109
E-ISSN : 2775-2348
(LJMW)
EDITORIAL OFFICE: Lawyers Office Mai Wandeu Padang City
Jl. Berlian VII No. 128, RT 001 / RW 012 Kel. Pegambiran Ampalu Nan XX, Kec. Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat 25226. HP: +62 857-6726-6292
Email: [email protected]
Website: https://journal.wandeu.org/index.php/ljmw
OTONOMISASI KEARIFAN LOKAL DAN HUKUM ADAT DALAM OTONOMI DAERAH
Studi Di Luwu Raya
BasoSulaiman1, Ilyas2
1) STISIPVeteranPalopo, Sulawesi Selatan, Indonesia
2)STISIPVeteranPalopo, Sulawesi Selatan, Indonesia
Corresponding Author: BasoSulaiman, Ilyas1
ARTICLE HISTORY:
ABSTRACT
Received : 10/03/2021 Revised : 19/03/2021 Publish : 021/05/2021
This study examines the autonomy of local wisdom and customary law in regional autonomy in Luwu Raya, South Sulawesi, using historical, exploratory and phenomenological methods. As a result, autonomy lasted for 12 centuries (VII-XX) during the past Luwu Kingdom from the leadership of Datu Luwu 1 to the 33rd Datu Luwu. Deautonomization occurred during 44 years (1906-1950) of colonialism, and continued during the reign of Indonesia despite several changes to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and changes to the political law of regional autonomy. In conclusion, the political and legal factors of the state / government affect autonomy and deautonomy, so there needs to be a change in the legal and political paradigm.
Keywords:
Autonomy, legal politics, legal and political paradigms, local wisdom, customary law.
PENDAHULUAN
Kota Palopo khususnya dan Luwu Raya pada umumnya adalah merupakan eks wilayah inti dan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu yang berlangsung dari abad VII – XX atau dengan golden past selama duabelas abad (Andi Ima Kesuma, 2015). Pemerintahan kerajaan tersebut baru benar-benar berakhir setelah berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berlakunya Undang-Undang Darurat No.3 Tahun 1957 tentang pembubaran eks wilayah kerajaan (Pelras, 2006). Kerajaan Luwu berubah statusnya secara total dari sebuah Negara kerajaan besar dan sistem pemerintahan yang berdaulat menjadi daerah periperi dari NKRI. Kemudian secara historis, sosiokultural dan geopolitik wilayahnya sekarang ini disebut Luwu Raya yang terbagi menjadi empat daerah otonom yakni Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Timur.
Kerajaan Luwu telah mewariskan sejumlah icon keutamaan dan keunggulan tertentu yang bersifat fundamental-substansial dan strategis kepada Kota Palopo (Luwu Raya) dalam
110 aspek sejarah, sosial budaya, lingkungan, politik dan pemerintahan, dan hukum, terutama diantaranya adalah sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan, filsafat, nilai-nilai kearifan dan hukum; pusat peradaban sejarah, budaya dan kepercayaan tertua di Sulawesi (Morris, 1992,2007; Abu Hamid,1980; David Bulbeck & Prasetyo, 1998; Taufik Rahzen, 2007;
Muhammad Yusuf, 2010; Nasaruddin A.Sadda, 2010).
Fenomena permasalahannya hingga saat ini, internalisasi dan aktualisasi kearifan lokal dan hukum adat semakin absurd dan termarginalkan ditengah penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan konsep dan kebijakan otonomi daerah. Kearifan lokal dan hukum adat yang pernah terbukti secara efektif dalam mewujudkan tatanan pemerintahan dan ketertiban perlindungan-penegakan hukum serta penyelesaian berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan masyarakat, kini semakin tidak berdaya dalam menghadapi dominasi dan hegemoni hukum positif (sebagai hukum Negara/nasional). Fakta dan realitas perkembangannya saat ini, penerapan hukum positif yang mengedepankan paradigm legal positivistik semakin menjauhkan masyarakat dari budaya hukum yang berkearifan, perilaku dan kesadaran hukum masyarakat semakin menurun atau rendah, pertentangan atau konflik antara masyarakat lokal-adat dengan pemerintah dan aparat-lembaga penegak hukum semakin mengemuka dalam aneka ragam ranah perlindungan dan penegakan hukum.
Ditengah berlangsungnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, justeru Pemerintah daerah dan masyarakat hukum lokal-adat semakin kehilangan otonomi dalam berhukum (berperlindungan dan berpenegakan hukum). Masyarakat hukum lokal- adat semakin merindukan internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adatnya dalam berhukum (berperlindungan dan berpenegakan hukum) yang adil. Dengan demikian tuntutan dan kebutuhan terhadap pelembagaan (institusionalisasi) kearifan local dan hukum adat menjadi tak terhindarkan, semakin urgen dan strategis dalam rangka mengembalikan paradigma bottom-up hukum serta mengembalikan hak-hak masyarakat hukum lokal-adat sebagai subyek, pioneer, pilar dan tuan rumah penyelenggaraan hukum dan keadilan berbasis nilai-nilai kearifan lokal di daerahnya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah Luwu Raya yang merupakan eks wilayah Kerajaan Luwu yakni kerajaan pertama dan tertua di jazirah Pulau Sulawesi, Indonesia. Tipe penelitian ini adalah perpaduan penelitian hukum normatif dan doktrinal dengan penelitian hukum empiris dan nondoktrinal. Penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap sejarah hukum, asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, dan perbandingan hukum (Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 1994:3) atau menggunakan dasar-dasar hukum yang ada, sedangkan tipe penelitian doktrinal diartikan sebagai suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (Terry Hutchinson dalam Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006: 118). Tipe empiris dan nondoktrinal mengkaji berbagai fakta empiris yang terjadi di lapangan terkait otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat dalam otonomi daerah di Kota Palopo (Luwu Raya). Desain penelitian adalah eksploratif dan fenomenologi. Jenis data dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu data yang diperoleh langsung dari
111 lapangan (data empiris) dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (data sekunder).
Sumber data adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier (Soerjono Soekanto, 2008:51). Bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan produk perundang-undangan (UU) yang mengatur tentang pemerintahan daerah (otonomi daerah) serta perundang-undangan terkait. Bahan hukum sekunder bersumber dari I Lagaligo, Lontarak (versi Latoa), literatur (buku ilmiah) sejarah dan hukum, tulisan-tulisan karya ilmiah, hasil-hasil penelitian para sarjana hukum, dan jumal ilmiah di bidang hukum.
Bahan hukum tertier berupa kamus hukum, dan bahan lainnya yang relevan dengan kebutuhan dalam penelitian ini.
Metode atau teknik pengumpulan data dengan observasi, studi kepustakaan atau literatur, interview dan studi dokumentasi. Observasi dilakukan terhadap situasi dan kondisi sosial budaya masyarakat hukum lokal serta perlindungan dan penegakan hukum di Luwu Raya. Selain itu juga diamati monumen-monumen dan situs sejarah yang ada, keberadaan Kedatuan Luwu dan rumah adat, To Manurung dan Arajang, kelangsungan pemerintahan asli Kedatuan Luwu secara informal, dan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh Kerajaan Luwu. Studi kepustakaan (literatur) dan studi dokumentasi dilakukan terhadap buku-buku sejarah dan budaya tentang Luwu, Sure‘ I La Galigo dan Lontaraq (Kitab), perundang-undangan, serta tulisan-tulisan, jurnal ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang relevan. Interview dilakukan kepada Datu Luwu ke-40, elit budaya dan adat (tokoh dan pemangku adat, tomakaka, budayawan), elit masyarakat, pakar atau akademisi, penulis buku tentang sejarah dan budaya Luwu, pemerhati masalah sejarah dan budaya Luwu, pemerhati masalah hukum dan kearifan lokal, elit politik lokal dan birokrat lokal (ketua dan anggota DPRD, pejabat pemerintah daerah), elit penegak hukum di Luwu Raya.
Metode atau teknis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Miles & Huberman (1984) dan Creswell (1998:76) mengemukakan bahwa ada banyak model penelitian yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, diantaranya yang menonjol adalah model life story, fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus (cases study). Salah satu ciri penelitian kualitatif adalah peneliti merupakan instrumen utama dalarn proses penelitian. Peneliti yang melakukan penelitian kualitatif sudah harus memulai penulisan laporan penelitian sejak berada di lapangan. Karena proses analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, maka kecil kemungkinan terjadinya kekurangan data karena peneliti dapat dengan mudah melihat unsur unsur analisis yang hilang atau tidak dibicarakan dengan informan pada saat penggunaan metode wawancara dan pengamatan berlangsung. Dalam kaitan itu, Moleong (1999:51-52) mengemukakan bahwa analisa data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan hipotesa kerja yang disarankan oleh data. Proses kerja analisa data terbagi atas: (1) menelaah seluruh data yang telah diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan memahami secara mendalam data data tersebut, (2) mereduksi data dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan proses menganilisis dan merangkum intisari data, (3) memeriksa keabsahan data. Data yang terkumpul diolah, diinterpretasikan dan kemudian dianalisis. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif dan deduktif.
112 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Selama duabelas abad (abad VII-XX) masa golden past Kerajaan Luwu, kearifan lokal dan hukum adat tumbuh subur dan berkembang luas secara otonom dalam tatanan kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat bermula dari tiga akar nilai luhur adele, lempu‘, tongeng (ALT) yang melahirkan nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat sebagai satu kesatuan sistem nilai yang tertuang dalam sureq La Galigo dan Lontaraq melalui peran La Galigo dan para elit kreatif baik Raja atau Datu (Pajung), bangsawan (ma‘dara takku‘) maupun cendikiawan (To Acca, To Panrita) (Andi Ima Kesuma, 2015) dalam memahami, mengamalkan, menjabarkan, menyalin, menulis serta mengkomunikasikan dan mewariskan secara turun temurun. Hal ini sejalan dengan teori strukturasi Anthony Giddens (1978) tentang produksi dan reproduksi nilai-nilai dalam struktur sosial. Demikian pula teori struktural fungsional Talcott Parson bahwa setiap masyarakat selalu ditemukan adanya sistem nilai sebagai hasil konsensus bersama (collective conciousness) semua anggota masyarakat yang mempunyai kekuatan self enforcing dan integratif serta bersifat fungsional. Sistem nilai ini bersumber dari pola-pola budaya yang meliputi believe system, system of expressive symbolism, dan systems of value orientation standards (Narwoko, 2006).
Sistem nilai kearifan lokal dan hukum adat yang tumbuh dan berkembang tersebut meliputi : Adele (keadilan), Lempu-alempureng (lurus, kejujuran), Tongeng (kebenaran), Siri‘ (harga diri), Passe (perikemanusiaan, empati), Sipakatau (memanusiakan sesama), Sipakalebbi (saling memuliakan), Sipakainge (saling mengingatkan), Amaccang (kecendikiaan), Siamaseang (kasih sayang), Getteng – agettengeng (tegas, keteguhan), Warani-awaraniang (keberanian, kesatria), Reso‘ temangingi (usaha kerja keras, etos kerja), Assitinajang- mappasitinaja (kepatutan, keselarasan), Asseddiang (persatuan), Assimaturukang (gotong royong, solidaritas), Sibaliperri‘ (sepenanggungan, bermitra), Sipurepo‘ (berat sama dipikul), Tudang sipulung (musyawarah mufakat, demokrasi), Amaradekangeng (kemerdekaan, kebebasan bertangungjawab), Assituruseng (tolong menolong), Assimellereng (kesetiakawanan sosial), Asalewangeng (menjaga kerukunan hidup), Masagena (kemampuan), Makaritutu (kewaspadaan) (Rahman Rahim, 2011; Andi Ima Kesuma, 2012; Muhammad Yusuf, 2013; Erman Syarif dkk, 2016), Lempu na magetteng (kejujuran dan ketegasan), Ada tongeng temmappassilaingeng (berlaku adil dan berucap kebenaran), Mali siparappe, sipatuo sipatokkong (saling tolong menolong) (Zainal Said, 2011), Ati mapaccing (bawaan hati yang baik), nia' madeceng (niat baik), kalawing ati, nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik), Maccai na malempu; Waraniwi na magetteng (cendekia lagi jujur, berani lagi teguh dalam pendirian), Mali‘ siparappe tokkong siparebba‘ (saling berpegangan ketika hanyut dan berdiri dan jatuh pun selalu bersama), Rebba sipatokkong mali siparappe (rebah saling membangkitkan, hanyut saling mendamparkan) (Mashadi Said, 2007); Mappesona ri dewata seuwae (pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa) (Moein MG,1990); Idi massellessureng manenngi ri lino
113 lettu esso ri monri‖ (kita semua merupakan saudara di dunia dan di akhirat) (Fachruddin Ambo Enre, 1992).
Terkait dengan hukum adat, bersumber dari wujud kebudayaan yang disebut Panngaderreng yang dibangun oleh banyak unsur yang saling kuat-menguatkan.
Panngaderreng meliputi hal ihwal ade‘ (sistem norma dan aturan-aturan adat) tentang bicara (peradilan), tentang rapang (undang-undang), tentang wari (pranata hukum) dan tentang sara‘ (hukum Islam) (Mattulada, 1995; Friedericy, 1933). Aspek-aspek ideal dari panngaderreng mengandung empat azas dasar, yang menjadi latar belakang yaitu: 1. Azas Mappasilasa‘e, yakni mewujudkan keserasian, perilaku hukum yang baik dan tindakan preventif. 2. Azas mappasisaue, mewujudkan penegakan etika dan moral, pendidikan hukum, perlakuan yang sama di depan hukum, penerapan sanksi hukum atas setiap pelanggaran adat (hukum adat), pedoman legalitas dan tindakan represif, sistem peradilan (bicara) yang adil-jujur-benar. 3. Azas mappasenrupae, mewujudkan pemeliharaan pola- pola perilaku hukum yang kontinyu dan stabil melalui sistem perundang-undangan (rapang). 4. Azas mappallaiseng, mewujudkan ketertiban dalam pranata hukum (wari) (Mattulada, 1995; Zainal Said, 2011). Keberadaan sistem nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut menurut H. Munir Salim (2016) sebagai ciri khas (kekhasan) yang memiliki keunikan dan daya tarik, keunggulan dan nilai tersendiri serta menjadi bukti kebesaran, kebanggaan, kekuatan dan kemasyhurannya sehingga setiap anggota masyarakat menjunjung tinggi dan menghormati serta mempertahankan eksistensinya setiap saat kapan dan dimanapun berada sepanjang masa.
Otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat di Tanah Luwu tetap berlangsung hingga masuknya pengaruh nilai-nilai ajaran Islam pada abad XVII (sejak Tahun 1603), bahkan kehadiran Islam justeru semakin memperkuat otonomi dan memperkaya nilai-nilai kearifan budaya lokal dan hukum adat dengan masuknya unsur sara‘ dalam sistem Panngadereng. Sistem budaya dan hukum Panngadereng ini yang sebelumnya terdiri atas empat subsistem yakni: Ade‘ (adat), Bicara (peradilan), Rapang (Undang-undang) dan Wari (aturan kemasyarakatan) berkembang menjadi lima dengan dimasukkannya Sara‘ (hukum Islam). Kelima subsistem (ade‘, bicara, rapang, wari, sara‘) dalam sistem Panngadereng tersebut berperan penting dalam memelihara, menjaga, mengaktualisasikan dan melestarikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dan hukum adat. Hukum Islam dan hukum Adat bercampur menjadi satu paradigma hukum, yang mewujudkan living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga melahirkan tiga bentuk filosofi penentuan pengambilan sikap dan pola tingkah laku masyarakat yaitu: Mappattuppu ri ade-e (bertumpu kepada adat), Mappitangnga ri rapange (dengan memperhatikan pengalaman diri sendiri atau orang lain), dan Mappasanre ri sara-e (menyandarkan perbuatan kepada syariat Islam) (Ahmad Ubbe, 2005).
Kearifan lokal dan hukum adat tersebut menurut Abdullah Hamid (1985) merupakan energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup diatas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban: hidup damai, rukun, bermoral, saling asih dan asah serta asuh, hidup dalam keragaman, hidup penuh maaf dan pengertian, hidup toleran dan jembar hati, hidup harmoni dengan lingkungan, hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan, hidup untuk menyelesaikan persoalan-
114 persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri, dan itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal.
Kearifan lokal dan panngadereng (hukum) diinternalisasikan, digali, digagas, diciptakan, dikonseptualisasikan, diformulasikan, dikembangkan, diamalkan, dijaga, dipelihara, dipedomani, ditegakkan, dilindungi dan dilestarikan secara otonom oleh manusia filosofis, TomanurungE, para Raja atau Datu (Pajung), para elit politik kreatif (Hadat, Tociung atau To Maccae ri Luwu), para pemimpin institusi pemerintahan adat (termasuk para Ma‘dika dan para Tomakaka) serta seluruh elemen dan rakyat atau penduduk multietnis di Tanah Luwu sejak berdirinya kerajaaan sampai dengan masa berakhirnya pemerintahan kerajaan pada awal abad XX. Oleh karena itu, penegakan nilai-nilai kearifan lokal dan panngadereng (hukum lokal adat) telah melalui dinamika perjalanan sejarah yang panjang (minimal sepuluh abad lamanya), melewati berbagai ujian yang berat untuk pembuktian atas kebenaran dan efektivitasnya sebagai: perekat hubungan keselarasan hubungan manusia-alam-Tuhan, basis nilai politik hukum, pedoman dalam bernegara- berpemerintahan-bermasyarakat, pemelihara ketertiban dan ketentraman, sarana perlindungan sosial budaya-hukum-politik-lingkungan, serta problem solution yang efektif atas aneka permasalahan yang dihadapi untuk menguji ketahanan dan kebenaran hakiki yang dimiliki.
Tantangan permasalahan di Kota Palopo (Luwu Raya) terjadi pasca kemerdekaan dan integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kerajaan Luwu berubah statusnya secara total dari sebuah Negara kerajaan dan sistem pemerintahan yang berdaulat menjadi daerah periperi dari NKRI berdasarkan UU Darurat No.3 Tahun 1957, dan sekarang ini wilayahnya terbagi menjadi empat daerah otonom yakni Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Timur, bahkan berkembang wacana politik untuk pemekaran wilayah dan pembentukan Kabupaten Luwu Tengah. Keempat daerah otonom tersebut menyelenggarakan pemerintahan daerah berdasarkan politik hukum kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan oleh Pemerintah Nasional Indonesia, terutama pasca era reformasi dan dibukanya kran demokrasi Tahun 1999, yaitu Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah seperti UU No.22 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No.32 Tahun 2004, kemudian diubah menjadi UU No.8 Tahun 2005, diubah menjadi UU No.12 Tahun 2008, diubah menjadi UU No.23 Tahun 2014 serta UU No.9 Tahun 2015. Namun pembentukan, pertumbuhan, dan pergeseran kedudukan otonomi daerah selama ini selalu dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) dan produk perundang- undangan (UU) yang mengatur tentang pemerintahan daerah (BN Marbun, 2010).
Perubahan UUD 1945 mengakibatkan perubahan politik hukum otonomi daerah yang diatur dalam Pasal 18, 18 A dan 18 B dengan empat prinsip : a. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2). b. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5). c. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat (1). d. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya (Pasal 18 B ayat (2). d. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 A ayat (2)). Prinsip-prinsip tersebut untuk saat ini dilaksanakan dengan UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 sebagai babak baru penyelenggaraan otonomi
115 daerah (Ni‘matul Huda, 2014). Namun dalam politik hukum tersebut, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat (Sri Kusriyah, 2016).
Seiring berlakunya dan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan otonomi daerah, di Kota Palopo (Luwu Raya) yang merupakan eks wilayah inti Kerajaan Luwu diperhadapkan pada berbagai tantangan permasalahan. Dari hasil penelitian, dapat diidentifikasi sejumlah masalah mendasar antara lain: (1) Yang merasa berotonomi daerah adalah kelompok minoritas yakni kalangan elit politik dan pejabat birokrat pemerintahan lokal, sedangkan kelompok mayoritas yakni warga masyarakat lokal merasa tidak berotonomi daerah, bahkan banyak dari mereka yang kurang/ tidak mengerti tentang otonomi daerah serta makna dari kemerdekaan; (2) Nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat semakin absurd aktualisasinya, bahkan banyak kalangan di tingkat lokal masih dipandang sebagai produk tradisi masa lalu dan sudah kuno atau ketinggalan zaman; (3) Rentetan konflik sosial antara sesama warga masyarakat sering terjadi sejak era tahun tujuh puluhan sampai sekarang yang dipicu oleh berbagai sebab terutama masalah perebutan lahan dan sumber daya alam, kesenjangan sosial ekonomi, masalah da konflik kesukuan; (4) Konflik politik semakin meningkat terutama sejak adanya Pemilukada langsung; (5) Konflik atau sengketa hak ulayat adat yang melibatkan kelompok masyarakat adat (didukung oleh berbagai LSM) dengan pihak investor tertentu dan pemerintah daerah semakin meningkat yang menyebabkan mereka harus menempuh jalur penyelesaian hukum hingga di Mahkamah Konstitusi (MK), seperti dalam kasus kelompok masyarakat adat Seko; (6) Nilai-nilai kearifan budaya lokal semakin banyak tercerabut, mengalami keretakan dan kehancuran akibat rentetan konflik sosial dan politik; (7) Kurangnya political will dan kemampuan SDM elit politik lokal dan birokrat untuk mengelola aset kearifan lokal dan hukum adat; (8) Pembuatan dan produk PERDA kebanyakan menyangkut kepentingan pemerintah daerah sendiri, yang sifatnya lebih banyak membebani masyarakat dengan kewajiban-kewajiban untuk memenuhi target PAD, iuran, pajak; (9) Sangat jarang ada PERDA yang berbasis hak-hak masyarakat, kearifan lokal dan hukum adat; (10) Pelibatan masyarakat dalam regressus (pembentukan hukum) baik PERDA maupun kebijakan pemerintah daerah sangat jarang; (11) Proses pembuatan PERDA dan pelaksanaannya sangat lama dan lambat jika menyangkut kepentingan dan hak-hak masyarakat, dan sebaliknya prosesnya cepat jika menyangkut kepentingan elit politik dan PAD-iuran-pajak, sehingga terkesan ada perlakuan diskriminatif dan mental perilaku statusquo (12) Antara kepentingan elit politik (legislatif dan eksekutif) di pemerintahan daerah dengan kepentingan masyarakat masih saling bertolak belakang (berkonflik dan berkesenjangan) dalam berbagai aspek termasuk dalam regressus PERDA dan kebijakan-kebijakan lainnya;
(13) Organisasi birokrasi pemerintah daerah kurang atau belum mencerminkan budaya organisasi berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan kultur hukum masyarakat lokal; (14) Semakin banyak masalah dan konflik yang timbul baik di lingkungan birokrasi pemerintahan, lembaga politik lokal, lembaga hukum maupun di lingkungan masyarakat yang kurang/ tidak mampu diatasi oleh Pemerintah Daerah dan jajaran kelembagaannya;
(15) Pemimpin atau kelembagaan adat yang ada cenderung hanya dijadikan sebagai sarana formalitas belaka, kurang/ tidak diberikan peran yang lebih luas dalam membangun pranata
116 sosial budaya, hukum, lingkungan, politik, serta pertahanan mental-moral masyarakat berbasis nilai-nilai kearifan budaya lokal dan kultur hukum adat; (16) Kedatuan Luwu beserta struktur kelembagaan dan pemerintahan adat-nya, simbol Arajang-nya, potensi sumber keilmuan dan filsafat (sureq La Galigo, Lontaraq, paseng toriolo, warisan To accae, papangaja), nilai-nilai kearifan dan kepemimpinannya, hukum adat, institusi sosial adat, para ma‘dika dan tomakaka-nya, hingga saat ini semuanya masih eksis, namun tidak dijadikan mitra oleh Pemerintah Daerah dalam membangun kemajuan daerah yang lebih berbudaya hukum; (17) Keberadaan sistem kearifan lokal dan hukum adat masih sebatas tradisi-tradisi seremonial seperti pelaksanaan tradisi Maccera tasi termasuk adanya alokasi anggaran dari pemerintah daerah namun tidak dijabarkan ke dalam sistem perencanaan tata ruang dan zonasi wilayah perairan pesisir dan laut, perlindungan hukum lingkungan hidup, sistem pemanfaatan sumber daya perikanan, pencegahan illegal fishing dan polusi- pencemaran; (18) Terdapat sejumlah kearifan lokal dan hukum adat namun nilai-nilainya tidak dijabarkan ke dalam kehidupan hukum pemerintahan dan kemasyarakatan serta otonomi daerah; (19) masalah lingkungan dan pemanfaatan ruang semakin meningkat akibat pengabaian nilai-nilai kearifan budaya lokal dan hukum adat; (20) Nilai-nilai kearifan budaya lokal dan kultur hukum adat belum dipandang sebagai icon dalam mengakselerasi pembangunan daerah yang adil dan makmur dalam segala bidang atau sektor serta perwujudan civil society, malahan sebaliknya dipandang sebagai tradisi yang menimbulkan masalah dan penghambat kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejumlah permasalahan mendasar tersebut menjadi alasan yang kuat bagi otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat dalam otonomi daerah di Kota Palopo (Luwu Raya) sebagai pewaris pusat peradaban ilmu, sejarah dan budaya serta kerajaan tertua di jazirah Pulau Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan. Dan, berdasarkan hasil penelitian (angket dan wawancara dengan berbagai pihak : Datu Luwu ke-40, kalangan elit politik lokal, kalangan birokrat lokal, kalangan akademisi lokal, kalangan elit masyarakat, kalangan aktivis LSM, serta kalangan warga masyarakat lokal dari berbagai profesi dan pekerjaan), umumnya menyatakan setuju dan mendukung realisasi otonomisasi tersebut terutama melalui institusionalisasi atau pelembagaan nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat ke dalam peraturan-peraturan daerah (PERDA), peraturan atau keputusan-keputusan kepala daerah, peraturan kepala dinas hingga peraturan desa. Dengan demikian, pada tataran ini dapat dikemukakan konsep bahwa ‖otonomi daerah dapat menjadi sarana penting dalam mengintegrasikan atau menyatukan kepentingan rakyat/masyarakat lokal dengan kepentingan pemerintah (pusat dan daerah) melalui otonomisasi sistem nilai kearifan lokal dan hukum adat.‖ (Ilyas, 2018).
Sehubungan dengan tuntutan otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat dalam otonomi daerah di Kota Palopo (Luwu Raya) tersebut, sebenarnya telah berkembang kebijakan hukum terkait perhatian dan pengakuan Negara secara de jure terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan identitas sosial budayanya yang membuka ruang bagi pengembangan kearifan lokal dan hukum adat untuk berperan lebih luas dalam optimalisasi otonomi daerah. Kebijakan hukum UUD RI 1945 hasil Amandemen II, Pasal 18 B ayat (2) mengatur bahwa ,―Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
117 perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang‖. Demikian pula Pasal 28 I ayat (3) mengatur bahwa ―Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban‖. Selain konstitusi tersebut, pengakuan terhadap eksistensi hak masyarakat hukum adat juga terdapat dalam beberapa perundang-undangan seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 6 yang mengatur bahwa: (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman; UU No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB Tentang Keanekaragaman Hayati yang memuat prinsip free and prior informed-consent;
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur prinsip desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam; UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang memberikan jaminan perlindungan hukum atas sistem kearifan lokal, bahkan Pasal 1 angka 30 UUPPLH mengatur bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari (angka 30). Masyarakat hukum adat yaitu kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum (angka 31).
Terkait dengan rumusan otonomi daerah yang mutakhir, UU 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 1 mengatur bahwa: ―Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia‖ (ayat 5). ―Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (ayat 11). Ketentuan ini menunjukkan beberapa hal yang esensial antara lain: Pertama, kesatuan masyarakat hukum (KMH) sebagai representasi utama daerah otonom; kedua, KMH mempunyai hak, wewenang dan kewajiban atas otonomi daerah; ketiga, KMH tersebut tidak lain adalah kearifan lokal dan hukum lokal (hukum adat, hukum agama, living law) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Negara kesatuan dengan sistem desantralisasi yaitu daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom (Riwu Kaho, 1990).
Berdasarkan kebijakan politik hukum tersebut maka jelaslah bahwa Negara dan Pemerintah Indonesia mengakui dan menghormati eksistensi kearifan lokal dan hukum adat di Kota Palopo (Luwu Raya) (eks Kerajaan Luwu) yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat lokal. Sebagai konsekuensi dari integrasi dengan NKRI, maka pengakuan secara de jure tersebut diharapkan dapat membuka jalan bagi otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat dalam penyelenggaraan otonomi daerah di daerah otonom
118 tersebut. Otonomisasi bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan dualisme pemerintahan yakni pemerintahan formal dan pemerintahan adat, bukan pula untuk memberi posisi lebih tinggi kepada pemerintahan adat, melainkan semata-mata diorientasikan pada optimalisasi dan efektifitas pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan semangat desentralisasi, kemerdekaan, kemandirian, demokrasi dan spirit otonomi itu sendiri. Atau seperti dikemukakan Ian Worotikan (1995) bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi daerah adalah terwujudnya otonomi daerah yang nyata dinamis dan bertanggung jawab. Otonomi mengandung satu muatan nilai pokok yaitu adanya keleluasaan untuk berprakarsa dan berkreasi. Implikasi dari adanya otonomi adalah tumbuhnya suasana kompetisi yang sehat untuk mengejar kemajuan bersama.
Kota Palopo (Luwu Raya) mempunyai potensi kekayaan nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat sebagai modalitas sosial budaya, hukum, politik, lingkungan, serta pertahanan keamanan yang sangat baik didayagunakan untuk menciptakan tatanan pemerintahan lokal yang baik (good governance and clean government) dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu, otonomisasi tersebut bersifat urgen dan strategis sebab seperti dikemukakan Pheni Chalid (2005) bahwa bagaimana pun juga, otonomi merupakan kebutuhan karena tidak mungkin seluruh persoalan yang ada di satu negara ditangani oleh pemerintah pusat. Persoalan yang timbul dari keberagaman wilayah dan sosiokultural masyarakat pun tentunya akan sangat kompleks. Dari kenyataan ini saja dapat dinilai betapa otonomi daerah dan desentralisasi sistem pemerintah perlu dilakukan agar persoalan dan aneka kompleksitas yang muncul tidak memberikan implikasi negatif terhadap integrasi. Menurut M. Makhfudz (2014) bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah daerah perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi, dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan secara adil dan selaras.
Otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat selaras dengan makna substansial otonomi yakni kemampuan manusia untuk melakukan pertimbangan secara sadar-diri, melakukan perenungan-diri dan penentuan-diri, yang mana otonomi didalamnya mencakup kemampuan untuk berunding, mempertimbangkan, memilih dan melakukan (atau) mungkin tidak melakukan tindakan yang berbeda baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan publik, dengan mencamkan kebaikan demokrasi (David Held, 2004). Demikian pula prinsip otonomi yang mengungkapkan secara esensial dua gagasan pokok, yakni gagasan bahwa rakyat seharusnya memegang peranan penentuan diri, dan gagasan bahwa pemerintahan demokratis harus menjadi pemerintahan yang terbatas, dimana kesetaraan dan ada sebuah jaminan akan terwujudnya hasil-hasil tertentu terutama penciptaan keadaan yang terbaik bagi para warga negaranya untuk mengembangkan nilai dasar mereka dan mengungkapkan sifat mereka yang beraneka ragam (David Held, 2004). Berdasarkan prinsip otonomi maka otonomisasi memerlukan suatu struktur tindakan politik bersama yang menentukan hak dan kewajiban yang perlu untuk terwujudnya keberdayaan masyarakat sebagai agen-agen yang otonom. Prinsip otonomi ini pada dasarnya berlaku dalam hukum publik demokratis yang karena itu prinsip otonomi bukan sebagai prinsip penentuan-diri yang bersifat individualistis tetapi sebaliknya sebagai prinsip struktural penentuan-diri dimana diri adalah bagian dari kolektivitas/mayoritas yang diberdayakan dan ―dipaksa― oleh peraturan-peraturan dan
119 prosedur-prosedur kehidupan demokratis (otonomi demokratis yang didalamnya hak atas otonomi berada dalam tekanan komunitas) (David Held, 2004).
Otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat berdasarkan prinsip otonomi memungkinkan tampilnya nilai-nilai Adele, Lempu‘, Tongeng (ALT) dan turunannya menjadi pemimpin terdepan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan mutisektoral, serta pelayanan publik atau kemasyarakatan. Otonomisasi tersebut juga berarti melembaganya nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat dalam peraturan daerah (PERDA) maupun peraturan-peraturan kepala daerah dan kepala dinas, terwujudnya tatanan pemerintahan lokal yang baik (local good governance) dalam kehidupan birokrasi dan kemasyarakatan, sehingga terbangun pranata sosial budaya-hukum- politik-lingkungan yang lebih baik, serta tersedianya sistem peradilan dan jalur ADR (Alternative Dispute Resolution) penyelesaian masalah dan konflik di luar jalur litigasi.
Otonomisasi juga berarti meningkatnya kegiatan-kegiatan riset (oleh perguruan tinggi, pemerintah, elemen masyarakat) dalam rangka menggali, mengembangkan, melestarikan, merevitalisasi, merestorasi serta mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat ke dalam tatanan peradaban masa kini dan masa datang, sehingga masyarakat khususnya generasi muda masa kini dan masa datang tetap dapat menerima tongkat estapet untuk melanjutkan kelestarian nilai-nilai luhurnya.
KESIMPULAN
Kota Palopo (Luwu Raya) merupakan eks otoritas pemerintahan kerajaan tertua di jazirah Pulau Sulawesi yakni Kerajaan Luwu yang memiliki sejumlah keutamaan terutama sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan, filsafat, sistem nilai kearifan dan hukum. Selain itu juga merupakan asal muasal TomanurungE, ideologi Dewata Seuwwae, Arajang, Sureq La Galigo, Lontaraq, To accae. Tiga pilar nilai luhur (adele, lempuq, tongeng) diletakkan oleh Batara Guru menjadi sejarah asal-usul dan sumber produksi-reproduk si sistem nilai kearifan lokal dan panngadereng (hukum). Otonomisasi kearifan lokal dan hukum adat berlangsung selama 12 abad (VII-XX) golden past Kerajaan Luwu, dan telah melalui dinamika ujian yang berat dalam pembuktian efektivitasnya sebagai problem solution maupun sarana social defense dari Era ManurungE (awal abad masehi) hingga Era Islamisasi (pembaharuan dan akulturasi sistem nilai kearifan budaya lokal-panngadereng dengan nilai-nilai hukum ajaran Islam dari 1603-1906). Deotonomisasi terjadi selama 44 tahun (1906-1950) masa kolonialisme (Belanda+Jepang+NICA) melalui otonomisasi politik kolonial, hegemoni kekuasaan, sistem pemerintahan sentralistis, pembentukan pemerintahan daerah otonom (Afdeling Luwu, enam onderafdeling). Kedatuan Luwu mentransformasikan status Kerajaan Luwu sebagai ‗Negara‘ menjadi ‗daerah periperi‘ dari NKRI melalui pernyataan ‗integrasi‘ pasca proklamasi kemerdekaan RI pada 17-08-1945 disusul penyerahan Pajung kepada pemerintahan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid, 1980. Selayang Pandang Uraian tentang Islam dan Kebudayaan dalam Buku Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi di Indonesia. Ujungpandang: IAIN Alauddin
120 Ahmad Ubbe.2005. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Perkembangan Hukum Adat Di Propinsi Sulawesi Selatan. Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional
Amir, Muhammad, Syahrir Kila, Rosdiana Hafid. 2012. Konflik dan Perubahan Sosial (Kajian Sejarah Perlawanan Tiga Kerajaan Terhadap Pemerintah Hindia Belanda), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar: De La Macca Andi Ima Kesuma IC. 2015. Legacy Luwu. Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi
Sulawesi Selatan.
________.2012. Etos Enterprcneur Pelaut Bugis (Mengungkap Makna Filosof Orang Bugis di Tanah Melayu). Makalah disampaikan di PPs UIN Alaudin-Mei-2013.
Andi Zainal Abidin. Sejarah Sulawesi Selatan. Cet. I; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. 1999
________.1999. Kapita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press
________.1995. Munculnya Kedatuan Luwu' (The Emergencc of the Kingdom of Luwu dalam Tudang Ade' Menelusuri Hari Jadi Luwu (Ujungpandang: Lembaga Pers, 1995)
Bambang Purwanto, 2006. Gagalnya Historiografi lndonesiasentris. Yogyakarta. Ombak.
B.N. Marbun, 2010. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita: Perkembangan Otonomi Daerah, Sejak Zaman Kolonial sampai saat ini (Ed. Revisi; Cet. II; Jakarta: Sinar Harapan, 2010)
Bulbeck, F.David., & Prasetyo, B. (1998). Survey of pre-Islamic historical site in Luwu, South Sulawesi. Walennae, 1, 29-42.
Creswell, John.W. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, Terjemahan Landung. USA: Sage Publication. 1998
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern Hingga Pemerintahan Kosmopolitan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Edward L. Palinggomang, 2006. Kerajaan Luwu dalam perspektif Sejarah Sulawesi Selatan.
Yogyakarta: Ombak
Erman Syarif, Sumarmi, Ach Fatchan, I Komang Astina. 2016. Integrasi Nilai Budaya Etnis Bugis Makassar Dalam Proses Pembelajaran Sebagai Salah Satu Strategi Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS. Vol.1 No.1 April 2016 P ISSN 2503 – 1201 & E ISSN 2503 - 5347
Fachruddin Ambo Enre. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis.
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Jurnal PINISI, Vol. 1). FPBS IKIP Ujung Pandang.
Friedericy,1933. De Standen bij de Boeginezen en Makssaren. BKI 90
Giddens, Anthony and Jonathan H.Turner (Ed), 1978. Social Theory Today. Polity Press. Yudi Santoso.(terj.) 2008. Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamid. 1993. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: PT. Gunung Agung
Ian Worotikan, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995 Idwar Anwar, 2005. Ensiklopedia Kebudayaan Luwu, Makassar: Pustaka Sawerigading
Ilyas, 2018. Hukum dan Kearifan Lokal. Cet.1. Makassar De lamacca
121 Irfan Mahmud, 2003. Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial dan Kosmologi, Makassar:
Masagena Press
Iriani. 2015. Fungsi Arajang Pada Masyarakat Luwu (The Function Of Arajang For Luwu Society).
Jurnal WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
Irwan Abbas. 2013. Pappaseng: Kearifan Lokal Manusia Bugis Yang Terlupakan. Jurnal Sosiohumaniora, Volume 15 No. 3 November 2013: 272 - 284
Iwan Sumantri (Ed). 2006. Kedatuan Luwu Edisi Kedua: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. Makassar: Jendela Dunia bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Luwu Timur dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru 1500-1900. Jakarta: Gramedia.
Kern, R.A. I La Galigo Epos; Bijdragen tot de Taal Land-en Volkenkunde, terj. La Side dan Sagimun MD, I La Galigo; Cerita Bugis Kuno (Cet. II; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993
Lahadjdji Patang, 1975. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia: Sulawesi dan Pahlawan-pahlawannya. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia (YKGMI).
M. Akil AS. Luwu Dimensi Sejarah Budaya dan Kepercayaan. Cet. I; Makassar: Pustaka Refleksi.
2008
Mashadi Said. 2007. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik. Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma, Jakarta.
________. 2002. Peran Sastra dalam Pemahaman Antar-Budaya. Jurnal Sastra & Bahasa, No. 1.
Mattulada. H.A. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar:
Hasanuddin University Press.
________.1995. LATOA, Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.
(Ujung Pandang, Hasanuddin University Press
________.1995. Mencari Hari Jadi Tanah Luwu, atau Kabupaten Luwu dalam Tudang Ade Menelusuri Hari Jadi Luwu (Ujung Pandang : Lembaga Pers, 1995)
________. Sawerigading. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990
Miles B. Nfattewa, Huberman Michael, A., 1984. Qualitative Data Analysis. Terjemahan. New Delhi: SAGE Fublication India.
M. Makhfudz, Kontroversi Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Hukum Vol. 3 No.2, Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa.
Moh. Ali Fadhilah dan Iwan Sumantri (ed), Kedatuan Luwu Perspektif Arkeologi; Sejarah dan Antropologi (Cet. I; Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin Makassar, 2000).
Moleong. Penelitian Kualitatif. Obor Indonesia, 1999.
Morris, DF Van Braam, 2007. Kerajaan Luwu: Catatan Gubernur Celebes 1888, Terjemahan HAM Mappasanda Makassar: toACCAe Publishing
________. Kerajaan Luwu. Ujung Pandang: Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradsional Sulawesi Selatan. 1992
122 Muhammad Sadli Mustafa. The Agreement Between Bone And Luwu Kingdom Inmanuscript Attoriolong Ri Luwu. Jurnal Khazanah Keagamaan Pusaka. Vol 1 No 1 (2013): Pusaka jurnal / E-ISSN: 2665-2833. P-ISSN: 2337-5957
Muhammad Yusuf. 2013. Relavansi Nilai-Nilai Budaya Bugis Dan Pemikiran Ulama Bugis: Studi atas Pemikirannya dalam Tafsir Berbahasa Bugis Karya MUI Sulsel. Jurnal el Harakah Vol.15 No.2 Tahun 2013
________. 2010. Metodologi Tafsir al Quran Berbahasa Bugis: Analisis Tafesere Akorang Mabbasa Ogi Karya MUI Sulsel. Sosio Ligia; Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial. Volume 9, Edisi Khusus: 457- 460.
Mukhlis PaEni (ed.). (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta:
Rajawali Press
Munir Salim. Adat Sebagai Budaya Kearifan Lokal Untuk Memperkuat Eksistensi Adat Ke Depan.
Jurnal Al-Daulah. Vol. 5 / No. 2 / Desember 2016
Narwoko, J. Dwi Bagong Suyanto. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nazaruddin Sadda. Menelusuri Jejak Sejarah Masuknya Islam Di Kerajaan Luwu. Cet. 1;
Kabupaten Gowa: Yayasan La Galigo Multi Media. 2010.
Ni‘matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Radja Grafindo, Jakarta Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, bekerjasama dengan Forum Jakarta–Paris
EFEO.
________. 1996. The Bugis. Oxford: Balckwell Publishers
Pheni Chalid, 2005.Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik (Jakarta: Kemitraan, 2005)
Rahman Rahim. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Rismawidiawati.2016. Bertahannya Bangsawan Luwu (Suatu Analisa Budaya Politik Orang Bugis.
Jurnal Patanjala Vol. 8 No. 3 September 2016: 413 - 428
Rosmawati. 2017. The Manifestation Of Malay And Local Cultural Acculturation At The Beginning Of Islamization At Luwu, Case Study At Lokko‘e Tomb Complex, Palopo. Asian Journal of Social Sciences & Humanities. Vol. 6(2) May 2017. ISSN: 2186-8492, ISSN:
2186-8484 Print www.ajssh.leena-luna.co.jp. Leena and Luna International, Chikusei, Japan. Copyright © 2017
Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Sarita Pawiloy. 2002. Sejarah Luwu, Ringkasan Sejarah Luwu; Bumi Sawerigading Wanua Mappatuo. Makassar: CV. Talaga Zamzam.
Sri Kusriyah. 2016. Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dalam Perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 1 Januari - April 2016
Taufik Abdullah. Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara; Sebuah Persfektif Perbandingan, Dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989
Taufik Rahzen, 2007. Luwu, 1905. Jurnal Republik, Selasa, 20 November 2007
123 Zainal Said. 2011. Aksiologi Budaya Bugis Makassar Terhadap Produk Peraturan Daerah (Perda) Di Sulawesi Selatan (Studi Politik Hukum). Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1 Januari 2011: 56-72.