• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEKSTUALISASI HADIS METODE TANYA JAWAB TENTANG AMAL YANG PALING UTAMA (STUDI ANALISIS TEMATIK) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KONTEKSTUALISASI HADIS METODE TANYA JAWAB TENTANG AMAL YANG PALING UTAMA (STUDI ANALISIS TEMATIK) SKRIPSI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KONTEKSTUALISASI HADIS METODE TANYA JAWAB TENTANG AMAL YANG PALING UTAMA

(STUDI ANALISIS TEMATIK) SKRIPSI

Diserahkan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Pada Program Studi Ilmu Hadis

ANDESTA ADANA 11830114643

Pembimbing I Dr. H. Zailani, M.Ag

Pembimbing II H. Fikri Mahmud, Lc, MA

Jurusan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Tahun Akademis 2023

Nomor Skipsi 045/ILHA-U/SU-S1/2023

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu‟alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Alhamdulillah wa Syukurillah, kami sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala, yang telah melimpahkan rahmat serta anugerah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“KONTEKSTUAL HADIS-HADIS TENTANG PERTANYAAN YANG SAMA DENGAN JAWABAN YANG BERBEDA”.

Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallaahu „Alaihi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman kejahiliyahan menuju zaman penuh dengan ilmu pengetahuan seperti adanya saat ini. Penulis mengucapkan sejuta terimakasih kepada orang tua tercinta, Ayahanda M. Sofyan dan Ibunda Reni Silviana yang telah memberikan Do‟a, dukungan serta motivasi kepada penulis baik secara moril maupun materil.

Kemudian, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang juga membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkann satu per satu. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepada Rektor UIN SUSKA RIAU, Prof. Dr. Khairunnas Rajab, M. Ag.

Beserta jajaran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di kampus ini.

2. Ayahanda Dekan Dr. H. Jamaluddin, M. Us., Wakil Dekan I Dr. Rina Rehayati, M. Ag., Wakil Dekan II Dr. Afrizal Nur, S. Th. I., MIS., dan Wakil Dekan III Dr. H. M. Ridwan Hasbi, Lc., M. Ag.

3. Ayahanda Dr. Adynata, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hadits beserta jajaran yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam pengurusan yang berkaitan dengan studi penulis.

4. Ayahanda Usman, M. Ag., selaku penasihat akademik yang selalu memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

(7)

ii

5. Ayahanda Dr. H. Zailani, M.Ag., dan Ayahanda Fikri Mahmud., Lc. M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas segala nasihat, motivasi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

6. Kepala Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau beserta para pegawai yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam proses peminjaman buku referensi dalam proses studi selama ini.

7. Teman-teman seperjuangan serta seluruh Teman-teman Ilmu Hadits A dan B angkatan 2018 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu.

Harapan kami, semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan dengan tangan terbuka, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar penulis lebih baik lagi dalam berkarya. Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan dalam penyusunan skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Pekanbaru, 19 Januari 2023 Penulis

Andesta Adana NIM: 11830114643

(8)

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Huruf

Arab Latin Arab Latin

ء = ض = d /d

ب = B ط = t / t

ت = T ظ = z / z

ث = Ts ع =

ج = J غ = Gh

ح = h / h ف = F

خ = Kh ق = Q

د = D ك = K

ذ = Dz ل = L

ر = R و = M

ز = Z ن = N

س = S ه = H

ش = Sy و = W

ص = s/s ي = Y

Vokal Vokal Panjang Contoh

_ = a اـَــ = ā رُثاَكَت = takātsur ‒ = i ىـِـ = ī ُجٍِْهٌَ = yahīj ‒ = u ْىــُــ = ū َن ْىُمَهْعَت = ta‟lamūn

ْىــَـــ = aw َفْىَس =sawf ًْـَــــ = ay َهٍَْع =„ayn

A. Vokal, Panjang dan Diftong

Setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vokal fathah ditulis dengan “a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut:

(9)

iv

Vokal (a) panjang = Â misalnya لاق menjadi qâla Vokal (i) panjang = Î misalnya مٍق menjadi qîla Vokal (u) panjang = Û misalnya نود menjadi dûna

Khusus untuk bacaan ya‟ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “i”, melainkan tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya‟ nisbat diakhirnya. Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya‟ setelah fathah ditulis dengan “aw” dan “ay”. Perhatikan contooh berikut:

Diftong (aw) = ىى misalnya لىق menjadi qawlan

Diftong (ay) = ىٍى misalnya رٍخ menjadi khayrun

B. Ta‟ Marbuthah

Ta‟ marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah kalimat, tetapi apabila Ta‟ marbhûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya ةسردمهن ةهسرنا menjadi al- risalat li al-mudarrisah, atau atau apabila di tengah-tengah kalimat yang terdiri dari susunan mudlaf dan mudlaf ilayh, maka ditransliterasikan dengan menggunakan t yang disambungkan dengan kalimat berikutnya, misalnya ةمحر ىف الله menjadi fi rahmatillah.

C. Kata Sandang dan Lafdh al-Jalâlah

Kata sandang berupa “al” (لا) ditulis dengan huruf kecil, kecuali terletak di awal kalimat, sedangkan “al” dalam lafadzh jalalah yang berada di tengah-tengah kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contoh-contoh berikut:

1. Al-Imam al-Bukhariy mengatakan....

2. Al-Bukhariy dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan...

3. Masyâ‟ Allah kaana wa maa lam yasya‟ lam yakun.

(10)

v ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kontekstualisasi Hadis Metode Tanya Jawab Tentang Amal Yang Paling Utama”, Fenomena individu atau kelompok masyarakat dalam praktiknya, mempunyai kecendrungan perbedaan keadaan dan kondisi satu sama lainnya. Dalam beberapa hadis, Nabi SAW pernah ditanya oleh para sahabatnya dengan pertanyaan yang sama atau hampir mirip dan Nabi SAW menjawabnya tidak seragam. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kontekstualisasi hadis metode tanya jawab tentang amalan yang paling utama serta bagaimana status dan pemahaman hadis tersebut. Rumusan masalah yang dipaparkan dalam skripsi ini adalah bagaimana status dan pemahaman hadis dan bagaimana kontekstualisasi metode tanya jawab dengan jawaban yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode tematik dengan jenis penelitian library research, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada literatur-literatur yang terkait dengan objek penelitian, baik dari data primer maupun data sekunder.

Adapun hasil temuan dari penelitian ini adalah Nabi sering memberikan jawaban yang berbeda-beda kepada orang yang bertanya. Para ulama mengatakan bahwa hal itu disebabkan perbedaan kondisi para penanya. Maka Nabi menjawab sesuai dengan apa yang mereka butuhkan atau apa yang mereka senangi, atau apa yang sesuai dengan keadaan mereka. Atau juga perbedaan itu karena perbedaan waktu, di mana perbuatan tertentu pada suatu saat lebih utama daripada perbuatan yang lain.

Kata Kunci: Kontekstualisasi, Hadis, Metode tanya jawab.

(11)

vi

صخلملا

هذى ةلاسرلا ناونعب لوح باولجاو لاؤسلل ةقيرط مىأ ثيدلحا قايس"

لضفأ لمعلا

"

دارفلأا ةرىاظ ،

نع فورظلاو فورظلا في فلاتخلاا لىإ ليتم ، ةيلمعلا ةسراملدا في صاخشلأا تاعوملر وأ وباحصأ لبق نم ةرم تاذ ملسو ويلع للها ىلص بينلا لئس ، ثيداحلأا ضعب في .ضعبلا اهضعب ب ملسو ويلع للها ىلص بينلا اهيلع باجأو ، ابيرقت ةبهاشتم ةلئسأ وأ ةلئسلأا سفنب يرغ لكش

باولجاو لاؤسلا ةقيرط وى ثيدلحا قايس نأ فيك ةفرعم لىإ ةحورطلأا هذى ةباتك فدته .دحوم ةحورطلأا هذى في ةمدقلدا ةلكشلدا ةغايص .ومهفو ثيدلحا ةلاح نوكت فيكو تاسراملدا مىأ لوح يى .ةفلتلس تاباجإب اهقايس في باولجاو لاؤسلا ةقيرط عضو ةيفيكو ثيدلحا مهفو ةلاح سي

مدخت

تايبدلأا ىلع زكري يذلا ثحبلا يأ ، بيتكلدا يثحبلا ثحبلا عون عم ةيعوضوم ةقيرط ثحبلا اذى نأ يى ةساردلا هذى جئاتن .ةيوناثلا تانايبلا وأ ةيلولأا تانايبلا نم ءاوس ، ثحبلا عوضوبم ةقلعتلدا نإ ءاملعلا لاق .اولأس نيذلا صاخشلأل ةفلتلس تاباجإ ىطعأ ام ابلاغ بينلا لىإ عجري كلذ

بساني ام وأ ، وب نوضري ام وأ ويلإ نوجاتيح الد اقفو بينلا باجأف .ينبوجتسلدا فورظ فلاتخا ةدحاو ةظلح في ينعم لعف نوكي ثيح ، تقولا في فلاتخلاا لىإ عجري قرفلا اضيأ وأ .مهفورظ .رخلآا نم ةيهمأ رثكأ ةيحاتفملا تاملكلا ةلئسلأا ةقيرط ، ثيدلحا ، قايسلا :

.ةبوجلأاو

(12)

vii ABSTRACT

This thesis entitled "Contextualization of Hadith The Most Important Method of Question and Answer About Charity", The phenomenon of individuals or groups of people in practice, has a tendency to differ in circumstances and conditions from each other. In some hadiths, Prophet SAW was once asked by his companions with the same or almost similar questions and Prophet SAW answered them not uniformly. The writing of this thesis aims to find out how the contextualization of the hadith is the question and answer method about the most important practices and how the status and understanding of the hadith are. The formulation of the problem presented in this thesis is the status and understanding of the hadith and how to contextualize the question and answer method with different answers. This research uses a thematic method with the type of library research research, namely research that focuses on literature related to the object of research, both from primary data and secondary data. The findings of this study are that the Prophet often gave different answers to people who asked. The scholars said that it was due to the different conditions of the questioners. So the Prophet answered according to what they needed or what they were pleased with, or what suited their circumstances. Or also the difference is due to the difference in time, in which a certain deed at one moment is more primary than another.

Keywords: Contextualization, Hadith, Question and answer method.

(13)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN NOTA DINAS

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Penegesan Istilah ... 6

C. Identifikasi Masalah ... 7

D. Batasan Masalah... 7

E. Rumusan Masalah ... 8

F. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan... 9

BAB II KERANGKA TEORITIS ... 11

A. Landasan Teori ... 11

B. Tinjauan Kepustakaan ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis Penelitian ... 33

B. Sumber Data ... 33

C. Teknik Pengumpulan Data ... 34

D. Teknik Analisis Data ... 35

BAB IV PEMBAHASAN ... 36

A. Status dan Pemahaman Hadis ... 36

B. Kontekstualisasi Metode Tanya Jawab dengan Jawaban yang Berbeda .... 63

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

(14)

ix

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia, dan tentunya ajaran yang terkandung di dalamnya harus selalu tepat dan benar.( shalih fii kulli zamanin wakanin). Pemahaman yang komprehensif dan profesional diperlukan untuk mempraktekkan hadis yang terbukti. Singkatnya, kita perlu memahami hadis Nabi SAW dengan pendekatan yang berbeda., menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pendekatan adalah proses, cara, perbuatan mendekati1. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan untuk memahami agama,2 terutama dalam memahami hadis.

diantaranya pendekatan dengan disiplin ilmu lain yang sedang berkembang. Dengan kata lain bahwa hadis-hadis tidak hanya dipahami berdasarkan pendekatan ilmu tafsir, fiqh, ushul, bahasa, dan ilmu syari‟ah lainnya 3, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan hadis-hadis juga dipahami dengan pendekatan ilmu modern yang sedang berkembang saat ini misalnya ilmu psikologi dan lain-lain.

Sangatlah penting untuk memahami hadis Nabi secara proporsional dan menghubungkannya dengan berbagai aspek dan disiplin ilmu. Hadis Nabi yang muncul pada abad ke-15, harus tetap relevan dengan zaman dan keadaan sekarang.4

Memahami hadis adalah bagian yang paling kompleks, karena hadis adalah semua yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, tindakan, dan ketetapannya dalam statusnya sebagai Rasul

1 https://kbbi.lektur.id/pendekatan Diakses pada 19 mei 2022

2 Abuddin Nata, Metode Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 28.

3 Rozian Karnedi, Metode Pemahaman Hadis (Aplikasi pemahaman tekstual dan kontekstual) (Bengkulu: IAIN Bengkulu Press, 2015), hlm. 1.

4 Ibid.

(16)

2

Allah. Oleh karena itu, meneladani Nabi Muhammad SAW adalah perwujudan dari ijma‟ yang agung. Nabi Muhammad sebagai rasul di akhir zaman seharusnya aturannya pun berlaku untuk semua zaman, tetapi Nabi Muhammad SAW sebenarnya hidup pada waktu dan tempat tertentu. Oleh karena itu, mengingat masalah kehidupan saat ini menjadi semakin kompleks, jika kita ingin hadis tetap abadi, kita perlu memahami hadis tidak hanya dengan pendekatan tekstual. Oleh karena itu, diperlukan juga pendekatan kontekstual. Artinya, kita perlu memahami hadits atau sunnah dengan mengacu pada latar belakang, situasi, kondisi, dan posisi Nabi ketika hadits atau sunnah itu ditampilkan.5

Dalam konteks memahami hadis, dapat dipahami bahwa ada dua kubu yang dasar pijakan berpikir mereka saling berbeda: Pemikiran pertama; mempunyai ikatan yang kuat terhadap teks hadis tanpa membedakan hadis-hadis yang terkait dengan ibadah dan mu‟amalah.

Karena terlalu erat berpegang dengan teks hadis, maka yang menyimpang sedikit dari teks tersebut dinilai menyimpang dari agama. Pemikiran ini kental dengan corak tekstual. Pemikiran kedua; lebih menempatkan akal dan pikiran pada posisi yang strategis dengan menganalisa rahasia perintah dan larangan dalam sebuah hadis yang berdimensi mu‟amalah.

Pemikiran ini memandang penting untuk mempertanyakan, dalam konteks apa sebuah hadis muncul dan setting sosial budaya apa yang menjadi bingkai munculnya sebuah hadis. Pemikiran ini mempunyai corak kontekstualis.

Perbedaan pemikiran dalam memahami hadis seperti tersebut di atas berdampak pada perbedaan temuan ajaran agama yang selanjutnya berdampak pula pada perbedaan sikap dan prilaku keagamaan. Bagi kelompok pertama, mereka tidak tertarik untuk mempersoalkan mengapa hadis menyuruh ini dan melarang yang itu, yang terpenting adalah jika ada perintah dilaksanakan dan ada larangan ditinggalkaan. Bagi kelompok

5Liliek Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Ulumuna, Vol XV, No. 2, Desember 2011, hlm 391

(17)

3

kedua, karena menempatkan akal pada posisi yang strategis merasa perlu mencari rahasia perintah dan larangan. Penting bagi mereka, dalam konteks apa sebuah hadis muncul. Dengan kreatifitas yang mereka miliki, maka kelompok kedua ini akan lebih toleran terhadap pluralitas perilaku yang jauh dari teks hadis sepanjang tidak menyimpang dari maqashid syari‟ah.

Dalam kenyataan yang kita lihat, meskipun seluruh umat Islam Indonesia meyakini bahwa hadis merupakan sumber ajaran kehidupan yang menduduki tingkat kedua setelah al-Qur‟an, akan tetapi metode pemahaman hadis yang digunakan berupa generalisasi. Artinya semua hadis dipahami secara sama tanpa membedakan bidang isi hadis yang muthlaq dan muqayyad maupun yang menyangkut „ibadah dan mu‟amalah.

Dengan kata lain mayoritas umat Islam Indonesia memahami hadis dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil mereka yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual.6

Problem pemahaman hadis Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran islam setelah al-Qur‟an yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-Quran.7.

Menurut petunjuk alqur‟an, Nabi Muhammad SAW selain dinyatakan sebagai Rasulullah juga dinyatakan sebagai manusia biasa.

Dengan perkataan lain, Nabi Muhammad SAW disamping berstatus sebagai rasul, beliau juga berstatus sebagai manusia. Dalam kapasitas sebagai manusia, beliau diakui oleh Umat Islam dan non Islam sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi manusia biasa.

Berkaitan dengan status Nabi SAW diatas, maka mengkaji hadis dengan melihat status Nabi dan konteks sebuah hadits pada saat sebuah hadist disabdakan serta mengetahui bentuk- bentuk matan hadits

6 A. Shamad, Berbagai Pendekatan dalam Memahami hadis, Al-Mu‟shirah Vol, 13, No.1, Januari 2016, hlm. 34, 35.

7 Suryadi, Metode Kotemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras 2008). Hlm 1.

(18)

4

merupakan upaya yang sangat penting dalam menangkap makna hadits secara utuh.

Di lingkungan umat Islam kadang kala muncul pendapat yang exklusif yang merasa bahwa pemahaman mereka terhadap sebuah hadits adalah paling benar. Munculnya realitas sosial yang melanda sebagian umat Islam bahwa mereka merasa paling benar, tersebut timbul akibat adanya perbedaan cara pandang atau pendekatan dalam memahami atau menjelaskan maksud kandungan hadis dengan pemahaman yang dijalani oleh kelompok lainnya. Fungsi nabi ketika mengucapkan hadis, kondisi psikologis, dan hal yang berhubungan dengan diri nabi sangat membantu dalam memahami keutuhan makna hadits.

Fenomena individu dan atau kelompok masyarakat dalam praktiknya, mempunyai kecendrungan perbedaan keadaan dan kondisi satu sama lainnya. Dalam beberapa hadis, Nabi SAW pernah ditanya oleh para sahabatnya dengan pertanyaan yang sama atau hampir mirip dan Nabi SAW menjawabnya tidak seragam, karena salah satu bentuk pertimbangan Nabi SAW berasal dari aspek psikologis dari para sahabatnya, dimana para sahabat mempunyai karakter dan kondisi yang berbeda.8

Beberapa contoh hadis pertanyaan tentang amal yang paling utama dengan jawaban yang berbeda, dengan menggunakan metode tanya jawab yaitu ketika sahabat bertanya tentang amalan apa yang paling utama yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya pada Kitab:

Musnad Sahabat Anshar, Bab: Hadis „Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu‟anhu. Dari sahabat „Ubadah bin Shamit Nabi SAW bersabda:

َِّبيَن اَي َلاَقَ ف َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص َِّبيَّنلا ىَتَأ الاُجَر َّنِإ ُلوُقَ ي ِتِماَّصلا َنْب َةَداَبُع ُتْعَِسَ

ِوَّللا

َكِلَذ ْنِم َنَوْىَأ ُديِرُأ َلاَق ِوِليِبَس ِفي ٌداَهِجَو ِوِب ٌقيِدْصَتَو ِوَّللاِب ُناَيمِْلْا َلاَق ُلَضْفَأ ِلَمَعْلا ُّي َأ اَي

8 A. Darussalam, Pendekatan Psikologi Dalam Studi Hadis. Al-Fikr, Vol,22, Tahun 2020, hlm 1.

(19)

5

لا ِمِهَّتَ ت َلا َلاَق ِوَّللا َلوُسَر اَي َكِلَذ ْنِم َنَوْىَأ ُديِرُأ َلاَق ُرْ بَّصلاَو ُةَحاَمَّسلا َلاَق ِوَّللا َلوُسَر َوَّل

ِوِب َكَل ىَضَق ٍءْيَش ِفي َلىاَعَ تَو َكَراَبَ ت

9

Saya mendengar 'Ubadah bin Ash Shamit berkata, Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, Wahai Nabi Allah amalan apa yang paling utama? Rasulullah SAW bersabda, "Beriman kepada Allah dan membenarkannya dan berjihad di jalan-Nya." Orang itu berkata, Saya ingin yang lebih mudah dari itu wahai Rasulullah! Rasulullah SAW bersabda, "Berlapang dada dan bersabar." orang itu berkata lagi: Saya ingin yang lebih mudah dari itu wahai Rasulullah? Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu berprasangka buruk kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala dalam suatu yang telah diputuskan untukmu."

Kemudian di hadis yang lain Nabi SAW juga ditanya tentang amalan yang paling utama yaitu dari sahabat Abu Hurairah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Nabi SAW bersabda:

ْعَج ُنْب ُدَّمَُلز ِنَِثَّدَح ح ٍدْعَس ُنْب ُميِىاَرْ بِإ اَنَ ثَّدَح ٍمِحاَزُم ِبَِأ ُنْب ُروُصْنَم اَنَ ثَّدَح ٍداَيِز ِنْب ِرَف

َلاَق َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع ِبَّيَسُمْلا ِنْب ِديِعَس ْنَع ٍباَهِش ِنْبا ْنَع ٍدْعَس َنْبا ِنِْعَ ي ُميِىاَرْ بِإ اَنَرَ بْخَأ َلاَق ِوَّللاِب ٌناَيمِإ َلاَق ُلَضْفَأ ِلاَمْعَْلأا ُّيَأ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلِئُس َلاَق اَذاَم َُّثُ

ٌروُرْ بَم ٌّجَح َلاَق اَذاَم َُّثُ َلاَق ِوَّللا ِليِبَس ِفي ُداَهِْلجا

10

Dari Abu Hurairah R.A. berkata, Nabi SAW. ditanya tentang amalan apakah yang paling utama? Beliau SAW menjawab,“Iman kepada Allâh dan Rasul-Nya.” Lalu Beliau SAW ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau SAW menjawab, “Jihad di jalan Allâh.” Beliau SAW ditanya kembali,

“Lalu apa?”Beliau SAW menjawab,“Haji yang mabrur .

Dari hadis diatas dapat dilihat bahwa pertanyaan tentang amal yang paling utama, Nabi menjawab dengan 2 bentuk jawaban yang berbeda. Ini tentunya mengindikasikan ada latar belakang mengapa Nabi menjawab pertanyaan tentang amal yang paling utama dengan

9 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Riyadh: Maktabah Darussalam, 1434 H/2013 , cet. Pertama, hlm. 1643. No. hadis 22717.

10 Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh: Dar Thayibah, 1426 H/2007, cet. Pertama, jilid 1, hlm. 52.

(20)

6

jawaban yang berbeda. Kemudian status hadis tentang amal yang paling utama diatas sebagaimana yang terdapat dalam kitab shahih muslim merupakan hadis yang berkualitas shahih. Sedangkan hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad berstatus dha‟if dikarenakan dalam sanadnya perawi „Abdullah bin Lahi‟ah dinilai dhaif oleh ulama jarh wa ta‟dil.

Beranjak dari jawaban Nabi SAW yang berbeda pada hadis diatas, Untuk itu penulis ingin meneliti tentang makna dari hadis ini dan juga status hadis tentang amal yang paling utama. Dengan demikian, penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan tersebut. Untuk penelitian ini penulis memberi judul

“KONTEKSTUALISASI HADIS METODE TANYA JAWAB TENTANG AMAL YANG PALING UTAMA (STUDI ANALISIS TEMATIK).”

B. Penegesan Istilah

1. Hadis, menurut bahasa artinya baru. Hadis juga secara bahasa berarti

“sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”. Bentuk jamaknya adalah Ahadits. Hadis menurut istilah ahli hadis adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.11

2. Metode, kata metode berasal dari bahasa inggris yaitu method yang berarti suatu cara kerja yang sistematis dan umum seperti cara kerja ilmu pengetahuan dan merupakan jawaban atas pertanyaan. Sedangkan menurut Abudin Nata di dalam bahasa arab metode diungkapkan dalam berbagai kata yaitu: Al-Thariqah yang berarti jalan kemudian manhaj yang berarti system dan al-wasilah yang berarti perantara atau mediator.12

11 Manna‟ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 22.

12 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 60.

(21)

7

3. Kontekstual, kata kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti sesuatu yang ada di depan atau belakang (kata, kalimat, atau ungkapan) yang membantu menentukan makna. Selanjutnya, dari kata kontekstual muncul istilah kaum kontekstualis yang artinya sekelompok orang yang memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di sekitarnya karena ada indikasi makna-makna lain selain makna tekstual. Dengan kata lain, pemahaman makna kontekstual adalah pemahaman makna yang terkandung di dalam nash (bathin al-nash).

Sementara itu, kontekstual dibedakan menjadi dua macam yaitu:

a. Konteks internal, seperti mengandung bahasa kiasan, metafora, serta simbol

b. Konteks eksternal, seperti kondisi audiensi dari segi kultur, sosial, serta asbab al-wurud.13

C. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasikan beberapa masalah yang akan dijadikan bahan penelitian selanjutnya, yaitu:

1. Mengelompokkan hadis tanya jawab tentang amal yang paling utama pada lafaz a‟mal afdhal dan a‟mal ahab ilallah.

2. Status hadis tanya jawab tentang amal yang paling utama.

3. Makna hadis tanya jawab tentang amal yang paling utama.

4. Asbabul wurud hadis tanya jawab tentang amal yang paling utama.

5. Periwayatan hadis tanya jawab tentang amal yang paling utama.

D. Batasan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan lebih fokus, sempurna dan mendalam, maka penulis memandang bahwa permasalahan dalam penelitian ini perlu dibatasi. Oleh sebab itu penulis membatasi kajian ini yaitu berkaitan dengan status dan pemahaman hadis tentang

13 Abdul Madjid Khon, Takhrij & Metode Memahami Hadis (Jakarta: AMZAH, 2014), hlm. 146-147.

(22)

8

amal yang paling utama kemudian mengumpulkan hadis tersebut pada tema yang berkaitan dan membatasinya dengan mengambil 4 buah hadis Nabi SAW yang berkaitan tentang amal yang paling utama kemudian mengelompokkan 4 hadis tersebut pada lafadz a‟mal afdhal yaitu hadits yang terdapat pada kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim dalam kitab:

iman, bab: beriman kepada Allah ta‟ala adalah sebaik-baik amal, no.

244,14 dan pada kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, Pada Kitab: Musnad Sahabat Anshar, Bab: Hadits „Ubadah bin Shamit, No. 2271715 dan pada lafadz a‟mal ahab ilallah yaitu pada kitab syarah shahih bukhari dalam kitab: waktu-waktu shalat, bab: keutamaan shalat pada waktunya, no.

52716 dan dalam kitab: kelembutan hati, bab: berniat melakukan amal shalih dan terus-menerus melakukannya, no. 646517.

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang diatas, untuk memudahkan pengkajian dalam penelitian ini maka diperlukan adanya suatu rumusan masalah. Dalam usaha menghindari ketidakjelasan serta pemfokusan pada pokok masalah yang akan dibahas, maka penulis menentukan persoalan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana status dan pemahaman hadis tentang amalan yang paling utama?

2. Bagaimana kontekstualisasi metode tanya jawab dengan jawaban yang berbeda?

F. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

14 An-Nawani, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Hajjaj, Syarah Shahih Muslim, terj.

Agus Ma‟munah dkk (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015) cet. 5, jilid 1, hlm. 717.

15 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Riyadh: Maktabah Darussalam, 1434 H/2013 , cet. Pertama, hlm. 1643. No. hadis 22717.

16 Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, terj. Darwis dan Muhtadi (Jakarta: Darus sunnah, 2014) cet. 2, jilid 2, hlm. 743.

17 Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Shahih Al-Bukhari, terj. Darwis dan Muhtadi (Jakarta: Darus sunnah, 2012) cet. 1, jilid 8, hlm. 726.

(23)

9

a. Untuk mengetahui status dan pemahaman hadis tentang amalan yang paling utama

b. Untuk mengetahui kontekstualisasi metode tanya jawab dengan jawaban yang berbeda

2. Manfaat

Adapun manfaat dan kegunaan yang diharapkan hendaknya dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan persoalan hadis metode tanya jawab tentang amal yang paling utama, yang dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi jurusan Ilmu Hadis serta dapat menambah bahan hukum bagi kalangan yang berminat untuk mentela‟ahnya

Serta guna memenuhi dan melengkapisyarat dalam menyelesaikan studi di jurusan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran penulisan dan pembahasan, skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari bagian-bagian yang digambarkan secara ringkas, antara lain sebagai berikut:

BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, penegasan istilah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, dan sistematika penulisan

BAB II merupakan kajian teoritis yang mencakup landasan teori tentang bahasan kontekstual hadis-hadis tentang pertanyaan yang sama dengan jawaban yang berbeda

(24)

10

BAB III merupakan metode penelitian yang mencakup cara dan proses penelitian, meliputi jenis penelitian yaitu penelitian pustaka (library researce dengan pendekatan kualitatif, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, dan jteknik analisis data.

BAB IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan, dalam bab ini akan dijelaskan tentang isi pembahasan penelitian dimana bahaan-bahan yang sudah terkumpul pada bab sebelumnya untuk dianalisis lebih mendalam.

Diantaranya membahas tentang kontekstual hadis-hadis tentang pertanyaan yang sama dengan jawaban yang berbeda. Kemudian menganalisis kualitas hadis tersebut dan mencari tahu bagaimana pemahaman hadits tersebut.

BAB V penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dari kajian yang telah dipaparkan, kemudian ditutup dengan saran yang sekiranya penting dan bermanfaat demi kelanjutan penelitian berikutnya.

(25)

11 BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Landasan Teori 1. Kontekstual

a. Pengertian Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari kata “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1. Bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2. Situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis.

Pendekatan kontekstual, menurut Qamaruddin Hidayat, seorang penafsir memposisikan sebuah teks ke dalam sebuah jaringan wacana, hal itu diibaratkan sebuah gunung es, teks adalah fenomena kecil dari puncak gunung yang tampak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit menangkap makna pesan dari sebuah teks.

Sama dengan Al-Qur‟an, sejumlah hadis dalam upaya pemahaman sangat erat hubungannyadengan konteks tertentu, misalnya kapan Rasulullah menyampaikan berita atau bersikap, bertindak atau berperilaku, dimana, dalam kondisi bagaimana, kepada siapa beliau menyampaikan, dan sebagainya.18

Menurut Edi Safri pemahaman hadis secara konteksual adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatar belakangi munculnya hadis-hadis

18 Firad Wijaya, Andri Afriani, Pendekatan Tekstual dan Kontekstual Dalam Study Hadis, hlm. 39, 40.

(26)

12

tersebut. Atau dengan kata lain memperhatikan dan mengkaji konteksnya.

Ada juga yang berpendapat bahwa memahami hadis secara kontekstual berarti memahami hadits berdasarkan peristiwa dan situasi ketika hadits itu diucapkan, dan kepada siapa hadits itu ditujukan, jadi hadits nabi itu dipahami berdasarkan redaksi lahiriah dan aspek kontekstualnya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman kontekstual adalah pengambilan informasi atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat pada teks hadits saja, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat).

Disamping itu menurut penulis suatu hadis perlu dipahami secara tekstual apabila dalam teks hadis tersbut mengandung muhtamalah [tidak jelas].19

Sebagian ulama menyebut makna tekstual dan kontekstual dengan sebutan mafhumal-nash dan ma‟qul al-nashh; dan sebagian lain lagi ada yang menyebutnya mantuq al-nashh dan mafhum al-nash. Ada beberapa ketentuan umum dalam memahami hadis secara benar sesuai dengan perkembangan zaman dan utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Menurut Al-Qardhawi, berikut ini langkah-langkah memahami hadis secara tepat dan benar.

19 Rozian Karnedi, Metode Pemahaman Hadis, hlm. 5, 6.

(27)

13

1. Memahami hadis sesuai petunjuk Al-Qur‟an. Artinya, hadis tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur‟an

2. Menghimpun hadis-hadis yang bertema sama dengan takhrij lalu kandungannya dianalisis.

3. Penggabungan dan pen-takhrij-an hadis-hadis yang kontradiktif. Hadis-hadis yang bertema sama dikompromi dengan cara memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, atau membatasi yang mutlak. Jika tidak memungkinkan, diambil yang lebih unggul (tarjih).

4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan konteks latar belakang, situasi, kondisi, dan tujuan. Misalnya, sabda Nabi SAW dari Ibnu Abbas berikut ini:

ِنْبا ْنَع ٍدَبْعَم ِبَِأ ْنَع وٍرْمَع ْنَع ُناَيْفُس اَنَ ثَّدَح ٍديِعَس ُنْب ُةَبْيَ تُ ق اَنَ ثَّدَح ُوَّنَأ اَمُهْ نَع ُوَّللا َيِضَر ٍساَّبَع َّنَوُلَْيَ َلا ُلوُقَ ي َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص َِّبيَّنلا َعَِسَ

ِوَّللا َلوُسَر اَي َلاَقَ ف ٌلُجَر َماَقَ ف ٌمَرَْلز اَهَعَمَو َّلاِإ ٌةَأَرْما َّنَرِفاَسُت َلاَو ٍةَأَرْماِب ٌلُجَر َح ِتَِأَرْما ْتَجَرَخَو اَذَكَو اَذَك ِةَوْزَغ ِفي ُتْبِتُتْكا َعَم َّجُحَف ْبَىْذا َلاَق اةَّجا

َكِتَأَرْما

20

Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa‟id, telah bercerita kepada kami Sufyan dari „Amru dari Abu Ma‟bad dari Ibnu „Abbas r.a bahwa dia mendengar Nabi SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita berpergian kecuali bersama mahramnya.” Lalu ada seorang laki-lakiyang bangkit seraya berkata,”Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan haji.” Maka beliau bersabda,”Tunaikanlah haji bersama istrimu”.

Pada waktu itu, berpergian jauh biasanya menggunakan unta atau keledai dengan mengarungi padang pasir dan daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia.

20 Abu „Abdullah Muhammab bin Isma‟il Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1423 H/2002), kitab Jihad & ekspedisi, hlm. 740.

(28)

14

Kondisi seperti ini cukup berbahaya bagi seorang wanita yang berpergian tanpa didampingi oleh mahramnya.

Berbeda dengan kondisi sekarang di mana seorang wanita dapar berpergian jauh dengan mengendarai pesawat, kereta api, atau bus yang dapat mengangkut banyak orang dan teman. Pada masa sekarang ini tidak ada lagi kekhawatiran terhadap keselamatan seorang wanita. Oleh karena itu, jika ia berpergian tanpa mahram tidak dapat dianggap melanggar hadis tersebut. Sebagian ulama memperbolehkan seorang wanita pergi haji bersama sejumlah wanita yang dipercaya atau dalam rombongan yang aman bahkan Imam Syafi‟I memperbolehkannya pergi sendirian jika dalam keadaan aman.21

5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan yang tetap. Sarana dan prasarana dapat berubah dan berkembang sesuai dengan ligkungan, zaman, dan adat istiadat. Meskipun demikian, tujuan harus tetap dijaga. Misalnya, hadis tentang berbekam yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu kedokteran modern. Berikut ini hadis Rasulullah SAW dari Anas bin Malik.

َبوُّيَأ ُنْب َيََْيح اَنَ ثَّدَح ُليِعَْسَِإ اَنَ ثَّدَح اوُلاَق ٍرْجُح ُنْب ُّيِلَعَو ٍديِعَس ُنْب ُةَبْيَ تُ قَو

ِماَّجَْلحا ِبْسَك ْنَع ٍكِلاَم ُنْب ُسَنَأ َلِئُس َلاَق ٍدْيَُحُ ْنَع ٍرَفْعَج َنْبا َنوُنْعَ ي ُبَأ ُوَمَجَح َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َمَجَتْحا َلاَقَ ف ُوَل َرَمَأَف َةَبْيَط و

اَم َلَضْفَأ َّنِإ َلاَقَو ِوِجاَرَخ ْنِم ُوْنَع اوُعَضَوَ ف ُوَلْىَأ َمَّلَكَو ٍماَعَط ْنِم ِْينَعاَصِب ْمُكِئاَوَد ِلَثْمَأ ْنِم َوُى ْوَأ ُةَماَجِْلحا ِوِب ْمُتْ يَواَدَت

22

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa‟id dan Ali bin Hujr mereka berkata,telah menceritakan kepada kami Isma‟il yang mereka maksudkan

21 Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami hadis Nabi SAW, (Bandung: Karisma, 1997), cet. Ke-4, hlm.136-137.

22 Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh: Dar Thayibah, 1426 H/2007, cet. Pertama, kitab Al-Musaqah wa Al-Muzara‟ah,hlm. 740.

(29)

15

adalah Ibnu Ja‟far, dari Humaid dia berkata,”Anas bin Malik ditanya mengenai tkang bekam, dia lalu menjawab,”Rasulullah SAW pernah berbekam dan yang membekam beliau adalah Abu Thaibah, lantas beliau memerintahkan (keluarganya) supaya memberikan kepada Abu Thaibah dua gantang makanan, dan beliau menganjurkan kepada tuannya supaya dia (tuannya) meringankan tugas yang dibebankan kepada Abu Thaibah.

Beliau bersabda,”Sesungguhnya berbekam adalah pengobatan yang paling utama atau termasuk terapi yang paling baik.”

Nabi menganjurkan berbekam dan menggunakan habbah al- sauda‟ (jintan hitam) sebagai sarana pengobatan. Sarana tersebut dapat terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, tujuan pengobatan tetap harus dijaga, yaitu menjaga kesehatan dan kehidupan.

6. Membedakan makna hakikat dan majas. Hadis tentang panjang tangan ternyata diartikan dermawan dan banyak kebaikan sebagaimana hadis berikut ini:

اَنَرَ بْخَأ ُّ ِنِاَنيِّسلا ىَسوُم ُنْب ُلْضَفْلا اَنَ ثَّدَح َدَْحَُأ وُبَأ َن َلاْيَغ ُنْب ُدوُمَْلز اَنَ ثَّدَح َينِنِمْؤُمْلا ِّمُأ َةَشِئاَع ْنَع َةَحْلَط ِتْنِب َةَشِئاَع ْنَع َةَحْلَط ِنْب َيََْيح ُنْب ُةَحْلَط ْتَلاَق اادَي َّنُكُلَوْطَأ ِبِ ااقاََلح َّنُكُعَرْسَأ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق

اَهَّ نَِلأ ُبَنْ يَز اادَي اَنَلَوْطَأ ْتَناَكَف ْتَلاَق اادَي ُلَوْطَأ َّنُهُ تَّ يَأ َنْلَواَطَتَ ي َّنُكَف ْتَلاَق ُقَّدَصَتَو اَىِدَيِب ُلَمْعَ ت ْتَناَك

23 Telah menceritakan kepada

kami Mahmud bin Ghailan Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Musa As-Sinani, telah mengabarkan kepada kami Thalhah bin Yahya bin Thalhah dari Aisyah binti Thalhah dari „Aisyah dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Di antara kalian yang lebih dahulu bertemu denganku di hari kiamat kelak adalah yang paling panjang lengannya. „Aisyah berkata, “lalu mereka, para istri Rasulullah SAW mengukur tangan siapakah yang paling panjang. “Aisyah berkata, “ternyata Zainab lah yang paling panjang diantara kami, karena ia sering beramal dan bersedekah dengan tangannya.”

23 Ibid, Shahih Muslim Kitab keutamaan sahabat, hlm. 1147.

(30)

16

7. Membedakan antara alam gaib dan semesta. Banyak hadis tentang berita gaib, seperti mizan, shirat, hisab, dan azab kubur. Berita alam ghaib untuk diimani dan tidak dirasionalkan, sedangkan alam lahiriah boleh di rasionalkan.

8. Memastikan makna dan konotasi lafal.24 Makna dan konotasi lafal harus dijaga dan jangan sampai terjadi penyimpangan.

Misalnya, pendapat Abu Hamid Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip Al-Qardhawi bahwa kata fiqh, „ilm, tauhid, tadzkir, dan hikmah. Kelima kata ini mengandung makna yang terpuji dan penyandangannya adalah orang-orang yang memegang jabatan agama. Akan tetapi, kelima kata tersebut diselewangkan sehingga menjadi tercela dan dijauhi orang banyak.25 Misalnya, fiqh, diartikan paham hukum agama saja, tidak paham akidah dan akhlak. „ilm dipelesetkan menjadi

„Ilmani atau „almani yang artinya sekuler. Tauhid diartikan esa sehingga agama yang memiliki banyak tuhan, tetapi berintegrasi tetap disebut esa. Tadzkir, atau dzikir diartikan ingat(eling) sehingga shalat cukup dengan mengingat.26

b. Alasan dan Konsekuensi Pemahaman Secara Kontekstual

Pada dasarnya permasalahan pemahaman hadis baik secara tekstual atau kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya sehingga hadis tersebut dapat diamalkan sesuai dengan yang diharapkan oleh Nabi sesuai dengan perintah Allah, dan bukan merupakan keinginan pribadi maupun emosi saja apakah suatu hadits hendak dipahami secara tekstual atau kontekstual.

24 Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata‟amal ma‟a Al-Sunnah Al-Nabawiyah, (Mesir: Dar Al- Wafa‟, 1994) cet. Ke-7, hlm. 41

25 Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami hadis Nabi SAW, hlm. 196.

26 Abdul Madjid Khon, Takhrij & Metode Memahami Hadis. Hlm. 149.

(31)

17

Kontekstual merupakan keperluan kaum muslimin untuk mengantisipasi tantangan dan tuntutan masa kini, oleh Djohan Effendi mengatakan pendekatan secara kontekstual ini merupakan metode untuk memahami hadis dengan sosio-historik, yaitu melihat dan mendekati suatu gagasan atau fenomena tidak lepas dari konteks waktu, tempat budaya, kelompok, dan lingkungan sedikit banyaknya ada kaitannya. Nabi sebagai source of hadits tidaklah hidup ditengah-tengah masyarakat yang homogenitas, tetapi beliau hidup ditengah masyarakat yang heterogen yang masyarakatnya berada ditengah-tengah kerasnya budaya arab, oleh sebab itu sebagai orang yang membawa misi suci dari Allah, Nabi dituntut untuk tampil ditengah mereka sebagai full profile yang bersifat rahmatan li „alamiin.

Jadi, ketika Nabi menghadapi orang-orang Arab, beliau tidak hanya menggunakan suatu cara, tetapi multicara. Dan beliau sadar bahwa setiap orang mempunyai kadar intelegensi yang berbeda atau beragam, sehingga menghadapi mereka seukuran menghadapi kadar mereka juga.

Dengan demikian kontekstualisasi terhadap hadis sangat perlu dilakukan karena suatu hadits tidak dapat dipahami dan diamalkan dengan baik jika hanya dipahami secara tekstual saja.

Apabila suatu hadis dipahamai secara kontekstual maka konsekuensinya adalah kandungan yang terdapat dalam hadis tersebut berlaku khusus, temporal, lokal, terikat dengan waktu, tempat dan illat ketika hadis tersebut diucapkan.

c. Batasan-batasan Pemahaman Hadis Secara Kontekstual

Walaupun kontekstualisasi terhadap hadis merupakan suatu keharusan, Tetapi bukan berarti dapat dilakukan secara bebas.

Ada rambu-rambu yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum melakukan proses ini. Rambu-rambu itu adalah; pertama,

(32)

18

menyangkut lapangannya. Tidak semua lapangan menjadi objek kontekstualisasi. Secara umum, M. Sa‟ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi hadis meliputi dua hal, yaitu:

1. Dalam bidang ibadah mahdhah (murni) tidak ada atau tidak perlu pemahaman kontekstual.

2. Bidang di luar ibadah murni (ghair mahdhah). Pemahaman kontekstual perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal atau nash.

Dapat dipahami bahwa, dalam hal ibadah yang murni (mahdhah) tidak perlu dipahami secara kontekstual karena Rasul mempunyai otoritas penuh tanpa campur tangan ra‟yu manusia.

Sedangkan di luar ibadah murni (ghairu mahdhah) diperlukan pemahaman secara kontekstual dengan tetap berpegang kepada nash dan dipahami juga posisi ketika Muhammad dalam menyampaikan hadits apakah sebagai hakim, pemimpin negara atau manusia biasa.

Kedua, menyangkut pelakunya. Tidak semua orang boleh melakukan kontekstualisasi, diperlukan perangkat keilmuan yang cukup dan mapan dalam kontekstualilsasi. Diantaranya memahami ilmu hadis dan segala perangkatnya, memahami asbab al-wurud hadis, dan lain sebagainya. Selain itu terdapat pula batasan-batasan dalam kontekstualisasi hadis, antara lain:

1. Hadis yang menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secara tekstual. Yang mana dalam hal itu tidak menuntut seseorang untuk mengikuti secara saklek/apa adanya jika ingin mengikuti Nabi tidak harus berbicara dengan bahasa Arab, memberi nama yang Arabisme, berpakaian gamis ala Timur Tengah dan sebagainya. Karena semua itu produk budaya yang tentu secara zhahir antara setiap wilayah berbeda.

(33)

19

2. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan biologis. Jika Rasulullah makan hanya menggunakan tiga jari, maka tidak harus diikuti dengan tiga jari, karena yang dimakan Rasul adalah kurma atau roti. Sedangkan bila makan nasi dan sayur asem harus dengan tiga jari betapa tidak efektifnya.

3. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial.

Cara manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar, dan binatang adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana isyarat hadis “antum a‟lamu bi umuur addunyakum.” Ide dasar yang disandarkan kepada Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada pencipta.

4. Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya yang sedemikian kompleks. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak dapat menjadi parameter sosial.

d. Qarinah (indikasi) dan pembagian kontekstual hadis

1. Memperhatikan Asbab al-wurud [Kontekstual historis, sosiologis] Jika al-Qur‟an sangat membutuhkan ilmu asbab al-nuzul dalam memahaminya, maka demikian juga halnya dengan hadis, dalam memahaminya sangat diperlukan ilmu asbab al wurud al-hadis. Usaha untuk memahami hadis dengan pendekatan asbab al wurud inilah yang disebut dengan metode konsteksual Asbab al-Wurud.

2. Memperhatikan maqashid al-lughawi (kontekstual redaksiaonal)

(34)

20

3. Memperhatikan makanatu Rasululah SAW (kontekstual psikologi).27

2. Metode Tanya Jawab

a. Pengertian metode tanya jawab

Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan murid.28

Dalam bahasa arab tanya dan jawab berarti Al- as`ilah wa al-ajwibah dan merupakan bagian dari metode dialogis. Kesan yang ditimbulkan melalui metode ini lebih kuat bila dibandingkan hanya dengan berkomunikasi satu arah/one way Communication.29 Metode dialogis disebut juga dengan metode hiwâr sehingga dapat dipahami bahwa hiwâr tidaklah sama dengan al-as`ilah wa al-ajwibah.

Terdapat perbedaan antara al-hiwâr (dialog) dengan al- as`ilah wa al-ajwibah (tanya jawab). Alhiwâr dikemas dalam bentuk dua orang berbicara dalam tingkat kesetaraan, tidak ada dominasi yang satu dengan yang lainnya.

Sedangkan al-as`ilah wa al-ajwibah dikemas dalam bentuk dua orang berbicara dalam tingkat yang berbeda. Salah satu sisi bertanya dan sisi yang lain menjawab, sehingga terdapat dominasi pada salah satu sisi. Kesan yang ditimbulkan melalui al-as`ilah wa al-ajwibah lebih kuat bila dibandingkan hanya dengan satu arah komunikasi saja.30

Kata َةَلئسَلأا merupakan bentuk jama‟ dari kata ٔ ا

ﻮﺴﻟ

لا (soal/pertanyaan) sehingga berarti soal-

27 Rozian Karnedi, Metode Pemahaman Hadis, hlm. 9-10.

28 Hasanah, Metode Tanya Jawab Dalam Belajar dan Pembelajaran, (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, tth), hlm. 3.

29 Munir M., Elvi Hudhriyah dkk, Metode Dakwah, Cet.ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 ), hlm. 335

30 Ibid, hlm. 335

(35)

21

soal/pertanyaan-pertanyaan. 31 Secara etimologis, soal berasal dari bahasa Arab " لأﻮﺴﻟ ا" , kata ini merupakan masdar dari kata kerja لﺄﺴﯾ - لﺄس yang artinya meminta, mengharap pemberian, mencari berita atau bertanya.32 Begitu pula dengan kata ةبِﻮجلأا juga merupakan bentuk jama‟ dari kata ُباَﻮ َجﻟا (balasan, jawaban) sehingga berarti jawaban-jawaban.33 sehingga dapat dipahami bahwa َةَلئسَلأا ةبِﻮجلأا adalah kegiatan tanya jawab antara seorang dengan orang lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Luwis Ma‟luf dalam al-Munjid bahwa Su‟al dapat diartikan sebagai permintaan . Dalam pembahasan ini dapat diartikan pertanyaan. Sedangkan secara termonologis su‟al diberi arti yang singkat, yaitu suatu upaya untuk mendapatkan pemahaman. Kata ini kemudian menjadi kata serapan, yang dalam kosakata bahasa Indonesia sinonimnya adalah pertanyaan. Sedangkan jawab, secara etimologis juga berasal dari bahasa Arab ُباَﻮ َج , yang artinya mengembalikan pertanyaan, pembicaraan , surat, do‟a atau lainnya. Adapun yang dimaksud dengan metode bahwa

َةَلئسَلأا

ةبِﻮجلأا adalah suatu metode yang dilakukan dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat membimbing orang yang ditanya untuk mengemukakan kebenaran dan hakikat yang sesungguhnya. Menurut Khalid Abd ar- Rahman al-Akk, pertanyaan adalah perkataan yang menjadi permulaan. Sementara jawaban adalah perkataan yang dikembalikan kepada penanya.34

31 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Cet.ke-14, hlm. 639

32 Ma‟luf, Abu Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut: al-Maktabah asSyarqiyyah,1986) hlm. 316

33 Ibid, hlm. 108.

34 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.ke-2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 187.

(36)

22

b. Ragam dan bentuk tanya jawab

1) Jawaban melebihi dari yang ditanyakan, seperti hadis dari Abu Hurairah r.a terdapat pertanyaan yang diajukan oleh malakait Jibril kepada Nabi Muhammad SAW:

َتََم َلاَق َكُِبِْخُأَسَو ِلِئاَّسلا ْنِم َمَلْعَأِب اَهْ نَع ُلوُئْسَمْلا اَم َلاَق ُةَعاَّسلا

ِفي ُمْهُ بْلا ِلِبِْلْا ُةاَعُر َلَواَطَت اَذِإَو اَهَّ بَر ُةَمَْلأا ْتَدَلَو اَذِإ اَهِطاَرْشَأ ْنَع ُ

و َّللا َّلاِإ َّنُهُمَلْعَ ي َلا ٍسَْخَ ِفي ِناَيْ نُ بْلا

35

“Orang tersebut bertanya lagi, “Kapankah hari Kiamat?

“Nabi menjawab; “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari orang yang bertanya, tapi akan kuterangkan tanda- tandanya: yaitu apabila budak perempuan melahirkan majikannya, apabila pengembala unta telah bermegah- megah dalam gedung yang indah mewah; dan kiamat adalah salah satu dari lima rahasia Allah yang hanya Dia yang mengetahuinya.”...

Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal itu dipandang perlu.36 Pertanyaan “Kapankah hari kiamat?” dijawab oleh Rasulullah Saw dengan mengemukakan tanda-tanda kiamat, bukan dengan menjawab waktu terjadinya kiamat sebagaimana yang dapat dipahami dari pertanyaan.

Karena biasanya bila yang ditanyakan adalah waktu maka yang menjadi jawaban adalah waktu juga, seperti bila ditanyakan tentang nama maka yang dikehendaki jawabannya adalah sebuah nama.

Namun Rasulullah Saw menjawab pertanyaan Jibril dengan jawaban melebihi dari apa yang ditanyakan, hal itu agar umat memperhatikannya dan menjadi petunjuk bahwa mengetahui hal tersebut dapat mendatangkan

35 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhârî, Shahih alBukhariy, Cet.Ke-7, juz 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 2009), hlm. 20

36 Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 55

(37)

23

manfaat.37 Nilai yang dapat diambil dari jenis tanya- jawab seperti ini adalah bukan suatu keharusan menjawab sama persis dengan apa yang ditanyakan, terlebih karena alasan yang sangat dimaklumi, dalam hal ini Sesungguhnya hanya Allah Swt yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat bahkan Rasul-Nya pun tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, sehingga Rasulullah Saw menjawab dengan mengemukakan ciri- cirinya, yang hal itu memang telah diketahui oleh Rasulullah Saw dengan izin Tuhannya.

2) Jawaban lebih ringkas dari apa yang ditanyakan, seperti hadis dari Abdullah bin umar r.a berikut:

اَم ِوَّللا َلوُسَر اَي َلاَق الاُجَر َّنَأ اَمُهْ نَع ُوَّللا َيِضَر َرَمُع ِنْب ِوَّللا ِدْبَع ْنَع َو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق ِباَيِّ ثلا ْنِم ُمِرْحُمْلا ُسَبْلَ ي َلا َمَّلَس

َّلاِإ َفاَفِْلخا َلاَو َسِناَرَ بْلا َلاَو ِت َلايِواَرَّسلا َلاَو َمِئاَمَعْلا َلاَو َصُمُقْلا ُسَبْلَ ي َلاَو ِْينَ بْعَكْلا ْنِم َلَفْسَأ اَمُهْعَطْقَ يْلَو ِْينَّفُخ ْسَبْلَ يْلَ ف ِْينَلْعَ ن ُدَِيَ َلا ٌدَحَأ اائْيَش ِباَيِّ ثلا ْنِم اوُسَبْلَ ت ٌس ْرَو ْوَأ ُناَرَفْعَّزلا ُوَّسَم

38

“Dari Abdullah bin Umar r.a bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, apakah pakaian yang boleh dipakai oleh orang yang melakukan ihram?” Rasulullah Saw bersabda, “Dia tidak boleh memakai gamis, serban, celana, burnus (baju berpenutup kepala) dan sepatu, kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sepasang sendal, maka hendaklah ia memakai sepasang sepatu dan memotong keduanya lebih rendah daripada kedua mata kakinya. Janganlah kalian memakai pakaian yang disentuh oleh za‟faran dan wars.”

An-Nawawi berkata, “Para ulama mengatakan bahwa jawaban ini sangat baik dan simple (ringkas),

37 Ahmad bin „Aliy bin Hajar Al-‟Asqalani, Fath al- Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, (Kairo: Dar El-Hadis, 2004) Juz 1, hlm. 152

38 Al-Bukhârî, Shahîh alBukhari, hlm. 380-381

(38)

24

sebab apa yang tidak boleh dipakai ihram jumlahnya terbatas, maka Nabi menjadikannya sebagai jawaban, sedangkan pakaian yang boleh digunakan ihram tidak terbatas. Jika dikatakan “ Tidak boleh memakai pakaian ini” artinya boleh memakai pakaian selainnya. Al- Baidhawi berkata, “Nabi Saw ditanya tentang apa yang boleh dipakai dalam ihram, namun Beliau menjawab dengan apa yang tidak boleh dipakai saat ihram, dimana secara implisit menunjukkan apa yang boleh dipakai.

Hanya saja Beliau memberi jawaban yang menyimpang dari pertanyaan, karena hal ini lebih ringkas dan mencakup semuanya.” Lebih lanjut Ibnu Hajar mengemukakan pendapat Ibnu Daqiq al-Id yang menyatakan bahwa yang menjadi pedoman dalam jawaban adalah apa yang dapat mencapai maksud, meskipun ada perubahan atau tambahan, tanpa harus sesuai dengan pertanyaan dari semua sisi.39

3) Jawaban yang lugas, langsung pada apa yang ditanyakan, seperti hadis dari Abu Ayyub r.a:

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِِّبيَّنلِل َلاَق الاُجَر َّنَأ ُوْنَع ُوَّللا َيِضَر َبوُّيَأ ِبَِأ ْنَع ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ُِّبيَّنلا َلاَقَو ُوَل اَم ُوَل اَم َلاَق َةَّنَْلجا ِنُِلِخْدُي ٍلَمَعِب ِنِِْبِْخَأ َمَّلَسَو ِتِْؤُ تَو َة َلاَّصلا ُميِقُتَو اائْيَش ِوِب ُكِرْشُت َلاَو َوَّللا ُدُبْعَ ت ُوَل اَم ٌبَرَأ

َم ِحَّرلا ُلِصَتَو َةاَكَّزلا

40

“Seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw,

“Beritahukan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga!” Seseorang berkata,

“ Ada apa dengannya, ada apa dengannya (apa yang dia tanyakan)?” Nabi Saw bersabda, “Ia mempunyai kepentingan (ia menanyakan sesuatu yang sangat

39 Al-‟Asqalani, Fath al- Bârî bi Syarh.., Juz III, hlm. 455

40 Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhari.., hlm. 341

(39)

25

penting), engkau menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan Salat, mengeluarkan zakat dan mempererat hubungan kekeluargaan.”

Pada Hadis tersebut, Rasulullah Saw secara lugas menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang laki- laki yang sangat antusias untuk menanyakan tentang amalan yang dapat memasukkannya ke surga. Disebutkan bahwa laki-laki itu menghampiri unta Nabi Saw dan memegang tali kekangnya seraya mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw. Kondisi ini membuat khawatir para Sahabat yang melihat sehingga mereka bertanya

“ada apa dengannya?”, namun Rasulullah Saw sangat arif dan bijak, Beliau memahami laki-laki tersebut memiliki kepentingan yang besar untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaaan itu. Situasi terjadinya tanya jawab antara Rasulullah Saw dengan laki-laki itu memberikan gambaran bahwa saat itu merupakan waktu yang tepat bagi Rasulullah Saw memberikan jawaban secara lugas.

4) Jawaban dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban lisan, tetapi cukup direnungi dan dihayati maksudnya.

Adakalanya Rasulullah Saw menjawab pertanyaan dengan kembali bertanya kepada orang yang bertanya, namun jawaban berupa pertanyaan oleh Rasulullah ini tidaklah membutuhkan jawaban, cukup direnungi dan dihayati apa maksud dari jawaban yang berupa pertanyaan itu. Seperti hadis dari Abu Hairah r.a berikut:

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Skripsi berjudul “Penerapan Metode Tanya Jawab Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa (Studi Kasus Pada Mata Pelajaran Ekonomi Pokok Bahasan Memahami Uang dan

Dari sekian banyak metode-metode pengajaran diatas penulis mencoba melakukan penelitian apakah metode ceramah, tanya jawab, dan latihan merupakan metode yang

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa prolematika metode tanya jawab dalam pembelajaran PAI di SD Negeri 04 Majalangu Kecamatan

“Pengaruh Media Kartu Tanya Jawab Terhadap Daya Ingat Siswa Pada Mata Pelajaran Fikih MI Nurus Salam Cancung Bubulan”, Skripsi, Program Strata Satu (SI) Program

Berdasarkan simpulan hasil penelitian tersebut diatas bahwa pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan menerapkan metode tanya jawab dapat

Metode yang digunakan adalah tanya jawab faktor utama yang diharapkan pemehaman siswa dalam mempelajari fiqih kelas V untuk dapat menilai sebuah pemahaman

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Metode Tanya Jawab Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak Terhadap Kreatifitas Berfikir Siswa Mts Nu 01 Gringsing Batang, ini ditulis

(3) Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat penggunaan metode Tanya jawab dalam meningkatkan motivasi belajar Fiqih peserta didik di Madrasah