Proporsi Reaksi Transfusi Akut di Unit Transfusi Rawat Jalan Rumah Sakit Rujukan Tersier di Indonesia
The Proportion of Acute Transfusion Reaction at Outpatient Blood Transfusion Unit in Tertiary Hospital in Indonesia
Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein1, Lugyanti Sukrisman2
1Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
2Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSPUN dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Korespondensi:
Lugyanti Sukrisman. Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSPUN dr.
Cipto Mangunkusumo. Jln Diponegoro No. 71, Jakarta 10430. Email: [email protected]
ABSTRAK
Pendahuluan. Reaksi transfusi akut (RTA) merupakan isu yang penting terkait dengan keselamatan pasien dalam layanan transfusi darah. Prevalensi RTA di rumah sakit di Indonesia dilaporkan sebesar 0,5%. Studi ini bertujuan untuk menginvestigasi proporsi RTA di unit transfusi rawat jalan di rumah sakit tersier.
Metode. Studi ini merupakan studi retrospektif yang menggunakan data sekunder (rekam medis) pasien usia >18 tahun yang menjalani transfusi darah di Unit Transfusi Rawat Jalan RSUPN Cipto Mangunkusumo selama Agustus-Oktober 2014.
Dilakukan pengumpulan data meliputi komponen darah, pemberian premedikasi transfusi darah, dan gejala/tanda terkait RTA. Komponen darah meliputi packed red cells (PRC), thrombocye concentrate (TC) biasa, fresh frozen plasma (FFP), dan cryoprecipitate. Kriteria RTA yang digunakan yaitu berdasar pada klasifikasi WHO.
Hasil. Terdapat 1.010 transfusi darah selama periode studi. Distribusi komponen darah adalah PRC (n=802, 79,4%), TC (n=74, 7,3%), FFP (n=43, 4,3%), dan cryoprecipitate (n=91, 9,0%). Pemberian premedikasi transfusi darah terdapat 21 (2,1%) transfusi. Terdapat 11 RTA pada studi ini (1,1%) yang semuanya termasuk kategori 1. Berdasar komponen darah, RTA terjadi pada transfusi PRC (0,6%), diikuti pada transfusi FFP (0,3%), cryoprecipitate (0,1%), dan TC biasa (0,1%).
Simpulan. Proporsi RTA di unit transfusi rawat jalan RSUPN Cipto Mangunkusumo sebesar 1,1%. Pada studi ini didapatkan semua RTA termasuk kategori 1 berdasar klasifikasi WHO dengan RTA tersering didapatkan pada transfusi PRC.
Kata Kunci: Keselamatan pasien, proporsi, reaksi transfusi akut, transfusi darah
ABSTRACT
Introduction. Acute transfusion reaction (ATR) is an important issue related to patient safety. The prevalence of ATR at tertiary hospital in Indonesia is 0.5%. This study was aimed to determine the proportion of ATR in outpatient blood transfusion unit at tertiary hospital.
Method. This retrospective study implemented data from medical records of adult patients who underwent blood transfusion in outpatient blood transfusion unit, Cipto Mangunkusumo Hospital between August – October 2014. The blood components included packed red cells (PRC), thrombocyte concentrate (TC), fresh frozen plasma (FFP), and cryoprecipitate. We recorded the administration of premedication and ATR-related symptoms/signs. The ATR report was based on WHO classification.
Results. There were 1,010 blood transfusions during the study period. The distribution of blood components were PRC (n=802, 79.4%), PC (n=74, 7.3%), FFP (n=43, 4.3%), and cryoprecipitate (n=91, 9.0%). The premedication was administered in 21 transfusions (2.1%). There were 11 ATRs with WHO category 1 (1.1%), no other categories were reported. Based on blood component, the ATR occurred predominantly in PRC transfusion (0.6%), followed by FFP (0.3%), cryoprecipitate (0.1%), and TC (0.1%), respectively.
Conclusion. The proportion of ATR in outpatients blood transfusion unit at Cipto Mangunkusumo Hospital was 1.1%. All reported ATR were category 1 in this study. The ATR was predominantly in PRC transfusion.
Keywords: Acute transfusion reaction, blood transfusion, patient safety, proportion
PENDAHULUAN
Transfusi darah merupakan prosedur medis yang sering dilakukan. Setiap tahunnya, dilaporkan 24 juta komponen darah ditransfusikan di Amerika Serikat dan 3 juta komponen darah di Inggris, dan lebih dari 10% pasien rawat inap mendapatkan transfusi darah.1 Transfusi darah juga merupakan prosedur yang dilakukan di berbagai lini pelayanan kesehatan termasuk unit transfusi darah di rumah sakit.
Dalam pelayanan kesehatan terkini, transfusi darah memiliki peran penting dalam pelayanan terhadap pasien. Transfusi darah ditujukan untuk mengatasi gejala, mengurangi morbiditas dan mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup.2 Walaupun demikian, transfusi darah juga terkait dengan berbagai efek samping yang bervariasi dari ringan hingga berat atau mengancam jiwa. Reaksi transfusi yang berat meliputi kejadian terkait infeksi (hepatitis terkait transfusi, infeksi HIV yang ditularkan melalui transfusi, infeksi zoonosis, dan kontaminasi bakteri) dan kejadian terkait noninfeksi (reaksi transfusi hemolitik, reaksi terkait dengan leukosit dan antibodi terhadap leukosit, graft- versus-host disease, transfusion-related acute lung injury [TRALI]).3 World Health Organization (WHO)4 membagi reaksi transfusi menjadi reaksi transfusi akut (RTA) yang terjadi saat atau 24 jam setelah transfusi berlangsung dan reaksi transfusi lambat yang terjadi beberapa hari, bulan atau bahkan tahun setelah transfusi darah. Meskipun WHO melaporkan kejadian reaksi transfusi akut hanya berkisar 1-2%, belum dapat ditentukan true incidence reaksi transfusi disebabkan oleh laju pelaporan yang bervariasi.4, 5
Reaksi transfusi menjadi perhatian penting dalam aspek keselamatan pasien (patient safety).4,5 Aspek utama dalam pelayanan transfusi darah berdasarkan kaidah keselamatan pasien adalah memastikan pasien dimonitor oleh staf yang terlatih dalam identifikasi dan tata laksana reaksi transfusi, dan tersedianya sistem pelaporan dan panduan tata laksana reaksi transfusi akut.5 Tujuan utama sistem pelaporan ini adalah pembelajaran dari pengalaman, bukan hanya sekedar pelaporan, tetapi juga adanya perubahan/perbaikan sebagai respons terhadap pelaporan tersebut.6
Studi oleh Wahidiyat, dkk.7 di RSUPN Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa reaksi transfusi terjadi pada 0,5% pasien baik rawat jalan maupun rawat inap. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui proporsi RTA di unit transfusi rawat jalan pasien dewasa di RS tersier berdasar pada besarnya jumlah prosedur transfusi darah yang dilakukan tiap bulan (>300 transfusi darah) yang berasal dari
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Bedah, Obstetri dan Ginekologi, Radioterapi, dan Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok. Jumlah transfusi yang besar ini berpotensi memberikan peluang terjadinya RTA yang dapat bersifat fatal. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam menilai besaran masalah ATR bagi pasien dewasa pada unit transfusi rawat jalan.
METODE
Studi ini menggunakan desain studi deskriptif retrospektif pada seluruh pasien dewasa yang mendapatkan transfusi di Unit Transfusi Rawat Jalan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Subjek penelitian ini adalah pasien rawat jalan berusia lebih dari 18 tahun yang dirujuk ke unit transfusi rawat jalan untuk menjalani transfusi darah. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif selama 3 bulan (dari bulan Agustus hingga bulan Oktober 2014). Komponen darah yang ditransfusikan meliputi packed red cells (PRC), thrombocyte concentrate (TC) biasa, fresh frozen plasma (FFP), dan cryoprecipitate. Komponen PRC terdiri dari PRC biasa, leucodepleted PRC dan washed erythrocyte.
Dilakukan pencatatan pemberian premedikasi dan gejala/
tanda RTA selama menjalani transfusi darah dan 24 jam pasca transfusi (melalui laporan pasien/keluarga pasien via telepon atau pesan digital yang dicatat pada rekam medis). Pengambilan sampel pada studi ini menggunakan metode total population sampling.
Pelaporan RTA disesuaikan menurut kategori WHO4, yaitu kategori 1 (gatal, ruam, urtikaria), kategori 2 (kategori 1 disertai cemas, palpitasi, sesak ringan, nyeri kepala, demam, takikardia, kaku, flushing), dan kategori 3 (kategori 2 disertai nyeri dada, nyeri di sekitar tempat infus, nyeri tulang belakang, hipotensi (penurunan tekanan darah sistolik > 20%), takikardia (peningkatan denyut jantung > 20%), hemoglobinuria, perdarahan yang tidak dapat dijelaskan atau koagulasi intravaskuler diseminata).
Data yang terkumpul diolah secara deskriptif untuk mendapatkan karakteristik dasar dari pasien, komponen darah yang didapatkan, penyakit dasar, premedikasi yang diberikan, dan RTA yang terjadi. Setelah didapatkan persentase proporsi RTA, selanjutnya dianalisis RTA berdasar komponen darah yang diberikan.
HASIL
Didapatkan total 1.010 subjek yang mendapat transfusi selama 3 bulan dengan sebaran usia 18-86 tahun (median 42 tahun). Tabel 1 menunjukkan subjek perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (56,3% vs.
43,7%). Jumlah transfusi darah selama studi adalah 322 transfusi darah pada bulan Agustus 2014, 343 transfusi darah pada bulan September 2014, dan 345 transfusi darah pada bulan Oktober 2014.
Distribusi penyakit dasar subjek yang mendapatkan transfusi dapat dilihat pada Tabel 2. Keganasan hematologis meliputi leukemia limfositik akut, leukemia mielositik akut, leukemia limfositik kronik, leukemia mielositik kronik, limfoma non-Hodgkin, mieloma multipel, sindrom mielofibrosis, dan myeloproliferative neoplasm (MPN). Kelainan hematologis bukan keganasan terdiri dari anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, ITP, myelodysplastic syndrome, talasemia, dan hemofilia. Tumor padat meliputi karsinoma sinonasal, karsinoma nasofaring, karsinoma laring, karsinoma sel skuamosa lidah, kanker tiroid, kanker payudara, kanker paru, karsinoma serviks, neoplasma ovarium kistik, kanker endometrium, kanker kolorektum, kanker buli, kanker prostat, seminoma testis, dan rhabdomyosarcoma. Kategori lain-lain terdiri dari penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, penyakit ginjal kronik, perdarahan saluran cerna, sirosis hati, karsinoma hepatoseluler, hepatitis C, karsinoma papilla vateri, irritable bowel syndrome, abnormal uterine bleeding, tiroiditis, dan batu saluran kemih.
Tabel 3 menunjukkan sebaran komponen darah yang ditransfusikan. Komponen darah terbanyak yang ditransfusikan pada studi ini adalah PRC (79,4%). Pada setiap subjek yang akan mendapatkan transfusi komponen darah dilakukan penilaian terhadap indikasi premedikasi.
Premedikasi dengan difenhidramin 10 mg iv diberikan pada 21 subjek (2,1%) atas indikasi adanya riwayat reaksi transfusi sebelumnya.
Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian (N=1.010)
Karakteristik Frekuensi, n (%)
Usia (tahun)
18 – 40 451 (44,7)
40 – 60 435 (43,1)
> 60 124 (12,3)
Jenis kelamin
Laki-laki 441 (43,7)
Perempuan 569 (56,3)
Tabel 2. Penyakit dasar subjek yang mendapat transfusi darah (N=1.010)
Jenis penyakit Frekuensi, n (%)
Keganasan hematologi 136 (13,5)
Penyakit hematologi nonkeganasan 455 (45,0)
Tumor padat 350 (34,7)
Lain-lain 69 (6,8)
Tabel 3. Sebaran komponen darah (N=1.010)
Komponen darah Frekuensi, n (%)
PRC 802 (79,4)
TC biasa 74 (7,3)
FFP 43 (4,3)
Cryoprecipitate 91 (9,0)
Keterangan: PRC= packed red cell; TC = thrombocyte concentrate; FFP= fresh frozen plasma
Dari seluruh subjek penelitian ini, didapatkan 11 (1,1%) kejadian RTA yang seluruhnya merupakan kategori 1. Seluruh subjek yang mengalami reaksi tersebut mengeluhkan gatal. Tidak didapatkan RTA kategori 2 dan 3.
Semua RTA pada studi ini terjadi selama subjek menjalani transfusi darah di Unit Transfusi Rawat Jalan. Tidak didapatkan RTA yang terjadi dalam 24 jam pascatransfusi setelah subjek menjalani transfusi. Seluruh subjek yang mengalami RTA kategori 1 dilakukan penghentian transfusi sementara dan pemberian difenhidramin.
Tabel 4 menggambarkan sebaran antara kejadian RTA berdasar komponen darah. Pada studi ini, didapatkan RTA paling sering didapatkan pada transfusi PRC. Berdasar proporsi RTA tiap komponen darah, RTA tersering ditemukan pada transfusi FFP.
DISKUSI
Pada penelitian ini, didapatkan 1.010 transfusi selama tiga bulan di unit transfusi rawat jalan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUPN Cipto Mangunkusumo. Proporasi RTA pada studi ini didapatkan sebesar 1,1%. Data WHO menunjukkan bahwa RTA berkisar 1-2%. Studi oleh Wahidiyat, dkk.7 melaporkan bahwa RTA terjadi pada 0,5%
pasien yang menerima transfusi darah di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Studi retrospektif di The Blood Bank Unit in Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Centre oleh Rabeya, dkk.8 melaporkan insiden reaksi transfusi adalah 1 dari 187 transfusi darah. Studi lain oleh Borhany, dkk.9 melaporkan bahwa insiden RTA di RS tersier di Pakistan adalah 0,15%.
Wahidiyat, dkk.7 melaporkan RTA ringan terdapat pada lebih dari setengah pasien diikuti dengan RTA sedang dan RTA berat. Lebih lanjut, studi oleh Wahidiyat, dkk.7 juga melaporkan adanya transfusion-related acute lung injury (TRALI) pada 1 pasien saat menjalani transfusi. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Borhany, dkk.9 Kategorisasi RTA pada studi ini menggunakan kriteria WHO dan didapatkan kategori 1 pada semua RTA yang dilaporkan. Sebagaimana dipaparkan oleh Aubron, dkk.10, perbedaan hasil pelaporan RTA dapat disebabkan oleh adanya perbedaan penilaian variasi klinis dalam mengidentifikasi RTA dan perbedaan
Tabel 4. Kejadian reaksi transfusi akut berdasar komponen darah Komponen darah Jumlah kejadian reaksi
transfusi akut Jumlah total
transfusi Proporsi reaksi transfusi akut tiap
komponen darah (%) Persentase kejadian reaksi transfusi akut (%)
PRC 6 802 0,7 0,6
TC biasa 1 74 1,4 0,1
FFP 3 43 7,0 0,3
Cryoprecipitate 1 91 1,1 0,1
Total 11 1.010 1,1
Keterangan: PRC= packed red cell; TC = thrombocyte concentrate; FFP= fresh frozen plasma
metode yang digunakan dalam mendokumentasikan RTA.
Selain itu, tidak adanya RTA kategori 2 dan 3 pada studi ini dapat disebabkan juga oleh durasi studi yang pendek.
Mekanisme yang mendasari terjadinya RTA adalah jalur terkait alergen, jalur tak terkait alergen, dan faktor pasien. Jalur terkait alergen meliputi protein plasma (IgA dan haptoglobin), alergen kimiawi (metilen biru yang merupakan reagen untuk inaktivasi virus pada FFP), jalur terkait IgE yang dimediasi histamin dan sel mast, jalur terkait IgG yang terkait basofil dan platelet- activating factor. Sedangkan, jalur tak terkait alergen meliputi biological response modifiers (BRMs) seperti sitokin inflamasi dan kemokin yang berakumulasi di dalam komponen darah selama penyimpanan. Sementara itu, faktor pasien dalam reaksi alergi transfusi meliputi adanya histamine-releasing activity (HRA). Adanya kondisi pasien yang memicu HRA akan menginduksi influks kalsium ke dalam sel mast. Selain itu, adanya perbedaan genotip IgA dan haptoglobin pada ras tertentu juga menjadi salah satu faktor perbedaan insidensi RTA.4,8-11
Berdasar komponen darah, studi ini menunjukkan proporsi RTA pada transfusi PRC paling tinggi (0,6%), disusul pada transfusi FFP, TC biasa, dan cryoprecipitate (Tabel 3). Hasil ini sesuai dengan studi oleh Rabeya, dkk.8 yang melaporkan RTA terbanyak pada PRC (0,71%), disusul FFP (0,51%) lalu trombosit, dan cryoprecipitate. Studi oleh Wahidiyat, dkk.7 dan Borhany, dkk.9 menunjukkan bahwa RTA paling sering terjadi pada transfusi PRC disusul TC, FFP, dan cryoprecipitate. Salah satu kemungkinan penjelasan akan tingginya RTA pada transfusi PRC adalah PRC merupakan komponen darah yang tersering ditransfusikan. Selain itu, didapatkan juga PRC merupakan komponen darah yang tersering digunakan dalam prosedur transfusi berulang. Pasien dengan riwayat transfusi berulang memiliki risiko RTA yang lebih tinggi.7-9
Pada penelitian ini, premedikasi hanya diberikan pada pasien dengan riwayat reaksi transfusi sebelumnya.
Walaupun premedikasi transfusi telah banyak dilakukan, efektivitas premedikasi belum banyak diteliti. Sebuah systematic review yang dilakukan oleh Marti-Carvajal, dkk.12 menunjukkan bahwa pemberian premedikasi tidak terbukti dapat mencegah terjadinya reaksi alergi
ringan dan demam (febrile non-hemolytic of transfusion reaction). Geiger, dkk.13 melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian reaksi transfusi dengan pemberian premedikasi bahkan pada pasien dengan riwayat reaksi transfusi sebelumnya. Pada penelitian ini, tidak dapat dilakukan analisis antara premedikasi dengan kejadian RTA.
Keterbatasan studi ini adalah durasi studi yang pendek. Diperlukan studi lanjut dengan desain prospektif dan durasi studi yang lebih panjang sehingga bisa diperoleh data yang lebih baik dan dapat dianalisis variabel spesifik yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya RTA, khususnya di unit transfusi rawat jalan. Selain itu, perlu juga dianalisis pada studi lanjut mengenai indikasi premedikasi yang tepat pada layanan transfusi darah.
SIMPULAN
Didapatkan proprosi RTA di unit transfusi rawat jalan RSUPN Cipto Mangunkusumo sebesar 1,1% dengan RTA tersering didapatkan pada transfusi PRC. Pada studi ini didapatkan semua RTA merupakan kategori 1 berdasar klasifikasi WHO. Dengan menimbang tingginya transfusi di RS tersier, kewaspadaan dan pelaporan RTA merupakan hal yang penting dalam manajemen pelayanan transfusi darah dan aspek keselamatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Goodnough LT, Levy JH, Murphy MF. Concepts of blood transfusion in adults. Lancet. 2013;381;1845-54.
2. National Blood Authority. Patient Blood Management Guidelines:
module 3 – Medical. Canberra: National Blood Authority; 2012 3. Alter HJ, Klein HG. The hazards of blood transfusion in historical
perspective. Blood. 2008;112:2617-26.
4. World Health Organization (WHO). The clinical use of blood in medicine, obstetrics, paediatrics, surgery & anaesthesia, trauma &
burns. Geneva : WHO; 2001.
5. Al-Riyami AZ, Al-Hashmi S, Al-Arimi Z, Wadsworth LD, Al-Rawas A, Al-Khabori M, et al. Recognition, investigation and management of acute transfusion reactions. Consensus guidelines for Oman. Sultan Qaboos University Med J. 2014;14(3):e306-18.
6. World Health Organization (WHO). World alliance for patient safety: WHO draft guidelines for adverse event reporting and learning systems: from information to action. Geneva: WHO; 2005.
7. Wahidiyat PA, Marpaung E, Iskandar SD. Characteristics of acute transfusion reactions and its related factors in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia. Health Sci J Indones. 2019;10(1):15-20.
8. Rabeya Y, Abdul-Kahar AH, Leong CF. An audit of reported acute transfusion reactions in Universiti Kebangsaan Malaysia Medical
Centre. Malays J Pathol. 2011;33(1):25-9.
9. Borhany M, Anwar N, Tariq H, Fatima N, Arshad A, Naseer I, et al. Acute blood transfusion reactions in a tertiary care haospital in Pakistan - an initiative towards haemovigilance. Transfus Med.
2019;29(4):275-8.
10. Aubron C, Aries P, Le Niger C, Sparrow RL, Ozier Y. How clinicians can minimize transfusion-related adverse events? Transfus Clin Biol. 2018;25(4):257-61.
11. Hirayama F. Current understanding of allergic transfusion reactions: incidence, pathogenesis, laboratory tests, prevention and treatment. Br J Haematol. 2013;160(4):434-44.
12. Martí-Carvajal AJ, Solà I, González LE, de Gonzalez GL, Rodriguez- Malagon N. Pharmacological interventions for the prevention of allergic and febrile non-haemolytic transfusion reactions. Cochrane Database Syst Rev. 2010;2010(6):CD007539.
13. Geiger TL, Howard SC. Acetaminophen and diphenhydramine premedication for allergic and febrile non-hemolytic transfusion reactions: good prophylaxis or bad practice? Transfus Med Rev.
2007;21(1):1-12.