebu merupakan senyawa komplek lignoselulosa. Lignin dihilangkan terlebih dahulu agar proses hidrolisis selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol berjalan secara optimal.
2.7. Ampas Tahu
Pada proses pembuatan tahu dihasilkan dua macam limbah yakni limbah cair dan limbah padat. Limbah cair biasanya langsung dibuang ke sungai dan limbah padat berupa ampas juga seringkali langsung dibuang, meskipun beberapa pabrik memanfaatkannya sebagai pakan ternak (Fridata et al., 2015).
Limbah padat ampas tahu mengandung protein dan lemak yang tinggi, adapun komposisi kandungan bahan–bahan yang terdapat dalam ampas tahu yaitu protein 8,66%, lemak 3,79%, air 51,63% dan abu 1,21%. Karena kandungan nutrisi tersebut, umumnya ampas tahu digunakan sebagai bahan pakan ternak yang bermanfaat untuk perkembangan ternak. Selain itu, ampas tahu juga digunakan sebagai pupuk, namun saat ini pembuatan pupuk berbahan dasar ampas tahu masih dilakukan secara sederhana yaitu dengan teknik vermikompos, yaitu menggunakan cacing untuk merombak ampas tahu menjadi produk kompos (Brata et al., 2017). Selain kandungan tersebut, ampas tahu juga mengandung serat kasar sebanyak 16,8 % pada setiap 100 gram(Fridata et al., 2015).
Kandungan bahan organik pada limbah tahu jika diolah dengan tepat menggunakan campuran bahan lain akan menghasilkan pupuk organik yang ramah lingkungan dan menyuburkan tanaman. Ampas tahu melalui proses dekomposisi dapat dijadikan menjadi pupuk yang kaya unsur hara seperti N, P, K, dan Mg sesuai yang dibutuhkan tanaman (Hama, 2018).
2.8. Limbah Sayur Sawi
Limbah sayur merupakan sampah organik yang tersusun dari sisa tanaman.
Sampah sendiri merupakan bahan yang tidak berguna, tidak digunakan atau bahan
yang terbuang sebagai sisa dari suatu proses. Sampah dapat berupa padatan atau yang dikenal dengan sampah kering dan setengah padatan atau yang dikenal dengan istilah sampah basah. Salah satu penyumbang sampah terbesar dalam kehidupan adalah pasar tradisional. Sampah pasar memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan sampah dari perumahan. Komposisi sampah pasar lebih dominan sampah organik. Sampah ini mudah diuraikan oleh jasad hidup khususnya mikroorganisme (Jalaluddin et al., 2016).
Sampah sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan bahan buangan yang biasanya dibuang secara open dumping tanpa pengelolaan lebih lanjut sehingga akan meninggalkan gangguan lingkungan dan bau tidak sedap. Limbah sayuran berpeluang digunakan sebagai bahan untuk pembuatan pupuk organik karena ketersediaanya yang melimpah serta mudah didapatkan. Limbah sayuran dan buah-buahan mempunyai kandungan gizi rendah, yaitu protein kasar sebesar 1- 15% dan serat kasar 5-38% (Jalaluddin et al., 2016). Jenis limbah sayuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah sawi.
Sawi termasuk tanaman sayuran daun dari keluarga Cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di Indonesia hanya di kenal tiga jenis sawi budidaya, yaitu sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis), sawi putih (Brassica rapa) dan sawi daging (Brassica juncea). Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap sehingga apabila dikonsumsi sangat baik untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Berikut disajikan tabel komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam sawi, yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan.
Tabel 2. 3 Komposisi Zat-Zat Makanan yang Terkandung dalam Sawi
Komposisi Kandungan Gizi Mg/100g
Protein 2.3
Lemak 0.4
Karbohidrat 4.0
Ca 220
P 38,0
Fe 2,9
Vitamin A 1.940,0
Vitamin B 0,09
Vitamin C 102
Serat 0.7
Air 92.2
Natrium 20.0
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (2012)
2.9. Sumber Belajar
Sumber belajar memiliki pengertian yang sangat luas. Sumber belajar menurut Ahmad Rohani & Abu Ahmadi (1995:152) adalah guru dan bahan-bahan pelajaran berupa buku bacaan atau semacamnya. Pengertian selanjutnya dari sumber belajar adalah segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan proses pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta didik yang melengkapi diri mereka pada saat pembelajaran berlangsung.
Peranan sumber-sumber belajar (seperti: guru, dosen, buku, film, majalah, laboratorium, peristiwa, dan sebagainya) memungkinkan individu berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak terampil menjadi terampil, dan menjadikan individu dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jadi segala apa yang bisa mendatangkan manfaat atau mendukung dan menunjang individu untuk berubah ke arah yang lebih positif, dinamis, atau menuju perkembangan dapat disebut sumber belajar (Majid,2008).
2.9.1. Klasifikasi Sumber Belajar
AECT (Association of Education Communication Technology) mengklasifikasikan sumber belajar dalam enam macam yaitu message, people, materials, device, technique, dan setting (Akhmad Rohani, 1995). Enam klasifikasi sumber belajar sebagai berikut:
1) Message (pesan) 2) People (orang) 3) Materials (bahan) 4) Device (alat) 5) Technique (teknik) 6) Setting (lingkungan) 2.9.2. Komponen Sumber Belajar
Komponen adalah bagian-bagian yang selalu ada di dalam sumber belajar, dan bagian-bagian itu merupakan satu kesatuan yang sulit berdiri sendiri sekalipun mungkin dapat dipergunakan secara terpisah. Komponen-komponen sumber belajar diantaranya adalah:
1) Tujuan, misi, atau fungsi sumber belajar.
2) Bentuk, format, atau keadaan fisik sumber belajar satu dengan lainnya berbeda-beda.
3) Pesan yang dibawa oleh sumber belajar.
4) Tingkat kesulitan atau kompleksitas pemakaian sumber belajar.
(Nana Sudjana & Ahmad Rivai, 1989).
Komponen-komponen tersebut saling berkaitan sehingga membentuk satu sistem yang menyusun sumber belajar. Setiap komponen merupakan satu kesatuan yang sulit berdiri sendiri sekalipun mungkin dapat dipergunakan secara terpisah.
Dalam penelitian dan pengembangan ini, peneliti mengembangkan sumber belajar dengan tujuan pembelajaran disesuaikan dengan KI dan KD. Bentuknya berupa majalah cetak, dengan memuat pesan berbagai rubrik yang mendukung materi dan disajikan dengan bahasa lebih mudah dipahami.
2.9.3. Pemanfaatan Sebagai Bahan Kajian Sumber Belajar Biologi
Penelitian ini dimanfaatkan sebagai bahan kajian sumber belajar biologi yang nantinya dapat diterapkan pada siswa SMA kelas XII yaitu pada pembelajaran tentang tentang prinsip-prinsip bioteknologi dan juga pada tingkat perguruan tinggi yaitu pada mata kuliah ekologi hewan.
2.9.4. Pemanfaatan Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar
Lingkungan yang ada disekitar kita bias dijadikan sebagai sumber belajar salah satunya adalah biologi (Suhardi, 2007). Dimana setiap persoalan dapat muncul dari lingkungan. Dari persoalan ataupun permasalahan yang muncul itu dapat diangkat dalam sebuah penelitian-penelitian ilmiah. Penelitian ini dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi berupa poster yang akan dijadikan bahan tambahan pengetahuan oleh siswa.
2.10. Kerangka Konsep
Kandungan unsur hara (N, P, K)
Ampas Tahu LimbahSayur
(Sawi) Ampas Tebu
Limbah Organik
Kandungan Protein: 8,66%, Lemak: 3,79%, Air: 51,63%
Abu:1,21%.
Kandungan Air:15,86%, C:13,324%, N: 0,422%, C/N: 31,57, dan pH 7.
Dimanfaatkan sebagai bahan kajian sumber belajar biologi
Kandungan mg/100g Protein: 2,3 Lemak: 0,4 Air: 92,2 Serat: 0,7
Pakan Cacing Pertumbuhan
Vermikompos
Kascing
Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Konsep
2.11. Hipotesis
Terdapat perbedaan pengaruh jenis limbah terhadap kandungan unsur hara (N, P dan K) kascing cacing tanah (Lumbricus rubellus).