• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang abritrer, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1984: 19). Bahasa digunakan untuk berinteraksi ataupun berkomunikasi dengan antar anggota masyarakat sehingga terjalinlah kerja sama dan juga kesepahaman informasi antaranggota masyarakat.

Bahasa juga dapat berkembang, sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat bahasa dalam menuturkannya. Hal tersebut juga terjadi dalam bahasa Jawa dan terjadi perbedaan baik dari segi leksikal, fonologi, morfologi serta semantik. Adapun beberapa perbedaan-perbedaan itu dipengaruhi oleh: (1) keadaan alam, misalnya mempengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya kemungkinan itu, (2) adanya batas-batas politik yang menjadi jembatan terjadinya pertukaran bahasa, (3) adanya hubungan dan keunggulan bahasa-bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan, atau penjajahan (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1983: 6). Hal-hal ini terjadi juga pada bahasa Jawa Ngawi (selanjutnya disingkat BJNg).

BJNg adalah bahasa Jawa yang biasa digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Ngawi tidak jauh beda dengan bahasa Jawa standar, namun ada beberapa variasi bahasa yang berbeda dengan bahasa Jawa standar. Bila dilihat commit to user commit to user

(2)

dari beberapa pemakaian bahasa di Kabupaten Ngawi, BJNg memiliki unsur campuran antara dialek Surakarta dan Yogyakarta dengan dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Jombang). Karena percampuran inilah yang menciptakan berbagai variasi BJNg.

Secara linguistik, ditemukan banyak variasi BJNg. Variasi bahasa tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan onomasiologis, yaitu menunjukkan nama yang berbeda namun merujuk pada konsep yang sama di beberapa tempat yang berbeda (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1983: 4), dalam BJNg ditemukannya leksikon atau kosakata masoh [masOh] „mencuci‟ di Kecamatan Karanganyar.

Leksikon atau kosakata tersebut memiliki variasi dengan ngumbahi [Gumbahi] di Kecamatan Karangjati. Leksikon khas BJNg ditemukan dalam leksikon atau kosakata dhungu [DuGu] „dengar‟ di Kecamatan Karanganyar yang tidak ditemukan di titik pengamatan lain di Kabupaten Ngawi. Adanya variasi bahasa Jawa ini membuktikan bahwa BJNg memiliki keanekaragaman di setiap daerahnya dan peneliti menyakini adanya variasi dialek BJNg yang meliputi unsur fonologis, morfologis maupun leksikal, adanya leksikon khas BJNg serta ingin mengetahui persebaran variasi dialektal dengan cara memetakannya. Sehingga, peneliti tertarik untuk meneliti BJNg dengan kajian geografis dialek.

Secara geografis, Kabupaten Ngawi terletak pada posisi 7°21‟-7°31‟

Lintang Selatan dan 110°10‟-111°40‟ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.298,58 km2 dan sekitar 20% atau sekitar 506,6 km2 berupa lahan sawah. Secara administrasi wilayah ini terbagi menjadi 19 kecamatan dan 217 desa. Topografi wilayah ini adalah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat

commit to user commit to user

(3)

ada 4 kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal yang terletak di kaki Gunung Lawu. Batas wilayah Kabupaten Ngawi di utara berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora yang masuk wilayah propinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Bojonegoro. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Madiun. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen yang masuk wilayah propinsi Jawa Tengah (ngawikab.go.id/letak-geografis). Batas politik inilah yang menjadi jembatan terjadinya petukuran budaya, bahasa serta ekonomi, cara hidup, dan sebagainya, tercermin pula di dalam dialek yang bersangkutan (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1983: 6).

Beberapa penelitian berkaitan dengan dialek bahasa Jawa yang telah dilakukan, antara lain.

Bahasa Jawa di Kabupaten Grobogan, Kajian Geografi Dialek (Indarti, 2001). Penelitian yang dilakukan yaitu pada ciri-ciri variasi dialek yang berupa fonologi, morfologi, dan leksikal, hubungan antara bahasa Jawa Grobogan dengan bahasa Jawa standar, serta kondisi objektif peran variasi dialektal. Dari hasil penelitiannya ditemukan variasi fonologis yang berupa variasi bunyi, variasi lebih dari satu, variasi konsonan tunggal, variasi konsonan lebih dari satu, dan variasi bunyi campuran. Dari variasi morfologis ditemukan dalam afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan diftongsasi. Variasi leksikalnya ditemukan berupa variasi semasiologis dan onomasiologis. Deskripsi kondisi objektif pemetaannya

commit to user commit to user

(4)

ditemukan 114 peta yang terdiri dari 58 peta fonologis, 15 peta morfologis, dan 41 peta leksikal.

Bahasa Jawa di Kabupaten Magetan Kajian Geografi Dialek (Purbayani, 2006). Penelitian yang dilakukan meliputi mendeskripsikan ciri-ciri variasi dialektal bahasa Jawa Magetan dari segi fonlogis, morfologis dan leksikal, variasi leksikon khas bahasa Jawa Magetan, serta pemetaan variasi dialektal bahasa Jawa Magetan. Hasil penelitian yang dilakukan di dalam bahasa Jawa Magetan dari segi fonologis, ditemukan adanya variasi vokal, variasi konsonan, penambahan dan pengurangan vokal, penambahan dan pengurangan konsonan, penambahan dan pengurangan konsonan dan vokal secara bersamaan. Dari segi morfologis ditemukan variasi-variasi dengan proses afiksasi, reduplikasi, dan akronimisasi.

Dari segi leksikal ditemukan berbagai variasi kata yang terletak menyebar di seluruh titik penelitian dan kemudian dipetakan sesuai dengan penyebarannya.

Bahasa Jawa di Kabupaten Sragen (Kajian Geografi Dialek) (Chasanah, 2006). Penelitian ini berupa mendeskripsikan variasi dialektal yang meliputi unsur fonologis, morfologis dan leksikal bahasa Jawa Sragen, mendeskripsikan unsur leksikon khas bahasa Jawa Sragen, serta mendeskripsikan pemetaan unsur leksikon bahasa Jawa Sragen. Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa ditemukan variasi dialektal bahasa Jawa Sragen dari unsur fonologis yang berupa variasi vokal dan konsonan baik dengan penambahan maupun penghilangan, dari unsur morfologis berupa afiksasi, reduplikasi dan komposisi, dan unsur leksikal yang berupa onomasiologis dan semasiologis. Ditemukan adanya leksikon khas bahasa Jawa Sragen sebanyak 25 leksikal. Serta dijelaskan tentang pemetaan

commit to user commit to user

(5)

unsur leksikal bahasa Jawa Sragen sebanyak 107 buah peta sesuai dengan titik pengamatan yang telah ditentukan.

Variasi Bahasa Jawa di Kabupaten Ponorogo Suatu Kajian Geografi Dialek (Ardiati, 2016). Penelitian ini mendeskripsikan mengenai variasi dialektal bahasa Jawa Ponorogo yang meliputi unsur fonologis, morfologis, dan leksikal.

Mendeskripsikan unsur leksikon khas bahasa Jawa Ponorogo serta pemetaan unsur leksikal bahasa Jawa Ponorogo.

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kajian geografi dialek maupun dialektologi yang berupa jurnal, antara lain.

Bahasa Jawa Dialek Brebes; Sebuah Telaah Fonologi Generatif (Hakim). Penelitian ini berupa mengidentifikasi tentang ke-khasan unsur bahasa Brebes, khususnya pada variasi bunyi yang dimiliki. Hasil penelitian berupa pengidentifikasian bahwa bahasa Jawa dialek Brebes terdapat beberapa proses variasi bunyi, antara lain asimilasi, pelesapan, dan penambahan.

Geografi Dialek Bahasa Jawa Pesisiran di Desa Paciran Kabupaten Lamongan (Purwaningsih). Penelitian ini berupa membuktikan bahwa jalur Pantura dan sungai menyebabkan perbedaan dialek, memetakan gejala kebahasaan dari segi fonologi dan leksikal serta menemukan kekhasan Bahasa Jawa Pesisiran.

Hasil penelitian ini berupa ditemukan berkas isoglos fonologi memiliki lima pola persebaran dan berkas isoglos leksikal memiliki empat pola persebaran, variasi fonologi terwujud dari variasi alofon, penambahan bunyi, pengurangan bunyi, pergeseran bunyi, penurunan bunyi pada suku kata tertutup, dan substitusi bunyi, variasi leksikal disebabkan oleh onomasiologis, semasiologis, dan reduplikasi

commit to user commit to user

(6)

serta terdapat perbedaan wicara dan subdialek pada tataran fonologis dan pada tataran leksikal tidak terdapat perbedaan.

Variasi Bahasa dalam Interaksi Sosial Warga Dukuh Ngares, Desa Kadireso, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali (Kajian Sosiolinguistik) (Dewi, 2012). Penelitian ini berupa memaparkan bentuk-bentuk variasi bahasa yang digunakan dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi variasi bahasa dalam interaksi sosial warga dukuh Ngares, desa Kadireso, kecamatan Teras, kabupaten Boyolali. Hasil penelitian ini berupa ditemukan bentuk-bentuk variasi bahasa yang digunakan warga dalam interaksi sosial di Dukuh Ngares, Desa Kadireso, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali meliputi, (a) variasi bahasa dari segi penutur, ditemukan adanya idiolek umi, ki, ta, -e/-ne, we, dan lhah, dialek kok, ta, -e, horok, ki, anu, dan sosiolek Pak, Bu, Mbok, Nduk, Lik (b) variasi bahasa dari segi pemakaian, ditemukan dalam bidang pertanian yang meliputi kosakata padi organik, organik, obat, pupuk, petani, walang, serangga, predator, lemah, tandus, manuk, rabuk, pari, panen, kimia dan ngrabuk dan dalam bidang perdagangan yang meliputi kosakata jajan-jajan, kulakan, jujul, dodol, utang, tuku, diimboi, payu, duwit dan batine (c) variasi bahasa dari segi keformalan, ditemukan ragam santai atau kasual yang berupa alegro meliputi nuwun, neng, ndi, ten, seh, ku, pun, bar, pa, ra, Pik, Sin, Her, Yu Ti, Nok, Nda, Lin, Mbah, Pak, dan ragam akrab yang meliputi kosakata mlebuo (d) variasi bahasa dari segi sarana, ditemukan adanya sarana lisan yaitu berupa percakapan warga dalam kegiatan sehari-hari dan sarana tulis yang berupa undangan rapat pemuda. Jenis kelamin, status sosial, usia, dan idiolek menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi

commit to user commit to user

(7)

variasi bahasa dalam interaksi sosial warga Dukuh Ngares, Desa Kadireso, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali.

Geografi Dialek Bahasa Saluan (Pamolango, 2012). Penelitian ini berupa mendeskripsikan sebaran unsur fonologis bahasa Saluan dalam wilayah pakainya, mendeskripsikan sebaran unsur leksikal bahasa Saluan dalam wilayah pakainya serta mendeskripsikan sebaran geografis unsur fonologis dan leksikal itu memilah-milah bahasa Saluan ke dalam sejumlah dialek, subdialek atau perbedaan wicara. Hasil penelitian yang dilakukan berupa ditemukan tidak ada ciri khusus dalam bahasa Saluan, hanya terdapat variasi-variasi yang tersebar di kecamatan Pagimana, Lobu dan Bualemo yaitu /a/ dan /e/, /ʔ/ dan /k/, /l/ dan /n/

dan /r/ dan /l/. Jumlah fonem yang ada ditinjau dari segi vokal, terdapat 8 buah fonem, dan dari segi konsonan, terdapat 18 fonem. Semuanya tersebar di 31 daerah pengamatan. Persebaran leksikal, ditemukan bahwa ada variasi-variasi leksikal yang tersebar di 31 daerah pengamatan, baik di Kecamatan Pagimana, Lobu dan Bualemo. Sebaran variasi leksikal yang terjadi juga beragam. Pertama, sebaran antarkecamatan, sebaran antardua kecamatan, dan sebaran acak di setiap kecamatan. Namun ada juga unsur-unsur leksikal yang tidak mempunyai variasi.

Persebaran unsur fonologis dan leksikal bahasa Saluan dengan menggunakan metode dialektometri, tampak bahwa umumnya perbedaan yang terdapat dalam bahasa Saluan masih merupakan perbedaan wicara.

Geografi Variasi Bahasa di Bagian Utara Karawang Jawa Barat (Huri, 2017). Penelitian ini berupa mengidentifikasi variasi bahasa yang terdapat di bagian utara Karawang. Hasil penelitian berupa ditemukan empat bahasa yakni

commit to user commit to user

(8)

bahasa Sunda, bahasa Cirebon, bahasa Melayu Betawi, dan bahasa Melayu Bekasi yang tersebar dengan variatif di delapan kecamatan, di bagian utara Karawang.

Serta beberapa penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Ngawi, antara lain.

Variasi Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi : Kajian Dialektologi (Rahayu, 2012) . Penelitian ini berupa Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk variasi dialektal bahasa Jawa yang muncul dalam interaksi masyarakat di wilayah Kabupaten Ngawi dilihat dari variasi fonologis dan leksikal dan menganalisis dan menggambarkan pola pemetaan dialek di wilayah Kabupaten Ngawi dengan melihat pada variasi fonologis dan leksikalnya. Hasil penelitian berupa ditemukan adanya 23 variasi fonologis dan 47 variasi leksikal yang muncul pada daerah pengamatan. Selain itu juga ditemukan beberapa dialek khas Ngawi, dialek yang muncul ini diasumsikan dapat membedakan dialek Ngawi dengan dialek wilayah lain. Deskripsi bentuk-bentuk linguistik pada dialek Ngawi menunjukkan banyaknya bentuk bahasa Jawa yang cenderung mengacu pada dialek Jawa Tengah, meskipun letaknya termasuk pada wilayah Jawa Timur.

Bahasa Indonesia juga mulai berkembang dan digunakan dalam komunikasi masyarakat sehari-hari.

Tindak Kesantunan Komisif pada Pedagang di Pasar Tradisional Ngawi: Kajian Pragmatik (Arismawati, 2014). Penelitian ini berupa mendeskripsikan bentuk tindak kesantunan komisif pada pedagang di pasar tradisional Ngawi, mendeskripsikan skala kesantunan komisif pada pedagang di pasar tradisional Ngawi, dan mendeskripsikan teknik tindak tutur komisif pada

commit to user commit to user

(9)

pedagang di pasar tradisional Ngawi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk tindak kesantunan komisif diklasifikasikan menjadi 5, yaitu: (a) Tindak Tutur Komisif Menawarkan yang dikelompokkan menjadi menawarkan makanan, pakaian, dan jasa, (b) Tindak Tutur Komisif Bersumpah yang dikelompokkan menjadi bersumpah saat menjual makanan dan pakaian, (c) Tindak Tutur Komisif Berjanji yang dikelompokkan menjadi berjanji untuk pelayanan makanan dan melakukan jasa, (d) Tindak Tutur Komisif Berniat dikelompokkan menjadi berniat untuk membuatkan makanan dan mencarikan pakaian dan, (e) Tindak Tutur Komisif Bertekad yang dikelompokkan menjadi bertekad untuk menyediakan makanan dan menyediakan pakaian. Skala kesantunan komisif diklasifikasikan menjadi 5, yaitu: (a) Skala Untung-Rugi (Cost-Benefit-Scale), (b) Skala Pilihan (Optionality Scale), (c) Skala Ketidaklangsungan (Inderectness Scale), (d) Skala Keotoritasan (Anthority Scale) dan, (e) Skala Jarak Sosial (Social Distance). Teknik tindak tutur dibedakan menjadi: (a) Tindak Tutur Langsung yang dikategorikan berdasarkan modus kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah, (b) Tindak Tutur Tidak langsung yang dikategorikan berdasarkan modus kalimat tanya, (c) Tindak Tutur Literal dan, (d) Tindak Tutur Tidak Literal.

Register Petani Padi di Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi : Sebuah Kajian Sosiolinguistik (Sari, 2014). Penelitian ini berupa pemaparan bentuk-bentuk register petani padi dan faktor yang menjadi penyebab terjadinya register petani di desa Bayubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Hasil penelitian ini ditemukan 50 bentuk register petani padi dan 3 faktor penyebab terjadinya register petani padi di desa Banyubiru,

commit to user commit to user

(10)

kecamatan Widodaren, kabupaten Ngawi. 50 bentuk register tersebut meliputi pari , wineh , sak , peme / meme, selep ,rendeng , gadhu, walikan, sebau, dikom, nyebar, pinihan, bedok, galengan, kedokan , abok , wal walan , arit , nggacrok, alis – alis / dialisi , mopok /popok , macul, borongan , nyedot banyu, bagian banyu, nggaru, grabaki, tandur, embol, jidar, laot, suket, maton, mrapu, ngropok, potong leher, ngerek, derep, ngerit, bas, tleser, sulam, banjari, nyemprot, ndaud , gabah, ngirim ,ngadahi, pocongan, mluku. 3 faktor penyebab terjadinya register petani padi yaitu faktor pekerjaan, faktor kebiasaan, faktor turun temurun.

Bahasa dan Budaya Jawa dalam Tanaman Berkhasiat Obat Tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Kajian Etnolinguistik) (Lestari, 2015). Penelitian ini berupa mendeskripsikan hubungan bahasa dan budaya Jawa dalam nama tanaman berkhasiat obat tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur dan mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terangkum dalam nama tanaman berkhasiat obat tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Hasil penelitian berupa ditemukan 41 nama tanaman berkhasiat obat di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Nama tanaman tersebut dikelompokkan manjadi bentuk monomorfemis yang berjumlah 16 buah. Bentuk polimorfemis berupa kata ulang berjumlah 1 buah, sufiks (afiksasi) berjumlah 2 buah, dan kata majemuk berjumlah 22 buah. Penentu makna leksikal nama tanaman berkhasiat obat tradisional adalah makna kamus dan makna nama tanaman berkhasiat obat tradisional, sedangkan makna kultural nama tanaman tersebut sesuai dengan karakter fisik tanaman yang meliputi bentuk, posisi, warna, dan bau, khasiat

commit to user commit to user

(11)

sebagi obat tradisional, manfaat sebagai jamu gendong, cara pemanfaatan sebagai obat menurut masyarakat setempat dan pemakaian untuk aktivitas tertentu menurut tradisi masyarakat setempat selain sebagai obat.

Ekspresi Verbal dan Nonverbal dalam Upacara Ganti Langse Palenggahan Ageng di Alas Srigati Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi (Suatu Kajian Etnolinguistik) (Ardyati, 2018). Penelitian ini berupa menyebutkan bentuk ekspresi verbal dalam upacara ganti langse Palenggahan Ageng di Alas Srigati, mendeskripsikan dan mengungkapkan makna gramatikal dan makna leksikal ekspresi verbal upacara ganti langse Palenggahan Ageng di Alas Srigati serta mendeskripsikan dan mengungkapkan makna kultural yang terkandung dalam ekspresi nonverbal upacara ganti langse Palenggahan Ageng di Alas Srigati. Hasil penelitian berupa ditemukan beberapa bentuk ekspresi verbal yaitu monomorfemis, polimorfemis, dan frasa. Ekspresi verbal dilengkapi dengan makna gramatikal dan makna leksikal, makna gramatikal berupa makna setelah kata tersebut berubah bentuk. Makna gramatikal terdapat pada kata yang bersifat polimorfemis. Makna leksikal yaitu makna menurut kamus atau makna yang ada di kenyataan. Ekspresi nonverbal dalam penelitian ini berupa (gambar) sesaji, peralatan, dan prosesi yang mempunyai simbol dan berkaitan dengan makna kultural. Ekspresi nonverbal dilengkapi dengan makna kultural. Makna kultural dalam penelitian ini didapatkan dari informan kemudian diinterpretasikan kembali oleh peneliti.

Berdasarkan uraian di atas belum ada para peneliti yang meneliti tentang penelitian Kajian Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Ngawi 2019 dilihat

commit to user commit to user

(12)

dari kajian yang sama maupun tempat penelitian (research gap), sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Peneliti juga tertarik akan adanya berbagai variasi bahasa Jawa yang berada di Kabupaten Ngawi, meskipun masih dalam satu register atau wilayah. Peneliti meyakini ada hasil temuan yang berbeda dari penelitian sebelumnya, karena tahun serta titik pengamatan yang berbeda. Peneliti juga ingin menginventarisasi leksikon bahasa Jawa yang ada di Kabupaten Ngawi.

Dalam penelitian ini dideskripsikan variasi dialektal BJNg yang meliputi unsur fonologis, morfologis, dan leksikal. Variasi dialektal dari unsur fonologis berupa variasi vokal dan konsonan baik dengan penambahan maupun dengan penghilangan, dari unsur morfologis berupa afiksasi, dan reduplikasi, untuk unsur leksikal berupa onomasiologis, dan semasiologis, serta menemukan leksikon- leksikon khas BJNg. Dari variasi-variasi bahasa tersebut kemudian dipetakan dalam peta dialek.

B. Batasan Masalah

Dalam penelitian Kajian Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Ngawi 2019, peneliti membatasi masalah yang meliputi variasi dialektal, unsur leksikon khas BJNg serta memetakan unsur leksikal BJNg.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat tiga rumusan masalah sebagai berikut.

commit to user commit to user

(13)

1. Bagaimanakah variasi dialek yang meliputi unsur fonologis, morfologis dan leksikal BJNg?

2. Bagaimanakah unsur leksikon khas BJNg?

3. Bagaimanakah pemetaan variasi dialektal BJNg?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti mempunyai tiga tujuan penelitian sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan variasi dialek yang meliputi unsur fonologis, morfologis dan leksikal BJNg.

2. Mendeskripsikan unsur leksikon khas BJNg.

3. Mendeskripsikan pemetaan variasi dialektal BJNg.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat lebih memahami dan menguasai teori linguistik, khususnya teori dialektologi.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut.

a. Dapat memberikan petunjuk bagi pemakai BJNg untuk mengetahui adanya keanekaragaman BJNg di kabupaten Ngawi pada khususnya.

commit to user commit to user

(14)

b. Memberikan sumbangan pada perbendaharaan bahasa nasional pada umumnya.

c. Dapat dimanfaatkan oleh para guru bahasa Jawa untuk menambah materi pengajaran BJNg.

d. Dapat dipakai sebagai acuan penelitian dialek bagi peneliti berikutnya.

commit to user commit to user

(15)

F. Kerangka Pikir

G. Landasan Teori

1. Pengertian Dialektologi

Dialektologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari variasi- variasi bahasa yang memperlakukannya sebagai struktur yang utuh (Kridalaksana,

Kajian Geografi Dialek Bahasa Jawa Di Kabupaten Ngawi

Bagaimanakah variasi dialek yang meliputi unsur fonologis,

morfologis dan leksikal BJNg?

Bagaimanakah unsur leksikon khas BJNg?

Bagaimanakah pemetaan variasi dialektal BJNg?

Teori:

1. Dialektologi 2. Variasi Bahasa 3. Macam-macam Dialek

4. Geografi Dialek 5. Dialektometri

6. Peta Bahasa

Metode Pengumpulan Data 1. Metode Simak 2. Metode Cakap Metode Analisis Data

1. Metode Padan 2. Metode Agih

Mendeskripsikan variasi dialek yang meliputi unsur fonologis, morfologis, dan leksikal BJNg.

Memetakan variasi dialektal BJNg.

Mendeskripsikan unsur leksikon khas BJNg

commit to user commit to user

(16)

1984: 39). Dialektologi adalah ilmu yang mempelajari dialek atau ilmu yang mempelajari variasi bahasa (Zulaeha, 2010: 1). Chambers dan Tuggill (dalam Zulaeha 2010: 3) mengatakan bahwa dialektologi adalah suatu kajian tentang dialek atau dialek-dialek. Sehingga dialektologi merupakan ilmu yang mempelajari berbagai variasi bahasa dalam suatu daerah, yang pada akhirnya diketahui di setiap daerah memiliki variasi bahasa yang berbeda meskipun masih dalam satu wilayah administratif.

2. Variasi Bahasa

Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk dalam suatu bahasa yang masing- masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya (Poedjosoedarmo dalam Maryono, 2001: 36). Variasi bahasa dimiliki oleh semua bahasa yang dipergunakan dalam suatu masyarakat. Variasi itu ditentukan oleh letak geografis, tata tingkat dalam masyarakat, atau juga ditentukan oleh profesi masing-masing kelompok penutur dalam batas-batas saling mengerti (Parera, 1991: 26).

Menurut pendapat Peodjosoedarmo variasi bahasa tersebut dibagi menjadi 5 wujud variasi, yaitu berupa idiolek, dialek, ragam bahasa, register, dan unda-usuk.

a. Idiolek merupakan variasi bahasa yang sifatnya khas pada tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain.

b. Dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai, variasi bahasa yang dipakai oleh golongan tertentu atau kelompok bahasawan yang hidup dalam waktu tertentu. commit to user commit to user

(17)

c. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan yang dapat dilihat dari faktor sudut pembicara, tempat bicara, pokok pembicaraan, dan situasi bicara.

d. Register merupakan variasi bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas sesuai dengan kebutuhan pemakainya.

e. Unda-usuk merupakan variasi bahasa yang pemakainya didasarkan pada tingkat-tingkat tutur, kelas atau status sosial pemakai bahasa (Peodjosoedarmo dalam Suwito, 1983:23-25).

Dalam penelitian ini, variasi bahasa yang diteliti adalah variasi bahasa yang berupa dialek, yaitu variasi bahasa dialek BJNg.

3. Macam-macam Dialek

Berdasarkan pendapat Kridalaksana, (1984: 39) dialek terbagi menjadi tiga macam yaitu dialek sosial, temporal dan regional.

a. Dialek Sosial

Dialek sosial atau sosiolecte ialah ragam bahasa yang digunakan oleh kelompok tertentu yang membedakannya dari kelompok masyarakat yang lain (Kridalaksana dalam Ayatrohaedi, 1983: 14). Variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu yang dilatarbelakangi oleh faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Misalnya, dialek pegawai Dinas Kependudukan Catatan Sipil dalam Bahasa Betawi.

b. Dialek Temporal

Dialek temporal adalah ragam bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu (Kridalaksana, 1984: 39). Variasi bahasa ini lebih berfokus pada commit to user commit to user

(18)

perkembangan bahasa dari masa ke masa atau dari waktu ke waktu, misalnya bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Tengahan, bahasa Jawa Baru atau Modern.

c. Dialek Regional

Dialek regional merupakan dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh tempat (Kridalaksana, 1984: 39). Dialek regional atau dialecte regional, yaitu bahasa yang digunakan di luar daerah pakainya (Warnant dalam Ayatrohaedi, 1983:13). Dialek regional dikenal juga dengan dialek geografi, yaitu variasi bahasa yang bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan berdasarkan peta wilayah bahasa yang ada (Zulaeha, 2010:27). Sehingga dialek regional merupakan variasi bahasa yang dibatasi oleh suatu wilayah atau letak geografi suatu tempat.

4. Geografi Dialek

Geografi dialek akan memetakan unsur-unsur bahasa yang berbeda yang terdapat di titik pengamatan yang telah ditentukan. Geografi dialek adalah suatu bentuk kajian terhadap ragam bahasa baru disebut dialek, utamanya dialek geografi. Geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Geografi dialek sebenarnya merupakan bagian dari linguistik historis yang secara khusus berbicara mengenai dialek-dialek atau perbedaan lokal.

Terdapat perbedaan antara geografi dialek dengan dialek geografi.

commit to user commit to user

(19)

Tabel 1

Perbedaan Geografi Dialek dan Dialek Geografi

Geografi Dialek Dialek Geografi

1. Cabang dari kajian linguistik.

2. Kajian ilmu dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut. Misalnya, geografi dialek di Kabupaten Ngawi.

1. Cabang dari pembagian dialek secara umum.

2. Kajian ilmu yang mempelajari variasi bahasa yang penggunaannya dibedakan oleh wilayah pemakaian.

Misalnya, dialek Jawa Banyumas (tidak hanya wilayah register Banyumas, namun daerah sekitar yang terdapat dialek Jawa Banyumas).

Sehingga, peneliti memilih kajian geografi dialek untuk mengetahui varisi bahasa serta kekhasan bahasa yang terdapat di Kabupaten Ngawi. Dalam menentukan kekhasan digunakan kriteria yang ditentukan oleh Guiraud (dalam Ayatrohaedi, 1983: 3) yaitu perbedaan fonetik, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis dan perbedaan morfologis.

Perbedaan fonetis adalah perbedaan bahasa yang dipakai oleh penutur yang tidak disadari oleh penutur. Perbedaan semantik adalah perbedaan bahasa dengan terciptanya bahasa baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Perbedaan onomasiologis yaitu menyebutkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang sama. Perbedaan semasiologis yaitu pemberian nama yang sama namun merujuk pada konsep yang berbeda. Perbedaan morfologis adalah perbedaan yang bersangkutan dengan sistem tata bahasa, morfem-morfem, kegunaanya yang berkerabat, wujud fonetis, daya rasa, dan sejumlah faktor lainnya.

commit to user commit to user

(20)

5. Dialektometri

Dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (Revier dalam Ayatrohaedi, 1983: 32). Metode ini menggunakan rumus perhitungan segitiga antardaerah pengamatan, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

(

)

S: jumlah beda dengan pengamatan daerah lain.

n: jumlah peta yang dibandingkan.

d: jarak kosakata dalam presentase

Presentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah pengamatan itu, selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antar-daerah pengamatan yang ada dengan kriteria sebagai berikut: 80% keatas = dianggap perbedaan bahasa; 51%-80% = dianggap perbedaan dialek; 31%-50% = dianggap perbedaan subdialek; 20%-30% = dianggap perbedaan wicara; 0%-20% = dianggap tidak ada perbedaan (Guiter dalam Ayatrohaedi, 1983: 32).

6. Peta Bahasa

Gambaran umum mengenai sejumlah dialek seperti dikatakan di atas baru akan tampak jalan jelas jika semua gejala kebahasaan yang terkumpul selama penelitian itu dipetakan. Oleh karena itu, kedudukan dan peranan peta bahasa di

commit to user commit to user

(21)

dalam kajian geografi dialek merupakan sesuatu yang secara mutlak diperlukan (Ayatrohaedi, 1983: 31).

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan Taraf Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian dasar (basic research). Penelitian dasar hanya bertujuan untuk pemahaman mengenai suatu masalah dan merupakan jenis penelitian yang banyak dilakukan secara individual, terutama di lingkungan akademis (Sutopo, 2002: 109-110). Taraf penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Taraf penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci, mendalam, dan benar-benar potret kondisi apa yang kebenarannya terjadi di lapangan (Sutopo, 2002: 110-111). Deskripsi kualitatif merupakan penelitian yang metode pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Subroto, 1992: 5). Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan potret apa adanya yaitu variasi dialektal yang meliputi unsur fonologi, morfologi dan leksikal, seta unsur leksikon khas BJNg. Sedangkan penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang menggunakan proses data-data yang berupa angka sebagai alat menganalisis dan melakukan kajian penelitian (Kasiram, 2008: 149). Penelitian kuantitatif bertujuan untuk memetakan unsur leksikal BJNg. commit to user commit to user

(22)

2. Data dan Sumber Data

a. Data

Data merupakan fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 51).

Data ini berwujud satuan lingual yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Ngawi. Satuan lingual yang dimaksud adalah satuan lingual yang menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat setempat di Kabupaten Ngawi.

Peneliti menggunakan daftar tanyaan 200 kosakata swadesh serta beberapa kosakata yang dipilih. Kosakata yang dipilih oleh peneliti, yaitu.

1) Bagian tubuh : gigi yang bertumpuk tumbuhnya, gigi yang menonjol keluar, ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, jari kelingking, mata kaki, pergelangan tangan, lesung pipit.

2) Bagian rumah : dapur, kamar, halaman, serambi, lubang angin.

3) Kata kerja : mengubur, mencuci tangan, mengintai, meletakkan, menyentuh, sesenggukan, tenggelam, bersendawa, melompat, mencari rumput, mencari kayu, menelan.

4) Peralatan : bakul kecil, bakul besar, keranjang, cangkul kecil, gayung, pisau, selimut, tikar, alat seperti cangkul berkaki tiga.

5) Makanan : ikan asin, jagung goreng.

6) Binatang : ratu rayap, ayam betina dewasa, ayam betina tanggung, ayam jantan dewasa, ayam jantan tanggung, nyamuk.

commit to user commit to user

(23)

7) Keadaan alam : kilat, musim hujan, musim kemarau, pagi buta, senja buta, kebun, ladang.

8) Perhiasan : anting-anting, kopiah, sabuk.

9) Kata bilangan : kesatu, seratus, seribu, sejuta.

10) Kata tugas : belum, dahulu, akan, habis, masih, kemarin, besok, besok pagi.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari narasumber atau informan.

Narasumber adalah pemberi informasi yang membantu peneliti dalam tahap perolehan data yang disediakan untuk dianalisis, dan biasa disebut „informan‟,

„pembahan‟, atau „pembantu bahasa‟ (Sudaryanto, 1993: 183).

Kriteria informan atau pembahan untuk mendapatkan data yang diinginkan peneliti, yaitu:

1) Usia yang dianggap sangat sesuai bagi seorang pembahan ialah usia pertengahan (40-50 tahun) karena pada usia tersebut mereka telah menguasai bahasa atau dialeknya, tetapi belum sampai pada taraf pikun.

2) Pendidikan pembahan bukan pendidikan yang terlalu tinggi karena dari seorang yang berpendidikan tinggi akan terjadi banyak pengaruh luar di dalam beriannya.

3) Asal-usul pembahan harus diusahakan dari desa atau tempat yang diteliti.

4) Kemampuan pembahan berbahasa di dalam pupuan bahasa dengan sendirinya merupakan faktor penentu.

commit to user commit to user

(24)

5) “Kemurnian” bahasa pembahan sangat erat hubungannya dengan kemampuan berbahasanya. (Ayatrohaedi, 1983: 48).

c. Lokasi Penelitian

Gb. 1 Peta Provinsi Jawa Timur

commit to user commit to user

(25)

Gb. 2 Peta Kabupaten Ngawi

Gb. 3 Peta Titik Penelitian

commit to user commit to user

(26)

Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Ngawi. Wilayah Kabupaten Ngawi memiliki 19 kecamatan serta 217 desa. Peneliti tidak mengambil semua desa di Kabupaten Ngawi untuk dijadikan titik penelitian.

Peneliti memilih 11 desa yang dijadikan titik penelitian oleh peneliti, yaitu: (1) Desa Sembung, Kecamatan Karangjati; (2) Desa Kenongorejo, Kecamatan Bringin; (3) Desa Jatirejo, Kecamatan Kasreman; (4) Desa Jenangan, Kecamatan Kwadungan; (5) Desa Banyuurip, Kecamatan Ngawi; (6) Desa Soco, Kecamatan Jogorogo; (7) Desa Sekaralas, Kecamatan Widodaren; (8) Desa Randusongo, Kecamatan Gerih; (9) Desa Mengger, Kecamatan Karanganyar; (10) Desa Pakah, Kecamatan Mantingan; dan (11) Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine.

Titik pengamatan tersebut dipilih karena letaknya tidak terlalu dekat dengan kota, atau daerah-daerahnya agak terpencil, belum terlalu banyak mendapat pengaruh-pengaruh bahasa dari luar daerah serta mobilitas penduduknya masih tergolong rendah. Menurut Mahsun (1995: 103) telah menentukan beberapa kriteria penentu titik pengamantan secara kualitatif dan secara kuantitatif. Secara kualitatif kriteria yang dipakai yaitu: 1) desa sebagai titik pengamatan tidak dekat atau bertetangga dengan kota besar, 2) mobilitas penduduk di desa sebagai titik pengamatan tergolong rendah, 3) desa sebagai titik pengamatan berpenduduk maksimal 6000 jiwa, 4) usia desa minimal 30 tahun. Secara kuantitatif yaitu melihat dari jarak antara titik pengamatan satu dengan yang lainnya tidak terlalu dekat. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan

commit to user commit to user

(27)

data yang lebih akurat dari tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya.

d. Alat Penelitian

Alat penelitian ini ada dua, yaitu alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang terjun langsung ke lapangan, mengamati, mencari serta mengumpulkan data berupa bahasa dialek di Kabupaten Ngawi.

Alat bantu yang digunakan antara lain alat tulis, seperti bolpoin, buku catatan, penghapus dan tipe-x, alat rekam (aplikasi recorder dalam HP), flashdisk, laptop, printer, daftar kosakata Swadesh serta gambar untuk mempermudah mendapatkan data yang diinginkan oleh peneliti.

e. Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atau cuplikan, karena peneliti membatasi jumlah titik pengamatan dan informan yang dipandang dapat menangkap kelengkapan dan kedalaman data dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal sesuai dengan permalasahan yang sedang diteliti. (Sutopo, 2006: 54-56). Hal ini yang mendasari peneliti hanya mengambil 11 titik pengamatan dan 3 informan pada setiap titik pengamatan.

f. Validitas Data

Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi (triangulation). Teknik triangulasi yang digunakan adalah teknik triangulasi data atau data triangulation yaitu peneliti menggunakan berbagai sumber data untuk mengumpulkan data yang sama (Sutopo, 1987: 15).

commit to user commit to user

(28)

3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 1984: 123). Penelitian ini menggunakan metode simak dan juga metode cakap.

a. Metode Simak

Metode simak yaitu menyimak menggunakan bahasa. Ini dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial (Sudaryanto, 1993: 133).

1) Teknik Dasar

Teknik yang digunakan berupa teknik sadap, yaitu peneliti menyadap pemakaian BJNg yang digunakan oleh informan dalam berdialog.

2) Teknik Lanjutan

Teknik lanjutan yang digunakan dalam metode simak yaitu:

a) Teknik Simak Libat Cakap (TSLC)

Peneliti menyimak pembicaraan informan dan sekaligus terlibat secara langsung dalam dialog dengan informan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan.

b) Teknik Simak Bebas Libat Cakap (TSBLC)

Penelitian menyimak pemakaian bahasa yang digunakan oleh penutur BJNg, dengan tidak terlibat secara langsung dalam tuturan tersebut.

c) Teknik Rekam

Teknik rekam ini digunakan untuk merekam penutur BJNg, yaitu dengan sepengetahuan penutur bahasa, maupun tanpa sepengetahuan

commit to user commit to user

(29)

penutur, yaitu untuk mempermudah dalam transkripsi fonetis dari tuturan BJNg.

d) Teknik Catat

Teknik catat merupakan teknik mencatat data yang diperoleh, maupun langsung mencatat ke dalam file komputer setelah data tersebut diperoleh, sekaligus dengan transkripsi fonetisnya.

b. Metode Cakap

Metode cakap yaitu berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti dan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993: 137).

1) Teknik Dasar

Teknik dasar yang digunakan berupa teknik pancing, yaitu peneliti memancing informan untuk mengeluarkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian, yang berupa tuturan BJNg.

2) Teknik Lanjutan

Teknik lanjutan yang digunakan oleh peneliti dalam metode cakap yaitu:

a) Teknik Cakap Semuka (TCS)

Peneliti melakukan dialog secara tatap muka dengan informan untuk memperoleh data yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan kebutuhan penelitian, dengan cara mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia yang kemudian agar diterjemahkan oleh informan ke dalam BJNg.

Peneliti juga menjadi pengendali dalam pembicaraan tersebut, agar tidak terjadi pembicaraan yang tidak terarah oleh informan.

commit to user commit to user

(30)

b) Teknik Cakap Tansemuka (TCT)

Teknik ini peneliti tidak secara tatap muka memberikan pertanyaan- pertanyaan, yang berupa pertanyaan dalam bentuk tulis yang terstruktur dan terarah dalam bahasa Indonesia yang harus diterjemahkan oleh informan ke dalam BJNg, maupun dengan gambar-gambar mempermudah dalam menjawab pertanyaan. Pertanyaan tertulis maupun gambar-gambar tersebut berupa kuesioner. Daftar kuesioner merupakan alat untuk mendapat sampel yang selektif dan sistematik.

c) Teknik Rekam

Teknik rekam ini digunakan untuk merekam tuturan BJNg, yaitu dengan sepengetahuan penutur, maupun tanpa sepengetahuan penutur, yaitu untuk mempermudahkan dalam transkripsi fonetis dari tuturan BJNg.

d) Teknik Catat

Teknik catat yaitu mencatat data yang diperoleh ke dalam kartu data, maupun langsung mencatat ke dalam file komputer setelah data tersebut diperoleh, sekaligus dengan transkripsi fonetisnya.

4. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah metode padan dan metode agih.

commit to user commit to user

(31)

a. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13).

Teknik dasar yang digunakan berupa tenik pilah unsur penentu (PUP).

Teknik lanjutannya berupa:

1) Tenik hubung banding menyamakan (HBS) yaitu membandingkan data variasi BJNg di antara TP 1 – TP 11 untuk menemukan kesamaan leksikon data variasi dialektalnya. Berikut adalah contohnya.

 Variasi fonologis

angin [ aGIn ] „angin‟ TP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11

 Variasi morfologis

ngambung [ GambUG ] „mencium‟ TP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11

 Variasi Leksikal

duding [ dudIG ] „jari telunjuk‟ TP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 2) Teknik hubung banding memperbedakan (HBB) yaitu membandingkan

data variasi BJNg di antara TP 1 – TP 11 untuk menemukan perbedaan leksikon variasi dialektalnya. Berikut adalah contohnya.

 Variasi fonologis

masuh [ masUh ] „mencuci‟ TP 5, 6, 7, 8 masoh [ masOh ] „mencuci‟ TP 8, 9

 Variasi morfologis commit to user commit to user

(32)

ngetung [ GetUG ] „hitung‟ TP 1, 2, 7, 8, 9, 11 ngitung [ GitUG ] „hitung‟ TP 2, 3, 7

 Variasi leksikal

ebor [ ebOr ] „gayung‟ TP 1, 2, 3, 5, 6 cidhuk [ ciDU? ] TP 1, 2, 9, 10, 11

3) Teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP) yaitu mencari ciri khas dari dialek BJNg di antara TP 1 – TP 11, dalam hal ini mencari ciri khas leksikon dari dialek BJNg yang kemungkinan tidak dimiliki oleh bahasa Jawa daerah lain. Contoh leksikal kemul [ k|mUl ] „selimut‟

di TP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 bervariasi dengan slimut [ slimUt ]

„selimut‟ di TP 3, 8, 9, 11 dan kampli [ kampli ] „selimut‟ di TP 11.

Leksikal kampli [ kampli ] „selimut‟ ini merupakan leksikon khas BJNg, karena leksikal ini hanya ada di suatu daerah di wilayah Kabupaten Ngawi dan berbeda dengan bahasa Jawa standar atau bahasa Jawa di daerah lain.

b. Metode Agih

Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar yang digunakan berupa teknik bagi unsur langsung (BUL) yang merupakan mengelompokkan langsung lingual menjadi beberapa bagian atau unsur (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik ini digunakan untuk satuan lingual data menjadi unsur-unsur data. Teknik ini dipakai untuk analisis variasi BJNg dari

commit to user commit to user

(33)

unsur morfologis yang meliputi, afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Berikut adalah contohnya.

 Afikasi

ngambang [ Gambang ] „mengapung‟ TP 1, 3, 6, 7, 8, 9, 11 mambang [ mambaG ] „mengapung‟ TP 2, 5, 6, 7, 9, 10 kemambang [ k|mambaG ] „mengapung‟ TP 6, 8, 9, 11

 Reduplikasi

pirang-pirang [ piraG-piraG ] „beberapa‟ TP 3, 6, 7, 9, 10, 11

 Komposisi

sandhik ala [ sanDI? OlO ] „senja buta‟ TP 2 5. Metode dan Teknik Penyajian Data

Pemaparan hasil analisis data digunakan metode formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 145). Metode formal terutama digunakan untuk menyajikan hasil analisis data yang berupa kaidah-kaidah atau lambang-lambang, misalnya digunakan dalam pemetaan. Tanda () dalam peta digunakan untuk menandai unsur leksikal BJNg oyod [ OyOt ] „akar‟ dan tanda () untuk menandai unsur leksikal hoyod [ hOyOt ] „akar‟ yang merupakan variasinya.

Metode informal digunakan untuk pemetaan unsur leksikon BJNg dan untuk mendeskripsikan leksikon khas BJNg.

commit to user commit to user

Referensi

Dokumen terkait

and you can see from the radar screen – that’s the screen just to the left of Professor Cornish – that the recovery capsule and Mars Probe Seven are now close to convergence..

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemaparan cuaca ( weathering ) terhadap karakteristik komposit HDPE–sampah organik berupa kekuatan bending dan

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

respondents who were able to make monthly payment in. terms of the amount of their monthly income and

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

informasi tentang jenis dan berbagai motif batik store nusantara, dapat melakukan pemesanan batik secara online dengan mendaftarkan data diri pelanggan dan mengisi form