• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia bisnis memiliki peranan yang cukup penting bagi sebuah negara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dunia bisnis memiliki peranan yang cukup penting bagi sebuah negara."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Dunia bisnis memiliki peranan yang cukup penting bagi sebuah negara.

Peranan tersebut tak lain adalah sebagai pondasi perekonomian negara.

Perekonomian suatu negara akan selalu menjadi perhatian bagi setiap pimpinan negara. Para pimpinan negara tersebut tentu ingin membuat negara yang dipimpinnya memiliki potensi perekonomian yang kuat, mengingat dampak potensi perekonomian yang kuat membuat seorang investor tidak ragu berinvestasi pada negara yang perekonomiannya memiliki potensi, oleh karena itu para pimpinan negara akan berusaha untuk memperkuat perekonomiannya baik disektor negeri maupun swasta. Bank sebagai lembaga keuangan intermediasi yang memiliki kegiatan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan untuk kemudian menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman atau kredit merupakan lembaga atau institusi yang penting untuk menopang kegiatan perekonomian nasional di era modern seperti sekarang ini. Semakin kokoh sistem perbankan suatu negara maka semakin kuat pula perekonomian negara tersebut.1 Negara-negara yang memiliki perekonomian yang kuat, tentu memiliki ragam kegiatan bisnis didalamnya. Ragam kegiatan bisnis tersebut tentu bersifat dinamis.

Kegiatan bisnis akan selalu bersifat dinamis karena dari perubahan-perubahan yang terjadi didalam dunia bisnis itulah hukum juga harus ikut berkembang untuk mengaturnya. Hukum yang mampu mengatur kegiatan bisnis tentu akan

1 Indira Retno Aryatie dan Adityo Waskito Nugroho, Akibat Hukum Bagi Bank Bila Kewajiban Modal Inti Minimum Tidak Terpenuhi, Mimbar Hukum: Volume 22 No 2, Juni, Yogyakarta, 2010, h. 283.

(2)

memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi setiap manusia yang melakukan kegiatan bisnis dengan manusia lainnya setiap hari.

Manusia selalu hidup berkelompok yang hal itu disebut sebagai masyarakat. Manfaat hidup berkelompok meliputi banyak segi, baik yang berhubungan dengan perkembangan hidup ataupun kelancaran pemenuhan kebutuhan hidup setiap hari, Inilah sifat Zoon Politicon manusia. Saat berbarengan mengelompok dalam masyarakat itulah, banyak ditemukan kemudahan menjalani proses hidup secara berkelanjutan. Seseorang yang berkehendak memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya, baik sandang, pangan juga papan, ternyata akan relatif lebih mudah pelaksanaannya jika dilakukan dengan cara berinteraksi antar anggota masyarakat, ketimbang dikerjakan sendiri. Interaksi yang didasari untuk memenuhi kebutuhan hidup, tentu saja dengan harapan berhasil. Tak urung hal ini memerlukan perhitungan yang cermat, agar supaya apa yang dilakukan itu jangan sampai mengalami kegagalan. Melakukan interaksi demi memenuhi kebutuhan hidup, agar berhasil, tentu perhitungan yang dijadikan batu ukur adalah persoalan untung dan rugi.

Setiap tindakan yang selalu didasarkan pada perhitungan untung dan rugi (compensatio lucri cum damno), inilah sebenarnya merupakan urusan bisnis.

Corak seperti itu memang cocok, karena sesungguhnya manusia itu eksistensinya bersosok sebagai homo economicus. Artinya tingkah pola keseharian dalam rangka menjaga keberlanjutan eksistensinya, selalu dilandaskan pada perhitungan untung dan rugi.2

2 Moch. Isnaeni, Selintas Pintas Hukum Perikatan (Bagian Umum), Revka Petra Media,

(3)

Memperhitungkan untung dan rugi merupakan hal yang wajar untuk dilakukan bagi setiap manusia sebelum menyepakatinya. Perhitungan untung dan rugi tidak hanya sebatas mengenai sejumlah nilai saja, melainkan juga meliputi risiko-risikonya. Bisnis yang hanya sekedar memperhitungkan untung dan rugi dari sisi nominal saja, berpotensi mengalami kerugian yang jauh lebih besar jika risikonya tidak ikut diperhitungkan juga, oleh karena itu dengan memperhitungkan proses bisnis dari hulu hingga hilir, maka potensi-potensi kerugian yang lebih besar dikemudian hari dapat segera diminimalisir dengan membuat sebuah Perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak untuk kepentingan bisnis mereka, tentu akan menimbulkan perlindungan dan kepastian hukum manakala suatu saat salah satu pihak lalai melaksanakan kewajibannya, sehingga lebih mudah untuk dibuktikan kelalaiannya yang tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya.

Perjanjian yang dibuat didalam kehidupan bermasyarakat, wujudnya dapat tertulis dan bisa juga tidak tertulis. Hukum Perjanjian di Indonesia menganut beberapa asas, antara lain: asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), asas konsensualisme (persesuaian kehendak), asas kebiasaan, asas

kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepatuhan, asas perlindungan bagi golongan yang lemah, dan asas sistem terbuka. Asas kebebasan berkontrak menegaskan bahwa seseorang bebas untuk membuat Perjanjian macam apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum, dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak,

(4)

tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat Perjanjian maka Perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.3

Perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis, terbatas dari janji yang hanya terucap saja, sedangkan bentuk perjanjian tertulis dapat berwujud dalam bentuk digital (elektronik) ataupun berbentuk tulisan di atas kertas. Kedua bentuk Perjanjian tersebut memiliki karakteristik masing-masing yang dapat digunakan oleh para pihak dalam membuat sebuah janji. Manakala janji itu dibuat melalui ucapan saja, maka perlu diperhitungkan pula risiko membuktikannya jika salah satu pihak lalai melaksanakan kewajibannya dikemudian hari. Sedangkan untuk sebuah janji yang diciptakan dalam bentuk tertulis, tentunya akan lebih memudahkan para pihak membuktikan jika salah satu diantara mereka lalai melaksanakan kewajibannya.

Perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak wajib dilaksanakan agar setiap keuntungan yang telah diperhitungkan tersebut dapat diperoleh.

Pelaksanaan isi perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, prinsip itikad baik merupakan salah satu prinsip yang terpenting. Itikad baik merupakan suatu kewajiban hukum bagi kontraktan yang harus dipatuhi, hal tersebut dapat diketahui pada Pasal 1338 ayat (3) BW yang mewajibkan kontraktan untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik, dengan pemahaman bahwa kontrak terdapat proses Pre-Contractual, penandatanganan dan pelaksanaan (Performance), maka perlu adanya pemahaman bahwa itikad baik tidak saja harus dilaksanakan pada tahap pelaksanaan saja, tetapi juga pada tahan Pre Contractual

3 Ghansham Anand, Prinsip Kebebasan Berkontrak Dalam Penyusunan Kontrak, Yuridika:

(5)

dan penandatanganannya.4 Manakala janji itu dilanggar, maka keuntungan yang sejak awal telah diperhitungkan tersebut dapat berubah menjadi kerugian jika sebuah janji itu tidak dilaksanakan baik sengaja maupun tidak sengaja. Untuk memulihkan sebuah cidera janji, sumber hukum utama yang digunakan adalah Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). BW sebagai sumber hukum utama

hukum privat dibuat untuk memberikan pedoman bagi para pihak yang melakukan perikatan agar keuntungan yang sejak awal diharapkan tidak berubah menjadi sebuah kerugian. Namun, manakala timbul pula sebuah kerugian, BW juga telah memberikan norma-norma khusus guna memulihkan kerugian yang diderita.

Salah satu norma yang disediakan oleh BW guna memulihkan sebuah kerugian yang diderita ada pada Pasal 1131 BW. Pasal 1131 BW menegaskan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan (jaminan) untuk segala perikatan yang dibuat.

Ketentuan dari Pasal 1131 BW tersebut dikenal dengan istilah Jaminan umum. Bahwa setiap benda yang dimiliki oleh Debitor demi hukum menjadi Jaminan manakala dalam setiap perikatan yang dibuat oleh Debitor tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. Nyatanya, BW tidak hanya memberikan perlindungan melalui Pasal 1131 BW saja, melalui Pasal 1132 Jo. 1133 BW memberikan perlindungan yang lebih kuat, dimana untuk mendapatkan perlindungan tersebut seorang Kreditor harus mengikat benda tertentu milik Debitor untuk dijadikan sebagai jaminan.

4 Y. Sogar Simamora, Fungsi Itikad Baik Dalam Kontrak (Suatu Orientasi Dengan Metode Pendekatan Sistem), Jurnal Perspektif Volume VI No. 3 Edisi July, Surabaya, 2001, h. 198.

(6)

Salah satu lembaga Jaminan yang dapat digunakan oleh Kreditor untuk mengikat benda tertentu milik Debitor adalah lembaga Jaminan Gadai. Lembaga Jaminan Gadai diatur oleh BW mulai dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 BW. Memiliki 10 Pasal saja sebagai aturannya, nyatanya lembaga Jaminan Gadai tetap mampu bertahan hingga saat ini walaupun usianya sudah cukup tua.

Eksistensi lembaga Jaminan Gadai yang masih terus bertahan dalam dinamisnya perkembangan dunia bisnis sudah selayaknya normanya dibuat lebih kuat agar lembaga Jaminan Gadai tidak hanya bertahan namun juga berkembang sebagai lembaga Jaminan.

Benda bergerak jika akan dijadikan objek Jaminan untuk sejumlah Utang yang diperoleh dari Kreditor, BW menetapkan lembaga Jaminannya berupa Gadai. Ciri khas yang dimiliki lembaga Jaminan Gadai ini adalah objek Jaminan secara nyata dilepas dari kekuasaan Debitor untuk kemudian dikuasai secara nyata oleh Kreditor atau oleh pihak ketiga berdasarkan kesepakatan para pihak. Syarat objek Gadai harus dilepas dari kekuasaan nyata Debitor, ini merupakan unsur mutlak agar Perjanjian Jaminan Gadai itu sah. Manakala benda Gadai itu tetap dibiarkan berada pada kekuasaan Debitor, meski dengan sepakat sekalipun, maka Gadai tersebut batal demi hukum.

Perjanjian Jaminan Gadai yang batal/hapus tidak mengakibatkan Perjanjian pokok ikut hapus. Kreditor tidak kehilangan hak tagihnya, hanya saja jika dibelakang hari Debitor ingkar janji dengan tidak membayar kembali utangnya sesuai kesepakatan, untuk memperoleh kembali dana yang telah disalurkan harus melalui proses gugatan yang tentunya selain menyita waktu, juga pikiran dan

(7)

biaya yang tidak murah. Oleh sebab itulah, jika benda jaminannya adalah benda bergerak, wajib mengikuti aturan lembaga Jaminan Gadai yang ada pada BW.

Apabila aturan tersebut dipatuhi, jika suatu saat Debitor tidak membayar utangnya, untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, Kreditor tidak perlu melewati proses gugatan di pengadilan, melainkan cukup ditempuh dengan cara menjual objek Gadai dihadapan umum (lelang), dan dari hasil lelang, setelah dipotong biaya-biaya lain sesuai aturan, Kreditor akan mendapatkan kembali piutangnya sesuai perhitungan. Selain itu, Kreditor pemegang Gadai, pelunasan piutangnya akan lebih didahulukan dari Kreditor lain. Alasan inilah yang membuat posisi Kreditor tergolong sebagai Kreditor Preferen. Terang saja posisi piutangnya yang lebih didahulukan pelunasannya dari Kreditor lain. Kedudukan selaku Kreditor preferen ini hanya dapat dicapai jika Perjanjian pokoknya didukung oleh Perjanjian jaminan kebendaan yang salah satunya berwujud Perjanjian Jaminan Gadai.5

Sebagai salah satu lembaga Jaminan terhadap benda bergerak, eksistensi Gadai lebih dipercaya oleh masyarakat untuk dijadikan lembaga Jaminan bagi benda-benda bergerak dengan nilai kecil. Hal tersebut dikarenakan bentuk dari Perjanjian Gadai dapat dibuat dalam bentuk yang bebas. Hal itu ditegaskan pada Pasal 1151 BW yang menegaskan bahwa Persetujuan Gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokoknya. Ratio legis dari Pasal 1151 BW tersebut adalah dengan adanya asas Inbezitstelling,

5 Moch. Isnaeni, Pijar Pendar Hukum Perdata, Revka Petra Media, Surabaya, 2016, h. 89- 91, (M.Isnaeni II).

(8)

seorang Kreditor sudah pasti akan terlindungi karena akan dengan mudah mengeksekusi objek Jaminan manakala Debitor wanprestasi.

Perkembangan yang terjadi saat ini, khususnya bagi objek lembaga Jaminan Gadai adalah adanya objek Jaminan Gadai yang memiliki nilai sangat mahal, contohnya mulai dari jam tangan bermerk hingga sepeda bermerk. Saat objek jaminan yang seperti itu akan dijadikan objek Jaminan Gadai, tentu kepentingan Kreditor sudah pasti terjamin karena objek jaminannya akan lepas dari kekuasaan nyata Debitor, sedangkan untuk kepentingan Debitor sendiri belum tentu terjamin dengan baik jika perjanjian jaminannya dibuat bebas dan jika harus dibuat dalam akta autentik tentu akan timbul biaya yang lebih mahal lagi, mengingat benda tersebut bernilai tinggi. Hal tersebut dikarenakan bentuk Perjanjian Gadai dibuat dengan bebas tanpa adanya norma yang pasti yang mampu memberikan kepastian hukum terhadap keamanan objek Jaminan Gadai tersebut. Oleh karena itulah, peran lembaga Jaminan Gadai harus mampu memberikan kepastian hukum juga terhadap Debitor.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini sebagai berikut:

a. Karakteristik Perlindungan Hukum Para Pihak Pada Perjanjian Jaminan Gadai Dalam Perkembangan.

b. Urgensi Pembakuan Bentuk dan Klausula Perjanjian Jaminan Gadai.

3. Tujuan Penelitian

(9)

a. Untuk menganalisis Karakteristik Perlindungan Hukum Para Pihak Pada Perjanjian Jaminan Gadai Dalam Perkembangan.

b. Untuk menganalisis Urgensi Pembakuan Bentuk dan Klausula Perjanjian Jaminan Gadai.

4. Manfaat Penelitian 4.1 Manfaat Praktis

Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya menetapkan perundang-undangan dibidang Jaminan, yang berkaitan dengan Perjanjian Jaminan, juga memberikan konstribusi aktif dan sumbangan pemikiran bagi para praktisi, baik itu pengacara atau Notaris, juga penegak hukum yang bergerak khususnya dalam Hukum Jaminan.

4.2 Manfaat Teoritis

Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangan pikiran bagi para akademisi, juga sebagai wacana yang baru dibidang Hukum Jaminan, khususnya Lembaga Jaminan Gadai, serta menambah kepustakaan penelitian mengenai Perjanjian Jaminan Gadai, baik di luar ataupun didalam lingkungan Universitas Airlangga.

5. Kerangka Konseptual 5.1. Pembagian Benda

(10)

Secara garis besar, BW membagi benda kedalam beberapa golongan, diantaranya adalah:6

1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (Pasal 503 BW). Benda berwujud merupakan jenis benda yang kasat indera, sedang benda tidak berwujud adalah benda-benda yang tidak dapat diamati secara ilmiah;

2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 504 BW). Makna benda bergerak adalah setiap benda yang dapat dipindah-pindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Sedangkan untuk benda yang tidak bergerak pada dasarnya adalah benda yang tidak dapat dipindah-pindah (berkedudukan tetap);

3. Benda yang habis pakai dan benda yang tidak habis pakai (Pasal 505 BW).

Adapun yang dimaksud benda habis pakai adalah setiap benda saat dipakai lalu menghabis, seperti minyak goreng misalnya. Sedangkan benda tidak habis pakai merupakan benda yang tiap kali dipakai tetap masih ada wujud awalnya, misalnya buku, meski sudah dibaca berkali-kali wujudnya tidak akan menghabis;

4. Benda yang sudah ada dan benda yang masih akan ada (Pasal 1131 BW).

Benda yang sudah ada berarti benda itu secara alamiah memang sudah ada di tangan seseorang, sedangkan untuk benda yang masih akan ada berarti benda itu belum berada di tangan suatu pihak tertentu;

5. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi (Pasal 1160 Jo. 1163 BW). Barang Gadai tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun utangnya

6 Moch. Isnaeni, Hukum Benda dalam Burgerlijk Wetboek, Revka Petra Media, Surabaya,

(11)

diantara para waris si berutang atau diantara para warisnya si berpiutang dapat dibagi-bagi dan hak tersebut pada hakikatnya tak dapat dibagi-bagi dan terletak diatas semua benda tak bergerak yang diikatkan dalam keseluruhannya, diatas masing-masing dari benda-benda tersebut dan diatas tiap bagian daripadanya;

6. Benda dalam perdagangan dan benda diluar perdagangan (Pasal 1332 BW). Adapun yang dimaksud benda dalam perdagangan adalah setiap benda yang dapat dipakai sebagai objek transaksi dikarenakan memiliki nilai ekonomis dan hak miliknya dapat dialihkan. Sedangkan arti benda diluar perdagangan merupakan setiap benda yang tidak dipakai sebagai objek transaksi di pasar;

7. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti (Pasal 1694 BW). Benda yang tidak dapat diganti dapat dipahami misalnya kalau benda tersebut dijadikan objek Perjanjian penitipan, maka kalau tiba saatnya pihak yang menitipkan mengambil bendanya, maka wujud dan jumlah benda tersebut saat diambil masih tetap secara alami sama seperti apa adanya pada saat dititipkan, berarti benda itu saat dikembalikan oleh pihak yang dititipi tidak dapat diganti dengan benda lainnya. Hal ini berbeda dengan benda yang dapat diganti, dimana saat dititipkan dan saat pengambilan bisa saja berbeda akibat penggantian dengan benda lain sesuai kesepakatan. Misalnya saat seseorang menitipkan sejumlah lembar uang ke bank melalui cara menabung, maka saat memutuhkan dan

(12)

mengambil uang miliknya, pihak bank tidak bakal mengembalikan lembar- lembar uang seperti saat diserahkan dahulu sesuai nomor serinya;

8. Benda yang bertuan dan benda tidak bertuan (Pasal 519 BW). Res nullius atau benda tak bertuan tergolong sebagai jenis benda yang tidak ada pemiliknya, namun sesungguhnya benda tersebut masih punya nilai ekonomis menurut ukuran pihak-pihak tertentu, sehingga suatu saat dapat saja diambil untuk dimiliki oleh sesuatu pihak yang memang berminat.

Sebaliknya benda yang bertuan, jelas benda yang bersangkutan ada yang empunya sehingga dijadikan objek transaksi demi mencapai suatu tujuan tertentu;

Perkembangan yang terjadi, ada satu klasifikasi benda lagi, yakni benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Berdasarkan penerapan analogi, maka ketentuan-ketentuan tentang benda tidak bergerak secara umum dapat diterapkan untuk mengatasi kedudukan hukum benda terdaftar, baik menyangkut bidang levering, tanda bukti kepemilikan bahkan lembaga jaminannya sekalipun dapat

mempergunakan aturan dalam BW yang berlaku bagi benda tidak bergerak, sedangkan unruk benda tidak terdaftar tentu merupakan benda-benda yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan yang secara sah terdaftar pada sebuah lembaga negara;7

5.2. Perjanjian Jaminan Gadai

Perjanjian Jaminan Gadai yang tentu saja melibatkan paling tidak dua pihak, yakni pihak pemberi Gadai (Debitor) dan pihak penerima Gadai (Kreditor),

(13)

dengan dibuatnya Perjanjian tersebut mengandung makna, bahwa para pihak, khususnya Kreditor, menyadari kalau pemberian dana pinjaman sekedar mengandalkan jaminan umum, risikonya masih sangat tinggi, oleh sebab itu dibuatlah Perjanjian Jaminan Gadai setelah terlebih dahulu disepakati adanya Perjanjian pemberian dana pinjaman, untuk menyimpangi Pasal 1131 BW.

Menyimpangi suatu ketentuan Undang-Undang untuk menghindari adanya kekosongan hukum, maka perlu dibuat Perjanjian sebagai penggantinya, maka saat membuat aturan pengganti juga diperlukan sepakat yang ujungnya akan lahir Perjanjian.8

Saat Kreditor hendak memberikan dana pinjaman kepada Debitor, maka jangan hanya didasarkan pada kepercayaan semata. Pertama-tama, meski sering terselubung, dilihat dulu berapa aset yang dimiliki oleh Debitor, namun mengetahui seberapa banyak harta seseorang jelas itu bukanlah suatu hal yang mudah, oleh karena itu untuk menangkal risiko yang potensial dapat muncul berupa kemacetan pengembalian dana pinjaman, seyogyanya tak hanya mengandalkan Jaminan umum dalam Pasal 1131 BW semata, tetapi sebaiknya meminta benda tertentu milik Debitor untuk diikat secara khusus sebagai Jaminan demi menjamin sejumlah utang tertentu yang telah diberikan. Manakala Debitor setuju Debitor setuju dan menyodorkan salah satu benda miliknya, maka harus ditaksir dulu berapa nilai pasarnya, hal ini diperlukan untuk menentukan besaran dana yang akan diberikan itu ada dalam kisaran 40%-60% dari nilai taksasi. Hal tersebut penting agar nanti dibelakang hari terjadi kemacetan pembayaran,

8 Moch. Isnaeni, Lembaga Jaminan Kebendaan dalam Burgerlijk Wetboek Gadai dan Hipotek, Revka Petra Media, Surabaya, 2016, h. 49, (M.Isnaeni IV).

(14)

tentunya selain utang pokok, juga diperhitungkan pengenaan bunga, kalkulasi denda, ataupun beaya-beaya lain yang sering besarannya tak dapat diprediksi dengan tepat, tetap dapat ditutup dari hasil penjualan lelang benda Jaminan.9

Setelah dibuat Perjanjian pokok kemudian disusul dengan dibuatnya Perjanjian Jaminan Gadai selaku Perjanjian tambahan, maka jenis Perjanjian tambahan ini karena objeknya benda, maka disebut sebagai Perjanjian Jaminan kebendaan. Sesuai hakekatnya, Perjanjian kebendaan ini tidak melahirkan perikatan seperti yang dimaksud oleh Pasal 1233 BW, tetapi yang dilahirkan adalah hak kebendaan. Oleh karena itu, qualifikasi Perjanjian Jaminan Gadai sebagai Perjanjian kebendaan yang dari rahimnya melahirkan hak kebendaan dengan ciri-ciri unggulnya, akan memberikan perlindungan bagi hak pribadi yang muncul dari Perjanjian obligatoir selaku Perjanjian pokoknya. Perlindungan hak kebendaan terhadap hak pribadi, menjadikan posisi Kreditor kuat dan tangguh saat menghadapi permasalahan yang ditimbulkan oleh perbuatan Debitor yang wanprestasi. Berlaku juga terhadap pelaksanaan proses kawalan hak kebendaan berupa dana hasil penjualan objek Jaminan, tidak bakal dijadikan rebutan oleh Kreditor-Kreditor lain. Hasil penjualan objek Jaminan harus dipergunakan pertama-tama untuk melunasi piutang Kreditor pemegang hak Jaminan kebendaan. Fasilitas didahulukan saat memperoleh pelunasan piutang dari hasil penjualan objek Jaminan, mengakibatkan Kreditor tersebut berposisi selaku Kreditor Preferen.10

9 Ibid, h. 50.

(15)

Dalam Perjanjian Gadai, janji yang memberikan kewenangan kepada Kreditor untuk memiliki kebendaan bergerak yang digadaikan secara serta-merta bila Debitor wanprestasi, tidak diperkenankan atau dilarang untuk diperjanjikan.

Apabila klausul ini diperjanjikan, maka klausul tersebut dianggap batal demi hukum.11 Larangan menjanjikan klausul memiliki objek jaminan dalam Perjanjian Gadai, diatur dalam Pasal 1154 BW yang menegaskan “Apabila Debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tidak diperkenankanlah Kreditor mwmiliki barang yang digadaikan, segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal”. Logika larangan ini dikarenakan barang yang diserahkan kepada Kreditor sebagai Jaminan untuk pelunasan utang, bukan untuk dimiliki atau dialihkan haknya. Pelunasan utang dilakukan dengan cara melelang objek Jaminan,12 sekaligus pula melindungi kepentingan para peminjam uang yang pada umumnya berada dalam posisi yang sangat lemah, sehingga syarat-syarat yang berat pun sering kali karena keadaan terpaksa harus diterima. Apalagi jika tidak ada larangan yang demikian, bisa muncul keadaan yang aneh, dimana seorang Kreditor pada umumnya mengharapkan agar Debitor memenuhi kewajibannya, bisa muncul yang sebaliknya, malahan kreditor mengharapkan agar Debitor wanprestasi, karena benda jaminan pada umumnya mempunyai nilai yang jauh lebih besar dari piutang Kreditor.13

5.3 Klausula dan Bentuk Perjanjian Jaminan Gadai

11 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, h. 132.

12 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995, h. 73.

13 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 115.

(16)

Asas Privity of Contract dapat dicermati melalui kalimat “.... bagi para pihaknya”, sebab Perjanjian yang sah dan dikatakan memiliki kekuatan mengikat sama dengan Undang-Undang, daya lakuknya melulu sebatas bagi para kontraktannya, sedang dengan sendirinya tidak ikut terkait karenanya. Asas Privity of contract ini lebih jelas lagi jika melihat Pasal 1315 Jo. 1340 BW bahwa

pada intinya perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja.14

Pengertian Gadai telah ditegaskan oleh Pasal 1150 BW yang mengatakan bahwa Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu di Gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Menurut Trisadini Prasastinah, Unsur yang terdapat dalam Gadai adalah: 15

1. Objek Gadai adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud;

2. Benda harus diserahkan kepada Kreditor atau pihak ketiga (dalam kekuasaan Kreditor atau pihak ketiga;

3. Kreditor pemegang Gadai didahulukan dalam mengambil pelunasan dibandingkan dengan Kreditor-Kreditor lainnya bilamana Debitor wanprestasi, kecuali ditentukan oleh Undang-Undang;

4. Perjanjian Gadai merupakan perjanjian tambahan (Accesoire), artinya keberadaan perjanjian Gadai bergantung pada perjanjian pokoknya.

Apabila perjanjian pokoknya hapus maka demi hukum perjanjian

14 Moch. Isnaeni, Seberkas Diorama Hukum Kontrak, Revka Petra Media, Surabaya, 2017, h. 211-212, (M.Isnaeni V).

15 Trisadini Prasastinah Usanti dan Leonora bakarbessy, Buku Referensi Hukum Perbankan

(17)

Gadainya ikut hapus, tetapi tidak sebaliknya. Perjanjian Gadainya hapus tidak berarti perjanjian pokoknya ikut hapus.

Gadai merupakan perjanjian riil, yaitu perjanjian yang disamping kata sepakat, diperlukan suatu perbuatan nyata dimana dalam hal ini yang dimaksud dengan perbuatan nyata ialah suatu perbuatan dimana debitor wajib menyerahkan barang Gadai yang dijadikannya sebagai jaminan kepada Kreditor untuk dikuasai oleh Kreditor pemegang Jaminan Gadai. 16

Pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi Gadai” dan yang menerima Gadai, dinamakan “penerima atau pemegang Gadai”. Kadang-kadang di dalam Gadai terlibat tiga pihak, yaitu Debitor (pihak yang berutang), pemberi Gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda Gadai dan pemegang Gadai, yaitu Kreditor yang menguasai benda Gadai sebagai jaminan piutangnya.17

Perjanjian jaminan Gadai, kemungkinan berakhir dikarenakan beberapa hal, antara lain: 18

1. Perjanjian pokoknya berakhir;

2. Benda Gadai lepas dari kekuasaan nyata Kreditor;

3. Benda Gadai musnah;

4. Secara suka rela benda Gadai dilepas oleh Kreditor;

5. Ada percampuran.

Aturan Gadai dalam BW hanyalah bagian dari apa yang dinamakan perangkat Hukum Jaminan yang memiliki Prinsip-prinsip sebagai dasar keberadaannya. Hak Gadai sebagai hak jaminan kebendaan, memiliki ciri-ciri unggul jika dibandingkan dengan hak pribadi (hak perorangan). Ciri hak gadai

16 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h., 88.

17 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband Gadai dan Fiducia ,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, h., 55.

18 Ibid, h., 118-119

(18)

sebagai hak kebendaan antara lain hak tersebut sifatnya mutlak, ada droit de suite, ada asas prioritas dan ada asas preferensi.19

Hak Gadai muncul manakala ada Perjanjian Jaminan Gadai yang dibuat oleh Debitor dan Kreditor. Hak Gadai itu lahir dari suatu Perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam rangka melakukan kegiatan bisnisnya. Hanya saja dikarenakan Perjanjian itu objeknya benda dengan tujuan untuk dijadikan Jaminan yang hakekatnya menyimpangi Pasal 1131 BW, maka Perjanjian Jaminan Gadai ini tidak akan menghasilkan adanya perikatan, mengingat Pasal yang mengatur Jaminan umum yang disimpangi itu ada dalam ranah Buku II BW. Oleh karena itu, penyimpangan yang dilakukan berwujud Perjanjian Jaminan Gadai, juga akan terkuasai oleh sifat Buku II BW, sehingga dari Perjanjian Jaminan Gadai tersebut tidak akan lahir perikatan, tetapi yang lahir adalah hak kebendaan berupa hak Gadai.20

Secara Normatif bahwa hak Gadai itu tidak dapat dibagi-bagi tercermin dari Pasal 1160 BW yang secara singkat menegaskan bahwa salah seorang ahli waris dari Debitor yang sudah membayar bagiannya, tidak dapat menuntut pembebasan sebagian benda Gadai yang menjadi jatahnya, sampai dilunasinya seluruh jumlah utang.21

Pasal 1158 BW menegaskan bahwa bila suatu piutang digadaikan, sedang piutang itu menghasilkan bunga, maka bunga yang diterima oleh Kreditor harus diperhitungkan sebagai pengurangan utangnya Debitor. Ini memberikan pertanda

19 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1974, h. 25-28.

20 Moch. Isnaeni IV, Op.cit. h. 66-67.

(19)

meskipun piutang tersebut saat digadaikan ada dalam penguasaan nyata Kreditor, bukan berarti objek Gadai itu menjadi milik Kreditor, sehingga baik bendanya yang berwujud piutang, begitu pula bunga yang dihasilkan oleh piutang yang bersangkutan tetap hak miliknya ada pada Debitor, karena itu saat bunga piutang yang bersangkutan muncul, tidak boleh dimiliki oleh Kreditor, maka harus diperhitungkan sebagai pengurangan utangnya Debitor.22

Pasal 1159 ayat (2) BW menegaskan bahwa dalam suatu Perjanjian unsur kehendak para pihak memegang kunci sentral, dimana kehendak itu dapat saja dinyatakan dengan tegas, tetapi juga dapat dilakukan secara diam-diam.

Menyikapi kewenangan Kreditor untuk diperkenankan oleh Pembentuk Undang- Undang tetap menahan benda Gadai sampai dengan piutang kedua juga lunas, dapat disarankan pada alasan bahwa saat ada kesepakatan pemberian utang kedua, sesungguhnya terjadi apa yang dinamakan implied secured atau penjaminan Gadai secara diam-diam dari para pihak. Gagasan inipun kiranya dapat dipakai sebagai alasan menyangkut kewenangan Kreditor tetap menahan benda Jaminan untuk keperluan utang kedua, kendati secara konkrit utang kedua tak diikuti Perjanjian Jaminan Gadai.23

6. Metode Penelitian 6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Normatif yang berarti penelitian ini meneliti mengenai sisi perundang-undangan itu sendiri, bukan meneliti mengenai gejala sosial akibat perundang-undangan yang ada.

22 Ibid.

23 Ibid, h. 118.

(20)

6.2. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan ini digunakan karena dalam pembahasan tesis ini selain

mengacu pada peraturan Per Undang-Undangan juga menggunakan pendekatan konseptual agar dengan menggabungkan antara pendekatan Per Undang- Undangan dengan pendekatan konseptual, tesis ini akan menjadi tulisan yang lebih dalam pembahasannya.

6.3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan Tesis ini antara lain dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang digunakan untuk memperjelas bahan hukum primer.

6.3.1. Bahan Hukum Primer

1. Burgerlijk Wetboek (Staatsblad 1847 Nomor 23);

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472);

(21)

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

5. Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);

6. Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889);

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);

8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432);

9. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5069); dan

10. Undang-Undang No 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432).

(22)

6.3.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur, teks ilmiah khususnya tentang Gadai dan Perjanjian, tulisan hukum baik dalam bentuk artikel ataupun buku, jurnal dan makalah-makalah, serta penelitian-penelitian hukum untuk mengetahui isu-isu hukum yang aktual, yang saya anggap masih mempunyai kaitan erat dengan pokok masalah dalam penelitian ini.

6.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Ada beberapa cara dalam memperoleh data yang dilakukan dalam penulisan ini, antara lain bahan hukum primer dikumpulkan, diinventarisi, serta di interprestasi, untuk selanjutnya dikategorikan secara sistematis kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Bahan hukum sekunder digunakan sebagai penunjang bahan hukum primer. dari pengumpulan bahan- bahan hukum tersebut lalu dilakukan pengelolahan serta analisa, dan hasilnya disajikan secara argumentatif.

6.5. Analisa Bahan Hukum

Analisa yang dipergunakan peneliti adalah analisa deduktif, analisa ini dilandasi dari norma-norma, asas-asas hukum serta nilai-nilai yang sudah diakui, lalu diinterprestasikan dalam suatu sistem hukum tersendiri untuk dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

7. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan jumlah permasalahan dalam rancangan penelitian ini, maka penelitian atau tesis ini akan berisi 4 (empat) bab,

(23)

Bab I sebagai awal penulisan, berisi Pendahuluan. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hal-hal yang mendasar yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, antara lain: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, metode pendekatan, bahan hukum, pengumpulan bahan hukum, analisa bahan hukum, dan diakhiri dengan sitematika penulisan.

Bab II merupakan uraian terhadap permasalahan pertama, didalam Bab ini akan membahas mengenai Karakteristik Perlindungan Hukum Para Pihak Pada Perjanjian Jaminan Gadai Dalam Perkembangan. Pembahasan akan dimulai dari Karakter Hubungan Hukum Antara Pemberi dan Penerima Gadai Melalui Perjanjian Gadai, kemudian akan di lanjutkan dengan Benda Nilai Tinggi Sebagai Objek Perjanjian Gadai dalam Perkembangan, dan kemudian untuk dapat menjawab rumusan masalah terakhir adalah dengan membahas Karakter Perjanjian Gadai Sebagai Pelindung Utama Debitor.

Bab III merupakan uraian terhadap permasalahan kedua, di dalam Bab ini akan dibahas mengenai Urgensi Pembakuan Bentuk dan Klausula Perjanjian Jaminan Gadai. Pembahasan akan dimulai dari Asas Inbezitstelling Sebagai Pelindung Utama Kreditor, kemudian akan dilanjutkan dengan Klausula Wajib dalam Perjanjian Jaminan Gadai Sebagai Perlindungan Tambahan, dan kemudian untuk dapat menjawab rumusan masalah terakhir adalah dengan membahas Pembakuan Bentuk Perjanjian Gadai guna kepastian hukum mengikatnya klausula wajib dalam Gadai.

(24)

Bab IV adalah penutup, didalam Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian ini, serta saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak : Tujuan dari pengembangan aplikasi ini adalah untuk memberikan informasi tentang pola hidup sehat dalam bentuk permainan yang biasa dikenal dengan edugame agar

Untuk melakukan proses validasi pada sisi server yang bersifat realtime maka penulis menggunakan teknik AJAX (Asynchronous JavaScript And XML), untuk pengiriman

Analisis perbandingan laporan keuangan sampai dengan evaluasi rasio kecukupan modal kerja, tingkat efektivitas dan efesiensinya terjaga sehingga dalam pengelolaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk urin sapi sangat berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit kakao dan konsentrasi 75 cc/liter air sampai

Source of REE is heavily dependent on some weathered crust deposits in China (ex. Bayan Obo Deposit and highly weathered granitic rock from Southern China) which

Kafir tidak hanya mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, tetapi juga termasuk mereka yang melawan segala usaha yang sungguh-sungguh untuk menata ulang struktur masyarakat agar

Penelitian yang berjudul “ H UBUNGAN ANTARA INTIMACY DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR ( SKB ) KECAMATAN KALIBAGOR” penelitian ini

Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional guru PAI dalam praktikum materi ibadah praktis, (2)