• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Usman,Rachmadi.2019.Hukum Pencatatan Sipil.Jakarta : Sinar Grafika.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 Usman,Rachmadi.2019.Hukum Pencatatan Sipil.Jakarta : Sinar Grafika."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Praktik Perkawinan di bawah umur bukan merupakan hal asing lagi. Pada dasarnya kasus permohonan dispensasi dengan alasan hamil diluar perkawinan akan dikabulkan hakim demi melindungi hak anak yang dikandung. Namun hal ini dinilai tidak cukup kuat apabila alasan dikabulkannya dispensasi untuk melindungi hak anak yang dikandung. Hal ini dapat dinilai tidak cukup kuat untuk menjadi alasan dikabulkannya dispensasi kawin ini. Dispensasi kawin yang dikabulkan berdampak pada banyak aspek. Misalnya dikarenakan anak tersebut dibawah umur maka psikologis anak pastinya belum matang pula, selain itu anak di bawah umur belum memiliki kematangan pula dalam aspek ekonomi. Hal ini berdampak pada sulitnya mencukupi kebutuhan hidup dalam kehidupan berumah tangga nantinya. Tak hanya itu tidak matangnya psikologis anak yang akan melangsungkan perkawinan juga berdampak pada pola asuh yang akan diberikan kepada calon anaknya. Sehingga hal ini menjadikan banyaknya dampak negatif yang terjadi apabila dispensasi kawin dikabulkan. Dalam kasus permohonan dispensasi kawin yang mana melibatkan unsur “kehamilan” dinilai cukup efektif untuk meyakinkan hakim dalam proses pengabulan dispensasi kawin. Hakim menganggap bahwa hak anak yang dikandung adalah prioritas utama yang harus dilindungi dan mengesampingkan dampak yang akan terjadi apabila dispensasi kawin dikabulkan. Padahal hukum Indonesia telah memberikan kepastian hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peraturan mengenai status Anak Ibu yang dimuat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kemudian diubah menjadi Undang Undang No 24 Tahun 20131 yang kemudian akan disebut UU Administrasi Kependudukan. Pencatatan kelahiran adalah cara untuk mengamankan hak anak agar anak dapat mengetahui orang tuanya (khususnya jika lahir diluar perkawinan) sehingga mereka mendapat akses pada sarana dan prasarana dalam perlindungan negara. Akta tersebut dapat digunakan sebagai pencatatan kelahiran sehingga hak anak tetap mendapat perlindungan. Regulasi diatas membuktikan bahwa sudah adanya wadah perlindungan hukum bagi anak anak yang lahir diluar perkawinan.

1 Usman,Rachmadi.2019.Hukum Pencatatan Sipil.Jakarta : Sinar Grafika.

(2)

2

Dispensasi kawin merupakan pemberian ijin perkawinan anak yang belum memenuhi usia kawin ( sering disebut dengan usia dibawah umur). Pemerintah telah menyusun persyaratan permohonan dipensasi kawin secara ketat sebagai upaya pencegahan perkawinan dibawah umur.

Ada ambiguitas yang berkepanjangan antara sebab dan akibat perkawinan anak.

Sebagai misal, kurangnya pendidikan yang sering kali ditampilkan sebagai penyebab perkawinan anak, bisa jadi juga merupakan akibatnya. Anak-anak perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka karena kurangnya akses, atau beban orang tua mereka untuk membiayai pendidikan semua anak mereka, atau karena norma menyangkut pendidikan yang layak untuk anak perempuan, sehingga mereka sering kali terpuruk ke dalam perkawinan dibawah umur.

Selain itu lingkungan pergaulan yang buruk menjadikan anak terjun dalam pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan sebelum perkawinan. Tidak tersampaikannya pendidikan mengenai resiko pergaulan bebas di sekolah maupun di lingkungan mengakibatkan pemahaman anak akan hal tersebut sangat rendah. Sehingga anak dapat melakukan hal-hal yang dapat melanggar norma kesusilaan sehingga mengakibatkan hamil diluar perkawinan. Kehamilan diusia remaja tanpa ikatan perkawinan yang sah akan membawa aib bagi orang tua .

Munculnya kehamilan seperti ini memaksa orang tua merestui anakya melakukan perkawinan dibawah umur. Apabila hal ini terjadi maka akan menyebabkan tingginya permohonan perkawinan di bawah umur. Dalam keadaan memaksa seseorang dapat melaksanakan perkawinan dibawah umur, perkawinan tersebut dapat dilakukan apabila mengajukan dispensasi perkawinan ke pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diperbarui dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan. Penyimpangan ketentuan batas umur dalam undang undang tersebut dimaksudkan karena adanya alasan yang memaksa untuk melakukan perkawinan sehingga salah satu orang tua calon mempelai akan mengajukan permohonan untuk meminta dispensasi kepada Pengadilan.

Pada dasarnya kasus permohonan dispensasi dengan alasan hamil diluar perkawinan akan dikabulkan hakim demi melindungi hak anak yang dikandung. Namun hal ini dinilai tidak cukup kuat apabila alasan dikabulkannya dispensasi untuk melindungi hak anak yang dikandung. Hal ini di buktikan dengan adanya peraturan mengenai status Anak Ibu yang dimuat dalam UU Administrasi Kependudukan.

(3)

3

Pencatatan kelahiran adalah cara untuk mengamankan hak anak agar anak dapat mengetahui orang tuanya (khususnya jika lahir diluar perkawinan) sehingga mereka mendapat akses pada sarana dan prasarana dalam perlindungan negara. 2Dalam Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, untuk memuat akta kelahiran anak yang lahir di luar perkawinan tidak tercatat dan pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang tuanya maka dapat membuat permohonan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak Kebenaran Data Kelahiran dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak Kebenaran Pasangan Suami Isteri. Surat tersebut dapat digunakan sebagai pencatatan kelahiran sehingga hak anak tetap mendapat perlindungan. Regulasi diatas membuktikan bahwa sudah adanya wadah perlindungan hukum bagi anak anak yang lahir diluar perkawinan.

Belum cukupnya umur membuat kematangan berfikir pemohon di ragukan.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah, dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu kesiapan dari calon pengantin. Rendahnya usia kawin lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang. Tujuan ini tentunya akan lebih sulit terwujudnya, apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi lika-liku dan badai rumah tangga. Hal ini memicu perceraian di usia dini pula. Bilamana diizinkan melangsungkan perkawinan dikhawatirkan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami maupun seorang istri dan akan menimbulkan banyak mafsadat. Padahal menolak mafsadat itu lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.

Dalam dalam Penetapan Nomor 67/Pdt.P/2020/PA.Amb Majelis Hakim di Pengadilan Agama Ambarawa menolak permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan orang tua terhadap anak perempuannya yang masih berusia 16 tahun dengan kekasihnya yang telah berumur 24 tahun. Selama berhubungan telah melakukan hubungan layaknya suami istri, sehingga pemohon dan orang tua calon suami anak pemohon ingin segera mengawinkan keduanya untuk menjaga nasab anak yang dikandung oleh calon istri (anak pemohon). Akan tetapi, harapan pemohon tidak berbanding lurus dengan penetapan

2 Usman,Rachmadi.2019.Hukum Pencatatan Sipil.Jakarta : Sinar Grafika.

(4)

4

yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim. Dalam penetapan Majelis Hakim menolak untuk memberikan dispensasi kawin kepada mereka. Dalam pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim adalah bahwa dalam Pasal 1 UU Perkawinan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut KHI menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah, dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu kesiapan dari calon pengantin. Pemohon belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, menurut penilaian Majelis Hakim, Majelis tidak melihat ada upaya-upaya dari pemohon untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sebagaimana Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Apabila dikabulkan dikhawatirkan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dan akan menimbulkan banyak mafsadat. Padahal menolak mafsadah itu lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.

Dalam Penetapan Nomor 0168/Pdt.P.2018/PA.TA Majelis Hakim menolak dispensasi kawin dengan pertimbangan secara yuridis pihak laki-laki dan perempuan masih jauh dari usia kawin yang ditetapkan Undang-Undang. Pemohon hendak mengawinkan anak kandungnya yang berumur 13 tahun dengan seorang perempuan berusia 16 tahun. Dalam kasus ini belum memiliki kematangan berfikir dalam usia tersebut. Dari hubungan itu calon pengantin perempuan telah hamil usia kurang lebih 26 minggu. Walaupun calon mempelai laki-laki masih kelas 5 SD, walaupun telah akil baliq namun belum bekerja dan belum mempunyai penghasilan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan dari segi maslahah dengan melihat beban tanggung jawab rumah tangga yang harus dipikul seorang suami tidaklah ringan. Maka seorang laki-laki untuk melangsungkan perkawinan harus telah siap lahir batin sehingga diperlukan kematangan usia dan kemampuan lahir batin. Oleh karena itu membebani anak yang sesungguhnya belum siap untuk menerima beban yang mestinya akan menjadi tanggung jawabnya itu maka harus dicegah karena pasti akan mendatangkan madharat bagi anak tersebut.

Dalam Penetapan Nomor 0229/Pdt.P/2018/PA.Kab.Kdr Majelis Hakim menolak permohonan dispensasi tersebut dengan pertimbangan permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh para pemohon tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan, oleh sebab itu, permohonan dispensasi para pemohon tersebut harus ditolak dan menilai keadaan anak

(5)

5

pemohon yang saat ini hamil 6 bulan bukanlah sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan karena bukan sebagai syarat suatu perkawinan.

Status hukum anak dari perkawinan tidak tercatat atau tidak dicatatkan secara sah menurut hukum perkawinan nasional memberiakibat hukum lain bagi si anak. Hal ini berdampak pada identitas calon anak yang akan dilahirkan. Kelahiran anak harus dicatatkan untuk memberikan kepastian hukum terkait dengan nama, asal usul, kewarganegaraan dan umur yang dicatat dalam suatu register pencatatan kelahiran dalam bentuk akte kelahiran. Akte kelahiran ini menjadi dasar bagi dokumen kependudukan lainnya. Anak sulit memperoleh haknya atas ayahnya dan nasab nya yang hanya megikuti nasab ibunya karena tidak terjadinya perkawinan.

Namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa apabila anak tersebut dapat membuktikan hubungan biologis dengan ayahnya maka anak tersebut dapat memperoleh haknya atas ayahnya. Kelahiran anak ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab, tetapi sebagai hasil hubungan kasih sayang antara kedua orang tuanya, namun akibat dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal- usulnya. Juga menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia3.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.

Menurut Pasal 7 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun.

Perubahan tersebut menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan. Perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita.

Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas

3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,Hlm. 9.

(6)

6

minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Perubahan usia calon mempelai wanita tersebut yaitu menjadi dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Dispensasi kawin menurut beberapa pendapat yang berkembang sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan terkesan “menggampangkan” proses perkawinan tanpa mempertimbangkan keharmonisan hidup keluarga kelak di masa-masa yang akan datang 4. Jika orientasinya hanya dalam konteks pemenuhan nafkah batin, di antaranya hubungan seks, maka makna perkawinan menjadi hilang dan tidak sejalan dengan indikasi Hukum Perkawinan Islam. Penolakan permohonan sangat dimungkinkan dengan melihat kekuatan alasan dari pemohon.

Selain dari kesan “menggampangkan” proses perkawinan, dikabulkannya dispensasi kawin membawa kemudharatan bagi anak yang dimohonkan. Didalamnya terdapat ambiguitas yang muncul mengenai dampak dan bagaimana segi hukum dalam perlindungan baik untuk anak yang dimohonkan maupun untuk anak yang dikandung. Hal inilah yang mendasari penulis tertarik menulis mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibalik Penolakan Permohonan Dispensasi Kawin Karena Hamil Diluar Perkawinan (Studi Penetapan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor 67/Pdt.P/2020/Pa.Amb, Penetapan Pengadilan Agama Rantau Nomor 38/Pdt.P/2015/Pa.Rtu Dan Penetapan Pengadilan Agama Tulungagung Nomor 0168/Pdt.P.2018/Pa.Ta)”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian itu adalah sebagai berikut :

1. Apakah tepat pertimbangan hukum hakim dilihat dari perlindungan hukum terhadap anak yang dikawinkan ?

2. Apakah tepat pertimbangan hukum hakim dilihat dari perlindungan hukum terhadap anak yang akan dilahirkan

4 Mardi, Candra.2018.Aspek Perlindungan Anak Indonesia: Analisis tentang perkawinan di bawah umur, Jakarta : Kencana.

(7)

7 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah 1. Untuk menjelaskan bahwa pertimbangan hukum hakim adalah tepat, karena hukum

telah memberikan perlindungan terhadap anak yang akan dikawinkan.

2. Untuk menjelaskan bahwa pertimbangan hukum hakim adalah tepat, karena hukum telah memberikan perlindungan terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan.

Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran hukum bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata dan yang terkait dengan dispensasi perkawinan.

b. Manfaat Praktis

Dalam penelitian ini diharapakan akan berguna untuk memberikan ilmu, pengetahuan, dan wawasan kepada masyarakat maupun pihak pihak lain mengenai dispensasi kawin.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dalam penelitian ini penulis akan membandingkan dengan skripsi yang sudah pernah ditulis.

Tabel 1

Perbandingan Dengan Penelitian Terdahulu No Item Ary Ardila (2012) Umy Nurul Lailatul

(2019)

Angela Ajeng Pangesti (2021)

Judul Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Dispensasi Nikah Bagi Pasangan Nikah Sirri Dibawah Umur Dalam Penetapan Pengadilan Agama Kraksaan Nomor:

032/Pdt.P/2011/PA.Krs

Pandangan Hakim tentang Penolakan Dispensasi Nikah Nomor

0168/Pdt.P/2018/PA.T A Akibat Hamil Pranikah Prespektif Maslahah Mursalah

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibalik Penolakan Permohonan Despensasi Kawin Karena Hamil Diluar Perkawinan (Studi Penetapan Pengadilan Agama

Ambarawa Nomor

67/Pdt.P/2020/Pa.Amb, Penetapan Pengadilan

(8)

8

Agama Rantau Nomor 38/Pdt.P/2015/Pa.Rtu Dan Penetapan Pengadilan Agama Tulungagung Nomor

0168/Pdt.P.2018/Pa.Ta.) Rumusan

Masalah

1. Bagaimana

pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Rantau Nomor 38/Pdt.P/2015/PA. Rtu?

2. Bagaimana dasar hukum hakim Pengadilan Agama Rantau dalam Putusan Nomor

38/Pdt.P/2015/PA. Rtu?

Bagaimana

pertimbangan Hakim dalam menganalisis penolakan penetapan dispensasi nikah prespektif Maslahah Mursalah?

1. Apakah tepat pertimbangan hukum hakim dilihat dari perlindungan hukum terhadap anak yang dikawinkan ?

2. Apakah tepat pertimbangan hukum hakim dilihat dari perlindungan hukum terhadap anak yang akan dilahirkan

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam menolak perkara Nomor 38/Pdt.P/2015/PA.

Rtu.

2. Untuk

mengetahui apa yang menjadi dasar hukum hakim Pengadilan Agama Rantau Putusan Nomor 38/Pdt P/2015/PA. Rtu

Mengetahui

pertimbangan Hakim serta menganalisis penolakan penetapan dispensasi nikah prespektif Maslahah Mursalah

1. Untuk menjelaskan bahwa pertimbangan hukum hakim adalah tepat, karena hukum telah memberikan perlindungan terhadap anak yang akan dikawinkan.

2. Untuk menjelaskan bahwa pertimbangan hukum hakim adalah tepat, karena hukum telah memberikan perlindungan terhadap

(9)

9

anak yang dilahirkan diluar perkawinan.

Jenis Penelitian

Normatif Empiris Normatif

Pendekatan Pendekatan analitis (analyitical approach)

Pendekatan Kasus. 1. Pendekatan undang- undang (statute approach),

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) 3. Pendekatan kasus.

1.5 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diteliti oleh penulis menggunakan penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna untuk menjawab isu hukum yang sedang dihadapi.5 Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan perkawinan, dispensasi perkawinan dan hukum perlindungan anak.

2. Pendekatan

Dalam penelitian hukum ini terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus.

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan cara menelaah undang-undang dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perlindungan anak terhadap penolakan dispensasi kawin akibat hamil diluar perkawinan.

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hal., 35.

(10)

10

Pendekatan konseptual (conceptual approach), penulis akan menemukan ide-ide, pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan perkawinan,dispensasi perkawinan dan hukum perlindungan anak.

Pendekatan kasus, dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan penolakan dispensasi kawin yang telah menjadi putusan pengadilan dan telah mempunyai kekuatan yang tetap.

3. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang berkaitan dengan objek penelitian, dimana bahan hukum primer ini adalah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

− Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

− Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

− Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974.

− Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

− Insruksi Presiden Nomor1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

− Kompilasi Hukum Islam

− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

− Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

− Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran.

− Penetapan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor 67/Pdt.P/2020/PA.Amb.

− Penetapan Pengadilan Agama Tulungagung Nomor 0168/Pdt.P.2018/PA.TA

− Penetapan Pengadilan Agama Kediri Nomor 0229/Pdt.P/2018/PA.Kab.Kdr b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku ataupun jurnal-jurnal yang berisi gambaran hasil penelitian oleh para ahli hukum, professor yang termuka dalam suatu sistem hukum.

(11)

11 c. Bahan Hukum Tersier

Bahan tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti surat kabar, internet, Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Referensi

Dokumen terkait

7) Memiliki keterkaitan antar kompetensi pengetahuan dengan kompetensi keterampilan yang dipadukan dengan kompetensi sikap dalam setiap kegiatan pembelajaran. 8) Memberikan

Untuk itu peneliti menetapkan judul dari penelitian ini adalah: “Analisis Pengaruh Kualitas Akrual (Accruals Quality) terhadap Sinkronitas Harga Saham (Stock Price

Academic Engagement (Keterlibatan akademik) ialah kesungguhan seorang peserta didik dalam memberi perhatian selama proses pembelajaran sehingga ia merasa terdorong untuk

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Masehi bertepatan dengan tanggal 28 Muharram 1434 Hijriyah tidak dapat dipertahankan sepenuhnya dan karenanya harus diperbaiki amar putusan dalam rekonpensi angka

Juli 2015 86 Di samping data dari Laporan Keuangan Badan Wakaf Indonesia di atas, potensi dana wakaf uang juga dapat dilihat dari Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet

Karena sebagaimana yang di ketahui bahwa selama kepala desa Baraya menjabat sebagai Kepala Desa Baraya, kesehatan yang dialaminya selalu menurun. Bahkan tidak

Media pembelajaran interaktif sholat fardhu lima waktu. Membuat media pembelajaran interaktif sholat fardhu lima waktu yang baik dan mudah dimengerti. Mempermudah guru/pengajar