• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH NPL TERHADAP ROA DENGAN CAR DAN CKPN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI EMPIRIS PERIODE: ) TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH NPL TERHADAP ROA DENGAN CAR DAN CKPN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI EMPIRIS PERIODE: ) TESIS"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH NPL TERHADAP ROA DENGAN CAR DAN CKPN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

(STUDI EMPIRIS PERIODE: 2012-2017)

TESIS

Diajukan kepada:

Program Pascasarjana Magister Manajemen Untuk Memperoleh Gelar Magister Manajemen

Oleh:

Gabriel Ady Septianto 912014033

Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga 2018

(2)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perbankan memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi karena fungsi utamanya sebagai perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (Nusantara, 2009). Evaluasi terhadap kinerja bank sangat diperlukan dalam menjaga kondisi bank yang sehat. Kinerja bank secara keseluruhan merupakan gambaran prestasi yang dicapai bank dalam operasionalnya, baik menyangkut aspek keuangan, pemasaran, penghimpunan dan penyaluran dana, teknologi maupun sumber daya manusia.

Kinerja keuangan bank dapat diukur dengan indikator kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas.

Tujuan utama perbankan adalah mencapai profitabilitas yang maksimal, yaitu kondisi di mana bank memperoleh laba secara efektif dan efisien (Kasmir, 2000). Salah satu rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas adalah Return On Assets atau ROA. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset (Dendawijaya, 2009). Return On Assets (ROA) memfokuskan kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam kegiatan operasi perusahaan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Sehingga dalam penelitian ini ROA digunakan sebagai ukuran kinerja perbankan.

Faktor – faktor yang mempengaruhi rasio return on asset antara lain: rasio perputaran kas, rasio perputaran piutang, dan rasio perputaran persediaan.

Tingkat kecukupan modal pada penelitian ini diwakili oleh Capital Adequacy Ratio (CAR). Bank Indonesia (2003) menetapkan Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu kewajiban penyediaan modal minimum yang harus dipertahankan oleh setiap bank sebagai suatu proporsi tertentu dari total aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) sebesar 8%. Dengan ketentuan tersebut, bank wajib memelihara ketersediaan modal karena setiap pertambahan kegiatan bank khususnya yang

(3)

2

mengakibatkan pertambahan aktiva harus diimbangi dengan pertambahan permodalan 100 berbanding 8. Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) untuk dibiayai dari dana modal sendiri (Asmi, 2014). Di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang) dan lainnya (Dendawijaya, 2005).

Bank melakukan aktivitas penghimpunan dana dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat. Aktivitas ini terus berkembang seiring dengan perkembangan usaha dan dunia bisnis. Artinya, aktivitas tersebut harus disesuaiakan dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah. Semakin besar bank dapat menghimpun dana dari masyarakat, semakin besar kemungkinan bank tersebut dapat memberikan kredit dan ini berarti semakin besar kemungkinan bank tersebut memperoleh pendapatan bunga (interest income), sebaliknya semakin kecil dana yang dihimpun semakin kecil pula kredit yang diberikan, maka semakin kecil pula pendapatan bank.

Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit memiliki risiko kerugian bagi bank, risiko ini muncul jika debitur tidak dapat membayarkan kewajibannya kepada bank karena suatu alasan tertentu. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena pembayaran pinjaman atau pokok pinjaman tidak dapat dilakukan dalam waktu jatuh tempo (Haneef et al, 2012).

Rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur risiko kredit adalah Non Performing Loan (NPL), rasio ini mengukur kemampuan bank dalam meminimalkan kredit bermasalah yang dihadapi (Puspitasari, 2009).

Untuk mengantisipasi risiko tersebut bank diwajibkan membentuk dan menyisihkan dana untuk menutup risiko kerugian terhadap kredit yang diberikan kepada nasabah dalam regulasi perbankan Indonesia yang dibuat mengacu kepada PSAK 50 dan 55 untuk mengatasi kerugian risiko kerugian kredit yang terjadi akibat kemungkinan lawan transaksi (counterparty) gagal memenuhi kewajiban yang jatuh tempo, atau risiko kerugian akibat peminjam tidak dapat membayar

(4)

3

kembali seluruh atau sebagian utangnya maka bank harus menentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

CKPN berfungsi sebagai cadangan umum dan cadangan khusus untuk menutupi risiko yang terjadi karena adanya kegiatan kredit dan untuk menjaga kestabilan keuangan bank agar tetap likuid. Didalam CKPN pembentukan atau penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh masing-masing bank. Jika menurut suatu bank terdapat bukti objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami impairment (penurunan), maka bank itu harus membentuk dana yang akan digunakan sebagai cadangan atas kredit tersebut.

CKPN sangat penting bagi bank untuk menjaga kestabilan keuangan karena fungsinya untuk mengantisipasi risiko kerugian aktiva produktif sebab risiko kerugian aktiva produktif menjadi salah satu faktor kunci penyebab bank mengalami krisis keuangan. Selain itu apabila dalam menetapkan besaran CKPN terjadi kesalahan, bank juga bisa mengalami kerugian karena aktiva yang seharusnya produktif dan dapat menghasilkan laba, berubah menjadi aktiva non produktif karena disimpan menjadi CKPN. Maka setiap bank harus benar-benar cermat dalam menyisihkan kredit debitur mana yang memerlukan CKPN. Hasil evaluasi kredit debitur didasarkan kepada keputusan masing- masing bank, oleh karena itu setiap bank memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan dana untuk kreditnya namun kebijakan bank tersebut tidak boleh melenceng dari beberapa kriteria yang terdapat dalam PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) setelah adanya revisi PSAK 55.

Setiap bank harus memiliki modal yang sering dikenal dengan istilah Modal Inti. Modal Inti adalah modal yang terdiri dari modal yang disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba atau keuntungan usaha setelah pajak. Selain itu, modal inti juga terbentuk dari laba atau keuntungan usaha yang diperoleh oleh bank dari hasil usahanya setelah diperhitungkan pajak. Setiap bank wajib memiliki modal inti sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini penting, karena menyangkut tingkat keamanan dan kekuatan bank tersebut dalam menghadapi berbagai masalah mau pun gejolak dalam operasional. Sejak 2012, Bank Indonesia telah

(5)

4

mengeluarkan aturan yang mengelompokan Bank ke dalam 4 (empat) kategori khusus. Aturan ini kemudian diperbaharui oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Secara garis besar, aturan dimaksud untuk mengatur mengenai pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha sesuai dengan besarnya modal inti. Pengelompokan ini dikenal dengan istilah Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Aturan ini juga berlaku untuk bank umum, bank umum syariah, dan unit usaha syariah1.

Sebagai pengguna jasa perbankan, setiap orang pasti ingin memiliki mitra yang dapat diandalkan dari sisi keamanan bertransaksi mau pun menyimpan dana. Diantara pilihan tersebut, bank yang berkategori BUKU 3 dan BUKU 4 merupakan pilihan yang paling cocok. Dengan permodalan yang lebih kuat, bank BUKU 3 dan BUKU 4 dinilai lebih sehat dan memiliki risiko bisnis yang lebih rendah. Untuk mengetahui keamanan dari bank terdapat pada informasi laporan keuangan tahunan mau pun siaran pers yang pernah dikeluarkan oleh bank dapat digunakan untuk mengetahui pilihan bank yang bergolong BUKU 3 dan BUKU 4. Perbedaan yang dimiliki dari setiap BUKU akan menentukan perbedaan layanan jasa perbankan yang dapat diberikan dan juga keharusan untuk memenuhi beberapa ketentuan lainnya. Dengan dukungan modal yang kuat, bank BUKU 3 dan BUKU 4 dapat memberikan pilihan layanan yang lebih beragam sehingga kegiatan perencanaan keuangan dapat terlaksana dengan lebih baik.

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan Return On Asset (ROA) sebagai proksi dari profitabilitas bank pun menunjukkan hasil yang berbeda–beda (Sudiatno & Suharmanto, 2011).

Berdasarkan penelitian yang diteliti oleh Prasnanugraha (2007), Non Performing Loan (NPL) menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif terhadap ROA. Purnamadewi (2010) juga meneliti bahwa NPL berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap variabel Return on Asset (ROA) . Hasil penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh

1detikfinance, diakses pada 11-04-2017 pukul 07.15

(6)

5

Nusantara (2009), Putri (2013), dan Hardiyanti (2012) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan negatif NPL terhadap ROA. Penelitian tentang NPL oleh Kusumaranny (2012) dan Elya (2016) menemukan hasil berpengaruh positif terhadap CKPN. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Shidiq (2010) yang menyatakan bahwa NPL berpengaruh tidak signifikan terhadap CKPN

Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat profitabilitas bank.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini akan mempelajari pengaruh NPL terhadap ROA dengan CKPN dan CAR sebagai variabel intervening pada BUKU 3 dan BUKU 4. Secara spesifik, penelitian ini akan mempelajari hal-hal sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh NPL terhadap ROA?

2. Seberapa besar pengaruh CAR terhadap ROA?

3. Seberapa besar pengaruh CKPN terhadap ROA?

4. Seberapa besar pengaruh NPL terhadap CAR?

5. Seberapa besar pengaruh NPL terhadap CKPN?

6. Seberapa besar pengaruh NPL terhadap ROA melalui CAR?

7. Seberapa besar pengaruh NPL terhadap ROA melalui CKPN?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menguji signifikansi pengaruh tingkat NPL terhadap ROA.

2. Menguji signifikansi pengaruh tingkat CAR terhadap ROA.

3. Menguji signifikansi pengaruh tingkat CKPN terhadap ROA.

4. Menguji signifikansi pengaruh tingkat NPL terhadap CAR.

5. Menguji signifikansi pengaruh tingkat NPL terhadap CKPN.

(7)

6

6. Menguji signifikansi pengaruh tingkat NPL terhadap ROA melalui CAR.

7. Menguji signifikansi pengaruh tingkat NPL terhadap ROA melalui CKPN.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan mempelajari faktor-faktor yang memiliki pengaruh terhadap Profitabilitas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

 Bagi Industri Perbankan: Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan bidang keuangan terutama dalam rangka memaksimumkan kinerja perbankan sehingga aktiva produktif yang dimiliki dapat dimaksimalkan dengan baik serta dapat meminimalkan kredit yang memiliki kemungkinan gagal bayar sehingga bank tersebut dapat terus bertahan dan dapat menghasilkan return yang terus meningkat.

 Bagi Regulator: Memberikan kontribusi kepada Bank Indonesia selaku regulator perbankan dalam melakukan pengawasan stabilitas perbankan, khususnya kualitas kredit.

 Bagi Akademisi: Memberikan kontribusi pada literatur di Indonesia serta dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya, khususnya mengenai faktor-faktor dan pentingnya CKPN bagi Profitabilitas Perbankan Indonesia.

(8)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pentingnya Peran Perbankan dalam Ekonomi

Apabila setiap individu pemilik dana dapat bertemu dengan mudah dengan pemilik proyek yang membutuhkan dana, transaksi jual beli aset dapat dilakukan tanpa biaya, dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan tersedia secara sempurna, maka keberadaan lembaga keuangan tidak akan dianggap terlalu penting. Namun tidak demikian kenyataan yang ada. Lembaga keuangan memiliki peran yang sangat vital dalam menyediakan informasi pasar, meningkatkan efisiensi transaksi, dan menegakkan kepatuhan pada perjanjian antara kedua belah pihak penabung (saver) dan peminjam (borrower) (Oldfield &

Santomero, 1997).

Kelancaran sistem keuangan berpengaruh terhadap tingkat simpanan (saving rates), keputusan investasi, inovasi teknologi, dan pada akhirnya tingkat pertumbuhan jangka panjang (Levine, 2004). Agar pertumbuhan ekonomi yang baik dapat tercapai, perlu adanya efisiensi dalam proses penyaluran dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana untuk dimanfaatkan dalam proyek-proyek produktif. Oleh karena itu, sistem keuangan yang baik menjadi penting (Allen & Carletti, 2008). Penyaluran dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana dapat dilakukan melalui dua jalur.

Pertama, melalui pasar keuangan (financial market) yang terdiri dari pasar uang, pasar obligasi, dan pasar saham. Kedua, melalui bank dan lembaga intermediasi lainnya seperti reksadana, perusahaan asuransi, dan dana pensiun (Allen & Carletti, 2008).

Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa sistem keuangan bank-based lebih unggul dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang, karena dapat mengurangi asimetri informasi dan biaya transaksi.

Pendapat lain menyatakan bahwa sistem keuangan market-based lebih baik karena unggul dalam penyediaan informasi bagi investor, pengawasan perusahaan, dan pembuatan kontrak- kontrak keuangan yang fleksibel. Kelompok ini menyatakan bahwa sistem keuangan market-based lebih baik dalam

(9)

8

mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang dibandingkan dengan sistem keuangan bank-based. Namun data pada penelitian Levine (2002) tidak menunjukkan bukti yang mendukung kedua pendapat di atas. Perbedaan struktur keuangan tidak menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang antar negara. Dalam penelitian ini, faktor yang ditemukan memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi adalah level perkembangan sistem keuangan secara keseluruhan, yaitu gabungan antara sektor perbankan dan pasar modal (Levine, 2002). Di sisi lain, terdapat pula penelitian yang memperoleh kesimpulan bahwa jenis struktur keuangan berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi (Arestis, Luintel, & Luintel, 2005).

Terlepas dari perdebatan yang ada, bank tetap memegang peranan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi (Levine, 2002; Levine, 2004). Berikut adalah beberapa peran bank dalam ekonomi;

1. Informasi dan Alokasi Modal

Pemilik dana meminjamkan dana kepada peminjam (borrower) dengan harapan memperoleh pengembalian yang setimpal atas risiko investasi yang diambil. Individu pemilik dana biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai alternatif investasi. Hal ini dapat menghambat aliran dana kepada proyek-proyek yang menghasilkan. Dalam kondisi demikian, lembaga intermediasi keuangan seperti bank berperan penting dalam mengumpulkan dan memproses informasi sehingga alokasi sumber daya dapat dilakukan dengan lebih baik (Levine, 2004).

2. Pengawasan dan Tata Kelola Perusahaan

Pemilik dana ingin dapat mengawasi penggunaan dana oleh perusahaan peminjam serta mempengaruhi keputusan- keputusan yang diambil agar selalu bertujuan memaksimalkan nilai perusahaan. Adanya sistem yang memungkinkan terwujudnya hal tersebut akan meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya oleh perusahaan serta meningkatkan kesediaan penabung untuk membiayai kegiatan produksi dan inovasi. Tanpa adanya lembaga intermediasi, pemilik dana harus melakukan pengawasan

(10)

9

sendiri yang tentu saja sulit dan membutuhkan biaya besar.

Di sini, bank berperan menjalankan fungsi pengawasan dan menjaga tata kelola perusahaan yang baik tetap terjaga dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan apabila dilakukan oleh masing-masing pemilik dana. Oleh karena itu, keberadaan bank meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan (Levine, 2004).

3. Risiko Investasi

Risiko dapat ditekan dengan melakukan diversifikasi namun tidak mungkin dihilangkan seluruhnya. Bahkan setelah dilakukan diversifikasi aset, masih terdapat kemungkinan adanya peristiwa yang mempengaruhi kondisi ekonomi secara makro sehingga seluruh aset terkena imbas.

Di sini, bank berperan mengurangi risiko yang harus ditanggung oleh individu melalui intertemporal smoothing.

Hal ini dilakukan dengan menyimpan cadangan ketika tingkat pengembalian aset bank sedang tinggi untuk digunakan pada saat tingkat pengembalian aset menurun.

Dengan demikian, bank dapat membayarkan pengembalian yang relatif konstan kepada nasabah pemilik dana (Allen &

Carletti, 2008).

4. Penghimpunan Dana

Proses penghimpunan dana dari pemilik dana yang berbeda-beda untuk kemudian diinvestasikan kepada sebuah proyek membutuhkan biaya transaksi. Selain itu, terdapat asimetri informasi yang mempengaruhi keyakinan pemilik dana untuk meminjamkan dananya. Dengan adanya bank, biaya transaksi untuk mengumpulkan dana yang berada di tangan banyak individu dapat ditekan dan asimetri informasi dapat dikurangi (Levine, 2004).

5. Proses Pertukaran

Sebelum uang dikenal, orang memperoleh barang atau jasa kebutuhannya dengan cara barter. Dengan adanya uang sebagai alat tukar, biaya transaksi yang semula tinggi menjadi lebih rendah. Selanjutnya, biaya transaksi terus menurun dengan adanya lembaga intermediasi. Dengan adanya bank, masyarakat dapat melakukan transaksi-

(11)

10

transaksi keuangan dengan lebih mudah dan lebih murah (Levine, 2004).

2.2 Kegiatan Usaha Bank Umum

Bank Indonesia mengatur mengenai perbankan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Pada pasal 6, Bank Indonesia menyebutkan kegiatan- kegiatan yang menjadi usaha bank umum yaitu sebagai berikut:

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

2. Memberikan kredit.

3. Menerbitkan surat pengakuan hutang.

4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.

6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.

7. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.

8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.

11. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.

12. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai

(12)

11

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

13. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- undang tentang Perbankan dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Selanjutnya, pada pasal 7 Bank Indonesia menjabarkan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dilakukan oleh bank umum di luar kegiatan yang telah disebutkan pada pasal 6 yaitu sebagai berikut:

1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

2.3 Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor berdasarkan Modal Inti Bank

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor berdasarkan Modal Inti Bank yang berlaku pada tanggal 2 Januari 2012 mengatur mengenai cakupan kegiatan usaha dan pembukaan jaringan kantor sesuai dengan Modal Inti Bank yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan nasional.

(13)

12

Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain:

A. Umum

1. Bank hanya dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan kantor sesuai dengan modal inti yang dimiliki.

2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Umum Konvensional dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (Kantor Cabang Bank Asing – KCBA)

B. Pengaturan Kegiatan Usaha Bank

1. Berdasarkan modal inti yang dimiliki Bank dikelompokkan dalam 4 kelompok usaha (Bank Umum Kelompok Usaha – BUKU) sebagai berikut:

a. BUKU 1, Bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 Triliun;

b. BUKU 2, Bank dengan modal inti Rp 1 Triliun sampai dengan kurang dari Rp5 Triliun;

c. BUKU 3, Bank dengan modal inti Rp 5 Triliun sampai dengan kurang dari Rp30 Triliun;

d. BUKU 4, Bank dengan modal inti di atas Rp 30 Triliun.

2. Cakupan produk dan aktivitas yang dapat dilakukan BUKU sebagai berikut:

I. Bank Umum Konvensional

a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah, kegiatan pembiayaan perdagangan, kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit, dan jasa lainnya, dalam Rupiah. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan valuta asing terbatas sebagai pedagang valuta asing

(14)

13

b. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas dalam rupiah dan valuta asing dengan cakupan yang lebih luas dari BUKU 1. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan treasury terbatas mencakup spot dan derivatif plain vanilla serta melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan didalam negeri;

c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 25% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri terbatas di kawasan Asia.

d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 35% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri dengan cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international world wide).

II. Bank Umum Syariah

a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah, serta kegiatan pembiayaan perdagangan, kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan, dan jasa lainnya, dalam Rupiah berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan dalam valuta asing terbatas sebagai pedagang valuta asing.

b. BUKU 2 hanya dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas dalam Rupiah dan valuta asing dengan cakupan yang lebih luas dan berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. BUKU 2 dapat

(15)

14

melakukan kegiatan treasury terbatas mencakup transaksi spot dan kegiatan treasury dasar lainnya berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, serta melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan syariah di dalam negeri;

c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 25% pada lembaga keuangan syariah di dalam dan di luar negeri terbatas di kawasan Asia;

d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 35% pada lembaga keuangan dalam dan luar negeri dengan cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international world wide).

3. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah mengacu pada kegiatan usaha Bank Umum Syariah sesuai dengan kelompok BUKU dari Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya; dan untuk kegiatan-kegiatan usaha tertentu yang tidak termasuk produk atau aktivitas dasar bank syariah (kegiatan usaha Bank Umum Syariah BUKU 1) hanya dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

4. Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan penyertaan kepada Bank Umum Syariah sebesar 5%

dari modal Bank atau lebih, diberikan tambahan batasan penyertaan sebesar 5% dari modal Bank sehingga batasan penyertaan modal pada BUKU 2 paling tinggi sebesar 20% dan BUKU 3 sebesar 30%

dari modal Bank.

5. Bank dalam semua BUKU wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif termasuk kredit atau pembiayaan kepada UMKM dengan target tertentu, yaitu:

(16)

15

a. BUKU 1 paling rendah 55% dari total kredit atau pembiayaan;

b. BUKU 2 paling rendah 60% dari total kredit atau pembiayaan;

c. BUKU 3 paling rendah 65% dari total kredit atau pembiayaan;

d. BUKU 4 paling rendah 70% dari total kredit atau pembiayaan

6. Pengecualian kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif diberikan kepada Bank yang memfokuskan diri untuk membiayai kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat paling kurang 75%

dari total kredit atau pembiayaan.

7. Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk melakukan produk/aktivitas tertentu yang bukan merupakan cakupan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi, antara lain penerbitan structure product, penerbitan surat utang ekuitas dan kegiatan jasa sistem pembayaran.

C. Pengaturan Jaringan Kantor

1. Persyaratan pembukaan jaringan kantor adalah Tingkat Kesehatan Bank dan alokasi modal inti (Theoretical Capital – TC) sesuai lokasi dan jenis kantor Bank.

2. BUKU 3 dapat membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor lainnya didalam dan luar negeri terbatas di kawasan Asia. Sedangkan BUKU 4 dapat membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor lainnya di wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international world wide).

3. Dalam perhitungan ketersediaan modal inti untuk jaringan kantor, Bank Indonesia menetapkan:

a. pembagian zona berdasarkan tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan;

b. koefisien masing-masing zona; dan

c. biaya investasi pembukaan jaringan kantor Bank untuk masing-masing BUKU.

(17)

16

4. Bank wajib menyediakan alokasi modal inti yang cukup bagi seluruh jaringan kantor yang dimiliki bank. Dalam hal Bank tidak memiliki ketersediaan alokasi modal inti yang cukup, Bank tidak dapat melakukan pembukaan jaringan kantor yang baru sampai terpenuhinya peningkatan modal untuk mencukupi alokasi modal inti yang dibutuhkan. Bank masih dapat dipertimbangkan untuk membuka jaringan kantor yang baru apabila bank menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada UMKM minimal 20%

atau UMK minimal 10% dari total kredit atau pembiayaan bank serta terdapat upaya pemupukan modal yang dilakukan bank.

5. Dalam menentukan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka, selain pertimbangan TKS, alokasi modal inti, pangsa UMKM/UMK dan pemupukan modal, Bank Indonesia akan mempertimbangkan:

a. Memberikan insentif tambahan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka bagi Bank yang memiliki ketersediaan alokasi modal inti yang cukup dan menyalurkan kredit UMKM paling rendah 20%

atau UMK paling rendah 10%.

b. Pencapaian efisiensi bank.

6. Ketersedian alokasi modal inti tidak diberlakukan bagi:

a. Pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional khusus penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UMK;

b. Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya.

7. Dalam rangka perimbangan penyebaran jaringan kantor, Bank dalam BUKU 3 dan BUKU 4 yang membuka jaringan kantor di Zona 1 atau Zona 2 dalam jumlah tertentu wajib diikuti dengan pembukaan jaringan kantor di Zona 5 atau Zona 6 dengan jumlah tertentu. Kewajiban ini dikecualikan bagi bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh

(18)

17

Pemda yang melakukan pembukaan kantor di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya.

D. Rencana Tindak (Action Plan)

1. Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan usaha, kegiatan valuta asing, penyertaan, dan pemenuhan kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan produktif paling lambat akhir bulan Maret 2013.

2. Rencana tindak yang telah disetujui Bank Indonesia tersebut, akan dijadikan acuan bagi Bank dalam merevisi RBB yang disampaikan paling lambat akhir bulan Juni 2013.

3. Jangka waktu untuk melakukan penyesuaian produk, aktivitas, dan penyertaan paling lama akhir Juni 2016.

Sedangkan bagi BPD jangka waktu penyesuaian paling lambat Juni 2018.

E. Perlakuan Pengawasan terhadap Bank yang mengalami penurunan Modal Inti

Bank yang mengalami penurunan Modal Inti sehingga mengalami penurunan BUKU selama 3 bulan berturut-turut wajib menyusun rencana tindak yang dapat berupa penghentian kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan BUKU atau menambah modal. Bank diberikan jangka waktu 1 tahun untuk menyelesaikan pelaksanaan action plan tersebut.

F. Pengenaan Sanksi kepada Bank

Pengenaan sanksi kepada Bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah yaitu teguran tertulis, penurunan peringkat Tingkat Kesehatan, larangan pembukaan jaringan kantor dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu

G. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, beberapa peraturan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yaitu:

1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.5/10/PBI/2003 tanggal 11 Juni 2003 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Penyertaan

(19)

18

Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4296).

2. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa.

3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, pada saat berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini yang mengatur mengenai kegiatan valuta asing bagi Bank.

2.4 Kegiatan Penyaluran Kredit Bank

Dalam kegiatan pengelolaan kredit, bank kerap kali melakukan kesalahan yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari. Berikut adalah beberapa kesalahan yang perlu dihindari oleh bank agar potensi timbulnya kredit bermasalah sedapat mungkin diminimalisasi (Behrens, 1983):

Kesalahan mengidentifikasi jenis entitas debitur : Bentuk legal perusahaan debitur merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui oleh pihak bank karena menentukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh debitur, siapa yang berhak mengajukan dan menyetujui permohonan kredit ke bank, serta siapa yang berhak mengagunkan aset milik perusahaan sebagai jaminan kredit ke bank.

Tidak mengumpulkan informasi yang lengkap dan memadai sebelum mengambil keputusan kredit : Ketika bank mengalami kredit bermasalah, hampir dapat dipastikan ketiga faktor ini terjadi – (1) informasi yang dimiliki tidak lengkap, (2) bank tidak melakukan analisis yang tepat atau memadai atas informasi yang diperoleh, dan (3) bank tidak mampu

(20)

19

mengenali adanya kelemahan pada proposal kredit yang diajukan oleh debitur.

Tidak membuat kesepakatan mengenai pembayaran angsuran dan pelunasan kredit : Hal utama bagi bank dalam menyalurkan kredit adalah bagaimana debitur dapat mematuhi kewajiban-kewajibannya terkait dengan kredit yang diperoleh. Kesalahan yang tidak jarang dilakukan oleh bank adalah lebih banyak menaruh perhatian pada jaminan namun tidak membuat kesepakatan khusus mengenai pelunasan kredit.

Tidak mengawasi pemanfaatan kredit yang diberikan : Bank harus mengawasi terus menerus pemanfaatan kredit oleh debitur untuk memastikan bahwa dana digunakan sesuai dengan tujuan yang disepakati.

Dengan demikian, penyelewengan seperti penggunaan dana kredit untuk kepentingan pribadi atau proyek-proyek spekulatif dapat dihindari.

Bank tidak memverifikasi nilai jaminan: Ketika menerima aset jaminan dari debitur, bank sering kali menerima begitu saja nilai evaluasi aset yang diinformasikan tanpa melakukan verifikasi ulang.

Kesalahan berikutnya adalah bank tidak melakukan evaluasi ulang secara berkala atas nilai aset tersebut.

Akibatnya, pada saat terjadi kredit macet dan bank melakukan penjualan aset jaminan, ternyata hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi tunggakan kredit.

2.5 Bank dan Risiko 2.5.1 Pengelolaan Risiko

Dalam melakukan kegiatannya, bank tidak lepas dari risiko.

Pengertian risiko menurut Peraturan Bank Indonesia No.

11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events) tertentu. Terdapat beberapa

(21)

20

hal yang menjadi alasan mendasar mengapa manajemen risiko menjadi sangat penting bagi bank dan institusi keuangan pada umumnya (Oldfield & Santomero, 1997):

1. Kepentingan Manajerial : Manajer memiliki keterbatasan untuk melakukan diversifikasi investasi pada perusahaannya sendiri karena terbatasnya kekayaan serta konsentrasi pengembalian sumber daya manusia perusahaan. Hal ini mendorong manajer untuk menghindari risiko dan menginginkan stabilitas.

2. Kepentingan Pajak : Semakin rendahnya volatilitas pendapatan kena pajak menyebabkan beban pajak yang harus dibayarkan akan semakin rendah pula.

3. Biaya Financial Distress : Saat perusahaan mengalami financial distress, akan timbul biaya-biaya akibat terjadinya hal tersebut. Antara lain semakin tingginya biaya untuk memperoleh pinjaman modal serta menurunnya produktivitas pegawai.

4. Ketidaksempurnaan Pasar Modal : Dengan adanya ketidaksempurnaan informasi di pasar modal, perusahaan yang tidak menunjukkan kepastian kinerja akan mengalami kesulitan dalam memperoleh pembiayaan eksternal dan apabila ada akan dikenai biaya modal yang tinggi.

Menurut Oldfield & Santomero (1997), secara umum risiko dapat dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan metode mitigasinya:

1. Risiko yang dapat dihilangkan atau dihindari : Beberapa cara yang dapat dilakukan bank untuk menghilangkan risiko yang dihadapi adalah standarisasi proses, diversifikasi, reasuransi, dan sindikasi.

2. Risiko yang dapat dialihkan ke pihak lain : Apabila bank tidak memiliki keunggulan komparatif untuk mengelola risiko yang ada, maka akan lebih baik apabila risiko tersebut dialihkan kepada pihak lain.

Bank dapat melakukan hal ini melalui kontrak swap atau jual beli financial claim (Santomero, 1997).

(22)

21

3. Risiko yang harus dikelola sendiri : Terdapat dua jenis aset atau kegiatan di mana risiko yang terkandung di dalamnya harus diserap atau dikelola sendiri oleh bank. Jenis pertama adalah aset atau kegiatan keuangan yang mengandung risiko yang kompleks dan sulit dijelaskan kepada pihak ketiga.

Jenis kedua adalah risiko yang berkaitan dengan fungsi atau kegiatan utama bank. Dalam menghadapi kedua jenis kegiatan di atas, bank harus menyerap risiko yang ada dan melakukan pengawasan dan pengelolaan yang efisien atas risiko tersebut (Santomero, 1997).

2.5.2 Tipe-tipe Risiko Perbankan

Bank dalam melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan tidak dapat lepas dari risiko. Santomero (1997) menyebutkan terdapat enam tipe generik risiko yang dihadapi bank yaitu risiko sistematik atau risiko pasar, risiko kredit, risiko counterparty, risiko likuiditas, risiko operasional, dan risiko legal.

Bank Indonesia dalam PBI No. 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum membedakan risiko menjadi sembilan tipe yaitu risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik, dan risiko kepatuhan.

Untuk dapat lebih memahami mengenai tipe-tipe risiko yang dihadapi oleh bank, di bawah ini diberikan pengertian masing-masing risiko tersebut di atas baik secara umum (Santomero, 1997) maupun secara khusus (PBI No.

11/25/PBI/2009):

1. Risiko Sistematik/Pasar: Risiko perubahan nilai aset akibat faktor-faktor sistematik seperti perubahan kondisi ekonomi. Risiko ini tidak dapat dihilangkan dengan cara diversifikasi. Dalam dunia perbankan, dua jenis risiko sistematik yang paling berpengaruh adalah tingkat suku bunga dan kondisi nilai tukar mata uang (Santomero, 1997). Definisi risiko pasar menurut Bank Indonesia adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi

(23)

22

derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.

2. Risiko Kredit: Risiko debitur tidak melakukan kewajiban-kewajibannya kepada bank baik karena tidak mampu maupun karena tidak mau/itikad buruk.

Bagi bank, kondisi keuangan debitur dan nilai jaminan yang diikat merupakan hal yang sangat penting. Risiko kredit dapat dikurangi dengan melakukan diversifikasi namun tidak dapat dihilangkan seluruhnya karena terdapat bagian yang dipengaruhi oleh risiko sistematik (Santomero, 1997).

3. Risiko Counterpart : Risiko terjadinya pelanggaran kesepakatan oleh rekan bisnis bank. Hal ini dapat disebabkan terjadinya pergerakan harga yang merugikan akibat faktor-faktor sistematik sehingga rekan bisnis melanggar perjanjian untuk melakukan kewajibannya atau terjadinya hambatan-hambatan dari sisi politik atau hukum yang sebelumnya tidak diantisipasi oleh bank (Santomero, 1997).

4. Risiko Likuiditas: Risiko kekurangan dana yang dapat disebabkan oleh kejadian-kejadian tak terduga seperti penghapusbukuan bernilai besar atau krisis mata uang nasional. Karena begitu pentingnya mitigasi risiko likuiditas bagi bank, likuiditas dianggap sebagai suatu aset. Secara lebih spesifik, Bank Indonesia mendefinisikan risiko likuiditas sebagai risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktifitas dan kondisi keuangan bank.

5. Risiko Operasional: Risiko kegagalan bank dalam memproses, menyelesaikan, menerima, atau menyampaikan layanan secara akurat, termasuk di dalamnya kesalahan pencatatan, kerusakan sistem pemrosesan, dan kepatuhan terhadap berbagai peraturan atau ketentuan yang berlaku (Santomero,

(24)

23

1997). Dalam pengertian risiko operasional menurut Bank Indonesia, diperhitungkan pula kejadian atau faktor eksternal bank yang mempengaruhi kelancaran operasional bank.

6. Risiko Legal: Munculnya undang-undang baru atau perubahan peraturan pajak maupun peraturan- peraturan lain dapat menyebabkan permasalahan pada transaksi yang sebelumnya telah berjalan dengan baik. Hal ini merupakan tipe pertama dari risiko hukum yang dihadapi oleh bank. Tipe kedua adalah kemungkinan penipuan, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran hukum oleh jajaran manajemen maupun pegawai bank (Santomero, 1997).

7. Risiko Reputasi: Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank (Bank Indonesia, 2009).

8. Risiko Stratejik: Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis (Bank Indonesia, 2009).

9. Risiko Kepatuhan: Risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang- undangan dan ketentuan yang berlaku.

2.6 Risiko Kredit

Risiko kredit merupakan risiko yang kerap menjadi pemicu permasalahan perbankan di seluruh dunia. Oleh karena itu, risiko kredit perlu dikelola dengan baik. Bank harus mengelola eksposur risiko kredit keseluruhan portfolio dan juga risiko masing-masing individu debitur serta transaksi kredit. Bank juga perlu menaruh perhatian atas hubungan antara risiko kredit dengan risiko-risiko lainnya serta perubahan-perubahan kondisi ekonomi dan lingkungan lainnya yang dapat berpengaruh pada penurunan kualitas kredit (Basel Committee, 2000).

Aktivitas pemberian kredit atau pinjaman merupakan sumber terbesar risiko kredit bank. Di samping itu, risiko kredit juga ditemui dalam berbagai aktivitas dan instrumen keuangan

(25)

24

lainnya seperti transaksi antar bank, trade financing, dan transaksi mata uang asing (Basel Committee, 2000).

Untuk memberikan panduan bagi bank-bank dalam mengelola risiko kredit, Basel Committee for Banking Supervision mengeluarkan Principles for the Management of Credit Risk (September 2000). Panduan tersebut berisi tujuh belas prinsip dasar dalam pengelolaan risiko kredit yang secara umum mengatur empat area yaitu :

1. Lingkungan risiko kredit yang memadai 2. Proses pemberian kredit yang baik

3. Proses administrasi, pengukuran, dan pengawasan kredit yang baik

4. Pengendalian risiko kredit

Bank Indonesia juga mengatur pengelolaan risiko kredit dalam PBI No. 11/25/PBI/2009. Dalam peraturan tersebut, bank diwajibkan untuk melakukan mitigasi risiko kredit dengan membentuk cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).

Berkaitan dengan kewajiban pembentukan cadangan tersebut, Bank Indonesia mengatur penilaian kualitas aktiva dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

Aktiva produktif yang dimiliki bank dibagi ke dalam lima kategori dan bank diwajibkan untuk membentuk cadangan sebesar persentase tertentu untuk masing-masing kategori tersebut. Berdasarkan peraturan Bank Indonesia No.

8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005, penggolongan kolektabilitas kredit dapat diukur melalui ketepatan pembayaran kembali pokok dan bunga yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

(26)

25

Tabel 2.1 Day Past Due Pembayaran Kredit Kolektibilitas Day Past Due (hari) Keterangan

1 0 hari Lancar

2A 1 hari – 30 hari Dalam Perhatian Khusus

2B 31 hari – 60 hari Dalam Perhatian Khusus

2C 61 hari – 90 hari Dalam Perhatian Khusus

3 91 hari – 120 hari Kurang Lancar 4 121 hari – 180 hari Diragukan

5 > 180 hari Macet

Kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas aktiva adalah prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar. Berikut kelima kategori kualitas aktiva pada Tabel 2.1:

1. Lancar: Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit. Bank diwajibkan membentuk cadangan sebesar 1% (satu perseratus) dari nilai aktiva kategori Lancar.

2. Dalam Perhatian Khusus: Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari. Bank diwajibkan membentuk cadangan sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai aktiva kategori Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan.

3. Kurang Lancar: Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga lebih dari 90 hari sampai dengan 120 hari.

Bank diwajibkan membentuk cadangan sebesar 15%

(lima belas perseratus) dari nilai aktiva kategori Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan.

4. Diragukan: Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga lebih dari 120 hari sampai dengan 180 hari.

Bank diwajibkan membentuk cadangan sebesar 50%

(lima puluh perseratus) dari nilai aktiva kategori Diragukan setelah dikurangi nilai agunan.

5. Macet: Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga lebih dari 180 hari. Bank diwajibkan membentuk

NPL

(27)

26

cadangan sebesar 100% (seratus perseratus) dari nilai aktiva kategori Macet setelah dikurangi nilai agunan.

Salah satu ukuran risiko kredit bank yang umum digunakan adalah non- performing loans (NPL), yaitu persentase kredit dengan kualitas Lancar, Diragukan, dan Macet terhadap total kredit bank (Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia).

Hampir seluruh penelitian mengenai kegagalan bank menemukan bahwa sebelum mengalami kegagalan, bank memiliki tingkat NPL yang tinggi. Oleh karena itu, NPL menjadi parameter yang penting untuk mengukur kesehatan bank (Berger & DeYoung, 1997).

Risiko kredit berguna untuk menjelaskan hubungan antara NPL terhadap CKPN yaitu semakin tinggi NPL dapat diartikan semakin tingginya CKPN yang harus disisihkan oleh bank.

Risiko kredit juga dapat menjelaskan hubungan antara CAR dengan CKPN yaitu semakin besar modal yang dimiliki bank maka semakin besar pula dana yang akan dialirkan maka hal tersebut berarti semakin besar pula risiko yang mungkin terjadi sehingga CKPN yang perlu dipenuhi semakin besar.Karena kegagalan kredit akan membawa pengaruh yang besar terhadap return yang dapat dihasilkan bank. Pada banyak bank risiko kredit adalah risiko yang terbesar karena biasanya marjin yang dikarenakan untuk menutup risiko kredit relatif kecil dibandingkan dengan jumlah yang dipinjamkan, yaitu semakin besar ROA berpengaruh signifikan positif terhadap CKPN.

2.7 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)

Setelah adanya revisi PSAK 55 pada tahun 2006, maka istilah dari PPAP pun diganti menjadi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau yang sering disebut dengan istilah LLP/CKPN. Dalam LLP/CKPN, pembentukan atau penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh bank. Jika menurut suatu bank terdapat bukti objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami penurunan (impairment), maka bank itu harus membentuk dana atau cadangan atas kredit tersebut. Karena hasil evaluasi kredit debitur tersebut didasarkan kepada keputusan masing-masing bank, maka tiap-tiap bank

(28)

27

memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan dan untuk kreditnya.

Komponen, rasio dalam hal perhitungan agunan, kolektibilitas, dan lain-lain dapat disesuaikan pada Peraturan PBI tentang CKPN Bank Indonesia (PBI No:13/26/PBI/2011) dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Cadangan umum CKPN: Kol 1 = Kredit kategori lancar < 1%

2. Cadangan khusus CKPN:

a) Kol 2A, 2B, 2C = 5% x kredit kategori dalam perhatian khusus

b) Kol 3 = 15% x (kredit kategori kurang lancar – nilai agunan)

c) Kol 4 = 50% x (kredit kategori diragukan – nilai agunan)

d) Kol 5 = 100% x (kredit kategori macet – nilai agunan)

Kebijakan bank itu tidak boleh melenceng dari beberapa kriteria yang terdapat dalam PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) setelah adanya revisi PSAK 50 dan 55.

Adapun ketentuan pengukuran cadangan menurut LLP/CKPN berdasarkan PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) Revisi 2008 dibagi menjadi:

1. Individual

Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN Individual dengan menggunakan metode seperti di bawah ini:

a) Discounted Cash Flow: Estimasi arus kas masa akan datang (pembayaran pokok + bunga) yang didiskonto dengan suku bunga.

b) Fair Value of Collateral: Dengan memperhitungkan nilai arus kas atas jaminan atau agunan di masa yang akan datang.

c) Observable Market Price: Ditentukan dari harga pasar dari kredit tersebut.

2. Kolektif

Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN pada kelompok kolektif ini

(29)

28 sebagai berikut:

a) Dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur di masa akan datang.

b) Dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya.

Dari beberapa metode pengukuran CKPN diatas, maka akan diperoleh besarnya cadangan atau penyisihan dana atas kredit debitur tersebut. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kredit bank tersebut tinggal dikalikan saja dengan persentase dari kolektibilitas kredit tersebut yang sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI.

Sedang untuk menentukan besarnya nilai cadangan dana dari kredit suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih dahulu kredit dari debitur mana saja yang mengalami penurunan nilai. Setelah itu, maka besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya penurunan nilai.

Apabila dibandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka dapat di lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN, karena hanya memperhitungkan penyisihan dananya berdasarkan tingkat kolektibilitas kredit dari debitur tersebut, sedangkan untuk perhitungan CKPN, perlu dilihat satu per satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu baru akan membentuk cadangan dana setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut mengalami impairment (Risna,2013).

Perhitungan LLP/CKPN lebih rumit namun dengan adanya peninjauan kredit tersebut secara terperinci dari setiap debitur, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih terarah, karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan LLP/CKPN ini, maka setidaknya bank

(30)

29

dapat mengurangi terjadinya risiko kredit yang akan dialaminya, sehingga akan meningkatkan profitabilitas perbankan.

2.8 Non Performing Loan (NPL)

Risiko kredit didefinisikan sebagai risiko yang dikaitkan dengan kemungkinan kegagalan klien dalam membayar kewajibannya atau risiko dimana debitur tidak dapat melunasi hutangnya (Hasibuan, 2011). Risiko kredit dapat timbul karena beberapa hal:

1. Adanya kemungkinan pinjaman yang diberikan oleh bank atau obligasi (surat hutang) yang dibeli oleh bank tidak terbayar.

2. Tidak dipenuhinya kewajiban dimana bank terlibat didalamnya bisa melalui pihak lain, misalnya kegagalan memenuhi kewajiban pada kontrak derivative.

3. Penyelesaian (settlement) dengan nilai tukar, suku bunga, dan produk derivative.

Bentuk risiko kedit yang lain adalah settlement risk yang timbul ketika dua pembayaran dengan valuta asing dilakukan pada hari yang sama, risiko ini terjadi ketika counterparty pihak lain mungkin mengalami default setelah institusi melakukan pembayaran. Pada hari penyelesaian (settlement), besarnya kerugian default counter party (pihak lain) sama dengan nilai penuh yang harus dibayar. Sedangkan besarnya exposure sebelum settlement hanya sebesar nilai netto dari kedua pembayaran tersebut.

Tingkat risiko kredit pada penilitian ini diproksikan dengan Non Performing Loan (NPL) karena NPL dapat mengukur sejauh mana kredit yang bermasalah yang ada dapat dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh sebuah bank. Bank yang baik sebaiknya menjaga NPL nya dibawah 5% hal ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

2.9 Capital Adequacy Ratio (CAR)

CAR mengukur kecukupan modal dengan membandingkan modal bank dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). CAR adalah rasio solvabilitas yang

(31)

30

menunjukan bagaimana kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha serta menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank. CAR mampu menunjukan keadaan asset bank masih dapat ditutup oleh equity bank yang tersedia, semakin tinggi CAR menunjukan semakin baik kondisi sebuah bank.

Untuk mencari rasio ini perlu terlebih dahulu untuk diketahui besarnya estimasi resiko yang akan terjadi dalam pemberian kredit dan resiko yang akan terjadi dalam perdagangan surat-surat berharga. Rumus untuk mencari Capital Adequacy Ratio sebagai berikut:

CAR = Equity Capital x 100%

Total Loans + Securities

Bank Indonesia pada Oktober tahun 1998 besarnya CAR diklasifikasikan dalam 3 kelompok. Klasifikasi tersebut dikelompokan dalam: (1) Bank sehat dengan klasifikasi A, jika memiliki CAR lebih dari 8%, (2) Bank take over (BTO) atau dalam penyehatan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) apabila bank tersebut memiliki CAR antara -25%

sampai dengan < dari 8% maka berada dalam klasifikasi B dan (3) Bank Beku Operasi (BBO) apabila CAR kurang dari -25%

bank inilah yang dilikuidasi dan berada dalam klasifikasi C (Pudjo, 1999).

Tabel 2.2 Klasifikasi CAR

Klasifikasi Keadaan Bank Rasio CAR

A Bank Sehat >8%

B Bank Take Over (BTO) -25% < 8%

C Bank Beku Operasi (BBO) <-25%

2.10 Rasio Rentabilitas

Rasio ini bertujuan untuk mengukur efektivitas bank dalam mencapai tujuannya. Rasio rentabilitas sering disebut profitabilitas usaha, dan digunakan untuk mengukur tingkat efisien usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan.

Tujuan dari analisis profitabilitas suatu bank adalah untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang

(32)

31

dicapai oleh bank yang bersangkutan (Kuncoro, 2001). Kinerja keuangan perusahaan dari sisi manajemen, mengharapkan laba bersih sebelum pajak (earning before tax) yang tinggi karena semakin tinggi laba perusahaan semakin flexible perusahaan dalam menjalankan aktivitas operasional perusahaan. Sehingga EBT perusahaan akan meningkat bila kinerja keuangan perusahaan meningkat. Laba sebelum pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional sebelum pajak. Sedangkan rata-rata total aset merupakan rata-rata volume usaha atau aktiva (Dendawijaya, 2009).

Penggunaan Return On Asset (ROA) lebih diutamakan dari Return On Equity (ROE), karena ROA terfokus pada kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam kegiatan operasional bank. Selain itu, dalam penentuan tingkat kesehatan suatu bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return On Asset (ROA) dan tidak memasukkan unsur Return On Equity (ROE). Menurut Dendawijaya (2009: 119), Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat.

Gitman (2003: 65) mengatakan bahwa return on total assets (ROA) measures the overall effectiveness of management in generating profits with its available assets;

also called the return on investment (ROI).

Dendawijaya (2009: 118) menjelaskan bahwa rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan, semakin besar ROA semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin besar pula posisi bank dari segi penggunaan aset.

Return On Asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan total yang dimilikinya. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, maka standar ROA yang baik adalah sekitar 1,5%. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar.

(33)

32 2.11 Hipotesis

Hipotesis merupakan proposisi atau pernyataan dari sebuah fenomena yang akan dibuktikan kebenarannya (Marlota, 2010).

Berdasarkan defenisi tersebut maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: NPL berpengaruh negatif terhadap ROA.

H2: CAR berpengaruh positif terhadap ROA.

H3: CKPN berpengaruh positif terhadap ROA.

H4: NPL berpengaruh positif terhadap CAR.

H5: NPL berpengaruh positif terhadap CKPN.

H6: NPL berpengaruh terhadap ROA melalui CAR.

H7: NPL berpengaruh terhadap ROA melalui CKPN.

2.12 Kerangka Penelitian

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Capital Adequacy Ratio

(CAR) z1

Non Performing Loan (NPL) x

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai

(CKPN) z2

(CAR)

Return On Asset (ROA) y

(34)

33 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian

Berikut tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini:

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian

Berdasarkan sifat permasalahan dalam penelitian ini, maka penelitian ini lebih sesuai di analisis dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif analitik yang menggunakan pendekatan analisis korelasi dan regresi. Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang memberikan gambaran secara cermat mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Lebih lanjut Sugiyono menjelaskan bahwa pendekatan

Formulasi Hipotesis dan Model Teoretis

Pengumpulan Data

Estimasi Model

Pengujian Statistik

Interpretasi Model

Analisis

Studi Literatur mengenai Teori yang Mendasari Penelitian

(35)

34

kuantitatif merupakan pendekatan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Pengolahan data dengan pendekatan ini dilakukan dengan pengujian secara statistik terhadap hipotesis yang telah ditetapkan. Estimasi model dan pengujian statistik dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 24.00 for Windows; dan E-Views versi 10.00 Student Live for Windows.

3.2 Variabel Penelitian dan Indikator 3.2.1 Variabel Penelitian

Variabel Penelitian adalah suatu sifat atau nilai dari individu, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis variabel yaitu variabel terikat (dependent), variabel bebas (independent) (Riduwan, 2009), dan variabel penyela/antara (intervening).

Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2004). Dalam penelitian ini Return On Asset (ROA) dinyatakan sebagai variabel terikat. Variabel bebas (independent) adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2004). Dalam penelitian ini, Non Performing Loan (NPL), Capital Adequacy Ratio (CAR) dinyatakan sebagai variabel bebas. Variabel penyela/antara (intervening) adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur, sehingga variabel bebas tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dinyatakan sebagai variabel penyela/antara.

(36)

35 3.2.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional atau operasionalisasi variabel adalah upaya menerjemahkan sebuah konsep variabel ke dalam instrumen pengukuran serta membuat gagasan dalam tulisan menjadi lebih konkrit (Riduwan, 2009). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.2.2.1 Variabel Dependen

Variabel dependen berupa kinerja perbankan yang diukur dengan Return On Asset (ROA). ROA pada bentuk sederhana dapat dihitung sebagai laba dibagi aktiva. ROA berguna untuk menganalisis kinerja sebuah perusahaan. Penjualan adalah kriteria utama yang digunakan untuk mengukur profitabilitas dan indikator yang utama atas aktivitas perusahaan. ROA yang digunakan dalam penelitian mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 dimana dirumuskan sebagai berikut:

ROA = Laba sesudah Pajak x 100%

Total Asset 3.2.2.2 Variabel Independen

Non Performing Loan (NPL) yang mencerminkan rasio kredit merupakan perbandingan antara total kredit bermasalah yang dimiliki bank dengan total kredit yang disalurkan. Risiko kredit terjadi karena bank menyalurkan dananya dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat. Karena berbagai sebab debitur sewaktu-waktu tidak dapat memenuhi kewajibannya pada bank seperti membayar pokok pinjaman, pembayaran bunga dll. NPL yang digunakan pada penelitian kali ini mengacu pada surat edaran Bank Indonesia Nomor 6/73/INTERN DPNP tanggal 24 Desember 2004 yang dirumuskan sebagai berikut:

NPL = Total Kredit Bermasalah x 100%

Total Outstanding Kredit 3.2.2.3 Variabel Intervening

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) adalah cadangan yang harus dibentuk oleh bank sebesar presentase tertentu yang bergantung dari nominal berdasarkan penggolongan kualitas aktiva produktif sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

(37)

36

31/147/KEP/DIR. Perhitungan rasio CKPN dirumuskan sebagai berikut:

CKPN = CKPN x 100%

Total Aktiva Produktif

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar jumlah aktiva pada bank yang memiliki risiko (kredit, surat berharga, penyertaan, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari pihak ke tiga. CAR yang digunakan dalam penelitian mengacu pada surat edaran Bank Indonesia Nomor 6/73/INTERN DPNP tanggal 24 Desember 2004, dirumuskan sebagai berikut:

CAR = Modal Sendiri (Modal Inti + Modal Pelengkap) x 100%

ATMR (Neraca Aktiva + Neraca Administrasi)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah gabungan dari seluruh elemen yang berbentuk peristiwa, hal atau orang yang memiliki karakteristik yang serupa yang menjadi pusat perhatian seorang peneliti karena itu dipandang sebagai sebuah semesta penelitian (Ferdinand, 2006). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu penelitian 2012-2017 dengan berdasarkan kategori BUKU dengan jumlah aset terbesar.

3.3.2 Sampel

Dalam penelitian ini teknik sampling diambil secara purposive sampling, yaitu didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat- sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Sumanto, 2014: 169).

Adapun metode purposive sampling yang peneliti lakukan yaitu dengan cara mengklasifikasikan perbankan berdasarkan kategori BUKU 3 dan BUKU 4 berdasarkan aset terbesar, dimana sampel yang digunakan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2012-2017.

2. Bank berdasarkan kategori BUKU, yaitu BUKU 3 dan BUKU 4.

Gambar

Tabel 2.1 Day Past Due Pembayaran Kredit  Kolektibilitas  Day Past Due (hari)  Keterangan
Tabel 2.2 Klasifikasi CAR
Gambar 2.1 Kerangka PenelitianCapital Adequacy Ratio
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing KurniaHidayati, M.Pd. Kata Kunci: lingkungan keluarga, minat belajar,

Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata epithelial atau Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata epithelial atau

bahwa dalam rangka memantau dan memotivasi upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha Martapura dipandang perlu dibentuk

Permasalahan utama yang dihadapi kelompok saat ini adalah terbatasnya pengetahuan, teknologi dan peralatan produksi untuk mengolah susu kambing. Susu yang dihasilkan hanya

Dengan menambah spine phantom buatan sendiri yang merepresentasikan tulang belakang pasien maka intensitas sinar-X yang menembus obyek bisa ditangkap oleh detektor,

Tide data is processed using the method of admiralty and water depth is calculated from the lowest water level (LLWL) using Singlebeam echosounder. Umumnya wilayah

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa ada Perbedaan antara pelaksanaan sistem pengelolaan limbah medis padat di RSUD Raden Mattaher Jambi dengan

Kesimpulan dari pokok bahasan yang telah diuraikan adalah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana Putusan Nomor : 545/Pid.B/2012/PN.Jr yang menuntut terdakwa