• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi determinan tes rorschach dengan attachment orang dewasa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi determinan tes rorschach dengan attachment orang dewasa."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Veronika Virly Yuriken

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara determinan-determinan Tes Rorschach (dengan teknik Klopfer) dengan dimensi pada attachment pada orang dewasa. Subyek penelitian ini adalah 44 orang dewasa dengan usia 19-33 tahun (21 pria & 23 wanita). Penelitian ini menggunakan self-report measurement PAM (Psychosis Attachment Measure) yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (anxiety α =.762; avoidance α = .554). Subyek mengisi skala 16-aitem PAM versi Bahasa Indonesia dan di tes menggunakan Tes Rorschach secara individu. Dari penelitian ini daitemukan bahwa dimensi anxiety attachment memiliki arah korelasi baik positif maupun negatif dengan determinan Tes Rorschach meskipun tidak secara signifikan. Dimensi avoidance attachment memiliki korelasi positif dengan determinan achromatic color dan

pure color secara signifikan. Peneliti mengemukakan tambahan bagi teori attachment untuk dimensi axiety attachment dikatakan adanya ambang batas yang rendah terhadap stress dan ketidakberdayaan menghadapi tekanan dari luar. Dimensi avoidance attachment dikatakan berkaitan dengan sifat assertive dan kondisi tidak responsif terhadap lingkungan, serta adanya kontrol emosi yang kurang baik sehingga menyebabkan ledakan-ledakan emosi.

(2)

CORRELATION OF RORSCHACH DETERMINANT WITH ADULT ATTACHMENT

Veronika Virly Yuriken

ABSTRACT

The aim of this research is to find out an association between Rorschach determinant

(Klopfer’s technique) with dimensions of adult attachment. The subject of the research are 44 adult between 19 – 33 years old (21 men and 23 women). This research used self-report PAM (Psychosis Attachment Measure) which translated into Bahasa Indonesia (anxiety α =.762;

avoidance α = .554). Subjects completed 16-items translated PAM and tested with Rorschach individualy. In this research found that dimension of anxiety attachment was tend to have possitive correlation and negative correlation with Rorschach determinants, but not significant. Dimension of avoidance attachment was significantly associated with achromatic color determinant and pure color determinant. These findings could give additional description for attachment theory. Anxiety attachment described as a low stress tolerance and feeling of helplessness to face enviromental forces. Avoidance attachment described as a tendency of assertiveness, unresponsiveness to environments and lack of emotional control that leads to explosive emotional behaviour.

(3)

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Veronika Virly Yuriken

099114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Veronika Virly Yuriken

099114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

l i m i t l e s s

e x p e c t l e s s

(8)

v

Simply Dedicated to

M

other of

E

arth

Beb

&

Cantik

(9)
(10)

viii

KORELASI DETERMINAN TES RORSCHACH DENGAN ATTACHMENT ORANG DEWASA

Veronika Virly Yuriken

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara determinan-determinan Tes Rorschach (dengan teknik Klopfer) dengan dimensi pada attachment pada orang dewasa. Subyek penelitian ini adalah 44 orang dewasa dengan usia 19-33 tahun (21 pria & 23 wanita). Penelitian ini menggunakan self-report measurement PAM (Psychosis Attachment Measure) yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (anxiety α =.762; avoidance α = .554). Subyek mengisi skala 16-aitem PAM versi Bahasa Indonesia dan di tes menggunakan Tes Rorschach secara individu. Dari penelitian ini daitemukan bahwa dimensi anxiety attachment memiliki arah korelasi baik positif maupun negatif dengan determinan Tes Rorschach meskipun tidak secara signifikan. Dimensi avoidance attachment memiliki korelasi positif dengan determinan achromatic color dan

pure color secara signifikan. Peneliti mengemukakan tambahan bagi teori attachment untuk dimensi axiety attachment dikatakan adanya ambang batas yang rendah terhadap stress dan ketidakberdayaan menghadapi tekanan dari luar. Dimensi avoidance attachment dikatakan berkaitan dengan sifat assertive dan kondisi tidak responsif terhadap lingkungan, serta adanya kontrol emosi yang kurang baik sehingga menyebabkan ledakan-ledakan emosi.

(11)

viii

CORRELATION OF RORSCHACH DETERMINANT WITH ADULT ATTACHMENT

Veronika Virly Yuriken

ABSTRACT

The aim of this research is to find out an association between Rorschach determinant

(Klopfer’s technique) with dimensions of adult attachment. The subject of the research are 44 adult between 19 – 33 years old (21 men and 23 women). This research used self-report PAM (Psychosis Attachment Measure) which translated into Bahasa Indonesia (anxiety α =.762;

avoidance α = .554). Subjects completed 16-items translated PAM and tested with Rorschach individualy. In this research found that dimension of anxiety attachment was tend to have possitive correlation and negative correlation with Rorschach determinants, but not significant. Dimension of avoidance attachment was significantly associated with achromatic color determinant and pure color determinant. These findings could give additional description for attachment theory. Anxiety attachment described as a low stress tolerance and feeling of helplessness to face enviromental forces. Avoidance attachment described as a tendency of assertiveness, unresponsiveness to environments and lack of emotional control that leads to explosive emotional behaviour.

(12)
(13)

x

KATA PENGANTAR

Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk memberikan sesuatu bagi ilmu pengetahuan. Berkat Yang Maha Kuasa menjadi kekuatan bagi penulis

selama proses penyusunan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma. Berkat-Nya turun melalui tangan-tangan orang di sekitar penulis. Dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Yang Maha Kuasa, atas segala penyertaan serta keajaiban-keajaiban kecil yang banyak sekali.

2. Alm. Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si. yang pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Beliau menjadi inspirasi bagi

penulis.

3. Victorius Didik Suryo Hartoko, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang

membantu proses pengerjaan skripsi dari awal hingga akhir. 4. Dr. Tjipto Susana, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik.

5. Mas Muji & Mas Doni, selaku karyawan Laboratorium Psikologi serta

teman-teman asisten Laboratorium Psikologi yang dengan sangat baik membantu proses pengambilan data, terutama saat pengetesan Rorschach,

yang berusaha menyisipkan jadwal pengetesan dan peminjaman alat juga ruangan untuk penelitian ini.

6. Segenap Dosen dan Karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

(14)

xi

7. Si Beb & Cantik yang selalu mendukung saya entah sekuat apa mereka berdoa dan bekerja keras untuk kelancaran studi saya.

8. Para sahabat, Ita Banana, Boni Dolphina, Riri, yang selalu ada, menjadi semangat yang sangat hidup dan nyata. Agung, Centus, Ajeng, Vanida, Veta,

Asela, Dunde, yang tidak pernah bosan memberi semangat.

9. Cik Anne, selaku interrater dalam penelitian ini. Terima kasih banyak atas waktu dan usahanya. Maria Wulandari, Erda Kurniawan, Sr. Lucy, Widiana,

selaku penerjemah skala.

10.Para subyek, baik yang berpartisipasi dalam uji coba skala maupun yang

menyediakan waktunya untuk berpartisipasi sebagai testee. Penelitian ini tidak akan terwujud tanpa bantuan kalian.

11.Teman-teman Psikologi Universitas Sanata Dharma ’09, atas kebersamaan

dan keunikan kalian.

12.Semua tarian di sela-sela proses pengerjaan skripsi.

13.Pantai-pantai sebagai pelarian dan pemberi kesegaran pikiran. Gunung-gunung sebagai penguat motivasi dan sebagi guru atas kerja keras dan ketekunan.

14.Ajel, yang memaksa skripsi dan studi ini untuk selesai.

15.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah mengisi

ulang semangat dan secara tidak langsung berperan dalam penelitian ini.

Peneliti terbuka akan saran dan kritik dari pembaca dengan harapan

(15)

xii

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, masyarakat dan demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar.

Yogyakarta, 16 Januari 2014

(16)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.. ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Bagi Ilmu Pengetahuan ... 8

2. Bagi Subyek Penelitian ... 8

(17)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Attachment ... 10

1. Sejarah Teori Attachment ... 10

2. Proses Mental Pembentukan Attachment ... 11

3. Anxiety & Avoidance Attachment ... 14

4. Pengukuran Attachment... 16

B. Tes Rorschach ... 17

1. Definisi ... 17

2. Determinan Tes Rorschach ... 18

a. Respon Form (F) ... 20

b. Respon Movement ... 21

c. Respon Color... 25

d. Respon Shading ... 31

3. Proporsi Kuantitatif ... 36

a. Proporsi yang Berkaitan dengan Inner Resource dan Impulse Life ... 37

b. Proporsi yang Terkait dengan Organisasi Kebutuhan Afeksi 39 c. Proporsi Berkaitan dengan Reaktivitas Emosi Terhadap Lingkungan... 42

C. Hipotesis ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

(18)

xv

C. Definisi Operasional Penelitian ... 45

1. Tes Rorschach ... 45

2. PAM (Psychosis Attachment Measure ... 46

3. Variabel Penelitian ... 47

4. Prosedur Penelitian ... 49

5. Analisis Statistik ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil Penelitian ... 52

1. Uji Asumsi ... 52

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Linearitas ... 52

2. Uji Hipotesis ... 53

a. Korelasi dengan Skor Tunggal Determinan Tes Rorschach ... 53

i. Dimensi Anxiety Attachment... 54

ii. Dimensi Avoidance Attachment ... 55

b. Korelasi dengan Skor Prorporsi Determinan Tes Rorschach .. 57

B. Pembahasan ... 60

1. Dimensi Anxiety Attachment ... 60

2. Dimensi Avoidance Attachment ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

(19)

xvi

(20)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. PAM Versi Bahasa Indonesia ... 48 Tabel 2. Uji Normalitas ... 52

Tabel 3. Statistik Deskripsi ... 54 Tabel 4. Korelasi Dimensi Attachment dengan Skor Tunggal Determinan Tes

Rorschach ... 56

(21)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. PAM Bahasa Inggris... 71

Lampiran 2. PAM Bahasa Indonesia ... 74

Lampiran 3. Pengantar Kuisioner PAM ... 77

Lampiran 4. Lembar Inkuiri Tes Rorschach ... 79

Lampiran 5. Scatter Plots... 84

Lampiran 6. Linearitas Data... 95

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa penelitian yang terkait dengan attachment pada orang dewasa cenderung melihat dalam bentuk hubungan percintaan. Pada

kenyataanya, manusia memiliki banyak relasi yang cukup dekat di luar relasi percintaan. Pola attachment seseorang mempengaruhi setiap relasi

interpersonal dan bagaimana ia melihat dunia. Dalam penelitian Hill et al (2011), dikemukakan bahwa orang dengan disfungsi hubungan percintaan juga mengalami disfungsi dalam hubungan sosial lainnya, seperti hubungan

pertemanan (Hill, Harrington, Fudge, Rutter, & Pickles, 1989). Maka pengukuran attachment secara umum dirasa penting dengan tujuan

mengetahui pola attachment dengan asumsi dapat memprediksi dan memberi gambaran mengenai bagaimana pola attachment seseorang.

Teori attachment mengemukakan bahwa manusia memiliki kebutuhan

universal akan ikatan afeksi yang dekat. Attachment mulai dibentuk sejak bayi dan tumbuh atas dasar hubungan antara bayi atau anak dengan orang tua

terutama peran ibu. Menurut Bowlby, bayi dan anak kecil perlu mengembangkan ketergantungan yang aman terhadap orang tua sebelum berusaha menghadapi situasi yang tidak familiar. Bowlby juga

(23)

anak kecil sebaiknya mengalami hubungan yang hangat, intim dan terus-menerus dengan ibu mereka atau peran ibu pengganti yang mana keduanya

menikmati dan mendapatkan kepuasan. (Bowlby, 1951, p. 13).

Pola attachment seseorang cenderung stabil dari masa ke masa

(Snyder, Lopez, & Pedrotty, 2011). Kestabilan dan kontinyuitas pola attachment dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, terutama lingkup keluarga (Feeney, 1996). Ketika sudah dewasa, seseorang bisa ambil bagian menjadi

lingkungan bagi anak dan menjadi orang tua atau pengasuh. Maka dari itu, pengukuran untuk mengetahui pola attachment pada orang dewasa dirasa

penting. Selain attachment mempengaruhi pola hubungan seseorang, pola attachment seseorang juga mempengaruhi pembentukan attachment pada anak atau bayi yang diasuh.

Peneliti melakukan upaya-upaya untuk mengukur pola attachment pada orang dewasa. Hazan & Shaver (1987) mengukur attachment pada orang

dewasa dengan Forced-Choice Measure of Attachment Style. Alat ini dinilai sangat terbatas dalam mengukur attachment (Feeney, 1996) tetapi alat ini tergolong populer pada masanya. Pengukuran tersebut kemudian

dikembangkan oleh Levy & Davis (1988) dengan menggunakan bentuk skala Likert dengan tiga pilihan. Pengukuran versi Levy & Davis kemudian

menjadi lebih lengkap menderkripsikan pola attachment orang dewasa (Feeney, 1996).

Sebelumnya, George, Kaplan, & Main (1985) menyusun Adult

(24)

dewasa terhadap anak yang diasuh. Dalam penggunaannya, peneliti harus mengimbangi dengan Strange Situation untuk mengetahui pola attachment

anak yang dilakukan enam tahun sebelumnya (Feeney, 1996). Pengukuran ini dirasa kurang efisien dan membutuhkan orang yang sungguh-sungguh terlatih

dan menguasai dengan baik, baik untuk administrasi maupun proses skoring. Sejauh ini pengukuran attachment masih menggunakan metode self-report. Sedangkan, self-report measure untuk pengukuran attachment

dianggap kurang dapat menjangkau ketidaksadaran yang sesuai dengan aspek attachment karena self-report measure diisi dengan kesadaran penuh

(Crowell & Treboux, 1995; Hesse, 1999; Jacobvitz, Curran, & Mollen, 2002; Berant & Mikulincer dkk, 2005). Dengan kesadaran penuh, seseorang kurang dapat merefleksikan kondisi ketidaksadarannya. Terlebih lagi, pembentukan

attachment dimulai dari masa kecil seseorang, dimana pengalamannya terinternalisasi tanpa disadari.

Ketidak-puasan akan alat ukur attachment dengan menggunakan self-report menstimulasi sejumlah peneliti seperti Casella & Viglione, Berant & Mikulincer untuk mengkaitkannya dengan alat test yang dapat menjangkau

ketidaksadaran, salah satunya dengan teknik proyektif Test Rorschach. Peneliti memilih tes Rorschach untuk mengukur attachment karena tes

Rorschach merupakan tes proyeksi dengan asosiasi bebas yang dapat menjangkau kondisi ketidaksadaran sehingga bisa meminimalisir kesalahan akibat faking dari subyek. Dari konten analisis dan interpretasi yang

(25)

seseorang merespon lingkungan. Selain itu, analisis secara kuantitatif Tes Rorschach dengan teknik Klopfer lebih sesuai dan dibutuhkan dalam

penelitian ini terkait dengan efisinsi dan efektivitas penelitian. Keputusan penggunaan Tes Rorschach juga didukung oleh hasil survey Musewicz dan

keterangan dari APA. Dari survey yang dilakukan oleh Musewicz dkk (2009), Rorschach dinyatakan sebagai tes yang efektif sebagai alat ukur kepribadian. Survey ini dilakukan pada 215 psikolog anggota SPA (Society for Personality

Assessment) dan APA (American Psychological Association) via internet. Adanya beberapa studi dan penelitian mengenai Tes Rorschach

menstimulasi peneliti untuk meneliti Tes Rorschach, secara spesifik terhadap determinan pada Tes Rorschach dengan pendekatan analisis kuantitatif Klopfer. Beberapa penelitian mengenai attachment dengan Tes Rorschach

sudah pernah dilakukan. Beragamnya pendekatan analilis terhadap Tes Rorschach membuka peluang penelitian lebih lanjut terhadap fungsi dan

kepekaan alat ini di dunia psikologi. Ketidakpuasan pengukuran attachment menggunakan self-report juga menstimulasi peneliti untuk mencari kaitan

antara determinan Tes Rorschach dengan attachment.

Berant dan Mikulincer, dkk (2005) menemukan adanya hubungan antara self-report anxiety attachment dengan skor Rorschach yang

(26)

menggunakan Rorschach dengan sistem administrasi dan skoring Exner

(2001) yaitu Exner’s Comprehensive System.

Cassella dan Viglione (2009) menemukan hubungan antara respon Tekstur pada Tes Rorschach dengan pola attachment. Penelitian tersebut

dilaksanakan di Massachusetts dengan 40 partisipan laki-laki dan 39 partisipan perempuan. Secara spesifik, respon tekstur pada Tes Rorschach dengan teknik Exner’s Comprehensive System berasosiasi dengan secure

attachment. Skor Tekstur = 1 berasosiasi dengan pola secure attachment, skor Tekstur > 1 berasosiasi dengan pola preoccupied attachment, dan skor

Tekstur = 0 berasosiasi dengan aspek avoidance dan absen pola secure attachment.

Hasil dari penelitian Berant & Mikulincer dkk (2005)

mengindikasikan self-report measure untuk attachment anxiety dan avoidance secara koheren berhubungan dengan penanda Rorschach yang

sudah dipilih secara teoritis, dan korelasi antar konstruk tergolong lemah dan kurang signifikan. Penelitian Berant & Mikulincer dkk melibatkan 57 subyek wanita dan 15 laki-laki Israel dengan rentang usia 19-57 tahun. Penelitian ini

dilakukan di Israel. Self-report measure pada attachment anxiety dan avoidance berhubungan dengan Tes Rorschach dengan teknik Exner’s

(27)

Sampai sekarang penelitian mengenai Exner’s Comprehensive System masih berlanjut guna menetapkan validitas dan reliabilitas metode ini.

Pertimbangan etis dan praktis (American Psychology Assossiation, 1985) masih meragukan hasil dari metode CS yang validitas dan reliabilitasnya

belum ditetapkan (Wood, Nexworski, & Stejskal, 1996). Di samping itu, alasan peneliti menggunakan sistem yang terdahulu karena Exner sendiri pernah menyatakan bahwa sistem ini harus digunakan secara keseluruhan

atau tidak sama sekali (Aronow, Rexnikoff, & Moreland, 1994). Maka dari itu peneliti memutuskan untuk menggunakan teknik Klopfer.

Tes Rorschach terdiri dari determinan, content, location, popular response dan form level. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis kaitan attachment dengan determinan Tes Rorschach karena determinan Tes

Rorschach banyak menggambarkan aspek kebutuhan afeksi, memiliki lebih banyak klasifikasi secara detil dan memiliki kemungkinan jumlah skor lebih

variatif dan lebih banyak dibanding dengan kategori penyusun lainnya. Determinan dalam Tes Rorschach antara lain form, movement, shading, color. Peneliti memilih anxiety & avoidance karena attachment bergerak

dari tinggi rendahnya tingkat anxiety & avoidance. Semakin tinggi tingkat anxiety, avoidance, atau anxiety & avoidance, seseorang tergolong memiliki

insecure attachment. Sebaliknya, semakin rendah tingkat anxiety & avoidance, seseorang tergolong memiliki secure attachment.

Dengan mengkaitkan determinan-determinan pada Tes Rorschach

(28)

penelitian ini dapat menambah gambaran anxiety & avoidance attachment dan memperjelas makna anxiety & avoidance attachment melalui interpretasi

dari determinan-determinan tersebut. Dalam penelitian Feeney & Noller (1990), attachment dapat menggambarkan pola hubungan percintaan.

Maunder & Hunter mengemukakan bahwa adult attachment terbukti berguna dalam menggambarkan perilaku menyimpang, respon stress dan dalam pendekatan psikoterapi untuk pasien. Dan gambaran attachment yang paling

mendasar adalah gambaran Bowlby mengenai hubungan anak dengan pengasuh primer.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Apakah determinan pada Tes Rorschach berhubungan dengan dimensi

anxietyattachment dan avoidance attachment?

2. Apakah determinan pada Tes Rorschach bisa merepresentasikan

attachment seseorang?

(29)

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang dirumuskan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh gambaran hubungan determinan pada Tes Rorschach dengan dimensi attachment.

2. Mendapatkan deskripsi makna skor dimensi attachment skala PAM

melalui makna determinan pada Tes Rorschach yang terkait dengan attachment.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan

a. Mengembangkan dan melengkapi bentuk interpretasi Tes Rorschach khususnya pada kategori determinan.

b. Memberi pertimbangan penggunaan Tes Rorschach khususnya pada variabel determinan untuk mengukur attachment.

c. Menambahkan gambaran pola attachment berdasarkan hasil

interpretasi determinan Tes Rorschach.

2. Bagi subyek penelitian

a. Mengetahui kecenderungan pola attachment

b. Mengetahui gambaran kepribadian secara umum berdasarkan

(30)

3. Bagi peneliti

(31)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Attachment

1. Sejarah Teori Attachment

Teori attachment dirintis oleh John Bowlby. Bowlby memulai ketertarikannya saat ia menjadi sukarelawan di sekolah untuk anak-anak

yang memiliki kesulitan untuk menyesuaikan diri. Dalam pengalamannya itu, Bowlby berinteraksi dengan dua anak, satu yang sangat tertutup,

kurang memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga, kurang kasih sayang, dikeluarkan dari sekolah sebelumnya, dan tidak memiliki figur ibu yang tetap. Di sisi lain, Bowlby juga berhadapan dengan anak yang cemas

dan selalu mengikuti Bowlby kemanapun Bowlby pergi. (Ainsworth, 1974). Berangkat dari pengalaman terhadap efek dari hubungan dengan

keluarga pada masa kecil terhadap perkembangan kepribadian, Bowlby melanjutkan karirnya sebagai psikiater anak. Penelitian pertama Bowlby berlandaskan data dari London Child Guidance Clinic, sebagian besar

klien mengalami kurang kasih sayang. Dari penelitian terhadap 44 kasus, Bowlby menemukan hubungan antara simptom-simptom mereka terkait

dengan sejarah kehilangan dan keterpisahan dari figur ibu. Selanjutnya, Bowlby melanjutkan penelitian yang berfokus pada perpisahan antara anak dan figur ibu. Menurut Bowlby, perpisahan merupakan kejadian yang

(32)

anak lebih mudah didokumentasikan daripada pengaruh-pengaruh yang tidak terlihat pada hubungan dengan orang tua dan interaksi dalam

keluarga. (Bretherton, 1992)

Dalam penelitian Bowlby mengenai efek perpisahan dengan figur

ibu pada awal masa kanak-kanak terhadap perkembangan kepribadian, melibatkan Mary Ainsworth yang nantinya berfokus pada attachment pada orang dewasa. Ainsworth memulai ketertariknya pada attachment

dari security theory (Blatz, 1940). Ainsworth mendalami kemampuan klinisnya dengan mengajar kelas asesmen kepribadian di University of

Toronto setelah Perang Dunia II. Untuk persiapan pengajaran itu, Ainsworth bergabung dalam workshop yang diadakan oleh Bruno Klopfer, ahli dalam interpretasi Tes Rorschach. Pengalaman ini membawa

Ainsworth menjadi co-penulis dari buku Rorschach Technique. (Klopfer, Ainsworth, Klopfer & Holt, 1954).

2. Proses Mental Pembentukan Attachment

Teori attachment merupakan teori perkembangan yang

mengemukakan bahwa ada kebutuhan universal terhadap ikatan afeksi yang dekat dan fungsi perilaku attachment tersebut sebagai mekanisme

homeostatic untuk mengelola stres di usia dewasa maupun masa kanak-kanak (Bowlby, 1980).

Menurut Knox (2003), poin utama dari teori attachment adalah

(33)

internal working models’ yang menuntun dugaan dan persepsi, sehingga

menjadi gambaran untuk hubungan di masa depan. Internalisasi yang

dimaksud adalah deskripsi dari konsekuensi pengalaman-pengalaman interpersonal, tetapi juga merupakan catatan dari pemrosesan inform (F)asi

terus menerus dalam pikiran seseorang dari interaksi dua orang. Catatan teori attachment mengenai ‘internal working models’ dan pola attachment merupakan gambaran pemrosesan inform (F)asi dalam pikiran seseorang

mengenai pengalaman internal dan menyediakan model yang tepat untuk pengalaman internalisasi.

Attachment style cenderung tergolong stabil dan bersifat kontinyu sesuai dengan stabilnya mental model terhadap diri dan orang lain. (Bowlby, 1980). Internal working model juga berkembang dan bekerja

dengan relatif stabil tergantung pada stabilnya hubungan dan kondisi keluarga. Semakin lama, kondisi tersebut membentuk kebiasaan dan

menjadikan proses yang otomatis dari waktu ke waktu, bekerja di luar tingkat kesadaran dan menjadi sulit berubah (Feeney, 1996). Ainsworth dalam Feeney (1996) juga mengemukakan bahwa attachment anak-anak

cenderung stabil dari waktu ke waktu. Kadar stabilitasnya semakin tinggi ketika keadaan keluarga dan bentuk pengasuhan cenderung stabil. Namun,

(34)

Internal working model, yang juga mempengaruhi proses kontinyuitas attachment style, juga dapat berubah. Perubahan ini

disebabkan oleh besarnya ketidakcocokan antara situasi sosial dan internal working model yang mengakibatkan model ini tidak efektif lagi.

Dengan begitu, individu akan mengakomodasi model yang digunakan sesuai dengan realita (Bowlby, 1980).

Pandangan Knox mengenai pembentukan attachment juga serupa

dengan pandangan Bowlby. Menurut Bowlby (1973, 1980, 1969/1982) dalam Mikulincer dkk (2005), interaksi dengan significant other

diinternalisasi dalam bentuk internal working models terhadap diri dan orang lain. Saat close relationship partners menolak atau tidak ada saat dibutuhkan, keamanan attachment menjadi terkikis, strategi defensif

sekunder (hyperactivating dan deactivating) dipakai, model negatif terhadap diri dan orang lain terbentuk, dan kemungkinan besar kesehatan

mental menjadi menurun.

Menurut Mikulincer & Shaver (2003, 2007) dalam Berant dan Wald (2009) Hyperactivation mengacu pada usaha yang intens untuk

mencapai kedekatan dengan figur attachment. Orang yang mengandalkan strategi ini secara kompulsif mencari kedekatan dan perlindungan,

cenderung terlalu sensitif terhadap tanda-tanda pengabaian, cenderung memikirkan kekurangan personal dan ancaman terhadap hubungan secara berlebihan. Deactivation mengacu pada sifat membatasi pencarian

(35)

sistem attachment. Orang yang mengandalkan strategi ini cenderung mengambil jarak terhadap orang lain, memperjuangkan kekuatan personal,

mengandalkan diri sendiri, dan menekan atau menghilangkan pikiran dan ingatan yang menimbulkan stress.

3. Anxiety & Avoidance Attachment

Pada awalnya, penelitian terhadap attachment dewasa didasari oleh

tipologi pola attachment masa kecil (Ainsworth, Blehar, Waters, and Wall’s, 1978; Mikulincer, 2005) yang digolongkan dalam kategori secure,

anxious, dan avoidant. Dalam pengukuran attachment dengan metode self-report, Brennan et al (1998) dalam Mikulincer (2005), kategori anxious secara umum disebut attachment anxiety yang aitem-aitemnya

menekankan kegelisahan terhadap keintiman dan ketergantungan. Sedangkan, avoidant atau disebut attachment avoidance yang

aitem-aitemnya menekankan sifat-sifat penolakan, perpisahan, dan keadaan terabaikan.

Mikulincer (2005) mengemukakan, pola secure attachment

berhubungan dengan keadaan dimana kecemasan dan penghindaran tergolong rendah. Keadaan ini digambarkan dengan kepercayaan diri akan

(36)

secure attachment digambarkan sebagai individu yang nyaman dengan keintiman dan mampu mempercayai dan bergantung pada orang lain.

Pola anxiety attachment mengacu pada keadaan dimana ketakutan pada perpisahan dan keadaan tertinggal (attachment anxiety) tergolong

tinggi dan penghindaran tergolong rendah. Anxiety attachment juga berkaitan dengan self-image yang negatif dan kebutuhan yang berlebihan untuk diterima oleh orang lain, diikuti dengan ketakutan akan penolakan

dan pengabaian (Berry, Wearden & Barrowclough; 2007). Dalam penelitian Hazan & Shaver (1987), individu yang tergolong anxious

digambarkan sebagai individu yang mencari kedekatan ekstrim dan takut dirinya akan diabaikan dan tidak cukup dicintai.

Pola avoidant attachment mengacu pada keadaan dimana ketakutan

terhadap keintiman dan ketergantungan (attachment avoidance) tergolong tinggi. Attachment avoidance berhubungan dengan gambaran yang negatif

terhadap orang lain, penarikan sosial dan kebutuhan yang berlebihan akan kepercayaan terhadap diri sendiri atau ketakutan akan bergantung pada orang lain (Berry, Wearden & Barrowclough; 2007). Dari hasil penelitian

Hazan & Shaver (1987), individu dengan avoidant attachment cenderung tidak nyaman dengan kedekatan dan mengalami kesulitan untuk

bergantung dengan orang lain.

Kedua kategori ini tergolong kontinyu dan tidak kaku (Baumgardner & Crothers, 2009). Setiap orang bisa memiliki kadar

(37)

bisa tergolong tinggi atau rendah dalam dimensi anxiety dan atau avoidant, maka dalam perkembangan teori attachment terbentuk empat pola

attachment.

4. Pengukuran Attachment

Dalam perkembangan penelitian mengenai adult attachment, beberapa peneliti terdahulu telah mengembangkan alat ukur attachment

untuk orang dewasa. Upaya pengukuran attachment berbentuk self-report, wawancara dan observasi.

Pada tahun 1985, George, Kaplan & Main merancang Adult Attachment Interview untuk menjangkau ingatan seseorang terhadap hubungan masa kecilnya dengan orang tua, diimbangi dengan evaluasi

terhadap pengalaman masa kecilnya dan efeknya terhadap kepribadiannya sekarang (Feneey & Nooler, 1996). AAI ini mengelompokkan pola

attachment menjadi tiga bagian yaitu, secure, dismissing, dan preoccupied. Validitas alat ini didukung dengan adanya hubungan antara pola

attachment orang tua, diukur dengan AAI, dengan pola attachment anak, diukur dengan Strange Situation yang dilakukan 6 tahun sebelumnya.

Hazan & Shaver meneliti attachment pada orang dewasa dalam

hubungan romantik dengan model pengukuran self-report. Hazan & Shaver menyusun forced-choice measure of attachment style. Alat ukur ini tersusun dari tiga pola attachment yaitu, secure, avoidant dan anxious

(38)

kanak-kanak dengan interaksi seseorang dalam hubungan percintaan (Hazan & Shaver, 1987; Feeney, 1996). Self-Report ini banyak digunakan

di berbagai negara dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Berangkat dari alat ukur Hazan & Shaver, Levy & Davis (1988)

mengembangkan alat ukur tersebut dengan menghubungkan pola attachment dengan enam tipe cinta yang digambarkan oleh Lee (1973, 1988). Levy & Davis menggunakan skala rating untuk mengukur setiap

pola attachment.

Untuk alat ukur attachment dalam hubungan yang dekat secara

umum, Berry (2008) menyusun Psychosis Attachment Measure yang tersusun dari anxiety & avoidance skor. PAM merupakan self-report dengan 16 aitem skala Likert 4-poin. Alat ini berisi kalimat-kalimat yang

mengacu pada hubungan orang dewasa secara umum sehingga bisa digunakan untuk mengukur pola attachment pada subyek yang lebih luas

dan umum.

B. Tes Rorschach 1. Definisi

Dalam The Rorschach Technique oleh Aronow dkk (1994), Tes

Rorschach terdiri dari sepuluh bercak tinta, diciptakan oleh Hermann Rorschach pada tahun 1921, yang mengambarkan kecenderungan kepribadian seseorang melalui persepsinya terhadap ‘bercak tinta’. Tes

(39)

jauh dalam menyajikan stimulus yang relatif ambigu dimana subyek bisa menyatakan fungsi individual. (Klopfer, 1954). Ketegori skor Tes

Rorschach dikelompokkan berdasarkan lokasi, determinan, konten, form level, popular. Pendekatan skoring ini merupakan pendekatan Klopfer

yang sudah dimodifikasi, karena dirasa terlalu kompleks.

2. Determinan Tes Rorschach

Dalam Tes Rorschach terdapat empat determinan utama (Klopfer, 1954) yaitu:

a. Form (F) : konsep ini ditentukan oleh hanya dari bentuk bercak tinta. Tidak termasuk color, shading, maupun movement dari bercak tinta tersebut.

b. Movement : konsep ini terbentuk jika subyek memproyeksikan aksi, gerakan atau kehidupan. Movement bisa dibentuk dari figur manusia

maupun hewan, dari obyek benda mati maupun dari bentuk-bentuk abstrak.

c. Shading : merupakan konsep terhadap nuansa bayangan achromatic,

termasuk rasa pada tekstur permukaan obyek, kesan terhadap kedalaman maupun warna achromatic.

(40)
(41)

a. Respon Form (F)

Form (F) merupakan determinan yang mewakili hanya

bentuk dari bercak tinta tanpa ada unsur warna, gerakan, maupun naungan yang tampak dalam persepsi subyek. Dalam respon

movement, warna, maupun naungan, form (F) dapat terkandung di dalam respon selama respon memiliki bentuk yang jelas dan atau berbentuk.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon form (F) merepresentasikan tipe persepsi yang terbatas atau miskin, lepas dari

nuansa emosi dan afeksi yang ditimbulkan dari elemen warna serta naungan dan juga kekayaan imajinasi yang mungkin dimiliki oleh individu tersebut.

Respon form (F) yang muncul dalam jumlah yang masuk akal diimbangi dengan adanya respon color, movement, dan shading tidak

mengindikasikan keterbatasan atau kemiskinan persepsi subyek terhadap dunia. Hal ini mengindikasikan subyek memiliki kemampuan dalam menghadapi suatu situasi tertentu secara

impersonal dan melihat langsung pada pokok permasalahan, terlepas dari implikasi personal. Jika respon form (F) muncul secara dominan

di antara respon color dan surface shading, tetapi respon movement muncul dengan bebas, menunjukkan adanya pembatasan atau penahanan atas dampak emosi yang relatif tidak peka terhadap dunia

(42)

serta dorongannya. Jika respon form (F) muncul secara dominan di antara respon movement, tetapi respon color muncul secara bebas,

maka dapat dikatakan bahwa terdapat pembatasan atau penahanan terhadap kesadaran akan dorongan dalam diri, sementara subyek

reaktif secara emosional terhadap pengaruh lingkungan.

b. Respon Movement

Menurut Aronow, suatu respon dikatakan masuk kategori determinan movement ketika suatu persepsi mengandung aksi atau

kehidupan. Respon movement terbagi menjadi tiga tipe: human movement (M), animal movement (FM), dan inanimate movement

(m). Suatu respon dikatakan tergolong human movement (M) ketika respon mengindikasikan aktivitas manusia, ekspresi manusia atau postur manusia. Respon ini bisa terkandung dalam persepsi dengan

bentuk manusia secara keseluruhan atau sebagian dalam bentuk aksi. Selain itu, karikatur, patung atau binatang yang melakukan aktivitas manusia juga termasuk dalam respon human movement (M).

Suatu respon dapat dikategorikan dalam respon animal movement (FM) ketika respon mengandung unsur aksi atau aktivitas

binatang. Respon bisa berbentuk binatang secara keseluruhan, gambar binatang maupun sesuatu yang berbentuk binatang. Namun, respon binatang yang melakukan aktivitas manusia tetap dihitung

(43)

Suatu respon dapat dikategorikan dalam respon inanimate movement (m) ketika respon mengandung pekerjaan atau aksi yang

dilakukan oleh kekuatan alam atau mekanis. Inanimate movement (m) terbagi lagi menjadi tiga sub-kategori: persepsi dengan bentuk

yang jelas atau pasti, bentuk yang semi-pasti, dan yang sama sekali tidak jelas.

i. Human movement (M)

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon human

movement (M) memiliki tiga ciri, yaitu proyeksi kinestetik yang menghidupkan materi bercak tinta dengan gerakan yang pada dasarnya tidak ada dalam bercak tinta, hal ini menunjukkan

adanya proses imajinasi; konsep manusia (atau setidaknya melibatkan atribut manusia) yang mengindikasikan kemampuan

untuk melihat dunia dari sisi manusia dan dengan konsekuensinya untuk merasakan empati terhadap orang lain; dan level persepsi yang bisa membedakan dengan baik dan

biasanya terintegrasi dengan baik.

Respon human movement (M) cenderung menunjukkan

fungsi ego yang baik. Produksi respon human movement (M) yang melibatkan aspek imajinasi ditunjukkan pada usaha menghidupkan bercak tinta, yang diam menjadi gerakan,

(44)

yang mana berkaitan dengan baik dengan kenyataan. Hal ini mengindikasikan integrasi emosi yang baik, yang mana ego

tergolong toleran pada impuls primitif dan secara bebas bisa menjadi sumber kreativitas. Aspek empati dalam produksi

respon human movement (M) menunjukkan kapasitas untuk object relations yang baik, yang merupakan kondisi dan hasil dari integrasi emosi yang baik. Hubungan yang baik dengan

kenyataan eksternal tercermin dalam kemampuan yang baik dalam membedakan, integrasi, dan akurasi persepsi ditunjukkan

dalam respon human movement (M), yang menunjukkan fungsi ego yang berkembang dengan baik.

Orang dewasa yang memiliki kemampuan penyesuaian

diri yang baik memiliki setidaknya tiga atau lebih respon human movement (M), dengan asumsi kecenderungan extratensif.

Orang dewasa dengan tingkat intelektual yang tergolong superior atau yang tergolong introvert memiliki setidaknya lima respon human movement (M).

ii. Animal movement (FM)

Menurut Ainsworth dan Klopfer respon animal movement (FM) mengindikasikan kesadaran terhadap dorongan yang harus dipenuhi dengan segera. Selain itu, ini juga

(45)

pengertian atau wawasan, pemahaman serta penerimaan. Dorongan-dorongan ini merupakan dorongan paling primitif

dari kepribadian, baik merupakan insting atau merupakan dorongan pada awal kehidupan.

Animal movement (FM) dapat menjadi manifestasi dari bentuk agresi atau secara jelas menunjukkan ketidakberdayaan, kebutuhan akan pertolongan, dan kiranya mengindikasikan

kebutuhan ketergantungan. Dalam jumlah respon yang dapat dipertimbangkan, subyek menyadari dorongan yang harus

dipenuhi dengan segera ini. Dalam jumlah respon yang cukup banyak, dapat dikatakan bahwa subyek, baik merasakan dorongan ini atau tidak, subyek menunjukkan dorongan ini

dalam aksi.

iii. Inanimate movement (m)

Menurut Ainsworth dan Klopfer, kemunculan satu atau dua respon inanimate movement (m) merupakan refleksi

terhadap kesadaran akan paksaan-paksaan dari luar kontrol subyek, yang mengancam integritas dari organisasi kepribadian

subyek. Paksaan-paksaan ini sering kali datang dari diri subyek sendiri dalam bentuk dorongan-dorongan yang mengancam sistem nilai dan gambar diri. Inanimate movement (m)

(46)

dan tujuan jangka panjang subyek, dan tegangan karena usaha untuk mencegah dorongan. Dalam banyak kasus, respon ini

menunjukkan kebutuhan yang represif. Di sisi lain, respon ini menunjukkan perasaan ketidakberdayaan dalam menghadapi

ancaman paksaan dari lingkungan.

Indikasi terhadap kesulitan dalam penyesuaian diri dan kesadaran terhadap paksaan baru bisa dipertimbangkan ketika

jumlah respon inanimate movement (m) cukup banyak. Kemunculan satu atau dua respon ini dapat dipertimbangkan

sebagai adanya penyesuaian okupasi, adanya usaha untuk mengesampingkan dorongan terhadap tujuan jangka panjang maupun terhadap kenyataan. Orang yang dapat menyesuaikan

diri dengan baik menghasilkan beberapa respon inanimate movement (m), dapat dikatakan bisa mengintegrasikan dorongan

hidup dengan gambar diri dan sistem nilai serta ancaman dari luar. Respon inanimate movement (m) dipercaya mengindikasikan kesadaran akan adanya konflik dan ancaman

sehingga ketidakmunculannya mengindikasikan penghentian perjuangan mencapai integrasi.

c. Respon Color

Suatu respon dapat dikategorikan sebagai respon warna jika

(47)

dibagi menjadi kategori chromatic dan kategori achromatic. Seperti warna merah, hijau, coklat dan jingga merupakan kategori

chromatic. Dalam kategori achromatic, respon mengandung konsep warna hitam, abu-abu, dan putih (Aronow, 1994).

Dalam kategori chromatic, terdapat sub-kategori yaitu, konsep warna natural dan konsep warna arbitrary. Konsep warna natural menunjukkan penggunaan warna dalam menggambarkan

respon subyek sesuai dengan konsep respon sebenarnya. Lain halnya dengan konsep warna arbitrary, yang menunjukkan adanya

pemakasaan penggunaan warna pada konsep respon subyek. Penggunaan warna pada konsep respon berbeda dengan konsep di kenyataan. (Aronow, 1994).

i. Chromatic

Respon definite chromatic color (FC) (respon warna chromatic dengan bentuk yang jelas) mewakili adanya integrasi yang baik antara warna dan bentuk yang jelas. Respon ini

mengindikasikan kontrol terhadap dampak emosional tanpa kehilangan kemampuan merespon. Kemampuan merespon yang

(48)

Kemunculan repson definite chromatic color (FC) dalam jumlah yang dapat dipertimbangkan menunjukkan bahwa

subyek mampu membuat respon yang menyenangkan, ramah, dan baik terhadap situasi sosial dan dapat dengan lancar bergaul

dengan orang lain. Klopfer juga mengungkapkan bahwa ada implikasi ketergantungan terhadap orang lain pada kemunculan respon definite chromatic color (FC). Subyek, dengan cara yang

baik, menjaga baik hubungan dengan orang lain sebagai wadah untuk tekanan terhadap tuntutan emosional untuk bertemu.

Ketika respon definite chromatic color (FC) hanya muncul pada respon tambahan dan hanya satu-satunya respon warna yang muncul, dapat dikatakan subyek kurang responsif

terhadap dampak emosional. Hal ini juga mengimplikasikan subyek cenderung menarik diri dan kemampuan merespon yang

terkontrol hanya akan muncul ketika subyek merasa lebih tenang dalam suatu situasi. Jika definite chromatic color (FC) muncul sebagai respon tambahan dengan determinan utama

lainnya, dapat dikatakan subyek mampu mengontrol kemampuan merespon dan tidak terlalu bergantung

dibandingkan dengan subyek memiliki definite chromatic color (FC) sebagai respon utama. Ketika respon definite chromatic

(49)

melihat bagaimana kesiapan respon definite chromatic color (FC) diproduksi atau diterima.

Berbeda dengan definite chromatic color (FC), dalam pembentukan respon indefinite chromatic color (CF) subyek

lebih dipengaruhi oleh warna daripada bentuk. Respon indefinite chromatic color (CF) mengindikasikan respon emosional yang tidak terkontrol tetapi merupakan respon emosional yang

sesungguhnya dan sesuai dengan tuntutan realitas dari situasi sosial.

Munculnya respon indefinite chromatic color (CF) mengindikasikan hal positif juga negatif. Secara positif, respon

indefinite chromatic color (CF) mengindikasikan spontanitas dan adanya kemampuan untuk menunjukkan reaksi emosional tanpa kontrol yang berlebihan. Secara negatif, respon indefinite

chromatic color (CF) bisa berarti kurangnya kontrol terhadap kemampuan responsif emosional. Kontrol yang cukup terhadap kemunculan indefinite chromatic color (CF) ditunjukkan dengan

adanya respon FC atau M, FK, dan Fc. Tanpa adanya kontrol yang cukup dari determinan lain, indefinite chromatic color

(CF) menunjukkan kecenderungan impulsif dan reaksi emosional yang ditunjukkan secara tidak terkontrol.

Munculnya respon indefinite chromatic color (CF)

(50)

keragu-raguan dalam mengekspresikan respon. Tidak munculnya respon indefinite chromatic color (CF) mengindikasikan kurangnya

interaksi emosional dengan lingkungan. Hal ini bisa disebabkan oleh kontrol yang terlalu ketat atau kurangnya kemampuan

untuk merespon.

Adanya respon pure color (C) mengindikasikan kurangnya kontrol emosi secara patologis, emosi meledak-ledak,

dan tergolong pemarah. Respon color naming (Cn) muncul pada

orang yang terbebani oleh dampak emosional dan tidak mampu

menanganinya dengan kotrol yang terintegrasi. Namun, ia tetap berusaha mengontrol situasi tanpa membuat kontak yang nyata dengan situasi (Klopfer, 1954). Untuk subyek dengan respon

color description (Cdes), ia mampu mengontrol ekspresi sehingga

terlihat terhambat. Subyek mengontrol emosi dengan cara tidak

menunjukkan perasaannya. Hampir sama dengan Cdes dan Cn, -color symbol (Csym) memiliki unsur intelektual dalam kontrol

emosi.

Respon definite arbitrary color (F/C) menunjukkan adanya disintegrasi antara perilaku dengan perasaan. Respon

yang dikeluarkan merupakan pemenuhan tuntutan situasi atau lingkungan. Pola ini dapat ditemukan pada orang konvensional dengan tatakrama yang baik, yang kurang menunjukkan emosi

(51)

Hipotesis ini baru bisa diterapkan jika jumlah respon F/C cukup signifikan.

Serupa dengan hipotesis F/C, indefinite arbitraty color (C/F) juga mengindikasikan perilaku yang tidak berkaitan

dengan emosi yang sesungguhnya. Perbedaannya terletak pada seberapa besar kontrol yang terlibat (Klopfer, 1954). F/C menunjukkan kontrol yang dangkal dan bisa diterima oleh sosial

sedangkan C/F menunjukkan kontrol yang tidak berhasil.

ii. Achromatic

Menurut Klopfer, secara umum, adanya respon warna

achromatic dianggap sebagai respon warna yang diperlembut. Asumsi mengenai warna achromatic (C’) tidak cukup dikembangkan dibandingkan dengan kategori determinan

lainnya.

Ketika skor C’ didominasi oleh hitam atau abu-abu,

dapat diperkirakan adanya kecenderungan depresif. Jika ada

pengaruh dari bagian putih, hal ini bisa mengindikasikan negativisme dan agresifitas. Keduanya dapat merepresentasikan

(52)

d. Respon Shading

Shading responses diperoleh ketika subyek membentuk

persepsi menggunakan nuansa shading dari area bercak tinta baik yang achromatic maupun chromatic. Shading responses terdiri dari

surface/texture response (c), diffusion vista response (K), dan three-dimentional space projected on a two-three-dimentional plane (k).

Menurut Aronow, semua shading response dapat

diinterpretasikan sebagai adanya komponen kecemasan dalam konteks kebutuhan afeksi dan cara pemuasannya. Penggunaan

shading dalam persepsi individu saat merespon bercak tinta berkaitan dengan bagaimana subyek mengatasi kebutuhan keamanan primer individu tersebut dan kebutuhan akan afeksi dan keterlibatan

(Klopfer, 1954).

i. Tekstur

Respon Tekstur diperoleh ketika subyek menggunakan suatu kesan permukaan pada persepsi yang subyek bentuk dari

bercak tinta Rorschach. Seperti klasifikasi respon lainnya, Respon Tekstur juga dibagi menjadi dua macam yaitu, definite

texture (Fc), indefinite texture (cF & c) . Fc diberikan ketika efek permukaan atau tekstur sangat jelas atau dimana objek tersebut merupakan permukaan atau tekstur dari objek dengan

(53)

bentuk yang tidak tentu dan perhatian subyek terfokus pada permukaannya. c diberikan ketika subyek tidak menyatakan

bentuk apapun dan memfokuskan ketertarikannya pada efek permukaan atau tekstur saja.

Respon Tekstur secara khusus menggambarkan kebutuhan kontak dan kedekatan seseorang. Menurut Ainsworth dan Klopfer, secara umum, penggunaan respon tekstur

menindikasikan ekspresi terhadap kesadaran akan kebutuhan afeksi.

Pada penelitian Cassella dan Viglione (2009), respon tekstur pada Tes Rorschach berhubungan dengan teori

attachment. Secara spesifik, respon tekstur pada Tes Rorschach berhubungan dengan tipe secure attachment. Namun, dalam penelitian tersebut, Cassella dan Viglione tidak mengungkapkan

hubungan respon tekstur pada Tes Rorschach dengan tipe insecure attachment. Berdasarkan hasil penelitian Marsh dan Viglione, dalam Cassella dan Viglione (2009), terhadap respon

Tekstur dengan dependensi interpersonal, respon Tekstur secara positif dan signifikan berhubungan dengan pemrosesan

informasi taktil dan perilaku.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, Fc merefleksikan ketertarikan terhadap bentuk taktil dan kualitas tekstur dari

(54)

dikatakan cenderung pasif dan suka menyenangkan orang lain, tidak agresif, dan tergolong orang yang secara sensitif peka

terhadap perasaan orang lain. Individu tersebut dapat dikatakan cenderung memiliki kebutuhan kekanak-kanakan akan

kedekatan terhadap orang lain. Aronow mengemukakan interaksi sosial orang dengan Fc yang mendominasi cenderung terkontrol dan cukup bijakasana. Ainsworth dan Klopfer juga

mengemukakan bahwa Fc yang dominan mengindikasikan sifat kekanak-kanakan yang sudah diperhalus dan perwujudannya

terkontrol.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon Fc mengindikasikan kesadaran dan penerimaan terhadap kebutuhan

afeksi dalam konteks keinginan untuk diterima, keikutsertaan dan keinginan akan respon dari orang lain. Ainsworth dan

Klopfer juga mengemukakan hal yang sama dengan Aronow bahwa orang dengan respon Fc yang dominan cenderung memuaskan orang lain tetapi diperhalus melalui dorongan

terhadap kontak fisik. Ini merupakan perkembangan untuk pembentukan object relation yang dalam dan penuh makna dan

ini hanya muncul ketika kebutuhan keamanan dasar sudah terpenuhi.

cF dan c menggambarkan kebutuhan untuk bergantung

(55)

pada subyek mengindikasikan ketidakdewasaan pandangan serta kontrol.

Menurut Ainsworth dan Klopfer, respon cF menunjukkan adanya kebutuhan awal akan kedekatan yang

cenderung kasar. Adanya respon cF mengindikasikan kebutuhan untuk dimanjakan dan dipegang serta ketergantungan pada orang lain dalam bentuk yang kekanak-kanakan. Selain itu,

Ainsworth dan Klopfer mengemukakan bahwa munculnya cF menunjukkan akan adanya kegagalan yang berat terhadap

kebutuhan afeksi pada masa awal kanak-kanak. Hal ini menjadi masalah yang berlanjut karena tidak pernah terpuaskan.

Ketidakmunculan cF dapat diartikan adanya kebutuhan

afeksi yang sudah memburuk karena kekurangan, dan memiliki kapasitas hubungan afeksi yang lemah, atau kekurangan tersebut

mengakibatkan kecemasan sehingga subyek harus melindungi dirinya sendiri dari kesadaran akan kebutuhannya terhadap keamanan afeksi dengan represi atau mekanisme penolakan.

ii. Diffusion Vista

Respon definite diffusion vista (FK) diperoleh ketika subyek menggunakan pandangan dan menggambarkan jarak antara beberapa objek dalam satu persepsi. Untuk respon dengan

(56)

diberikan adalah indefinite diffusion vista (KF). Untuk skor K, diberikan pada respon tanpa objek atau suatu bentuk, hanya

untuk respon yang lebih menekankan kesan jarak atau ruangan yang mencakup suatu suasana, seperti kabut atau ruangan yang

mencakup kegelapan.

Menurut Klopfer, K dan KF mengindikasikan frustrasi akan kepuasan afeksi. Kemunculan K dan KF dianggap biasa

karena kegagalan dalam afeksi terjadi secara umum dan setiap orang bisa kurang lebih mengalami kecemasan akan hal ini.

Kemunculan respon K patut diperhatikan ketika jumlahnya lebih dari tiga atau ketika K dan KF melebihi jumlah FK (Klopfer, 1954).

FK mengindikasikan adanya upaya subyek untuk menangani kecemasan afeksi dengan usaha-usaha introspektif,

dengan melihat masalah secara obyektif dengan memperoleh perspektif terhadap masalah, dengan mengambil jarak dari masalah sehingga bisa melihat lebih obyektif.

iii. Three-dimentional space projected on a two-dimentional plane

Respon ini diperoleh ketika subyek memproyeksikan benda tiga dimensi di bidang dua dimensi seperti x-ray atau peta topografi. Jika subyek menggambarkan hasil x-ray bagian tubuh,

(57)

diberikan. Namun, jika bagian tubuh, bagian pulau atau negara tidak digambarkan dengan spesifik, maka skor kF yang

diberikan. Untuk pemberian skor k hanya diberikan jika subyek hanya menyatakan kesan yang kurang jelas terhadap persepsi

proyeksi tiga dimensi di bidang dua dimensi tanpa ada obyek yang disebutkan.

3. Proporsi Kuantitatif

Pada penjelasan di atas, Klopfer telah mengelompokkan determinan

secara terpisah. Deskripsi utuh mengenai kepribadian seseorang dapat diperoleh setelah sequence analysis. Namun, penghitungan dengan proporsi kuantitatif dapat memperkuat dan memberi gambaran yang membentuk

interpretasi kualitatif dengan sequence analysis (Klopfer, 1954).

Proporsi kuantitatif merupakan hubungan perbandingan antara

determinan-determinan yang merujuk pada relasi dengan organisasi kepribadian. Proporsi kuantitatif ini berhubungan dengan inner resource

and impulse life, organisasi kebutuhan afeksi, constrictive control, reaktivitas emosi terhadap lingkungan, dan aspek intelektual.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa proporsi

(58)

berkaitan dengan organisasi kebutuhan afeksi dirasa bisa menggambarkan aspek-aspek yang menyusun dimensi-dimensi attachment.

a. Proporsi yang berkaitan dengan inner resource dan impulse life

i. Rasio M:FM

a. FM > 2M

Individu dengan skor FM yang lebih banyak dari skor

dua kali skor M menandakan orang tersebut memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi dengan segera dibanding

dengan tujuan jangka panjang (Klopfer, 1954).

b. M > FM

Ketika skor M melebihi skor FM, menandakan kehidupan dorongan individu tersebut lebih rendah dari sistem

nilainya. Ketika jumlah FM tidak kurang dari 11/2 jumlah M dapat dikatakan adanya hubungan yang optimal antara pengakuan terhadap keadaan dorongan dengan integrasi

dengan sistem nilai. Individu ini dapat dikatakan memiliki penerimaan diri dan kapasitas untuk menahan pemenuhan

kebutuhan tanpa kegagalan, konflik dan penahanan yang tidak semestinya. Sebaliknya, orang dengan jumlah FM yang kurang dari setengah jumlah M dan atau tidak ada FM sama sekali,

(59)

kesadaran daripada mengintegrasikannya. Hal ini dapat berdampak pada tegangan dan konflik dalam diri, kontrol yang

berlebihan dan kurangnya spontanitas (Klopfer, 1954).

c. M = FM

Ketika jumlah M sama banyaknya dengan jumlah FM, dorongan dikatakan tidak berkonflik dengan sistem nilai.

Dorongan juga tidak bertentangan dengan perkembangan sistem nilai, maupun sebaliknya.

Keadaan ini menunjukkan kematangan dan kedewasaan individu dengan sistem nilai yang berkembang dengan baik. Hal ini berdampak pada adanya kontrol beriringan dengan

tetap adanya penerimaan yang mudah terhadap dorongan dalam diri dan gambaran diri yang bahagia.

d. FM antara 1M dan 2M

Dalam rasio ini, tingkat infantil tidak sama dengan

FM>2M. Dalam keadaan ini seseorang dapat dikatakan dalam batas normal (Klopfer, 1954).

e. M dan FM dalam jumlah sedikit

Rasio ini menunjukkan tidak adanya pengakuan

(60)

pemikiran jangka panjang atau khayalan lari dari kenyataan. Perkembangan ego untuk individu pada rasio ini diperkirakan

sangat kurang (Klopfer, 1954).

ii. Rasio M : (FM + m)

Jumlah FM + m seharusnya tidak lebih dari 1 ½ M. Jumlah FM + M yang lebih besar mengindikasikan tegangan yang terlalu

kuat untuk mengizinkan seseorang menggunakan sumber-sumber dalam dirinya untuk solusi yang konstruktif bagi masalah

sehari-hari. Jika jumlah FM + m mendekati dan atau setara dengan M dan tidak lebih dari satu atau dua m, implikasinya adalah dorongan dapat teratasi dan terintegrasi dengan baik dengan sistem nilai dan

individu tersebut mampu menggunakan sumber-sumber dalam dirinya untuk memberikan stabilitas dan kontrol.

b. Proporsi yang terkait dengan organisasi kebutuhan afeksi

i. Rasio definite shading respose dengan undefinite shading response

Ketika jumlah K, KF, k, kF, c dan cF melebihi jumlah Fc dan FK mengindikasikan adanya integrasi yang buruk antar

(61)

ii. Rasio F : (FK+Fc)

a. (FK+Fc) > ¾ F

Rasio ini mengindikasikan kebutuhan afeksi yang berkembang dengan luas hingga mengancam keseluruhan

kepribadian. Pengalaman penolakan pada masa kanak-kanak memicu kebutuhan untuk menerima afeksi dan mencari respon dari orang lain memainkan peran yang yang tidak seharusnya

dalam perilaku yang mempengaruhi (Klopfer, 1954).

b. FK+Fc = ¼ - ¾ F

Rasio ini menggambarkan kebutuhan afeksi yang berkembang dengan baik dan terintegrasi dengan baik dengan

organisasi kepribadian. Hal ini menunjukkan adanya fungsi kontrol yang sensitif, membantu individu dalam interaksinya

dengan orang lain tanpa mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap respon dari orang lain (Klopfer, 1954).

c. (FK+Fc) < ¼ F

Rasio ini menggambarkan adanya kecenderungan

denial, represi dan kurang berkembangnya kebutuhan afeksi. Hal ini diperkirakan sebagai kelanjutan dari pengalaman penolakan yang cukup serius sehingga mengganggu

(62)

iii. Rasio Respon Achromatic dan Respon Chromatic

a. Achromatic = Dua Kali Chromatic

Ketika jumlah respon achromatic melebihi jumlah

chromatic, responsivitas individu di luar stimulasi telah dipengaruhi pengalaman traumatik dan menghasilkan kecenderungan penarikan diri. Implikasinya adalah kebutuhan

akan respon afeksi yang tergolong cukup besar dari orang sehingga reaksi emosinya terhambat. Hal ini dikarenakan

individu merasa takut tersakiti dan mengakibatkan sifat hati-hati yang berlebihan dalam kontak emosional.

b. Achromatic = ½ Chromatic

Dalam rasio ini, kebutuhan afeksional tidak terlalu

mempengaruhi responsivitas natural terhadap situasi emosional dan kemampuan berinteraksi dengan lingkingan sosial.

c. Achromatic < ½ Chromatic

Dalam rasio ini, seseorang cenderung menunjukkan

(63)

c. Proporsi berkaitan dengan reaktivitas emosi terhadap lingkungan i. Ratio FC : (CF+C)

Ketika jumlah FC melebihi CF+C, seseorang dapat dikatakan mampu mengontrol respon terhadap lingkungan sosial,

mampu merespon dengan tindakan dan perasaan yang sesuai. Selain itu, ia dapat dikatakan mampu merespon secara mendalam dan sungguh-sungguh terhadap dampak emosi yang kuat.

Sebaliknya ketika jumlah CF+C melebihi FC, seseorang memiliki kontrol yang lemah terhadap emosinya dan cenderung

berlebihan dalam menunjukkan ekspresinya.

C. Hipotesis

Peneliti melihat adanya kemungkinan korelasi antara dimensi attachment dengan determinan Rorschach berdasarkan teknik analisis

kuantitatif yang digunakan oleh Klopfer. Penelitian yang terdahulu menemukan adanya korelasi antara dimensi attachment dengan penanda Rorschach berdasarkan teknik Comprehensive System Scoring (Exner,

2001).

Asumsi yang mendorong penelitian ini berawal dari interpretasi

determinan Rorschach yang bersinggungan dengan komponen-komponen attachment. Berdasarkan interpretasi skor tunggal determinan Rorschach dengan teknik analisis kuantitatif Klopfer, Rorschach dapat

(64)

ketergantungan pada orang lain, kebutuhan kontak dan kedekatan dengan orang lain, juga bentuk responsivitas terhadap orang lain.

Interpretasi terhadap skor tunggal diperkuat dengan interpretasi skor proporsi. Proporsi yang diasumsikan berhubungan dengan dimensi

(65)

44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data diolah dengan menggunakan analisis korelasional. Skor dimensi anxiety dan avoidance dikorelasikan dengan persentase skor determinan Rorschach berdasarkan

teknik Klopfer.

Peneliti memilih jenis penelitian kuantitatif karena pendekatan

Rorschach yang digunakan adalah analisis kuantitatif Klopfer. Dalam melihat adanya korelasi atau hubungan, data respon Rorschach yang diperoleh diubah ke dalam bentuk angka sebagai kuantitas determinan.

B. Subyek Penelitian

Teknik sampling yang digunakan adalah convenience technique sampling. Subyek diambil berdasarkan kesediaan subyek. Subyek belum pernah mengenal Tes Rorschach sebelumnya. Teknik sampling ini digunakan

karena peneliti menitikberatkan pada alat tes yang bersifat harus netral dan obyektif. Dalam hal ini, peneliti hanya membatasi subyek penelitian dengan

kategori usia perkembangan dewasa awal.

(66)

sudah menyelesaikan S1, 59% merupakan mahasiswa S1, 9% merupakan mahasiswa S2.

C. Definisi Operasional Penelitian 1. Tes Rorschach

Subyek dites Rorschach secara individu. Pengetesan dilakukan oleh peneliti dibantu oleh dua mahasiswa tingkat akhir yang sudah

menggambil mata kuliah Rorschach dan pernah menjadi asisten matakuliah Rorschach. Subyek diminta untuk mengungkapkan apa saja

yang melintas di pikiran subyek ketika melihat bercak-bercak tinta Rorschach. Tester menekankan bahwa bercak tinta tersebut tidak dibuat untuk menyerupai suatu apapun sehingga tidak ada jawaban yang benar

maupun salah sehingga subyek bebas untuk mengungkapkan apapun. Pengetesan seluruhnya dilakukan di Ruang Observasi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

Dalam pengetesan Rorschach, tes dibagi menjadi tiga tahap yaitu,

rapport, association, dan inquiry. Testing-the-limits baru dilakukan jika diperlukan. Teknik pengetesan sampai proses skoring yang digunakan mengikuti teknik Klopfer dan analisis kuantitatif.

Data Tes Rorschach yang telah dicatat selama proses pengetesan masih berbentuk data mentah berupa respon subyek. Respon tersebut kemudian dikategorisasikan berdasar acuan skoring Tes Rorschach

Gambar

Tabel 1.  PAM Versi Bahasa Indonesia .............................................................
gambar binatang maupun sesuatu yang berbentuk binatang. Namun,
Tabel. 1
Uji NormalitasTabel 2.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Halaman manajemen perangkat adalah Halaman akses untuk admin, Admin dapat menambahkan data perangkat baru baik.. menggunakan manual ketik atau juga menggunakan

Buah 7.6.(26)b Pengujian pembebanan statis pada tiang ukuran/diameter …… dengan meja beban statis cara beban

menurut fakta-fakta dalam pembuktian, Hakim beranggapan bahwa perbuatan para terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (4) seperti yang sudah didakwakan oleh

Dengan demikian, lebih banyak barang yang diinginkan untuk dibeli merupakan barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif), dan bahkan

Pemodelan dapat diartikan sebagai upaya pemberian model (contoh) yang berhubungan dengan materi dan aktivitas pembelajaran yang dilakukan siswa (Nuryatin, 2010,

'dewasa ini sudah semakin l,ras mencakup FIAM sipil Potit-ik, FLAM Ekosob, daa IIAM atqs pembangunan- Salah sxu bentuk prkembangan konsep HAM adalah mengenai

The Windows Phone 7 SDK offers five Silverlight project templates in Visual Studio: a standard phone application, databound application, phone class library, panorama

REKONSTRUKSI BAHAN AJAR DENGAN KONTEKS SOCIO-SCIENTIFIC ISSUES PADA MATERI ZAT ADITIF MAKANAN UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA. Universitas Pendidikan Indonesia |