• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DENGAN STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS GLUGUR KOTA MEDAN TAHUN 2018 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DENGAN STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS GLUGUR KOTA MEDAN TAHUN 2018 SKRIPSI"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

JAMIAH SARI LUBIS NIM. 141000558

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

JAMIAH SARI LUBIS NIM. 141000558

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : dr. Fauzi, S.K.M.

Anggota : 1. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes

2. Puteri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M., M.P.H

(5)

Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota Medan Tahun 2018“ beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2019

Jamiah Sari Lubis

(6)

bahwa Indonesia menempati posisi kedua dengan beban TB tertinggi di dunia.

Sejak tahun 1995, Indonesia menerapkan program pemberantasan TB paru melalui pengobatan TB paru dengan Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang dapat memutuskan rantai penularan penyakitnya.

Puskesmas Glugur Kota merupakan salah satu dari 39 Puskesmas di Kota medan yang memiliki angka kesembuhan 33,33%. Hal ini berarti Puskesmas Glugur Kota belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang pelaksanaan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Informan dalam penelitian ini terdiri dari, staff Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, Kepala Puskesmas Glugur Kota, Petugas TB paru di Puskesmas Glugur Kota, Pasien TB dan Pengawas Minum Obat (PMO). Analisa data mengutip Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS di puskesmas Glugur Kota belum maksimal. Kurang maksimalnya pelaksanaan penanggulang TB Paru dapat dilihat dari kualitas petugas TB paru masih kurang dalam upaya penemuan kasus, PMO masih belum menjalankan tugasnya dengan baik dan angka kesembuhan yang belum mencapai target nasional yaitu 85%. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan petugas TB lebih aktif dalam upaya penemuan kasus TB Paru dan petugas diharapkan agar terus membangun kerja sama yang baik dengan PMO selama proses pengobatan serta memberikan sosialisasi mengenai upaya penemuan kasus sehingga dapat meningkatkan angka penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan TB.

Kata kunci: Pelaksanaan Program, Strategi DOTS, Tuberkulosis Paru

(7)

second with the highest TB burden in the world. Since 1995, Indonesia has implemented a pulmonary TB eradication program through the treatment of pulmonary TB with a Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) strategy that can break the chain of transmission of the disease. Glugur Kota Public Health Center is one of 39 Puskesmas in Medan City which has a cure rate of 33.33%. This means that Glugur Kota Public Health Center has not yet reached the set target of at least 85%. This type of research is a qualitative research that aims to find out clearly and in depth about the implementation of pulmonary TB prevention programs with the DOTS strategy at the Glugur Kota Public Health Center. The method of data collection is done by in-depth interviews and observations. The informants in this study consisted of staff from the Health Problems Management of Medan City Health Office, Head of Glugur City Health Center, Pulmonary TB Officers at Glugur Kota Public Health Center, TB Patients and Drug Control Supervisors (PMO). Data analysis quotes Miles and Huberman. The results of the study showed that the implementation of pulmonary TB prevention programs with the DOTS strategy in Glugur Kota Public Health Center was not optimal. The lack of maximum implementation of pulmonary TB response can be seen from the quality of pulmonary TB officers is still lacking in efforts to find cases, PMO still does not carry out their duties properly and the cure rate that has not reached the national target is 85%. Based on the results of this study, it is expected that TB officers will be more active in efforts to find cases of pulmonary TB and officers are expected to continue to build good cooperation with PMO during the treatment process and provide information on efforts to find cases so as to increase case detection rates and success in TB treatment.

Keywords: Implementation, DOTS Strategy, Pulmonary TB

(8)

limpahan rahmat dan karunia yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota Medan Tahun 2018”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi terhadap yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Drs. Zulfendri, M. Kes, selaku Kepala Departemen AKK beserta staf pengajar bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USU.

4. dr. Fauzi, S.K.M., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

5. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes, selaku dosen penguji I (satu) yang telah memberikan masukan dan kritikan untuk kesempurnaan skripsi saya.

(9)

7. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D., selaku dosen Pembimbing Akademik selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU yang telah banyak membantu dan memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

9. drg. Hj. Usma Polita Nasution, M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah memberikan izin penelitian dalam penulisan skripsi ini.

10. dr. Emilia, selaku Kepala Puskesmas Glugur Kota dan Ibu Rulyana HD.

S.K.M., selaku petugas TB Paru di Puskesmas Glugur Kota yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan bersedia menjadi informan yang memberikan informasi data untuk kelancaran skripsi ini.

11. Terima kasih saya ucapkan kepada kedua orang tua saya, H. Zulkafli Lubis, S.H. dan dr. Hj. Nurhamisah Lubis, M.K.M. yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan bimbingan dan semangat untuk setiap langkah saya. Kepada kakak saya dr. Eka Apriani Lubis, abang saya M.

Rizky Lubis, S.H. dan adik saya M. Achbar Lubis yang selalu memberi semangat, arahan, dan menjadi sahabat juga teman berbagi.

12. Terima Kasih kepada para sahabat, Rafi Rujiman, Rasti Fadhilah, Yannisah Khaerini, Vita Zulfani dan semua pihak yang telah banyak

(10)

untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan yang bearti bagi semua pihak dan untuk kemajuan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Medan, Januari 2019

Jamiah Sari Lubis

(11)

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xii

Daftar Gambar xiii

Daftar Lampiran xiv

Daftar Istilah xv

Riwayat Hidup xvi

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Tinjauan Pustaka 8

Pusat Kesehatan Masyarakat 8

Pengertian puskesmas 8

Prinsip penyelenggaraan puskesmas 8

Tugas dan fungsi puskesmas 9

Upaya kesehatan masyarakat 9

Tuberkulosis 10

Pengertian tuberkulosis 10

Penyebab tuberkulosis 11

Gejala tuberkulosis 11

Penularan tuberkulosis 12

Pencegahan tuberkulosis 13

Program Penanggulangan TB (P2TB) 14

Program nasional penanggulangan TB Indonesia 14

Tujuan penanggulangan TB 16

Kegiatan penanggulan TB 18

Evaluasi program penanggulangan TB 20

Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse) 21

Tata Pelaksanaan TB Paru 25

Penemuan penderita TB paru 25

Diagnosa TB paru 28

(12)

Kerangka Berpikir 41

Metode Penelitian 44

Jenis Penelitian 44

Lokasi dan Waktu Penelitian 44

Lokasi penelitian 44

Waktu penelitian 44

Informan Penelitian 44

Metode Pengumpulan Data 45

Triangulasi 45

Metode Aanalisis Data 46

Instrumen Penelitian 46

Hasil dan Pembahasan 47

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 47

Letak geografis 47

Demografis 47

Sarana kesehatan 48

Sumber daya tenaga kesehatan 48

Karakteristik Informan 48

Hasil dan Pembahasan 50

Masukan (Input) 50

Pernyataan informan tentang komitmen politis dalam P2TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota 50

Pernyataan informan tentang tenaga kesehatan dalam pelaksanaan P2TB paru di Puskesmas Glugur Kota 53

Pernyataan informan tentang sarana dan prasarana dalam pelaksanaan P2TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota 56

Pernyataan informan tentang sumber pendanaan dalam pelaksanaan P2TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota 58

Proses (process) 60

Pernyataan informan tentang penemuan kasus dan alur pemeriksaan dalam pelakasanaan P2TB dengan strategi DOTS 60

Pernyataan informan tentang diagnosa penderita TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota 63

Pernyataan informan tentang pengobatan TB paru dengan OAT yang diawasi oleh PMO dalam pelakasanaan P2TB paru 65 Pernyataan informan tentang ketersediaan OAT dalam

(13)

Keterbatasan Penelitian 74

Kesimpulan dan Saran 75

Kesimpulan 75

Saran 76

Daftar Pustaka 79

Lampiran 82

(14)

1 Demografi Puskesmas Glugur Kota 47 2 Data Tenaga Kesehatan Puskesmas Glugur Kota 48

3 Karakteristik Informan 49

(15)

1 Kerangka berpikir 42

(16)

1 Pedoman Wawancara 82

2 Hasil Wawancara Mendalam 89

3 Dokumentasi Penelitian 105

4 Surat Permohonan Izin Penelitian 109

5 Surat Izin Penelitian 110

6 Surat Selesai Penelitian 111

(17)

DOTS Directly Observed Treatment Short-course FDC Fixed Dose Combination

OAT Obat Anti Tuberkulosis PMO Pengawas Minum Obat

PRM Puskesmas Rujukan Mikroskopis PS Puskesmas Satelit

TB Tuberkulosis

WHO World Health Organization

(18)

Medan pada tanggal 29 September 1996. Penulis beragama Islam, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Zulkafli Lubis, S.H. dan Ibu dr. Hj.

Nurhamisah Lubis, M.K.M.

Pendidikan formal dimulai di TK Swasta Harapan Medan tahun 2001.

Pendidikan sekolah dasar di SD Swasta Harapan 1 Medan tahun 2002-2008, sekolah menengah pertama di SMP Swasta Harapan 1 Medan tahun 2008-2011, sekolah menengah atas di SMA Swasta Harapan 1 Medan tahun 2011-2014, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Januari 2019

Jamiah Sari Lubis

(19)

Tuberkulosis Paru atau yang disingkat dengan TB Paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga menyebabkan kematian. Penyakit TB memegang peran penting dalam kasus kematian dan kesakitan. Resiko tertular tergantung tingkat panjaan dengan percikan dahak. TB Paru dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui transmisi udara (Depkes RI, 2007).

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, nasional, regional maupun lokal. TB masih menjadi salah satu penyakit menular yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Laporan resmi WHO Global Tuberculosis tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua dengan beban TB tertinggi di dunia setelah India. Sebesar 60% kasus baru terjadi di 6 negara yaitu India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Terdapat 10,4 juta orang di dunia sakit karena TB dan sebanyak 1,4 juta orang diantaranya meninggal karena TB (Kemenkes RI, 2017).

Berdasarkan Survei Pravelensi TB oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI Tahun 2013-2014, angka insidence (kasus baru) penyakit TB di Indonesia sebesar 403/100.000 penduduk, sedangkan angka prevalence (kasus baru dan lama)

(20)

dengan perkiraan jumlah penduduk Indonesia 250 juta, mencapai angka kematian sebesar 100.000 orang/tahun atau 273 orang per hari. Secara nasional, penyakit TB dapat membunuh sekitar 67.000 orang setiap tahun, setiap hari 183 orang meninggal akibat penyakit TB di Indonesia. Data ini menegaskan bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi darurat TB (Kemenkes RI, 2015).

Mengacu pada kondisi tersebut diperlukan adanya upaya program penanggulangan penyakit TB. Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namum masih terbatas pada kelompok tertentu.

Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4). Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed Treatment Short-course) DOTS yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek dengan keharusan setiap pengelola program TB untuk memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita, observasi langsung dalam proses pengobatan jangka pendek pasien dan memberikan pelayanan yang tertata dalam sistem nasional. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2010).

Ada lima komponen dalam strategi DOTS yaitu: (1) Komitmen politis dari pemerintah yang ditandai dengan adanya progam program nasional khusus TB dan dukungan pendanaan dalam hal sarana, prasarana, peralatan serta tenaga kesehatan yang terlatih. (2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara

(21)

mikroskopis dengan adanya sarana dan prasarana laboratorium, serta petugas laboratorium yang berkompeten. (3) Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh satu Pengawas Minum Obat (PMO) terlatih untuk tiap pasien selama tahap pengobatan. (4) Kesinambungan persediaan OAT dengan adanya persediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu; dan (5) Pencatatan dan pelaporan secara baku dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB dengan adanya kartu pengobatan pasien yang terperinci dari pemeriksaan sputum, penggunaan obat sampai selesai (Kemenkes RI, 2011).

Pengobatan kasus TB menggunakan strategi DOTS mampu mengendalikan penyakit TB karena dapat memutuskan rantai penularan penyakitnya. Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, namun pelaksanaaan TB di sebagian besar puskesmas, rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi DOTS dan penerapan standar pelayanan berdasarkan International Standards for Tubercolusis Care (ISTC). (Kemenkes RI, 2013).

Kesuksesan dalam penanggulangan TB adalah dengan menemukan penderita dan mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target global Case Detection Rate (CDR) atau penemuan kasus TB sebesar 70%, Cure Rate (CR) atau angka kesembuhan pengobatan penyakit TB sebesar 85% dan kesalahan laboratorium maksimal 5%. (Kemenkes RI, 2011).

Hasil penelitian dari Hasri dkk (2013) menyatakan bahwa mutu pelayanan TB dengan strategi DOTS di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Sulawesi

(22)

Selatan dipengaruhi oleh: (1) Kompetensi teknis petugas TB; (2) Sarana dan prasarana untuk pelaksaan strategi DOTS; dan (3) Hubungan antar manusia (pasien-petugas TB). Hasil dari penelitian Mansur dkk (2015) menyatakan bahwa pelaksanaan strategi DOTS yang belum maksimal di Puskesmas Desa Lalang dipengaruhi oleh (1) kualitas petugas TB dalam upaya penemuan kasus; (2) tidak adanya pelatihan kepada pasien TB dalam menampung dahak; (3) pengaturan jadwal pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium ke Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) yang kurang cepat; (3) penjaringan suspek TB ke masyarakat yang kurang aktif; (4) adanya fasilitas pelayanan kesehatan lain ; dan (5) angka penemuan kasus yang rendah.

Berdasarkan data dari profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2014- 2016) menjelaskan bahwa jumlah penderita TB paru yang terdata pada tahun 2013 yaitu sebanyak 21.954 kunjungan (120,5%). Kemudian pada tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah penderita TB paru sehingga jumlah penderita TB menjadi 19.062 jiwa (111,5%). Data dari profil kesehatan provinsi Sumatera Utara (2016) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita TB paru di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 23.002 (122%).

Data Kota Medan angka kesembuhan penderita TB paru BTA positif yaitu 74% pada tahun 2015. Semua kasusu BTA sebanyak 6.518 terdeteksi kasus BTA positif sebanyak 3.277 kasus (Dinkes Kota Medan, 2016). Pada tahun 2016 angka kesembuhan penderita TB paru BTA positif yaitu 73,89%. Semua kasus BTA 6.418 terdeteksi kasus BTA positif 2.829 kasus (Dinkes Kota Medan, 2017). Di

(23)

kota Medan, angka kesembuhan penderita TB paru BTA positif tahun 2015 dan 2016 belum mencapai target nasional yaitu sebesar 85%.

Kota Medan memiliki 39 puskesmas yang tersebar di 21 kecamatan.

Puskesmas Glugur Kota merupakan salah satu diantara 39 Puskesmas di Kota Medan yang memiliki angka kesembuhan terendah yakni 33,33% pada tahun 2017.

Berdasarkan survei pendahuluan penulis di Puskesmas Glugur Kota dapat diketahui bahwa Puskesmas Glugur Kota merupakan kategori puskesmas satelit, artinya puskesmas tersebut tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan hanya membuat sediaan apus dahak dan difiksasi saja, kemudian sampel dahak di kirim ke Puskesmas Glugur Darat sebagai Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM). Selain itu, petugas penyakit menular terutama bagian TB paru telah mendapatkan pelatihan penanggulangan TB paru dan telah menerapkan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS, namun angka penemuan suspek kasus TB paru masih kurang dan angka kesembuhan yang dicapai masih tidak sesuai target yang diharapkan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) juga selalu tersedia untuk pasien TB paru di puskesmas dan setiap penderita memiliki kartu identitas penderita.

Diketahui dari penderita TB yaitu kurangnya motivasi berobat baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dari luar dirinya. Salah satu penyebabnya karena penderita merasa lelah dan bosan dalam menjalani pengobatan serta kurangnya pegawasan dalam meminum obat TB paru sehingga penderita TB tidak tuntas dalam pengobatannya. Untuk menanggulangi hal

(24)

tersebut, maka program TB paru diprioritaskan dalam peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah resistensi kuman Tuberkulosis di masyarakat dengan strategi DOTS atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek.

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, mendorong penulis untuk melakukan penulisan dengan judul Analisis Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota?”

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisa pelaksanaan program penanggulangan TB Paru pada penderita dengan strategi DOTS di Puskesmas Glugur Kota Medan Tahun 2018.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi kepada stakeholder dalam hal ini bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Glugur Kota mengenai penanggulangan penyakit TB Paru.

2. Sebagai masukan dan informasi bagi Puskesmas Glugur Kota dalam melaksanakan program P2TB dan mengingkatkan kualitas dalam pelayanan kesehatan kepada penderita TB Paru.

(25)

3. Sebagai informasi dan pengembangan wawasan ilmu bagi peneliti lain, khususnya mengenai penanggulangan TB.

(26)

Pengertian puskesmas. Sesuai dengan Permenkes RI No. 75 Tahun 2014, puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

Prinsip penyelenggaraan puskesmas. Prinsip penyelenggaraan puskesmas berdasarkan:

1. Paradigma Sehat

Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

2. Pertanggung jawaban wilayah

Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.

3. Kemandirian masyarakat

Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

4. Pemerataan

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil

(27)

tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.

5. Teknologi tepat guna

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

6. Keterpaduan dan kesinambungan

Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen Puskesmas (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014).

Tugas dan fungsi puskesmas. Tugas Puskesmas yakni Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Sedangkan dalam melaksanakan tugas, Puskesmas menyelenggarakan fungsi:

1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014).

Upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan esensial masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas menurut (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014), adalah:

(28)

1. Pelayanan promosi kesehatan, 2. Pelayanan kesehatan lingkungan,

3. Pelayanan kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana, 4. Pelayanan Gizi,

5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Tuberkulosis (TB)

Pengertian tuberkulosis. Menurut Kemenkes RI (2013) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis), yakni bakteri aerob yang dapat hidup terutama di paru karena mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Sekitar 80%

Mycobacterium tuberculosis menginfeksi paru, tetapi dapat juga menginfeksi organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, tulang belakang, kulit, saluran kemih, otak, usus, mata, dan organ lain karena penyakit tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh dapat menimbulkan kerusakan yang progresif.

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang bersifat kronis (menahun) dan sudah lama menjadi permasalahan kesehatan di dunia.

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang dalam istilah Latin disebut Mycobacterium tuberculosis.

Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh ilmuan Jerman yang bernama Robert Koch dan dipublikasikan kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret 1882. Penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan, akan tetapi kuman

(29)

tersebut ditularkan dari seseorang ke orang lain dan menyerang organ paru-paru manusia (Aditama, 2002).

Penyebab tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Pada stadium permulaan, setelah pembentukan fokus primer, akan terjadi beberaapa kemungkinan:

1. Penyebaran bronkogen, 2. Penyebaran limfogen, dan 3. Penyebaran hematogen.

Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat. Penyebaran akan berhenti bila jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah terbentuk daya tahan tubuh yang spesifik terhadap basil tuberkulosis. Tetapi bila jumlah basil tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak maka tubuh akan terinfeksi tuberkulosis (Alsagaff dan Mukty, 2010).

Gejala tuberkulosis. Gejala klinik untuk Tuberkulosis sangat bervariasi dari suatu penyakit yang tidak menunjukkan gejala penyakit yang sangat mencolok. Tuberkulosis paru menahun sering ditemukan secara kebetulan misalnya pada suatu sigi atau pemeriksaan rutin. Gejala yang dijumpai dapat akut, sub akut, tetapi lebih sering menahun. Gejala klinik dapat berupa batuk, dahak, batuk darah, nyeri dada, wheezing, dan dispneu (Alsagaff dan Mukty, 2010).

(30)

Penularan tuberkulosis. Sumber penularan penyakit adalah dari penderita TB Paru dengan BTA (+). Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nucle) (Kemenkes RI , 2014).

Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut (Depkes RI, 2007). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan,lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh (Kemenkes RI, 2013).

(31)

Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka akan semakin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak telihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Kemenkes RI, 2014).

Pencegahan tuberkulosis. Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru dilakukan dengan pendekatan DOTS atau pengobatan TB Paru dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana pelayanan kesehatan yang ditindak lanjuti dengan paket pengobatan (Dinkes Kota Medan, 2014).

Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti tuberkulosis yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier, sebagai berikut:

1. Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmete-Guerin (BCG) segera setelah bayi lahir.

(32)

2. Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit TB Paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor <5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5 – 10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum mendapatka imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes RI, 2006).

3. Pencegahan Tersier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah para, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk.

Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Program Penanggulangan TB (P2TB)

Program nasional penanggulangan TB Indonesia. Berdasarkan Kemenkes RI (2014), strategi nasional dalam penanggulangan TB Paru di Indonesia antara lain :

1. Visi

“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”

2. Misi

(33)

1) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat dan madani dalam pengendalian TB.

2) Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.

3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB 4) Menciptakan tata kelola program TB yang baik.

3. Tujuan

Tujuan dalam pengendalian TB Paru adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

4. Target

Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2015- 2019 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk dari 297 menjadi 245, Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1 - 2% per tahun menjadi 3 - 4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > 4 - 5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidens sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidens tahun 2015.

(34)

Tujuan penanggulangan TB. Adapun tujuan program penanggulangan TB Paru meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah (1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan,dan (2) Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Kebijakan penanggulangan Tuberkulosis Paru menurut Kemenkes RI (2011) mencakup :

1. Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga sarana dan prasarana).

2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS.

3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB.

4. Strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB).

(35)

5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).

6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB)

7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.

8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.

9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

10. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.

11. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium Development Goals (MDGs).

Strategi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan program P2TB paru adalah melalui (1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu

(36)

prioritas, (2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis, (3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial, (4) kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya, dan (5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan (Kemenkes RI, 2014).

Kegiatan penanggulangan TB. Kegiatan pada program penanggulangan TB Paru yaitu kegiatan pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case finding) pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan penemuan tersangka TB paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus dianggap suspek tuberkulosis atau tersangka TB Paru dengan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).

Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.

(37)

Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB.

Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (Kemenkes RI, 2013).

(38)

Evaluasi program penanggulangan TB. Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) (Kemenkes RI, 2014).

Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar.

Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan.

Indikator merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat –

(39)

syarat tertentu antara lain : valid, sensitif dan spesifik, dapat dimengerti, dapat iukur dan dapat dicapai. Indikator program Penanggulangan TB Paru dapat dianalisa dengan cara (1) Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya perbedaan, dan (2) Menganalisis kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu. Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syaratsyarat tertentu seperti: sahih (valid), sensitif dan spesifik (sensitive and specific), Dapat dipercaya (realiable), dapat diukur (measureable), dapat dicapai (achievable). (Kemenkes RI, 2014)

Strategi DOTS ( Directly Observed Treatments Shortcourse)

Strategi DOTS adalah pengawasan langsung untuk pengobatan jangka pendek dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan penderita dengan pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus di observasi (observed) dalam menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan (treatment) yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup.

Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek (short course) standard yang telah terbukti ampuh secara klinis.

Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

(40)

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.

Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan penyakit TB (Kemenkes RI, 2014).

Menurut Kemenkes RI (2014) Strategi DOTS mempunyai lima komponen, yaitu :

1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB Nasional.

Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik. Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk (guide line) yang menjelaskan bagaimana strategi DOTS dapat di implementasikan di dalam sistem kesehata umum yang ada, dan diperlukan dukungan pendanaan dalam hal sarana, prasarana dan peralatan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masyarakat.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO

(41)

merekomendasikan strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan pengobatannya. Pemeriksaan mikroskopis ini merupakan pendekatan penemuan kasus secara pasif yang merupakan cara paling efektif dalam menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat.

3. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).

Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standar.

Dalam aturan pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 bulan dengan menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis kepada seluruh pasien tuberkulosis. Pengawasan pengobatan secara langsung sangat penting selama tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat. Dengan pengawasan pengobatan ecara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi tanggung

(42)

jawab dan memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis.

4. Kesinambungan persediaan OAT.

Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu, sangat diperlukan guna keteraturan pengobatan. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan sediaan obat pada berbagai tingkat daerah. Maka dari itu diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat sediaan di masing-masing gudang yang ada, dan lain-lain.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru.

Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar laboratorium yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan. Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten. Kemanapun pasien ini pergi, dia harus

(43)

menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali.

Tata Pelaksanaan TB Paru

Penemuan penderita TB paru. Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhahap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari pejaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kejadian pelaksaan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Keikut sertaan pasien merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB ( Kemenkes RI, 2011).

1. Strategi Penemuan Pasien TB

Strategi dalam menemukan penderia TB Paru menurut Kemenkes RI 2014), antara lain:

(44)

1) Penemuan pasien TB dilakukan intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan populasi rentan.

2) Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.

3) Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan dengan dukungan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.

4) Melibatkan semua fasilitas kesehatan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.

5) Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

a. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV, DM dan malnutrisi.

b. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh dan lain-lain.

c. Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB d. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat

6) Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan dan gejala yang sama dengan gejala TB.

2. Pemeriksaan Dahak (Sputum)

1) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung

(45)

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu – Pagi - Sewaktu (SPS):

a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

2) Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal :

a. Pasien TB ekstra paru.

b. Pasien TB anak.

c. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

(46)

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.

3) Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi kuman tuberkulosis terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu / Quality Assurance (QA). Uji kepekaan obat dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi. (Kemenkes RI, 2014)

Diagnosa TB paru.

1. Diagnosis TB Paru

1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu pemeriksaan dahak sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

2) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB BTA. Pada program TB nasional, penemuan

(47)

BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya

3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over diagnosis.

1. Diagnosis TB Ekstra Paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain- lain (Depkes RI, 2009).

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis.

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan

(48)

untuk menetapkan panduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.

Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus, yaitu:

1) Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru

2) Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau BTA negatif;

3) Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati, dan 4) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan tempat/organ yang diserang oleh kuman, maka tuberkulosis dibedakan menjadi Tuberkulosis Paru, Tuberkulosis Ekstra Paru.

a. Tuberkulosis Paru

TB Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).

b. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Bila seseorang penderita TB Paru sekaligus juga menderita TB Ekstra Paru, maka diklasifikasikan sebagai penderita TB Paru (Kemenkes RI, 2014).

(49)

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru bedasarkan pemeriksaan dahak menurut Kemenkes RI (2014), dibagi dalam :

1. Tuberkulosis paru BTA positif

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA posiif.

2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.

2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis 3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

4) Ditentukan (dipetimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru bedasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:

1) Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

(50)

2) Kambuh (Relaps) adalah penderita TB yang telah sembuh atau mendapat pengobatab lengkap, kemudian dinyatakan sakit TB kembali dengan hasil BTA positif.

3) Penderita setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB yang putus berobat selama 2 bulan atau lebih, kemudian dinyatakan masih sakit TB dengan hasil BTA positif.

4) Gagal (Failure) yaitu penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan.

5) Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan yang berbeda untuk melanjutkan pengobatan.

6) Semua kasus yang tidak memenhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk pasien dengan kasus kronik yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia/PDPI, 2011).

Pengobatan tuberkulosis. Menurut Kemenkes RI (2014), pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan dalam pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian akibat kuman TB, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan angka penularan TB, dan mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat.

Menurut Kemenkes RI (2011), pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

(51)

1. Tahap Awal (intensif)

Pada tahap awal (intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudakan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk penderita dalam satu masa pengobatan. Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT.

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif, TB Paru BTA negati frontagen positif yang sakit berat, dan TB ekstra paru berat.

2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

(52)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Seelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relpas), gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah (after default).

3. Kategori Anak (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z).

obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), diberikan setiap hari selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untukpenderita kategori anak.

4. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Lefofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini ke-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.

Pengawasan menelan obat. Untuk menjamin keteraturan pengobatan maka diperlukan adanya Pengawasan Minum Obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,

(53)

PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Kemenkes RI, 2014).

Persyaratan PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih (tentang pengambilan dahak (sputum) dan tata pelaksanaan pengumpulan dahak (SPS)) dan mendapat penyuluhan mengenai TB bersama-sama dengan pasien.

Adapun tugas PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

Pemantauan pengobatan TB paru. Menurut Kemenkes RI (2014) pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara

(54)

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai tahap pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan :

1. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif:

1) Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan

2) Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan)

(55)

2. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif:

1) Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), yaitu:

a. Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

b. Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap.

c. Positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.

d. Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5

e. (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).

2) Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), yaitu:

a. Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

b. Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR (Multi drug resistan).

(56)

c. Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.

d. Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).

3) Pada bulan ke 5 atau lebih :

a. Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan.

b. Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR.

c. Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.

d. Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.

(57)

e. Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Hasil pengobatan TB paru. Menurut Kemenkes RI (2014), dalam hasil pengobatan pasien TB dibagi 6 kriteria, antara lain :

1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis 2. Positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada

akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.

3. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.

4. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

22 DESI YURI LANATAMA AKUNTANSI PAGI BAIK SEKALI LULUS 23 AYUNG ADUMA DEVANATA MANAJEMEN MALAM BAIK SEKALI LULUS 24 MUHAMAD SYAIFUDIN MANAJEMEN MALAM BAIK SEKALI LULUS 25

Hasil keputusan rapat Komite dituangkan dalam suatu risalah rapat yang ditandatangani oleh seluruh anggota Komite yang hadir dan didokumentasikan secara baik

Yet when practical reasoning is constrained by liberal procedures the public sphere and account- ability relationships fail to provide a role for the state in developing a politics

Untuk mengisi kekosongan anggota Dewan Komisaris, telah dilakukan fit and proper test terhadap 4 (empat) calon anggota komisaris pada hari selasa tanggal 24 November 2015

interactive/diagnostic classi®cation of management control systems to capture how accounting can be used as a learning machine in the formulation and implementation of

3. Atase pendidikan atau sekolah pelaksana UN di luar negeri mengirimkan LJUN ke Puspendik paling lambat satu minggu setelah UN berakhir. Menerima LJUN SMA/MA, SMK/MAK,