1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan sosial yang semakin maju menyebabkan modus kejahatan ikut berkembang. Era globalisasi sekarang ini selain membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif dalam hal perkembangan modus kejahatan baru yang tengah dihadapi di berbagai negara di dunia. Pelaku-pelaku kejahatan dewasa ini pun mengalami peningkatan dan pergeseran dari yang semula hanya pelaku kejahatan konvensional (kejahatan warungan) telah meningkat dan bergeser kepada para pelaku kejahatan yang berasal dari orang-orang terpandang dan berstatus sosial tinggi juga atau yang dikenal dengan
“kejahatan kerah putih” (white collar crime).1
Kejahatan kerah putih sendiri erat kaitannya dengan korupsi, yang mana banyak dibuat oleh mereka yang mempunyai intelektual dan berpendidikan tinggi. Sebagai salah satu jenis kejahatan, korupsi memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan jenis kejahatan lain. Salah satu karakteristiknya bahwa korupsi selalu berkorelasi dengan uang dan kekuasaan. Pelakunya biasanya memiliki kekuasaan, baik itu politik, ekonomi, birokrasi, hukum maupun kekuasaan yang lain.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat serius
1Wendy dan Andi Najemi, “Pengaturan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Vol. 3, No. 1, 2020, hlm, 23-24.
sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena dampak yang ditimbulkannya. Sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measure), maka dari itu sangat diperlukan peran serta dari berbagai komponen baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Meningkatnya aktivitas tindak pidana korupsi yang tidak terkendali tidak saja berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan permasalahan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara yang luar biasa.2
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah memiliki suatu ketentuan hukum yang mengatur mengenai perbuatan yang dianggap merusak bangsa dan negara baik dalam segi ekonomi dan segi moral. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi selain merugikan perorangan, namun juga merugikan perekonomian negara yang berdampak pada terhambatnya pembangunan negara ke arah yang lebih baik, peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan rakyat.3
Di Indonesia persoalan mengenai korupsi sudah merupakan hal yang lumrah bahkan sudah dapat dikatakan mengakar dalam tubuh bangsa yang
2Barda Nawawi Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), PT.
Adika Remaja Indonesia, Jakarta, 2008, hlm, 87.
3Sintia Febriani dan Sahuri Lasmadi, “Pengembalian Kerugian Negara Melalui Pembayaran Uang Pengganti”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Volume 1, Nomor 1, 2020, hlm, 2.
tercinta ini. Berbagai upaya pencegahan dan penindakan bahkan kampanye- kampanye anti korupsi telah dilakukan, tetapi hasilnya tetap saja Indonesia masih dinyatakan salah satu negara terkorup. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey yang dilakukan oleh Transparency International pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa Indonesia masih termasuk jajaran negara terkorup dengan skor Coruption Perception Index (CPI) sebesar 40, dimana Indonesia menempati peringkat ke-85 dari 180 negara yang diukur. Skor yang di dapat oleh Indonesia ini masih kalah jauh berada di bawah Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan China, bahkan di ASEAN Indonesia dikalahkan oleh Brunei Darussalam dan Malaysia.4
Persoalan korupsi bukan hanya persoalan bangsa Indonesia melainkan telah menjadi persoalan global yang menempatkan kejahatan ini sebagai salah satu fokus dunia dalam memberantasnya karena dianggap sangat mengancam stabilitas suatu negara. Karenanya pada Desember 2003 di Meksiko, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan konvensi melawan korupsi melalui United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Konvensi ini lahir sebagai perwujudan dari kekhawatiran dunia akan maraknya perbuatan korupsi dengan modus operandi yang terus berkembang dan menjadi lebih kompleks dari perbuatan korupsi yang sebelumnya telah diatur dalam hukum positif. Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Conventian Against Corruption 2003. Bagi suatu negara, meratifikasi suatu
4Transperancy International Indonesia, Corruption Perception Index (CPI) 2019, https://www.transparency.org/en/cpi/2019/results/table, (Diakses pada tanggal 2 September 2020).
perjanjian internasional berarti negara tersebut telah mengikatkan diri serta tunduk pada isi (hak dan kewajiban) yang terkandung di dalamnya.5
Praktik-praktik korupsi yang terjadi pada masa sekarang semakin berjalan menuju perkembangan dengan munculnya berbagai praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah-celah dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka dari itu dilakukan perbaikan atau perubahan terhadap peraturan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dilakukan agar celah- celah yang dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dapat tertutup dengan rapat. Proses perubahan atau pembaharuan terhadap peraturan mengenai korupsi di era reformasi ini telah mengalami perkembangan yang signifikan, seperti halnya mengenai pembuktian terbalik, perluasan alat bukti, hak negara mengajukan gugatan perdata, dan juga masalah gratifikasi.
Salah satu hal baru yang menjadi sorotan dalam pembaharuan undang- undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah diperkenalkannya istilah
“gratifikasi” sebagai bagian dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam kehidupan masyarakat gratifikasi ini lebih dikenal sebagai kegiatan memberikan sesuatu kepada seseorang dengan dilatarbelakangi sebuah maksud yang bertujuan untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Selain
5Imentari Siin Sembiring, Elly Sudarti, dan Andi Najemi, “Urgensi Perumusan Perbuatan Memperdagangkan Pengaruh sebagai Tindak Pidana Korupsi”, Undang: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2020, hlm, 61.
itu gratifikasi ini biasanya juga dikenal sebagai ucapan terima kasih yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan sesuatu.
Pemberian/hadiah dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu perbuatan yang biasa dan tidak ada hubungannya dengan perbuatan salah apalagi sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Tapi lain halnya jika pemberian/hadiah tersebut jika diberikan pada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara dengan maksud pemberian tersebut diberikan dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat atau penyelenggara negara yang diberi hadiah, sehingga pemberian/hadiah tersebut merupakan suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat pembuat kebijakan tersebut.6 Maka tindakan pemberian/hadiah tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan.
Kegiatan atau tindakan memberikan “sesuatu” kepada seseorang dengan dilatarbelakangi sebuah maksud apabila tidak dicegah dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
6Hafrida, “Analisis Yuridis Terhadap Gratifikasi dan Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Inovatif, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 6 Nomor 7, 2013, hlm, 1.
segera melaporkannya.
Pengaturan tindak pidana gratifikasi dirumuskan dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercantum dalam Pasal 12 B yaitu:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) tersebut, yang dimaksud dengan
“gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, gratifikasi ini ikut pula mengalami perkembangan, dimana kini muncul jenis gratifikasi yang baru yaitu “gratifikasi seksual”. Seksual adalah perbuatan yang
berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.7 Berdasarkan pengertian seksual tersebut apabila dikaitkan dengan pengertian gratifikasi menurut Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka gratifikasi seksual dalam tulisan ini maksudnya adalah pemberian dalam bentuk layanan seksual yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dapat dijadikan sarana atau tempat melampiaskan hasrat seksual sebagai timbal balik dari perbuatan orang tersebut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai maksud dan tujuan dari orang yang menyuguhkan layanan seksual tersebut.
Fenomena gratifikasi seksual di Indonesia memang seperti gunung es, yaitu banyak kasus yang dipandang di dalamnya terdapat unsur gratifikasi seksual namun yang muncul dipermukaan hanya sedikit. Contoh kasus tindak pidana korupsi yang didalamnya terkandung unsur gratifikasi seksual yang dapat dikemukakan disini adalah kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Hakim Setyabudi Tejocahyono dalam memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara Tipikor Penyimpangan Bantuan Sosial (Bansos) Kota Bandung Tahun Anggaran 2009-2010.
Dari contoh kasus di atas terdapat kesulitan dalam membuktikan apakah pemberian layanan seks dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Hal ini disebabkan karena yang
7Sri Wahyuni, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Team Pustaka Phoenix, Jakarta, 2007, hlm, 782.
dimaksud dengan gratifikasi masih mencakup pemberian dalam arti luas yang berdasarkan pada penjelasan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika dikaitkan dengan makin maraknya kasus-kasus korupsi yang didalamnya terkandung unsur gratifikasi seksual maka akan menyulitkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang terindikasi adanya gratifikasi seksual tersebut. Para penegak hukum berdalih bahwa belum adanya aturan mengenai gratifikasi seksual sehingga para pejabat yang menerima gratifikasi seksual tidak dapat dijerat sanksi pidana, dan hal ini akan menimbulkan suatu ketidakjelasan hukum yang pada akhirnya akan berujung kepada ketidakpastian hukum.
Salah satu negara yang berhasil menangani persoalan korupsi dengan baik adalah negara Singapura. Tindak Pidana Korupsi di negara Singapura diatur dalam Prevention of Corruption Act (Chapter 241). Melalui penegakan hukum yang konsisten, Singapura menjadi salah satu negara dengan angka korupsi yang terendah di dunia. Faktor keberhasilan negara Singapura dalam menekan angka tindak pidana korupsi adalah melalui pengaturan sanksi pidana serta keberanian hakim dalam menafsirkan Prevention of Corruption Act (Chapter 241) terhadap kasus-kasus baru, seperti gratifikasi seksual.
Jika di Indonesia belum bisa mengambil tindakan tegas untuk menjerat para pelaku yang menerima gratifikasi seksual dikarenakan masih belum diatur secara jelas dan tegas pengaturan mengenai gratifikasi seksual
ini sebagai suatu bentuk tindak pidana korupsi. Lain halnya di negara Singapura yang sudah dengan tegas dan berani mengambil tindakan membawa kasus gratifikasi seksual ini ke depan persidangan. Salah satu contoh kasus gratifikasi di Singapura yang telah diputuskan pengadilan adalah kasus gratifikasi seksual yang diterima oleh Mantan Direktur Biro Narkotika Pusat (CNB) Singapura Ng Boon Gay.8
Ketentuan pidana tentang gratifikasi di Singapura diatur pada Pasal 5 Prevention of Corruption Act (Chapter 241), yaitu sebagai berikut:
Setiap orang yang akan melakukannya sendiri atau dalam hubungannya dengan orang lain:
(a) secara korup meminta atau menerima, atau setuju untuk menerima untuk dirinya sendiri, atau untuk orang lain; atau
(b) memberi, menjanjikan atau menawarkan secara korup kepada siapa pun baik untuk keuntungan dari orang itu atau orang lain, gratifikasi apa pun sebagai bujukan atau hadiah untuk, atau sebaliknya karena:
(i) setiap orang yang melakukan atau menahan untuk melakukan apa pun sehubungan dengan masalah atau transaksi apa pun, aktual atau yang diusulkan; atau
(ii) setiap anggota, pejabat atau pelayan dari badan publik yang melakukan atau tidak melakukan apa pun sehubungan dengan masalah atau transaksi apa pun, aktual atau yang diusulkan, yang menyangkut badan publik tersebut, akan bersalah atas suatu pelanggaran dan akan dikenakan hukuman denda tidak melebihi $ 100.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 5 tahun atau keduanya.
Negara Singapura menganut sistem hukum Common Law sedangkan Negara Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Civil Law, sehingga sistem hukum pidana antara kedua negara ini berbeda. Karena dasar perbandingan hukum pidana adalah membandingkan dua sistem hukum yang
8Detik News, Kisah Cecilia Dan Skandal Gratifikasi Seks Di Singapura, http://news.detik.com/read/2012/10/05/114713/2055367/1148/kisah-cecilia-dan-skandal-
gratifikasi-seks-di-singapura, 2012. (Diakses pada tanggal 7 September 2020).
berbeda antara negara yang satu dengan negara lain, maka Negara Indonesia dapat membandingkan pengaturan tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi seksual yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Prevention of Corruption Act (Chapter 241) Negara Singapura agar mendapatkan tolak ukur persamaan dan perbedaan mengenai pengaturan tindak pidana korupsi kedua negara tersebut.
Berdasarkan hal-hal di atas tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam suatu karya tulis ilmiah tesis dengan judul:
“PERBANDINGAN GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN SINGAPURA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan gratifikasi seksual di Indonesia dan Singapura?
2. Apa saja persamaan dan perbedaan pengaturan gratifikasi seksual di Indonesia dan Singapura?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka dapat disampaikan tujuan dari pembuatan tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan gratifikasi seksual di Indonesia dan Singapura.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis persamaan dan perbedaan pengaturan gratifikasi seksual di Indonesia dan Singapura.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana mengenai gratifikasi seksual dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para aparat penegak hukum dalam rangka memahami mengenai pengaturan tentang gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada pihak lain, hasil penelitian
ini juga dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi masyarakat terkait dengan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia.
E. Kerangka Konseptual
Supaya tidak terjadi kerancuan dalam memahami maksud yang terkandung dalam judul tesis ini, maka penulis memakai beberapa landasan sebagai konsep untuk lebih memahami apa yang diteliti dan ditulis. Adapun kerangka konseptual yang digunakan adalah:
1. Perbandingan Hukum Pidana
Perbandingan hukum sebagai disiplin hukum sekaligus sebagai cabang ilmu hukum, pada awalnya dipahami sebagai salah satu metode pemahaman sistem hukum, disamping sosiologi hukum dan sejarah hukum.
Perbandingan hukum adalah suatu studi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi-konsepsi intelektual (intellectual conceptions) yang ada di balik institusi/lembaga hukum yang pokok dari satu atau beberapa sistem hukum asing.9
Perbandingan hukum menurut Romli Atmasasmita:
“Perbandingan hukum meliputi hukum asing yang diperbandingkan, persamaan dan perbedaan antara sistem-sistem hukum yang diperbandingkan tersebut. Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan.”10
9Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Ed. Revisi, Cetakan Ke-12, PT.
Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm, 4.
10Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm, 6.
Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum ini, antara lain: Comparative Law, Comparative Jurisprudence,Foreigen Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Prancis); Rechtsvergelijking (istilah Belanda); dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman).
Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law Dengan Foreigen Law, yaitu:
a. Comparative Law
Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya;
b. Foreigen Law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.11
Selanjutnya Barda Nawawi Arief dalam bukunya mengutip pendapat Jaakko Husa yang membedakan antara “macro-comparative law” dan “micro-comparative law”. Perbandingan hukum makro (macro- comparative law), lebih fokus pada masalah-masalah atau tema-tema besar/luas, seperti masalah sistematika, penggolongan dan pengklasifikasian sistem hukum; sedangkan perbandingan hukum mikro (micro-comparative law), berkaitan dengan aturan-aturan hukum, kasus- kasus, dan lembaga-lembaga yang bersifat khusus/aktual.12
Pada intinya perbandingan hukum pidana adalah kegiatan yang dilakukan untuk membandingkan hukum pidana di suatu negara dengan negara lain yang sistem hukumnya berbeda, dengan menentukan kajian
11Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm, 3.
12Ibid., hlm, 4.
apa yang akan dibandingkan antara hukum pidana negara tersebut. Dalam penelitian ini, persoalan yang akan dibandingkan adalah pengaturan gratifikasi seksual sebagai tindak pidana korupsi antara negara Indonesia dan negara Singapura.
2. Gratifikasi Seksual
Dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma- cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah uang atau hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan, sedangkan yang dimaksud dengan “seksual” adalah perbuatan yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.13 Jadi, yang dimaksud dengan gratifikasi seksual adalah memberikan hadiah kepada pegawai berupa perbuatan yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
13Sri Wahyuni, Loc. Cit.
3. Tindak Pidana Korupsi
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan dapat penulis simpulkan, bahwa yang dimaksud dengan Perbandingan Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan Negara Singapura adalah suatu usaha yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan, untuk membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang mengatur tentang tindak pidana gratifikasi seksual sebagai upaya pembaharuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, agar gratifikasi seksual dapat diatur ke dalam suatu norma hukum menjadi suatu tindak pidana korupsi. Sehingga ada kepastian hukum mengenai pemberian layanan seks sebagai salah satu bentuk gratifikasi.
F. Landasan Teoretis
Penelitian perbandingan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Negara Singapura tidak dapat terlepas dari beberapa asas, doktrin, penelitian ilmiah, konsep, dan teori hukum yang selanjutnya berfungsi sebagai dasar dan
landasan teoretis dalam mengkaji serta melakukan analisis terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Asas hukum merupakan suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum.14 Dalam mengkaji serta menganalisis penelitian ini berpedoman kepada asas legalitas yang dalam hukum pidana mengandung pengertian bahwa “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan-ketentuan perundang- undangan pidana yang mendahuluinya”.15 Dimana pengertian asas legalitas yang lebih baku diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas ini dalam bahasa latin dikenal dengan “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya).16
Terdapat empat prinsip yang harus diperhatikan berkaitan dengan
“nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang merupakan dasar asas legalitas, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip “nullum crimen, noela poena sine lege praevia”, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah tidak boleh berlaku surutnya ketentuan hukum pidana.
2. Prinsip “nullum crimen, nulla peona sine lege scripta”, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis.
Konsekuensinya dari makna ini adalah harus tertulisnya semua ketentuan pidana. Perbuatan yang dilarang maupun pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang, harus tertulis secara expresiv verbis dalam undang-undang.
3. Prinsip “nullum crimen, nulle poena sine lege certa”, tidak ada
14M. Marwan dan Jimmy. P, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, 2009, hlm, 56.
15Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan IV, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm, 39.
16Ibid., hlm, 39-40.
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Rumusan perbuatan pidana harus jelas, agar tidak bersifat multitafsir, sehingga dapat membahayakan kepastian hukum. Dengan rumusan yang jelas, penuntut umum akan dapat dengan mudah menentukan mana perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dan mana yang bukan.
4. Prinsip “nullum crimen, noela poena sine lege sricta”, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat, agar tidak menimbulkan perbuatan pidana baru. Dengan perkataan, analogi tidak diperbolehkan dalam hukum pidana.17
Perlu pula untuk menjadi perhatian bahwa menurut Moeljatno asas legalitas itu mengandung tiga makna yaitu: Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.18
Adapun teori yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Menurut Mahfud MD menerangkan pengertian kebijakan hukum atau politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum atau kebijakan hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan
17Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Airlangga, Jakarta, 2009, hlm, 4.
18Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm, 27-28.
sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.19
Selanjutnya Satjipto Rahardjo memberikan definis mengenai politik hukum sebagai berikut:
Politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu didalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu:
a. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;
b. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut;
c. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara- cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan;
d. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.20
Padmo Wahyono menyatakan politik hukum itu sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi dari hukum yang akan dibentuk, diterapkan dan ditegaskan, dan kebijakan yang berkaitan dengan hukum yang diberlakukan masa mendatang.21 Sementara itu, C.F.G.
Sunaryati Hartono melihat politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum itu
19Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Ke-8, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2018, hlm, 1.
20Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Ke-8, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm, 398-399.
21Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm, 160.
akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.22
Dalam hukum pidana dikenal adanya kebijakan hukum pidana (penal policy) yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Tahap Formulasi (kebijakan legislatif), adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang.
2) Tahap Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial), adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan.
3) Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif), adalah tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.23
Pada tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang- undangan pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan bahkan peraturan perundang-undangan pidana itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-Undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa undang-undang mempunyai dua fungsi yaitu fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.24
22Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm, 26-31.
23Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm, 126.
24Ibid.
Kebijakan hukum pidana pada dasarnya ialah keseluruhan dari peraturan yang menetukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta bagaimana sanksi yang dijatuhkan terhahadap pelakunya dengan tujuan untuk penanggulangan kejahatan.
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau
“strafrechtspolitiek”.25 Dalam bukunya Barda Nawawi Arief mengutip pendapat dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa Penal Policy merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal Science disamping komponen yang lain seperti, “Criminologi” dan “Criminal Law”. Marc Ancel berpendapat bahwa “Penal Policy” adalah:
“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”.26
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
25Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cetakan Ke-3, Edisi Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm, 26.
26Ibid., hlm, 23.
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.27
Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Pendapat lainnya berasal dari A. Mulder, “Strafrechtspolitiek atau Penal Policy” ialah garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.28
Berdasarkan pendapat A. Mulder di atas maka dibutuhkan suatu pembaharuan hukum dilihat dari sudut pendekatan kebijakan terkait dengan pengaturan mengenai gratifikasi seksual, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa:
1) Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
27Ibid., hlm, 26.
28Ibid., hlm, 27.
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
2) Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khusunya upaya penanggulangan kejahatan);
3) Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.29
2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian memiliki arti “ketentuan/ketetapan”, sedangkan jika kata kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.30
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologi. Kepastian Hukum secara Normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara pasti dan Logis.31
Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers:
Pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai.
Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit.
Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas.
Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.32
29Ibid., hlm, 29-30.
30Sri Wahyuni, Op. Cit., hlm, 622.
31Cst Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 385.
32Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Ke-20, Kanisius,Yogyakarta, 2018, hlm, 163.
Selanjutnya Peter Mahmud Marzuki juga memberikan pendapatnya mengenai kepastian hukum yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan;
dan Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang- undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.33
Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.34
Teori kepastian hukum yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat Peter Mahmud Marzuki yang menyatakan kepastian hukum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan merupakan keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah termasuk adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.
33Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke-11, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2018, hlm, 137.
34Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm, 145.
G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang akan dipergunakan yaitu penelitian hukum normatif. Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.35
2. Pendekatan Penelitian
Suatu penelitian hukum di dalamnya terdapat beberapa pendekatan yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba dicari jawabannya. Pendekatan- pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum, yaitu:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approuch), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
b. Pendekatan kasus (case approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan historis (historical approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
d. Pendekatan komparatif (comparative approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan undang-
35Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cetakan Ke-1, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm, 87.
undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 36
Dari beberapa jenis pendekatan penelitian, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan perundang-undangan (statue approach), yaitu dengan menganalisis ketentuan-ketentuan pengaturan gratifikasi seksual dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Prevention Of Corruption Act (Chapter 241) Negara Singapura.
2) Pendekatan kasus (case approach), dilakukan untuk menganalisis putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap kasus yang terkait gratifikasi seksual, seperti pada putusan pengadilan Nomor :87/PID.SUS/TPK/2013/PN.BDG.
3) Pendekatan komparatif (comparative approach), digunakan untuk membandingkan pengaturan mengenai gratifikasi berupa pelayanan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi di negara Indonesia dengan negara Singapura, yang mana telah mengatur gratifikasi berupa layanan seksual ini dalam hukum positifnya maupun dari putusan-putusan terhadap kasus penerimaan gratifikasi berupa layanan seksual.
36Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cet. 1, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2005, hlm, 92-95.
4) Pendekatan konseptual (conceptual approach), digunakan untuk mengidentifikasi atau menetapkan konsep tertentu dalam perbandingan hukum yang dilakukan melalui pemahaman konsep, untuk kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
3. Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang dikumpulkan dalam penelitian ini di dapat dari dua sumber, yaitu:
a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.37 Dalam penyusunan tesis ini yang digunakan antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) The Statutes Of The Republic Of Singapore: Prevention Of Corruption Act (Chapter 241)
3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
37Ibid., hlm, 140.
b. Bahan hukum sekunder, meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku teks, khususnya buku-buku tentang hukum pidana, buku-buku tentang tindak pidana korupsi, buku-buku non-hukum, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel dalam berbagai majalah, komentar-komentar atas putusan pengadilan, serta sumber lainnya yang memiliki relevansi dengan apa yang diteliti.
4. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dilakukan secara runtut dan komperhensip untuk memperoleh makna yang terkandung dalam penelitian yuridis normatif, pengumpulan bahan hukum dengan Teknik:
a. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
b. Sistematisasi, [adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat].
c. Interpretasi dengan menggunakan berbagai penafsiran terhadap norma-norma hukum yang telah di sistematisasi, untuk menarik pemahaman secara utuh terhadap norma tersebut.38
Pengolahan bahan hukum penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan (inventarisasi) bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah ada kemudian dikelompokkan dan dikaji sesuai dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum.
Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut selanjutnya
38Bahder Johan Nasution, Sukamto Satoto, dan Syamsir, Buku Panduan Penulisan Tesis, Bahan Ajar, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2020, hlm, 14.
diinterpretasikan dengan menggunakan berbagai penafsiran terhadap norma-norma hukum yang telah di sistematisasi dan klasifikasi. Kemudian dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang dikemukakan oleh para ahli untuk akhirnya dianalisis secara normatif, yang berkaitan dengan perumusan norma yang mengatur mengenai gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Adapun penulisan tesis ini didasarkan pada sistematika yang sederhana dengan tujuan menjelaskan masalah yang ada, yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Untuk mendapatkan gambaran singkat materi yang akan dibahas dalam tesis ini, maka sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : berisi tentang Pendahuluan. Dalam Bab ini diuraikan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Kenseptual, Landasan Teoretis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : berisi tentang Konsep, dalam Bab ini diuraikan tentang perbandingan hukum pidana, tindak pidana korupsi dan gratifikasi.
BAB III : berisi tentang Pembahasan, terkait pengaturan gratifikasi seksual di Indonesia dan Singapura.
BAB IV : berisi tentang Pembahasan, mengenai persamaan dan perbedaan pengaturan gratifikasi seksual di Indonesia dan Singapura.
BAB V : Merupakan Bab Penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan secara keseluruhan dan jawaban dari permasalahan yang diajukan dalam tesis ini. Dalam bab ini juga berisi saran yang kiranya dapat bermanfaat terhadap permasalahan hukum yang ada setelah dilakukan penelitian ini.