• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi determinan tes rorschach dengan attachment orang dewasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi determinan tes rorschach dengan attachment orang dewasa"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Veronika Virly Yuriken

099114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Veronika Virly Yuriken

099114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

l i m i t l e s s

e x p e c t l e s s

(6)

v

Simply Dedicated to

M

other of

E

arth

Beb

&

Cantik

(7)
(8)

viii

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Veronika Virly Yuriken

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara determinan-determinan Tes Rorschach (dengan teknik Klopfer) dengan dimensi pada attachment pada orang dewasa. Subyek penelitian ini adalah 44 orang dewasa dengan usia 19-33 tahun (21 pria & 23 wanita). Penelitian ini menggunakan self-report measurement PAM (Psychosis Attachment Measure) yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (anxiety α =.762; avoidance α = .554). Subyek mengisi skala 16-aitem PAM versi Bahasa Indonesia dan di tes menggunakan Tes Rorschach secara individu. Dari penelitian ini daitemukan bahwa dimensi anxiety attachment memiliki arah korelasi baik positif maupun negatif dengan determinan Tes Rorschach meskipun tidak secara signifikan. Dimensi avoidance attachment memiliki korelasi positif dengan determinan achromatic color dan pure color secara signifikan. Peneliti mengemukakan tambahan bagi teori attachment untuk dimensi axiety attachment dikatakan adanya ambang batas yang rendah terhadap stress dan ketidakberdayaan menghadapi tekanan dari luar. Dimensi avoidance attachment dikatakan berkaitan dengan sifat assertive dan kondisi tidak responsif terhadap lingkungan, serta adanya kontrol emosi yang kurang baik sehingga menyebabkan ledakan-ledakan emosi.

(9)

viii

CORRELATION OF RORSCHACH DETERMINANT

WITH ADULT ATTACHMENT

Veronika Virly Yuriken

ABSTRACT

The aim of this research is to find out an association between Rorschach deter minant (Klopfer’s technique) with dimensions of adult attachment. The subject of the research are 44 adult between 19 33 years old (21 men and 23 women). This research used self-report PAM (Psychosis Attachment Measure) which translated into Bahasa Indonesia (anxiety α =.762; avoidance α = .554). Subjects completed 16-items translated PAM and tested with Rorschach individualy. In this research found that dimension of anxiety attachment was tend to have possitive correlation and negative correlation with Rorschach determinants, but not significant. Dimension of avoidance attachment was significantly associated with achromatic color determinant and pure color determinant. These findings could give additional description for attachment theory. Anxiety attachment described as a low stress tolerance and feeling of helplessness to face enviromental forces. Avoidance attachment described as a tendency of assertiveness, unresponsiveness to environments and lack of emotional control that leads to explosive emotional behaviour.

(10)
(11)

x

KATA PENGANTAR

Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk memberikan sesuatu bagi

ilmu pengetahuan. Berkat Yang Maha Kuasa menjadi kekuatan bagi penulis

selama proses penyusunan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana

Psikologi di Universitas Sanata Dharma. Berkat-Nya turun melalui tangan-tangan

orang di sekitar penulis. Dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Yang Maha Kuasa, atas segala penyertaan serta keajaiban-keajaiban kecil

yang banyak sekali.

2. Alm. Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si. yang pernah menjabat sebagai dekan

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Beliau menjadi inspirasi bagi

penulis.

3. Victorius Didik Suryo Hartoko, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang

membantu proses pengerjaan skripsi dari awal hingga akhir.

4. Dr. Tjipto Susana, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik.

5. Mas Muji & Mas Doni, selaku karyawan Laboratorium Psikologi serta

teman-teman asisten Laboratorium Psikologi yang dengan sangat baik

membantu proses pengambilan data, terutama saat pengetesan Rorschach,

yang berusaha menyisipkan jadwal pengetesan dan peminjaman alat juga

ruangan untuk penelitian ini.

6. Segenap Dosen dan Karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

(12)

xi

7. Si Beb & Cantik yang selalu mendukung saya entah sekuat apa mereka

berdoa dan bekerja keras untuk kelancaran studi saya.

8. Para sahabat, Ita Banana, Boni Dolphina, Riri, yang selalu ada, menjadi

semangat yang sangat hidup dan nyata. Agung, Centus, Ajeng, Vanida, Veta,

Asela, Dunde, yang tidak pernah bosan memberi semangat.

9. Cik Anne, selaku interrater dalam penelitian ini. Terima kasih banyak atas

waktu dan usahanya. Maria Wulandari, Erda Kurniawan, Sr. Lucy, Widiana,

selaku penerjemah skala.

10.Para subyek, baik yang berpartisipasi dalam uji coba skala maupun yang

menyediakan waktunya untuk berpartisipasi sebagai testee. Penelitian ini

tidak akan terwujud tanpa bantuan kalian.

11.Teman-teman Psikologi Universitas Sanata Dharma ’09, atas kebersamaan dan keunikan kalian.

12.Semua tarian di sela-sela proses pengerjaan skripsi.

13.Pantai-pantai sebagai pelarian dan pemberi kesegaran pikiran.

Gunung-gunung sebagai penguat motivasi dan sebagi guru atas kerja keras dan

ketekunan.

14.Ajel, yang memaksa skripsi dan studi ini untuk selesai.

15.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah mengisi

ulang semangat dan secara tidak langsung berperan dalam penelitian ini.

Peneliti terbuka akan saran dan kritik dari pembaca dengan harapan

(13)

xii

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, masyarakat dan demi kemuliaan Tuhan yang

lebih besar.

Yogyakarta, 16 Januari 2014

(14)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.. ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Bagi Ilmu Pengetahuan ... 8

2. Bagi Subyek Penelitian ... 8

(15)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Attachment ... 10

1. Sejarah Teori Attachment ... 10

2. Proses Mental Pembentukan Attachment ... 11

3. Anxiety & Avoidance Attachment ... 14

4. Pengukuran Attachment... 16

B. Tes Rorschach ... 17

1. Definisi ... 17

2. Determinan Tes Rorschach ... 18

a. Respon Form (F) ... 20

b. Respon Movement ... 21

c. Respon Color... 25

d. Respon Shading ... 31

3. Proporsi Kuantitatif ... 36

a. Proporsi yang Berkaitan dengan Inner Resource dan Impulse Life ... 37

b. Proporsi yang Terkait dengan Organisasi Kebutuhan Afeksi 39 c. Proporsi Berkaitan dengan Reaktivitas Emosi Terhadap Lingkungan... 42

C. Hipotesis ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

(16)

xv

C. Definisi Operasional Penelitian ... 45

1. Tes Rorschach ... 45

2. PAM (Psychosis Attachment Measure ... 46

3. Variabel Penelitian ... 47

4. Prosedur Penelitian ... 49

5. Analisis Statistik ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil Penelitian ... 52

1. Uji Asumsi ... 52

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Linearitas ... 52

2. Uji Hipotesis ... 53

a. Korelasi dengan Skor Tunggal Determinan Tes Rorschach ... 53

i. Dimensi Anxiety Attachment... 54

ii. Dimensi Avoidance Attachment ... 55

b. Korelasi dengan Skor Prorporsi Determinan Tes Rorschach .. 57

B. Pembahasan ... 60

1. Dimensi Anxiety Attachment ... 60

2. Dimensi Avoidance Attachment ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

(17)

xvi

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. PAM Versi Bahasa Indonesia ... 48

Tabel 2. Uji Normalitas ... 52

Tabel 3. Statistik Deskripsi ... 54

Tabel 4. Korelasi Dimensi Attachment dengan Skor Tunggal Determinan Tes

Rorschach ... 56

Tabel 5. Korelasi Dimensi Attachment dengan Skor Proporsi Determinan Tes

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. PAM Bahasa Inggris... 71

Lampiran 2. PAM Bahasa Indonesia ... 74

Lampiran 3. Pengantar Kuisioner PAM ... 77

Lampiran 4. Lembar Inkuiri Tes Rorschach ... 79

Lampiran 5. Scatter Plots... 84

Lampiran 6. Linearitas Data... 95

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa penelitian yang terkait dengan attachment pada orang

dewasa cenderung melihat dalam bentuk hubungan percintaan. Pada

kenyataanya, manusia memiliki banyak relasi yang cukup dekat di luar relasi

percintaan. Pola attachment seseorang mempengaruhi setiap relasi

interpersonal dan bagaimana ia melihat dunia. Dalam penelitian Hill et al

(2011), dikemukakan bahwa orang dengan disfungsi hubungan percintaan

juga mengalami disfungsi dalam hubungan sosial lainnya, seperti hubungan

pertemanan (Hill, Harrington, Fudge, Rutter, & Pickles, 1989). Maka

pengukuran attachment secara umum dirasa penting dengan tujuan

mengetahui pola attachment dengan asumsi dapat memprediksi dan memberi

gambaran mengenai bagaimana pola attachment seseorang.

Teori attachment mengemukakan bahwa manusia memiliki kebutuhan

universal akan ikatan afeksi yang dekat. Attachment mulai dibentuk sejak

bayi dan tumbuh atas dasar hubungan antara bayi atau anak dengan orang tua

terutama peran ibu. Menurut Bowlby, bayi dan anak kecil perlu

mengembangkan ketergantungan yang aman terhadap orang tua sebelum

berusaha menghadapi situasi yang tidak familiar. Bowlby juga

(21)

anak kecil sebaiknya mengalami hubungan yang hangat, intim dan

terus-menerus dengan ibu mereka atau peran ibu pengganti yang mana keduanya

menikmati dan mendapatkan kepuasan. (Bowlby, 1951, p. 13).

Pola attachment seseorang cenderung stabil dari masa ke masa

(Snyder, Lopez, & Pedrotty, 2011). Kestabilan dan kontinyuitas pola

attachment dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, terutama lingkup keluarga

(Feeney, 1996). Ketika sudah dewasa, seseorang bisa ambil bagian menjadi

lingkungan bagi anak dan menjadi orang tua atau pengasuh. Maka dari itu,

pengukuran untuk mengetahui pola attachment pada orang dewasa dirasa

penting. Selain attachment mempengaruhi pola hubungan seseorang, pola

attachment seseorang juga mempengaruhi pembentukan attachment pada

anak atau bayi yang diasuh.

Peneliti melakukan upaya-upaya untuk mengukur pola attachment

pada orang dewasa. Hazan & Shaver (1987) mengukur attachment pada orang

dewasa dengan Forced-Choice Measure of Attachment Style. Alat ini dinilai

sangat terbatas dalam mengukur attachment (Feeney, 1996) tetapi alat ini

tergolong populer pada masanya. Pengukuran tersebut kemudian

dikembangkan oleh Levy & Davis (1988) dengan menggunakan bentuk skala

Likert dengan tiga pilihan. Pengukuran versi Levy & Davis kemudian

menjadi lebih lengkap menderkripsikan pola attachment orang dewasa

(Feeney, 1996).

Sebelumnya, George, Kaplan, & Main (1985) menyusun Adult

(22)

dewasa terhadap anak yang diasuh. Dalam penggunaannya, peneliti harus

mengimbangi dengan Strange Situation untuk mengetahui pola attachment

anak yang dilakukan enam tahun sebelumnya (Feeney, 1996). Pengukuran ini

dirasa kurang efisien dan membutuhkan orang yang sungguh-sungguh terlatih

dan menguasai dengan baik, baik untuk administrasi maupun proses skoring.

Sejauh ini pengukuran attachment masih menggunakan metode

self-report. Sedangkan, self-report measure untuk pengukuran attachment

dianggap kurang dapat menjangkau ketidaksadaran yang sesuai dengan aspek

attachment karena self-report measure diisi dengan kesadaran penuh

(Crowell & Treboux, 1995; Hesse, 1999; Jacobvitz, Curran, & Mollen, 2002;

Berant & Mikulincer dkk, 2005). Dengan kesadaran penuh, seseorang kurang

dapat merefleksikan kondisi ketidaksadarannya. Terlebih lagi, pembentukan

attachment dimulai dari masa kecil seseorang, dimana pengalamannya

terinternalisasi tanpa disadari.

Ketidak-puasan akan alat ukur attachment dengan menggunakan

self-report menstimulasi sejumlah peneliti seperti Casella & Viglione, Berant &

Mikulincer untuk mengkaitkannya dengan alat test yang dapat menjangkau

ketidaksadaran, salah satunya dengan teknik proyektif Test Rorschach.

Peneliti memilih tes Rorschach untuk mengukur attachment karena tes

Rorschach merupakan tes proyeksi dengan asosiasi bebas yang dapat

menjangkau kondisi ketidaksadaran sehingga bisa meminimalisir kesalahan

akibat faking dari subyek. Dari konten analisis dan interpretasi yang

(23)

seseorang merespon lingkungan. Selain itu, analisis secara kuantitatif Tes

Rorschach dengan teknik Klopfer lebih sesuai dan dibutuhkan dalam

penelitian ini terkait dengan efisinsi dan efektivitas penelitian. Keputusan

penggunaan Tes Rorschach juga didukung oleh hasil survey Musewicz dan

keterangan dari APA. Dari survey yang dilakukan oleh Musewicz dkk (2009),

Rorschach dinyatakan sebagai tes yang efektif sebagai alat ukur kepribadian.

Survey ini dilakukan pada 215 psikolog anggota SPA (Society for Personality

Assessment) dan APA (American Psychological Association) via internet.

Adanya beberapa studi dan penelitian mengenai Tes Rorschach

menstimulasi peneliti untuk meneliti Tes Rorschach, secara spesifik terhadap

determinan pada Tes Rorschach dengan pendekatan analisis kuantitatif

Klopfer. Beberapa penelitian mengenai attachment dengan Tes Rorschach

sudah pernah dilakukan. Beragamnya pendekatan analilis terhadap Tes

Rorschach membuka peluang penelitian lebih lanjut terhadap fungsi dan

kepekaan alat ini di dunia psikologi. Ketidakpuasan pengukuran attachment

menggunakan self-report juga menstimulasi peneliti untuk mencari kaitan

antara determinan Tes Rorschach dengan attachment.

Berant dan Mikulincer, dkk (2005) menemukan adanya hubungan

antara self-report anxiety attachment dengan skor Rorschach yang

mengindikasikan kesulitan terhadap regulasi emosi dan kontrol emosi, dan

persepsi diri yang relatif tidak berdaya dan tidak berharga. Penelitian ini

(24)

menggunakan Rorschach dengan sistem administrasi dan skoring Exner

(2001) yaitu Exner’s Comprehensive System.

Cassella dan Viglione (2009) menemukan hubungan antara respon

Tekstur pada Tes Rorschach dengan pola attachment. Penelitian tersebut

dilaksanakan di Massachusetts dengan 40 partisipan laki-laki dan 39

partisipan perempuan. Secara spesifik, respon tekstur pada Tes Rorschach

dengan teknik Exner’s Comprehensive System berasosiasi dengan secure

attachment. Skor Tekstur = 1 berasosiasi dengan pola secure attachment, skor

Tekstur > 1 berasosiasi dengan pola preoccupied attachment, dan skor

Tekstur = 0 berasosiasi dengan aspek avoidance dan absen pola secure

attachment.

Hasil dari penelitian Berant & Mikulincer dkk (2005)

mengindikasikan self-report measure untuk attachment anxiety dan

avoidance secara koheren berhubungan dengan penanda Rorschach yang

sudah dipilih secara teoritis, dan korelasi antar konstruk tergolong lemah dan

kurang signifikan. Penelitian Berant & Mikulincer dkk melibatkan 57 subyek

wanita dan 15 laki-laki Israel dengan rentang usia 19-57 tahun. Penelitian ini

dilakukan di Israel. Self-report measure pada attachment anxiety dan

avoidance berhubungan dengan Tes Rorschach dengan teknik Exner’s

Comprehensive System, (Berant & Mikulincer dkk, 2005). Peneliti hanya

melihat hubungan attachment anxiety dan avoidance dengan penanda

(25)

Sampai sekarang penelitian mengenai Exner’s Comprehensive System

masih berlanjut guna menetapkan validitas dan reliabilitas metode ini.

Pertimbangan etis dan praktis (American Psychology Assossiation, 1985)

masih meragukan hasil dari metode CS yang validitas dan reliabilitasnya

belum ditetapkan (Wood, Nexworski, & Stejskal, 1996). Di samping itu,

alasan peneliti menggunakan sistem yang terdahulu karena Exner sendiri

pernah menyatakan bahwa sistem ini harus digunakan secara keseluruhan

atau tidak sama sekali (Aronow, Rexnikoff, & Moreland, 1994). Maka dari

itu peneliti memutuskan untuk menggunakan teknik Klopfer.

Tes Rorschach terdiri dari determinan, content, location, popular

response dan form level. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis

kaitan attachment dengan determinan Tes Rorschach karena determinan Tes

Rorschach banyak menggambarkan aspek kebutuhan afeksi, memiliki lebih

banyak klasifikasi secara detil dan memiliki kemungkinan jumlah skor lebih

variatif dan lebih banyak dibanding dengan kategori penyusun lainnya.

Determinan dalam Tes Rorschach antara lain form, movement, shading, color.

Peneliti memilih anxiety & avoidance karena attachment bergerak

dari tinggi rendahnya tingkat anxiety & avoidance. Semakin tinggi tingkat

anxiety, avoidance, atau anxiety & avoidance, seseorang tergolong memiliki

insecure attachment. Sebaliknya, semakin rendah tingkat anxiety &

avoidance, seseorang tergolong memiliki secure attachment.

Dengan mengkaitkan determinan-determinan pada Tes Rorschach

(26)

penelitian ini dapat menambah gambaran anxiety & avoidance attachment

dan memperjelas makna anxiety & avoidance attachment melalui interpretasi

dari determinan-determinan tersebut. Dalam penelitian Feeney & Noller

(1990), attachment dapat menggambarkan pola hubungan percintaan.

Maunder & Hunter mengemukakan bahwa adult attachment terbukti berguna

dalam menggambarkan perilaku menyimpang, respon stress dan dalam

pendekatan psikoterapi untuk pasien. Dan gambaran attachment yang paling

mendasar adalah gambaran Bowlby mengenai hubungan anak dengan

pengasuh primer.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Apakah determinan pada Tes Rorschach berhubungan dengan dimensi

anxiety attachment dan avoidance attachment?

2. Apakah determinan pada Tes Rorschach bisa merepresentasikan

attachment seseorang?

3. Bagaimana gambaran kecenderungan pola attachment seseorang dilihat

(27)

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang dirumuskan di atas maka penelitian

ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh gambaran hubungan determinan pada Tes Rorschach dengan

dimensi attachment.

2. Mendapatkan deskripsi makna skor dimensi attachment skala PAM

melalui makna determinan pada Tes Rorschach yang terkait dengan

attachment.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan

a. Mengembangkan dan melengkapi bentuk interpretasi Tes

Rorschach khususnya pada kategori determinan.

b. Memberi pertimbangan penggunaan Tes Rorschach khususnya

pada variabel determinan untuk mengukur attachment.

c. Menambahkan gambaran pola attachment berdasarkan hasil

interpretasi determinan Tes Rorschach.

2. Bagi subyek penelitian

a. Mengetahui kecenderungan pola attachment

b. Mengetahui gambaran kepribadian secara umum berdasarkan

(28)

3. Bagi peneliti

a. Mendapatkan gambaran dari hubungan attachment dengan

(29)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Attachment

1. Sejarah Teori Attachment

Teori attachment dirintis oleh John Bowlby. Bowlby memulai

ketertarikannya saat ia menjadi sukarelawan di sekolah untuk anak-anak

yang memiliki kesulitan untuk menyesuaikan diri. Dalam pengalamannya

itu, Bowlby berinteraksi dengan dua anak, satu yang sangat tertutup,

kurang memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga, kurang kasih

sayang, dikeluarkan dari sekolah sebelumnya, dan tidak memiliki figur ibu

yang tetap. Di sisi lain, Bowlby juga berhadapan dengan anak yang cemas

dan selalu mengikuti Bowlby kemanapun Bowlby pergi. (Ainsworth,

1974). Berangkat dari pengalaman terhadap efek dari hubungan dengan

keluarga pada masa kecil terhadap perkembangan kepribadian, Bowlby

melanjutkan karirnya sebagai psikiater anak. Penelitian pertama Bowlby

berlandaskan data dari London Child Guidance Clinic, sebagian besar

klien mengalami kurang kasih sayang. Dari penelitian terhadap 44 kasus,

Bowlby menemukan hubungan antara simptom-simptom mereka terkait

dengan sejarah kehilangan dan keterpisahan dari figur ibu. Selanjutnya,

Bowlby melanjutkan penelitian yang berfokus pada perpisahan antara anak

dan figur ibu. Menurut Bowlby, perpisahan merupakan kejadian yang

(30)

anak lebih mudah didokumentasikan daripada pengaruh-pengaruh yang

tidak terlihat pada hubungan dengan orang tua dan interaksi dalam

keluarga. (Bretherton, 1992)

Dalam penelitian Bowlby mengenai efek perpisahan dengan figur

ibu pada awal masa kanak-kanak terhadap perkembangan kepribadian,

melibatkan Mary Ainsworth yang nantinya berfokus pada attachment

pada orang dewasa. Ainsworth memulai ketertariknya pada attachment

dari security theory (Blatz, 1940). Ainsworth mendalami kemampuan

klinisnya dengan mengajar kelas asesmen kepribadian di University of

Toronto setelah Perang Dunia II. Untuk persiapan pengajaran itu,

Ainsworth bergabung dalam workshop yang diadakan oleh Bruno Klopfer,

ahli dalam interpretasi Tes Rorschach. Pengalaman ini membawa

Ainsworth menjadi co-penulis dari buku Rorschach Technique. (Klopfer,

Ainsworth, Klopfer & Holt, 1954).

2. Proses Mental Pembentukan Attachment

Teori attachment merupakan teori perkembangan yang

mengemukakan bahwa ada kebutuhan universal terhadap ikatan afeksi

yang dekat dan fungsi perilaku attachment tersebut sebagai mekanisme

homeostatic untuk mengelola stres di usia dewasa maupun masa

kanak-kanak (Bowlby, 1980).

Menurut Knox (2003), poin utama dari teori attachment adalah

(31)

‘internal working models’ yang menuntun dugaan dan persepsi, sehingga menjadi gambaran untuk hubungan di masa depan. Internalisasi yang

dimaksud adalah deskripsi dari konsekuensi pengalaman-pengalaman

interpersonal, tetapi juga merupakan catatan dari pemrosesan inform (F)asi

terus menerus dalam pikiran seseorang dari interaksi dua orang. Catatan

teori attachment mengenai ‘internal working models’ dan pola attachment merupakan gambaran pemrosesan inform (F)asi dalam pikiran seseorang

mengenai pengalaman internal dan menyediakan model yang tepat untuk

pengalaman internalisasi.

Attachment style cenderung tergolong stabil dan bersifat kontinyu

sesuai dengan stabilnya mental model terhadap diri dan orang lain.

(Bowlby, 1980). Internal working model juga berkembang dan bekerja

dengan relatif stabil tergantung pada stabilnya hubungan dan kondisi

keluarga. Semakin lama, kondisi tersebut membentuk kebiasaan dan

menjadikan proses yang otomatis dari waktu ke waktu, bekerja di luar

tingkat kesadaran dan menjadi sulit berubah (Feeney, 1996). Ainsworth

dalam Feeney (1996) juga mengemukakan bahwa attachment anak-anak

cenderung stabil dari waktu ke waktu. Kadar stabilitasnya semakin tinggi

ketika keadaan keluarga dan bentuk pengasuhan cenderung stabil. Namun,

attachment style tidak dapat dianggap sepenuhnya stabil dan tidak dapat

berubah dipertimbangkan dari bentuk interaksi dan kualitas attachment itu

(32)

Internal working model, yang juga mempengaruhi proses

kontinyuitas attachment style, juga dapat berubah. Perubahan ini

disebabkan oleh besarnya ketidakcocokan antara situasi sosial dan

internal working model yang mengakibatkan model ini tidak efektif lagi.

Dengan begitu, individu akan mengakomodasi model yang digunakan

sesuai dengan realita (Bowlby, 1980).

Pandangan Knox mengenai pembentukan attachment juga serupa

dengan pandangan Bowlby. Menurut Bowlby (1973, 1980, 1969/1982)

dalam Mikulincer dkk (2005), interaksi dengan significant other

diinternalisasi dalam bentuk internal working models terhadap diri dan

orang lain. Saat close relationship partners menolak atau tidak ada saat

dibutuhkan, keamanan attachment menjadi terkikis, strategi defensif

sekunder (hyperactivating dan deactivating) dipakai, model negatif

terhadap diri dan orang lain terbentuk, dan kemungkinan besar kesehatan

mental menjadi menurun.

Menurut Mikulincer & Shaver (2003, 2007) dalam Berant dan

Wald (2009) Hyperactivation mengacu pada usaha yang intens untuk

mencapai kedekatan dengan figur attachment. Orang yang mengandalkan

strategi ini secara kompulsif mencari kedekatan dan perlindungan,

cenderung terlalu sensitif terhadap tanda-tanda pengabaian, cenderung

memikirkan kekurangan personal dan ancaman terhadap hubungan secara

berlebihan. Deactivation mengacu pada sifat membatasi pencarian

(33)

sistem attachment. Orang yang mengandalkan strategi ini cenderung

mengambil jarak terhadap orang lain, memperjuangkan kekuatan personal,

mengandalkan diri sendiri, dan menekan atau menghilangkan pikiran dan

ingatan yang menimbulkan stress.

3. Anxiety & AvoidanceAttachment

Pada awalnya, penelitian terhadap attachment dewasa didasari oleh

tipologi pola attachment masa kecil (Ainsworth, Blehar, Waters, and

Wall’s, 1978; Mikulincer, 2005) yang digolongkan dalam kategori secure, anxious, dan avoidant. Dalam pengukuran attachment dengan metode

self-report, Brennan et al (1998) dalam Mikulincer (2005), kategori anxious

secara umum disebut attachment anxiety yang aitem-aitemnya

menekankan kegelisahan terhadap keintiman dan ketergantungan.

Sedangkan, avoidant atau disebut attachment avoidance yang

aitem-aitemnya menekankan sifat-sifat penolakan, perpisahan, dan keadaan

terabaikan.

Mikulincer (2005) mengemukakan, pola secure attachment

berhubungan dengan keadaan dimana kecemasan dan penghindaran

tergolong rendah. Keadaan ini digambarkan dengan kepercayaan diri akan

cinta dan dukungan dari pasangan, dan perasaan nyaman akan kedekatan

dan saling ketergantungan atau interdependen. Dalam penelitian Hazan &

(34)

secure attachment digambarkan sebagai individu yang nyaman dengan

keintiman dan mampu mempercayai dan bergantung pada orang lain.

Pola anxiety attachment mengacu pada keadaan dimana ketakutan

pada perpisahan dan keadaan tertinggal (attachment anxiety) tergolong

tinggi dan penghindaran tergolong rendah. Anxiety attachment juga

berkaitan dengan self-image yang negatif dan kebutuhan yang berlebihan

untuk diterima oleh orang lain, diikuti dengan ketakutan akan penolakan

dan pengabaian (Berry, Wearden & Barrowclough; 2007). Dalam

penelitian Hazan & Shaver (1987), individu yang tergolong anxious

digambarkan sebagai individu yang mencari kedekatan ekstrim dan takut

dirinya akan diabaikan dan tidak cukup dicintai.

Pola avoidant attachment mengacu pada keadaan dimana ketakutan

terhadap keintiman dan ketergantungan (attachment avoidance) tergolong

tinggi. Attachment avoidance berhubungan dengan gambaran yang negatif

terhadap orang lain, penarikan sosial dan kebutuhan yang berlebihan akan

kepercayaan terhadap diri sendiri atau ketakutan akan bergantung pada

orang lain (Berry, Wearden & Barrowclough; 2007). Dari hasil penelitian

Hazan & Shaver (1987), individu dengan avoidant attachment cenderung

tidak nyaman dengan kedekatan dan mengalami kesulitan untuk

bergantung dengan orang lain.

Kedua kategori ini tergolong kontinyu dan tidak kaku

(Baumgardner & Crothers, 2009). Setiap orang bisa memiliki kadar

(35)

bisa tergolong tinggi atau rendah dalam dimensi anxiety dan atau avoidant,

maka dalam perkembangan teori attachment terbentuk empat pola

attachment.

4. Pengukuran Attachment

Dalam perkembangan penelitian mengenai adult attachment,

beberapa peneliti terdahulu telah mengembangkan alat ukur attachment

untuk orang dewasa. Upaya pengukuran attachment berbentuk self-report,

wawancara dan observasi.

Pada tahun 1985, George, Kaplan & Main merancang Adult

Attachment Interview untuk menjangkau ingatan seseorang terhadap

hubungan masa kecilnya dengan orang tua, diimbangi dengan evaluasi

terhadap pengalaman masa kecilnya dan efeknya terhadap kepribadiannya

sekarang (Feneey & Nooler, 1996). AAI ini mengelompokkan pola

attachment menjadi tiga bagian yaitu, secure, dismissing, dan preoccupied.

Validitas alat ini didukung dengan adanya hubungan antara pola

attachment orang tua, diukur dengan AAI, dengan pola attachment anak,

diukur dengan Strange Situation yang dilakukan 6 tahun sebelumnya.

Hazan & Shaver meneliti attachment pada orang dewasa dalam

hubungan romantik dengan model pengukuran self-report. Hazan &

Shaver menyusun forced-choice measure of attachment style. Alat ukur ini

tersusun dari tiga pola attachment yaitu, secure, avoidant dan anxious

(36)

kanak-kanak dengan interaksi seseorang dalam hubungan percintaan

(Hazan & Shaver, 1987; Feeney, 1996). Self-Report ini banyak digunakan

di berbagai negara dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Berangkat dari alat ukur Hazan & Shaver, Levy & Davis (1988)

mengembangkan alat ukur tersebut dengan menghubungkan pola

attachment dengan enam tipe cinta yang digambarkan oleh Lee (1973,

1988). Levy & Davis menggunakan skala rating untuk mengukur setiap

pola attachment.

Untuk alat ukur attachment dalam hubungan yang dekat secara

umum, Berry (2008) menyusun Psychosis Attachment Measur e yang

tersusun dari anxiety & avoidance skor. PAM merupakan self-report

dengan 16 aitem skala Likert 4-poin. Alat ini berisi kalimat-kalimat yang

mengacu pada hubungan orang dewasa secara umum sehingga bisa

digunakan untuk mengukur pola attachment pada subyek yang lebih luas

dan umum.

B. Tes Rorschach 1. Definisi

Dalam The Rorschach Technique oleh Aronow dkk (1994), Tes

Rorschach terdiri dari sepuluh bercak tinta, diciptakan oleh Hermann

Rorschach pada tahun 1921, yang mengambarkan kecenderungan

kepribadian seseorang melalui persepsinya terhadap ‘bercak tinta’. Tes

(37)

jauh dalam menyajikan stimulus yang relatif ambigu dimana subyek bisa

menyatakan fungsi individual. (Klopfer, 1954). Ketegori skor Tes

Rorschach dikelompokkan berdasarkan lokasi, determinan, konten, form

level, popular. Pendekatan skoring ini merupakan pendekatan Klopfer

yang sudah dimodifikasi, karena dirasa terlalu kompleks.

2. Determinan Tes Rorschach

Dalam Tes Rorschach terdapat empat determinan utama (Klopfer,

1954) yaitu:

a. Form (F) : konsep ini ditentukan oleh hanya dari bentuk bercak tinta.

Tidak termasuk color, shading, maupun movement dari bercak tinta

tersebut.

b. Movement : konsep ini terbentuk jika subyek memproyeksikan aksi,

gerakan atau kehidupan. Movement bisa dibentuk dari figur manusia

maupun hewan, dari obyek benda mati maupun dari bentuk-bentuk

abstrak.

c. Shading : merupakan konsep terhadap nuansa bayangan achromatic,

termasuk rasa pada tekstur permukaan obyek, kesan terhadap

kedalaman maupun warna achromatic.

d. Color : konsep ini terbentuk dari aspek-aspek chromatic, baik yang

(38)
(39)

a. Respon Form (F)

Form (F) merupakan determinan yang mewakili hanya

bentuk dari bercak tinta tanpa ada unsur warna, gerakan, maupun

naungan yang tampak dalam persepsi subyek. Dalam respon

movement, warna, maupun naungan, form (F) dapat terkandung di

dalam respon selama respon memiliki bentuk yang jelas dan atau

berbentuk.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon form (F)

merepresentasikan tipe persepsi yang terbatas atau miskin, lepas dari

nuansa emosi dan afeksi yang ditimbulkan dari elemen warna serta

naungan dan juga kekayaan imajinasi yang mungkin dimiliki oleh

individu tersebut.

Respon form (F) yang muncul dalam jumlah yang masuk akal

diimbangi dengan adanya respon color, movement, dan shading tidak

mengindikasikan keterbatasan atau kemiskinan persepsi subyek

terhadap dunia. Hal ini mengindikasikan subyek memiliki

kemampuan dalam menghadapi suatu situasi tertentu secara

impersonal dan melihat langsung pada pokok permasalahan, terlepas

dari implikasi personal. Jika respon form (F) muncul secara dominan

di antara respon color dan surface shading, tetapi respon movement

muncul dengan bebas, menunjukkan adanya pembatasan atau

penahanan atas dampak emosi yang relatif tidak peka terhadap dunia

(40)

serta dorongannya. Jika respon form (F) muncul secara dominan di

antara respon movement, tetapi respon color muncul secara bebas,

maka dapat dikatakan bahwa terdapat pembatasan atau penahanan

terhadap kesadaran akan dorongan dalam diri, sementara subyek

reaktif secara emosional terhadap pengaruh lingkungan.

b. Respon Movement

Menurut Aronow, suatu respon dikatakan masuk kategori

determinan movement ketika suatu persepsi mengandung aksi atau

kehidupan. Respon movement terbagi menjadi tiga tipe: human

movement (M), animal movement (FM), dan inanimate movement

(m). Suatu respon dikatakan tergolong human movement (M) ketika

respon mengindikasikan aktivitas manusia, ekspresi manusia atau

postur manusia. Respon ini bisa terkandung dalam persepsi dengan

bentuk manusia secara keseluruhan atau sebagian dalam bentuk aksi.

Selain itu, karikatur, patung atau binatang yang melakukan aktivitas

manusia juga termasuk dalam respon human movement (M).

Suatu respon dapat dikategorikan dalam respon animal

movement (FM) ketika respon mengandung unsur aksi atau aktivitas

binatang. Respon bisa berbentuk binatang secara keseluruhan,

gambar binatang maupun sesuatu yang berbentuk binatang. Namun,

respon binatang yang melakukan aktivitas manusia tetap dihitung

(41)

Suatu respon dapat dikategorikan dalam respon inanimate

movement (m) ketika respon mengandung pekerjaan atau aksi yang

dilakukan oleh kekuatan alam atau mekanis. Inanimate movement

(m) terbagi lagi menjadi tiga sub-kategori: persepsi dengan bentuk

yang jelas atau pasti, bentuk yang semi-pasti, dan yang sama sekali

tidak jelas.

i. Human movement (M)

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon human

movement (M) memiliki tiga ciri, yaitu proyeksi kinestetik yang

menghidupkan materi bercak tinta dengan gerakan yang pada

dasarnya tidak ada dalam bercak tinta, hal ini menunjukkan

adanya proses imajinasi; konsep manusia (atau setidaknya

melibatkan atribut manusia) yang mengindikasikan kemampuan

untuk melihat dunia dari sisi manusia dan dengan

konsekuensinya untuk merasakan empati terhadap orang lain;

dan level persepsi yang bisa membedakan dengan baik dan

biasanya terintegrasi dengan baik.

Respon human movement (M) cenderung menunjukkan

fungsi ego yang baik. Produksi respon human movement (M)

yang melibatkan aspek imajinasi ditunjukkan pada usaha

menghidupkan bercak tinta, yang diam menjadi gerakan,

(42)

yang mana berkaitan dengan baik dengan kenyataan. Hal ini

mengindikasikan integrasi emosi yang baik, yang mana ego

tergolong toleran pada impuls primitif dan secara bebas bisa

menjadi sumber kreativitas. Aspek empati dalam produksi

respon human movement (M) menunjukkan kapasitas untuk

object relations yang baik, yang merupakan kondisi dan hasil

dari integrasi emosi yang baik. Hubungan yang baik dengan

kenyataan eksternal tercermin dalam kemampuan yang baik

dalam membedakan, integrasi, dan akurasi persepsi ditunjukkan

dalam respon human movement (M), yang menunjukkan fungsi

ego yang berkembang dengan baik.

Orang dewasa yang memiliki kemampuan penyesuaian

diri yang baik memiliki setidaknya tiga atau lebih respon human

movement (M), dengan asumsi kecenderungan extratensif.

Orang dewasa dengan tingkat intelektual yang tergolong

superior atau yang tergolong introvert memiliki setidaknya lima

respon human movement (M).

ii. Animal movement (FM)

Menurut Ainsworth dan Klopfer respon animal

movement (FM) mengindikasikan kesadaran terhadap dorongan

yang harus dipenuhi dengan segera. Selain itu, ini juga

(43)

pengertian atau wawasan, pemahaman serta penerimaan.

Dorongan-dorongan ini merupakan dorongan paling primitif

dari kepribadian, baik merupakan insting atau merupakan

dorongan pada awal kehidupan.

Animal movement (FM) dapat menjadi manifestasi dari

bentuk agresi atau secara jelas menunjukkan ketidakberdayaan,

kebutuhan akan pertolongan, dan kiranya mengindikasikan

kebutuhan ketergantungan. Dalam jumlah respon yang dapat

dipertimbangkan, subyek menyadari dorongan yang harus

dipenuhi dengan segera ini. Dalam jumlah respon yang cukup

banyak, dapat dikatakan bahwa subyek, baik merasakan

dorongan ini atau tidak, subyek menunjukkan dorongan ini

dalam aksi.

iii. Inanimate movement (m)

Menurut Ainsworth dan Klopfer, kemunculan satu atau

dua respon inanimate movement (m) merupakan refleksi

terhadap kesadaran akan paksaan-paksaan dari luar kontrol

subyek, yang mengancam integritas dari organisasi kepribadian

subyek. Paksaan-paksaan ini sering kali datang dari diri subyek

sendiri dalam bentuk dorongan-dorongan yang mengancam

sistem nilai dan gambar diri. Inanimate movement (m)

(44)

dan tujuan jangka panjang subyek, dan tegangan karena usaha

untuk mencegah dorongan. Dalam banyak kasus, respon ini

menunjukkan kebutuhan yang represif. Di sisi lain, respon ini

menunjukkan perasaan ketidakberdayaan dalam menghadapi

ancaman paksaan dari lingkungan.

Indikasi terhadap kesulitan dalam penyesuaian diri dan

kesadaran terhadap paksaan baru bisa dipertimbangkan ketika

jumlah respon inanimate movement (m) cukup banyak.

Kemunculan satu atau dua respon ini dapat dipertimbangkan

sebagai adanya penyesuaian okupasi, adanya usaha untuk

mengesampingkan dorongan terhadap tujuan jangka panjang

maupun terhadap kenyataan. Orang yang dapat menyesuaikan

diri dengan baik menghasilkan beberapa respon inanimate

movement (m), dapat dikatakan bisa mengintegrasikan dorongan

hidup dengan gambar diri dan sistem nilai serta ancaman dari

luar. Respon inanimate movement (m) dipercaya

mengindikasikan kesadaran akan adanya konflik dan ancaman

sehingga ketidakmunculannya mengindikasikan penghentian

perjuangan mencapai integrasi.

c. Respon Color

Suatu respon dapat dikategorikan sebagai respon warna jika

(45)

dibagi menjadi kategori chromatic dan kategori achromatic. Seperti

warna merah, hijau, coklat dan jingga merupakan kategori

chromatic. Dalam kategori achromatic, respon mengandung konsep

warna hitam, abu-abu, dan putih (Aronow, 1994).

Dalam kategori chromatic, terdapat sub-kategori yaitu,

konsep warna natural dan konsep warna arbitrary. Konsep warna

natural menunjukkan penggunaan warna dalam menggambarkan

respon subyek sesuai dengan konsep respon sebenarnya. Lain halnya

dengan konsep warna arbitrary, yang menunjukkan adanya

pemakasaan penggunaan warna pada konsep respon subyek.

Penggunaan warna pada konsep respon berbeda dengan konsep di

kenyataan. (Aronow, 1994).

i. Chromatic

Respon definite chromatic color (FC) (respon warna

chromatic dengan bentuk yang jelas) mewakili adanya integrasi

yang baik antara warna dan bentuk yang jelas. Respon ini

mengindikasikan kontrol terhadap dampak emosional tanpa

kehilangan kemampuan merespon. Kemampuan merespon yang

terkontrol ini mengakibatkan subyek dapat bereaksi terhadap

perasaan dan aksi yang sesuai dengan tuntutan emosional pada

(46)

Kemunculan repson definite chromatic color (FC) dalam

jumlah yang dapat dipertimbangkan menunjukkan bahwa

subyek mampu membuat respon yang menyenangkan, ramah,

dan baik terhadap situasi sosial dan dapat dengan lancar bergaul

dengan orang lain. Klopfer juga mengungkapkan bahwa ada

implikasi ketergantungan terhadap orang lain pada kemunculan

respon definite chromatic color (FC). Subyek, dengan cara yang

baik, menjaga baik hubungan dengan orang lain sebagai wadah

untuk tekanan terhadap tuntutan emosional untuk bertemu.

Ketika respon definite chromatic color (FC) hanya

muncul pada respon tambahan dan hanya satu-satunya respon

warna yang muncul, dapat dikatakan subyek kurang responsif

terhadap dampak emosional. Hal ini juga mengimplikasikan

subyek cenderung menarik diri dan kemampuan merespon yang

terkontrol hanya akan muncul ketika subyek merasa lebih

tenang dalam suatu situasi. Jika definite chromatic color (FC)

muncul sebagai respon tambahan dengan determinan utama

lainnya, dapat dikatakan subyek mampu mengontrol

kemampuan merespon dan tidak terlalu bergantung

dibandingkan dengan subyek memiliki definite chromatic color

(FC) sebagai respon utama. Ketika respon definite chromatic

color (FC) tidak muncul, sebaiknya dilakukan eksplorasi

(47)

melihat bagaimana kesiapan respon definite chromatic color

(FC) diproduksi atau diterima.

Berbeda dengan definite chromatic color (FC), dalam

pembentukan respon indefinite chromatic color (CF) subyek

lebih dipengaruhi oleh warna daripada bentuk. Respon indefinite

chromatic color (CF) mengindikasikan respon emosional yang

tidak terkontrol tetapi merupakan respon emosional yang

sesungguhnya dan sesuai dengan tuntutan realitas dari situasi

sosial.

Munculnya respon indefinite chromatic color (CF)

mengindikasikan hal positif juga negatif. Secara positif, respon

indefinite chromatic color (CF) mengindikasikan spontanitas

dan adanya kemampuan untuk menunjukkan reaksi emosional

tanpa kontrol yang berlebihan. Secara negatif, respon indefinite

chromatic color (CF) bisa berarti kurangnya kontrol terhadap

kemampuan responsif emosional. Kontrol yang cukup terhadap

kemunculan indefinite chromatic color (CF) ditunjukkan dengan

adanya respon FC atau M, FK, dan Fc. Tanpa adanya kontrol

yang cukup dari determinan lain, indefinite chromatic color

(CF) menunjukkan kecenderungan impulsif dan reaksi

emosional yang ditunjukkan secara tidak terkontrol.

Munculnya respon indefinite chromatic color (CF)

(48)

keragu-raguan dalam mengekspresikan respon. Tidak munculnya respon

indefinite chromatic color (CF) mengindikasikan kurangnya

interaksi emosional dengan lingkungan. Hal ini bisa disebabkan

oleh kontrol yang terlalu ketat atau kurangnya kemampuan

untuk merespon.

Adanya respon pure color (C) mengindikasikan

kurangnya kontrol emosi secara patologis, emosi meledak-ledak,

dan tergolong pemarah. Respon color naming (Cn)muncul pada

orang yang terbebani oleh dampak emosional dan tidak mampu

menanganinya dengan kotrol yang terintegrasi. Namun, ia tetap

berusaha mengontrol situasi tanpa membuat kontak yang nyata

dengan situasi (Klopfer, 1954). Untuk subyek dengan respon

color description (Cdes), ia mampu mengontrol ekspresi sehingga

terlihat terhambat. Subyek mengontrol emosi dengan cara tidak

menunjukkan perasaannya. Hampir sama dengan Cdes dan Cn,

-color symbol (Csym) memiliki unsur intelektual dalam kontrol

emosi.

Respon definite arbitrary color (F/C) menunjukkan

adanya disintegrasi antara perilaku dengan perasaan. Respon

yang dikeluarkan merupakan pemenuhan tuntutan situasi atau

lingkungan. Pola ini dapat ditemukan pada orang konvensional

dengan tatakrama yang baik, yang kurang menunjukkan emosi

(49)

Hipotesis ini baru bisa diterapkan jika jumlah respon F/C cukup

signifikan.

Serupa dengan hipotesis F/C, indefinite arbitraty color

(C/F) juga mengindikasikan perilaku yang tidak berkaitan

dengan emosi yang sesungguhnya. Perbedaannya terletak pada

seberapa besar kontrol yang terlibat (Klopfer, 1954). F/C

menunjukkan kontrol yang dangkal dan bisa diterima oleh sosial

sedangkan C/F menunjukkan kontrol yang tidak berhasil.

ii. Achromatic

Menurut Klopfer, secara umum, adanya respon warna

achromatic dianggap sebagai respon warna yang diperlembut.

Asumsi mengenai warna achromatic (C’) tidak cukup

dikembangkan dibandingkan dengan kategori determinan

lainnya.

Ketika skor C’ didominasi oleh hitam atau abu-abu, dapat diperkirakan adanya kecenderungan depresif. Jika ada

pengaruh dari bagian putih, hal ini bisa mengindikasikan

negativisme dan agresifitas. Keduanya dapat merepresentasikan

penarikan diri dan bentuk dari tidak responsif terhadap

(50)

d. Respon Shading

Shading responses diperoleh ketika subyek membentuk

persepsi menggunakan nuansa shading dari area bercak tinta baik

yang achromatic maupun chromatic. Shading responses terdiri dari

surface/texture response (c), diffusion vista response (K), dan

three-dimentional space projected on a two-three-dimentional plane (k).

Menurut Aronow, semua shading response dapat

diinterpretasikan sebagai adanya komponen kecemasan dalam

konteks kebutuhan afeksi dan cara pemuasannya. Penggunaan

shading dalam persepsi individu saat merespon bercak tinta

berkaitan dengan bagaimana subyek mengatasi kebutuhan keamanan

primer individu tersebut dan kebutuhan akan afeksi dan keterlibatan

(Klopfer, 1954).

i. Tekstur

Respon Tekstur diperoleh ketika subyek menggunakan

suatu kesan permukaan pada persepsi yang subyek bentuk dari

bercak tinta Rorschach. Seperti klasifikasi respon lainnya,

Respon Tekstur juga dibagi menjadi dua macam yaitu, definite

texture (Fc), indefinite texture (cF & c) . Fc diberikan ketika

efek permukaan atau tekstur sangat jelas atau dimana objek

tersebut merupakan permukaan atau tekstur dari objek dengan

(51)

bentuk yang tidak tentu dan perhatian subyek terfokus pada

permukaannya. c diberikan ketika subyek tidak menyatakan

bentuk apapun dan memfokuskan ketertarikannya pada efek

permukaan atau tekstur saja.

Respon Tekstur secara khusus menggambarkan

kebutuhan kontak dan kedekatan seseorang. Menurut Ainsworth

dan Klopfer, secara umum, penggunaan respon tekstur

menindikasikan ekspresi terhadap kesadaran akan kebutuhan

afeksi.

Pada penelitian Cassella dan Viglione (2009), respon

tekstur pada Tes Rorschach berhubungan dengan teori

attachment. Secara spesifik, respon tekstur pada Tes Rorschach

berhubungan dengan tipe secure attachment. Namun, dalam

penelitian tersebut, Cassella dan Viglione tidak mengungkapkan

hubungan respon tekstur pada Tes Rorschach dengan tipe

insecure attachment. Berdasarkan hasil penelitian Marsh dan

Viglione, dalam Cassella dan Viglione (2009), terhadap respon

Tekstur dengan dependensi interpersonal, respon Tekstur secara

positif dan signifikan berhubungan dengan pemrosesan

informasi taktil dan perilaku.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, Fc merefleksikan

ketertarikan terhadap bentuk taktil dan kualitas tekstur dari

(52)

dikatakan cenderung pasif dan suka menyenangkan orang lain,

tidak agresif, dan tergolong orang yang secara sensitif peka

terhadap perasaan orang lain. Individu tersebut dapat dikatakan

cenderung memiliki kebutuhan kekanak-kanakan akan

kedekatan terhadap orang lain. Aronow mengemukakan

interaksi sosial orang dengan Fc yang mendominasi cenderung

terkontrol dan cukup bijakasana. Ainsworth dan Klopfer juga

mengemukakan bahwa Fc yang dominan mengindikasikan sifat

kekanak-kanakan yang sudah diperhalus dan perwujudannya

terkontrol.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon Fc

mengindikasikan kesadaran dan penerimaan terhadap kebutuhan

afeksi dalam konteks keinginan untuk diterima, keikutsertaan

dan keinginan akan respon dari orang lain. Ainsworth dan

Klopfer juga mengemukakan hal yang sama dengan Aronow

bahwa orang dengan respon Fc yang dominan cenderung

memuaskan orang lain tetapi diperhalus melalui dorongan

terhadap kontak fisik. Ini merupakan perkembangan untuk

pembentukan object relation yang dalam dan penuh makna dan

ini hanya muncul ketika kebutuhan keamanan dasar sudah

terpenuhi.

cF dan c menggambarkan kebutuhan untuk bergantung

(53)

pada subyek mengindikasikan ketidakdewasaan pandangan serta

kontrol.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon cF

menunjukkan adanya kebutuhan awal akan kedekatan yang

cenderung kasar. Adanya respon cF mengindikasikan

kebutuhan untuk dimanjakan dan dipegang serta ketergantungan

pada orang lain dalam bentuk yang kekanak-kanakan. Selain itu,

Ainsworth dan Klopfer mengemukakan bahwa munculnya cF

menunjukkan akan adanya kegagalan yang berat terhadap

kebutuhan afeksi pada masa awal kanak-kanak. Hal ini menjadi

masalah yang berlanjut karena tidak pernah terpuaskan.

Ketidakmunculan cF dapat diartikan adanya kebutuhan

afeksi yang sudah memburuk karena kekurangan, dan memiliki

kapasitas hubungan afeksi yang lemah, atau kekurangan tersebut

mengakibatkan kecemasan sehingga subyek harus melindungi

dirinya sendiri dari kesadaran akan kebutuhannya terhadap

keamanan afeksi dengan represi atau mekanisme penolakan.

ii. Diffusion Vista

Respon definite diffusion vista (FK) diperoleh ketika

subyek menggunakan pandangan dan menggambarkan jarak

antara beberapa objek dalam satu persepsi. Untuk respon dengan

(54)

diberikan adalah indefinite diffusion vista (KF). Untuk skor K,

diberikan pada respon tanpa objek atau suatu bentuk, hanya

untuk respon yang lebih menekankan kesan jarak atau ruangan

yang mencakup suatu suasana, seperti kabut atau ruangan yang

mencakup kegelapan.

Menurut Klopfer, K dan KF mengindikasikan frustrasi

akan kepuasan afeksi. Kemunculan K dan KF dianggap biasa

karena kegagalan dalam afeksi terjadi secara umum dan setiap

orang bisa kurang lebih mengalami kecemasan akan hal ini.

Kemunculan respon K patut diperhatikan ketika jumlahnya lebih

dari tiga atau ketika K dan KF melebihi jumlah FK (Klopfer,

1954).

FK mengindikasikan adanya upaya subyek untuk

menangani kecemasan afeksi dengan usaha-usaha introspektif,

dengan melihat masalah secara obyektif dengan memperoleh

perspektif terhadap masalah, dengan mengambil jarak dari

masalah sehingga bisa melihat lebih obyektif.

iii. Three-dimentional space projected on a two-dimentional plane

Respon ini diperoleh ketika subyek memproyeksikan

benda tiga dimensi di bidang dua dimensi seperti x-ray atau peta

topografi. Jika subyek menggambarkan hasil x-ray bagian tubuh,

(55)

diberikan. Namun, jika bagian tubuh, bagian pulau atau negara

tidak digambarkan dengan spesifik, maka skor kF yang

diberikan. Untuk pemberian skor k hanya diberikan jika subyek

hanya menyatakan kesan yang kurang jelas terhadap persepsi

proyeksi tiga dimensi di bidang dua dimensi tanpa ada obyek

yang disebutkan.

3. Proporsi Kuantitatif

Pada penjelasan di atas, Klopfer telah mengelompokkan determinan

secara terpisah. Deskripsi utuh mengenai kepribadian seseorang dapat

diperoleh setelah sequence analysis. Namun, penghitungan dengan proporsi

kuantitatif dapat memperkuat dan memberi gambaran yang membentuk

interpretasi kualitatif dengan sequence analysis (Klopfer, 1954).

Proporsi kuantitatif merupakan hubungan perbandingan antara

determinan-determinan yang merujuk pada relasi dengan organisasi

kepribadian. Proporsi kuantitatif ini berhubungan dengan inner resource

and impulse life, organisasi kebutuhan afeksi, constrictive control,

reaktivitas emosi terhadap lingkungan, dan aspek intelektual.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa proporsi

kuantitatif untuk memperkuat bentuk korelasi dimensi anxiety attachment

dan dimensi avoidant attachment dengan determinan Rorschach. Proporsi

(56)

berkaitan dengan organisasi kebutuhan afeksi dirasa bisa menggambarkan

aspek-aspek yang menyusun dimensi-dimensi attachment.

a. Proporsi yang berkaitan dengan inner resource dan impulse life

i. Rasio M:FM

a. FM > 2M

Individu dengan skor FM yang lebih banyak dari skor

dua kali skor M menandakan orang tersebut memiliki

kebutuhan yang harus dipenuhi dengan segera dibanding

dengan tujuan jangka panjang (Klopfer, 1954).

b. M > FM

Ketika skor M melebihi skor FM, menandakan

kehidupan dorongan individu tersebut lebih rendah dari sistem

nilainya. Ketika jumlah FM tidak kurang dari 11/2 jumlah M

dapat dikatakan adanya hubungan yang optimal antara

pengakuan terhadap keadaan dorongan dengan integrasi

dengan sistem nilai. Individu ini dapat dikatakan memiliki

penerimaan diri dan kapasitas untuk menahan pemenuhan

kebutuhan tanpa kegagalan, konflik dan penahanan yang tidak

semestinya. Sebaliknya, orang dengan jumlah FM yang kurang

dari setengah jumlah M dan atau tidak ada FM sama sekali,

(57)

kesadaran daripada mengintegrasikannya. Hal ini dapat

berdampak pada tegangan dan konflik dalam diri, kontrol yang

berlebihan dan kurangnya spontanitas (Klopfer, 1954).

c. M = FM

Ketika jumlah M sama banyaknya dengan jumlah FM,

dorongan dikatakan tidak berkonflik dengan sistem nilai.

Dorongan juga tidak bertentangan dengan perkembangan

sistem nilai, maupun sebaliknya.

Keadaan ini menunjukkan kematangan dan kedewasaan

individu dengan sistem nilai yang berkembang dengan baik.

Hal ini berdampak pada adanya kontrol beriringan dengan

tetap adanya penerimaan yang mudah terhadap dorongan

dalam diri dan gambaran diri yang bahagia.

d. FM antara 1M dan 2M

Dalam rasio ini, tingkat infantil tidak sama dengan

FM>2M. Dalam keadaan ini seseorang dapat dikatakan dalam

batas normal (Klopfer, 1954).

e. M dan FM dalam jumlah sedikit

Rasio ini menunjukkan tidak adanya pengakuan

(58)

pemikiran jangka panjang atau khayalan lari dari kenyataan.

Perkembangan ego untuk individu pada rasio ini diperkirakan

sangat kurang (Klopfer, 1954).

ii. Rasio M : (FM + m)

Jumlah FM + m seharusnya tidak lebih dari 1 ½ M. Jumlah

FM + M yang lebih besar mengindikasikan tegangan yang terlalu

kuat untuk mengizinkan seseorang menggunakan sumber-sumber

dalam dirinya untuk solusi yang konstruktif bagi masalah

sehari-hari. Jika jumlah FM + m mendekati dan atau setara dengan M dan

tidak lebih dari satu atau dua m, implikasinya adalah dorongan

dapat teratasi dan terintegrasi dengan baik dengan sistem nilai dan

individu tersebut mampu menggunakan sumber-sumber dalam

dirinya untuk memberikan stabilitas dan kontrol.

b. Proporsi yang terkait dengan organisasi kebutuhan afeksi

i. Rasio definite shading respose dengan undefinite shading response

Ketika jumlah K, KF, k, kF, c dan cF melebihi jumlah Fc

dan FK mengindikasikan adanya integrasi yang buruk antar

(59)

ii. Rasio F : (FK+ Fc)

a. (FK+Fc) > ¾ F

Rasio ini mengindikasikan kebutuhan afeksi yang

berkembang dengan luas hingga mengancam keseluruhan

kepribadian. Pengalaman penolakan pada masa kanak-kanak

memicu kebutuhan untuk menerima afeksi dan mencari respon

dari orang lain memainkan peran yang yang tidak seharusnya

dalam perilaku yang mempengaruhi (Klopfer, 1954).

b. FK+Fc = ¼ - ¾ F

Rasio ini menggambarkan kebutuhan afeksi yang

berkembang dengan baik dan terintegrasi dengan baik dengan

organisasi kepribadian. Hal ini menunjukkan adanya fungsi

kontrol yang sensitif, membantu individu dalam interaksinya

dengan orang lain tanpa mengakibatkan ketergantungan yang

berlebihan terhadap respon dari orang lain (Klopfer, 1954).

c. (FK+Fc) < ¼ F

Rasio ini menggambarkan adanya kecenderungan

denial, represi dan kurang berkembangnya kebutuhan afeksi.

Hal ini diperkirakan sebagai kelanjutan dari pengalaman

penolakan yang cukup serius sehingga mengganggu

(60)

iii. Rasio Respon Achromatic dan Respon Chromatic

a. Achromatic = Dua Kali Chromatic

Ketika jumlah respon achromatic melebihi jumlah

chromatic, responsivitas individu di luar stimulasi telah

dipengaruhi pengalaman traumatik dan menghasilkan

kecenderungan penarikan diri. Implikasinya adalah kebutuhan

akan respon afeksi yang tergolong cukup besar dari orang

sehingga reaksi emosinya terhambat. Hal ini dikarenakan

individu merasa takut tersakiti dan mengakibatkan sifat

hati-hati yang berlebihan dalam kontak emosional.

b. Achromatic = ½ Chromatic

Dalam rasio ini, kebutuhan afeksional tidak terlalu

mempengaruhi responsivitas natural terhadap situasi emosional

dan kemampuan berinteraksi dengan lingkingan sosial.

c. Achromatic < ½ Chromatic

Dalam rasio ini, seseorang cenderung menunjukkan

perasaannya dengan berlebihan. Hal ini dikarenakan ia merasa

(61)

c. Proporsi berkaitan dengan reaktivitas emosi terhadap lingkungan

i. Ratio FC : (CF+ C)

Ketika jumlah FC melebihi CF+C, seseorang dapat

dikatakan mampu mengontrol respon terhadap lingkungan sosial,

mampu merespon dengan tindakan dan perasaan yang sesuai.

Selain itu, ia dapat dikatakan mampu merespon secara mendalam

dan sungguh-sungguh terhadap dampak emosi yang kuat.

Sebaliknya ketika jumlah CF+C melebihi FC, seseorang

memiliki kontrol yang lemah terhadap emosinya dan cenderung

berlebihan dalam menunjukkan ekspresinya.

C. Hipotesis

Peneliti melihat adanya kemungkinan korelasi antara dimensi

attachment dengan determinan Rorschach berdasarkan teknik analisis

kuantitatif yang digunakan oleh Klopfer. Penelitian yang terdahulu

menemukan adanya korelasi antara dimensi attachment dengan penanda

Rorschach berdasarkan teknik Comprehensive System Scoring (Exner,

2001).

Asumsi yang mendorong penelitian ini berawal dari interpretasi

determinan Rorschach yang bersinggungan dengan komponen-komponen

attachment. Berdasarkan interpretasi skor tunggal determinan Rorschach

dengan teknik analisis kuantitatif Klopfer, Rorschach dapat

(62)

ketergantungan pada orang lain, kebutuhan kontak dan kedekatan dengan

orang lain, juga bentuk responsivitas terhadap orang lain.

Interpretasi terhadap skor tunggal diperkuat dengan interpretasi

skor proporsi. Proporsi yang diasumsikan berhubungan dengan dimensi

attachment adalah proporsi berkaitan dengan inner resource dan impulse

life, proporsi berkaitan dengan organisasi kebutuhan afeksi, proporsi

(63)

44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data diolah dengan

menggunakan analisis korelasional. Skor dimensi anxiety dan avoidance

dikorelasikan dengan persentase skor determinan Rorschach berdasarkan

teknik Klopfer.

Peneliti memilih jenis penelitian kuantitatif karena pendekatan

Rorschach yang digunakan adalah analisis kuantitatif Klopfer. Dalam melihat

adanya korelasi atau hubungan, data respon Rorschach yang diperoleh diubah

ke dalam bentuk angka sebagai kuantitas determinan.

B. Subyek Penelitian

Teknik sampling yang digunakan adalah convenience technique

sampling. Subyek diambil berdasarkan kesediaan subyek. Subyek belum

pernah mengenal Tes Rorschach sebelumnya. Teknik sampling ini digunakan

karena peneliti menitikberatkan pada alat tes yang bersifat harus netral dan

obyektif. Dalam hal ini, peneliti hanya membatasi subyek penelitian dengan

kategori usia perkembangan dewasa awal.

Subyek penelitian berjumlah 44 orang dewasa awal yang terdiri dari

(64)

sudah menyelesaikan S1, 59% merupakan mahasiswa S1, 9% merupakan

mahasiswa S2.

C. Definisi Operasional Penelitian 1. Tes Rorschach

Subyek dites Rorschach secara individu. Pengetesan dilakukan

oleh peneliti dibantu oleh dua mahasiswa tingkat akhir yang sudah

menggambil mata kuliah Rorschach dan pernah menjadi asisten

matakuliah Rorschach. Subyek diminta untuk mengungkapkan apa saja

yang melintas di pikiran subyek ketika melihat bercak-bercak tinta

Rorschach. Tester menekankan bahwa bercak tinta tersebut tidak dibuat

untuk menyerupai suatu apapun sehingga tidak ada jawaban yang benar

maupun salah sehingga subyek bebas untuk mengungkapkan apapun.

Pengetesan seluruhnya dilakukan di Ruang Observasi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

Dalam pengetesan Rorschach, tes dibagi menjadi tiga tahap yaitu,

rapport, association, dan inquiry. Testing-the-limits baru dilakukan jika

diperlukan. Teknik pengetesan sampai proses skoring yang digunakan

mengikuti teknik Klopfer dan analisis kuantitatif.

Data Tes Rorschach yang telah dicatat selama proses pengetesan

masih berbentuk data mentah berupa respon subyek. Respon tersebut

kemudian dikategorisasikan berdasar acuan skoring Tes Rorschach

(65)

interrater. Setelah skor dari keduanya sudah dicocokan, setiap skor dari

keseluruhan respon diakumulasi per kategori sehingga didapatkan jumlah

setiap kategori (sub-determinan). Untuk mendapatkan data yang

seimbang, setiap total skor sub-determinan dibagi dengan jumlah

keseluruhan respon sebagai prosentase sub-kategori. Bentuk skor itu

yang kemudian diolah dan dikorelasikan dengan skor dimensi

attachment.

2. PAM (Psychosis Attachment Measure)

Pengukuran attachment pada penelitian ini menggunakan

self-report Psychosis Attachment Measure (PAM). Alat ukur ini terdiri dari

16 item skala Likert 4-poin yang terbagi menjadi dua dimensi yaitu,

dimensi anxiety dan avoidance. Kelebihan alat ini adalah mengukur adult

attachment pada hubungan dekat dengan seseorang secara umum, bukan

hanya hubungan romantis (Berry, 2007). Alat ini berisi perasaan, pikiran

dan perilaku dalam hubungan dekat dengan seseorang secara umum.

PAM diciptakan dalam Bahasa Inggris oleh Katherine Berry.

Reliabilitas dimensi anxiety dalam Bahasa Inggris α = .83, sedangkan untuk dimensi avoidant dalam Bahasa Inggris α = .79. Untuk kepentingan penelitian ini, PAM diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh

dua orang penerjemah yang belum pernah mengenal alat ini sebelumnya.

Kedua versi Bahasa Indonesia tersebut di diskusikan dan disesuaikan

Gambar

Tabel 1.  PAM Versi Bahasa Indonesia .............................................................
gambar binatang maupun sesuatu yang berbentuk binatang. Namun,
Tabel. 1
Uji NormalitasTabel 2.
+5

Referensi

Dokumen terkait

3 Persetujuan dosen untuk seminar (ditanda tangani pembimbing). 4 Mendaftar seminar

GAMBAR 7 : Peta Desa Perkebunan Ramunia. Universitas

'dewasa ini sudah semakin l,ras mencakup FIAM sipil Potit-ik, FLAM Ekosob, daa IIAM atqs pembangunan- Salah sxu bentuk prkembangan konsep HAM adalah mengenai

Pakan campuran daging udang dan selada menunjukkan hasil yang paling baik terhadap pertumbuhan panjang mutlak ikan badut, diduga karena daging udang dan selada

Dengan demikian, lebih banyak barang yang diinginkan untuk dibeli merupakan barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif), dan bahkan

Pemodelan dapat diartikan sebagai upaya pemberian model (contoh) yang berhubungan dengan materi dan aktivitas pembelajaran yang dilakukan siswa (Nuryatin, 2010,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kekumuhan di permukiman pesisir Kampung Tua Tanjung Riau adalah aksesibilitas yang terbatas, sebagian jalan

The Windows Phone 7 SDK offers five Silverlight project templates in Visual Studio: a standard phone application, databound application, phone class library, panorama