BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian, Klasifikasi dan Karakteristik Jasa
2.1.1. Definisi Jasa
Banyak ragam pengertian jasa (service) yang telah dikemukakan oleh para ahli pemasaran Keberagaman pengertian tentang jasa tersebut
dapat dilihat dalam berbagai definisi sebagaimana diuraikan di bawah ini :
Definisi tentang jasa yang dikutip dari Gronroos (1990: 26) adalah
sebagai berikut :
1. Service – Activities, benefits, or satisfaction which are oferred for sale, or provided in connection with the sale of goods (American Marketing Association)
2. A service is an activity or seies of activities of more or less intangible nature that normally, but necessarily, take place in interactions between the customer and service employees and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems.
Berdasarkan dari kedua definisi tersebut, ada kesepakatan bahwa
jasa merupakan aktivitas atau manfaat yang pada intinya merupakan
sesuatu yang tidak berwujud, yang digunakan memenuhi kebutuhan dan
keinginan pelanggan.
Kotler (1997, 476) memberikan defenisi jasa adalah tindakan atau
kepemilikan apapun, produksinya bisa terikat dan bisa juga tidak terikat
pada suatu produk fisik.
Lovelock (1991, 13) memberikan suatu pengertian tentang jasa
adalah lebih merupakan suatu proses ataupun performance daripada sekedar barang.
Selanjutnya Zeithaml dan Bitner (1996 : 5) lebih meluaskan defenisi
jasa sebagai berikut :
Inctade all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at the time it is produced, and provides added value in forms ( such as convenience, amusement, timeliness, comfort or healt, that are essentially ingtagible concerns of its firs purchase.
Dari defenisi diatas, Zeithaml dan Bitner menyatakan bahwa jasa
pada dasarnya adalah seluruh aktifitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat
bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud
(intangible) bagi pembeli pertamanya.
2.1.2. Klasifikasi Jasa
Pada hakekatnya bukan sesuatu yang mudah untuk mensejajarkan
pemasaran jasa. Karena industri jasa sendiri sangatlah beragam.
Klasifikasi jasa dapat membantu memahami batasan-batasan dari industri
jasa dan memanfaatkan pengalaman industri jasa lainnya yang
pada suatu bisnis jasa. Menurut Phillip Kotler (1997 : 83) komponen jasa
dapat merupakan bagian yang sedikit atau utama dari seluruh penawaran.
Penawaran ini dapat dibedakan menjadi lima katagori yaitu :
1. A pure Tangible Good ( barang berwujud murni). Disini hanya meliputi barang yang dapat dilihat seperti sabun, pasta gigi, atau garam. Tidak
terdapat jasa yang mendampingi produk tersebut.
2. A Tangible Good With Acompanying Service (barang berwujud dengan jasa tambahan). Terdiri dari barang nyata yang disertai oleh satu atau
lebih jasa untuk mempertebal daya tarik pelanggan. Contohnya
penjualan mobil disertai jaminan.
3. Mixed (campuran). Terdiri dari barang jasa dengan proporsi yang sama seperti restoran yang harus didukung oleh makanan dan
pelayanannya.
4. A Major Service With Accompanying Minor Good and Service (jasa utama yang disertai barang jasa dan tambahan). Terdiri dari jasa
utama dengan jasa tambahan atau barang pelengkap, misalnya
penumpang penerbangan membeli jasa transportasi.
5. A Pure Service (jasa murni). Hanya terdiri dari jasa seperti jasa menjaga bayi, psikoterapi.
Sebagai konsekuensi dari beragamnya jasa, maka sulit untuk
menyamaratakan jasa, kecuali dengan pembedaan lebih lanjut yaitu
beragam, tergantung apakah jasa itu dilakukan secara otomatis atau
dimonitor oleh operator terlatih atau tidak terlatih. Sedangkan jasa
berdasarkan manusia dibedakan apakah jasa itu dilakukan oleh pekerja
terlatih, tidak terlatih atau profesional. Kedua, bahwa tidak semua jasa
memerlukan kehadiran client ( client’s presence) dalam menjalankan kegiatannya. Ketiga, jasa juga dibedakan berdasarkan apakah jasa itu
sesuai dengan kebutuhan pribadi atau kebutuhan bisnis. Keempat,
penyedia jasa berbeda dalam tujuannya (profit atau non profit) dan dalam kepemilikan (private atau public).
William J. Stanton (1996:221) membagi pengelompokan usaha jasa
menjadi :
1. Jasa Komersial
Merupakan jasa yang diberikan oleh suatu perusahaan dengan tujuan
untuk mencari keuntungan , yang termasuk didalamnya berupa :
- Jasa perumahan
- Jasa rumah tangga
- Rekreasi dan hiburan
- Perawatan pribadi
- Perawatan medis
- Pendidikan pribadi
- Jasa bisnis dan operasi
- Jasa asuransi dan keuangan
- Jasa komunikasi
2. Jasa Non Komersial
Merupakan jasa yang diberikan kepada pelanggan tanpa motif mencari
keuntungan melainkan lebih mengarah kepada kepentingan sosial.
2.1.3. Karakteristik Jasa
Jasa adalah sesuatu yang diberikan oleh suatu pihak yang lain
yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan terjadinya
perpindahan kepemilikan (transfer of ownership).
William J. Stanton (1991:486) mengatakan bahwa “Service are identifiable, intangible activities that are main object of a transaction designed to provide want – satisfaction to customer”.
Menurut Kotler (1997 : 84 ), jasa memiliki empat ciri utama yang
sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu :
- Tidak berwujud (intangibility)
Jasa mempunyai sifat tidak berwujud, karena tidak bisa dilihat,
dirasakan, diraba, didengar atau dicium sebelum ada transaksi
pembelian. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari
tanda atau bukti dari kualitas jasa tersebut. Pembeli akan mengambil
material), simbol-simbol (symbols) dan harga (price) yang mereka lihat.
- Tidak Dapat Dipisahkan (Inseparability)
Jasa-jasa umumnya diproduksi secara khusus dan dikonsumsi pada
waktu yang bersamaan. Jika jasa diberikan oleh seseorang, maka
orang itu merupakan bagian dari jasa tersebut. Karena client juga hadir saat jasa diberikan, maka interaksi penyedia dengan client merupakan ciri khusus dari pemasaran jasa. Baik penyedia maupun client akan mempengaruhi hasil jasa.
- Bervariasi (Variability)
Jasa itu sangat bervariasi, karena tergantung kepada yang
menyediakannya dan kapan serta dimana disediakan. Seringkali
pembeli jasa menyadari akan keanekaragaman ini dan
membicarakannya dengan yang lain sebelum memilih seorang
penyedia jasa.
- Tidak Tahan Lama (Perishability)
Jasa-jasa tidak dapat disimpan. Keadaan tidak tahan lama dari
jasa-jasa bukanlah masalah jika permintaannya stabil, karena mudah
untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan
terhadapnya berfluktuasi, maka perusahaan jasa menghadapi masalah
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut
diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya jasa memiliki
unsur-unsur penting sebagai berikut :
- Tidak berwujud
- Tidak memberikan sifat kepemilikan
- Terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pelanggan
- Proses produksinya mungkin atau juga tidak dikaitkan dengan suatu
produk fisik
- Dapat memberikan kepuasan, memenuhi kebutuhan pelanggan
Secara lebih spesifik, menurut Zeithaml seperti yang dikutip oleh
Lovelock, menyatakan bahwa karakteristik jasa adalah ‘ Intangibility, non-standarization and inseparability of production and consumption’ (Lovelock, 1998:41).
Karakteristik jasa tidak bersifat statis. Ia bergerak seperti bandul
pendulum tergantung dari penyedia jasa itu sendiri (service providers). Tangibility, misalnya, dapat bergerak dari sangat tangible pada sangat intangibility.
Keunikan karakteristik jasa membawa pada implikasi penting
terhadap manajemen. Karakteristik intangible pada jasa menyulitkan pelanggan untuk dapat menikmati sebelum mengalaminya. Menurut
Karakteristik kedua yaitu non-standarization atau heterogenity atau variability. Heterogenity terjadi terutama karena interaksi antara pelanggan dengan beragam sikap service provider. Dalam kaitan tersebut, J Willard Marriot menyatakan ‘A customer expects to be treated fairly and given some service other receive’ (Fitszimmons and Fitzsimmons, 1994 : 30). Pernyataan tersebut dapat diartikan seorang pelanggan mengharapkan
untuk diperlakukan secara adil dan diberikan pelayanan yang sama
seperti yang diterima orang lain.
Karakteristik ketiga yaitu inseparability menyebabkan sulitnya manajemen untuk mengadakan intervensi terhadap kualitas. Karakteristik
tersebut menurut Gronroos ” To some extent, it is difficult to manage quality control in advanced before the service is sold and consumed”. (Gronroos, 1990 : 30)
Karakteristik lain yang penting adalah keterlibatan pelanggan
sebagai partisipan dalam proses pelaksanaan jasa. Keunikan karakteristik
tersebut menyebabkan sulitnya penilaian pelanggan terhadap kualitas
jasa. Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry, ‘What differs whith service is nature of characteristics upon which they are evaluated ‘. (Bateson, 1992 :516).
Tiga karakteristik penilaian yang dimaksud menurut Nelson, Darby
dan Karni adalah :
2. Experience qualities, namely, characteristics that the buyer can evaluate after purchase;
3. Credence qualities, namely, characteristics that the buyer find hard to evaluate even after consumption. (Kotler, 1991 : 461)
Berdasarkan keunikan karakteristik, kualitas jasa sangat sulit dinilai
oleh pelanggan sebelum suatu jasa dinikmati. Karenanya, “Service thus have very low search attributes, rather, a large proportion of the properties of the service can be dicovered by customers only after the consumption of the service; these are thus experience attributes”. (Bateson, 1992 : 92)
2.2. Pemasaran Jasa
Pemasaran merupakan penghubung antara organisasi dengan
konsumennya. Peran penghubung ini akan berhasil bila semua upaya
pemasaran diorientasikan kepada konsumen. Keterlibatan semua pihak,
dari manajemen puncak hingga karyawan non manajerial, dalam
merumuskan maupun mendukung pelaksanaan pemasaran yang
berorientasi kepada konsumen tersebut, merupakan hal yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
2.2.1. Jenis Pemasaran Jasa
Kotler (1997 : 473 ) membagi pemasaran dalam industri jasa
1. Pemasaran Internal (Internal Marketing)
Pemasaran internal yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan
untuk melatih dan memotivasi para karyawan agar dapat melayani
konsumennya dengan baik. Manajemen juga memberikan motivasi,
moral kerja, rasa bangga, loyalitas dan rasa memiliki setiap orang
dalam organisasi, yaitu pada akhirnya akan memberikan kontribusi
besar bagi perusahaan dan pelanggan yang dilayani. Pemasaran
internal ini merupakan suatu proses Enabling the promise. 2. Pemasaran eksternal (External Marketing)
Pemasaran eksternal yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan
untuk menyiapkan, menetapkan harga dan mempromosikan jasa
kepada konsumen atau dengan kata lain dilakukan setting the promise. Segala sesuatu yang dikombinasikan kepada pelanggan sebelum jasa disampaikan merupakan bagian dari pemasaran
eksternal ini. Bila pemasaran eksternal ini dilakukan dengan baik,
maka pelanggan akan terikat pada perusahaan, sehingga tujuan
jangka panjang dari perusahaan yaitu kelangsungan dan laba jangka
panjang dapat diharapkan.
3. Pemasaran Interaktif (Interactive Marketing)
Pemasaran interaktif ini merupakan saat pemasaran yang sebenarnya
merupakan bagian terpenting dari proses pemasaran. Kualitas jasa
sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan ini. Sentuhan personal dari
profesional pemasaran jasa sangat menentukan keberhasilan
pemasaran, karena itu diperlukan keahlian dalam memberikan
sentuhan tinggi dan dengan teknik yang tinggi pula. Pemasaran
interaktif ini merupakan proses delivering the promise.
Hubungan antara Internal Marketing, External Marketing dan Interactive Marketing yang merupakan jenis pemasaran dalam industri jasa tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1. Three Type of Marketing in Service Industries COMPANY
EMPLOYEE
EXTERNAL MARKETING
CUSTOMER INTERNAL
MARKETING
2.2.2. Bauran Pemasaran Jasa
Suatu konsep dasar dalam pemasaran adalah bauran pemasaran
(marketing Mix), yang didefinisikan sebagai elemen dari pengawasan organisasi yang dapat digunakan untuk memuaskan atau berkomunikasi
dengan pelanggan. (Zithaml dan Bitner, 1996 : 23)
Sedangkan Kotler (1997, 922) mendefinisikan bauran pemasaran
sebagai seperangkat peralatan pemasaran (a set marketing tools) yang digunakan perusahaan untuk meyakinkan keberhasilan tujuan pemasaran
pada pasar sasaran.
Bauran pemasaran tradisional yang biasa dipergunakan dalam
memasarkan produk barang telah dikenal Product, Price, Place dan Promotion (4P). Suatu pengelolaan yang baik dari keempat bauran pemasaran tersebut diatas juga merupakan suatu hal yang penting bagi
pemasaran jasa. Namun demikian perlu suatu modifikasi jika diterapkan
dalam pemasaran jasa. Sebagai contoh pricing dalam jasa merupakan hal yang rumit, dimana penghitungan unit cost tidak mudah dilakukan, sedangkan harga sering diasosiasikan dengan mutu oleh konsumen.
Karena jasa dikonsumsi dan diproduksi dalam waktu yang
bersamaan, maka konsumen sering berada dalam “pabrik” jasa,
berinteraksi langsung dengan personel perusahaan dan ikut dalam proses
“produksi” jasa. Untuk itu dalam bauran pemasaran jasa kemudian
dikembangkan. Ditambahkan Zeithaml dan Bitner (1996, 26) sebagai
1. People, yaitu seluruh personel/pelaku yang mengambil bagian dalam proses penyampaian dan mempengaruhi persepsi dari pembeli dalam
hal ini adalah karyawan perusahaan, pelanggan dan
pelanggan-pelanggan lain dalam lingkungan jasa tersebut.
2. Physical Evidence, adalah lingkungan dimana jasa disampaikan, dimana perusahaan dan pelanggan berinteraksi, peralatan atau
fasilitas yang mempengaruhi performance jasa atau mengkomunikasikan jasa tersebut.
3. Process, adalah prosedur, mekanisme, dan aktifitas dimana jasa disampaikan dari perusahaan kepada konsumen.
Ketiga elemen pengembangan bauran pemasaran untuk jasa
di atas (people, physical evidence, process) merupakan bauran pemasaran yang tidak terpisahkan dengan bauran pemasaran tradisional.
Keseluruhan bauran pemasaran tersebut harus dapat dikendalikan oleh
perusahaan karena salah satu atau bersama-sama bauran pemasaran
tersebut mempengaruhi putusan-putusan konsumen dalam pembelian
jasa, tingkat kepuasan pelanggan serta keputusan pembelian ulang
(repurchase).
2.2.3. Pemasaran Jasa Sebagai Suatu Sistem
Setiap bisnis yang berkaitan dengan jasa dapat dijelaskan dengan
terdiri dari pelanggan, material dan informasi, proses pengolahan dan
keluaran (output) yang berupa jasa itu sendiri.
Lovelock (2001: 59) mengatakan bahwa bisnis jasa sebagai sistem
terdiri dari :
1. Service Operation System, dimana masukan proses dan elemen-elemen dari produk jasa itu sendiri dibuat. Bagian ini terbagi
menjadi dua yaitu bagian yang tidak langsung berhubungan dengan
pelanggan, sehingga tidak terlihat oleh pelanggan dan sering disebut
sebagai Back office. Bagian ini lebih banyak berfungsi sebagai pendukung bidang teknis. Sedang bagian yang lain yang lain terlihat
langsung oleh pelanggan merupakan physical Support dan Contract Personel.
2. Service Delivery system, dimana hasil pengolahan dari elemen-elemen jasa berpindah tempat dan hasil produknya diberikan kepada
pelanggan. Bagian ini langsung berhubungan dan terlihat oleh
pelanggan, tidak hanya mencakup bagian yang tampak dari Service Operating System, akan tetapi meliputi hubungan dengan pelanggan-pelanggan yang lain.
Gambaran bisnis jasa sebagai suatu sistem terlihat pada
Gambar 2.2. Bisnis Jasa Sebagai Suatu Sistem
( sumber : Lovelock, 1991: 14 )
Service delivery system sangat berhubungan dengan kapan, dimana dan bagaimana suatu jasa diberikan kepada konsumen, sehingga
suatu jasa seharusnya dibuat atas dasar kesesuaian antara delivery system dengan kebutuhan, kebiasaan atau kesukaan dari suatu target kelompok konsumen.
2.3. Service Delivery System ( Sistem Penyajian Jasa)
Pada umumnya tujuan dari keputusan penyajian sebagai bauran
pemasaran dalam jasa kebugaran adalah sama dengan tujuan dari sektor
barang, yaitu memilih saluran distribusi yang mengoptimalkan posisi
dalam keuntungan meraih keuntungan dalam jangka panjang. pengertian
saluran distribusi secara umum adalah suatu alat yang digunakan oleh
pemasar untuk membuat produk/jasa yang ditawarkan tersedia atau
mudah didapat oleh konsumen. (Donnelly, JR, 1974 : 207)
Menurut Lovelock (2001;60) menyatakan bahwa “Service delivery is concerned with where, when and how the service product is delivered to the customer”.
Lovelock dan Wright (1999 ; 50) menegaskan bahwa
elemen-elemen yang mendukung terbentuknya service delivery system yang baik terdiri dari Physical support, Contact Personel dan Process. Akan tetapi bukan hanya elemen-elemen tersebut saja yang menjadi cakupan
service delivery system , tetapi mencakup juga display kepada konsumen lain. Secara tradisional interaksi antara personel jasa dan konsumen
berlangsung secara tertutup. Tetapi untuk kepentingan efesiensi dan
kenyamanan , maka interaksi antar konsumen dan personel mulai
terbuka.
Goncalves (1998 : 80) mengatakan bahwa ada tiga komponen
utama dari Service Delivery yaitu : 1. Participants/people
Orang dan cara mereka menggunakan pengetahuannya merupakan
jasa itu sendiri, hal ini berlaku pada seluruh sektor jasa. Oleh karena
itu kualitas dari jasa sangat tergantung pada kualitas dari orang yang
awal saringan penerimaan pegawai, program training untuk karyawan baru, program pengembangan dan training lanjutan bagi pegawai lama, program evaluasi karyawan dan terakhir partisipasi manajemen
dalam training dan development program . Semua program itu hendaknya berorientasi pada kebutuhan konsumen. Tujuan utamanya
adalah karyawan terlatih akan mempunyai performance yang tinggi. Akurasi tinggi dalam pekerjaan, tingkat kesalahan yang rendah,
percaya diri yang kuat serta tidak mudah panik dalam bekerja. Semua
ini akan memberikan jaminan kepada konsumen bahwa mereka akan
mendapatkan pelayanan dengan kualitas yang tinggi.
2. Physical evidence/ asset
Meskipun dalam jasa tidak terlihat suatu bentuk fisik yang disalurkan,
akan tetapi jasa memerlukan bantuan sentuhan fisik yang dapat
membantu memproduksi jasa ataupun mengingatkan konsumen akan
keberadaannya. Bukti fisik itu mungkin berupa corporate image yang terbentuk melalui warna, desain, logo, barang cetakan, dekorasi,
seragam pegawai, atau bahkan standarisasi pelayanan yang dapat
menyediakan suatu image yang konkrit akan suatu perusahaan penyedia jasa bagi konsumen.
Dalam distribusi jasa (place), baik tangible elemen maupun intangible elemen perlu diperhatikan dengan baik. Elemen yang tangible sangat jelas terlihat pentingnya misalnya kantor dengan segala perlengkapan
digunakan untuk memanipulasi lingkungan agar konsumen merasa
nyaman misalnya, background musik, minum gratis di ruang tunggu, AC, keramahan petugas, pelayanan dengan perjanjian waktu, dsb.
3. Process (Proses)
Suatu upaya perusahaan dalam menjalankan aktifitas perusahaan
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, merupakan
elemen proses. Konsumen sering merasakan proses distribusi jasa
merupakan bagian dari jasa itu sendiri. Untuk itu diperlukan kerjasama
yang erat dari bagian pemasaran dengan operasional, untuk menjamin
bahwa proses yang benar telah dilakukan dan service delivery dijalankan secara konsisten dan dengan kualitas yang tinggi.
Melalui proses ini pemasaran diharapkan dapat mengkoordinasi dan
memonitor aktifitas-aktifitas non pemasaran . Sehingga pemasaran
jasa tidak akan dapat dilakukan dengan efektif jika staf pemasaran
tidak memahami seluruh proses dan langsung terlibat didalamnya.
2.3.1. Proses Penyajian Jasa ( Service Delivery Process)
Semua organisasi jasa menghadapi pilihan-pilihan berkenaan
dengan jenis-jenis produk yang ditawarkan dan prosedur operasional yang
harus diterapkan dalam menciptakan produk-produk tersebut.
Gambar 2.3. di bawah ini memperlihatkan langkah-langkah kunci di dalam
Gambar 2.3. Planning, Creating, and Delivering Services
To what target market segments
Sumber : Lovelock (2001;218)
Langkah-langkah tersebut berawal dari tingkat korporate melalui
tujuan kelembagaannya (institusional objective) dan penilaian terhadap resources yang sekarang atau yang bisa dijangkau. Kesempatan-kesempatan pemasaran dapat diidentifikasi setelah analisis pasar.
Positioning statement dapat dikembangkan untuk setiap jasa yang direncanakan akan ditawarkan perusahaan kepada satu atau lebih
segmen pasar spesifik, mengidentifikasikan karakteristik yang sangat
membantu dalam membedakannya dari kompetisi.
Positioning strategy harus dikaitkan dengan statement dari operating assets yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi. Mampukah perusahaan mengalokasikan fasilitas fisik, peralatan, informasi dan
teknologi komunikasi serta sumber daya manusia yang diperlukan untuk
mendukung suatu strategi positioning tertentu? Alternatifnya adalah dapatkah perusahaan menyediakan sumber-sumbernya sendiri dengan
menggunakan aset diluar neraca yang diperoleh dengan mengembangkan
hubungan parteneran dengan para perantara atau bahkan konsumen itu
sendiri? Apakah strategi positioning menjanjikan profit yang cukup sehingga menghasilkan kembalian yang bisa diterima untuk aset yang
Penetapan service marketing concept bertujuan untuk mengklarifikasi keuntungan-keuntungan yang ditawarkan kepada
konsumen dengan biaya-biaya yang harus mereka keluarkan. Konsep
pemasaran ini melibatkan baik jasa inti maupun langkah paralelnya
adalah service operation concept yang menentukan cakupan geografis jasa pelengkap, tingkat reliabilitas untuk jasa-jasa tersebut, serta kapan
dan dimana konsumen akan mampu mengaksesnya.
Biaya-biaya yang dimaksud disini mencakup uang, waktu,
pengorbanan mental dan upaya fisik dan penjadwalan operasi,
penggambar design fasilitas dan layout, dan mengindikasikan bagaimana dan kapan aset operasi harus dipersiapkan untuk membantu
menyelesaikan suatu tugas. Konsep operasi juga menjelaskan
kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan pelayanan melalui
perantara atau bahkan konsumen sendiri. Akhirnya proses ini
mengklarifikasi tugas tugas mana yang seharusnya dilakukan oleh para
karyawan di lini depan dan tugas mana yang seharusnya dilakukan
karyawan yang beroperasi di belakang.
Dua konsep ini (pemasaran dan operasi) berinteraksi dengan
sejumlah pilihan yang diambil manajemen dalam konfigurasi proses
penyajian jasa. (Gambar 2.4.). gambar tersebut mengidentifikasikan,
Gambar 2.4. SERVICE DELIVERY AND EVALUATION
Sumber : Lovelock (2001: 340)
SERVICE MARKETINGCONCEPT SERVICE OPERATINGCONCEPT
SERVICE DELIVERY PROCESS Sequencing of service delivery steps
What steps, in what order, where, when, and how quickly? Extent of delegation
Sould the firm take responsibility for all steps or delegate some to intermediaries?
Nature of contact between customers and provider Customer comes to provider
Provider comes to customer Arm’s length transactions Nature of process
Customers served in batches Customers served individualy
Customer serve themselves (self-service) Protocol for allocating limited capacity
Reservations procedures Queuing procedures Imagery and atmosphere
Employee scripts and protocols Variations in décor, lighting and music
PERFORMANCE EVALUATION By Customers
- Bagaimana urutan berbagai langkah penyajian jasa yang seharusnya?
Dimana dan kapan langkah-langkah tersebut terjadi?
- Haruskah elemen-elemen jasa dikelompokan atau tidak dikelompokan
untuk upaya-upaya penyajiannya (sebagai contoh, haruskah
perusahaan jasa bertanggung jawab untuk menyediakan semua
elemen atau mendelegasikan tugas-tugas tertentu seperti informasi
dan reservasi kepada perantara ?)
- Karakteristik kontak yang bagaimana yang seharusnya antara pemberi
jasa dengan konsumennya. Haruskah konsumen datang ke tempat
jasa yang diproses atau dengan cara lain ? Atau haruskah kedua pihak
bertransaksi jarak jauh melalui surat atau telepon?
- Bagaimana seharusnya karakteristik pada setiap langkah proses?
Haruskah konsumen dilayani dalam kelompok-kelompok kecil atau
secara individu, ataukah mereka melayani sendiri ?
- Bagaimana pelayanan protokolnya ? Haruskah perusahaan
mengoperasikan sistem reservasi atau melayani yang datang lebih
dulu dilayani dulu, dengan mengantri kalau perlu? Alternatifnya,
haruskah sistem prioritas ditegakkan untuk konsumen jenis tertentu ?
- Citra (imagery) dan atmosfir lingkungan penyajian macam apa yang akan diciptakan? Untuk jasa yang kontaknya tinggi, hal ini
staf dan sikapnya dan peralatan yang dipakai; dan penggunaan musik;
pencahayaan dan dekorasi.
- Akhirnya, evaluasi unjuk kerja. Kepuasan konsumen terutama akan
didasarkan kepada bagaimana pengguna jasa menggunakan
pendekatan yang lebih formal, mengukur unjuk kerja pada karakteristik
tertentu berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
2.3.2. Gap pada Service Delivery
Bagaimana pelanggan mendefinisikan kualialitas pelayanan,
Zeithaml dan Bitner, mengajukan model Perceived Service Quality (PSQ) sebagai kerangka analisis. Model Perceived Service Quality merupakan bagian dari model Service Quality dan analisis dengan menggunakan model tersebut diistilahkan dengan Gap Analysis. Mereka mengidentifikasikan 5 gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian
jasa. Menurut Zeithaml dan Bitner (1996;48) Kelima gap tersebut adalah :
1. Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal
5. Gap antara jasa yang dirasakan dengan jasa yang diharapkan
mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
secara keseluruhan terhadap gap tersebut dilakukan baik terhadap sisi
marketer (manajerial) maupun sisi pelanggan. Bagian dari model dimaksud disajikan sebagai berikut :
Gambar 2.5. CONCEPTUAL MODEL OF SERVICE QUALITY
Sumber : Zeithaml and Bitner, (1996 : 48)
Gap yang berhubungan dengan service delivery dalam gambar diatas yaitu gap 3 dan gap 4 dimana terdapat kesenjangan antara
spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (Gap3) dan kesenjangan
antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (Gap 4).
Penyebab terjadinya gap antara spesifikasi kualitas jasa dan
penyampaian (Gap 3) antara lain karena karyawan kurang terlatih (belum
menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat
memenuhi standar kinerja atau bahkan tidak mau memenuhi standar kerja
yang ditetapkan.
Menurut Zeithaml and Bitner (1996;303), alasan terjadinya gap 3
bagi penyedia jasa digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.6. Key Reason for Provider GAP 3
Customer-driven Service Design And Standards
Key Factors Related to Employees:
- Ineffective recruitment
- Role ambiguity and conflict
- Poor employee-technology-job fit
- Inappropriate evaluation an compensation systems
- Lack of empowerment an teamwork
Sumber : Zeithaml and Bitner (1996;303)
Sedangkan penyebab terjadinya Gap antara penyampaian jasa dan
komunikasi eksternal (Gap 4) karena seringkali harapan pelanggan
dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh
perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang
diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi.
Menurut Zeithaml and Bitner (1996;453), alasan terjadinya gap 4
bagi penyedia jasa digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.7. Key Reason for Provider GAP 4 Service Delivery
Key Factors Related to Communication :
- Inadequate management of service promises
- Overpromosing in advertising and personal selling
- Insufficient customer education
- Inadequate horizontal communication
- Differences in policies and prosuedures across branches or unit
Service Delivery
Sumber : Zeithaml and Bitner (1996;453)
2.4. Loyalitas Konsumen
2.4.1. Definisi Loyalitas
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal-hal apa saja yang
perlu dilakukan untuk membentuk loyalitas, perlu mengetahui definisi dari
loyalitas di bawah ini.
Definisi loyalitas menurut Oliver (1996 : 392), adalah sebagai
berikut “Customer loyalty is a deeply held commitmnet to rebuy or repatronize a preferred or service consistently in the future, despite situasional influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior”.
Sedangkan Griffin (1995 : 4) mengatakan “loyalty is defined as non random purchase exppressed over time by some decision making unit”.
Dari definisi di atas terlihat bahwa loyalitas lebih ditujukan kepada
suatu perilaku yang ditunjukan dengan pembelian rutin, didasarkan pada
unit pengambilan keputusan.
External Communikcation
s
Selanjutnya Griffin (1995 : 13) mengemukakan
keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki konsumen
yang loyal antara lain :
1. Mengurangi biaya pemasaran (biaya menarik konsumen baru lebih
mahal)
2. Mengurangi biaya transaksi (biaya negosiasi kontrak, pemrosesan
peranan, dll)
3. Mengurangi biaya turn over konsumen (pergantian konsumen lebih sedikit)
4. Meningkatkan penjualan silang, akan memperbesar pangsa pasar
perusahaan
5. Word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi bahwa konsumen yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas
6. Mengurangi biaya kegagalan (seperti penggantian, dll).
2.4.2. Karakteristik Loyalitas Konsumen
Memiliki konsumen yang loyal adalah tujuan semua perusahaan.
Tetapi kebanyakan dari perusahaan tidak mengetahui bahwa loyalitas
konsumen dapat dibentuk melalui beberapa tahapan. Mulai dari mencari
Konsumen yang loyal merupakan asat yang tak ternilai bagi
perusahaan, karena karakteristik dari konsumen yang loyal menurut Griffin
(1995 : 31) antara lain :
1. Melakukan pembelian secara teratur
2. Membeli diluar pruduk/jasa
3. Menolak produk lain
4. Menunjukkan kekebalan daya tarik pesaing (tidak mudah terpengaruh
oleh daya tarik produk/jasa sejenis dari pesaing).
2.4.3. Tingkat Loyalitas Konsumen
Untuk menjadi konsumen yang loyal, seseorang harus melalui
beberapa tahapan. Proses ini berlangsung lama, dengan penekanan dan
perhatian yang berbeda untuk masing-masing tahap, karena setiap
tahapan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dengan memperhatikan
masing-masing tahap dan memenuhi kebutuhan dalam setiap tersebut,
perusahaan memiliki peluang yang lebih besar untuk membentuk calon
pembeli menjadi konsumen yang loyal dan klien perusahaan. Hill
(1996 : 60) menjelaskan bahwa tingkatan loyal terbagi atas enam tingkat
seperti terungkap dibawah ini :
For our purchases, can define six loyalty levels and these are discussed below :
- Prospects. Prospect are potential customer who have some attraction toward your organization but have not yet taken to step of doing business whith you.
- Customer. Typically a one-of purchaser of your product (although the category may include some repeat buyers) who has no feeling of loyalty towards your organization.
- Clients. Repeat Customers who have positive feeling of loyalty towards your organization but who support is passive rather than active, alty towards your organization.
- Advocates. Clients who actively support your organization by recomending it to others.
- Partners. A partnership is the srongest from of customer supplier relationship whice is sustainned both parties see it as mutually beneficial.
Untuk lebih jelas, berikut ini digambarkan mengenai piramida
tentang tahapan loyalitas konsumen.
Gambar 2.8. The Loyalty Pyramid Sumber : Hill (1996 : 60)
Griffin (1195 : 35 ) menyatakan, tahap-tahap tersebut adalah :
1. Suspects
Partners
Clients
Advocates
Suspects
Customers
Meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barang/ jasa
perusahaan. Kita menyebutnya sebagai suspect karena yakin bahwa mereka akan membeli tetapi belum tahu apapun mengenai perusahaan
barang/jasa yang ditawarkan.
2. Prospects
Adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk atau jasa
tertentu, dan mempunyai kemampuan untuk membelinya. Para
prospect ini, meskipun mereka belum melakukan pembelian, mereka telah mengetahui keberadaan perusahaan dan barang/jasa yang
ditawarkan, karena seseorang telah merekomendasikan barang/jasa
tersebut padanya.
3. Disqualified Prospects
Yaitu prospect yang telah mengetahui keberadaan barang/jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang/jasa tersebut, atau
tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang/jasa tersebut.
4. First Time Customers
Yaitu konsumen yang membeli untuk pertama kalinya. Mereka masih
menjadi konsumen yang baru.
5. Repeat Customers
Yaitu konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk/jasa
sebanyak dua kali atau lebih. Mereka adalah yang melakukan
membeli dua macam produk/jasa yang berbeda dalam dua
kesempatan yang berbeda pula.
6. Clients
Clients membeli semua barang/jasa yang ditawarkan, yang mereka butuhkan. Mereka membeli secara teratur. Hubungan dengan jenis
konsumen ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat
mereka tidak terpengaruh oleh tarikan persaingan produk lain.
7. Advocates
Seperti layaknya klien, advocates membeli seluruh barang/jasa yang ditawarkan yang ia butuhkan, serta melakukan pembelian secara
teratur. Sebagai tambahan, mereka mendorong teman-teman mereka
yamg lain agar membeli barang/jasa tersebut. Ia membicarakan tentang
barang/jasa tersebut dan membawa konsumen untuk perusahaan
tersebut.
Untuk lebih jelas gambar profit Generator System dibawah ini :
First Time Customer
Prospect CustomerRepeat AdvocateClients / Profit
Gambar 2.9. Profit Generator System
Sumber : Griffin (1995 : 36)
Kerja profit generator system adalah sebagai berikut :
Perusahaan memasukan seluruh suspect kedalam sistem pemasarannya, dan para suspect ini kemudian akan tersaring menjadi qualified prospects. Disqualified prospect ini dikeluarkan dari sistem, sementara para qualified prospects dimasukan ke proses selanjutnya. Semakin cepat memasukan disqualified prospects semakin menguntungkan bagi perusahaan karena mereka hanya akan
menghabiskan uang dan waktu saja. Para qualified prospects kemudian difokuskan untuk menjadi first time buyers, setelah itu mereka didorong untuk menjadi repeat customers, dan selanjutnya loyal clients dan yang paling akhir dan menjadi tujuan dari kegiatannya yaitu menjadikan mereka
sebagai advocates bagi perusahaan. Para advocates ini akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, karena selain mereka
Inactive Customer/
menjadi konsumen perusahaan mereka juga mempengaruhi orang lain
agar membeli produk dari perusahaan.
Masih dari gambar diatas, terlihat adanya inactive customers clients. Mereka adalah orang-orang yang menjadi first time buyers atau repeat customers atau clients, yang tidak akan kembali lagi. Hal ini harus diperhitungkan karena setiap perusahaan akan kehilangan sebagian dari
mereka dan berarti kerugian bagi perusahaan.
2.4.3.1. Dari Suspect ke Qualified Prospects
Menurut Griffin (1995 : 54), untuk mencari siapa saja yang akan
menjadi qualified prospects diantara para suspects, perusahaan harus menjawab ketiga pertanyaan dibawah ini :
1. Siapa Sasaran Perusahaan ?
Bagaimana mengidentifikasikan kelompok-kelompok dalam masyarakat
yang akan membeli produk/jasa perusahaan. Untuk dapat
mengidentifikasikan dan menyeleksi siapa yang akan menjadi sasaran
perusahaan, dibawah ini merupakan 10 langkah untuk menyeleksi :
1. Survei Pasar keseluruhan
Identifikasi seluruh tipe dan kategori pasar, baik individu industri dan
pihak lainnya yang mungkin menggunakan produk/jasa perusahaan.
2. Segmentasi pasar
Segmentasi daftar pasar potensial tersebut ke dalam
berdasarkan profesi atau untuk industri berdasarkan produk yang
dihasilkan.
3. Analisa Pasar
Cari informasi yang selengkap mungkin untuk setiap kelompok yang
telah dibuat. Analisa apa yang akan menjadi kebutuhan mereka, apa
keinginan mereka, apa yang mereka takutkan, dan pada siapa
mereka membeli produk yang similar dengan produk/jasa
perusahaan. Data tersebut akan berguna bagi perusahaan
mengevaluasi berapa besar potensi mereka dan bagaiman cara
menjual pada mereka.
4. Pelajari Kondisi Persaingan
Pelajari bagaimana perusahaan pesaing melakukan penjualan.
Meskipun tidak ingin meniru cara pesaing, perusahaan harus
mengetahui apa saja yang sedang terjadi di pasar. Hal ini akan
membantu perusahaan didalam memutuskan cara untuk memasuki
pasar.
5. Menyusun Peringkat Pasar
Susun peringkat pasar berdasarkan prioritas. Misalnya, pasar utama
adalah segmen pasar yang paling mudah dicapai dengan investasi
yang paling rendah serta harapan tingkat pengembalian yang paling
tinggi.
Cari informasi sedalam mungkin mengenai pasar yang berbeda di
peringkat atas, mulai dari apa saja yang mereka baca (surat kabar,
majalah), apa yang memancing kepedulian mereka serta cara
berpikir mereka.
7. Analisa Alat Pemasaran yang Paling Efektif
Bila pasar yang ada lebih terfokus dan lebih kecil ukurannya, akan
lebih efektif apabila dilakukan pemasaran yang bersifat individual
secara langsung atau direct marketing (direct mail, telemarketing atau personal selling). Sedangkan bila pasar lebih luas dan homogen, pemasaran masal seperti iklan televisi, surat kabar dan
radio akan lebih efektif.
8. Lakukan Uji Pasar
Untuk menentukan apa saja yang akan dilakukan, ada baiknya suatu
uji pasar terhadap beberapa orang prospek dari masing-masing
pasar potensial. Hal ini akan mempermudah melakukan penjualan
dan juga merupakan pendekatan yang paling baik untuk mengetahui
reaksi pasar potensial yang dimiliki perusahaan.
9. Analisa Hal-hal yang dapat Dilakukan
Misalnya dalam menetapkan ramalan dan kuota penjualan, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah kontak yang diperlukan,
rata-rata kontak telepon yang dapat dilakukan oleh tenaga penjual,
perusahaan untuk merencanakan penjualan secara lebih realistis
serta menghindari pengharapan yang berlebihan.
10. Pilih Pasar Sasaran
Tetapkan pilihan dan anggaplah seleksi pasar sasaran ini sebagai
pertanyaan yang harus secara terus-menerus diajukan untuk
mencari peluang pasar-pasar baru.
2. Bagaimana memposisikan produk/jasa perusahaan ?
Setelah mengidentifikasi pasar sasaran, langkah selanjutnya adalah
merancang dan mengkomunikasikan pesan untuk para prospek.
Memposisikan produk/jasa dapat dilakukan melalui iklan. Peran iklan
menjadi sangat penting apabila dapat membeli informasi yang
dibutuhkan oleh pasar sasaran. Sebagian orang percaya bahwa iklan
yang baik akan mampu mengubah persepsi seseorang mengenai
sesuatu hal.
3. Bagaimana untuk menjaring prospek yang potensial ?
Bagaimana cara untuk memisahkan prospek yang potential dan tidak
potential ? Perlu penelitian yang lebih jauh untuk menemukan
jawabannya. Prospek potensial adalah mereka yang :
- Memiliki masalah yang dapat perusahaan selesaikan (memiliki
kebutuhan)
- Memiliki keinginan untuk mengatasi masalahnya (apa yang
- Mempunyai dan keinginan untuk membeli produk/jasa untuk
memenuhi kebutuhan tersebut
- Memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan pada saat
tertentu.
2.4.3.2. Dari Qualified Prospect ke First Time Buyer
Sebuah survey yang dilakukan oleh Sales dan Marketing Management menyatakan bahwa seorang sales rata-rata membutuhkan tujuh kali kontak sampai seorang prospek melakukan pembelian yang
pertama. Namun Griffin (1995 : 89) menyatakan yang terpenting untuk
diingat adalah seorang prospek atau calon pembeli membutuhkan
seorang sales yang jujur dan dapat dipercaya, yang mampu mendiagnosa masalah yang ia hadapi dan menawarkan pemecahan untuk masalah
tersebut. Memang dibutuhkan waktu dan kesabaran untuk membangun
kepercayaan, akan tetapi setelah kepercayaan itu tumbuh, akan
membawa keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Selain itu, yang
tak kalah pentingnya adalah belajar dari kegagalan masa lalu, karena hal
tersebut merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam meningkatkan
cara-cara menjual pada konsumen serta membangun loyalitas konsumen.
Singkatnya, empat langkah yang perlu diperhatikan untuk
mendorong prospek untuk menjadi First time buyer, yaitu : 1. Mendengarkan segala keluhan mereka
3. Menawarkan solusi bagi permasalahan tersebut
4. Belajar dari kegagalan masa lalu.
2.4.3.3. Dari Fisrt Time Buyers ke Repeat Customers
Tidak sedikit dari first time buyers yang tidak kembali untuk melakukan pembelian kedua. Griffin (1995:108) menyatakan empat hal
yang membuat mereka tidak kembali, yaitu
1. Mengalami masalah.
Bila first time buyers mengalami masalah pada 3-6 bulan setelah pembelian pertama ia akan berpikir bahwa situasi tersebut akan terjadi
setiap saat. Adanya masalah akan memperburuk hubungan dan juga
kesempatan penjualan dimasa yang akan datang.
2. Tidak ada sistem pelayanan formal.
Sebuah perusahaan yang telah menghabiskan waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun untuk menarik konsumen baru, seringkali
mengalami kegagalan dalam mempertahankan konsumen, karena
belum adanya sistem pelayanan yang formal (kepastian akan
pesanan seseorang telah diproses) dapat membawa ketidakpuasan
bagi mereka.
3. Hilangnya komunikasi dengan pengambilan keputusan.
Organisasi atau perusahaan sering berkomunikasi dengan para
pengambilan keputrsan pada konsumen bisnis. Mereka biasanya tidak
berkomunikasi dengan pengambil keputusan tersebut tidak berlanjut.
Perusahaan akan menghadapi resiko kehilangan konsumen.
4. Mudah untuk kembali pada perusahaan lama.
Bila si konsumen masih melakukan pembelian dari perusahaan lama,
ia akan mudah kembali keperusahaan itu apabila mengalami masalah
dengan perusahaan kita.
Setiap pembelian menimbulkan konsekuensi bagi seorang
pembeli. Konsekuensi ini terjadi akibat dari perilaku konsumen yang
disebut sebagai pengevaluasian kembali setelah pembelian. Setiap
pembeli mempunyai sejumlah harapan. Setelah melakukan pembelian,
pembeli membandingkan apa yang mereka terima dengan apa yang
mereka harapkan (terjadinya kesesuaian antara Expectacy dengan reality/experience). Jika perbandingan tersebut menguntungkan,si pembeli dapat dikatakan puas. Tapi jika tidak, maka dikatakan tidak puas.
First time buyers dapat dikatakan sebagai “trier” atau pencoba. Mereka mencoba jasa baru. Akan terjadi persepsi tentang kualitas dimana
tingkat kepuasan mereka akan mempengaruhi keputusan mereka untuk
pembelian ulang. Perasaan puas dari first time buyers memperbesar kemungkinan bahwa seseorang akan membeli kembali. Pembelian ke dua
menjadi penting sebab menunjukan perubahan dari pembelian pertama.
Pada pembelian kedua ini, pembeli mebuat keputusan bahwa, pembelian
referensi mengenai apa dan siapa pembelinya. Preferensi ini diperoleh
dari pengalaman pembelian pertama yang positif.
Pada sisi lain ketika harapan tidak terpenuhi akan menimbulkan
ketidak puasan. Ketidakpuasan menurut Griffin (1995:116) didefinisikan
sebagai derajat perbedaan antara hubungan dengan kenyataan yang
diterima. Ketika terjadi kesenjangan tersebut pembeli akan mengalami
dengan apa yang disebut ketidakkonsistenan atau dissonance. Derajat disonansi dtentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Semakin penting suatu keputusan, semakin besar disonansi.
2. Semakin banyak pertimbangan alternatif sebelum membeli, semakin
besar dissonansi.
3. Semakin besar kemungkinan ditolak, semakin besar disonansi.
4. Semakin sering membeli produk atau merek tersebut, semakin kecil
disonansi.
5. Semakin sulit diubah keputusannya, semakin besar disonansi.
Kemudian Griffin (1995:121) menyatakan empat belas hal yang
harus diperhatikan agar first time buyers melakukan pembelian ulang : 1. Tidak lupa mengucapkan terima kasih setelah transaksi terjadi
2. Meminta umpan balik dari mereka dan memberikan respon dengan
segera.
3. Gunakan surat yang tidak mendoktrin. Maksudnya, surat yang berisi
tentang cara-cara menggunakan produk/jasa tanpa sifat menggurui.
5. Menyusun data base konsumen 6. Komunikasi secara terus menerus
7. Memberikan gambaran tentang kepemilikan
8. Mengubah pembelian ulang menjadi pelayanan
9. Memperlakukan biaya pelayanan untuk konsumen sebagai investasi
bernilai
10.Menjamin komunikasi dengan pengambilan keputusan
11.Mengembangkan komunikasi dengan pengambilan keputusan
12.Mengembangkan promosi untuk konsumen baru
13.Menawarkan garansi produk
14.Mengembangkan promosi nilai tambah produk.
2.4.3.4. Dari Repeat Customers ke Loyal Client
Bagaimana sebuah perusahaan dengan segala kebijakannya,
dapat meningkatkan repeat customer menjadi loyal clients dan menjaga agar mereka agar tetap loyal. Perusahaan harus memberikan nilai (value) yang didefinisikan oleh konsumen sebagai perubahan, peningkatan atau
perbaikkan barang/jasa inti untuk meningkatkan pelayanan konsumen
mereka.
Meskipun konsep nilai ini bukanlah hal yang baru, namun yang
penting adalah bagaimana pelayanan konsumen atas kosep tersebut.
Dahulu, konsumen memandang nilai sebagai kombinasi dari harga dan
seperti realibilty (keandalan), kenyamanan berbelanja dan pelayanan purna jual.
Perusahaan yang berupa untuk meningkatkan posisi
kepemimpinan mereka selama sepuluh tahun ke belakang, telah
mencapai keberhasilan melalui pendalaman atas fokus bisnis dan
menyampaikan salah satu nilai dari tiga nilai yang ada :
1. Operastional excellence (Kecanggihan operasional). Artinya, perusahaan mampu menyediakan produk/jasa yang handal dengan
harga bersaing dan dengan kesulitan membeli yang minimum.
2. Customer Intimacy (kedekatan dengan konsumen). Mensegmentasi dan menetapkan pasar sasaran dengan presisi yang tepat dan
kemudian menyesuaikan presisi tersebut dengan permintaan pasar.
Dua faktor penting untuk perusahaan adalah pengetahuan tentang
konsumen dan operasi yang fleksibel. Kombinasi kedua faktor tersebut
memungkinkan respon yang cepat terhadap keinginan konsumen dan
permintaan khusus mereka.
3. Product Leadership (Kepemimpinan Produk). Menyediakan konsumen dengan produk/jasa terbaik yang menyebabkan produk/jasa pesaing
menjadi tidak terpakai.
Griffin (1995:141) menyatakan bahwa faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam merumuskan strategi untuk mengubah repeat customers menjadi loyal clients adalah:
Loyalitas sesungguhnya bukanlah seperti apa yang dipikirkan oleh
konsumen yaitu loyalitas diukur oleh kebiasaan membeli yang terikat
dengan barang/jasa tertentu. Tujuan dari riset konsumen adalah untuk
mengetahui siapa kosumen terbesar, apa yang mereka beli dan
mengapa mereka loyal. Informasi ini penting untuk merencanakan
bagaimana meningkatkan loyalitas konsumen. Kebanyakan
perusahaan tidak tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut,
meskipun untuk memeperolehnya tidaklah terlalu sulit. Perusahaan
dapat meneliti kebiasaan konsumen dalam membeli dengan
memeriksa catatan belanja dan mengevaluasi pola-pola tertentu,
seperti jumlah kunjungan dan perbandingan dari tahun ke tahun atas
barang/jasa yang dibeli.
Perusahaan harus dapat menjawab dua pertanyaan di bawah ini:
1. Siapa pembeli terbaik perusahaan dan apa yang mereka beli?
Urutan konsumen berdasarkan jumlah uang yang dikeluarkan dan
volume unit
2. Mengapa mereka membeli?
Mencari tahu alasan mengapa mereka membeli untuk menentukan
apa penyebab mereka loyal
2. Membuat Hambatan Agar Konsumen Tidak Berpindah
Dengan memahami siapa konsumen perusahaan, apa yang mereka
untuk melangkah ke alat loyalitas selanjutnya, yaitu membuat
hambatan agar konsumen tidak pindah ke produk lain.
Ada tiga hambatan, yaitu:
1. Hambatan Fisik. Yaitu denga menyediakan hambatan fisik yang
dapat memberikan nilai tambah bagi konsumen. Misalnya, pada
perusahaan biro yang memberikan pelayanan pelayanan resevasi
tiket 24 jam.
2. Hambatan psikologis. Dengan menciptakan persepsi dalam pikiran
konsumen supaya ia bergantung pada barang/jasa perusahaan.
3. Hambatan Ekonomis. Dengan memberikan insentif bagi konsumen
yang menguntungkan secara ekonomis. Misalnya, dengan
memberikan diskon atau potongan harga.
3. Melatih dan memotivasi staf untuk loyal
Karyawan dan staf merupakan faktor penting untuk membangun
loyalitas konsumen. Bila perusahaan akan melakukan hal itu, ikut serta
mereka dalam proses tersebut dan beri pelatihan. Informasi dukungan
dan imbalan agar mereka melakukan hal tersebut.
4. Pemasaran untuk loyal
Pemasaran untuk loyal adalah perusahaan yang menggunakan
program-program yang memberikan nilai tambah pada perusahaan
dan produknya di mata konsumen. Loyalitas akan meningkat apabila
menggunakan program-program pemasaran untuk loyalitas ini,
diharapkan nilai yang diterima konsumen akan meningkat pula.
Program-program tersebut antara lain:
- Relationship Marketing. Pemasaran yang bertujuan untuk membangun hubungan baik dan jangka panjang dengan konsumen.
- Frequency Marketing. Pemasaran yang bertujuan membangun komunikasi dengan konsumen. Perusahaan secara berkala membuat
pertanyaan-pertanyaan seputar produk yang digunakan konsumen.
- Membership Marketing. Mengorganisasikan konsumen ke dalam kelompok keanggotaan atau klub, yang dapat mendorong mereka
melakukan pembelian ulang dan meningkatkan loyalitas mereka.
2.4.3.5. Dari Loyal Clients ke Advocates
Saat konsumen menjadi advocates bagi barang / jasa perusahaan, berarti perusahaan telah mencapai hubungan yang amat erat dapat
dipercaya. Hal ini merupakan kekayaan perusahaan yang sangat
berharga. Para konsumen yang telah menjadi advocates bagi perusahaan turut andil dalam memasarkan barang/jasa perusahaan. Mereka
mempengaruhi rekan-rekan mereka untuk membeli barang / jasa dari
perusahaan. Mereka melakukan semua itu melalui apa yang disebut
dengan Word of Mouth (WOM).
WOM ini sangat ampuh untuk menarik konsumen baru dan juga
dalam WOM tersebut berasal dari seseorang yang mengenal perusahaan
dan barang/jasa perusahaan, serta tidak memiliki motif finansial dan
mempromosikan barang/jasa perusahaan
Seringkali produk terjual, tanpa perusahaan tahu siapa
pembelinya. Menurut Griffin (1995:162) ketika seorang konsumen datang
karena diberitahu advocates, maka perusahaan mendapatkan keuntungan:
1. Waktu menjual lebih sedikit
2. Prospek ini memeiliki potensial lebih untuk menjadi konsumen yang
loyal. Karena seseorang yang dipengaruhi advocates cenderung lebih loyal dibandingkan mereka yang datang karena terpengaruh iklan
3. Merekla yang datang sudah siap melakukan pembelian
Griffin (1995:169) menyatakan cara-cara untuk memperoleh
seorang advocates, adalah:
1. Membuat file konsumen yang puas. Catat semua alamat, nomor telepon, perusahaan serta meminta kesediaan mereka untuk dijadikan
referensi. Saat perusahaan ingin mencuri produk tersebut, dan undang
mereka agar bertemu dengan para advocates secara lansung. Oleh para penjual profesional cara ini disebut sebagai referensi selling
2. Meminta pada konsumen yang puas agar mengirim surat pada
perusahaan. Surat-suarat tersebut dapat digunakan sebagai bahan
pemasaran untuk prospek atau dimuat dalam brosur.
4. Ucapan terima kasih pada setiap transaksi.
2.5. Hubungan antara Service Delivery System dengan Loyalitas
Service delivery system merupakan cerminan dari kualitas jasa, apabila service delivery system suatu perusahaan baik maka kualitas jasa perusahaan itu juga akan baik.
Pendapat demikian didukung oleh Lewis & Booms (1983) yang
dikutip oleh John E. G. Bateson dalam bukunya “Managing Services Marketing” (1992; 509) mendefinisikan mutu pelayanan sebagai berikut : “Service Quality is a measure of how well the service level delivered matches customer expectations”.
Pendapat lain diutarakan oleh Chase dan Bowen dalam Brown et
al. (1991: 159) menyatakan bahwa terdapat tiga altenatif pendekatan
terhadap kualitas pelayanan yaitu attribute theory, customer satisfaction theory, dan interaction theory :
- Attribute theory mengasumsikan, kualitas pelayanan terutama mencerminkan atribut dari sistem penyajian jasa (service delivery system). Attribute theory merupakan penerapan kerangka kerja kualitas produk terhadap jasa. Perspektif attribute theory dalam kualitas pelayanan mengasumsikan bahwa manajemen memiliki kontrol yang
(input) dihubungkan dengan kualitas pelayanan. Attribute theory menempatkan pentingnya aspek teknis produksi.
- Customer satisfaction theory memperlakukan kualitas pelayanan sebagai fenomena perseptual yang diidentifikasi melalui sudut pandang
konsumen. Arti, definisi, dan penilaian kualitas pelayanan didasarkan
pada persepsi konsumen. Sebagai contoh, Gronroos (1990: 36)
mendefinisikannya sebagai kualitas yang dirasakan oleh konsumen.
- Interaction theory mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai pengalaman yang dimiliki oleh seluruh partisipan dalam service encounter. Pengalaman konsumen berkaitan dengan pengalaman contact employee. Kualitas pelayanan muncul melalui kebutuhan mutualisma antara konsumen dan pegawai.
Melalui pendekatan kualitas jasa, keterkaitan antara service delivery system dengan kepuasan pelanggan adalah “A function of the cloness between the buyer’s product expectation and the product’s perceived performance” (Kotler, 1991 : 187). Pendapat senada dikemukakan Mowen bahwa “The difference or gap between expectation and actual performance may influence customer perception with the overal quality as well as their satisfaction with the overall transaction” (Mowen, 1993 : 461).
Dari dua pendapat diatas, secara konseptual terdapat suatu pola
hubungan tertentu antara kualitas pelayanan dengan kepuasan
Pelanggan yang puas bukan saja akan membentuk loyalitas tapi
juga sebagai sarana promosi perusahaan. Kuatnya hubungan antara
kualitas pelayanan dengan kecenderungan pelanggan untuk
menganjurkannya pada pihak lain, berdasarkan hasil penelitian Zeithaml,
Parasuraman dan Berry menyatakan “The data reveal a strong association between customer perception of a firm’sservice quality and their inclination to recommend that firm to other needing service” (Brown, Gummessom, Edvardsson and Gustavsson, 1991 : 267).
Sedangkan pola hubungan antara kualitas pelayanan dengan
kecenderungan pembelian ulang menurut Gronroos “If the firm fail to render an acceptable service offering, the perceived service quality may not be good enough and the customer does not return” (Bateson, 1992 :494). Pendapat senada dikemukakan pada buku yang sama “ There is simple evidence to sugest that quality can deliver repeat purchases” (Bateson, 1992 : 191).
Secara keseluruhan, John Tschohl mengaitkan antara kualitas
Menurut Philip Kotler (1997 : 19), pelanggan yang puas akan
menunjukkan perilaku yang dengan sendirinya merupakan ukuran
kepuasan pelanggan sebagai berikut :
1. Melakukan pembelian ulang
2. Menjadi lebih setia
3. Memberikan komentar yang menguntungkan tentang perusahaan dan
produknya
4. Membeli lebih banyak jika perusahaan memperkenalkan produk baru
dan menyempurnakan produk yang sudah ada
5. Kurang memberikan perhatian pada merek dan iklan pesaing dan
kurang sensitif terhadap harga
6. Memberikan gagasan produk/jasa pada perusahaan
7. Membutuhkan biaya pelayanan yang lebih kecil dari pada pelanggan