• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan sangat penting di dalam pergaulan masyarakat, bahkan hidup bersama ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan sangat penting di dalam pergaulan masyarakat, bahkan hidup bersama ini"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkawinan sangat penting di dalam pergaulan masyarakat, bahkan hidup bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan merupakan sendi yang utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan negara, sebaliknya rusak dan kacaunya hidup bersama yang bernama keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya bangunan masyarakat.

Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidah-kaidah yang mengatur hidup bersama ini. Oleh karena itu harus taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung dan mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya, suami istri tidak leluasa menentukan sendiri syarat-syaratnya, melainkan terikat kepada peraturan-peraturan yang telah ditentukan.1 Peraturan yang telah ditentukan merupakan pedoman yang harus dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar. Selain itu eksistensi dari perkawinan tersebut perlu dilegalkan.2Eksistensi tersebut dengan melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Oleh karena itu perkawinan supaya dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh Undang-Undang.

Tata tertib dan kaidah-kaidah ini pula telah dirumuskan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disingkat UU No. 1 tahun 1974). Undang-undang

1Wirjono Projodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. VI, Sumur Bandung, 1974, h.8. 2Salim HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, h. 61.

(2)

ini berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No.9 tahun 1975), berlaku sebagai hukum positif di bidang perkawinan yang berlaku secara umum dan mengikat seluruh warga negara Indonesia serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) yang berlaku bagi pemeluk agama Islam di Indonesia.

Dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan menurut Pasal 2 KHI menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dari bunyi pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan arti dan tujuan dari suatu perkawinan. Arti perkawinan disini adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.3

Perkawinan menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya. Didasarkan pada Pasal 45 UU No. 1 tahun 1974, antara

(3)

orangtua dengan anak menimbulkan kewajiban orangtua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri. Menurut K. Wantjik Saleh4:

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.

Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja tetapi harus kedua-duanya. Terjalinnya ikatan lahir batin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa unsur religius atau keagamaan merupakan salah satu hal yang sangat mendasar dalam suatu perkawinan karena sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak. Kemudian ayat (2) menyebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sehingga dengan demikian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatatkan. Di samping itu terdapat syarat materiil dan syarat formil perkawinan yang harus dipenuhi karena bilamana syarat tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut dapat dicegah atau dibatalkan bilamana perkawinan sudah dilangsungkan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa : “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Perkataan seperti itu dapat ditafsirkan bahwa rukun

(4)

syarat atau adanya larangan untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat dilihat pada saat akan melangsungkan perkawinan.

Masalahnya bagaimana jika larangan itu semula tidak ada kemudian muncul setelah perkawinan. Keadaan yang demikian dapat terjadi dimana pasangan suami istri yang perkawinannya telah dilangsungkan namun kemudian digugat pembatalan perkawinan oleh pihak-pihak yang keberatan terhadap perkawinan tersebut seperti perkawinan poligami tanpa izin istri terdahulu dan izin pengadilan agama atau poliandri, perkawinan tanpa wali nikah yang sah, perkawinan karena paksaan atau perkawinan karena salah sangka. Terjadinya pembatalan perkawinan ditegaskan pula dalam Pasal 37 PP No. 9 tahun 1975 bahwa: “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan. Untuk memperoleh putusan pengadilan yang membatalkan suatu perkawinan seseorang harus beracara di muka pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya sesuatu kasus, yaitu, bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu direalisasi kalau perlu dengan pelaksanaan (eksekusi) paksa. Dengan demikian, hak-hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum materiil yang diputuskan atau ditetapkan oleh pengadilan itu dapat jalan atau diwujudkan.5

Dengan adanya putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan, maka perkawinan yang telah terjadi dianggap tidak pernah ada. Namun menurut Sution Usman Adji,6:

(5)

Meskipun suatu pembatalan perkawinan pada asasnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam hal suatu perkawinan dibatalkan tidak boleh beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi perkawinan karena terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi.

Dengan kata lain, tidak serta merta menghilangkan akibat hukum dalam perkawinan yang pernah dilaksanakan. Dibatalkannya perkawinan akan berdampak bukan hanya bagi pasangan perkawinan saja namun juga berdampak bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan perkawinan tersebut, seperti, harta benda dalam perkawinan. Apabila pembatalan dilakukan setelah mempunyai keturunan atau anak maka berdampak pula pada anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan itu.

Pada tahun 2013 silam, artis Asmirandah dan Jonas menikah tanggal 17 Oktober 2013. Sebelum menikah Jonas mualaf namun sepuluh hari setelah menikah Jonas tetap melakukan keyakinannya dan Asmirandah merasa dibohongi karena Jonas belum dapat melaksanakan janjinya, untuk itu Asmirandah mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama Depok.

Kasus pembatalan perkawinan juga dialami Jessica Iskandar namun masih dalam proses di Pengadilan. Perkawinan Jessica Iskandar secara agama diduga adalah fiktif namun sudah ada pencatatan perkawinan.

Berbeda pula, Pembatalan perkawinan pada perkawinan yang sudah putus karena kematian. Salah satu pelaku perkawinan tersebut telah meninggal namun sebelum meninggal melakukan pelanggaran terhadap syarat sah perkawinan.

Bertolak dari uraian dan kasus diatas, dipandang penting untuk diteliti secara komprehensif, maka dirumuskan dalam judul penelitian “Putusnya Perkawinan Karena Pembatalan Perkawinan”.

(6)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut :

a. Apa Dasar Pertimbangan Hakim dalam Perkara Pembatalan Perkawinan.

b. Apa Akibat Hukum Terhadap Status Anak dan Harta Benda Perkawinan dalam Perkawinan yang Dibatalkan.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan. b. Untuk menganalisis akibat hukum terhadap status anak dan harta benda perkawinan dalam

perkawinan yang dibatalkan.

4. Manfaat Penelitian

a. Penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk mengetahui gambaran secara jelas bagi praktisi hukum maupun masyarakat luas dalam hal putusnya perkawinan karena pembatalan perkawinan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi teoritis dalam rangka pengembangan pemahaman dan pendalaman dalam pengetahuan mengenai peraturan-peraturan perkawinan, khususnya mengenai pembatalan perkawinan.

(7)

5. Kajian Pustaka

a. Pengertian perkawinan.

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat, yakni, eksistensi dari institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.7

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu, pencatatan di KUA dan catatan sipil. Menurut Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis,8mengartikan perkawinan adalah Persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal.

Prof. Ali Afandi9 berpendapat bahwa: “Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan”. Disini perkawinan harus dilakukan oleh pemerintah dan segala akibatnya diatur dalam undang-undang.

K. Wantjik Saleh10 berpendapat bahwa: “Perkawinan disamping sebab-musabab yang dapat diterima oleh akal juga telah ditentukan terlebih dahulu sebab bolehnya sesuatu

7Salim HS,Loc. Cit.

8Periksa Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Cet.V,

Airlangga University Press, Surabaya, 2012, h.35.

9Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Cet. IV, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, h. 94.

(8)

perkawinan itu diputuskan atau terpaksa terputus”. Hal ini dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

b. Keabsahan perkawinan.

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku kalau perkawinan itu tidak dilaksanakan menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan, maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan UU No. 1 tahun 1974 berarti tidak sah menurut peraturan perundangan. Begitu juga kalau tidak sah menurut aturan hukum agama berarti tidak sah menurut agama.

Berbicara masalah pembatalan perkawinan tidak dapat lepas dari pembahasan keabsahan perkawinan. Oleh karena itu dalam membahas masalah pembatalan perkawinan dilihat dari syarat untuk melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan dapat benar-benar dikatakan sebagai perkawinan yang sah apabila dilangsungkan dengan memenuhi syarat yang telah disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai keabsahan perkawinan. Ayat (1) menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian ayat (2) menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kedua ayat tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Pada Pasal 4 dan 5 KHI disebutkan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat dan pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah yang termaktub dalam Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 bahwa bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

(9)

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo11:

Suatu perkawinan adalah sah bilamana memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat intern maupun syarat-syarat eksternnya”. Syarat intern, yaitu, syarat yang menyangkut pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan yaitu kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern meliputi :

1. Persetujuan kedua belah pihak;

2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun;

3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak; 4. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin kecuali bagi mereka yang agamanya

mengizinkan untuk berpoligami;

5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.

Syarat ekstern, yaitu, syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi :

1. Laporan; 2. Pengumuman; 3. Pencegahan; 4. Pelangsungan.

Apabila Soetojo Prawirohamidjojo menjelaskan syarat perkawinan terdiri dari syarat intern dan ektern, lain halnya dengan Komariah bahwa syarat-syarat perkawinan dibedakan atas syarat materiil dan syarat formil.

Syarat Materiil, yaitu, syarat mengenai orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan terutama mengenai persetujuan, ijin dan kewenangan untuk memberi ijin. Sedangkan syarat formil, yaitu, syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah.12 1. Syarat-syarat Materiil

Syarat-syarat materiil diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materiil yang absolut/mutlak dan syarat materiil yang relatif/nisbi.

Syarat materiil yang absolut/mutlak merupakan syarat-syarat yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan dengan siapapun dia akan melangsungkan perkawinan, yang meliputi :

11Soetojo Prawirohamidjojo,Op. Cit., h.39.

(10)

a. Pasal 7 ayat (1) bahwa batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun. Dalam hal terdapat penyimpangan dari batas umur tersebut dapat meminta dispensasi kepada pengadilan;

b. Pasal 6 ayat (1) bahwa perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara kedua calon mempelai;

c. Pasal 6 ayat (2) bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua.

Syarat materiil yang relatif/nisbi merupakan syarat yang melarang perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu, yaitu :

a. Larangan kawin antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 :

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

4. Berhubungan susuan, yaitu, orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

b. Pasal 9 bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk poligami karena telah memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat ditentukan;

c. Pasal 10 bahwa larangan kawin bagi suami dan istri yang telah cerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain;

d. Pasal 11 bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis jangka tunggu.

2. Syarat-syarat Formil

a. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975 bahwa pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;

b. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami/istri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan, misalnya, kejaksaan untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan Undang-Undang yang dilanggar. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai. Dalam Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 menentukan bahwa perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari ke-10 setelah diumumkan.

(11)

c. Pembatalan perkawinan.

Batalnya suatu perkawinan dalam BW diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 98. Sedangkan pada UU No. 1 tahun 1974 diatur pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28.

Walaupun dalam UU No. 1 tahun 1974 maupun peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan tidak menjelaskan akan pengertian pembatalan perkawinan, namun pengertian pembatalan perkawinan tersebut dapat diambil dari beberapa pendapat para sarjana.

Pengertian pembatalan perkawinan menurut Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukardja adalah “Pembatalan perkawinan ialah suatu perkawinan yang sudah terjadi dapat dibatalkan apabila pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, dan pembatalan suatu perkawinan tersebut hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”.13

Pengertian pembatalan perkawinan menurut Riduan Syahrani menyebutkan bahwa: “Pembatalan perkawinan ialah bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan itu dilangsungkan oleh para pihak (suami istri) atau salah satu pihak (suami dan istri) terbukti tidak memenuhi syarat-syarat untuk berlangsungnya perkawinan”.14

Dari pengertian-pengertian pembatalan perkawinan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembatalan perkawinan suatu perkawinan tersebut sudah terjadi namun dilakukan dengan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dan Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pengadilan.

13Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum menurut Islam, UUP dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya

Agung, Jakarta, 1981, h. 36.

14 Abdurrahman & Riduan Syahrani, Masalah-masalah hukum perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung,

(12)

Para ahli hukum berpendapat bahwa tiap perkawinan hanya dapat dinyatakan “vernietigbaar” (dapat dibatalkan), artinya, bahwa perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim atas dasar-dasar yang diajukan oleh penuntut yang ditunjuk oleh undang-undang. Jadi perkawinan tidak dapat dinyatakan “nietigbaar” (batal demi hukum) karena kalau demikian halnya maka tak menjamin kepastian hukum. Pasal 85 BW dengan tegas menyatakan bahwa batalnya perkawinan hanya dapat terjadi oleh putusan hakim saja. Pembatalan ini juga disebabkan oleh sifat-sifat perkawinan (inhaerent) yang harus selalu dilangsungkan di bawah pengawasan negara. Agar perkawinan itu dapat dibatalkan, maka dengan sendirinya harus ada suatu perkawinan yang benar-benar diselenggarakan sebelumnya.15

d. Anak.

Salah satu akibat perkawinan antara suami dan istri, ialah, lahirnya anak.16 Menurut Soemiyati,17 memperoleh anak dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu, kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal). Aspek umum atau universal yang berhubungan dengan keturunan atau anak, ialah, karena anak-anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dapat menjadi penyambung keturunan seseorang dan akan selalu berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan dunia ini.

15Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan,Hukum Orang dan Keluarga, Cet. IV, Airlangga University

Press, Surabaya, 2008, h. 33.

16Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 94.

17Periksa Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan,Hukum Perceraian, Cet. II, Sinar

(13)

Kemudian menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati,18 anak merupakan hal yang diimpikan oleh setiap pasangan, bagi mereka anak merupakan karunia Tuhan yang luar biasa, dia wajib dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya.

Secara yuridis, 19kedudukan anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UU No. 1 tahun 1974, yakni, anak sah dan anak luar kawin. Demikian juga KHI Pasal 99 dan Pasal 100 hanya menyebut 2 macam kedudukan anak yakni anak sah dan anak luar kawin. Memperluas pengertian anak sah yang ditentukan dalam Pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 99 KHI menentukan bahwa anak sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. Hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Dalam BW diatur secara rinci dan tegas adanya 4 macam kedudukan anak sebagai berikut :

a. Anak Sah, yaitu, anak yang dianggap lahir selama perkawinan orang tuanya (Pasal 250 BW); b. Anak Wajar, yakni, anak yang dilahirkan di luar perkawinan orang tuanya. Istilah anak

wajar dipakai dalam dua pengertian :

1. Anak wajar dalam arti luas, yakni, semua anak luar kawin yang lahir di luar perkawinan yang sah;

2. Anak wajar dalam arti sempit, yakni, terbatas pada anak luar kawin yang diperoleh dari zinah danincest.

c. Anak Zinah, yaitu anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah yang salah satu atau kedua orang tuanya telah mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain. Anak

18Ibid.

(14)

yang lahir karena hubungan zinah (anak zinah) ini dilarang untuk diakui dan disahkan (Pasal 272 BW).

d. AnakIncest(anak sumbang), yaitu, anak yang lahir dari kedua orang tua yang oleh Undang-Undang dilarang kawin.

Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. KHI Pasal 100 menegaskan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan perdata diartikan sebagai hubungan nasabatau pertalian darah, nafkah, wali dan mewaris. Pasal 280 BW menentukan bahwa anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan bapak dan ibunya apabila bapak dan ibunya melakukan perbuatan hukum pengakuan. Namun setelah Putusan MK. No.46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin mempunyai hubungan perdata denga ibu dan keluarga ibunya serta dengan bapak biologisnya.

Anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

(15)

Sedangkan menurut Konvensi Hak Anak, “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.

e. Harta benda dalam perkawinan.

UU No. 1 tahun 1974 tidak menggunakan istilah harta kekayaan dalam perkawinan, tetapi harta benda dalam perkawinan. Hal ini berarti UU No. 1 tahun 1974 melihat harta kekayaan perkawinan itu hanya dari sisi benda materiil yang umumnya berupa barang yang berwujud. Sedang istilah harta kekayaan seperti yang dipakai BW maknanya lebih luas dibanding benda, karena harta kekayaan meliputi benda dan hak-hak kebendaan, termasuk piutang dan hak-hak kebendaan lain yang tidak berwujud.20

Pengaturan harta benda dalam perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 sudah barang tentu sangat singkat jika dibandingkan dengan pengaturan dalam BW mulai Pasal 119-198 yang mengatur hukum harta perkawinan secara rinci dan detail. Dalam Pasl 35 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri, dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.21

Pengaturan yang sangat singkat mengenai hukum harta kekayaan perkawinan dalam UU Perkawinan tidak dijabarkan dalam peraturan pelaksana PP No. 9 tahun 1975.

20Andy Hartanto,Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet. II, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, h. 59. 21Ibid.

(16)

6. Metode Penelitian a. Tipe penelitian.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif yang difokuskan pada penelitian pustaka.

b. Pendekatan masalah.

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam tesis ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conseptual Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach).

Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.22 Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) adalah pendekatan terhadap permasalahan yang dilakukan dengan mengidentifikasi dan membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, akibat hukum terhadap status anak dan harta benda dalam perkawinan yang dibatalkan dan dasar pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas.

Pendekatan konseptual (Conceptual Approach) merupakan pendekatan terhadap permasalahan dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana hukum yang terdapat di dalam literatur sebagai landasan pendukung yang ada hubungannya dengan permasalahan akibat hukum

(17)

terhadap status anak dan harta benda dalam perkawinan yang dibatalkan serta dasar pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan.

Pendekatan kasus (Case Approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas.

c. Sumber bahan hukum.

Bahan hukum yang di pergunakan dalam penulisan tesis ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu :

1. Bahan hukum primer, yaitu, hukum positif atau hukum yang berlaku di dalam wilayah suatu Negara dengan waktu tertentu yang berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Burgerlijk Wetboek, peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu, bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, karena bersifat menjelaskan, yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang berupa doktrin-doktrin, pendapat para sarjana, dan asas-asas yang berkaitan mengenai materi yang dibahas juga berupa literatur-literatur yang dapat mendukung penulisan hukum atas kasus ini.

d. Prosedur pengumpulan bahan hukum.

Dalam pengumpulan dan pengelolaan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu, diawali dengan inventarisasi (dikumpulkan) dengan cara diklasifikasikan (dikelompokkan) bahan-bahan bacaan tersebut dan akhirnya disistematisasi dengan mengkaitkan pengertian yang

(18)

ada pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok pemasalahan guna memudahkan penulisan.

e. Analisis bahan hukum.

Seluruh bahan hukum yng berhasil diperoleh dan dikumpulkan, dipilih yang relevan dengan penelitian untuk kemudian dikelompkkan menurut permasalahan, kemudian dianalisis.

Pada langkah analisa atau pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran. Pada langkah analisa ini menggunakan yuridis normatif, yaitu, melakukan penalaran atau silogisme yang bersifat deduksi yang berkaitan dengan metodologi penelitian yang diawali dari suatu pengetahuan hukum dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada kasus atau permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus.

Dalam mendapatkan jawaban yang bersifat khusus tersebut juga menggunakan penafsiran sistematis, penafsiran fungsional, dan penafsiran gramatikal. Penafsiran sistematis adalah penafsiran dengan cara melihat susunan pasal yang berhubungan dengan pasal-pasal lain dari undang-undang yang lain untuk memperoleh pengertian yang lebih sempurna. Penafsiran fungsional adalah penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan fungsi (tujuan) yang harus dipenuhi oleh undang-undang. Fungsi (tujuan) dari suatu undang-undang adalah memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Penafsiran gramatikal adalah penafsiran berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan.

(19)

f. Pertanggungjawaban sistematika.

Sistematika dalam penulisan tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang masing-masing bab terdiri atas sub-sub bab sebagai penjabaran dari pokok bahasan dari bab-bab tersebut.

Bab I : Pendahuluan. Bab ini merupakan pendahuluan yang mengawali seluruh rangkaian dan pembahasan permasalahan tesis ini secara umum serta penjelasan secara terperinci selanjutnya dijelaskan lebih lanjut pada bab-bab berikutnya, sehingga lebih tepat bila diletakkan pada awal pembahasan. Sub bab dalam bab I pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, bab ini juga berisi mengenai rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini, setelah itu terdapat sub bab mengenai tujuan penulisan yang berisi tentang tujuan ditulisnya tesis ini, sub bab manfaat penelitian yang berisi tentang manfaat yang didapat dari adanya penulisan tesis ini, sub bab kajian pustaka, sub bab berikutnya adalah metodologi penelitian yang berisi tentang metode atau cara mengadakan penelitian agar dalam penyusunan tesis ini sesuai dengan penulisan ilmiah sehingga di dalam pembahasannya diharapkan tidak menyimpang dari tata cara penyusunan suatu karya ilmiah sehingga dapat diuji dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula.

Bab II : Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan. Dalam bab ini terdapat tiga sub bab yang pada sub bab I berisikan tentang Putusnya perkawinan dan pembatalan perkawinan, pada sub bab II berisikan tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan, sedangkan pada sub bab III berisikan tentang analisa kasus dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan.

Bab III : Akibat hukum terhadap status anak dan harta benda dalam perkawinan yang dibatalkan. Dalam bab ini terdapat tiga sub bab yang pada sub bab I berisikan tentang akibat hukum terhadap kedudukan, hak dan kewajiban anak dalam perkawinan yang dibatalkan, pada

(20)

sub bab II berisikan tentang status harta benda dalam perkawinan yang dibatalkan dan pada sub III berisikan tentang analisa kasus akibat hukum terhadap status anak dan harta benda perkawinan dalam perkawinan yang dibatalkan.

Bab IV : Penutup. Pada bab ini terdiri atas simpulan dan saran. Simpulan merupakan perumuskan kembali dari jawaban masalah secara singkat sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab II dan bab III, dan saran merupakan sebagai suatu alternatif pemecahan dari permasalahan yang dibahas dalam tesis ini.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun penggunaan internet banking berguna namun bila terdapat kelemahan didalamnya maka dapat mengurangi nilai guna dari suatu internet banking .Hasil penelitian

Hal ini menunjukkan adanya karyawan yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi, karena mereka hanya sekedar bekerja dan pasif (tidak mau terlibat aktif terhadap semua

Dalam hal ini pasien telah didiagnosis perdarahan post partum dini dikarenakan menurut definisinya perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih

Dengan adanya kelima tahap tersebut siswa dapat berperan aktif dan menguasai kompetensi- kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran serta dapat melatihkan

Wawancara dengan Desbenneri Sinaga, Hakim PN Sidoarjo tanggal 17 Mei 2013.. 10 hakim berhak memberikan pertimbangan sebagai alasan pemberat bagi terdakwa. Tindak pidana

Tugas akhir dengan judul “Pengaruh Kebijakan Hutang terhadap Kepemilikan Manajerial pada Industri Manufaktur yang Terdaftar di BEI periode 2009-2011” ini

Berdasarkan jawaban responden yang terdiri dari inspektorat berbagai daerah kota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Utara diperoleh berbagai kelemahan pengendalian

Prospek pengembangan usaha pembibitan jeruk siam di Desa Bangorejo Kecamatan bangorejo Kabupaten Banyuwangi dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor internal dan