• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaarfeit” atau “Delict” untuk terjemahan itu dalam bahasa Indonesia disamping istilah “Tindak Pidana” juga dipakai dan beredar istilah lain baik dalam buku ataupun dalam peraturan tertulis antara lain:

1) Perbuatan yang dapat dihukum 2) Perbuatan yang boleh dihukum 3) Peristiwa pidana

4) Pelanggaran pidana 5) Perbuatan pidana.18

Perundang-undangan di Indonesia telah mempergunakan istilah-istilahd atas, dalam berbagai undang-undang. Demikian pula para sarjana Indonesia telah mempergunakan beberapa atau salah satu istilah tersebut di atas dengan memberikan sandaran masing-masing dan bahkan pengertian dari istilah tersebut.

Di bawah ini penulis kemukakan pendapat para sarjana barat tentang pengertian tindak pidana, yaitu:

1. Menurut D. Simons

Pertama kita mengenal perumusan yang dikemukakan oleh Simons bahwa peristiwa pidana itu adalah: “Perbuatan salah dan melawan hukum, yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang ampu bertanggungjawab”. Perumusan menurut pendapat Simons menunjukkan unsu-unsur dari perbuatan pidana sebagai berikut:

18 E.Y. Kanter, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHMPTHM, Jakarta, 1992, hlm.

187

(2)

16 a. Perbuatan manusia

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederechttelijk) c. Perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang d. Pelakunya harus orang yang mampu bertanggungjawab e. Perbutan itu terjadi karena kesalahan pembuat. 19

2. Menurut Va Hamel

Tentang perumusan “Strafbaarfeit” itu sarjana ini sependapat dengan Simons hanya ia menambahkan : “Sifat perbuatan yang mempunyai sifat yang dapat dihukum”.20

Selanjutnya dikemukakan pula mengenai rumusan pengertian tinda pidana menurut pendapat para sarjana Idonesia.

1. Moeljatno, mengartikan istilah “Strafbaarfeit” sebagai “Perbutan pidana”. Pengerian pidana menurut beliau adalah: “Perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barangsiapa melanggar pelanggaran tersebut”. Perbuatan harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.

Maka perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsure formil yaitu mencocoki rumusan undang-undang dan unsur materiil yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum.21

2. R. Tresna, mengartikan istilah “Starfbaarfeit” sebagai “Peristiwa pidana”. Menurut beliau peristiwa pidana itu adalah “Suatu perbuatan

19 Ibid, hlm. 205

20 Ibid, hlm. 207

21 Moejatno, Azas-azas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 56

(3)

17

atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang- undang atau peraturan lainnya, terhadap perbuatan ana diadakan penghukuman.22

3. Wirjono Prodjodikoro cenderung mengartikan “Strafbaarfeit”

sebagai “Tindak pidana”. Tindak pidana adalah: “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelakunya itu dapat dikatakan merupakan subjek tinda pidana”.23

Suatu perbuatan yang melawan hukum dan merugikan masyarakat belum tentu ia merupakan tindak pidana, bila perbuatan itu dilarang oleh undang- undang dan pelakunya tidak dianca pidana. Misalnya pelacuran sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, tetapi tidak dijadikan larangan pidana.

Hal ini sukarnya untuk mengadakan rumusan yang tepat tentang tepat untuk pelacuran dan menjadikan hal ini sebagai pencarian dan kebiasaan. Untuk menentukan perbuatan mana yang dianggap sebagai perbuatan pidana dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana dikenal “Azas Legalitas” atau yang dikenal dengan adagiumnya berbunyi sebagai berikut: “Nullum delictum nulla poena lege previa poenali” yaitu azas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana

harus ditentukan terlebih dahulu oleh undang-undang.

Dalam kehidupan sehari-hari juga kita sering jumpai istilah kejahatan.

Pernyataan kejahatan ini menunjukkan kepada perbuatan yang bertentangan dengan kaedah akan tetapi tidak semua perbuatan yang melanggar kaedah merupakan kejahatan. Contoh seseorang yang melempar Koran bekas kekebun belakang tetangga, seharusnya ia memberikan kepada tukang sampah atau meleakkan di tempat sampah, hal ini tidk sopan mengganggu tetangga

22 Ibid, hlm. 130

(4)

18

(melanggar kaedah) dan ini bukan kejahatan, tetapi dapat dikatakan sebagai kenakalan yang termuat dalam Pasal 489 KUHP:

1. Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau erusakan, diancam dengan denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak belum adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, denda dapat diganti dengan kurungan paling lama tiga hari.

Bersifat melawan hukum dapat berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan-larangan atau keharusa nhukum atau menyerang sesuatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.24

Pemidanaan adalah penderitaan untuk sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Unsur-unsur dari pemidanaan adalah ;25

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lain yang menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kesalahan.

3. Pidana tersebut diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

a. Unsur-unsur Tindak Pidana

24 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1996, hlm. 50

25 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarso, Semarang, 1997, h. 40.

(5)

19

Tindak pidana yang diatur terdapat dalam KUHP dan pada umumnya dapat dijabarkan dalam unsur-unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:26

1. Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatan- kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:

1. Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid;

2. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:27 a. Perbuatan itu harus perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang;

c. Perbuatan itu harus bertentangan oleh hukum;

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan;

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam)

26 P.A.F, Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 193- 194.

27 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 98.

(6)

20

dengan pidana menggambarkan bahwa tidak harus perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Menurut kesimpulan rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:28

a. perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

b. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. diadakan tindakan penghukuman.

2. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Berpacaran a. Pengertian Kekerasan Dalam Berpacaran

Dalam berbagai literatur, belum ditemukan suatu definisi yang baku mengenai kekerasan dalam pacaran yang sesuai dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri konsep pacaran berbeda dengan konsep pacaran di negara luar yang mengenal konsep date yang bisa berarti kencan lepas (Guamarawati, 2009). Beberapa definisi mengenai kekerasan dalam pacaran yang dibahas berikut merupakan definisi secara umum yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Menurut Sugarman & Hotaling (dalam Subhan, 2004), kekerasan dalam pacaran (dating violence) adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan pacaran ke anggota lainnya.

Menurut The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya.

28Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. h. 80.

(7)

21

Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan kekerasan dalam pacaran sebagai tindakan yang disengaja, yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan dan kontrol terhadap pasangannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. Melalui beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan sebuah kekerasan yang terjadi dalam relasi intim 12 atas dasar perasaan cinta diluar hubungan pernikahan. Didalamnya terjadi sikap atau tindakan pemaksaan, penyerangan, perusakan, pengendalian dan ancaman baik secara psikis, fisik, seksual maupun ekonomi, ataupun kombinasi keempatnya.

Kekerasan ini dapat terjadi selama masa pacaran atau didalam proses berakhirnya masa pacaran.29

b. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Pacaran

Terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang secara singkat dikemukakan oleh Annisa (2012) yaitu:

a) Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkeram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain.

b) Kekerasan psikologis seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainya.

29 file:///C:/Users/User/Downloads/kekerasan%20berpacaran%20jurnal%20uksw.pdf, hlm. 11.

(8)

22

c) Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya (memanfaatkan atau memeras pasangan).

d) Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memesakan hubungan tidakan hubungan seksual dibawah paksaan dan ancaman.

e) Tindakan stalking seperti mengikuti, membututi dan serangkaian aktivitas yang mengganggu privasi dan membatasi aktivitas seharihari pasangan. 30

Menurut Murray (2007) menjabarkan dengan lebih jelas bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan fisik.

a) Kekerasan Verbal dan Emosional Kekerasan verbal dan emosional

adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah.

b) Menurut Murray (2007), kekerasan verbal dan emosional terdiri:

1) Name calling. Seperti mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya.

2) Intimidating looks. Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi pihak

30 Christianti Noviolieta Devi, Skripsi Kekerasan Dalam Berpacaran (Studi Kasus pada Mahasiswa yang pernah melakukan Kekerasan dalam Pacaran, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013, hlm. 10-11.

(9)

23

laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari ekspresi wajahnya.

3) Use of pagers and cell phones. Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi pacarnya.

Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Mereka harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya.

4) Making a boy/girl wait by the phone. Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu telepon dari pacarnya. 31 5) Monopolizing a girl’s/boy`s time. Korban cenderung

kehabisan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya.

6) Making a girl`s/boy`s feel insecure. Seringkali orang yang melakukan kekerasan dalam pacaran memanggil pacarnya

31 Ibid., hlm. 12.

(10)

24

dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.

7) Blaming. Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan.

8) Manipulation atau making himself look pathetic. Hal ini sering dilakukan oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya pacarnyalah orang yang satu- satunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi.

9) Making threats. Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka saya akan melakukan sesuatu padamu.

Ancaman mereka bukan hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua, dan teman mereka.32

10) Interrogating. Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama mereka,

32 Ibid., hlm. 13-14.

(11)

25

berapa orang laki-laki atau wanita yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.

11) Humiliating her/him in public. Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

12) Breaking treasured items. Tidak mempedulikan perasaan atau barang-barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu sebuah kebodohan33

c. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya. Menurut Murray (2007), kekerasan seksual terdiri dari:

1) Perkosaan. Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu.

2) Sentuhan yang tidak diinginkan. Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya.

33 Ibid., hlm. 15.

(12)

26

3) Ciuman yang tidak diinginkan. Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi.34

d. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya. Kekerasan fisik menurut Murray (2007) terdiri dari:

1) Memukul, mendorong, membenturkan. Ini merupakan tipe kekerasan yang dapat dilihat dan diidentifikasi. Contoh perilaku ini diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini dilakukan sebagai hukuman kepada pasangannya.

2) Mengendalikan, menahan. Perilaku ini dilakukan pada saat menahan pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat.

3) Permainan kasar. Menjadikan pukulan sebagai permainan dalam hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan- pukulan ini sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya.

Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan tersebut.35

e. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Pacaran

World Report On Violence And Health (2002) mengindikasikan enam faktor yang menyebabkan kekerasan dalam pacaran diantaranya:

34 Ibid., hlm. 15-16.

35 Ibid., hlm. 16.

(13)

27

a) Faktor Individual. Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan memiliki status ekonomi yang rendah serta memiliki prestasi akademis yang rendah atau pendidikan yang rendah.

b) Sejarah Kekerasan dalam Keluarga. Studi yang dilakukan di Brazil, Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

c) Penggunaan Alkohol. Alkohol dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu.

d) Gangguan Kepribadian. Penelitian di Canada menunjukkan bahwa laki-laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka.

e) Faktor dalam Hubungan. O’Kefee (2005) mengatakan bahwa, kurangnya kepuasan dalam hubungan dan semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya kekerasan dalam pacaran.

f) Faktor Komunitas. Tinggal dalam kemiskinan dapat menyebabkan hopelessness. Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial.36 f. Dampak Kekerasan dalam Pacaran

36 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, 2014, Bandung, h.1.

(14)

28

Dampak yang ditimbulkan dalam kekerasan pada masa pacaran tentunya sangat berbahaya. Kekerasan akan selalu berdampak negatif dan akibat yang paling fatal adalah luka psikologis yang memerlukan waktu penyembuhan yang cukup lama dan tidak dapat dipastikan. Berikut ini adalah beberapa dampak kekerasan pada masa pacaran menurut Tisyah dan Rochana (2013), antara lain:

1) Dampak kejiwaan. Perempuan menjadi trauma atau membenci laki- laki, akibatnya perempuan menjadi takut untuk menjalin hubungan dengan lakilaki. Sehingga menimbulkan rasa kecemasan yang mendalam.

2) Dampak sosial. Posisi perempuan menjadi lemah dalam hubungan dengan lakilaki. Apalagi perempuan yang merasa telah menyerahkan keperawanannya kepada pacarnya, biasanya merasa minder untuk menjalin hubungan lagi. Tidak hanya rasa percaya diri terhadap lawan jenis tapi juga terhadap diri sendiri dan orang lain sehingga menyebabkan turunnya produktivitas kerja atau prestasi.

3) Dampak fisik. Tubuh menjadi luka-luka, baik ringan maupun parah.

Bila terjadi kehamilan tidak dikehendaki dan pacar meninggalkan pasangannya. Ada dua kemungkinan, yaitu melanjutkan kehamilan atau aborsi. Bila melanjutkan kehamilan, harus siap menjadi orang tua tunggal. Bila aborsi, harus siap menanggung risiko-risiko, seperti pendarahan, infeksi, dan bahkan kematian. Bila terjadi hubungan seks dalam pacaran, perempuan akan rentan terkena Penyakit Menular Seksual (PMS) yaitu herpes dan HIV/AIDS.37

37 Ibid., hlm. 17.

(15)

29 g. Perlindungan Hukum

a) Pengertian perlndungan hukum

Perlindungan terhadap korban sebagai janji-janji hukum oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer hukum yang sebagaimana diungkapkan oleh I. S. Susanto dalam tiga hal :38

1. Perlindungan 2. Keadilan 3. Pembangunan

Selain itu tidak lupa juga untuk memperhatikan Hak-Hak sebagai korban, untuk mendapatkan perlindungan harus di perhatikan guna terwujudnya perlindungan bagi korban. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia 1945 mengatur tentang hak-hak asasi manusia yaitu Pasal 28 D ayat (1) “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28 I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Sudah seharusnya pihak korban mendapat perlindungan, diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun diimbangi melaksanakan kewajiban- kewajiban yang ada. Untuk mengetahui hak-hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan, salah satunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Setiap korban yang menjadi korban kejahatan berhak untuk memperoleh perlindungan, dalam

38 C. Maya Indah S, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Krminologi, Kencana, Jakarta, 2014, h. 71.

(16)

30

memperoleh perlindungan tersebut, dapat di realisasikan dengan memenuhi hak-hak korban. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa:

1. Saksi dan Korban berhak:

a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c) Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d) Mendapat penerjemah;

e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i) Dirahasiakan identitasnya;

j) Mendapat identitas baru;

k) Mendapat tempat kediaman sementara;

l) Mendapat tempat kediaman baru;

m) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n) Mendapat nasihat hukum;

o) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan atau

p) Mendapat pendampingan.

(17)

31

Perlindungan korban sebagai suatu upaya memberikan perlakuan yang adil baik sebagai korban, pelaku maupun bagi masyarakat yang merupakan harapan yang dicita-citakan juga. Korban darisuatu tindak pidana yang pada dasarnya adalah pihak yang paling menderita pada suatu tindak pidana, justru tidak mendapatkan perlindungan sebanyak yang diberikan Undang-Undang pada pelaku suatu kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah,39 “Dalam membahas hukum acara pidana yang khususnya yang berkaitan Dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban suatu tindak pidana.” Rendahnya kedudukan korban suatu tindak pidana dalam penanganan perkara pidana, hal ini juga dikemukakan oleh Prassell yang menyatakan: “Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators”.40

Perlindungan hukum pada korban kejahatan merupakan bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk, misalnya seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi pada korban, pelayanan medis, dan juga berupa bantuan hukum.41 Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan pada pihak yang menderita atau mengalami kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya.42 Perbedaan antara kompensasi

39Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, 1986, h. 33.

40Haryanto Dwiatmodjo, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas”, Mei 2011, h. 202.

41Didik M Arif Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Rajawali Pers, Jakarta 2006, h. 31.

42Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung, 2006, h. 316.

(18)

32

dan juga restitusi43 adalah “kompensasi berasal dari permintaan korban suatu tindak pidana, atau merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban dari masyarakat atau dari negara (The responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pada pidana, yang timbul dari putusan pengadilan terkait perkara pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban dari terpidana.44

Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan).

Perlindungan yang kongkrit pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi.

Perlindungan pada korban di dalam sistem peradilan pidana, pada awalnya tercantum dalam KUHAP, yaitu Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

Namun demikian dalam KUHAP hanya sebatas tentang penggabungan perkara saja. Yang intinya dalam perkembangannya, KUHAP kurang dapat memberikan perlindungan bagi korban secara utuh, padahal keberadaankorban suatu tindak pidana dalam hal ini sangat diperlukan dan juga merupakan suatu hal yang harus sangat diperhatikan sebagai satu kesatuan di dalam proses pemeriksaan dalam peradilan pidana.

Pada prinsipnya perlindungan akan hak-hak seseorang sebagai korban telah diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi mengingat jenis tindak pidana yang

43 Dowden, C., & Andrews, D. A., “Effective correctional treatment and violent re-offending: A meta- analysis”, Canadian Journal of Criminology 42, (2000), h. 449-476.

44 Haryanto Dwiatmodjo, op.cit., h. 203.

(19)

33

semakin beragam dan menimbulkan efek atau akibat bagi keselamatan jiwa darikorban atau keluarganya, pada Tahun 2006 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut telah diatur mengenai berbagai hak yang diberikan oleh Negara pada korban suatu tindak pidana yang sebelumnya belum atau tidak diatur dalam KUHAP.

Adapun hak-hak korban dicantumkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dikutip sebagai berikut:

1. Memperoleh perlindungan berupa keamanan pribadi, keluarga, dan juga harta bendanya, serta bebas dari ancaman-ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan oleh korban.

2. Ikut serta selama proses memilih dan menentukan bentuk-bentuk perlindungan dan juga dukungan keamanan

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan dari pihak siapapun 4. Mendapatkan penerjemah

5. Bebas dari pertanyaan-pertanyaan yang menjerat korban 6. Mendapatkan informasi yang berkaitan perkembangan kasus 7. Mendapatkan informasi yang berkaitan dengan putusan pengadilan 8. Mengetahui yang berkaitan dengan hal terpidana dibebaskan 9. Mendapatkan sebuah identitas baru

10. Memperoleh penggantian biaya untuk trasportasi sesuai dengan kebutuhan 11. Mendapatkan penasihat hukum untuk korban

12. Memperoleh bantuan berupa biaya hidup sementara hingga batas waktu perlindungan berakhir

(20)

34

Seseorang yang menjadi korban dari kejahatan seksual akan ada perasaan takut dikemudian hari apabila masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya, karena suatu kejahatan seksual tersebut merupakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Melalui aib bagi dirinya maupun keluarganya sehingga korban lebih baik menyembunyikan atau korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.45

h. Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban

a. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukan oleh Mulyadi saat menyatakan Korban kejahatan perlu dilindungi karena; Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga, kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan didalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan.

Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem

45Didik M Arif Mansur dan Elistaris Gultom, op.cit., h. 52.

(21)

35

kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut.

b. Adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus memerhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.

c. Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik.

Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasardari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, diantaranya sebagai berikut:

1. “Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yangbesar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut. Tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secar keseluruhan;

2. Teori Tanggungjawab pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun Kelompok) bertanggungjawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain harus menderita kerugian, orang tersebut

(22)

36

harus bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya;

3. Teori Ganti Rugi“sebagai perwujudan tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana.

Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Asas Manfaat

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan bagi korban secara luas, khususnya dalamupaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

2. Asas Keadilan

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersiat mutlak karena hal ini di batasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.

3. Asas Keseimbangan

Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, asas

(23)

37

keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.46

i. Hak dan Kewajiban Korban

Setiap manusia tentu dilahirkan dengan memiliki hak yang tidak dapat dirampas, direnggut, bahkan dikurangi oleh siapapun, secara umum seluruh warga negara Indonesia memiliki hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 27-34 Undang-Undang Dasar 1945 namun diatur secara terinci dalam Undang-Undang tertentu. Begitu juga dalam suatu peradilan setiap individu memiliki hak dan kewajiban.47

Dalam Pasal 6 ayat (1) kemudian menjelaskan bahwa untuk korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psiko sosial dan psikologis.

Korban sebagai orang yang paling dirugikan dalam terjadinya tindak pidana tentu membutuhkan suatu ganti rugi, cara mendapatkan ganti rugi terhadap korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;

a. melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, b. melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan

46Diakses pada 24 Oktober 2022 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5928/bagaimana- caramenuntut-ganti-rugi-jika-menjadi-korban-tindak-pidana.

47 Undang-Undang Dasar 1945

(24)

38

c. melalui Permohonan Restitusi.48

Tata pertama diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP mengatur mengenai hak yang dimiliki korban mengenai ganti kerugian dan mekanisme mendapatkannya yang disebut dengan penggabungan perkara gugatan.

Pasal 98 KUHAP jelas berbeda dengan ganti kerugian yang ada dalam praperadilan yang mana merupakan suatu gugatan ganti kerugian yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang, tentu berbeda dengan yang diterangkan dalam Pasal 81 KUHAP .

Pasal 98 KUHAP

1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi oranglain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

2) Diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Pasal 99 KUHAP

1) Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban.

48 Pasal 6 ayat (1).

(25)

39

2) Putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman biaya yang telah dikeluarkan oleh korban.

3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap.49

Pasal 100 KUHAP

1) Putusan terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama.

2) Apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding.50

Pasal 101 KUHAP

1) Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam aturan ini tidak diatur lain.51 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan

Seksual.

Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

a. pelecehan seksual nonfisik;

b. pelecehan seksual fisik;

c. pemaksaan kontrasepsi;

d. pemaksaan sterilisasi;

49 Pasal 99 KUHAP

50 Pasal 100 KUHAP

51 Pasal 101 KUHAP

(26)

40 e. pemaksaan perkawinan;

f. penyiksaan seksual;

g. eksploitasi seksual;

h. perbudakan seksual; dan

i. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Menurut Pasal 4 ayat (2) Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:

a. perkosaan;

b. perbuatan cabul;

c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak;

d. perbuatan melanggar kesusilaarr yang bertentangan dengan kehendak Korban;

e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;

f. pemaksaan pelacuran;

g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;

h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;

i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan

j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Deklarasi Hak Asasi Manusia di Indonesia telah ada sejak jaman dahulu namun baru diikrarkan pada pedoman dasar negara yaitu yang berada di dalam

(27)

41

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat hak asasi selaku manusia baik manusia selaku makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial yang di dalam kehidupannya itu semua menjadi sesuatu yang inheren, serta dipertegas dalam Pancasila dari sila kelima. Jika dilihat dari terbentuknya deklarasi Hak Asasi Manusia bangsa Indonesia lebih dahulu terbentuk dari pada Hak-Hak Asasi Manusia PBB yang baru terbentuk pada tahun 1948. 52

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa:

"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia".

Begitu pula dengan keberadaan Hak Asasi Manusia dalam konsepsi Negara hukum tersebut bukan berarti terjadinya pengekangan hak asasi manusia oleh Negara, namun dalam konsepsinya adalah pengaturan oleh Negara. Dilihat dari sudut pandang pengaturan hak asasi manusia, pada satu sisi hak asasi memiliki sifat dasar yang membatasi kekuasaan pemerintahan, namun sebaliknya pada sisi lain pemerintah diberi wewenang untuk membatasi hak-hak dasar sesuai dengan fungsi pengendalian (sturing). Jadi walaupun hak-hak dasar mengandung sifat membatasi kekuasaan pemerintahan, pembatasan tersebut tidak berarti mematikan kekuasaan pemerintahan yang pada dasarnya berisi wewenang untuk mengendalikan kehidupan masyarakat.53

5. Putusan Hakim

52 Mukhamad Luthfan Setiaji, Aminullah Ibrahim, “Kajian Hak Asasi Manusia dalam Negara the Rule of Law:

Antara Hukum Progresif dan Hukum Positif”. Jurnal Lex Scientia Law Review, Vol. I No.1 (Tahun 2017), h. 69-70.

53 Fauzan Khairazi, “Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Jurnal Inovatiff, Vol. 8 No.1, 2015, h.73.

(28)

42

Dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 11 KUHAP, yang dimaksud dengan putusan hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Mahkamah Agung telah menentukan pilihan agar hakim dalam membuat putusan berpedoman pada 3 (tiga) hal :54

a. Unsur yuridis, yang merupakan unsur pertama dan utama;

b. Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan; dan

c. Unsur sosiologis, yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Jika hal-hal negatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendak lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap atau sifat kepuasan moral jika kemudian putusan yang dibuatnya itu dapat menjadi tolok ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan referensi bagi kalanganteoritisi maupun praktisi hukum serta kepuasan nurani tersendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi.55

54 Rifai Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Malang, 2010.

h. 28.

55Lilik Mulyadi, Penerapan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga, Ikahi Jakarta, 2007, h. 25.

(29)

43

Hakim adalah manusia biasa, banyak faktor yang dapat mempengaruhi hakim dalam membuat putusan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hakim dalam membuat putusan terdiri dari : 56

a. Faktor Internal

1) Iman dan kepercayaan.

2) Pengalaman.

3) Pengetahuan.

4) Kebutuhan dan perilaku hakim.

b. Faktor Eksternal

1) Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

2) Kemauan politik penguasa.

3) Tekanan dari masyarakat.

4) Suap dan keadaan lingkungan.

Putusan hakim yang menerobos batas ancaman pidana minimal dan pidana denda minimal dapat saja diterima dan dianggap sah sepanjang berdasarkan rasa keadilan dan hati nurani, karena hakim bukan hanya penegak hukum juga sebagai penegak keadilan, asalkan tidak ada kepentingan hakim yang memutus perkara tersebut. Putusan hakim yang menerobos ketentuan dalam undang-undang yang normatif, atau dalam halini di bawah tuntutan jaksa penuntut umum dapat saja diterima atau tidak batal demi hukum asal didasari pada rasa keadilan yang objektif.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan

56http://www.saurasi.com/pedoman-membuat-putusan/ diakses pada tanggal 05 November 2022 Pukul 21.31

(30)

44

oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecualidalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar hukum, dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pada hakikatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.57 Hakim dalam menjalankan tugasnya, tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan belum ada ataupun tidak ada hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkara tersebut karena hakim dianggap mengetahui hukum, dan jika belum ada peraturan yang mengatur tentang perkara yang diajukan kepadanya tersebut, maka hakim dituntut untuk menggali dan menemukan hukumnya berdasarkan ilmu pengetahuan hukum yang dikuasainya.

Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain:

Pasal 4 ayat (1), mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang.

a. Pasal 4 ayat (2), membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

b. Pasal 10 ayat (1), tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih

57 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum – Upaya mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006. h. 16.

(31)

45

bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

c. Pasal 5 ayat (1), hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Adapun secara konkrit tugas hakim dalam mengadili suatu perkara melalui 3 (tiga) tindakan secara bertahap, yaitu :

a. Mengkonstatir (mengkonstatasi) yaitu mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak dimuka persidangan.

Syaratnya adalah peristiwa konkrit itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut.

b. Mengkwalifisir (mengkwalifikasi) yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang amanah atau seperti apa. Dengan kata lain mengkwalifisir adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut.

c. Mengkonstituir (mengkonstitii) atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada yang bersangkutan.

Disini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor peraturan hukumnya dan premise minor peristiwanya. Dalam memberikan putusan,

(32)

46

hakim perlu memperhatikan factor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu, keadilan, kepastian hukumnya dan kemanfaatannya.58 6. Pertimbangan Hukum Oleh Hakim

Pertimbangan hukum merupakan suatu cara atau metode yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan kekuasaan kehakiman dan harus memegang asas hukum nullum delictum nulla poena sine praevia legipoenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).59 Pertimbangan hukum harus dimulai dengan kata

“menimbangdan seterusnya” sesuai dengan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung.

7. Pengertian Viktimologi

Cara pandang tentang penanggulangan kejahatan tidak hanya terfokus pada timbulnya kejahatan atau metode yang digunakan dalam penyelesaian para pelaku kejahatan. Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu sendiri, yang dalam keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculnya kejahatan. Saat berbicara tentang korban kejahatan, maka kita tidak terlepas dari Victimologi.

Victimologi berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban dan “Logos” yang berarti ilmu. Secara terminologi Victimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan sosial, korban dalam lingkup Victimologi mempunyai arti yang luas sebab tidak hanya

58 Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

UII Press. Yogyakarta 2005, h. 126-127.

59 Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana,PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 23.

(33)

47

terbatas pada individu yang nyata menderita kerugian, tapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah.60

Akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan seorang ahli (Abdussalam, 2010: 5) bahwa victim adalah “orang yang telah medapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainya.61 Dalam kamus ilmu pengetahuan social disebutkan bahwa victimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai salah satu penentu kejahatan.62

Pendapat Arif Gosita mengenai pengertian victimologi ini sangat luas, yang dimaksud korban disini adalah mereka yang menderita jmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri dalam konteks kerakusan individu dalam memperoleh apa yang diingingkan secara tidak baik dan sanggat melanggar ataupun bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya korban perbuatan pidana (kejahatan) saja tetapi dapat korban bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.

Korban dalam pengertian yuridis yang termaksud dalam perundang-undangan Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Menurut Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi-saksi dalam pelanggaran

60 Didik M. Arif Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Pers, Jakarta. h. 34.

61 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta, h. 9.

62 Hugo Reading, Kamus Ilmu-ilmu social, Rajawali, Jakarta, 1986, h. 457.

(34)

48

HAM yang berat, Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan dalam ruang lingkup rumah tangga”. Undang- undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban atau ahli warisnya.

A. Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti perann korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. 63

Menurut J. E. Sahetapy ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut :

63 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, 2010, h. 45.

(35)

49

a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik.

b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.

c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya.

d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.

e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan- kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha- usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.

f. Faktor-faktor Viktimogen (Kriminogen). Ruang lingkup atau objek studi viktimologi dan kriminologi dapat dikatakan sama, yang berbeda adalah titik tolak pangkal pengamatannya dalam memahami suatu viktimisasi kriminal, yaitu viktimologi dari sudut pihak korban, sedangkan kriminologi dari sudut pihak pelaku.

Masing-masing merupakan komponen-komponen suatu interaksi (mutlak) yang hasil interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas. 64

Suatu viktimisasi antara lain dapat dirumuskan sebagai suatu penimbunan penderita (mental, fisik, sosial, ekonomi, moral) pada pihak tertentu dan dari kepentingan tertentu. Menurut J.E. Sahetapy, viktimisasi adalah penderitaan, baik secara fisik maupun psikis atau mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain. Lebih lanjut J.E.

64 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, 1985, h. 39

(36)

50

Sahetapy berpendapat mengenai paradigma viktimisasi yang meliputi:65

a. Viktimisasi politik, dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau dalam skala internasional;

b. Viktimisasi ekonomi, terutama yang terjadi karena ada kolusi antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang-barang tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk aspek lingkungan hidup;

c. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan, penyiksaan, terhadap anak dan istri dan menelantarkan kaum manusia lanjut atau orang tuanya sendiri; dan

d. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran dan lain-lain.

B. Hasil Penelitian 1. Posisi Kasus

Agus Budiono Bin Mispan adalah sebagai terdakwa.

Berawal dari tindak laporan tindak pidana penganiayaan yang dilaporkan oleh saksi korban Dea Ivani Suseno Putri pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018 sekitar jam 9.00 WIB. bertempat di depan toko An-Nur, Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

65 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, h. 22.

(37)

51

Kronologi kejadiannya pada awalnya antara saksi Dea Ivani Suseno Putri terjalin hubungan percintaan dengan Terdakwa sebagai sepasang kekasih tetapi karena suatu sebab hubungan tersebut berakhir tetapi terdakwa yang masih menyimpan rasa penasaran dengan mantan kekasihnya tersebut pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018 sekitar jam 9.00 wib. pergi menemui saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno di tempat kerjanya di Ngunut bermaksud memastikan hubungan cinta mereka. Ketika terdakwa dengan saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno bertemu mereka bercakap biasa tetapi selanjutnya percakapan berubah panas penuh emosi sehingga mereka bertengkar.

Pertengkaran tersebut tiba-tiba terdakwa mendorong tubuh saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno dengan kedua tangannya sebanyak satu kali sehingga terdorong ke dinding atau pintu toko kejadian tersebut dilihat oleh saksi Nur Hidayati binti Alm. Parjianto yang segera datang melerai sementara saksi Rengga Febrianto Nur Ali bin Alm. Ali Mansyur yang melihat kakaknya melerai juga ikut keluar toko langsung mendekap terdakwa dari depan agar berhenti memukul saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno, tetapi rupanya saat itu saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno mendekat dari belakang saksi Rengga Febrianto Nur Ali bin Alm. Ali Mansyur lalu tiba-tiba terdakwa menendang saksi korban dengan kaki kanannya sehingga terjatuh akibatnya kepala saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno membentur siku lantai di depan toko An-Nur. Ketika melihat saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno jatuh terbentur bukannya menolongnya sebaliknya terdakwa masih berkali-kali hingga mengeluarakan darah dari kepala saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno sehingga akhirnya orang-orang berdatangan menghentikan perbuatan terdakwa sementara terdakwa tanpa rasa bersalah meninggalkan saksi

(38)

52

Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno begitu saja yang kemudian dibawa berobat ke rumah sakit Era Medika di Ngunut.

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno sesuai Visum et Repertum Nomor 870/KTR 01.00/RSEM/IX/2018 pada tanggal 29 Oktober 2018 yang ditandatangani oleh Dokter Olivia Fransisca seorang dokter pada Rumah Sakit Era Medika Tulungagung. Kesimpulan yaitu terdapat luka robek membujur sepanjang 5 cm dan bengkak di kepala bagian belakang, bengkak dengan diameter 4 cm di kepala belakang sebelah kanan hingga kepala saksi dijakit 6 (enam) jahitan. Menurut keterangan dari orang tua saksi untuk pengobatan habis Rp. 634.000.00. (enam ratus tiga puluh empat ribu rupiah) dan tidak ada bantuan atau pun penggantian biaya dari Terdakwa.

2. Dakwaan Penuntut Umum

Penuntut Umum mendakwa Agus Budiono Bin Mispan bersalah melakukan penganiayan sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal Pasal 351 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut (1) Barangsiapa, (2) Melakukan Penganiayaan. Didakwakan dengan dakwaan Tunggal oleh Jaksa Penuntut Umum. Bahwa terdakwa Agus Budiono Bin Mispan telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban Dea Ivani (selanjutnya disebut sebagai Saksi Korban) pada hari pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018 sekitar pukul 09.00 WIB bertempat di depan toko An-Nur, Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan dengan cara awalnya antara Terdakwa dengan saksi korban mempunyai hubungan pacaran, namun kemudian karena merasa sudah tidak ada kecocokan lagi, saksi korban kemudian memutuskan hubungan pacaran tersebut dengan Terdakwa, dimana atas

(39)

53

pemutusan hubungan pacaran tersebut, Terdakwa tidak menerimanya dan selanjutnya menemui saksi korban pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018 sekitar pukul 09.00 WIB pergi menemui saksi korban di tempat kerjanya yaitu di Toko di Ngunut bermaksud memastikan hubungan cinta mereka.

Bahwa selanjutnya Terdakwa mendorong tubuh saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno dengan kedua tangannya sebanyak satu kali sehingga terdorong ke dinding atau pintu toko kejadian tersebut dilihat oleh saksi Nur Hidayati binti Alm. Parjianto yang segera datang melerai sementara saksi Rengga Febrianto Nur Ali bin Alm. Ali Mansyur yang melihat kakaknya melerai juga ikut keluar toko langsung mendekap Terdakwa dari depan agar berhenti memukul saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno dan oleh karena banyak orang yang berdatangan, sehingga Terdakwa menghentikan perbuatannya dan meninggalkan Terdakwa.

Bahwa dengan dibantu oleh saksi Nur Hidayati dan saksi Rengga Febrianto, selanjutnya saksi korban dibawa ke Rumah Sakit Era Medika Ngunut untuk berobat.

Bahwa saksi korban tidak sempat diopname, hanya kepala saksi korban dijahit 6 (enam) jahitan, sebagaimana hasil Visum et Repertum Nomor 870/KTR 01.00/RSEM/IX/2018 pada tanggal 29 Oktober 2018 yang ditandatangani oleh Dokter Olivia Fransisca seorang dokter pada Rumah Sakit Era Medika Tulungagung terdapat luka robek membujur sepanjang 5 cm dan bengkak di kepala bagian belakang, bengkak dengan diameter 4 cm di kepala belakang sebelah kanan.

(40)

54

Bahwa berdasarkan rangkaian perbuatan Terdakwa tersebut diatas, menurut pendapat Majelis Hakim telah dapat dikualifikasikan sebagai “melakukan penganiayaan”, sehingga dengan demikian unsur kedua telah terpenuhi.

Bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 351 ayat (1) KUHP terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Tunggal sehingga Terdakwa mampu untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan yang telah diperbuatnya.

3. Hak-Hak Korban

Hukum acara pidana mengatur berbagai hak dari tersangka dan/atau terdakwa yang mana hak tersebut diatur cukup banyak dalam Pasal 50-68 KUHAP. Sehingga sudah seharusnya pihak korban yang dirugikan dalam suatu tindak pidana mendapatkan perlindungan diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun diimbang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada.66 Menurut Arif Gosita menyebutkatkan beberapa hak-hak korban antara lain:67

a. Korban berhak memperoleh kompensasi atas penderitaanya, sesuai dengan taraf keterlibatan korban dalam terjadi kejahatan yang menimpanya;

b. Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan korban;

c. Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila korban meninggal dunia karena kejahatan yang menimpanya;

d. Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi;

e. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya;

f. Korban berhak menolak untuk menjadi saksi jika hal tersebut membahayakannya;

66 Bambang Waluyo, Viktimologi Pelindungan Korban & Saksi, Cet. Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, h. 73.

67 G. Widiartana, Op.cit, h. 73.

(41)

55

g. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi;

h. Korban berhak mendapatkan bantuan hukum seperti penasehat hukum;

Korban berhak mempergunakan upaya hukum. Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban telah menyebutkan beberapa hak yang dapat dimiliki oleh seorang Saksi dan Korban, antara lain berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan keterangan yang diberikan memang benar-benar keinginan korban dan tidak dari paksaan berupa ancaman fisik maupun psikis oleh siapapun demi kepentingan pihak tertentu.

d. mendapat penerjemah; penerjemah dibutuhkan ketika terdakwa atau korban tidak mengerti bahasa Indonesia, sehingga diperlukan seseorang yang bisa menerjemahkan, contoh jika tersangka atau korban berkewarganegaraan asing.

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat. Pertanyaan yang menjerat merupakan pertanyaan yang mendorong orang yang ditanya untuk tidak bisa menjawab secara tepat karena apapun jawaban yang diberikan akan menyudutkan posisi yang korban.

Referensi

Dokumen terkait

Sampel dalam penelitian ini adalah peserta senam hamil yang ber- jumlah 20 orang ibu hamil trimester ke- tiga di RS Kasih Ibu dengan kelompok kontrol ibu hamil trimester ketiga

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Berdasarkan peramalan nilai ekspor kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2020 yang telah dilakukan, didapatkan nilai akurasi pada peramalan ekspor kendaraan bermotor roda

Dengan semakin banyaknya peminat untuk kegiatan camping, baik dari lembaga pendidikan atau perusahaan, Villa Pinus Kenteng menyediakan area Camping untuk mengadakan mengadakan

dengan baik. Para pekerja akan merasa bangga apabila mereka dapat menunjukkan secara kongkret hasil pekerjaannya. Jika hasil pekerjaan tidak mendapat penghargaan

spiritual, sebagai pebisnis yang jujur dan uang yang dijalankan di usaha Baston food insyallah usaha ini akan berkah karena tidak diselingi dengan pengambilan

b) Pengembangan secara keseluruhan Usahakan agar anak mau mengembangkan bakatnya sebagai upaya mengalihkan perhatiannya dari kelemahan pribadi yang telah membuat