• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Analisis Efektivitas Biaya Terapi Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Tahun 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Analisis Efektivitas Biaya Terapi Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Tahun 2014."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung seperti infark miokard, stroke, gagal jantung dan kematian. Menurut JNC-VII, hampir satu milyar orang menderita hipertensi di dunia. Tiga juta orang meninggal tiap tahun karena hipertensi (Chobanian et al., 2003). Hipertensi menyumbang 4,4% beban penyakit secara global dan prevalensinya sama antar negara maju dan negara berkembang (Wisløff et al., 2012). Angka kejadian hipertensi di Indonesia cenderung meningkat. Tahun 2001 8,3% penduduk menderita hipertensi kemudian pada tahun 2004 27,5% penduduk Indonesia menderita hipertensi (Rahajeng & Tuminah, 2009).

Prevalensi hipertensi bervariasi menurut umur, ras, pendidikan, dan banyak variabel lain. Hipertensi arteri yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh darah di dalam ginjal, jantung, dan otak, serta dapat mengakibatkan peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung dan stroke (Katzung, 2001). Seseorang dikatakan hipertensi ditandai dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg. Pengobatan hipertensi bertujuan mendapatkan target tekanan darah dalam rentang yang normal, yaitu ≤140/90 mmHg pada berbagai kondisi pasien. Khusus pasien hipertensi dengan diabetes mellitus dan penyakit ginjal, tekanan yang dicapai adalah≤130/80 mmHg (Chobanianet al., 2003).

Pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin meningkat, hal ini terjadi akibat penerapan teknologi, banyaknya pasien yang tidak diimbangi jumlah tenaga kesehatan, pembayaran tunai langsung pada tenaga kesehatan, semakin banyaknya penyakit kronik dan degeneratif serta adanya inflasi. Peningkatan biaya tersebut dapat mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan oleh karena itu perlu dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan (Andayani, 2013). Harga dari obat antihipertensi sangat bervariasi, sehingga harga obat menjadi salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan untuk mempertimbangkan penggunaan obat bagi pasien. Analisis efektivitas biaya perlu

(2)

dilakukan agar dapat membantu dalam pengambilan keputusan pemilihan obat yang efektif secara manfaat dan biaya (Wisløffet al.,2012)

Penelitian mengenai efektivitas biaya terapi antihipertensi baik tunggal maupun kombinasi terdapat beberapa contoh, namun penelitian tersebut merupakan analisis efektivitas biaya pada pasien rawat jalan. Sebagai gambaran untuk pasien rawat jalan di karesidenan Surakarta dan sekitarnya, pada tahun 2009-2010 untuk terapi antihipertensi kombinasi, kombinasi Tenace® - Concor® (Enalapril - Bisoprolol) berbiaya tertinggi dengan total biaya Rp.294.500,00 sedangkan captopril+hidroklorotiazid merupakan kombinasi dengan biaya terendah dengan total biaya Rp.81.433,00 (Nintyasari, 2011). Gambaran analisis efektivitas biaya tersebut dilakukan pada pasien rawat jalan, maka perlu pula untuk dilakukan penelitian mengenai analisis efektivitas biaya terapi pada pasien rawat inap. Pasien hipertensi rawat inap merupakan pasien hipertensi yang telah mengalami komplikasi. Komplikasi adalah penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan akibat hipertensi. Salah satu penyakit komplikasi yang terjadi pada pasien hipertensi rawat inap adalah penyakit jantung dan kardiovaskuler (Almatsier, 2004), sehingga pasien hipertensi memerlukan pengobatan yang efektif, baik hasil pengobatan (penurunan tekanan darah) maupun efektif dalam hal biaya.

Obat yang akan dianalisis pada penelitian ini merupakan terapi antihipertensi dengan kombinasi. Pasien hipertensi yang dirawat inap biasanya mempunyai penyakit penyerta sehingga membutuhkan terapi antihipertensi dengan kombinasi. Kombinasi obat yang digunakan merupakan golongan obat berbeda yang dimulai dengan dosis rendah untuk meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (Gilmanet al., 2008).

(3)

bagaimana mendapatkan terapi yang efektif, bagaimana dapat menghemat pembiayaan, dan bagaimana dapat meningkatkan kualitas hidup.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :

1. Berapa besar rata-rata biaya medik langsung (direct medical cost) pasien hipertensi rawat inap dengan antihipertensi selama masa perawatan?

2. Berapakah nilai cost effective dari penggunaan antihipertensi pada pasien hipertensi rawat inap di RSUD Dr. Moewardi berdasarkan Average Cost Effectiveness Ratio(ACER) danIncremental Cost Effectiveness Ratio(ICER)?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengukur besar biaya medik langsung pada terapi antihipertensi pasien hipertensi rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014.

2. Untuk menetapkan antihipertensi yang cost effective menggunakan metode ACER dan ICER pada pasien hipertensi rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014.

D. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi

(4)

a. Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tekanan darahnya >140/90 mmHg. Pembagian yang lebih rinci, JNC 7 membuat klasifikasi sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7 (Chobanianet al., 2003) Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

Normal < 120 mmHg < 80 mmHg

Prehipertensi 120 -139 mmHg 80–89 mmHg

Hipertensi tipe 1 140–159 mmHg 90–99 mmHg

Hipertensi tipe 2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg

Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibedakan menjadi dua macam. Yaitu : 1) Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer

Yaitu hipertensi dengan kelainan patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial seperti gen dan lingkungan. Faktor genetik dapat mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh terhadap vasokonstriktor, rentensi insulin dan lain-lain. Faktor lingkungan yang berpengaruh seperti diet, kebiasaan merokok, stres emosi dan lain-lain (Nafrialdi, 2007)

2) Hipertensi Sekunder

Prevalensi hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, hipertensi akibat obat-obatan dan lain-lain (Viera & Neutze, 2010).

b. Gejala Hipertensi

(5)

c. Tujuan Terapi Hipertensi

Tujuan dari pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Penurunan tekanan sistolik harus menjadi perhatian utama, karena pada umumnya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya tekanan darah sistolik. Target tekanan darah bila tanpa kelainan penyerta adalah <140/90 mmHg, sedangkan pada pasien dengan kelainan diabetes mellitus atau kelainan ginjal, tekanan darah harus diturunkan dibawah 130/80 mmHg (Nafrialdi, 2007).

d. Tatalaksana Terapi Hipertensi 1) Terapi Non-farmakologi

Pasien hipertensi maupun prehipertensi disarankan untuk memperbaiki gaya hidup. Seperti penurunan berat badan, membatasi asupan garam, memperbanyak aktivitas fisik, melakukan diet rendah kolesterol tinggi serat dan mengurangi asupan alkohol (Dipiroet al., 2008).

Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup Pada pasien Hipertensi

Modifikasi Rekomendasi Rata-rata penurunan tekanan darah Penurunan berat badan Menjaga berat badan normal

(indeks massa tubuh 18,5-24,9 kg / m2)

5-20 mmHg

Dietary Sodium Reduction Mengkonsumsi diet kaya buah-buahan, sayuran, susu rendah lemak dan makanan dengan kandungan minyak jenuh rendah.

8-14 mmHg

Diet rendah garam Mengurangi asupan garam. Konsumsi tidak lebih dari 100 mmol per hari (2,4 g natrium atau 6 gram natrium klorida)

2-8 mmHg

Aktivitas fisik rutin melakukan aktivitas fisik seperti jalan cepat (Setidaknya 30 menit per hari).

4-9 mmHg

Membatasi konsumsi alkohol

Batasi konsumsi tidak lebih dari 2 minuman Pada pria, dan tidak ada lebih dari 1 gelas per hari pada wanita dan orang-orang dengan berat badan normal.

2-4 mmHg

(Chobanianet al.,2003) 2) Terapi Farmakologi

(6)

menghindarkan pasien hi (Tjay & Rahardja, 2002)

Gambar 1. Al Pengobatan hiper modifikasi gaya hidup, membatasi asupan garam target tekanan darah antihipertensi. Pengobata TDS 140-159 atau TD golongan tiazid dan dap BB, CCB atau kombina Hipertensi Tip (TDS 140-159 a TDD 90-99 mm Hipertensi Tipe (TDS >140 atau > 100 mmHg Diu

Thiazid. ACE-Inhibitor, AR

CCB atau kombin

n hipertensi dari komplikasi dan memperbaiki kual 2002).

Algoritma Terapi Hipertensi (Chobanianet al., 2003) pertensi dimulai dari terapi non farmakologi yai dup, dengan melakukan olah raga, penurunan be ram, tidak merokok,dan tidak mengkonsumsi alko h belum tercapai, maka dimulai terapi fa obatan hipertensi tanpa penyakit penyulit untuk tipe

TDD 90-99 mmHg lini pertama yaitu dengan dapat dipertimbangkan dengan menggunakan ACE binasi. Sedangkan untuk tipe 2 dengan TDS ≥160

Modifikasi Gaya Hidup

Tidak mencapai target tekanan darah (<140/90 mmHg atau <130/90 mmHg bagi penderita diabetes melitus atau penyakit ginjal kronis )

Pilihan obat pada awal terapi Tanpa Penyakit Penyerta Tipe 9 atau mHg ipe 2 tau TDD Diuretik . r, ARB, binasi

TDS > 160 atau TDD > 100mmHg

Dua kombinasi obat atau lebih. Biasanya Diuretik Thiazid dengan ACE-Inhibitor, ARB

atau CCB

Dengan Penyakit Peny ( lihat tabel 3 )

kualitas hidup

yaitu dengan berat badan, alkohol. Jika farmakologi ipe 1 dengan ngan diuretik ACE-I, ARB, 160 atau TDD Tidak mencapai target tekanan darah (<140/90

mmHg atau <130/90 mmHg bagi penderita diabetes melitus atau penyakit ginjal kronis )

(7)

≥100 mmHg menggunakan antihipertensi kombinasi dua obat, biasanya diuretik golongan tiazid dan ACE-I atau ARB atau BB, CCB. Pengobatan hipertensi dengan penyakit penyerta dapat menggunakan antihipertensi seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pengobatan Hipertensi Dengan Penyakit Penyerta

Penyakit Penyerta Standar farmakoterapi Terapi Tambahan

Gagal Ginjal Kronis ACE-I Atau ARB

-Diabetes Mellitus ACEI atau ARB Diuretik Atau BB

Serangan Penyakit Jantung BB + ACEI atau ARB CCB Atau Diuretik

Pencegahan Serangan Stroke Diuretik +ACEI atau ARB

-Infark Miokard BB+ACEI atau ARB Aldosteron Antagonis Left Ventricular

Function

ARB atau Aldosteron Antagonis

-(Dipiroet al.,2008)

e. Pemilihan Obat Antihipertensi

Terdapat 5 golongan obat yang bekerja sebagai obat penurun tekanan darah, yaitu Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blocker (CCB), dan diuretik tipe tiazid (Chobanianet al., 2003).

1) Diuretika

Diuretika bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Beberapa diuretika dapat menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek hipotensi diduga akibat penurunan natrium di ruang intertisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah (Nafrialdi, 2007).

Diuretik tiazid menjadi pilihan utama dalam penanganan hipertensi, karena perannya dalam menurunkan tekanan darah dan menurunkan kejadian penyakit kardiovaskular (Darnindro & Muthalib, 2008).

2) β-Blocker(BB)

(8)

tidak berbeda satu dengan yang lain bila diberikan dengan dosis yang ekuipoten (Nafrialdi, 2007).

Atenolol merupakanβ-Blockeryang paling sering digunakan, selain itu ada metoprolol, Labetolol dan karvedilol. Efek samping dari β-Blocker menyebabkan bradikardi, blokade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu, obat ini dikontraindikasikan pada keadaan bradikardi, blokade AV derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome dan gagal jantung yang belum stabil (Nafrialdi, 2007).

3) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor(ACEI)

Obat-obat golongan ini mengurangi tekanan darah dengan cara menurunkan tahanan pembuluh darah tepi. Secara umum ACEI dibedakan atas dua kelompok,yaitu:

a) Bekerja langsung mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, contohnya Captopril dan Lisinopril.

b) Prodrug contohnya Enalapril, Kuinapril, Perindopril, Ramipril, Silazapril, Benazepril, dan Fosinopril. Obat tersebut dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu berturut-turut Enalaprilat, Kuinaprilat, Perindoprilat, Ramiprilat, Silazaprilat, Benazeprilat, dan Fosinoprilat (Nafrialdi, 2007).

ACEI biasanya dapat menyebabkan batuk kering iritatif (Grayet al.,2006). Hal ini disebabkan karena selain mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, ACEI juga menghambat katabolisme kinin menjadi bradikinin. Sehingga dengan adanya ACEI, konsentrasi bradikinin meningkat dan menyebabkan efek batuk kering (Kabo, 2011).

4) Angiotensin Receptor Blocker(ARB)

(9)

5) Calcium Channel Blocker(CCB)

Obat-obat yang termasuk dalam golongan CCB memiliki mekanisme kerja memblokade kanal kalsium pada membran sehingga menghambat kalsium untuk masuk ke dalam (Kabo, 2011). Dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot polos pembuluh, maka berefek pada vasodilatasi (Rahardja & Tjay, 2002). Contoh dari obat-obatan CCB yaitu; Nifedipin, Verapamil, Diltiazem, Amlodipin, Nikardipin, dan lain-lain (Nafrialdi, 2007)

2. Evaluasi Farmakoekonomi

Evaluasi Farmakoekonomi merupakan cara untuk menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan lain. Pada intervensi farmasi, Farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah tambahan keuntungan dari suatu intervensi sepadan dengan biaya tambahan dari intervensi tersebut. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi obat pada sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya dengan konsekuensi (Klinik, ekonomi, dan Humanistik) dari produk pelayanan farmasi (Andayani, 2013).

Studi Farmakoekonomi memiliki empat tipe dasar yaitu, meliputi cost-minimization analysis, cost-effectiveness analysis, cost-benefit analysis dan cost-utility analysis.

Tabel 4. Empat tipe dasar analisis Farmakoekonomi

Metode Unit Biaya Unit Outcome

cost-minimization analysis (CMA) Rupiah atau unit moneter Kelompok yang dibandingkan diasumsikan ekuivalen cost-effectiveness analysis(CEA) Rupiah atau unit moneter Unit natural (Tekanan darah,

Kadar glukosa, kepadatan tulang)

cost-benefit analysis(CBA) Rupiah atau unit moneter Rupiah atau unit moneter cost-utility analysis(CUA) Rupiah atau unit moneter Quality-adjusted life year

(10)

a. Cost-minimization analysis (CMA)

Cost-minimization analysis (CMA) merupakan analisis yang sederhana, karenaoutcomediasumsikan ekuivalen, sehingga hanya biaya dari intervensi yang dibandingkan. Kelebihan dari metode CMA juga merupakan kekurangan dari CMA yaitu, CMA tidak bisa digunkan jika outcome dari intervensi tidak sama. Contoh CMA yang sering digunkan adalah membandingkan dua obat generik yang ekuivalen. CMA tidak bisa digunakan untuk membandingkan obat yang berbeda kelas terapi dengan outcome yang berbeda. Beberapa pendapat menyatakan jika outcome tidak diukur tetapi hanya diasumsikan sama, maka metode yang digunakan adalah cost analysis bukan analisis Farmakoekonomi yang penuh.

b. Cost-effectiveness analysis(CEA)

Cost-effectiveness analysis (CEA) merupakan bentuk analisis ekonomi yang dilakukan dengan mendefinisikan, menilai dan membandingkan sumber daya yang digunakan (Input) dengan konsekuensi dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. Input dalam CEA diukur dalam unit fisik dan dinilai dalam unit moneter, biaya ditetapkan berdasar prespektif penelitian (misal, pemerintah, pasien, pihak ketiga atau masyarakat). Perbedaan CEA dengan analisisi Farmakoekonomi yang lain adalah pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non moneter, yaitu unit natural dari perbaikan kesehatan, mialnya nilai laboratorium klinik,years of life savedatau pencegahan penyakit.

(11)

= (1)

Biaya pada ACER merupakan rata-rata biaya medik langsung dari tiap obat, sedangkan efektivitas terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah setelah mengkonsumsi obat yang diukur dengan persentase pasien yang mencapai target terapi. Hasil dari ACER diinterpretasikan sebagai rata-rata biaya per unit efektivitas. Semakin kecil nilai ACER, maka alternatif obat tersebut semakin cost-effective(Andayani, 2013).

Hasil dari CEA dapat disimpulkan dengan Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Definisi ICER adalah rasio perbedaan antara biaya dari dua obat dengan perbedaan efektivitas dari masing-masing obat yang dihitung dengan persamaan 2.

= = ………...……(2)

(Thompson, 2011) Jika perhitungan ICER memberikan hasil negatif, maka suatu terapi dinilai lebih cost-effectivedibanding terapi pembandingnya (Andayani, 2013).

Definisi Cost-effectiveness dapat digambarkan menggunakan cost-effectiveness grid.

Cost-effectiveness Biaya Lebih Rendah Biaya Sama Biaya Lebih Tinggi Efektivitas Lebih

Rendah

A (Perlu Perhitungan

ICER)

B C

(Didominasi)

Efektivitas Sama D E

(Arbitrary)

F

Efektivitas Lebih Tinggi

G (Dominan)

H I

(Perlu Perhitungan ICER)

Gambar 2.Cost-effectiveness Grid(Rascati, 2009)

(12)

dengan efektivitas sama tetapi harganya lebih mahal, sedangkan sel C menunjukkan terapi yang kurang efektif dengan biaya sama. Terdapat tiga kemungkinan dari suatu obat baru, lebih mahal tetapi lebih efektif (sel I), lebih murah tetapi kurang efektif (sel A), atau dengan biaya dan efektifitas yang sama dengan obat standar (sel E). Faktor lain perlu dipertimbangkan jika suatu obat termasuk sel E, sedangkan sel A dan I perlu dilakukan perhitungan ICER untuk menetukan tambahan biaya setiap tambahan unit efektivitas terapi (Andayani, 2013)

Alat bantu lain yang dapat digunakan pada CEA adalah diagram Cost-effective. Diagram ini menjelaskan suatu alternatif terapi harus dibandingkan dengan terapi standar.

Gambar 3. DiagramCost-effective(Depkes RI, 2013)

(13)

c. Cost-Benefit Analysis(CBA)

Metode Cost-Benefit Analysis membandingkan biaya dan outcome dalam unit mata uang. Kelebihan CBA adalah keluaran berbeda yang dapat dibandingkan. Keluaran diukur dalam nilai mata uang. Kekurangan CBA adalah menempatkan nilai ekonomi pada keluaran medik bukan merupakan hal yang mudah dan tidak ada kesepakatan bersama pada satu metode standar untuk memenuhinya. Perbandingan CBA dapat disajikan dalam rasio benefit percost, semakin besar nilainya, semakin cost-benefit. Rasio cost-benefit dapat diukur, program dengan keluaran yang sama maupun berbeda dapat dibandingkan. Pembuat keputusan dapat menentukan program yang memberikan benefit lebih besar, jika tujuan pembuat keputusan untuk memaksimalkan investasi, program dengan rasio benefit terhadap biaya tertinggi yang akan dipilih.

d. Cost-Utility Analysis(CUA)

Cost-utility analysis adalah teknik ekonomi untuk menilai efisiensi dari intervensi pelayanan kesehatan. Beberapa peneliti menyampaikan bahwa CUA merupakan bagian dari CEA, karena outcome dinilai menggunakan outcome klinik yang khusus, yaitu quality-adjusted life year (QALY). Metode CUA merupakan tipe evaluasi ekonomi yang relatif baru dan mungkin masih kontroversial terutama dalam pengukuranutility.

Efektivitas biaya dan penyakit dengan beberapa keluaran dapat dibandingkan dengan menggunakan satu unit pengukuran, yaitu QALY. Outcome dengan pertimbangan Utility diukur dalam CUA, rentang 1.0 untuk kesehatan yang sempurna sampai dengan 0,0 untuk kematian. Metode CUA menggabungkan morbiditas dan mortalitas ke dalam satu unit pengukuran tanpa perlu mengukur nilai moneter dari suatu keluaran kesehatan. kekurangan dari metode ini adalah kesulitan dalam menentukan QALY (Andayani, 2013).

E. Landasan Teori

(14)

pengobatan hipertensi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan obat yang banyak diresepkan pada terapi antihipertensi dengan kombinasi adalah ACEI+CCB dan ACEI+Diuretik (Chiburdanidze, 2013). Penelitian mengenai efektivitas biaya terapi antihipertensi dua kombinasi yang dilakukan Nintyasari (2011) di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, menunjukkan biaya tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi Tenace® + Concor® (Enalapril+Bisoprolol). Terapi hipertensi dengan biaya terendah ditunjukkan oleh kombinasi Captopril + Hidroklorotiazid sehingga kombinasi ini dianggap paling cost effective. Penelitian lain mengenai pola penggunaan obat antihipertensi yang dilakukan pada 300 resep antihipertensi menunjukkan bahwa monoterapi paling banyak dilanjutkan dengan terapi kombinasi (35,04%). Obat yang paling cost effective untuk terapi hipertensi adalah diuretik (Rachanaet al., 2014).

F. Keterangan Empiris

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7 (Chobanian et al., 2003)
Tabel 2.  Modifikasi Gaya Hidup Pada pasien Hipertensi
Gambar 1. Al Algoritma Terapi Hipertensi (Chobanian et al., 2003)
Tabel 3. Pengobatan Hipertensi Dengan Penyakit Penyerta
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biaya terapi pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit X Klaten di tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental

Oleh karena itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran terapi dan biaya medik langsung rata- rata terapi kanker payudara berdasarkan kelas rawat inap dengan metode cost

Mengingat tingginya prevalensi penyakit hipertensi stage 2 yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 atau tekanan darah diastolik ≥ 100 mmHg maka dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi dan biaya medik langsung rata-rata terapi PPOK dengan metode cost analysis di instalasi rawat inap RSUD Dr. Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi dan biaya medik langsung rata-rata terapi PPOK dengan metode cost analysis di instalasi rawat inap RS “X”

Seseorang dikatakan hipertensi ditandai dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada seseorang yang tidak sedang mengkonsumsi obat anti.. hipertensi (Depkes

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus ACER (biaya total rata-rata terapi/efektivitas), maka nilai ACER pada pasien demam tifoid yang menggunakan obat sefotaksim

Analisis efektifitas biaya yang dilakukan dengan membandingkan besar biaya medik langsung rata-rata per bulan terhadap persentase pasien yang tekanan darahnya mencapai