Research & Learning in Education https://edukatif.org/index.php/edukatif/index
Hakikat Manusia dalam Konteks Pendidikan Islam
Elok Nawangsih1, Ghufran Hasyim Achmad2 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia1,2 E-mail : [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Membahas tentang hakikat manusia tidak akan pernah habisnya, karena banyaknya dimensi yang dibahas. Jika seseorang tuntas memahami dimensi tentang manusia, pasti muncul dimensi yang belum tuntas dibahas. Tujuan penulisan jurnal ini untuk mengetahui hakikat manusia menurut islam, pandangan filsafat tentang hakikat manusia, bagaimana hakikat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Jenis penelitian ini menggunakan kajian kepustakaan dan menggunakan pendekatan analisis filosofis. Data primer penelitian adalah buku berjudul “Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter, sedangkan data sekunder yang digunakan adalah jurnal berkaitan dengan topik yang akan dibahas. Metode pengumpulan dengan dokumentasi, teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif analitik.
Berdasarkan data yang peroleh maka dapat disimpulkan bahwa dalam Islam Manusia meliputi dua unsur yaitu unsur jasmani dan rohani. Keduanya saling keterkaitan antar satu sama lain dan kemudian Allah berikan potensi. Dalam al- qur’an digambarkan dengan al-basyar, al-insan, al- nas, bani adam, dan al-Ins. Dalam filsafat hakikat manusia meliputi ruh, jasad, perpaduan ruh dan jasad serta eksistensinya. Manusia sebagai makhluk individu adalah setiap manusia berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh potensi. Manusia sebagai makhluk masyarakat memerlukan manusia lain.
Implikasinya, pendidikan islam harus dibangun konsep pendidikan qalbiah dan aqliah, pendidikan Islam harus melakukan pengembangan potensi, menjadi sarana proses transformasi ilmu dan budaya.
Kata Kunci: Hakikat Manusia, Individu, Masyarakat, Pendidikan Islam
Abstract
Discussing about human nature will never end, because of the many dimensions discussed. If one completely understands the dimensions of human beings, there must be dimensions that have not been thoroughly discussed. The purpose of writing this journal is to find out the nature of human beings according to Islam, philosophical views about human nature, how human nature is as individuals and members of society. This type of research uses library research, and uses a philosophical analysis approach. The primary data of the research is a book entitled "Philosophy of Islamic Education Towards Character Building, while the secondary data used is a journal related to the topic to be discussed. The method of collection is with documentation, data analysis technique using analytical descriptive analysis. Based on the data obtained, it can be concluded that in Islam humans include two elements, namely physical and spiritual elements. Both are interrelated with each other and then Allah gives potential. In the Qur'an it is described with al-basyar, al-insan, al- nas, bani adam, and al-Ins. In philosophy, human nature includes spirit, body, the combination of spirit and body and their existence. Humans as individual beings are different, because they are influenced by potential. Humans as social beings need other humans. The implication is that Islamic education must build the concept of qalbiah and aqliah education, Islamic education must develop potential, become a means of transforming science and culture.
Keywords: Human Nature, Individual, Society, Islamic Education
Copyright (c) 2022 Elok Nawangsih, Ghufran Hasyim Achmad
Corresponding author
Email : [email protected] ISSN 2656-8063 (Media Cetak) DOI : https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i2.2650 ISSN 2656-8071 (Media Online)
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk kosmis yang sangat penting, karena manusia dilengkapai dengan semua atribut dan kondisi yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban dan kapasitas mereka sebagai makhluk Allah SWT di muka bumi ini. Pembicaraan tentang manusia adalah perbincangan cara pandang kita melihat diri kita sendiri ataupun orang lain, pembahasan ini yang tidak akan pernah ada tuntasnya dan berakhir.
Membahas tentang hakikat manusia tentunya mengacu kepada sudut pandang kita dalam melihat manusia.
Hakikat mengandung makna dasar/unsur yang ada dalam suatu benda. Kajian tentang hakikat manusia sebenarnya sudah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti terdahulu. Pembahasan tentang hakikat manusia ini akan terus berlanjut, karena banyak aspek yang harus ditelaah. Jadi dengan asumsi semua orang benar-benar memahami unsur-unsur individu, harus ada aspek yang dibicarakan. Jadi pemahaman tentang hakikat dari manusia masih menjadi permasalahan sepanjang hidup. Perbincangan tentang manusia adalah suatu hal yang penting dengan tujuan agar interaksi instruktif berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Manusia dalam perspektif Islam memiliki berbagai pemikiran dari perspektif agama yang berbeda atau pembahasan manusia dalam konteks Islam berbeda dengan manusia dalam perspekti agama-agama lain. Di dalam Al-Qur’an ada banyak ditemukan penggambaran tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan mahkluk yang terbaik dan manifestasi terbaik yang dilengkapi dengan akal(Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009).
Dalam situasi ini Ibn Arabi, misalnya lebih lanjut menjelaskan tentang hakikat manusia degan mangatakan bahwa “Tidak ada makhluk Allah yang lebih baik selain manusia, yang memiliki kemampuan untuk hidup, mengetahui, berhendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir dan memutuskan atau memilih.
Konsep manusia dalam perspektif Islam merupakan gagasan pokok bagi sosiologis umat manusia yang menjadikan manusia sebagai objek formal dan material. Jadi gagasan teoritis, maka pada saat itu, kita tidak harus bertanya substansi yang membuat dan mendapatkan manusia dan mengerti dan mengetahui segala hal tentang manusia, yaitu Allah SWT, melalui Al-Qur’an yang berisi misteri tentang manusia.
Dalam beberapa tulisan atau karya juga digambarkan sangat banyak tentang manusia. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut dengan binatang yang berfikir atau makhluk yang berpikir yang menyiratkan bahwa manusia menawarkan sudut pandang berdasarkan proses berpikirnya. “manusia” adalah makhluk atau binatang yang berakal bila ditemukan dalam rujukan kata bahasa indonesia. Berdasarkan penjelasan ini, kami memahami bahawa manusia adalah makhluk yang diberi motivasi untuk berpikir sebelum bertindak dalam mencapai sesuatu sehingga mereka memiliki kendali atas makhluk lain untuk keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan hidupnya. Manusia memiliki atribut individu, namun manusia juga membutuhkan bantuan orang lain, menyiratkan bahwa manusia adalah makhluk yang sifatnya monodualisme (Sumanto, 2019).
Dilihat dari sudut pandang filsafat hakikat manusia adalah ruh, jasad serta keberadaannya. Pemahaman tentang awal mula menjadi manusia dijadikan manusia sebagai acuan atau perspektif dalam merencanakan tujuan instruktif bagi manusia. Penciptaan manusia yang mendasari ini menjadi alasan untuk mencari tahu pendidikan Islam. Mengkaji manusia dari satu dimensi, akan membawa stagnasi pemikiran tentang kapasitas manusia dari satu aspek dan menjadikan obyek statis. Manusia sendiripun sebagai pribadi keliru untuk memahaminya sendiri (Maragustam, 2018).
Dalam penelitan sebelumnya yang dilakukan oleh Alimatus Sa’diyah Alim, dengan judul Hakikat manusia, alam semesta, dan masyarakat dalam konteks pendidikan Islam. Fokus dalam penelitian ini bertujuan untuk menvari tahu esensi manusia, alam semesta dan masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam (Alimatus Sa’diyah Alim, 2019). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Siti Khasinah, 2013, dengan judul hakikat manusia menurut pandangan Islam dan Barat, dalam peneltian ini fokusnya ialah untuk mencoba menggambarkan hakikat manusia, ciri-cirinya, potensi dan pengembangan potensi yang dimilikinya yang dikaji melalui pandangan Islam dan Barat (Siti Khasinah, 2013). Sehingga penulis atau peneliti memilih untuk
mengkolaborasi kedua peneltian diatas dan hanya memilih untuk fokus pada pandangan Islam mengenai hakikat manusia baik itu manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat.
Selain itu, dalam Filsafat Pendidikan Islam yang merupakan kajian filosofis juga membahas tentang manusia yaitu kemampuan manusia agar dikembangkan dan dibimbing untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Dalam proses pendidikan harus berangkat dari ketepatan memahami siapa sebenarnya manusia. Manusia mempunyai potensi, jika seseorang salah dalam memahami potensi yang dimiliki manusia, maka akan keliru dalam menentukan strategi pendidikan. Karena manusia itu sendiri yang menjadi subyek dan obyek pendidikan.Oleh karenanya, rumusan pendidikan selalu berdasarkan tentang manusia dari berbagai dimensinya. Jika tidak, rumusan filsafat pendidikan Islam akan mandeg dan gamang dalam mencari solusi terhadap poblem pendidikan. Dengan demikian, dalam penelitian diperlukan poin permasalahan yang hendak ditemukan jawabannya, dengan tujuan untuk memahami hakikat manusia dalam pandangan Islam, hakikat manusia dalam filsafat pendidikan Islam dan manusia sebagai makhluk individu dan masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini ialah upaya untuk menggali dan mengkaji secara kritis mengenai hakikat manusia dalam perspektif Islam. Kajian ini menggunakan pendekatan analisis filosofis yang berfungsi untuk menganalisis isi melalui analisis lunguistik dan analisi konsep. Analisis linguistik penulis gunakan untuk membantu menemukan makna yang tersirat dibalik fakta, sedangkan analisis konsep membantu penulis untuk menemukan kata-kata yang dipandang penting atau kunci yang memiliki gagasan (Ghufran Hasyim Achmad, 2021).
Penelitian ini merupakan penelitan.kepustakaan (library research), penelitian ini tidak perlu terjun ke lapangan, tapi cukup memanfaatkan dari beberapa sumber kepustakaan sebagai sumber peneltian (Hamzah, 2020). Peneltian ini dilakukan ke dalam beberapa tahap. Tahap pertama, pencarian data yang bersumber dari buku, jurnal, artikel dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan. Data primer penelitian ini Buku menggunakan beberapa buku yang berkaitan dengan topik pembahasan, salah satu yang menjadi rujukan ialah buku Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter yang ditulis Maragustam.
Sedangkan data sekunder yaitu jurnal- jurnal yang berkaitan dengan hakikat manusia. Tahap kedua, adalah analisis data, analisis data yang digunakan ialah metode analisis isi (Sandu Siyoto & M.Ali Sodik, 2015).
Metode pengumpulan data penulis gunakan dalam penelitian ini dengan cara dokumentasi, yakni dengan mengumpulkan buku. Penulisan ini memakai analisis deskriptif analitik yaitu dengan menyimpulkan sesuatu objek, pemikiran gambaran secara sistematis, faktual yang berhubungan dengan apa yang penulis analisis.
Dalam analisis deskriptif analitik, penulis menggunakan piranti analisis isi, refleksi, induksi dan deduksi, komparasi dan analisis model Huberman dan Miles yaitu koleksi data, reduksi data, display data dan verifikasi data. Maka setelah data dianalisis, kemudia dibuatkan simpulan dari hasil analisis data tersebut (Mestika Zed, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Manusia merupakan makhluk Allah yang unik serta unggul di bandingkan dengan makhluk lainnya.
penciptaan manusia bukan hanya sebagai pelengkap atau kebetulan saja, melainkan tugas utama diciptakan manusia adalah untuk menyembah sang khalik-Nya. Selain itu, manusia diciptakan untuk mengolah serta memanfaatkan kekayaan alam dan isinya yang ada di dunia, agar manusia hidup makmur dan sejahtera.Manusia diciptakan meliputi unsur jasad (materi) dan ruh (immateri). Keduanya saling keterkaitan dan tidak mungkin dipisahkan antar satu sama lain dan kemudian Allah berikan potensi.
Pendidikan itu sendiri secara praktis memainkan peran utama dalam perubahan keberadaan atau kehidupan manusia. Sedikit menyinggung rangkaian pengalaman umat manusia, tentu sangat terlihat perkembangan yang terjadi pada manusia. Potensi manusia berupa akal yang baik digunakan untuk berpikir, bernalar dan memecahkan suatu masalah dalam kehidupan, tentunya membuat manusia untuk membuat dan menemukan solusi yang tepat dalam menangani masalah tersebut. Hal ini merupakan indikasi yang nyata dari akal manusia dalam memperoleh informasi setiap saat, manusia memiliki komponen yang tepat dalam memperoleh informasi dari seseorang seseorang yang digunakan sebagai sumber perspektif informasi kepada masyarakat luas khususnya sistem pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan manusia dewasa kepada anak- anak, orang-orang yang lebih tua kepada yang lebih muda dan sebaliknya untuk dapat memberikan arahan, pengajaran, peningkatan moral dan pelatihan intelektual sesama manusia baik itu secara individu dan kelompok(Ayu Lika Rahmadani & Ghufran Hasyim Achmad, 2022).
Pendidikan Islam dalam merumuskan teori harus berdasarkan konsep hakikat tentang manusia. Hal ini penting dalam pendidikan islam, karena jika belum jelas tentang hakikat manusia, pendidikan islam tidak ada arah tujuannya. Bahkan pendidikan Islam tidak bisa dipahami secara sempurna sebelum memahami hakikat manusia terlebih dahulu.Jika pendidikan Islam menekankan pada pembentukan pribadi manusia yang beribadah, berakhlakul karimah.Maka yang terbentuk adalah manusia yang taat beribadah dan mengabaikan kemajuan dan ilmu teknologi. Begitu juga sebaliknya, jika pendidikan Islam memfokuskan pembentukan khalifah, bisa menguasai ilmu pengetahuan, namun tidak mengibangi dengan fungsi sebagai hamba Allah, maka manusia bisa pandai dalam hal ilmu pengetahuan tetapi dia lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah yaitu mengabdi kepada Allah.
Implikasi penting konsep tersebut sebagai berikut: pertama, hakikat manusia terdiri dari unsur materi dan immateri. Maka pendidikan islam harus dibangun pada pengembangan pendidikan qalbiah dan aqliah sehingga bisa melahirkan makhluk pintar secara intelektual dan terpuji secara perilaku atau moral. Kedua, Al- Qur’an sudah menyebutkan fungsi penciptaan manusia sebagai khalifah. Dalam hal ini maka pendidikan Islam harus melakukan suatu usaha pengembangan potensi secara maksimal. Ketiga, pendidikan Islam harus menjadi sarana bagi proses transformasi ilmu dan budaya (Miftah Syarif, 2017).
HAKIKAT MANUSIA DALAM ISLAM
Penciptaan manusia meliputi dua unsur, yaitu ruh dan jasad. Ruh dan jasad tidak bisa kita pisahkan, karena keduanya saling keterkaitan yang menyempurnakan dalam penciptaan manusia. Ruh menghidupi unsur akal (kekuatan dalam berfikir), hati (kekuatan dalam meyakini) dan nafs (kekuatan dalam merasakan atau mendorong) serta jasad (fisik). Tujuan Allah memberikan potensi kepada manusia adalah supaya manusia bisa memerankan tugasnya sebagai hamba Allah dan sebagai Khalifah yang akan mengelola alam ini. Asal usul manusia terbagi dua, yaitu: (1) Adam yang merupakan nenek moyang, (2) manusia biasa yang merupakan keturunan dari Adam(Maragustam, 2018).Al-qur’an menjelaskan proses diciptakan manusia dengan dua tahap. pertama, tahap primordial, pada tahap ini Adam diciptakan dari al-tin (tanah). surah (QS. Al- An’am:
2):Allah menciptakan kalian dari tanah, kemudian ditentukan ajal kematian.
Manusia selanjutnya diciptakan dari shalshal, yaitu tanah liat yang kering, sebagai komponen dalam penciptaan nabi Adam.seperti firman Allah (QS. Al-Hijr: 26: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat yang kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Kemudian penciptaan manusia melalui proses biologi yaitu pada manusia keturunan Adam. Dilihat dari proses biologi manusia diciptakan dari inti sari tanah menjadi air mani (nuthfah) kemudian disimpan pada suatu tempat tersembunyi (rahim). Lalu nuthfah ini membentuk darah beku (‘alaqah) menggantung dalam rahim. Darah beku lalu membentuk segumpal daging (Mudghah) yang terbalut tulang berulang, kemudian Allah perintahkan kepada malaikat untuk ditiupkan ruh (Harisah, 2018). Sebagimana yang dijelaskan dalam hadis Bukhari & Muslim berikut:Rasulullah SAW adalah orang yang jujur serta benar, bersabda: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibu kalian, selama empat puluh hari berupa nuthfah (air
mani), lalu menjadi alaqah (segumpal darah), lalu menjadi mudghah (segumpal daging) kemudian Allah perintahkan malaikat untuk meniupkan ruh dan mencatat 4 ketentuan, yaitu: rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Demi Allah, zat tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya diantara kalian ada beramal dengan amalan penghuni syurga sehingga jarak antara dia dan syurga hanya sehasta (dari siku hingga ujung jari), kemudian takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga masuklah dia ke Neraka. Ada juga diantara kalian yang beramal dengan amalan penghuni neraka hingga jarak antara dia dengan neraka hanya sehasta. Lalu takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli syurga, diapun masuk syurga. (HR. Bukhari & Muslim).
Al-qur’an menyebutkan manusia beberapa penyebutan diantaranya: al- basyar, al- insan, al-nas, dan bani Adam : Pertama, Al- Basyar, Manusia jika dilihat dari konsep al-basyar merujuk kepada manusia secara lahiriyahnya. Kata al-basyar ditunjukkan oleh Allah untuk semua manusia baik laki- laki maupun perempuan, dan di tunjukkan juga untuk setiap Rasul-Nya. Kepada rasul diberikan wahyu oleh Allah, sedangkan manusia tidak diberikan wahyu(Ramayulis, 2015).Kata al-basyar adalah jamak dari kata basyarah artinya kulit kepala, wajah atau tempat tumbuhnya bulu(Maragustam, 2018). Penamaan al-basyar merujuk kepada biologis identik manusia dengan kulitnya, sedangkan hewan lebih identik dengan rambut atau bulunya. Al-basyar juga mengandung arti mulamasah, yakni bersentuhnya kulit antara laki- laki dan perempuan. Manusia selaku makhluk biologis mempunyai sifat kemanusiaan, contohnya: makan, minum, tidur, kebutuhan akan sex dan lain sebagainya. Manusia jika lihat dari sudut basyarah merujuk ke aspek lahirnya yang mengalami pertumbuhan, untuk itu manusia membutuhkan makan dan minum dalam pertumbuhan dirinya.
Kedua, Al-Insan, Manusia jika dinisbahkan kepada kata insan, nasiya, dan al uns/ anisa berarti manusia dilihat dari aspek mental spiritualnya(Maragustam, 2018). potensi yang diberikan Allah kepada manusia.
Potensi yang Allah berikan yaitu kemampuan bertumbuh secara fisik dan kemampuan bertumbuh dan berkembang secara mental. Al- insan menggambarkan sifat harmonis, lemah lembut dan pelupa(Syahputra, 2020).Sebagaimana yang di sebutkan dalam firman Allah. Dan jika manusia kami berikan satu rahmat (nikmat), lalu rahmat itu kami ambil kembali, pasti dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih (QS.
Hud: 9). Kata al-insan juga menggambarkan sifat dari manusia, baik sisi kelebihan dan kelemahannya.firmanAllah dalam surah Asy-Syuura: 4: Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu hanya menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila manusia diberi satu rahmat, pasti dia bergembira ria. Dan jika mereka ditimpa kesusahan karema perbuatan mereka sendiri (maka mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia sangat ingkar kepada nikmat.
Dari penjelasan firman Allah tersebut, dapat kita pahami bahwa manusia dilengkapi dengan sifat manusiawi baik postif maupun negatif. Untuk itu, dalam melakukan aktivitasnya harus senantiasa berpedoman pada ajaran Islam.
Ketiga, Al- Nas, Penyebutan manusia dengan nama al-Nas merujuk kepada eksistensi manusia sebagai makhluk bermasyarakat. Manusia diciptakan berpasangan. Manusia sebagai makhluk sosial senang berkelompok. Selaku makhluk sosial, manusia selalu memerlukan orang lain. Manusia bagian dari masyarakat diharapkan dapat memberi manfaat bagi sesamanya. Sebagaimana hadist Nabi mengatakan Kebermanfaatan bagi orang lain tampaknya memang diprioritaskan dalam agama konsep al-nas ini menggambarkan kemampuan manusia dalam mengendalikan diri di kehidupan sosial, sehingga bisa memberikan manfaat.
Keempat, Al- Ins, Al-ins persamaan kata dari al-jin dan al-nufur. Menurut Quraish Shihab, al- ins berarti senang, jinak, dan harmonis, atau dari akar kata nasiya berarti lupa, serta akar kata naus yang artinya bergerak.
Jika dikaitkan dengan jin (makhluk yang tak terlihat) manusia secara jelas nampak dilihat. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak terlihat mata. Makna Al-Ins juga diartikan dengan al-nufur karena manusia adalah makhluk jinak. Makna jinak disini merujuk makna kejiwaan seperti: ramah, senang dan lainnya.Konsep al-ins dapat juga kita pahami jin dan manusia Allah ciptakan hanya untuk beribadah. Dalam QS. Az-Zariyat; 56 Allah berfirman bahwa:Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku”.
Berdasarkan ayat di atas, manusia merupakan seorang pengabdi kepada Allah. Oleh karenanya, semasa hidupnya manusia harus memikirkan hakikat dari dirinya. Manusia selama hidupnya harus selalu menyadari hakikat itu. Manusia harus selalu menjadi seorang pengabdi kepada Allah secara istiqomah dengan ketaatan.
Kelima, Bani Adam, Al-qur’an mengisyaratkan dengan Bani Adam karena manusia adalah keturunan nabi Adam, disebut Bani Adam supaya tidak terjadi kesalahfahaman dengan teori Charles Darwin yang mengatakan manusia merupakan hasil evolusi kera. Menurut al-Thabathaba’i penggunaan kata bani Adam menjelaskan pengertian manusia secara universal. Manusia sebagai bani adam ada anjuran yang harus diikuti, seperti: berbudaya sesuai dengan apa yang ditentukan Allah, contohnya manusia berpakaian untuk menutup auratnya. Mengingatkan agar manusia tidak terpedaya dengan buju rayu syaitan untuk melanggar perintah Allah. Mengolah serta memanfaatnkan semua isi alam ini untuk menguatkannya dalam beribadah kepada Allah. Semua ini merupakan cara Allah untuk memuliakan keturunan Adam dibandingkan dengan makhluk yang lain(Syarif, 2017).
Al-Qur`an didalmnya juga tertuang penjelasan mengenai manusia yaitu manusia sebagai makhluk yang berlapis-lapis yang memiliki posisi yang penting dan terhormat. Bagaimanapun sebelum menganalisis terkait dengan kedudukan, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang manusia dan keberadaan dan tugasnya.
Manusia memiliki tugas dan kewajiban yang diberikan Allah SWT sebagai hamba dan khalifah di muka bumi, dalam hal ini harus berhubunga dengan sejarah dan menghasilkan keinginan yang membuat mereka untuk berimajinasi dengan nilai-nilai transendensi. Manusia mempunyai kedudukan sebagai hamba dan khalifah yang didalamnya terdapat nilai-nilai ketuhanan sebagai hamba Allah di muka bumi. Setiap manusia memiliki hubungan yang seimbang dan memiliki rasa tanggung jawab dan bekerja sama untuk merawat bumi. Manusia dengan alam merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur terhadap apa yang telah diperoleh dan yang telah diberikan Allah SWT, dan menjadikan alam sebagai sajadah atau tempat ibadah untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta (Anwar Sutoyo, 2008). Membahas tentang mansuia, di dalam Al-Qur’an terdapat pada QS.al-Baqarah (2) ayat 30, dalam ayat ini menggambarkan percakapan atau dialog antara Allah dan malaikat pada waktu Allah akan menciptakan Nabi Adam As: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui(Departemen Agama RI, 2014).
M. Quraish Shihab juga memberikan penejelasan terkait dengan kata khalifah yang terdapat pada QS.al- Baqarah (2) ayat 30, Ia mengungkapkan bahwa kata khalifaf pada dasarnya adalah yang menggantikan atau ada yang datang sesudah siapa yang datang. Dengan demikian, sebagian orang memahami kata khalifah disini adalah orang yang menggantikan Allah dalam menegakkan dan memutuskan sesuatu hal, bukan berarti dalam hal ini Allah SWT tidak mampu atau memposisikan manusia sebagai Tuhan. Tidak! Maksud dari hal terseburt Allah adalah untuk menguji manusia dengan memposisikan manusia sebagai makhluk yang terhormat. Jadi Allah menciptakan manusia dan memnberikan manusia dengan tugas sebagai kghalifah dan untuk megembankan perintah sesuai dengan penjuk-Nya.
Hal tersebut memilki dua unsur yang berkaitan yaitu unsur internal atau unsur horizontal artinya unsur yang mengarah dan yang berkaitan antara manusia, alam semesta dan sesama manusia. Dalam hubungan horizontal ini mengacu pada hubungan antara sesama manusia, dan alam semesta, bahwa Allah telah memberikan kehidupan di dunia sehingga upaya dan semua dari upaya itu dijadikan sebagai ibadah kepada Allah, karena Allah tidak melarang manusia untuk melakukan kegiatan dan tidak hanya mengejar akhirat semata, namun antara dunia dan akhirat harus berjalan beriringan (Anwar Sutoyo, 2008). Firman Allah dalam Surah Qashashas (28) ayat 77: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Departemen Agama RI, 2014). Dan unsur vertikal yang merupakan unsur yang berkaitan atau berhubungan dengan seperti menjalankan tugas sebagai khlaifah dan menjalankan sesuia dengan apa yang telah diperintahkan.
Dalam konteks sebagai hamba Allah, manusia harus memahami betul terhadap status dirinya sebagai hamba. Dalam hal ini menusia harus memposisikan dan menyadari bahwa dirinya dimilki, tunduk dan patuh serta mengetahui bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang menjalakan perintah yang diberikan Allah.
Manusia sebagai hamba Allah adalah tujuan utama Allah menciptakan manusia, maksud dari pernyataan tersebut ialah manusia berkewajiban untuk menguraikan setiap usaha dan kegiatannya sebagai penyerahan diri kepada Allah, melalui kegiatan untuk mengelolah alam semesta dengan potensi yang dimilkinya. Hal tersebut dikuatkan dengan penjelasan di dalam QS. al-Dzariyat (51) ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku (mengabdi kepada-Ku).
M. Quraish Shihab dalam mengartikan Liya`Buduun dari ayat diatas bahwa hal ini bukan berarti agar supaya mereka itu beribadah atau mencintai, atau agar Allah disembah atau dimuliakan. Pemaknaan atau signifikan semacam ini dianggap tidak masuk akal atau hal yang mutahil dikarenakan Allah tidak membutuhkan sesuatu dan Allah memilki sesuatu. Jadi dari sini secara umum dipahami bahwa Allah menciptakan manusia dan menjadikan manusia sebagai khalifah ialah untuk beribadah kepda-Nya dan ibadah yang dikerjakan manusia manfaatnya kembali pada manusia itu sendiri bukan untuk Allah, yang terpenting adalah menjalankan perintah yang telah diberikan (Anwar Sutoyo, 2008).
HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat manusia dalam filsafaf pendidikan Islam terdapat empat mazhab atau aliran filsafat diantaranya; Pertama, Aliran Serba Zat atau materi. Aliran ini mengatakan bahwa apa yang benar-benar ada hanyalah zat atau materi. Alam adalah materi, dan manusia adalah komponen dari alam. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah zat atau materi. Karena materi berada di dunia, maka pandangan ini cenderung indentik dengan sifat duniawi dan tidak percaya pada sifat rohani. Aliran ini menyatakan bahwa jasad adalah hakikat manusia yang sebenarnya (Abdul Khobir, 2010). Kedua, Aliran Serba Roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di dunia adalah roh. Sedangkan zat adalah manifestasi dari Roh. Alasan dari aliran ini adalah roh itu lebih berharga dan lebih tinggi nilainya dari pada materi. Dengan demikian, aliran ini menganggap roh itu adalah hakikat sedangkan badan penggerak dari roh. Ketiga, Aliran Dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing- masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung sama lain. Jadi badan tidak berasal dari roh, dan roh tidak berasal dari badan. Antara badan dan roh terjadisebab akibat keduanya saling berpengaruh, artinya apa yang terjadi di satu pihakakan mempengaruhi di pihak yang lain. Aliran ini menganggap hakikat manusiadari unsur roh dan jasad, keduangnya saling keterkaitan. Keempat, Aliran Eksisitensialisme. Aliran ini berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan keberadaan sebagai manusia.
Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyuluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut pandang sebagai zat dan roh atau dualisme, tetapi dari segi keberadaannya dan tujuan dari apa dia diciptakan (Jalaludin & Abdulah, 2014).
Ada dua aliran dalam perkembangan pemikiran Islam mengenai pendidikan Islam. Pertama, aliran fatalism, paham ini mengatakan bahwa pada hakikatnya kehendak, potensi, dan perbuatan manusia itu sebenarnya diciptakan oleh Tuhan. Manusia sekedar pelaksana dari kehendak Tuhan (Maragustam, 2010).
Pandangan ini mempunyaiimplikasi negatif terhadap pendidikan, yaitu manusia akan bersifat pasif dan tidak berusaha untuk memecahkan masalah, mereka hanya menunggupenyelesaiannya dari luar atau dari pencipta- Nya. Kedua, aliran Free act, pahamini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan berkuasa atas potensi-potensinya, namun kebebasan manusia bukanlah mutlak. Aliran ini mempunyai implikasi positif
terhadap pendidikan, yaitu manusia menjadi lebih aktif dalam kehidupannya. Karena manusia yakin potensi yang dimilikinya bisa terus dikembangkan dengan usaha- usaha yang dilakukan.
Selain perkembangan penalaran diatas, ada juga pendangan dari beberap tokoh pemikiran Islam tentang hakikat manusia. Seperti Menurut Ibn ‘Arabi bahwa tidak ada mahluk Allah SWT yang luar biasa dibandingkan manusia. Allah memberikan sifat-sifat rahbaniyah yang membuat manusia hidup, mengetahui, memahami dan memutuskan sesuatu (Ramayulis, 2008). Ibn Arabi menyebut manusia sebagai insan kamil dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang ideal dalam segi bentuk dan pengetahuan. Kesempurnaan dalam segi wujud atau bentuk, ditunjukan dengan fakta bahwa manusia adalah indikasi terbaik dari gambran (tajalli) Tuhan. Sedangkan kesempumaan dari segi pengetahuan, karena manusia itu telah mencapai tingkat kesempurnaan yang paling tertinggi, yakni pemahaman khusus tentang esensinya dengan Tuhan, atau dikenal dengan makrifat yaitu suatu level atau maqam tertinggi dalam hal pencarian kebenaran dalam perjalan spiritualnya sebagai manusia. Makrifah (tahap puncak atau kondisi mencari kebenaran defenitif dalam diri manusia), hal ini dimulai dengan mengenal dan memahami karakter dirinya karena dengan kepribadiannya, maka manusia akan mengenal Tuhannya (A. Kholil, 2006). Gagasan insan kamil dari Ibn Arabi menurut Abdul Karim al-Jili dibagi dalam tiga aspek atau tingkatan, antara lain: (1) tingkat permulaan atau tingkat dasar yang memahami sifat-sifat Tuhan yang ada dalam diri manusia; (2) at-tawasutatau tingkat menengah yang berhubungan dengan kebenaran kasih Tuhan, jika pada tataran yang mendasarinya untuk memahami sifat- sifat Tuhan, padatahap ini setingkat lebih tinggi jika adanyaadanya pengetahuan lebih yang diberikan oleh Tuhan; (3) al-Khitam, secara khusus memiliki pilihan untuk memahami gambaran Tuhan secara utuh dan memiliki pilihan untuk mengetahui setiap takdir yang akan datang (Rizal, 2020).
Hal tersebut, sebagaiman yang diungkapkan oleh al-Ghazali bahwa manusia merupakan manifestasi atai ciptaan Allah SWT yang mengandung komponen-komponen termasuk jasmani dan rohani. Disyariatkan bagi manusia untuk mahir dalam menggunakan unsur rohaninya, jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya.
Hal inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Namun, jika unsur jasmaninya yang dominan maka manusia akan kehilangan substansinya sebagai manusia (Ramayulis, 2008).
Al-Ghazali mengungkapkan bahwa akal merupakan salah satu sudut atau assek fundamental dalam diri manusia dikarenakan akal sebagai instrument berpikir yang telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan eksistensinya sebagai manusia. Berdasarkan potensi dan tingkat akalnya, sebagaimana yang diungakpakan oleh al-Ghazali bahwa ada dua karakterisasi akal yaitu praktis dan teoritis. Akal praktis berguna untuk mengungkapkan atau mengkomunikasikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak (Almuharrikat) serta menjadikannya sebagai aktual. Akal praktis berguna untuk membangkitkan dan menggerakan anggota tubuh terhdap suatu aktivitas. Pengetahuan yang berasal dari akal praktis, sebagain besarnya hanya terbatas apa yang secara khusus benar-benar ada dengan mempertimbangkan realitas yang ada. Penyelidikan lebih lanjut dari gagasan pengetahuan itu sendiri berubah menjadi uapaya dan tugas atau penjelasan dari akal teoritis (Fuadi, 2016).
Muhammad Al Naquib Al Attas bahwa manusia adalah bentuk-bentuk rasional yang memiliki kesatuan penalaran dalam istilahAql yang berkaitan dengan al Hayawan al Natiq. Natiq diartikan sebagai bentuk rasional, dimana manusia juga memiliki akal yang mampu merumuskan berbagai makna (dzu natq).
Perumusan makna tersebut akan melibatkan penilaian, perbedaan, dan penjelasan, yang pada akhirnya akan membentuk rasionalitas. Istilah Natiq dan Natuq merupakan satu kesatuan yang bertujuan untuk merangkai lambang bunyi dan menghasilkan suatu makna. Selanjutnya istilahAql pada dasarnya berarti sebagai suatu ikatan atau simbol atau lambang yang mengandung makna sifat batiniah yang mengikat dan menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan kata-kata.
Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an, manusia memiliki sifat ganda yaitu jiwa dan raga, yang bersifat jasmani dan rohani fisik. Manusia memiliki dua jiwa yaitu jiwa rasional yang merupakan jiwa yang kedudukan yang tinggi (al-Nafs al Natiqah) dan yang mrmilik tingkatan yang rendah adalah jiwa hewani (al- Nafs al-Hayawaniah). Selain itu, dalam diri manusia juga sudah terdapat potensi beragama yang artinya
adanya rasa ketaatan yang sempurna kepada Allah SWT dan tidak ada ketaatan yang sejati tanpa adanya sikap pasrah atau penyerahan diri. Manusia memiliki tugas dan fungsi yang kompleks dan lengkap yang merupakan bentuk upaya untuk menjalankan perannya sebagai Hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi yang harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan kemampuan yang mapan dan representatif yang berkualitas tinggi (Kemas Badrudin, 2009).
Murthada Mutahhari menggambarkan manusia dalam al-Qur’an sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya dibumi, serta sebagai makhluk semi samawi dan semi duniawi. Manusia sebagai individu telah ditanamkan fitrahnya atau gagasan untuk mengakui Tuhan, diperbolehkan untuk beriman, bertanggungjawab terhadap dirinya dan alam semesta. Selanjutnya, manusia diberi kemaslahatan untuk menguasai alam semesta, langit, dan bumi. Manusia dikaruniai potensi yang berpotensi mendorong dan menuntyun hal-hal yang baik dan buruk. Manusia pada awalnya lemah dan tidak memiliki kepasitas, kemudian menjadi kuat, tetapi itu tidak akan menghapus kecemasan mereka kecuali manusia itu dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Batasan kapasitas manusia tidak terbatas, baik kapasitas belajar maupun dalam menerapkan pengetahuan. Manusia memiliki naluri kebansawan dan martabat yang motivasi dalam berbagai hal. Itulah sebabnya mengapa manusia diperbolehkan untuk memanfaatkan nikmat dan karunia yang diberikan oleh Tuhan d sekligus menusia menunaikan kewajibannya kepada Tuhan. Akan tetapi, seringkali manusia melupakan bahwa dirinya adalah sebagai hamba Allah, sehingga muncul sifat dan sikap yang sewenang- wenangnya dan egois.
Mutahhari (2005) mengungkapkan bahwa ruh manusia terdiri dari 5 aspek, yakni potensi berfikir ilmiah atau mencari realitas, potensi moralitas yang mendalam atau pencapaian sesuatu yang bermanfaat, potensi religious atau beragama ataupun beribadah, potensi keindahan atau seni dan keterampilan atau keahlian; dan, potensi untuk menjadi inovatif atau menghasilkan sebagai bentuk realitas diri. Hal yang sama disampaikan oleh Holilah (2010) bahwa manusia diciptakan dalam kondisi fitrah yang dilahirkan dengan karakter yang siap menerima agama (Ramayulis, 2008).
HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Manusia dikatakan makhluk individu terdiri dari unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis. Lahir dengan sejumlah potensi yang dimilikinya, yang menjadikan dia makhluk unik dan berbeda dengan makhluk lainnya. Sebagai makhluk individu berkonsep setiap manusia berbeda- beda, wajah boleh sama, rambut boleh sama hitam tapi fikiran tetap berbeda. Ini berdasarkan dari potensi atau bakat yang ditanamkan sejak lahir.
Misalnya si A yang mahir dalam pendidikan agama belum tentu mahir dalam matematika, atau si B mahir dalam pendidikan matematika belum tentu juga dia mahir agama. Perbedaan ini bukan untuk saling menyalahkan antar satu sama lain, melainkan untuk saling melengkapi antara sesama manusia.
Kedudukan manusia di alam ini dikaitkan dengan konsep ibadah dan khalifah. Manusia dilihat dari konsep ibadah ada tanggung jawab dirinya dengan peciptanya yaitu melaksankan semua perintah Allah yang bernilai ibadah. Ibadah tidak hanya terbatas hablun minallah (kepada Allah), tetapi juga hablun minannas (hubungan manusia). Manusia sebagai individu memikul kewajiban terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab dirinya sebagai individu harus memenuhi kebutuhan individunya seperti makan, minum, hak untuk membela diri dan lain sebagainya. Manusia sebagai khalifah, tentunya manusia sebagai pemimpin di dunia ini, yang bertugas untuk menjaga dan mengelola dengan baik. Manusia juga dikatakan makhluk monodualis, artinya manusia juga sebagai makhluk sosial bagian dari masyarakat
Sebagai makhluk bersosial tidak bisa hidup sendiri, meskipun mempunyai kedudukan yang tinggi dan harta yang melimpah, karena memang sudah kodratnya manusia saling memerlukan satu sama lain. Sebagai makhluk sosial tentunya harus mengetahui apa saja kewajibannya sebagai anggota masyarakat, ia di tuntut ikut serta dalam mengembangkan kehidupan bersama masyarakat. Peranan manusia sebagai makhluk sosial karena di dalam dirinya terdapat dorongan agar saling berhubungan dengan masyarakat yang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk hidup secara kelompok dengan masyarakat dan berteman dengan manusia lain.
Manusia sebagai makhluk sosial dijelaskan di al-qur’an terdiri dari berbagai suku bangsa yang dimaksudkan supaya mereka bisa hidup bersama (surah Al-Hujurat ayat 13): Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbengsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa, dan surah Al-Maidah ayat 2: Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, serta penjesalasan Al-qur’an tentang kebahagiaan manusia berkaitan dengan hubungan manusia sesama manusia (surat At- Taubah ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberii rahmat oleh Allah.
Manusia sebagai makhluk sosial harus mampu mengimplementasikan tugasnya dengan baik. Dalam Islam manusia dituntun untuk dapat mengelola sumber daya material sebagai tanggung jawab atau tugas kemanusiaan di bumi ini(Azmi, 2016).
KESIMPULAN
Hakikat mengandung makna dasar/ unsur yang ada dalam suatu benda.manusia adalah makhluk Allah yang diberi akal untuk berpikir sebelum bertindak dalam melakukan sesuatu. Dalam filsafat melihat hakikat manusia melahirkan empat aliran, yaitu: serba zat yang mengakatan hakikat manusia adalah zat berbentuk jasad. serba roh yang mengatakan hakikat manusia adalah roh sedangkan jasad hanya bayangan belaka. Aliran dualisme yang mengatakan hakikat manusia adalah perpaduan roh dan jasad. Aliran Eksistensialisme yang melihat manusia secara keseluruhan serta cara berada manusia di dunia. Dalam Islam Manusia meliputi unsur jasad (materi) dan ruh (immateri). Al- qur’an menyebutkan dalam berbagai istilah seperti al-basyar, al- insan, al-nas, bani adam, dan al- ins. Penamaan tersebut merujuk pada tanggung yang seharusnya dipikul manusia.
Manusia sebagai makhluk individu konsep setiap manusia itu unik dan berbeda- beda. Hal ini dikarenakan bakat dan potensi yang dimilikinya sejak lahir. Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan satu sama lain. Karena semua manusia cenderung berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi sesamanya.
Implikasinya, pendidikan islam harus dibangun dasar pengembangan pendidikan qalbiah dan aqliah sehingga bisa menjadikan manusia pintar secara intelektual dan terpuji secara perilaku atau moral, pendidikan Islam melakukan usaha dalam pengembangan potensi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kholil. (2006). Manusia Di Muka Cermin Ibn. Arabi (Memahami Hakikat Manusia Dengan Kacamata.Ibn Arabi). Jurnal El-Harakah, 8(3).
Abdul Khobir. (2010). Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses PendidikanHakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan. Forum Tarbiyah, 8(1), 3.
Alimatus Sa’diyah Alim. (2019). Hakikat Manusia, Aalam Semesta, dan Masyarakat Dalam Konteks Pendidikan islam. Jurnal Penelitian Keislaman, 15(2), 144–160.
Anwar Sutoyo. (2008). Manusia Dalam Perspektif Alqur`an. Pustaka Pelajar.
Ayu Lika Rahmadani & Ghufran Hasyim Achmad. (2022). Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa Tentang Religius-Rasional dan Relevansi di Era Modern. Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(2), 1804–1814.
Azmi, S. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan Merupakan Salah Satu Pengejawantahan Dimensi Manusia
Sebagai Makhluk Individu, Sosial, Susila, Dan Makhluk Religi. Jurnal Likhitaprajna, 18(1), 10.
Departemen Agama RI. (2014). Alqur`an dan Terjemahannya,. PTSygma Examedia Arkanleema.
Fuadi, A. (2016). Esensi Manusia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Jurnal Tarbiyah, 23(2), 344–
359.
Ghufran Hasyim Achmad. (2021). Refleksi Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Islam Kh. Ahmad Dahlan terhadap Problematika Pendidikan Islam. Edukatif; Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(6), 4329–4339.
Hamzah, A. (2020). Metode Penelitian Kepustakaan Library Research. Literasi Nusantara.
Harisah, A. (2018). Filsafat Pendidikan Islam.Deepublish.
Jalaludin & Abdulah. (2014). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. RajaGrafindo Persada.
Kemas Badrudin. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar.
Maragustam. (2010). Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter. Kurnia Kalam Semesta.
Maragustam. (2018). Filsafat Pendidikan Islam Menuju pembentukan Karakter. Yogyakarta : Pascasarjana FITK UIN Sunan Kalijaga.
Mestika Zed. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia.
Miftah Syarif. (2017). Hakikat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal At-Thariqah, 2(2).
Ramayulis. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia.
Ramayulis. (2015). Filsafat Pendidikan Islam. Kalam Mulia.
Ramayulis dan Samsul Nizar. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Kalam Mulia.
Rizal, D. A. (2020). Konsep Manusia Sempurna Menurut Friedrich Williams Nietzsche Dan Ibnu Arabi:
Sebuah Analisa Komparatif. Refleksi: Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam,20(1).
Sandu Siyoto & M.Ali Sodik. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Literasi Media.
Siti Khasinah. (2013). Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat. Jurnal Ilmiah Didaktif, 13(2), 296–317.
Sumanto, E. (2019). Esensi, Hakikat, Esksistensi Manusia ( Sebuah Kajian Filsafat Islam). El-Afkar Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 8(2).
Syahputra, H. (2020). Manusia dalam Pandangan Filsafat. Al-Hikmah: Jurnal Theosofi Dan Peradaban Islam,2(1).
Syarif, M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah,2(2), 135–147.